Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Aksi Massa yang Disita Polisi
ADA kegemparan di kalangan elite Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tahun 1926. Silang pendapat itu bermula ketika sekelompok kader pucuk PKI pimpinan Sardjono menyelenggarakan Kongres Prambanan, 25 Desember 1925, yang menghasilkan keputusan melawan pemerintah kolonial Belanda, selambatnya enam bulan setelah penyelenggaraan kongres. Untuk mematangkan jalannya pemogokan massal yang disertai pelawanan bersenjata sebagaimana keputusan kongres, partai mengutus Musso, Budisutjitro, dan Sugono untuk pergi ke Singapura menemui Tan Malaka. Mereka berniat meminta bala bantuan dari Moskow melalui Tan Malaka. Namun misi itu gagal karena Tan Malaka ada di Manila. Sebetulnya Tan Malaka sudah mengetahui rencana pemberontakan itu sejak awal 1926, namun kurang sreg. Dia menilai situasi revolusioner di Hindia Belanda belum benar-benar memenuhi syarat untuk sebuah revolusi. “Tetapi apakah rakyat proletar Indonesia sudah pula siap?... kalau belum siap, tak ada jalan lain buat pemimpin yang berani bertanggung jawab kepada rakyat dan diri sendiri, ialah terus mempersiapkan rakyat buat massa aksi,” kata Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara . Pemberontakan melawan pemerintah kolonial pun tetap dilakukan kendati waktu pelaksanaannya meleset dari yang ditentukan. Pada 12 November 1926 pemberontakan meletus di Banten, Batavia, dan Jawa Barat. Lantas pada Januari 1927, mengikuti kawan-kawan separtai di Jawa, giliran Silungkang, Sumatra Barat berontak melawan Belanda. Dalam jangka waktu sepekan setelah peristiwa, polisi kolonial menangkap ribuan orang yang diduga terlibat aksi pemberontakan tersebut. Beberapa pemimpin pemberontakan, seperti Egom, Hasan, dan Dirdja dihukum gantung. Ratusan kader lainnya dibuang ke Boven Digul, kamp penahanan yang terletak di wilayah endemik malaria hitam di Papua. Kelak tak hanya kaum komunis yang dibuang ke Digul, melainkan juga para nasionalis yang dituduh membahayakan negara kolonial Hindia Belanda. Tan Malaka besikukuh tak menyetujui pemberontakan itu. Pada awal 1926, menggunakan paspor palsu di bawah nama samaran Hasan Gozali, pria kelahiran Mindanao, Filipina Selatan, Tan Malaka masuk ke Singapura. Selama di Singapura dia menulis sebuah risalah mengenai taktik rakyat untuk melawan pemerintah kolonial. Risalah bertajuk Massa Actie ( Aksi Massa ) ditulis untuk menanggapi keputusan kongres Prambanan yang menyerukan revolusi di Hindia Belanda. Tan Malaka mengakui bahwa risalah tersebut ditulis dalam situasi serba mendadak. “ Massa Aksi yang ditulis tergesa-gesa dan dicetak di Singapura,” katanya dalam Dari Penjara ke Penjara . Ketergesaan itu bisa jadi karena dia, melalui risalahnya, ingin agar pemberontakan ditunda sambil mematangkan situasi revolusioner pada massa rakyat. Risalah tersebut terdiri dari 12 bagian, dibuka dengan pembahasan revolusi pada bab pertama. Kalimat pertama dalam bab ini bernada gugatan kepada mereka yang menganggap revolusi sebagai keputusan sepihak, satu arah dari beberapa gelintir orang. “ Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri,” tulis Tan Malaka. Tan Malaka jelas terpengaruh kuat oleh teori revolusi proletar Karl Marx yang memproyeksikan bahwa revolusi akan terjadi ketika kaum proletar semakin menderita akibat penindasan kaum modal yang semakin rakus menumpuk kekayaan di tangan mereka. “ Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi,” kata Tan Malaka menguraikan. Setelah menjelaskan tahapan revolusi pada bab pertama, Tan beralih membahas bagaimana masyarakat Indonesia terbentuk secara historis untuk membantu memahami pada tingkat mana kesadaran masyarakat Indonesia berada. Apa yang ada di Indonesia, menurut Tan, tidak pernah lepas dari pengaruh luar negeri. Kondisi itu menjadikan masyarakat Indonesia tidak punya cita-cita sendiri karena hanya menerima apa yang datang dari luar, bahkan dalam soal agama.“Agama Hindu, Buddha, dan Islam adalah barang-barang impor, bukan keluaran negeri sendiri,” tulisnya. Sementara itu cerita keagungan dan kemegahan masa lalu Indonesia dipenuhi oleh bualan-bualan pujangga istana yang menutup fakta kehidupan di luar tembok istana. Pencapaian-pencapaian masa kerajaan hanyalah monumen kuno seperti Candi Borobudur, yang menurut Tan Malaka tiada sebanding bila disetarakan dengan dahsyatnya penemuan hukum Pytagoras yang mendorong manusia untuk mencapai penemuan-penemuan baru dalam kehidupannya. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda seperti yang ditunjukkan oleh Pangeran Diponegoro menurut Tan Malaka tak lebih hanya perlawanan sporadis seorang feodal belaka. Perlawanan itu sama sekali tidak mencerminkan perjuangan kelas borjuasi, sebagai mana terjadi di Prancis, untuk menumbangkan kekuasaan feodal sehingga menciptakan masyarakat baru yang lebih egaliter di atas puing-puing kultur feodalisme. Pendeknya, Tan Malaka dalam bab kedua ini ingin menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari belenggu adat feodalisme. Adat yang terbentuk akibat perjalanan sejarah selama ratusan bahkan ribuan tahun namun tidak membawa dampak kemajuan apa-apa bagi manusia Indonesia di masa modern. Belum lagi kepercayaan terhadap takhayul yang masih menyelubungi alam pikirannya, membuat rakyat Indonesia, “… dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing,” kata Tan Malaka menyimpulkan. Pada bagian selanjutnya Tan menjelaskan beberapa bentuk imperialisme yang mendominasi di kebanyakan negara jajahan. Mulai dari “perampokan terang-terangan” oleh Portugis dan Spanyol, monopoli ala Belanda, setengah monopoli ala Inggris di India, sampai dengan imperialisme liberal ala Amerika terhadap jajahannya di Filipina. Melanjutkan pembahasan mengenai imperialisme, Tan Malaka membahas kondisi kapitalisme di Indonesia yang menurutnya masih terlalu muda. Kapitalisme di Indonesia menurutnya hanyalah cangkokan dari apa yang berkembang di negeri asalnya, Eropa. Tidak ada industri berat yang menghasilkan produk-produk mesin atau barang-barang berbahan logam lainnya. Moda produksi masyarakat Indonesia bertumpu pada pertanian yang sebagian besar berada di Jawa. Sementara itu bahan logam yang banyak terdapat di Sumatra dan Kalimantan saat itu belum terjamah dan diolah untuk kebutuhan industri berat. “Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra,” tulis Tan Malaka dalam bab keempat. Buruh kereta uap di depan kantor perusahaan kereta uap Semarang-Joana. ( delpher.nl ). Sehingga apa yang dilakukan Belanda pada dasarnya hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia demi menopang ekonomi negeri induk Belanda. Belanda bukanlah Inggris yang mengalami revolusi industri dan membutuhkan pasar di negeri jajahannya. Belanda tidak pernah beriktikad membangun industri sehingga menarik kehidupan orang dari desa untuk pergi ke kota bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik. Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah kapitalisme yang tidak teratur sesuai tahapan-tahapan perkembangan masyarakat seperti yang terjadi di Eropa. “…imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia,” tegasnya. Dari empat bab permulaan risalahnya, Tan Malaka memberikan penjelasan bahwa tahapan perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya masih jauh dari situasi revolusioner. Pada bab kelima Tan Malaka semakin mengerucutkan penjelasaannya mengenai kondisi rakyat Indonesia ke dalam tiga keadaan: melarat, hidup dalam kegelapan dan ditindas dalam sistem perbudakan. “ Kita di zaman modern ini sedih dan heran melihat orang Jawa yang tinggal di pondok-pondok rombeng atau tak bertempat tinggal sama sekali, kelaparan dan berpakaian kotor compang-camping, hidup dalam iklim yang sangat membahayakan sebagai di Indonesia, kurang terawat kesehatannya, disebabkan wabah malaria, cacing tambang, kolera , dan sampar; ‘hanya’ ratusan ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela,” urai Tan Malaka melukiskan keadaan rakyat yang hidup melarat. Sebagian besar rakyat hidup dalam kegelapan karena tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak. Pemerintah Belanda memang terbilang telat dalam mendirikan perguruan tinggi di negeri jajahannya. Pemberlakukan politik etis pada awal abad ke-20 hanya berhasil mendirikan tiga universitas, yakni Technische Hoogeschool di Bandung berdiri 1920 (kini ITB), Rechthoogescshool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia berdiri 1924 (kini UI), dan Geneeskundigeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran berdiri di Batavia 1927 (kini Fakultas Kedokteran UI). Padahal menurut Tan Malaka jumlah penduduk Indonesia tiga kali lipat Filipina yang masa itu berpenduduk 12 juta jiwa sudah memiliki empat universitas. Rendahnya minat pemerintah kolonial Belanda memajukan pendidikan di negeri jajahan juga terlihat dari jumlah anak-anak yang masuk sekolah. Berdasarkan data Tan Malaka pada tahun 1919 adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang seharusnya bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan kongres N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant ). Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5 persen sampai 6 persen, mungkin juga 2 persen sampai 3 persen. Di dalam sistem kolonialisme Belanda perbudakan pun dilegalkan dalam cara-cara yang diperhalus. Kuli kontrak di berbagai perkebunan milik tuan-tuan Belanda jumlahnya mencapai 300 ribu orang. Mereka mendapatkan upah sangat rendah yang jauh dari kata layak untuk hidup sebagaimana tergambar dalam buku karya pengacara Belanda J. Van Den Brand, De Millioenen uit Deli . Kondisi itu membuat Tan Malaka menyimpulkan bab kelimanya dalam sederet kalimat bernada vonis, “ Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.” Bab-bab selanjutnya di risalah ini Tan Malaka menerangkan situasi sosial dan politik di Hindia Belanda. Dari segi sosial menurut Tan Malaka pertentangan yang terjadi di dalam masyarakat jajahan bukanlah pertentangan kelas buruh dengan majikan sesama Indonesia sebagai konsekuensi kapitalisasi kehidupan masyarakat. Namun lebih dalam lagi, “Pertentangan Belanda kapitalis dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital modern dari bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa, bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah,” kata Tan Malaka. Penjelasan mengenai situasi sosial dilanjutkan oleh Tan Malaka dengan memberikan gambaran kondisi politik di tanah jajahan pada bab keenam. Dia mengajukan gagasan bentuk perwakilan rakyat yang ideal, bukan parlemen borjuis yang menurut dia kepanjangan tangan dari pemilik modal, melainkan sebuah soviet. Parlemen borjuis akan menghasilkan undang-undang yang membawa kepentingan kelasnya sendiri sehingga masih bersifat menindas rakyat. Soviet dibentuk oleh diktatur buruh dengan bantuan petani yang telah menguasai borjuasi. Keanggotaan soviet bisa diangkat dan diberhentikan sewaktu-waktu, tidak seperti parlemen yang duduk untuk sampai lima tahun dengan mekanisme penggantian yang tidak mudah. Gagasan ini sejatinya kritik Tan Malaka terhadap parlemen di Hindia Belanda yang tidak mencerminkan perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Pada 1916 pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Dewan Rakyat ( Volksraad ) yang anggotanya dipilih oleh Gubernur Jenderal. Pada awal pembentukannya Volksraad memiliki 38 anggota, 15 orang di antaranya wakil golongan bumiputra. Seluruh anggota Volksraad saat itu, menurut Tan Malaka, berwatak kelas borjuasi. Kritik keras juga dilayangkan oleh PKI cabang Semarang yang melalui ketuanya, Semaoen, mengejek Volksraad sebagai “komidi omong”. Pada bab ketujuh Tan Malaka meramalkan revolusi akan terjadi di Indonesia apabila sejumlah prasyarat, baik secara objektif maupun subjektifnya sudah terpenuhi. Sejak permulaan dalam risalahnya ini Tan Malaka sudah mafhum bahwa syarat-syarat terjadinya revolusi di Indonesia belumlah memadai. Tahapan sejarah dan kapitalisme yang berkembang tidak secara teratur akan membuat revolusi Indonesia berbeda dengan revolusi di negeri lainnya. “Revolusi kita juga tidak akan menyamai revolusi borjuasi seperti di Prancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih terlampau lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh imperialisme Belanda. Juga ia tidak akan menyamai Revolusi Prancis tahun 1870 karena kita agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, tambahan lagi nisbah sosial sangat berlebihan,” tulis Tan Malaka. Revolusi di Indonesia juga tidak akan sama dengan jalan revolusi yang ditempuh kaum Bolshevik di Rusia pada 1917 karena, “… Revolusi Rusia yang feodalismenya boleh dikatakan lemah dan borjuasinya muda yang oleh perang bertahun-tahun menjadi sangat mundur, sedangkan kaum buruhnya muda, gembira , dan dididik menurut aturan Lenin. ” Pada bab kedelapan Tan Malaka menyelipkan lagi tegurannya kepada rekan separtainya agar tidak gegabah melancarkan pemberontakan atas nama revolusi dalam situasi massa yang belum sepenuhnya memiliki kesadaran baru yang revolusioner. Revolusi membutuhkan perkakas, yakni massa yang sadar dan partai revolusioner yang akan memimpin jalannya revolusi. Tan Malaka kembali menekankan kondisi alam pikiran massa yang sepenuhnya belum lepas dari takhayul dan terbelenggu feodalisme. “Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalistis yang cepat dan tidak sesuai dengan kemauan alam menyebabkan bangsa Indonesia berubah cepat cara berpikirnya. Tetapi, perubahan cara berpikir ini biasanya tertinggal dari perubahan ekonomi. Umumnya bangsa kita secara lahiriah tampak modern sesuai dengan zaman kapitalis tetapi cara berpikirnya masih kuno, masih tinggal di zaman dahulu, seperti masih menganut Mahabarata, Islam, dan berbagai macam takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat, dan lain-lain. Mereka masih terus seperti anak-anak dan berpikiran fantastis,” kata Tan Malaka. Kekhawatiran tentang revolusi prematur yang akan terlihat sebagai putch belaka juga terlontar dalam bab ini. Partai revolusioner, menurut Tan Malaka, adalah partai yang berhasil melakukan revolusi apabila ia telah berhasil pula mengerahkan jutaan kaum buruh untuk mogok dan berdemonstrasi menuntut hak ekonomi dan politik mereka, “tanpa melempar sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah”. Uraian itu semacam tantangan kepada kawan-kawan partainya untuk bekerja lebih keras menyadarkan rakyat atas situasi penindasan yang membelit mereka. Bukan menyulut pemberontakan-pemberontakan kecil yang pada akhirnya akan memicu tindakan reaksioner pemerintah kolonial untuk menumpas gerakan. Tan Malaka mencontohkan insiden Afdeling B yang terjadi di Cimareme, Garut, tahun 1919. Pertemuan Sarekat Islam di Kaliwungu yang dihadiri departemen Sarekat Islam dari Peterongan, Mlaten, dan anggota VSTP. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons). Sebagaimana tersurat dalam buku Peristiwa Cimareme Tahun 1919: Perlawanan H. Hasan Terhadap Peraturan Pembelian Padi karya Chusnul Hajati, insiden itu bermula dari protes petani atas tingginya pajak padi yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Tokoh Sarekat Islam setempat, Haji Hassan, memimpin perlawanan bersama seluruh anggota keluarga dan kerabatnya. Dia dan beberapa anggota keluarganya tewas dalam sebuah pengepungan polisi kolonial. Belakangan hari, pemerintah kolonial menemukan bukti-bukti adanya keterlibatan sel kiri (disebut afdeeling B) di tubuh Sarekat Islam Garut yang menyulut pelawanan itu. Sejumlah pemimpin ditangkap, termasuk H.O.S. Tjokroaminoto. Kegagalan perlawanan seperti yang dikemukakan oleh Tan Malaka dalam risalah ini semata untuk mendukung argumentasinya bahwa pemberontakan dengan kekerasan yang sporadis hanya akan menghasilkan kehancuran. Tugas partai revolusioner menurut Tan Malaka, mengacu kepada Lenin, haru s “ menjalankan tujuan dan pelopor ( avantgarde ) pergerakan di segala tingkatan revolusi. Pandangannya lebih jauh dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali dan, karena itu, ia menjadi ‘kepala dan jantung’ massa yang revolusioner. ” Mengapa Tan Malaka berharap PKI agar berhasil sebagai partai yang membimbing massa menuju revolusi? Karena keuletan perjuangan tidak terdapat pada organisasi lainnya sebagaimana ditunjukkannya dalam organisasi Boedi Oetomo, Indische Partij, dan Sarekat Islam. Kegagalan perjuangan melawan imperialisme Belanda telah ditunjukkan ketiga organisasi itu membawa Tan Malaka pada kesimpulan hanya PKI, dengan syarat berdisiplin sebagai partai pelopor, yang bisa menumbangkan kolonialisme Belanda. Boedi Oetomo menurutnya tak lebih organisasi yang bermimpi mendirikan “Jawa Raya” dengan “mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum....yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.” Sementara itu, Indische Partij tak ubahnya berlaku seperti partai borjuasi yang enggan berkeringat turun ke jalan. “Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan anggota N.I.P (Nationaal Indische Partij- Red. ),” tulis Tan Malaka. Sarekat Islam tidak juga menjadi tumpuan harapan karena mempersatukan rakyat melalui ikatan sentimen agama. “ Dengan melibat-libatkan agama, dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang sangat picik. Dan pada permulaannya ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar Tionghoa,” kata Tan Malaka pada bab kesepuluh membahas lemahnya Sarekat Islam sebagai organisasi rakyat. Kekuatan Sarekat Islam semakin berkurang ketika disiplin partai diberlakukan oleh Haji Agus Salim pasca peristiwa Haji Hasan di Cimareme, 1919. Anasir kiri di tubuh Sarekat Islam dipersilakan keluar dari keanggotaan. Sementara itu organisasi bernapaskan Islam seperti Muhammadiyah juga tak bisa diandalkan karena watak kompromistis dan oportunistisnya. “Golongan Muhammadiyah dengan segala kejujurannya menerima subsidi dari tangan pemerintah ‘kafir’ untuk sekolah Islam,” tulis Tan Malaka. Sementara itu golongan intelektual seperti yang terdapat di dalam organisasi De Indonesische Studieclub pimpinan Dr. Soetomo tidak kurangnya menunjukkan watak borjuasi yang kelak akan mengalami kebuntuan saat menghadapi dilema sebagaimana pernah dialami tiga partai borjuasi lainnya. Seperti pada pilihan untuk bekerja sama dengan pemerintah Belanda atau menjadi partai massa buruh yang memperjuangkan kemerdekaan seluas-luasnya? Tan Malaka juga mengkritik watak borjuis pada kalangan intelektual di organisasi ini karena pada akhirnya memisahkan mereka dari kehidupan massa buruh. Perhatian Tan Malaka pada nasib-nasib bangsa terjajah di wilayah Asia tercermin pada bab kesebelas yang mengutarakan niatnya agar rakyat jajahan di negeri Filipina dan semenanjung Malaya bergabung di bawah Federasi Republik Indonesia. Revolusi untuk menumbangkan kekuasaan imperialisme tidak terbatas pada wilayah Hindia Belanda saja. Tan Malaka menggalang solidaritas agar seluruh rakyat di Filipina yang dijajah Amerika dan rakyat semenanjung Malaya yang dikoloni Inggris bersatu mengakhiri riwayat penjajahnya. Pada bagian terakhir risalahnya, Tan Malaka menyerukan agar partai menghimpun kekuatan massa rakyat melakukan revolusi pembebasan nasional. Dengan terlebih dahulu memastikan terciptanya situasi objektif dan subjektif sebagai prasyarat revolusi. Tan menulis, “ Karena itu, wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar. ” Risalah yang ditulis secara tergesa-gesa ini akhirnya tuntas pada tahun 1926, namun terlambat disampaikan secara luas kepada seluruh kader PKI. Pemberontakan pun tetap berjalan dan menemui kegagalan. Apa yang dicemaskan Tan Malaka dalam risalah Massa Aksi ini memang terjadi. Perbedaan dalam cara menempuh revolusi ini membuat Tan Malaka akhirnya keluar dari PKI. Tapi PKI di kemudian hari punya pendapat berbeda dalam menilai pemberontakan 1926. Dalam buku Pemberontakan November 1926 yang disusun oleh Lembaga Sejarah PKI terbitan Jajasan Pembaruan, 1961, menyebutkan kendati pemberontakan gagal, “ia memberikan suatu cap yang tegas dan arah yang pasti bagi gerakan nasional selanjutnya.” Pemberontakan 1926 yang dikutuk oleh Tan Malaka sebagai hasil lamunan para pemimpin PKI itu justru harus diakui “telah memberikan arah politik bagi gerakan kemerdekaan nasional, yaitu bahwa Indonesia harus merdeka.” Setelah sempat beredar dalam bentuk cetak stensil, risalah ini kemudian dicetak dan diterbitkan beberapa kali oleh berbagai penerbit, antara lain penerbit Teplok Press (2000), Komunitas Bambu (2000), Cedi-Aliansi Press (2000) dan Narasi (2013). Artinya memang buku ini pernah beredar luas dan tidak pernah dinyatakan sebagai barang cetakan terlarang sampai hari ini. Jadi, apakah buku ini berbahaya sehingga harus jadi barang sitaan? Satu yang pasti risalah ini pernah menjadi bahan bacaan para pendiri Republik Indonesia dalam menentang kolonialisme Belanda. Apakah kolonialisme Belanda masih ada di sini? Tidak, Belanda sudah jauh…
- Rokok Kretek Rumahan Eksis di Tengah Krisis
GELOMBANG pasang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terkait dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 mulai berlangsung. Sebuah video viral menangkap suasana murung puluhan karyawan yang di-PHK di sebuah ritel besar di Depok, Jawa Barat. Di tempat lainnya, ratusan ribu orang di beragam sektor usaha dan bisnis juga telah kehilangan pekerjaannya.
- Wartawan Jadi Tentara Gurkha Dadakan
Setelah menempuh perjalanan panjang, Rosihan Anwar dan Soedjatmoko tiba di Yogyakarta. Mereka baru saja selesai meliput Konferensi Malino dari Makassar. Rencananya hasil reportase itu akan disampaikan kepada Presiden Sukarno dan wakilnya Mohammad Hatta. “Setibanya di Stasiun Tugu, Yogya, saya bergegas ke Hotel Merdeka di Jalan Malioboro, saya jijnjing kopor pakaian dan saya kepit gulungan tikar sembahyang,” tutur Rosihan dalam Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925—1950 . Pada waktu itu Rosihan adalah redaktur yang bernaung di bawah harian Merdeka, media berhaluan nasionalis di masa revolusi. Menurut Rosihan keadaan di hotel kurang terpelihara karena banyak tamu yang datang silih berganti. Beruntung Rosihan masih mendapat kamar meskipun harus berbagi dengan Charles Tambu, pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Inggris Independen . Saat itu, Charles Tambu menghindari kejaran tentara Belanda, mengungsi ke Yogya dan diperbantukan di Kementerian Penerangan. Masuk kamar hotel, Rosihan menaruh kopernya di kolong ranjang lalu beranjak mandi. Dia kemudian mempersiapkan diri bertemu Sukarno pada pukul 11.00. Soal protokol tiada masalah. Bung Karno cukup terbuka dan gampang dihubungi. Maklum saja, masih dalam suasana zaman berjuang. Menjelang pukul 11.00, Rosihan dan Soedjatmoko sudah berada di gedung kepresidenan. Bung Karno dan Bung Hatta menyambut dengan ramah. Mereka menanyakan bagaimana jalannya Konferensi Malino. Soedjatmoko – pemimpin redaksi majalah Het Inzicht terbitan Kementerian Penerangan melaporkan, Konferensi Malino diselenggarakan Hubertus van Mook. Menurut Soedjatmoko, van Mook hendak menyudutkan Republik Indonesia lewat konferensi yang melibatkan orang Indonesia bagian Timur sebagai kaki tangan. Berita baiknya, tidak semua rakyat Indonesia Timur berpihak kepada Belanda. Malahan dalam Konferensi Malino ada tokoh-tokoh daerah yang mendukung Republik. Hal inilah yang disampaikan Rosihan Anwar. Rosihan menyebutkan delegasi Sulawesi Selatan Tadjuddin Noor adalah seorang Republiken. Begitu pula dengan Raja Suppa Muda, putra Raja Bone Andi Mapanyuki yang diinternir oleh Belanda di Toraja. Raja Suppa Muda bahkan menitipkan dua helai tikar sembahyang dan sarung bugis kepada Rosihan untuk diserahkan kepada Sukarno dan Hatta. Itulah sebagai simbol dukungan rakyat Sulawesi Selatan kepada pemerintah Indonesia. “Tikar sembahyang, yang saya kepit mulai dari Makassar, saya bawa ke Jakarta, saya taruh di rak kereta api menuju Yogya, sudah sampai di tangan alamatnya,” ujar Rosihan. Di kereta api, Rosihan sempat memakai tikar sembahyang itu sebagai alas tidur. Selesai menunaikan tugasnya, Rosihan kembali ke hotel. Alangkah terkejut dirinya menyaksikan koper yang disimpan sudah tidak ada lagi di tempat. Ditanyakan kepada pelayan hotel sia-sia belaka. Kasim Mansur, kawan Rosihan yang juga tinggal di hotel itu ikut mencari namun benda yang dicari tidak ketemu. “Rupanya bukan saja sekali merdeka, tetap merdeka, tetapi sekali hilang tetap hilang,” demikian Rosihan mengingat peritstiwa apes yang menimpa dirinya. Semua pakaian Rosihan ada di koper itu. Rosihan pun harus bertahan dengan pakaian yang melekat di badan. Lagi pula dia tidak punya uang untuk beli pakaian salin. Dengan keadaan demikian, Rosihan pulang ke Jakarta. Nasib mujur masih menaungi Rosihan. Di Jakarta, Rosihan punya kenalan seorang tentara British Indian Army (BIA) dari unit Gurkha bernama Kapten Nirmal Sen Gupta. Sang perwira Gurkha yang bekerja di stasiun radio Sekutu di Gambir Barat ini mendengar kejadian sial yang dialami Rosihan. Kapten Gupta pun berbaik hati memberikan sepasang pakaian: seragam serdadu Gurkha. Walaupun agak gombrong, apa boleh buat. Tekstil langka dan mahal pada saat itu. Jadilah Rosihan tentara Gurkha dadakan. Sejak itu, Rosihan biasa memakai uniform hijau tentara Sekutu. Orang mungkin akan menyangka Rosihan bagian dari tentara Sekutu, padahal dirinya adalah wartawan Republiken di Jakarta. “Untung, tidak ada yang bertanya mengapa saya berpakaian demikikian,” kenang Rosihan, “Sebab kalau mesti jawab, niscaya kudu mulai dengan kisah sehelai tikar sembahyang.”
- Nas yang Nahas
KETIKA Presiden Sukarno bingung mencari kandidat yang pas untuk mengisi jabatan KSAD yang –sementara dijabat Pj. KSAD Kolonel Zulkifli Lubis– kosong, Gatot Subroto menyarankannya agar memilih kembali AH Nasution bila presiden menginginkan sosok yang paling sesuai dengan keinginannya untuk memimpin Angkatan Darat. Presiden akhirnya menerima saran Gatot. Saran Gatot tentu berangkat dari pertimbangan-pertimbangan rasional. Namun di luar itu, Gatot mengenal betul karakter orang yang dicalonkannya. Gatot dan Nas, sapaan akrab AH Nasution, telah menjalin persahabatan sejak lama meski usia keduanya berbeda jauh. Beberapa pengalaman hubungan kedua jenderal mantan KNIL itu di masa Perang Kemerdekaan dituliskan Nas dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas . Sewaktu Nas menjadi panglima Divisi Siliwangi dan Gatot panglima Divisi Sunan Gunung Jati, misalnya, keduanya sering bertemu. “Kolonel Gatot Subroto, panglima Divisi II, sehabis menginspeksi anak buahnya sering mampir di pos komando saya, mengolok dengan kata-kata, ‘Kamu terlalu zakelijk , kamu tak tahu kesenangan’,” tulis Nas dalam memoarnya. Nas biasanya membalas celetukan itu dengan celetukan pula. Suatu ketika, Gatot yang mengunjungi pos komando Nas mendapati Nas dan bawahannya sedang sarapan. Melihat menu sarapan mereka berupa jagung tua yang direbus dengan gula, Gatot enggan ikut sarapan dan melontarkan kalimat yang menyulut tawa hadirin. “Gigi-gigi saya sudah tua, tidak bisa mengunyah jagung setua begitu. Maka itu saya cari-cari makan di luar saja!” kata Gatot, dikutip Nas. Namun, persahabatan Nas dan Gatot tak melulu berisi canda-tawa. Usai Perjanjian Renville, Gatot pernah mencurigai Nas. “Rekan Kolonel Gatot Subroto mendapat laporan-laporan yang bersifat tuduhan bahwa Jenderal Mayor Nasution adalah seorang agen NICA. Laporan-laporan itu membanjir sedemikian banyaknya sehingga ia sendiri mulai bimbang mengenai diri saya,” kata Nas mengenang. Psywar tentang mata-mata musuh begitu masif pada masa itu. Biasanya yang menjadi korban adalah orang-orang yang punya keterkaitan latar belakang, entah pendidikan atau jabatan, dengan Belanda, atau orang-orang yang secara fisik mirip indo. Rohmah Soemohardjo, istri Jenderal Oerip Soemohardjo, salah satu yang mengalaminya. Ia dicuriga laskar sebagai mata-mata Belanda karena punya hubungan akrab dengan orang-orang Belanda dan kemampuan bahasa Indonesianya buruk. Akibat kecurigaan itu, Rohmah selama suatu waktu pernah mengalami ancaman pembunuhan setiap hari dan rumahnya pernah diperampok. Tuduhan sebagai mata-mata NICA yang berlanjut dengan ancaman penculikan juga menimpa KSAU Komodor Suryadarma yang punya tampilan fisik seperti bule dan latar belakang sebagai navigator di AU KNIL. “Pengumuman Belanda bahwa Komodor Suriadarma ‘diberhentikan dengan resmi dari dinas militer KNIL’ merupakan bahan provokasi yang luas pula, sehingga salah seorang anggota delegasi kita sudah benar-benar menganggap dia berada di pihak Belanda,” tulis Nasution. Tuduhan itu amat mengganggu Suryadarma. “Soeriadi sering merasa kecewa, sakit hati, kalau ia mendengar isu atau desas-desus bahwa ia seorang NICA karena ia bekas KNIL,” kata istri Suryadarma, Utami Suryadarma, dalam memoar berjudul Saya, Soeriadi, dan Tanah Air . “Mungkin juga desas-desus itu berasal dari pihak-pihak kita sendiri yang merasa iri.” Karena tuduhan yang amat mengganggu itulah Suryadarma akhirnya suatu hari membuka tantangan. “Ia pernah mengumbar secara terbuka di hadapan banyak perwira dan prajurit dengan berkata, bahwa silahkan siapa saja yang berani menculik dia, akan dihadapi dengan pistolnya yang dapat dipakainya dengan tangan kiri dan kanan. Dan seketika itu juga, ia mendemonstrasikan kelihaian ini. Sejak itu hilanglah suara-suara kelompok yang mau menculiknya,” sambung Utami. Berbeda dari Suryadarma yang merespon tuduhannya dengan cara koboi, Nas justru lebih banyak diam merespon tuduhan miring yang dialamatkan kepadanya. Kecurigaan Gatot terhadapnya hilang setelah Gatot mengutarakannya kepada Wapres Moh. Hatta dan mendapat penjelasan yang meyakinkannya. Namun ketika bertemu Presiden Sukarno, Nas akhirnya mengutarakan juga kegelisahannya. Nahas bagi Nas, alih-alih mendapatkan respon serius presiden untuk membahas solusinya, dia justru mendapati presiden bersikap seolah tak peduli sambil bercanda. “Waktu saya singgung hal itu di depan Presiden, ujar beliau dengan tertawa adalah sekadar: ‘Ah, mukamu juga seperti peranakan Indo’,” kata Sukarno dikutip Nasution.*
- Mengenang Hebatnya Dolores O’Riordan di Panggung
Vokalis band The Cranberries asal Irlandia, Dolores O’Riordan, ditemukan meninggal dunia di bak mandi kamarnya, di Hotel Park Land Hilton, London, 15 Januari 2018. Industri musik dunia gempar. Spekulasi bermunculan. Apakah Dolores bunuh diri? Catatan dokter menunjukkan kematian Dolores bukan bunuh diri, melainkan kecelakaan setelah menenggak alkohol. “Ini kecelakaan yang tragis,” ujar dokter Shirley Radclife dilansir dari washingtonpost.com . Dolores saat tampil di Jakarta pada 2011. (Fernando Randy/Historia). Semasa hayatnya, Dolores tampil cemerlang di blantika musik. Dia memulai kiprahnya bersama The Cranberries pada 1990. Grup ini tadinya bernama The Cranberry Saw Us dengan personel Niall Quinn (vokalis), kakak beradik Noel Hogan (gitaris) dan Mike Hogan (bassis), dan Fergar Lawler (penabuh perkusi). Begitu Niall Quinn keluar karena alasan sudah tidak ada kecocokan di antara mereka lagi, Dolores masuk menggantikannya. Kualitas vokal Dolores memikat Mike dan Noel. Mereka akhirnya merekrut Dolores dan mengganti nama grupnya jadi The Cranberries. Bergabungnya Dolores membawa peruntungan. Lagu-lagu The Cranberries bertengger di puncak tangga lagu Irlandia, Eropa Timur, dan Amerika Utara. Hits mereka antara lain "Ode To My Family", "Linger", "Salvation", "Dreams" dan "Zombie". Album-album mereka juga laris manis tanjung kimpul. Dolores dengan gitar andalanya saat membawakan lagu-lagu The Cranberries. (Fernando Randy/Historia). Dolores menghibur ribuan fansnya di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Dolores bersama The Cranberries memberikan warna baru kepada blantika musik tahun 1990. Saat itu aliran Grunge Music lagi jaya-jayanya dengan grup Nirvana sebagai kepalanya. Lalu diikuti oleh Soundgarden dan Pearl Jam. Keberhasilan penjualan album membawa The Cranberries tur keliling dunia. Hingga akhirnya mereka sampai pada titik jenuh dalam bermusik dan menyatakan vakum. The Cranberries kemudian bereuni. Tempat yang dipilihnya istimewa: Indonesia. Mereka tampil dalam acara "Java Rockin Land" di Ancol, Jakarta, pada 2011. The Cranberries mementaskan hampir semua hits -nya malam itu. Mereka sadar penggemarnya rindu setengah mampus. The Cranberries telah lama menghilang. Obat paling mujarab untuk membayar tuntas kerinduan para penggemar adalah dengan memainkan hits yang ada. Suara unik nan khas adalah salah satu andalan Dolores dalam bernyanyi. (Fernando Randy/Historia). Dolores bernyanyi seolah energinya tak akan habis. Vokalis kelahiran 6 September 1971 masih atraktif serupa pemudi usia 20-an. Dia fasih memainkan gitar dan bergonta-ganti pakaian. Dan yang membuat penggemarnya makin kesengsem, Dolores tak pelit menyapa. Malam itu benar-benar milik The Cranberries, Dolores, dan ribuan penggemarnya. Aksi bersemangat dari Dolores. (Fernando Randy/Historia). Total seluruh hits dibawakan oleh The Cranbberies di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Ribuan penggemar yang menyaksikan aksi panggung The Cranbberies. (Fernando Randy/Historia). Kini setelah hampir dua tahun kepergian Dolores, The Cranberries mengeluarkan album baru sebagai penghormatan untuk sang vokalis. Album itu memuat 11 lagu yang sempat mereka rekam saat masih bersama Dolores. Dimulai dari singel berjudul "All Over Now" dan berakhir pada "In The End" yang menjadi tajuk album mereka. Tanpa lelah Dolores dan The Cranberries tampil di hadapan para penggemar mereka. (Fernando Randy/Historia). Album penghormatan itu ternyata masuk nominasi untuk kategori album rock terbaik dalam ajang Grammy Awards 2020. Dolores boleh jadi sudah bernyanyi di surga sana. Tapi sisa-sisa suaranya masih nyantol kuat di dunia sini. Selamat jalan, Dolores. Usai sudah penampilan The Cranbberies dan Dolores di Jakarta. (Fernando Randy/Historia).
- Penerjunan Tenaga Medis pada Wabah di Hindia Belanda
UNTUK menangani pandemi Covid-19, Pemerintah Kota Jakarta Timur akan mengerahkan 2.500 tenaga medis muda. Pemilihan tenaga medis muda ini menurut Ketua Tim Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Timur Tedy Harto, karena mereka memiliki imun tubuh lebih baik daripada dokter senior. Tenaga medis muda tersebut rencananya disalurkan secara bergelombang ke sejumlah tempat layanan kesehatan di Jakarta Timur. Pada tahap pertama, sebanyak 2.000 hingga 2.500 dokter muda akan dikirim ke lapangan. "Tim medis yang akan dikerahkan sebelumnya kami berikan pembekalan dengan matang dan kami seleksi yang muda-muda," ujar Tedy sebagaimana diberitakan tempo.co, Kamis, 9 April 2020. Pengerahan tenaga medis dalam skala besar juga pernah dilakukan kala wabah cacar melanda Hindia Belanda pada abad ke-19. Pemerintah kolonial mengirimkan manstri-mantri cacar ke desa-desa agar vaksinasi atau pencacaran bisa dilakukan secara menyeluruh. Vaksin cacar sendiri baru ditemukan pada 1798 oleh dokter Inggris Edward Jenner. Setelah vaksin temuan Jenner bisa diproduksi massal di Belanda beberapa tahun kemudian, pemerintah Belanda mengirimkannya ke Hindia Belanda. Namun sayang, vaksin tersebut tidak efektif dipakai di koloninya. Dua faktor besar yang mempengaruhi ialah cuaca dan lama waktu kirim. Lamanya pengiriman lewat kapal membuat vaksin jadi rusak karena cuaca laut yang panas. Belum lagi lama waktu pengiriman mengurangi efektivitas vaksin cacar dari Inggris. Untuk menanggulanginya, pemerintah akhirnya memproduksi sendiri vaksin di Hindia Belanda. Begitu ketersediaan vaksin dipastikan cukup untuk mencacar penduduk pribumi (khususnya anak-anak), mantri-mantri dikerahkan ke desa-desa. Para mantri yang kemudian disebut mantri cacar itu sebelumnya telah dilatih oleh para dokter Eropa di rumahsakit di tiga kota besar di Jawa. Namun, pelatihan untuk para vaksinator umumnya hanya difokuskan pada pemberian suntikan dan pembelajaran untuk membedakan fitur-fitur vaksin. Teori kesehatan tidak diajarkan pada mereka. Dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa”, Baha’udin menyebut kala Thomas Raffles menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda, vaksinasi cacar dilakukan secara besar-besaran. Petugas vaksin tak hanya ditempatkan di kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Batavia. Penempatan mereka mencapai Jepara, Pasuruan, Bangil, dan Probolinggo. Sepanjang penelusuran Historia, tidak ditemukan angka pasti jumlah mantri cacar yang diterjunkan pemerintah kolonial. Yang pasti, jumlah petugas medis ditambah mengingat luasnya cakupan wilayah pencacaran. Pengerahan mantri cacar menurun pada 1850 semasa kepemimpinan pengawas vaksin A.E. Wazklewicz. Penyebabnya, para penduduk pribumi diminta mengantar anak mereka ke pusat vaksin yang jaraknya cukup jauh. Beberapa penolakan tentu terjadi mengingat pencacaran jadi hal baru bagi masyarakat pribumi. Untuk mengurangi penolakan, pemerintah menggunakan bantuan penghulu (pemimpin agama Islam) sebagai asisten. Liesbeth Hesselink mengisahkan dalam Healers on the Colonial Market , enam petugas vaksin perempuan di Jakarta sekitar tahun 1850 dipekerjakan lantaran perempuan pribumi dan anak perempuan yang sudah menikah tidak ingin divaksinasi oleh laki-laki. Vaksinator perempuan sebelumnya sudah dilatih dengan baik karena pekerjaan mereka sulit untuk dipantau. Selain itu, mantri cacar juga mendampingi dokter dalam tugas dinas mobil yang keliling mengantar petugas medis untuk berkujung ke desa-desa. Ada pula mobil yang dirancang untuk melakukan penyuluhan keliling. Pada penanganan kasus malaria, pelatihan mantri malaria dilakukan untuk menambah jumlah tenaga medis. Dosen IAIN Surakarta Martina Safitry menulis dalam tesisnya di UGM, “Dukun dan Mantri Pes”, kursus pertama diadakan di Batavia pada 1926. Sebanyak 134 orang lulus setahun berikutnya. Para mantri malaria itu ditugaskan menangkap dan mengklasifikasikan nyamuk juga larva di sekitar tempat terjangkit. Mereka juga diminta untuk membuat dan memeriksa sampel darah penderita, mengawasi pembuatan saluran air, dan sebagai agen penyuluh penanggulangan malaria. Sementara, pada penanganan penyakit pes, pemerintah juga menerjunkan mantri pes untuk mengatasi masalah kesehatan ini. Mereka merupakan para pemuda bumiputra yang sebelumnya dilatih menjadi mantri. Tugas awal mereka ialah memberi penerangan tentang penyakit pes hingga ke pelosok Jawa. “Mantri pes selain bantu dokter Jawa dan dokter Eropa dia juga bertugas untuk awasi perbaikan rumah,” kata Martina kala dihubungi Historia. Pada 1914, muncul usulan untuk menggandeng Palang Merah Internasional untuk mengendalikan wabah pes. Para perawat Eropa didatangkan ke Hindia Belanda untuk melatih perempuan pribumi tentang perawatan kesehatan dan penanggaulanagan pes. Selain itu, jumlah mantri pes diperbanyak dari sebelumnya yang hanya satu mantri polisi dan satu mantri pes untuk satu distrik. “Pada 1915 berdiri satu dinas sendiri, ada tim peneliti untuk mencari cara menyambuhkan pes, dan penelusuran pasien terjangkit berserta keluarganya,” kata Martina. Setelah itu, jumlah orang yang dimasukkan ke barak diseleksi. Mulanya, penduduk yang berjarak 100 meter dari rumah penderita pes wajib dikarantina, tak jarang malah satu desa dikarantina di barak isolasi. Sejak ada proses seleksi, hanya orang-orang yang pernah kontak dengan penderita atau orang yang dianggap berpotensi tertularlah yang diisolasi. Namun, terlepas dari semua tindakan pencegahan pada wabah pes, kampanye skala besar juga menimbulkan kecurigaan pribumi. Penduduk yang masih awam menyebut prosedur desinfeksi sebagai sihir jahat yang dilakukan oleh Belanda. Di beberapa tempat, biopsi limpa –untuk menentukan penyebab kematian apakah pes atau bukan– mendapat penolakan. Bahkan, kata Liesbeth, ada seorang mantri dirajam karena keawaman penduduk pada prosedur biopsi tersebut.*
- Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang
Tahun 1918. Perang Dunia I berakhir. Saling adu kekuatan negara-negara besar ini menyisakan dua kubu: pemenang dan pecundang. Satu negara di Asia yang terlibat, Jepang, ada di antara para pemenang. Kejadian itu menjadi hajat pertama militer mereka di dunia internasional, pasca kemenangan saat berperang dengan Rusia. Kemenangan di PD I begitu membekas di dalam diri prajurit-prajurit Jepang. Sebagai negara yang sedang menarget posisi nomor wahid di wilayah Asia-Pasifik, kuasa atas PD I merupakan hadiah yang amat besar. Peristiwa itu menjadi ajang unjuk gigi Jepang di hadapan negara Barat. Juga memberi kesempatan bagi negeri para samurai itu mengembangkan kekuatan militernya. Demi mewujudkan ambisi menjadi negara terkuat di Asia, Jepang berani menggunakan segala cara, termasuk menepikan sisi kemanusiaan mereka. Salah satunya dengan membentuk unit penelitian senjata biologis: Unit Manchuria No. 731 atau Unit 731. Sebuah kesatuan di dalam militer kekaisaran yang disiapkan untuk membuat senjata pemusnah dan menjadi pendukung kekuatan tempur utama. Unit itu turut menyumbang peran menghantarkan Jepang ke panggung utama PD II di Asia Pasifik pada 1939 sampai 1945.. Unit 731 merupakan satu dari alat kejahatan Jepang selama PD II. Korban percobaan unit biologis ini sangat banyak. Terparah terjadi di negara tetangganya, Cina. Sejak keduanya terlibat perang, kekejaman Jepang di negeri tirai bambu itu terus berlangsung (ingat Insiden Nanking pada 1937). Perbudakan, pembantaian, eksploitasi budak seks, menghiasi keberadaan militer Jepang di Cina. Percobaan senjata, beramunisi makhluk-makhluk mikrobiologis, terhadap manusia oleh Unit 731 mungkin menjadi yang terparah. “Anehnya, rakyat Jepang tidak menerima (menghindari) kenyataan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin militer mereka sebelum dan selama PD II. Hampir tidak ada masyarakat Jepang yang menyinggung persoalan itu,” tulis Sheldon H. Harris dalam Factories of Death: Japanese Biological Warfare 1932-1945 and the American Cover Up . Auschwitz versi Jepang Kendali Unit 731 ada di Harbin, timur laut Cina, di bawah pimpinan Shiro Ishii. Pasukan militer Kekaisaran Jepang di Manchuria bertanggung jawab penuh atas penelitian tersebut. Demi menjaga kerahasiaan penelitian yang dilakukan unit itu, pemerintah Jepang melakukan penyamaran. Dipilihlah lembaga pencegahan penyakit dan pemurnian air bagi kepentingan militer (Epidemic Prevention and Water Purification Departement of the Kuantung Army). Selain di Harbin, unit lain juga dibangun di Changchun. Kali ini pemerintah Jepang menyamarkannya sebagai lembaga pencegah penyakit hewan. Kompleks Unit 731 dilihat dari udara (Wikimedia Commons) Berdasar penelitian yang dilakukan sejarawan Hal Gold, aktifitas utama Unit 731 adalah melakukan eksperimen medis terhadap manusia. Sejumlah praktik medis terlarang; pemberian virus dan bakteri; serta obat-obatan diujicobakan kepada korban-korbannya. Para peneliti di sini dijaga dengan sangat ketat. Mereka tidak berhubungan langsung dengan pertempuran secara fisik. Dalam bukunya Japan’s Infamous Unit 731: Firsthand Accounts of Japan’s Wartime Human Experimentation Program , Hal Gold menyebut sampel manusia yang diambil oleh pasukan Jepang untuk kebutuhan Unit 731 kebanyakan berasal dari tahanan dan korban perang saat Jepang menginvasi Manchuria pada September 1931, serta perang besar di tahun 1937. “Pria, wanita, dan anak-anak dari berbagai daerah di bawa untuk kemudian digunakan sebagai bahan eksperimen, bahkan bayi-bayi yang lahir di dalam tahanan Unit 731 tampaknya juga tidak selamat,” ungkap Hal Gold. Segala aktifitas penelitian Unit 731 dilakukan di lahan seluas kurang lebih tiga hektar. Dengan area yang luas tersebut, Unit 731 membagi satuan kerjanya ke dalam divisi yang lebih kecil. Masing-masing divisi diberi jatah tenaga ahli, ratusan objek eksperimen, serta berbagai fasilitas pendukung. Totalnya ada delapan: Divisi 1 menjadi tempat penelitian berbagai virus dan bakteri (pes, kolera, antrax, tipus, dan tuberculosis; divisi 2 menjadi tempat pembuatan senjata sebagai media penyebar mikrobiologis; divisi 3 dan divisi 4 mengembangkan senjata kimia; divisi 5 tempat pelatihan; sementara divisi 6,7,8 digunakan untuk kepentingan administrasi. Selama melakukan penelitian, Hal Gold berhasil mengumpulkan kesaksian dari orang-orang yang terlibat di dalam Unit 731. Kisah yang paling terkenal dari kamp tersebut adalah kekejaman para dokter yang melakukan pembedahan kepada para korban dalam kondisi sadar dan tanpa obat pereda nyeri. Dapat dibayangkan bagaimana penderitaan para korban ketika itu. Kisah lain yang tidak kalah mengerikan adalah perjuangan mereka yang disuntikan bakteri dan virus ke dalam tubuhnya. Para dokter mencatat setiap reaksi yang dikeluarkan tubuh korbannya. Pada proses ini kemungkinan selamat sangat kecil. Umumnya para korban dibiarkan hingga tewas. Bekas bangunan Unit 731 di Harbin yang bisa dikunjungi (Wikimedia Commons) Dapat dipastikan, kata Hal Gold, para korban yang telah masuk ruang percobaan tidak akan pernah keluar hidup-hidup. Kalaupun dapat bertahan, tidak lama mereka pun akan meninggal di tempat penampungan. Kekejian percobaan Unit 731 milik Jepang ini mengingatkan para sejarawan kepada Kamp Auschwitz milik NAZI Jerman. Sehingga banyak yang menyebutnya sebagai “Auschwitz of the East”.
- Ketika Bung Sjahrir Pergi
MINGGU pagi, 10 April 1966. Dalam suasana Paskah, Jakarta yang baru saja tenang dari demonstrasi-demontrasi mahasiswa tetiba terhenyak. Antara menyiarkan sebuah berita duka: Sutan Sjahrir meninggal di Zurich (Swis). Kantor Berita milik pemerintah Republik Indonesia (RI) itu mengutip keterangan dari seorang jurnalis Reuters (Kantor Berita Kerajaan Inggris). “ Reuters sendiri mendapat berita itu dari seorang petugas rumah sakit tempat Sjahrir dirawat,” ungkap wartawan senior, Rosihan Anwar dalam Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir. Tokoh pejuang sekaligus Perdana Menteri Republik Indonesia pertama itu pergi meninggalkan seorang istri, Siti Wahjuni Poppy Saleh (yang dinikahinya pada 1951) dan putra-putri yang masih kecil: Krya Arsjah alias Buyung (9) dan Siti Rabyah Parvati alias Upik (5). Tiga tahun sebelumnya. Presiden Sukarno lolos dari upaya pembunuhan di Jalan Cendrawasih, Makassar. Tuduhan langsung dilontarkan kepada orang-orang Republik Persatuan Indonesia (RPI), yang merupakan terusan dari pemberontakan Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia (PRRI). Tak lama kemudian Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Majelis Sjura Moeslimin Indonesia (Masjoemi), dua partai politik yang sebagian anggotanya terlibat dalam RPI, dibubarkan. Pembubaran itu diikuti aksi penangkapan para tokoh PSI dan Masjoemi. “Didesas-desuskan bahwa sesuatu menunjuk ke arah ' Bali connection ',” ungkap Rudolf Mrazek dalam Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia . “ Bali connection ” merupakan istilah Soebandrio, Kepala Badan Poesat Intelijen (BPI) untuk sebuah kelompok rahasia yang merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Lebih jauh tuduhan kemudian mengarah kepada pimpinan-pimpinan PSI dan Majsoemi, termasuk Sutan Sjahrir. Sukarno sendiri nampaknya percaya terhadap informasi dari BPI tersebut. Itu dikatakan sang presiden dalam otobiografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang disusun oleh penulis Amerika Serikat, Cindy Adams. “Aku dapat memahami bila ada yang tidak puas (kemudian) berusaha untuk membunuhku. Oleh karena itu, aku juga mengerti bahwa aku harus membalas dan berusaha mendapatkan mereka. Beberapa waktu yang lalu, Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan.” Kawan lama Sukarno dan Sjahrir, Mohammad Hatta, sempat meyakinkan sang presiden bahwa kepercayaannya itu adalah salah. Lewat sepucuk surat dia mengatakan kepada Bung Karno bahwa meskipun Sjahrir tidak segan melakukan oposisi yang keras dalam berpolitik seperti zaman pergerakan, namun untuk mengikuti cara teror, Hatta menegaskan ketidakpercayaannya. “Sjahrir dan lainnya itu secara prinsip menentang segala macam teror dalam politik karena bertentangan dengan sosialisme dan perikemanusiaan,” ujar Hatta seperti dikutip Rosihan Anwar. Tapi nampaknya Bung Karno lebih mempercayai penjelasan kepala intelnya dibandingkan kawan lamanya itu. Jakarta, 16 Januari 1962. Sekira pukul 04.00. Beberapa petugas dari Corps Polisi Militer (CPM) menggeruduk rumah Sjahrir di Jalan H.O.S. Cokroaminoto No. 61. Pagi itu juga, dia diambil dan ditahan di mess CPM, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Tiga hari kemudian Sjahrir bersama tahanan-tahanan lainnya dipindahkan ke wilayah selatan Jakarta (Jalan Daha, Kebayoran Baru). Tepat tiga bulan setelah penangkapannya, dia dipindahkan lagi. Kali ini lebih jauh: ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun. Menurut Rosihan Anwar, di Madiun pada 16 November tekanan darah tinggi Sjahrir kembali kambuh. Dia kemudian dibawa ke RSPAD Jakarta. Setelah delapan bulan dirawat dan dianggap sembuh, Sjahrir kembali dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Keagungan, Jakarta. “Di sinilah kondisi kesehatannya terus mundur karena tak ada perawatan dokter yang teratur,” ujar Rosihan. Dalam situasi yang sulit seperti itu, tetiba pada 9 Februari 1965, Sjahrir dipindahkan ke RTM di Jalan Budi Utomo, Jakarta. Padahal, menurut Rosihan, RTM Budi Utomo sangatlah tidak layak untuk Sjahrir mengingat tempat itu merupakan penjara tua yang tidak memenuhi standarisasi kesehatan yang layak. Terlebih di sana, Sjahrir ditempatkan pada sebuah kamar yang lembab (persis di sebelah kamar mandi/toilet). “Dan selama hari-hari pertama di sana, kiriman makanan dietnya dari rumah tidak boleh masuk sama sekali,” kenang Rosihan. Akibat berbagai faktor tersebut, pada 22 Februari 1965, Sjahrir mengalami stroke pertamanya di RTM Budi Utomo. Beberapa waktu kemudian, dia mengalami stroke keduanya saat berada di kamar mandi. Kawan-kawan sepenjaranya sudah melakukan protes agar Sjahrir cepat dibawa ke rumah sakit. Namun Si Bung memilih bertahan. “Biar dulu, biasanya setelah setengah menit juga akan berlalu,” katanya. Kendati sempat reda, namun beberapa jam kemudian seorang prajurit berteriak minta tolong karena melihat Sjahrir kembali roboh. Semua kawan-kawannya mengupayakan agar dia cepat ditolong oleh seorang dokter. Namun karena itu memerlukan izin khusus dari Jaksa Agung dan saat diupayakan tak jua tiba izinnya, pertolongan untuk Sjahrir menjadi tertunda. “Barulah keesokan harinya dengan susah payah Bung Sjahrir dapat diangkut ke RSPAD,” ujar Rosihan. Siang itu, Hasjim Ning bergegas menemui Presiden Sukarno. Pengusaha nasional yang dikenal dekat dengan Hatta, Sjahrir dan Sukarno sendiri itu sebelumnya mendapat berita: Sjahrir stroke dan sedang tergolek di RSPAD. Karena dikabari bahwa Sjahrir tidak bisa ditangani oleh dokter dalam negeri, maka satu-satunya jalan dia harus berobat ke luar negeri. Persoalannya, izin untuk ke sana harus langsung dapat dari presiden. “Bapak, Bung Sjahrir sudah demikianparah sakitnya. Kalau tidak berobat ke luar negeri, tak lama lagi ia akan mati,” ujar Hasjim begitu berhadapan dengan Bung Karno. Alih-alih merasa tersentuh, Presiden Sukarno malah memperlihatkan kejengkelannya dengan permohonan itu. “Mengapa kamu ribut-ribut tentang Sjahrir?” katanya dalam nada tidak suka. “Aku banyak berutang budi kepadanya,” jawab Hasjim. “Kamu. Orangnya sendiri tidak minta.” “Aku yang minta.” “Kamu bukan saudaranya. Kamu tidak siapa-siapanya,” jawab Sukarno meninggi. Dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang ya disusun oleh A.A. Navis, Hasjim menyatakan keputusasaannya atas jawaban Sukarno. Tapi muncul ide untuk menghubungi Poppy Sjahrir agar bicara langsung kepada sang presiden. Namun sebelum itu dilakukan, rupanya Bung Karno berubah pikiran. Sejarah mencatat, dia kemudian memberikan izin kepada Sjahrir untuk berobat ke luar negeri. “Hanya di surat yang mengizinkan Sjahrir meninggalkan negeri, Sukarno dilaporkan menambah syarat: Tidak ke Negeri Belanda,” demikian penulis Mrazek mengungkapkan. Maka dipilihlah Swiss sebagai tujuan berobat. Salah satu alasannya karena Poppy menguasai sedikit bahasa Jerman (bahasa yang banyak digunakan di Swiss). Mereka bertolak dari Bandara Kemayoran pada 25 Juli 1965. Tetapi kepergian ke Swiss ternyata tidak memberikan perubahan yang berarti. Setelah sembilan bulan bergelut dengan rasa sakit dan kerinduan akan tanah air, Bung Kecil akhirnya pergi untuk selama-lamanya pada 9 April 1966.*
- Pembatasan Sosial dan Isolasi Diri dalam Lukisan
SIAPAPUN Anda, yang berada di epicenter pandemi virus corona (SARS-Cov-2) diimbau keras untuk membatasi diri dari aktivitas sosial ( physicaland social distancing ). Isolasi diri jika tak punya keperluan penting ke luar rumah. Demikianlah inti pesan pemerintah setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di ibukota per Jumat (10/4/2020). Imbauan, bahkan peringatan keras senada juga digaungkan sejumlah negara yang melakoni lockdown dengan tujuan memutus mata rantai penyebaran virus corona . Intinya, setiap orang diimbau untuk tetap berada di rumah. Tentu kebosanan datang. Yang biasanya sering kelayapan entah untuk bekerja atau nongkrong, kini terpaksa harus anteng di rumah. Pasti ada banyak di antara kita yang hanya bisa menatap kosong ke arah luar dari jendela rumah, kangen akan dunia di luar rumah, dan mengharap pandemi virus corona ini segera berlalu. Percaya atau tidak, kondisi semacam itu pernah dilukiskan Edward Hopper dalam beberapa karyanya di era 1920-an hingga 1950-an. “Semua merasa sendiri dan kesepian namun berada dalam kondisi yang sama. Beberapa orang mengatakan sekarang kita hidup di dalam lukisan Edward Hopper. Tak peduli lukisan yang mana,” ungkap kritikus seni Inggris Jonathan Jones dalam ulasannya, “We Are All Edward Hopper Paintings Now” yang dimuat The Guardian , 27 Maret 2020. Edward Hopper dikenal sebagai pelukis realis asal Amerika Serikat kelahiran New York, 22 Juli 1882. Ia acap melahirkan karya-karya tentang “sikon” urban dan kehidupan di pinggiran kota, hingga akhir hayatnya pada 15 Mei 1967. Situasi Serupa dalam Empat Karya Meski semasa hidupnya ia tak pernah terimbas pandemi seperti yang terjadi saat ini, sejumlah hasil karyanya begitu intim dan visioner yang nyaris merefleksikan kondisi yang dialami berjuta-juta manusia yang terdampak virus corona zaman kiwari. Dalam lukisan berjudul Automat yang –dibuat dengan cat minyak di atas kanvas berukuran 71,4 cm x 91,4 cm– dikreasi Hopper tahun 1927, misalnya, sang pelukis menggambarkan seorang wanita dengan pakaian cukup mewah terduduk sendirian di sebuah automat di malam hari. Automat adalah semacam restoran cepat saji yang makanannya didapat konsumen lewat mesin makanan otomatis. Lukisan "Automat" yang dibuat Edward Hopper tahun 1927 (Foto: edwardhopper.net ) Diungkapkan Wieland Schmied dalam Edward Hopper: Portraits of America , model wanita dalam lukisan Automat tak lain adalah istri sang pelukis, Josephine Verstille Nivison Hopper. Hopper ingin mendeskripsikan wanita tersebut tengah diterpa kesepian yang amat sangat. Selain seorang diri, nuansa kesepian dihadirkan dari automat yang tak seramai biasanya gegara depresi ekonomi sejak awal abad ke-20. “Sang wanita menatap cangkir kopinya seolah-olah hanya secangkir kopi itu yang ia miliki di saat itu,” papar Schmied. Kondisi itu “11-12” dengan yang terjadi saat ini meski penyebabnya berbeda. Lukisan Automat lantas dijadikan gambar sampul majalah Time edisi 28 Agustus 1995 yang mengulas tentang depresi ekonomi di abad ke-20 itu. Adapun lukisan aslinya saat ini menjadi koleksi Des Moines Art Center, Iowa, Amerika Serikat. Beralih ke era 1940-an, ada lukisan Nighthawks yang dibuat Hopper pada 21 Januari 1942. Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 84,1 cm x 152,4 cm itu menggambarkan suasana malam di sebuah restoran sederhana dengan seorang pelayan di belakang meja counter dan tiga konsumennya, ditambah deskripsi sisi luar restoran nan gelap. Lukisan "Nighthawks" yang disebut sebagai salah satu karya terbaik Edward Hopper (Foto: Arts Institute of Chicago) Jembatan antara kondisi saat ini dan gambaran dalam lukisan itu adalah jaga jarak ( social distancing ). Nighthawks memperlihatkan sejoli lelaki dan perempuan yang duduk berjarak agak jauh dari seorang konsumen pria lain. Beberapa kritikus menginterpretasikan lukisan itu sebagai potret keadaan Amerika yang terbilang sepi dan tenang sebelum Amerika terjun ke Perang Dunia II. Keadaan masyarakat urbannya saat itu menyukai ketenangan dan menyepi di restoran yang buka sampai tengah malam, tanpa diganggu kasak-kusuk tentang perang. “Gambaran yang cukup menghantui namun sangat populer (di negara di mana seni tinggi tak dihargai sebagaimana mestinya), lukisan ini menunjukkan sosok-sosok yang kesepian di sebuah restoran sederhana di sebuah kota pada larut malam dan lukisan ini bisa menjadi jendela untuk melihat kondisi Amerika yang tak pernah lagi kembali seperti dulu,” ungkap Gordon Theisen dalam Staying Up Much Too Late: Edward’s Hooper Nighthawks and the Dark Side of the American Psyche. Lukisan Nighthawks disebut-sebut sebagai salah satu karya terbaik Hopper. Karya itu terpajang di Art Institute of Chicago setelah galeri seni itu membelinya USD3 ribu pada 13 Mei 1942. Lukisan lain Hopper yang relevan dengan yang dirasakan sebagian besar orang terdampak virus corona adalah Cape Cod Morning . Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 86,7 cm x 102,3 cm yang dibuat pada Oktober 1950 itu kini bisa dilihat di Smithsonian American Art Museum. Lukisan "Cape Cod Morning" yang sedikit berbeda dari beberapa lukisan Hopper bergaya urban (Foto: americanart.si.edu ) Sejarawan seni Gail Levin membeberkan detail lukisannya dalam Edward Hopper: An Intimate Biography , di mana terdapat sesosok wanita pirang bergaun pink tengah melongok ke arah luar rumah dari jendelanya. Ia menatap kosong ke arah pepohonan lebat dan rerumputan yang menguning di luar rumahnya. “Sikap tubuh sang wanita tampak tegang, menciptakan rasa penasaran dan penggambarannya begitu kental menjelaskan pemisahan antara tempatnya berdiri di sisi dalam rumah dan dunia luar,” ungkap Levin. Lukisan itu juga mendeskripsikan kecemasan sang wanita apabila ia keluar dari rumahnya dan melangkah ke dunia luar. Suasana batin ini familiar dengan situasi sekarang, di mana banyak orang takut jika keluar rumah bisa terjangkit virus corona. Meski begitu ada sedikit perbedaan dalam Cape Cod Morning dengan beberapa karya Hopper lain yang “berbau” pembatasan diri antara di dalam sebuah ruangan dan dunia luar. Jika dalam beberapa karya lain latarbelakangnya melulu urban, dalam Cape Cod Morning latar panoramanya berupa rumah pondok di dekat hutan di daerah terpencil. Diuraikan Levin, nyatanya rumah di South Truro, Cape Cod, itu adalah rumah peristirahatan yang biasa ia dan istrinya datangi setiap musim panas sejak 1934. Hopper pertamakali datang ke Cape Cod pada 1930 dan merasa mendapat banyak inspirasi untuk karyanya. Empat tahun kemudian rumah itu ia beli untuk rumah musim panas. Sosok wanita di Cape Cod Morning pun tak lain adalah istrinya yang dijadikan modelnya. Lukisan "Morning Sun", sebagaimana beberapa lukisan Hopper lainnya, juga memanfaatkan istrinya, Jo Nivison sebagai modelnya (Foto: edwardhopper.net ) Deskripsi lukisan Cape Cod Morning juga mirip dengan karya Hopper yang dibuat pada 1952, Morning Sun . Dalam lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 71,4 x 101,9 cm yang kini terpajang di Columbus Museum of Art itu, Hopper juga menggambarkan seorang wanita berpakaian pink yang menatap kosong ke arah luar via jendelanya. “Sesosok wanita terduduk di atas tempat tidur yang terekspos cahaya pagi yang sejuk, di mana tatapannya mengarah ke jendela terbuka. Penggambaran interior mirip di dalam sebuah apartemen dan dunia luar yang bernuansa kota modern dipisahkan oleh jendela, seolah sang wanita tengah terisolasi oleh dirinya sendiri,” tulis Kerstin Stremmel dalam Realism. Hopper menguraikan tentang lukisan itu, bahwa fokus utama dalam Morning Sun lebih kepada sinar mentari pagi yang menerpa sosok wanita tersebut. Juga efek siluet dan bayangan dari sinarnya, baik terhadap sang wanita maupun interior ruangan di mana wanita itu berada. “Mungkin saya bukan manusia pada umumnya. Perhatian saya adalah melukiskan sinar matahari yang mengarah ke dinding ruangan. Menjadikan sosok wanitanya bermandikan sinar itu,” tutur Hopper dikutip Stremmel.
- Penginjil Kristen dan Wabah di Tanah Batak
Makhluk-makhluk yang telah membangkai itu berpuluhan ribu jumlahnya. Manusia yang tewas maupun kuda perang yang mati akibat pertempuran terserak bergelimpangan. Jasadnya terapung-apung di tepi sungai dan danau. Benih penyakit pun menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru. Demikianlah keadaan di Tanah Batak setelah kaum Padri melancarkan serangannya. Augustin Sibarani penulis buku Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamngaraja XII mencatat higienitas udara di Tanah Batak pada waktu itu sebenarnya sudah mulai mengerikan. Musababnya adalah merebaknya tiga macam wabah misterius. Tiga "hantu" sedang menghinggapi daerah Humbang dan Toba Holbung, yaitu: Begu Attuk , Begu Aron , dan Ngenge na Birong . “Ini adalah nama-nama yang amat kesohor di Tanah Batak, tiga macam penyakit terkutuk yang amat sering melanda daerah-daerah indah di sekitar Danau Toba ini berupa epidemi-epidemi yang membawa banyak putra-putra Batak ke liang kubur: kolera, tipus, dan penyakit cacar,” tulis Sibarani. Misionaris Inggris Ditolak Ragam penyakit yang mewabah di Tanah Batak memantik penguasa kolonial untuk bertindak. Sir Thomas Stamford Raffles menginginkan agar misi penginjilan masuk ke Tanah Batak. Menurut Gubernur Jenderal Inggris di Asia itu wilayah itu perlu di-kristenkan dengan menakar berbagai pertimbangan strategis. Meskipun sarat muatan politik, pada 1824 dikirimkanlah tiga misionaris dari Baptis Mission Society of England ke Tapanuli. Mereka antara lain: Richard Burton, Nathaniel Ward, dan Evans. Pendeta Ward juga seorang ahli medis yang bertugas menyelidiki keadaan kesehatan dan penyakit menular di Tapanuli bagian utara, terutama di Lembah Silindung dan Toba. Di tempat inilah berjangkit penyakit kolera .Ward dan kawan-kawan diterima dengan ramah setibanya di Lembah Silindung pada 4 Mei 1824. Orang-orang Batak di sana lebih besar keingintahuannya dibanding memantik bermusuhan. Burton dan Ward melaporkan bagaimana orang-orang Batak menganggap dirinya sebagai penghuni asli di daerah itu. Sultan Minangkabau diakui sebagai penguasa tertinggi atas raja-raja setempat. Ketika para misionaris itu mengabarkan ajaran Kristen, orang-orang Batak merasa tidak sanggup meninggalkan tradisi adat yang sudah mendarah daging. “Akibatnya bahwa tawaran-tawaran untuk menginjil dan dalam hal-hal lain membantu orang-orang Batak, ditolak dengan hormat,” tulis Paul B. Pedersen dalam Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatra Utara . Setelah kunjungan Ward dan Burton, kaum Padri kembali melancarkan agresi. Pada 1833, Tuanku Imam Bonjol memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tanah Batak ikut terseret lagi dalam pergolakan. Ketika tentara Bonjol menduduki Tanah Batak, orang-orang Batak mengingat sebuah kalimat dari khotbah Richard Burton beberapa tahun sebelumnya. “Anda harus berkurang dulu dan menjadi kecil dan hanya dengan demikian anda dapat memasuki Kerajaan Allah,” kata Burton dikutip Pedersen. Sejak saat itu misionaris-misionaris Barat yang melawat ke Tanah Batak ditentang dengan keras. Kedatangan Nommensen Keadaan di Tanah Batak tidak banyak berubah malahan makin parah. Disamping wabah-wabah yang telah disebutkan, muncul pula lagi penyakit lepra. Orang-orang yang terkena lepra dalam bahasa Batak disebut nahuliton. Hingga kemudian datanglah misionaris asal Jerman bernama Inger Ludwig Nommensen. Nomensen merupakan utusan Seminari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) di Wupertal-Barmen, Jerman. Sejak 1863, Nommensen telah menjalankan misi kristenisasi di Tanah Batak. Berbasis di Pea Raja, Tarutung, dia mendirikan sekolah misi bernama Batakmission . Sedari mula, usaha penginjilan Nommensen tidak mendapat respon yang bagus dari raja-raja Batak setempat. Dia bahkan sempat menjadi sasaran pembunuhan lantaran pengaruh dan ajarannya tidak disukai. Ketika Nommensen memulai siar Injil, bertepatan pula dengan masa merajalelanya wabah penyakit menular di Tanah Batak. Pada 1866, epidemi cacar yang dalam bahasa Batak disebut ngenge na birong membuat banyak anak-anak Batak mati terkapar. Saban hari kira-kira 20-30 orang anak dimakamkan ke liang kubur di sekitar Huta Dame. Selain cacar, ada kampung-kampung disekitar Tarutung yang seluruh penduduknya semua mati disambar penyakit begu attuk alias kolera. Penyakit ini terus menular kemana-mana. Nommensen tidak tutup mata menyaksikan rentannya orang Batak terserang wabah penyakit. Menurut Guru Besar STT Jakarta, Jan Sihar Aritonang, Nommensen tidak melulu menyebarkan ajaran agama lewat pengajaran pendidikan. Salah satu ujung tombang misi penginjilannya adalah pelayanan kesehatan. Bersama rekannya sesama zendeling maupun penduduk setempat yang telah dibaptis, Nommensen menarik jiwa dengan berbagi pengobatan. Lewat pendekatan itulah orang-orang Batak mulai bersimpati sehingga tertarik terhadap ajaran Kristen. “Akibat wabah penyakit menular, para zendeling dibantu guru-guru dan murid sekolah di beberapa tempat menjalankan pelayanan kesehatan, antara lain merawat yang sakit, membagikan obat, dan memberikan penyuluhan,” tulis Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak . Sibarani bahkan mencatat, “adalah suatu kenyataan bahwa orang-orang (Batak) Kristen sedikit yang menjadi korban wabah penyakit.” Mereka lebih banyak kesempatan untuk mendapat perawatan higienis dari pendeta-pendeta Batakmission . Disamping menginjil, para pendeta dan pembantunya sering merangkap sebagai jururawat. Mereka bekerja keras menyembuhkan orang sakit. Karena para misionaris itu memberikan pelayanan medis dan obat-obatan secara cuma-cuma, berduyun-duyun penduduk mencari perlindungan ke basis Kristen di Pea Raja, Tarutung. Kepercayaan orang Batak terdap misi suci pengabar Injil itu semakin menguat dalam tempo singkat. “Setelah menjalarnya penyakit-penyakit itu, banyak orang yang datang mendaftarkan untuk dibaptiskan sebagai orang-orang Kristen.” Tulis Augustin Sibarani. Dari yang semula sinis kini banyak banyak penduduk Batak yang menjadi pengikut Kristus. Hingga tahun 1870, sudah berdiri 10 sekolah zending Batakmission di lembah Silindung. Pada dekade ini, populasi Batak yang sudah di Kristen-kan sudah cukup besar untuk menjadi sebuah kekuatan sosial dan politik. ah di Kristen-kan sudah cukup besar untuk menjadi sebuah kekuatan sosial dan politik.
- Dua Legenda Ludruk Indonesia
Nama Cak Gondo Durasim sudah melegenda di dunia kesenian ludruk. Ia memimpin Ludruk Genteng yang justru lebih terkenal dengan nama Ludruk Gondo Durasim. Ludruk ini melakukan pembaruan terhadap kesenian ludruk dan melakukan pertunjukan-pertunjukan revolusioner selama masa kolonial. Cak Gondo adalah seniman ludruk kelahiran Jombang, di mana diyakini juga merupakan tempat kelahiran kesenian ludruk itu. James L. Peacock dalam Ritus Modernisasi, Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia menyebut pada akhir abad ke-20, Cak Gondo telah mengorganisir sebuah rombongan ludruk yang jumlah anggotanya tak terbatas. Rombongan ludruk ini kemudian memainkan pertunjukan utuh dengan cerita, karakter dan tokoh yang beragam. Mereka juga tidak menggunakan lagi peran dan nama yang sama dalam semua pertunjukan. “Sebuah deskripsi mengenai ludruk yang diterbitkan pada tahun 1930 melaporkan bahwa Durasim baru saja mengorganisir sebuah 'jenis ludruk baru', yang tampil di hadapan kelompok studi nasionalis, Persatuan Bangsa Indonesia atau Perhimpunan Indonesia,” tulis Peacock. Menurut laporan yang dikutip Peacock, Cak Gondo pernah dianugerahi penghargaan oleh dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, sebagai pelopor dalam memanfaatkan pertunjukan rakyat demi nasionalisme. Ludruk yang dipimpin Cak Gondo telah menjadi media yang membuat ide-ide nasionalisme bisa diterima pikiran rakyat. Dr. Soetomo juga mensponsori ludruk Cak Gondo tampil di Gedung Nasional Indonesia. Namun, pada 1936, mereka tidak lagi bisa tampil karena dilarang oleh Belanda. Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada 1942, ludruk digunakan untuk menyebarkan propaganda Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Meskipun dalam kontrol Jepang yang ketat, Cak Gondo Durasim justru menciptakan kidungan yang legendaris: “ Pegupon omahe doro, melok Nipon tambah soro .” Artinya, “pegupon rumah burung dara, ikut Nipon tambah sengsara.” “Sebagai akibatnya, menurut satu cerita, dia disiksa oleh tentara Jepang dan kemudian meninggal dunia pada tahun 1944,” sebut Peacock. Semangat Cak Gondo Durasim dilanjutkan oleh Wibowo atau Cak Gondo bersama Ludruk Marhaen. Cak Bowo lahir ketika Cak Gondo Durasim tengah jaya memimpin ludruknya. Menurut obituari di Harian Rakyat , 10 Mei 1964, Cak Bowo adalah anak seorang Digulis. Ia dibesarkan dan banyak belajar perjuangan revolusioner para perintis kemerdekaan di tanah pembuangan. “Saya belajar melawak dan untuk pertama kali naik panggung, ketika saya masih mengikuti ayah di Digul yang dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda di sana. Waktu itu saya masih berumur 5 sampai 6 tahun dan Moestadjab yang menjadi bintang film itulah yang pertama kali mengajar saya naik ke atas panggung,” kata Cak Bowo seperti dikutip Harian Rakjat. Setelah Indonesia merdeka, Cak Bowo turut serta dalam perjuangan melawan Belanda di Surabaya. Ia bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan aktif di bagian Penerangan dan Propaganda DPP Pesindo. Pada 18 Juni 1949, Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin. Ludruk asal Surabaya ini sebenarnya telah dibentuk pada 1945 namun sempat tidak aktif pada 1948. Ludruk ini juga merupakan sayap kebudayaan Pesindo. Cak Bowo bergabung dan menjadi ikon Ludruk Marhaen. Ludruk Marhaen menjadi salah satu ludruk paling terkenal pada masanya. Rombongan ini memulai tradisi baru di dunia ludruk yakni drama tragedi dengan semangat revolusi. Meski demikian, mereka tetap mempertahankan gaya satir yang khas ludruk. “Nama Bowo dengan Ludruk Marhaen tidak bisa dipisahkan, sudah menjadi satu. Setiap pertunjukan Ludruk Marhaen tanpa Bowo seperti minum kopi tanpa rokoknya,” tulis Harian Rakjat . Harian Rakjat menyebut nama Cak Bowo kala itu patut disejajarkan dengan Cak Gondo Durasim sebagai pelawak ludruk kenamaan abad ke-20. Sementara itu, Ludruk Marhaen sering mendapat undangan pentas di Istana Negara. Sukarno sendiri yang menginginkannya. Pasalnya, Ludruk Marhaen juga kerap mempropagandakan ide-ide politik Sukarno. Ludruk Marhaen juga dikenal dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) meski tidak secara resmi menjadi bagian dari partai itu. Perjalanan panggung Cak Bowo terhenti pada 4 Mei 1964. Ia mengalami kecelakaan bersama rombongannya dengan menumpang bus hadiah presiden ketika menuju Lumajang untuk pementasan. Cak Bowo meninggal dunia dalam kejadian itu sedangkan empat anggota rombongannya luka berat.






















