top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sniper Kopassus Stres, Menembaki Orang di Lapangan Terbang Timika Papua

    PADA 3 November 2015, Serda Y.H, anggota Divisi I Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menembak seorang pengendara ojek di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.  Penyebabnya, ojek yang menyerempet mobilnya tidak berhenti untuk meminta maaf. Penembakan oleh oknum tentara sering terjadi. Korbannya, bisa sipil maupun militer, seperti terjadi pada 1996. Pada 15 April 1996, Letnan Sanurip, seorang sniper atau penembak jitu Kopassus, menembaki orang-orang di lapangan terbang Timika, Papua. Sepuluh tentara tewas, empat warga sipil dan satu orang pilot maskapai Twin Otter Airfast, berpaspor Selandia Baru. Sepuluh tentara dan tiga warga sipil luka-luka. Brigadir Jenderal Amir Syarifudin, Kepala Pusat Penerangan ABRI, menceritakan kejadian itu bahwa Letnan Sanurip bangun pagi hari di dalam hanggar. Karena berisik (mungkin karena gangguan kejiwaan), dia ditegur oleh rekannya. Tidak terima ditegur, dia langsung memberondong rekan-rekannya dengan senapan yang dibawanya. “Setelah menembaki rekan-rekanya, dia berlari keluar dari hanggar dan menembaki siapa saja yang ada di situ,” kata Amir, dikutip Kompas , 16 April 1996. Pihak ABRI mengindikasikan Letnan Sanurip melakukan aksi koboi itu karena mengalami gangguan kejiwaan akibat malaria yang merusak sistem saraf. Namun, keterangan berbeda dikemukakan mantan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI, Letnan Jenderal Soeyono. Menurutnya, Letnan Sanurip adalah penembak jitu ( sniper ) dan pelatih tembak tempur yang diterjunkan di daerah operasi untuk membantu pembebasan sandera oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM menyandera selama 130 hari Tim Lorentz ’95, terdiri dari sebelas peneliti dari Indonesia dan Inggris, serta dua orang dari WWF (World Wildlife Fund) dan seorang dari Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). “Karena stres dan kecewa tidak diikutkan dalam beberapa gerakan operasi, pada suatu subuh dia nekat menembaki siapa saja yang dilihatnya di kawasan landasan lapangan terbang Timika. Sekitar lima belas orang  menjadi korban penembak jitu pelatih tembak tempur itu. Yang menjadi korban antara lain Komandan Satgas, yakni seorang pewira menengah Kopassus yang sedang naik daun,” kata Soeyono dalam biografinya, Bukan Puntung Rokok, karya Benny S. Butarbutar. Theo Syafei, mantan Pangdam Udayana (1993-1994) menyatakan seharusnya Sanurip bisa mengendalikan diri karena dia seorang Letnan. “Kalau memang dia seorang Letnan, benar-benar kejutan. Seharusnya dia sudah mempu menahan tekanan psikis yang dihadapinya,” kata Theo, dikutip Kompas , 16 April 1996. Sanurip berhasil ditangkap dan dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Kopassus terkesan menutupi kasus tersebut. Tim dari Pusat Polisi Militer (Puspom) ABRI, tidak bisa leluasa memeriksa Sanurip. Komandan Puspom ABRI, Mayor Jenderal Syamsu Djalal, kemudian melapor ke Kasum ABRI, Soeyono. Baru setelah diperintahkan langsung oleh Soeyono, Kopassus akan menyerahkan Sanurip ke Puspom. Namun kenyataannya, Syamsu Djalal dan tim tetap mendapat hambatan dalam memerika Sanurip. Mereka dilarang masuk ke Ksatrian Kopasus untuk memeriksa Sanurip. “Nampaknya Prabowo khawatir Sanurip akan mengungkapkan hal-hal yang  dapat membuka aibnya,” kata Syamsu dalam biografi Soeyono. Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Brigadir Jenderal Prabowo Subianto, mengambil kesimpulan sendiri bahwa “Sanurip merupakan personel yang keadaan mental ideologinya harus dicurigai karena berasal dari keluarga yang tidak bersih lingkungan (istilah yang diciptakan Orde Baru kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan komunis, red ).” Prabowo memimpin langsung pembebasan sandera. Kepada Soeyono yang mengizinkan operasi, Prabowo meyakinkan bahwa 80-90 persen operasi akan berhasil. Secara keseluruhan, operasi pembebasan sandera Mependuma ini memang berakhir dengan sukses. Namun, pada menit-menit pertama, Soeyono memperoleh laporan bahwa sebuah helikopter mengalami kecelakaan fatal pada saat mendaratkan pasukan dengan tali dan menimpa sedikitnya satu regu pasukan. “Laporan keberhasilan 80-90 persen itu omong kosong belaka dan ini tidak lebih dari suatu kecerobohan,” tukas Soeyono. Sementara itu, Soeyono tidak bisa mengikuti kelanjutan penyelidikan kasus Sanurip karena dinonaktifkan dari dinas. “Yang saya dengar berikutnya adalah Sanurip mengalami keadaan yang mengenaskan karena bunuh diri di selnya,” pungkas Soeyono.

  • Kampung Sindangbarang Menghadirkan Sejarah dan Budaya Sunda

    ANDA ingin berkunjung ke masa lalu? Datanglah ke Kampung Sindangbarang Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Selain menghadirkan suasana rumah adat Sunda, di kampung yang terletak dalam wilayah kaki Gunung Salak tersebut, anda akan mendapatkan makanan khas Sunda zaman baheula dan kesenian Sunda yang sekarang nyaris punah. Adalah Maki, panggilan akrab Achmad Mikami Sumawijaya, yang membangun kampung sejarah dan budaya itu di lahan seluas 8600 meter persegi. Hampir delapan tahun dia merintis upaya itu. Langkah pertamanya membangun beberapa jenis rumah adat khas Sunda Bogor: imah gede, girang serat, saung taluh, saung lisung, leuit, pasanggrahan, imah kokolot, bale pangriungan, tampian dan saung sajen . Di juga menghidupkan tradisi lokal setempat, seperti seren taun, parebut seeng, malem opatwelasan,rebo kasan dan angklung gubrag . “Upaya revitalisasi budaya ini takan terjadi tanpa bantuan dari para sesepuh Bogor dan para inohong (pejabat) Jawa Barat,” ujar lelaki kelahiran Jakarta, 11 Mei 1970 itu. Asal muasal ide tersebut muncul kali pertama saat Maki melakukan kunjungan kerja ke Manado, Sulawesi Utara pada 2004. Dia tak sengaja menyaksikan sekelompok bule dari New York bermain gamelan Sunda di televisi. Dia merasa malu. “Ketika bangsa lain mencintai budaya Sunda, lalu di mana orang-orang Sunda?” ujar pengusaha di bidang teknologi informasi tersebut. Pulang dari Manado, Maki langsung beraksi. Dengan memanfaatkan lahan miliknya di Kampung Sindangbarang, dia mendirikan Giri Sundapura. Di padepokan itu, dia mengadakan latihan gratis bagi anak-anak muda Sindangbarang yang ingin belajar tari Sunda Bogor. Dalam waktu yang tidak lama, Giri Sundapura dikenal sebagai sanggar tari yang disegani di Bogor dan sekitarnya. Bersama Giri Sundapura, Maki dibantu Anis Djatisunda, sesepuh Sunda Bogor, berhasil menyelenggarakan lagi upacara seren taun pada 2006. Setelah 36 tahun upacara penghormatan untuk Dewi Sri Pohaci (dewi padi) ini raib dari bumi Bogor. Terakhir dilakukan di Sindangbarang pada 1970 oleh kepala desa Etong Sumawidjaya, kakek Maki. “Pada saat itu kami melakukannya belum di Kampung Sindangbarang tapi di lapangan depan SDN Pasireurih,” kata Maki. Pada 2004, Maki berhasil menampilkan kembali sebagian kegiatan tradisi lama Sunda Bogor. Namun, satu hal yang masih mengganggu pikirannya, yakni belum adanya kampung budaya. “Padahal menurut ketentuannya, kehadiran kampung budaya adalah salah satu prasyarat utama untuk  mengadakan berbagai kegiatan tersebut,” kata suami dari Aulia Dewi Hardjakusuma tersebut. Lantas, Maki menghubungi para sesepuh Bogor. Di antaranya Anis Djatisunda dan Eman Sulaeman. Lewat mereka, Maki bisa terhubung dengan para inohong Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat. Usai berembuk mereka sepakat membangun kampung budaya di Sindangbarang. Total jenderal dana yang diperlukan Rp1,3 milyar. “Kami setuju untuk patungan, pemerintah provinsi Jawa Barat 750 juta rupiah, Pemkab Bogor 25 juta rupiah dan sisanya dari saya,” kata Maki. Di Kampung Sindangbarang, kini berdiri sekitar 10 bangunan adat Sunda Bogor yang mengelilingi sebidang tanah  seluas lapangan sepakbola yang disebut alun-alun. Pembuatan bangunan tidak sembarangan, harus mengikuti petunjuk karuhun (nenek moyang) dan melalui upacara khusus. “Posisi, bahan, bentuk dan arah disesuaikan dengan petunjuk yang kami dapat dari Pantun Bogor ,” ujar Maki. Pantun Bogor adalah naskah tua yang berfungsi sebagai rujukan sejarah bagi orang-orang Sunda Bogor. Proses pembangunan kampung budaya dan penyelenggaraan kegiatan tradisi lama berjalan mulus. Di Sindangbarang ada sebagian pihak masyarakat menolak upaya revitalisasi tersebut. Alasannya macam-macam. Salah satunya yang paling gencar adalah alasan agama. Maki dan kawan-kawan cukup sabar menghadapinya. Setelah melalui pendekatan persuasif dan diskusi, pihak yang menolak akhirnya bisa menerima. Siapun bisa datang ke kampung budaya Sindangbarang, termasuk para peneliti. “Sudah banyak yang datang meneliti ke sini, untuk mereka kami menyediakan fasilitas tempat tinggal dan makan secara gratis. Ya, tentunya dengan kondisi seadanya,” ujarnya. Apa sebenarnya harapkan Maki menghadirkan kembali budaya Sunda Bogor? Sambil tersenyum dia menyatakan sekadar memenuhi bakti kepada para karuhun . Sebagai bentuk rasa hormat anak kepada orangtuanya. “Banyak orang bilang saya buang-buang duit, tapi ini bukan soal duit atau kekayaan materi. Ini sesuatu yang tak bisa dihargai dengan uang,” katanya.

  • Pemuda di Balik Senjata Berat dalam Pertempuran Surabaya

    LETNAN Kolonel (Purn) Moekajat tak pernah melupakan kejadian di hari kedua Pertempuran Surabaya. Suasana di garis depan mendadak heboh. Sejumlah mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air) dan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang melayani senjata penangkis serangan udara, Bofors 40, menembak jatuh tiga pesawat Mosquito milik RAF (Angkatan Udara Inggris). “Termasuk satu pesawat yang berisi seorang jenderal Inggris yang ikut mati di dalamnya,” ujar mantan anggota BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia) itu. Namun, pihak Inggris menampik jika kematian itu disebabkan tembakan pihak Indonesia. “Mereka menyebut Brigjen Robert Guy Loder Symonds tewas akibat pesawatnya mengalami kecelakaan di Lapangan Morokembangan,” kata sejarawan Batara Hutagalung, penulis 10 November 45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? Peran para pemuda di balik senjata-senjata berat dalam Pertempuran Surabaya tak bisa dinafikan. Sebagai contoh, pada 14 November 1945, pasukan meriam Akademi Militer Yogyakarta pimpinan Mayor Jenderal Suwardi berhasil membombardir Tanjung Perak dengan meriam kaliber 10,5 cm. “Saat dicek ke lapangan langsung oleh Mayjen Suwardi esok harinya, dia melihat sebuah kapal yang masih merapat di pelabuhan nampak terbakar dan asapnya yang tebal membumbung ke udara,” tulis Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949. Tembakan artileri itu sempat disitir New York Times , 15 November 1945, sebagai salah satu faktor yang menjadikan Pertempuran Surabaya semakin berdarah-darah. Namun, dalam koran itu pula Inggris menyatakan bahwa untuk menghadapi serangan gencar artileri itu “hanya menggunakan kekuatan minimum.” Inggris juga menyangkal jika kapal yang tertembak di Tanjung Perak miliknya. Itu terbukti dari keterangan dokumentasi foto yang memuat pemandangan akibat pemboman Tanjung Perak di situs Imperial War Museum (IWM): “Bekas kapal tanker Jepang, Osaka Maru , terbakar di dermaga Pelabuhan Surabaya.” Grup pelayan senjata berat lainnya yang dinilai cukup merepotkan pertahanan Inggris adalah kompi bantuan mortir dari Resimen Sidoarjo. Mereka terdiri dari anggota-anggota eks cudanco (komandan kompi) dan budanco (komandan regu) yang pernah mendapat latihan menggunakan mortir dari Kaigun (Angkatan Laut Jepang). “Posisi mereka ada di belakang Pasar Wonokromo, di bawah pimpinan Kapten Suwarso,” tulis Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya . Di samping kedua grup itu, ada pula  batalion artileri pimpinan Minggu dari Resimen TKR Gajah Mada. Batalion ini memiliki 28 pucuk meriam penangkis serangan udara dalam berbagai kaliber, yang ditempatkan di Karangpilang, Gresik dan sebelah selatan Kali Brantas. Untuk menghindari pesawat pengintai musuh (VCP = Visual Control Post) biasanya mereka beraksi malam hari. Pernah pada suatu siang, grup ini nekad melakukan tembakan ke posisi tentara Inggris. Akibatnya, posisi penembak meriam secara cepat diketahui musuh dan langsung dibungkam oleh tembakan dari sebuah pesawat tempur. “Meriam tersebut ikut hancur bersama awaknya dan ditinggalkan begitu saja di tengah jalan,” ujar Moekajat. Sejatinya, mayoritas awak penembak senjata berat kurang berpengalaman. Namun, situasi perjuangan menuntut mereka untuk mengendalikannya.  Karena kurang pengalaman ini, tak jarang peluru meriam nyasar ke kubu kawan sendiri. Seperti peluru meriam yang mengenai kubu BKR di muka Viaduct. Lewat radio, Bung Tomo segera memberitahu kepada grup senjata berat tersebut untuk menghentikan tembakan. Celakanya, sambil berseru, Bung Tomo menyebut posisi grup senjata berat tersebut. Akibatnya fatal: grup itu malah dihujani serangan udara Inggris. “Seseorang bernama Isa Idris kemudian dengan cepat bergerak ke tempat Bung Tomo melakukan pidato siaran langsung dan mengingatkan keteledorannya itu,” tulis Nugroho

  • Museum Lima Malam untuk Mengenang Masa Kelam

    BANGUNAN itu terdiri atas puluhan perancah yang terpasang membentuk kubus berukuran sekira 200 meter persegi dengan tinggi lima meter. Jaring hitam menyelubungi bangunan, membuat bagian dalam ruangan tetap bisa dilihat sama-samar dari luar. Ia bukan sembarang bangunan tanpa makna, paling tidak untuk seminggu ke depan. Bangunan itu didapuk sebagai museum bertajuk Rekoleksi Memori. Puluhan karya instalasi, seni fotografi dan videografi tersaji di dalamnya. Hasil kerja bareng Komisi Nasional HAM, Dewan Kesenian Jakarta dan Partisipasi Indonesia itu digelar di pelataran sisi timur Taman Ismail Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, mulai 7 sampai 12 Desember mendatang. Pameran dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia Internasional 10 Desember itu dipersembahkan kepada seluruh korban pelanggaran HAM dan mereka yang masih terus memperjuangkan keadilan. “Dari kegiatan ini, harapan kita, dapat mendorong untuk pendirian museum nasional HAM. Dari museum HAM ini, kita bisa belajar masa lalu. Museum HAM bisa jadi akan menjadi model bagi penyelesaian masalah HAM,” kata Nur Kholis, Komisioner Komnas HAM dalam sambutannya. Sementara itu Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno mengatakan program ini merupakan wujud kehendak bersama seluruh masyarakat untuk menumbuhkan budaya dan peradaban yang lebih baik. Hal senada dikatakan oleh Yulia Elvina Bhara, direktur Partisipasi Indonesia dengan mengajukan pertanyaan sejarah seperti apa yang akan diwariskan kepada generasi penerus jika kebohongan terus direproduksi? “Tak ada pilihan lain. Kita harus sudi menengok ke belakang, mencoba menggali suara dari masa lalu, merekoleksi memori kita untuk dapat memahaminya dengan nalar dan matahati,” katanya. Museum Rekoleksi Memori ini mengikutsertakan beberapa pegiat seni dan kreatif yang sudah mengakrabi masalah HAM dalam setiap karya mereka. Salah satunya karya fotografer Sigit Pratama yang yang berjudul or.de . Begitu masuk ke museum, pengunjung langsung disuguhi sepuluh karya Sigit, mulai dari sosok kanak kanak hingga potret bangunan beton menara TVRI dan monumen Lubang Buaya. Karya menarik lain adalah karya videografer Yovista Ahtajida. Anak muda yang biasa nongkrong di sekitar museum Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur itu itu membuat instalasi video kanal ganda bertajuk Wahana Loebang Maoet . Menurutnya, monumen Lubang Buaya bukan lagi wahana pembelajaran, melainkan wahana penyebar horor. “Hanya ada kengerian di sana. Seperti masuk rumah hantu saja. Dan itulah karya terpenting Orde Baru,” ujar lelaki berambut kriting jebolan FISIP UI itu. Dia mengaku, tak banyak kesulitan membuat video solo pertamanya ini. Dalam salah satu video, memperlihatkan bagaimana Yovi membuat semacam print ad yang disebar dibeberapa wilayah Jakarta untuk memperluas jangkauan pembentukan wacana baru terhadap museum Lubang Buaya. Beberapa karya lainya adalah Pemenang Kehidupan karya fotografer Adrian Mulya tentang sepuluh potret perempuan penyintas, mantan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Lalu karya Elizabeth Ida yang berjudul Sejarah Siapakah? ; karya video instalasi Kiki Febriyanti berjudul His (story) (a) history yang menggambarkan anak kecil berseragam SD yang memakai topeng bergambar wajah Soeharto dan menanyai setiap orang yang ditemuinya tentang topeng yang ia kenakan; kemudian ada karya instalasi Jompet Kuswidananto bertajuk Untitled . Selama enam hari, lima malam, masyarakat disuguhi gambaran kelam masa lalu bangsa ini untuk memetik pelajaran dari pelbagai peristiwa sejarah yang mengempaskan nilai-nilai kemanusiaan ke jurang peradaban terendah. “Museum ini untuk generasi muda, untuk dapat membantu memberikan informasi tentang sejarah pelanggaran HAM yang sampai saat ini tak ada di buku pelajaran sejarah,” pungkas Yulia.

  • Peran Kurir dalam Perjuangan Kemerdekaan

    SHOLEH, petani Salam Mulya, Purwakarta, didatangi seseorang yang tidak dikenalnya saat menuai padi di sawah. Lelaki itu menyampaikan pesan bahwa dia dipanggil oleh Syafei, yang juga tidak dia kenal. Kejadian itu berlangsung pada 1948. Berdasarkan Perjanjian Renville, Jawa Barat bukan daerah Indonesia. Tentara Belanda leluasa menguasai daerah tersebut. Tentara Siliwangi meninggalkan Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah. Namun, tak semua pejuang hijrah; beberapa laskar seperti Hizbullah masih bertahan untuk mengganggu Belanda. Sholeh berangkat menuju markas gerilya di Selaawi, Pesawahan, Purwakarta. Dia bertemu dengan Syafei yang memintanya menjadi kurir surat kepada pejuang di daerah lain. “Mengingat demi perjuangan saya pun mengiyakannya,” kata Sholeh dalam majalah Pertiwi , No. 32 tahun 1987 . Seorang pejuang memberikan pengarahan dan surat beramplop kepada Sholeh. Sholeh harus memberikan surat itu kepada seseorang di Purwakarta, dengan ciri lengan bajunya tinggi sebelah, pada pukul empat sore. Warna bajunya hijau macam seragam TNI AD jaman sekarang. Sholeh menjalankan tugas pertamanya dengan hati-hati. Dia melewati hutan dan perkampungan menuju Purwakarta. Sesampainya di Purwakarta sesuai jadwal dan menemui orang dengan ciri-ciri lengan bajunya tinggi sebelah. Sholeh mengatakan sandi: “Ada kiriman kain putih dari hutan.” Orang itu berdiri, terkejut. “Mendengar ucapan saya, orang itu langsung menatap saya dan mengatakan dengan kata sandi juga, pintu kami tidak di kunci . Yang dimaksud keadaan di sekitar aman,” kata Sholeh. Sholeh dibawa ke tempat aman untuk menyerahkan surat yang dia bawa. Setelah itu, pejuang itu memberi tanda silang di lengan baju Sholeh dan berpesan agar tanda itu tidak hilang.  Soleh tidak tahu isi surat dan maksud tanda silang itu. Setelah Sholeh kembali dan menemui Syafei, barulah dia tahu maksud dari tanda silang itu. “Setibanya di markas, lengan saya segera diperiksa kembali. Setelah melihat tanda silang, Pak Syafei bersama anak buahnya tersenyum puas. Saya pun merasa puas, karena telah menyelesaikan tugas dengan baik,” kata Sholeh. Sukses melaksanakan tugas pertama, Sholeh sering mengirim surat dari Syafei kepada pejuang di daerah lain. “Dengan berjalan kaki berpuluh-pulih kilometer, saya berjalan dengan sikap waspada. Maklum Belanda pun menyebar mata-matanya yang juga orang pribumi,” kata Sholeh. Berbagai cara dilakukan Sholeh agar surat yang dibawanya aman. Dia memasukannya di saku baju atau celana, diselipkan di peci, namun tempat paling aman diselipkan di sadapan enau atau lahang. Satu ketika, Sholeh membawa amplop dengan cara digenggam. Dia melihat tentara Belanda dari kejauhan.  Dia membuang surat tersebut ke semak-semak. Dia melewati tentara Belanda dengan wajah pucat dan tangan yang dingin. Setelah lumayan jauh, Sholeh kembali ke semak-semak untuk mengambil amplop itu. Sholeh tidak mengetahui siapa sebenarnya Syefei saat awal-awal ditugaskan sebagai kurir. “Yang saya tahu, dia berwibawa dan penentu semua tindakan kami. Tapi, setelah saya pelajari atasan saya bahwa Pak Syafei berasal dari Cianjur, seorang pejuang dari kelompok Hizbullah dan saat itu menjabat sebagai Residen Purwakarta,” kata Sholeh. Belanda berhasil menangkap kelompok Syafei di rumah anggota yang akan menikahkan anaknya di Jukut Riut.  Semua anggota tertangkap termasuk Sholeh dan Syafei. Mereka dibawa ke markas Belanda di Panglejer. Setelah itu, mereka menuju Bojong Pangkalan dan berhenti di pasar. “Ketika berhenti tampak Pak Syafei berbincang dengan Belanda. Dan hati saya sangat bahagia, di situ dia dilepaskan. Saya yakin Belanda tak sadar siapa yang dilepaskannya itu,” kata Sholeh. Dari Bojong Pangkalan, Sholeh dan lainnya dibawa ke penjara di Tegal Waru. Sholeh dipenjara sendiri dan diintrogasi tentara Belanda yang bertanya lokasi persembunyian Syafei. Selain itu, dalam posisi tangan terikat digantung, dia dipukul dibagian dahi dengan gagang pistol, tidak diberi nasi dan hanya diberi air selama tiga hari. Tak lama kemudian, Sholeh melihat Syafei di lingkungan penjara. Syafei berbicara kepada tentara Belanda. Sholeh dibebaskan setelah menandatangai surat pembebasan. “Saking gembiranya, surat tersebut saya tandatangani tanpa dibaca,” kata Sholeh.

  • Membawa Kasus 1965 ke Publik Internasional

    BEBERAPA elemen masyarakat, dari aktivis hingga akademisi, bergabung untuk mengadakan International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) atau Pengadilan Rakyat Internasional. Langkah ini diambil karena pemerintah belum mampu menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan genosida yang terjadi pada 1965-1966. “Setelah lima puluh tahun, apa political will dari pemerintah? Hampir gak ada,” kata Reza Muharam, aktivis IPT 1965. IPT 1965 merupakan sebuah pengadilan alternatif. Bentuknya tidak formal seperti pengadilan negara atau lembaga yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Putusannya tidak mengikat. Reza menjelaskan, IPT merupakan pengadilan moral. Kendati pengadilan nonformal, IPT tidak dibuat secara asal. Format pengadilan dijalankan sesuai prosedur pengadilan HAM formal. Ada hakim, penuntut, saksi, dan yang dituntut. Jaksa akan mendakwa negara Indonesia sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM 1965. Sidang akan dilangsungkan pada 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda. Tahun 2015 dipilih karena bertepatan dengan peringatan 50 tahun tragedi tersebut. Sedangkan putusan akan diselenggarakan di Jenewa pada 2016. Rencananya akan ada tujuh sampai sembilan hakim yang akan dipanelkan. Salah satu hakim yang sudah memberikan konfirmasi adalah Asma Jahangir, pengacara senior dari Pakistan yang pernah menjadi Special Rapporteur PBB mengenai eksekusi kilat, sewenang-wenang, dan di luar hukum dari tahun 1998 sampai 2004. Tujuan IPT 1965 untuk mendapat pengakuan nasional maupun internasional atas tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia pada peristiwa 1965 dan setelahnya. Tujuan lainnya, agar tindakan serupa tidak terjadi lagi di Indonesia. Pengadilan serupa pernah dilakukan negara lain. Misalnya, Pengadilan Rakyat untuk kasus kekerasan seksual oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II, yang dikenal dengan Tokyo’s People Tribunal: The Woman’s International War Crimes Tribunal for The Trial Of Japan’s Military Sexual Slavery, Japan (TPT). Dilangsungkan pada 2000 dan diputuskan tahun 2001. Hasilnya, sepuluh orang tertuduh (Kasiar Hirohito, sembilan komandan militer berpangkat tinggi, serta menteri terkait) dinyatakan bersalah. Salah satu pelanggaran HAM setelah G30S adalah genosida. Saat itu terjadi pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Faktanya, yang menjadi korban bukan hanya dari kalangan PKI, tapi orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI pun menjadi korban. “Genosida lebih tinggi dari pelangaran HAM berat,” kata Bonnie Setiawan, aktivis IPT 1965. Hasil IPT yang tidak formal merupakan suatu kelemahan. Namun, dengan adanya IPT, kasus pelanggaran HAM tersebut terangkat ke ranah Internasional. Hasil dari IPT akan menjadi tekanan publik kepada pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan HAM setelah kasus G30S. “Yang kita harapkan dari IPT, kita punya dokumen lengkap di luar yang sudah ada. Misinya untuk memobilisasi tekanan publik kepada negara,” kata Reza.*

  • Sejarawan Asvi Warman Adam: Saya Bukan Pengkhianat Negara

    SEJARAWAN Dr. Asvi Warman Adam memberikan kesaksiannya di Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 di Den Haag, Belanda. Dia dihadirkan sebagai saksi ahli untuk menjelaskan peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa Orde Baru. Sebelum menyampaikan kesaksiannya, Asvi terlebih dahulu menjelaskan kenapa dia hadir dan memberikan kesaksiannya dalam pengadilan ini. “Saya bukan pengkhianat negara. Kesaksian saya ini berdasarkan tugas saya sebagai peneliti yang ditunjuk oleh Komnas HAM pada 2003 untuk meneliti pelanggaran HAM Orde Baru,” kata Asvi. Pada 2003, Komnas HAM meminta Asvi untuk meneliti dan menginventarisasi kejahatan kemanusiaan apa saja yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Setelah menemukan bukti-bukti yang kuat, Asvi dan tim bersepakat untuk menjadikan kasus pemenjaraan paksa anggota dan simpatisan PKI di Pulau Buru sebagai kasus pelanggaran HAM berat. “Pulau Buru itu jelas pelanggaran HAM berat. Ada sekitar sepuluh ribu orang ditahan tanpa pengadilan. Pulau Buru persis seperti gulag di masa Stalin memerintah Uni Soviet,” kata sejarawan LIPI itu. Menurut Asvi pemerintah Orde Baru juga dengan sengaja melanggengkan isu bahaya komunisme sebagai cara untuk menundukkan lawan politik mereka. Bahkan tuduhan ini digunakan untuk melancarkan proyek-proyek pembangunan pemerintah. Masyarakat yang tidak mau tunduk kepada pemerintah seringkali dicap sebagai PKI. Asvi mengungkapkan hal yang sama terjadi baru-baru ini di Jatigede, petani di Jatigede dituduh PKI karena tidak mau menyerahkan lahannya untuk dijadikan waduk. Menurut saksi ahli ini, tuduhan tersebut merupakan dampak yang berlaku sejak zaman Orde Baru.  Selain Asvi ada empat saksi lain yang telah memberikan kesaksiannya. Namun berdasarkan pertimbangan keselamatan diri para saksi, saksi-saksi tersebut dirahasiakan nama dan penampilannya di dalam persidangan. Salah satu saksi korban memberikan keterangan tentang penderitaan dia sebagai tahanan di Pulau Buru. “Kami makan tikus dan ular. Ular yang paling panjang yang pernah kami tangkap panjangnya sembilan meter. Ular itu dibagi-bagi dagingnya untuk makan kami ketika di Pulau Buru,” tuturnya. Seorang peneliti juga memberikan kesaksiannya mengenai pembunuhan massal yang terjadi di luar Jawa. Saksi ketiga tersebut mengungkapkan tentang apa yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. “Di Pulau Sabu ada 34 laki-laki ditembak, itu terjadi pada kurun tanggal 29-30 Maret 1966. Di Sumba Barat dan Sumba Timur 40 orang laki-laki ditembak mati, di Alor 409 laki-laki dibunuh, di Kupang Timur 58 orang itu semua terjadi pada kurun tahun 1966-1968,” kata saksi. Ketika jaksa mengajukan pertanyaan siapa yang melakukan eksekusi mati di luar hukum tersebut, saksi tersebut menjawab pelaku datang dari TNI dan polisi dengan bantuan warga setempat yang dipaksa. “Kalau mereka tidak membantu, mereka diancam akan dibunuh,” katanya. Sampai berita ini diturunkan, keterangan saksi-saksi masih terus berlanjut. Ratusan peserta turut hadir dalam pengadilan ini, termasuk wartawan dari pelbagai media massa mancanegara.

  • Kisah di Balik Foto Eksekusi Pejuang Indonesia

    BERITA dan foto di harian de Volkskrant edisi Jumat 16 Oktober tentang eksekusi di Indonesia pada zaman perang kemerdekaan dulu, diteruskan oleh televisi dan radio Belanda yang lebih lanjut mengupas foto-foto itu. Memang hanya foto dan slides yang ditemukan di Verzetsmuseum (Museum Perlawanan) Gouda, penjelasan lain tidak ada. Kepada NPO-Radio 1, radio publik Belanda, sejarawan Louis Zweers, spesialis foto-foto dekolonisasi Indonesia, menyatakan penemuan terakhir itu tidak menyertakan konteksnya. Itu berarti, demikian Zweers, tidak ada informasi mengenai di mana, kapan, siapa dan apa yang sebenarnya terjadi. Padahal informasi semacam itu, termasuk siapa yang berada di belakang kamera, esensial bagi foto-foto sejarah. Memang, segera setelah foto tersebar, termasuk di media sosial, publik langsung bereaksi dengan melontarkan pelbagai pertanyaan, seperti siapa saja korban eksekusi itu? Di mana dan kapan eskekusi ini terjadi? Mengapa bagian bawah tubuh korban tidak berpakaian dan hanya ditutupi jerami atau rumput? Tidak semua pertanyaan dikupas oleh televisi dan radio Belanda. Salah satunya adalah kenyataan bahwa enam orang yang dieksekusi itu dalam keadaan setengah telanjang, bagian bawah tubuh mereka tidak berpakaian. Dalam foto bagian itu ditutupi jerami atau rumput. Mengapa demikian? Inikah bentuk pelecehan seksual terhadap orang Indonesia? Pertanyaan ini tidak dilontarkan dalam pengupasan lebih lanjut oleh media elektronika Belanda. Mungkin karena orang tidak tahu jawabannya. Mungkin pula karena orang risih untuk berbicara tentang sesuatu yang jelas-jelas berkaitan dengan moral dan susila. Tiadanya pembahasan jelas memungkinkan spekulasi. Apalagi karena masih ada foto telanjang lain.  Foto inilah yang tampaknya bisa memberi penjelasan. Pada foto yang lebih gelap ini terlihat tiga orang. Dua orang Indonesia tidak berpakaian, mereka hanya membawa pakaian. Sedangkan orang lain yang juga berwajah Indonesia mengenakan seragam militer dan membawa senapan. Menariknya di bawah foto ini tertera kalimat bahasa Belanda: “ Voor een verhoor of onderzoek moesten Indonesiërs zich soms geheel ontkleden ”, artinya untuk interogasi atau penyidikan orang-orang Indonesia kadang-kadang harus sepenuhnya melepas busana. Kalimat seperti itu menggiring kita pada kesimpulan bahwa sebelum dieksekusi enam orang tersebut terlebih dahulu telah diinterogasi dan pada saat itu mereka harus melepas pakaian, sepenuhnya telanjang. Mungkin ini untuk memastikan bahwa mereka tidak membawa senjata, jadi tidak berbahaya bagi para interogator. Selain itu juga tidak tertutup kemungkinan bahwa telanjang merupakan penghinaan serta pelecehan seksual tidak langsung. Louis Zweers, dalam wawancara dengan NPO-Radio 1 mengungkap perihal kapan dan di mana foto-foto ini diambil. Menurutnya foto itu diambil di Bandung pada awal tahun 1946. Walaupun dalam wawancara dengan Radio 1 itu, Zweers tidak menjelaskan bagaimana dia bisa sampai pada kesimpulan itu, tetapi dengan melihat foto-foto lain yang ada, Bandung adalah kesimpulan yang masuk akal. Dalam berita harian de Volkskrant edisi Jumat 16 Oktober juga diungkap foto parade militer di depan hotel Savoy Homann di Bandung. Maka bisa dipastikan foto-foto lain yang ada dalam himpunan itu juga diambil di Bandung dan sekitarnya. Lebih lanjut Zweers menegaskan bahwa pada waktu itu situasi Bandung kacau balau. Dalam kekacauan itu paling sedikit ada pasukan Inggris-India (Gurkha) dan satuan-satuan KNIL, keduanya bersama-sama menghadapi para pemuda Indonesia yang berupaya mempertahankan kemerdekaan, menyusul proklamasi 17 Agustus 1945. Zweers yakin enam orang Indonesia yang dieksekusi merupakan dampak bentrokan antara pasukan KNIL dengan para pemuda Indonesia. Yang penting bagi pakar foto dekolonisasi Indonesia ini adalah prajurit Belanda belum tiba. “Mereka baru tiba di Jawa pada bulan Maret 1946,” demikian Zweers. Dengan begitu yang bertanggung jawab bagi eksekusi itu adalah pasukan KNIL yang biasanya terdiri dari orang-orang Indonesia sendiri, orang-orang Ambon, Minahasa dan juga orang Jawa. Foto-foto yang ditemukan di Gouda itu, demikian Zweers, merupakan fase awal upaya Belanda merebut kembali Indonesia. Periode awal menjelang kedatangan pasukan Belanda ini memang sudah diwarnai kekerasan. Korbannya juga termasuk warga sipil, bukan hanya orang Indonesia, tetapi juga warga sipil Belanda, termasuk kalangan Indo yang berdarah campuran Indonesia Belanda. “Periode Bersiap” demikian julukan orang Belanda terhadap periode ini. Ditemukannya foto-foto di Gouda ini semakin memperkeras seruan supaya dilakukan penelitian menyeluruh terhadap perang kolonial Belanda. Termasuk apa yang disebut Periode Bersiap yang merupakan masa-masa penuh trauma bagi kalangan Indo-Belanda.

  • Kisah Rumah Tempat Lahirnya Sumpah Pemuda

    BANGUNAN di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta lebih ramai dari biasanya pada Selasa siang, 27 Oktober 2015. Pengunjungnya murid sekolah, wartawan, dan umum. Tiga ibu-ibu dari instansi pemerintahan asik berfoto di ruang tamu. Tuan rumah sibuk berbenah untuk memperingati Sumpah Pemuda dengan pameran bertajuk “Kisah Perjuangan SM Amin.” Sekira 89 tahun silam, bangunan bergaya Eropa itu juga kedatangan banyak orang. Para pemuda dari berbagai daerah hadir mengikuti Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Sejak 1925, rumah itu sudah ramai. Pemiliknya, Sie Kong Liang, menjadikannya tempat indekos mahasiswa. “Awalnya Jong Java, baru tahun 1927-an dari berbagai daerah. Mohammad Yamin, A.K. Gani kos di sini,” ujar Dwi Nurdadi, pekerja dan pemandu Museum Sumpah Pemuda. Dengan biaya sekira f.7,50 per bulan, mereka menempati kamar-kamar di bagian belakang. Para anggota Jong Java yang kebanyakan mahasiswa STOVIA mendirikan grup kesenian Jawa Langen Siswo. Rumah itu menjadi markas dan tempat latihan menari Jawa. Sehabis makan malam bersama, mereka berdiskusi mengenai hal-hal di lingkungan masyarakat. Mereka kemudian mendiskusikan masalah politik dan pergerakan. Seiring berjalannya waktu, jumlah mahasiswa yang kos di rumah itu bertambah. Mereka berasal dari berbagai daerah dan perguruan tinggi. Di antara mereka, sebagaimana dicatat dalam Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda , terdapat Moh. Yamin, Amir Sjarifuddin, Surjadi (Surabaya), Surjadi (Jakarta), Asaat, Abu Hanifah, AK Gani, Hidajat, F Lumban Tobing, Sunarko, Kuntjoro, Amir, Rusmali, Tamzil, Sumanang, Sambudjo, Urip, Mokoginta, dan Hasan. Di rumah Kramat 106, mereka semakin aktif mendiskusikan masalah sosial-kemasyarakatan, politik dan pergerakan nasional. Pada 1928, mereka namakan rumah itu Indonesische Clubgebouw (IC) –nama populer lain, Indonesische Clubhuis. Banyak pemuda-pelajar tertarik. Mereka bukan hanya mendapat banyak kawan dan wawasan, tapi juga ajang untuk mengasah diri. Amir Sjarifuddin salah satunya. “Seluruh aktivisme ekstra-kurikuler Amir berkembang dari Sekolah Hukum melalui Kramat 106, di mana para mahasiswa hukum dan kedokteran paling progresif tinggal,” tulis Gerry van Klinken dalam Lima Penggerak Bangsa yang Terlupakan: Nasionalisme Minoritas Kristen . Selain studi dan mengurus IC, kesibukan Amir antara lain adalah mengedit jurnal Indonesia Raja milik PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dan mengajar di Universitas Rakjat di Gang Kenari. Syarat menjadi pimpinan IC tidak mudah, yaitu harus berprestasi baik dalam studinya dan wajib mendekati rakyat. IC berjejaring dengan tempat lain yang menjadi basis pemuda pergerakan, seperti gedung milik Husni Thamrin di Gang Kenari dan Gedung Perguruan Rakyat di Salemba. Merekalah yang menggerakkan terselenggaranya Kongres Pemuda II pada 1928. Persiapan matangnya sering berlangsung di rumah itu. Kramat 106 pula yang menjadi tempat sidang ketiga Kongres Pemuda II, di mana untuk kali pertama W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya menggunakan biolanya. Biola itu dipajang di rak kaca yang berada di sebelah kiri museum. “Yang kita punya asli, itu biola WR Supratman. Jadi koleksi kita yang paling penting ya gedung sama biolanya,” ujar Dwi. Kisah di Kramat 106 harus berhenti pada 1934 karena IC tidak mampu membayar sewa kepada Sie Kong Liang. Setelah mendapatkan pernyataan bersalah yang ditandatangani Roesmali, ketua IC, Sie Kong Liang membawa masalah itu ke pengadilan. IC menang berkat pembelaan Moh. Yamin dan Amir Sjarifuddin. Kong Liang naik banding. Atas saran Yamin dan Amir, para pengurus IC tak menghadiri sidang dan melarikan diri. Mereka pindah ke Kramat Raya 156 dan membalik nama IC menjadi CI dengan ketua AK Gani untuk menghindari endusan pemerintah kolonial. Sepeninggal IC, rumah itu bergonta-ganti penghuni sebelum akhirnya jadi bangunan cagar budaya dan Museum Sumpah Pemuda.

  • Seorang Raja di Sulawesi Selatan Menentang Perbudakan

    KETIKA Sultan Alaudin, raja Gowa XIV, menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan, seluruh kerajaan taklukannya di Sulawesi Selatan pun harus ikut. Namun, persekutuan kerajaan dalam ikrar tellu bocco , yakni Bone, Soppeng dan Wajo tidak menerima begitu saja. Ajakan masuk Islam oleh Gowa dianggap sebagai upaya menanamkan kekuasaan di wilayah kerajaan itu. Akhirnya, selama empat tahun, Gowa menyerang tiga kerajaan itu. Perang ini dikenal dengan nama Musu Selleng (Peperangan Islam). Sidenreng dan Soppeng diislamkan pada 1690, Wajo pada 1610 dan Bone pada 1611. Perkembangan Islam di Bone begitu pesat. Raja Bone XIII, La Maddaremeng Matinroe ri Bukaka (periode1631-1640), menerapkan aturan-aturan Islam dengan ketat, tak hanya dalam wilayahnya melainkan ke kerajaan tetangga seperti Soppeng dan Wajo. La Madderemeng, mengeluarkan perintah untuk tidak lagi mempekerjakan ata (budak). Menurutnya, semua umat Islam adalah orang yang merdeka. Bila seseorang mempekerjakannya maka harus memperoleh nafkah sewajarnya. Selain pembebasan budak, La Madderemeng juga menghancurkan berhala dan tidak mengijinkan kepercayaan leluhur yang tidak sesuai syariat Islam. Namun, tindakan itu tak begitu disenangi rakyat dan kalangan istana, bahkan ibunya sendiri, We Tenrisoloreng Datu Pattiro. Kerajaan tetangga yang merasa tertekan dengan aturan La Maddaremmeng secara perlahan menggalang kekuatan dengan kerajaan Gowa. Pada 1640, tulis Mattulada dalam Menuyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah , mengatakan bila We Tenrisoloreng Datu Pattiro ibunda sang raja melakukan perjalanan dan menuju Makassar untuk meminta perlindungan pada Sultan Malikussaid, raja Gowa XV (periode 1639-1653) pengganti Sultan Alaudin yang mangkat. Dalam lontara’ kerajaan Gowa Tallo, beberapa kali utusan kerajaan Gowa menuju Bone untuk meminta penghentian aturan tersebut, namun tak pernah digubris La Madderemeng. Akhirnya, perang pun kembali berkobar. Gowa didukung Wajo, Soppeng dan Sidenreng menghimpun pasukan dalam jumlah besar dan menyerang Bone. Pada 1644, Bone ditaklukkan. La Maddaremeng ditangkap dan ditawan di Makassar. Sementara adiknya La Tenriaja yang mendukung segala aturan La Madderemeng, melarikan diri. Kekalahan inilah yang kemudian dalam lontara’ Bone dituliskan, “Naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana.” (maka diperbudaklah (Bone) tujuh belas tahun lamanya). Kekosongan takhta di kerajaan Bone saat itu, menunjuk Karaeng Patingaloang sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa sekaligus paman dari Sultan Malikussaid menjadi raja. Namun, permintaan tersebut ditolak. Dan akhirnya Sultan Malikussaid menjadi raja Bone sekaligus Gowa. Beberapa tahun kemudian, La Tenriaja muncul dan menghimpun kekuatan. Dewan adat Bone mengangkat La Tenriaja sebagai raja tanpa sepengetahuan Gowa. Sultan Malikussaid bersama Karaeng Patingalloang memimpin pasukan untuk memerangi Bone. Bone kalah dan ratusan orang Bone menjadi tawanan termasuk La Tenriaja. Sekutu kerajaan Gowa, kemudian meminta pembagian rata tawanan dari Bone untuk dijadikan budak. Di Gowa, praktik dan sistem perbudakan berlangsung sejak lama. Sejarawan Universitas Hasanuddin Edwar Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX , mengutip ikrar Tunipalangga, raja Gowa X (periode 1546-1565) yang berbunyi “ Makkanama na mammio (aku bertitah dan kamu menaati).” Di Makassar penduduk-penduduk taklukan dijadikan budak. Digunakan oleh pedagang atau pemilik tanah sebagai pendayung, pengangkut beban, dan pekerja di lahan pertanian. Maka tak heran, sistem budak ini menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangan budak, baik dari Kalimantan, Timor, Manggarai, Solor, dan Tanimbar.

  • Lobang Maut Saudara Tua

    SELINTAS lubang besar di dinding tanah merah laiknya terowongan pertahanan gerilyawan Viet Cong. Saat menuruni tangganya yang berjumlah 132, situasi rapat dan terlindungi sangat terasa. Begitu rapatnya hingga saat memasuki lebih dalam, bau lembab tanah yang mendominasi udara pengap pun menyeruak tajam di rongga hidung. Menurut pemandu Jefry (45), di goa yang panjangnya 1470 meter tersebut –sisanya 4730 meter belum tereksplorasi– ribuan pekerja paksa ( romusha ) mati menggenaskan. Bukti kisah horor tersebut terekam dari banyaknya ruangan mirip penjara yang difungsikan sebagai tempat penyiksaan. Dengan rongga berbentuk setengah lingkaran yang rata-rata tingginya dua meter – kecuali beberapa rongga memaksa para pengunjung membungkuk– goa ini ditujukan untuk pertempuran gerilya panjang melawan Sekutu. “Lihat saja dari bentuk arsitekturnya, goa ini sengaja diciptakan oleh tentara Jepang dengan ujung-ujung terowongan rahasia yang menembus punggung lain dari bukit itu,” ungkap Jefry.  Tujuannya saat musuh masuk lewat pintu utama, para serdadu Jepang bisa cepat keluar dari ujung-ujung goa itu, untuk berbalik mengepung musuh yang terjebak di dalam. Jadi, selain sebagai benteng pertahanan, goa ini juga berfungsi sebagai penjebak musuh. Laiknya benteng pertahanan, goa ini terbagi dalam beberapa ruang untuk rapat, sidang, makan, tahanan, enam ruang amunisi, 12 ruang tidur, 12 barak militer, dan dua ruang tidur romusha . Untuk ventilasi, lorong gua memiliki beberapa saluran lubang ke atas tanah. Di beberapa sudut, terdapat lorong yang menembus bukit ke arah jalan raya untuk menangkap penduduk yang biasa menggunakan jalan tersebut untuk mengangkut hasil panen. “Selain merampas hasil tani penduduk, para tentara Jepang itu menangkapi orang-orang setempat untuk menambah jumlah romusha di goa itu,” ujar Jefry. Kekejaman serdadu Jepang terhadap para romusha dibuktikan lewat sebuah lubang yang mengarah ke bibir jurang Ngarai Sianok. Fungsi lubang tersebut, kata Jefry, sebagai pembuangan mayat romusha yang melawan. Sebelum menjadi mayat, biasanya korban diisolasi terlebih dahulu dalam tempat sempit dalam goa tanpa diberi makan dan minum. ”Di sini mereka buang mayatnya,” kata Jefry sambil menunjuk sebuah lubang seukuran tubuh manusia yang saat ini sudah ditutup oleh semen. Sejak didirikan tahun 1942, goa ini tetap menjadi rahasia. Hingga pada sekitar September 1946, sekelompok pencari kayu bakar menemukan goa ini di balik semak belukar yang lebat. Ketika ditelusuri lebih lanjut memang tak ada yang tersisa di goa itu, kecuali beberapa pucuk pistol dan batok-batok kelapa –tempat makan dan minum romusha – yang berserakan. Menurut Sukidi, beberapa senjata yang ditemukan tersebut, diabadikan di Museum Tri Daya Ekadarma. “Sepertinya sebelum meninggalkan goa ini, tentara Jepang sempat mengangkut amunisi mereka,” ungkap pegawai museum yang terletak berhadapan dengan Taman Wisata Panorama Ngarai Sianok. Pada 11 Maret 1986, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan meresmikan goa peninggalan tentara Jepang itu sebagai tempat wisata sejarah di Bukittinggi. Sejak resmi menjadi tempat wisata inilah, Goa Jepang mengalami berbagai renovasi. Dinding-dindingnya yang semula asli dari cadas, kemudian ditempeli semen. Menurut Jefry, hal tersebut terpaksa dilakukan sebagai antisipasi pengurangan kadar kelembaban dan mencegah dirusaknya dinding goa oleh tangan-tangan jahil. Tentu saja, upaya itu banyak menimbulkan protes, terutama dari kalangan peneliti dan pecinta sejarah. Mereka menyebut penyemenan itu sebagai suatu kecerobohan karena menghancurkan kondisi asli Goa Jepang Bukittinggi.

  • Bahasa Indonesia yang Terdesak Bahasa Asing

    TAHUN 2013, di kawasan pesisir pantai losari Makassar, berdiri gedung serba guna. Namanya Celebes Convention Center . Gedung ini dibangun pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan menjadi salah satu kebanggaan. “Inilah yang saya bilang, kenapa tak menggunakan bahasa Indonesia saja. Kenapa harus memasukkan bahasa asing,” kata Guru Besar Bahasa Indonesia Universitas Hasanuddin, Muhammad Darwis. “Mulai ibukota negara sampai ke ibukota provinsi, bahkan pada ibukota kabupaten kita menyaksikan bahasa Inggris berkibar-kibar sebagai nama gedung dan badan usaha,” lanjut Darwis. Fenomena ini, kata Darwis, menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia tak memiliki prestise oleh penuturnya sendiri. Dianggap bahasa kelas dua dan tidak menjanjikan kemajuan ataupun kemodernan. Padahal, dekade awal tahun 1980-an, pemerintah Indonesia menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia secara intens. Di beberapa ruas jalan terpasang plang peringatan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia. Sekolah-sekolah pun diwajibkan menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar. Namun apakah itu cukup? Darwis dalam pengamatannya mengatakan, semua itu seolah tak memiliki dampak. Pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi teladan dan contoh dalam berbahasa, dianggap lalai. “Kalau dengar pidato sambutan pejabat dalam beberapa acara, maka yang terdengar adalah bahasa Indonesia berbumbu bahasa asing (Inggris),” katanya. “Bahkan di kota besar, seperti Jakarta, atau juga Makassar, beberapa keluarga kini menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa percakapan. Saya kira ini sangat ironis,” lanjutnya. Bagaimana dengan bahasa daerah? Indonesia yang memiliki 1.128 etnik dan sekitar 729 ragam bahasa asli, setiap tahun memiliki penurunan jumlah penutur. “Bahasa Indonesia saja dianggap kelas dua, apalagi bahasa daerah” kata Darwis. Di Sulawesi Selatan, bahasa Bugis merupakan penutur mayoritas. Namun dalam kajian Darwis, di beberapa tempat seperti Bone akan lebih cepat mengalami kepunahan dibanding wilayah Sidrap. “Di Bone, bahasa Bugis memiliki strata sosial. Penggunaan bahasa berbeda bersama kalangan bangsawan dan masyarakat biasa. Sementara di Sidrap tak mengenal itu, jadi akan lebih lama bertahan,” katanya. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman mengatakan, kehilangan bahasa daerah diibaratkannya seperti bencana kebudayaan. “Hilangnya bahasa daerah akan menghilangkan pengetahuan atas etnik dan kekayaan budaya itu,” katanya beberapa waktu lalu. Dia mencotohkan, bagaimana kata silussureng (ungkapan untuk menunjukkan saudara kandung, atau pengangkatan ikatan persaudaraan, ikatan darah, dalam satu lubang rahim kelahiran) menjadi begitu sakral bagi masyarakat penutur Bugis. “Bayangkan kata itu diganti dengan saudara, atau saudara angkat. Tentu tidak sesakral bahasa aslinya. Dan tidak merangkup pengetahuan dalam etnis itu,” katanya.

bottom of page