top of page

Hasil pencarian

9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Problem Historiografi Indonesia

    TAUFIK Abdullah membuka ceramahnya dengan menyebut Mohammad Hatta sebagai orang Indonesia pertama yang secara terbuka menyatakan sejarah nasional Indonesia. Menurutnya, hal tersebut terbaca dari pidato pembelaan Hatta pada 1928 di depan Pengadilan Den Haag, Belanda. Menurutnya, dalam pidato yang berjudul Indonesia Vrij ( Indonesia Merdeka ) itu Mohammad Hatta tak hanya memprotes pemerintah kolonial namun juga mengecam corak pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah pemerintah di Hindia Belanda. Siswa yang bersekolah di sekolah pemerintah hanya dicekoki kisah pahlawan Eropa. “Para pelajar di sekolah-sekolah pemerintah, katanya, hanya disuruh dan dibujuk “untuk mencintai dan mengagumi pahlawan-pahlawan kemerdekaan Eropa, seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem van Oranye,” kata Taufik dalam ceramahnya di Salihara, 26 Januari kemarin. Sejarawan senior ini pun membandingkan pidato Hatta dengan pidato Indonesia Menggugat, pledoipembelaan Sukarno di pengadilan Bandung pada 1930. Taufik menilai dari kacamata seorang akademis, pidato Hatta jauh lebih bernilai ketimbang Sukarno. “Kalo dipandang dari sudut pandang akademis, Indonesia Vrij lebih tinggi nilainya daripada Indonesia Menggugat , karena Bung Hatta kan kuliahnya di Belanda, sedangkan Bung Karno kan hanya di Bandung,” ujarnya ditingkahi derai tawa peserta. Dalam Indonesia Menggugat , Sukarno tidak melakukan protes terhadap narasi sejarah kolonial. Dia, menurut Taufik, hanya mengisahkan pembabakan sejarah Indonesia ke dalam tiga periode yakni, masa lalu yang gemilang; masa kini yang gelap gulita; dan masa depan yang penuh harapan. Menggugat Neerlando-Sentrisme Dalam ceramahnya, Taufik juga menjelaskan sejarah historiografi di Indonesia mulai zaman Hindia Belanda. Buku F.W Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indies (Sejarah Hindia Belanda) yang terbit 1939, dipandang sebagai titik puncak historiografi kolonial. Buku ini terdiri dari lima jilid: dua jilid pertama mengenai kerajaan lama di Jawa yang bercorak Hindu dan Islam dan tiga jilid berikutnya tentang peran Belanda. Buku tersebut kemudian dikritik oleh J.C van Leur karena sejarah Indonesia hanya dipandang sebagai perpanjangan tangan dari orang-orang VOC, seputar pejabat, gubernur jenderal dan orang-orang  besar lain. “Dalam hal ini orang Indonesia tidak muncul sama sekali, atau sebagai people without history jika meminjam istilah Henk Schulte Nordholt,” kata Taufik dalam makalahnya. Sekira 1950-an, zaman kembali normal setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, diskusi tentang historiografi Indonesia mulai menghangat. Mulai dari Willem Philippus Coolhaas (1899-1981), ahli sejarah kolonial sekaligus mantan pejabat kolonial, yang mengkritisi van Leur, hingga pendapat GJ Resink yang menyatakan Indonesia tidak dijajah 350 tahun. Dalam makalahnya, Taufik menulis secara agak sinis mengenai H.J De Graaf. Menurutnya, de Graaf -ahli sejarah kesultanan Mataram-, tetap terpukau dengan dinamika sejarah Jawa dan melupakan wilayah lain. Taufik lebih menyoroti karya de Graaf yang berjudul De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram 1613-1645, en die van zijn Voorganger Panembahan Seda Ing Krapjak 1601-1613 , yang diterbitkan tahun 1958. Namun dia tak merujuk karya de Graaf lain yang berjudul Geschiedenis van Indonesie yang diterbitkan tahun 1949. Bahkan oleh Moh Ali, seperti ditulis dalam Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia , buku de Graaf tersebut termasuk dalam kategori karya yang progresif waktu itu, sejajar dengan buku Nusantara karya B.H.M Vlekke yang terbit 1943. Rekonstruksi sejarah otentik dengan visi nasional mulai mengemuka pada Seminar Sejarah Nasional, di kampus UGM Yogyakarta, pada 14-18 Desember 1957. Pesertanya beragam, mulai dari akademisi, pendidik, ahli arkeologi bahkan hingga politisi dari berbagai partai politik kala itu. “Ada satu orang yang kemudian terkenal, bahkan kelak ada yang membenciya dan ada pula yang menyanjungnya. Orang itu adalah Aidit (D.N Aidit - red ). Jadi ia datang di seminar sejarah itu,” kenang Taufik. Hasil utama seminar sejarah tersebut adalah ciri Neerlando-sentris dalam penulisan sejarah harus digantikan dengan visi Indonesia-sentris. Setelah Sukarno tergusur, Maret 1968, Suharto memegang tampuk. ‘Revolusi’ digantikan ‘pembangunan nasional’ ala Orde Baru. Agustus 1970, Seminar Sejarah Nasional II dihelat. Menurut Taufik, ada dua hasil penting, yaitu pembentukan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia 6 jilid. Dalam kacamata Taufik, Orde Baru hanya ingin menguasai rekonstruksi dan corak interpretasi kesejarahan tentang beberapa peristiwa sejarah tertentu. “Misalnya dalam buku jilid VI buku SNI, PDRI hanya diceritakan beberapa kalimat saja. Dan tentu saja masalah G30S,” tukas Taufik. Masalah Penulisan Sejarah 1965 “Sewaktu saya SMP dua guru memberikan dua keterangan berbeda tentang pelaku G30S, dan buku cetak yang kami baca juga mengatakan hal yang berbeda. Lalu seperti apa kebenaran itu?,” tanya Fanny, seorang pelajar, kepada Taufik di sesi tanya jawab. Taufik menjawab normatif: tinggal bagaimana penyampainya atau guru yang mengajarkannya. Setelah kejatuhan Suharto 1998, masalah penulisan sejarah terutama tema G30S kembali diperbincangkan. Bukan hanya ditataran akademisi, penambahan materi tentang masalah G30S juga masuk dalam kurikulum sekolah, seperti pada kurikulum 2004 yang menyebut peristiwa itu sebagai G30S saja. Namun, pada kurikulum 2006, ditetapkan kembali istilah G30S/PKI. Kejaksaan Agung mulai mempertanyakan terbitnya buku yang tidak menggunakan istilah G30S/PKI. Bahkan Menteri Pendidikan Nasional meminta para penerbit menarik buku-buku mereka yang menggunakan istilah lain selain G30S/PKI. Pada akhir ceramahnya, model pelurusan sejarah tentang masalah G30S perlu dikaji ulang. Menurutnya, dengan nada sinis, ketika pelurusan sejarah itu diluncurkan, maka batas profesionalisme, ambisi politik, kesombongan dan kenaifan menjadi kabur. “Tidak usah berlagak i’m the truth,”, ujarnya.

  • Geco, Makanan Antik Warisan Karuhun

    SIANG yang dingin di Cianjur. Hujan turun rintik-rintik, saat dua perempuan bule terlihat kebingungan di sekitar pertigaan Masjid Agung. Seorang lelaki muda kemudian menghampiri mereka dan menyapa. Usai berbicara sekitar tiga menit, sang lelaki kemudian mengantar mereka ke suatu sudut di kawasan tersebut dan menunjuk tempat yang mereka sedang cari. “Ternyata mereka mencari tempat mangkal saya,” ujar Zainuddin (60), penjual geco terkenal di Cianjur. Geco adalah makanan lawas dan khas dari kota tauco, Cianjur. Bahan utamanya adalah tauco khusus Cianjur  yang dibungkus  karakas (daun pisang yang sudah tua), taoge segar yang direbus setengah matang, ketupat, potongan kentang kecil, potongan telur rebus, mie aci (sejenis mie yang terbuat dari kanji), cuka lahang (cairan fermentasi dari pohon enau), kecap manis dan sambal cabe rawit. Karena menggunakan bahan utama taoge dan tauco, itu sebabnya disebut geco. “Tauconya dibuat seperti saus yang diracik menggunakan bawang putih, cabe merah, ketumbar dan sedikit kemiri, kemudian disiramkan ke bahan-bahan tadi,” ungkap lelaki yang biasa dipanggil langganannya Mang Iding itu. Sudah 16 tahun Mang Iding berjualan geco. Kendati ada dua tukang geco lain di seluruh Cianjur, namun hanya geco yang diraciknya yang dikenal sebagai legenda. Itu wajar, jika mengingat racikan geco yang dikenal saat ini merupakan karya sang kakek yang bernama Noedji. Ceritanya, sekira 1930, Noedji yang merupakan penggemar tauco melakukan eksperimen dengan mencampur bahan-bahan yang sudah disebutkan di atas dengan siraman saus taco yang dibuatnya. “Saat dicicipi para tetangga dan saudara-saudara lain, ternyata mereka suka…” kenang Iding. Melihat respons yang luar biasa itu, Noedji memutuskan untuk berhenti menjadi buruh tani dan berpindah sebagai pedagang makanan hasil eksperimen-nya itu. Dengan cara dipikul, ia lantas menjajakan geco secara berkeliling. Dasar hoki Noedji memang di situ, hampir setiap hari dagangannya habis terjual. Dan peminat geco ini ternyata bukan saja dari kalangan orang-orang pribumi, para sinyo dan noni pun ikut-ikutan suka makanan tersebut. “Makanya sekarang saya sering di datangi orang-orang Belanda. Rupanya mereka itu cucu atau cicit para sinyo dan noni tersebut. Mereka penasaran akan kelezatan geco seperti diceritakan para leluhurnya,” ujar Iding sambil tertawa. Noedji baru pensiun sebagai penjual geco keliling saat dirinya sakit-sakitan pasca 1945. Saat ia meninggal pada 1947, usahanya kemudian dilanjutkan oleh salah seorang dari 12 anaknya yang bernama Abdurachman, yang dikenal orang-orang Cianjur sebagai Mang Endul. “Semua ilmu pergecoan dari kakek saya tersebut turun kepada ayah saya tersebut,” ungkap Iding. Geco Mang Endul memang sangat melegenda di kalangan orang-orang Cianjur. Dengan menggunakan bahan bakar dari kayu pohon karet dan wadah saus tauco dari tanah liat (kendil), banyak kalangan tua terkesan. Sebut saja salah satunya adalah Atikah. Perempuan sepuh asli Cianjur itu mengungkapkan bahwa tak ada penjaja makanan yang paling ditunggu orang Cianjur selain geco-nya Mang Endul. “Waktu kami muda, jajanan yang paling sering kami beli yaitu geconya Mang Endul,” ujar nenek kelahiran 1946 tersebut. Bukan hanya kalangan rakyat biasa, para pejabat dan keluarganya pun kerap membeli geco bikinan Mang Endul. Sebagai contoh, Djoearta lurah Desa Nagrak pada tahun 1950-an, kerap membeli geco Mang Endul. “Bapak tak jarang menyuruh saya membeli geco  itu ke kota,” kenang Tjutju Sondoesijah, 70 tahun, putra sang lurah tersebut. Capek memikul dagangan kemana-mana, pada 1981, Mang Endul lalu membuat sejenis kedai sederhana di sekitar pertigaan Masjid Agung Cianjur. Hoki-nya pun terus berlangsung hingga ia wafat 19 tahun kemudian. Bisnis keluarga lalu dilanjutkan oleh Iding hingga kini. “Dari sekian anak-nya Bapak, hanya saya yang sanggup meneruskan usaha ini,” ujarnya. Iding mengaku kesanggupannya tersebut lebih dikarenakan tanggungjawab moralnya sebagai salah satu keturunuan Noedji. Kendati usaha geco yang dijalaninya telah menjadikan anak-anaknya bersekolah dan berumahtangga, namun bukan semata-mata soal keuntungan yang dipikirkannya. “Geco ini sekarang sudah menjadi makanan antik dan bagi saya secara pribadi ini adalah pusaka karuhun (nenek moyang) yang harus saya lestarikan sampai mati,” kata Iding. Meskipun sudah “diserang” oleh makanan-makanan terkini, Iding tetap yakin geco akan tetap bertahan sebagai makanan khas orang-orang Cianjur. Karena itu, sebagai bentuk kesungguhannya untuk melestarikan makanan warisan para leluhurnya, ia kini tengah “menyiapkan” salah seorang putranya untuk menjadi pewaris kedai geco yang berpenampilan sangat sederhana ini. “Saya melihat dia berbakat untuk berdagang dan memasak, doakan saja…” ujarnya. Ya, semoga saja geco tetap menjadi makanan yang mengisi hari-hari orang Cianjur.

  • UU Anti-Alkohol dan Mabuk-mabukan di Amerika

    Subdit Narkoba Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) menyita minuman keras beberapa waktu lalu. Seorang anggota DPR RI memprotes keras lantaran minuman keras dari rumah bir miliknya ikut disita. Melalui telepon, anggota DPR itu mencaci-maki Kasubdit Narkoba Polda NTT, AKBP Albert Neno, yang memimpin operasi. Neno melaporkannya kepada Kapolda NTT Brigjen Pol Endang Sunjaya. Alih-alih mengusut laporan itu, Endang justru mengembalikan semua minuman keras milik anggota DPR RI itu. Selang beberapa hari kemudian, Endang kehilangan jabatannya. Kisruh seputar miras mengingatkan kekisruhan serupa, meski tak sama, di negeri Paman Sam semasa UU Larangan Alkohol diberlakukan pada 16 Januari 1920. Ada yang mendukung, tapi lebih banyak yang menentang. Undang-undang itu melalui proses lumayan panjang sebelum disahkan. Para aktivis gerakan kesederhanaan, dimotori oleh kalangan Methodist, memelopori gerakan yang bermula pada 1840-an. Mereka aktif dalam kancah perpolitikan. Sempat tenggelam setelah 1850-an, gerakan itu kembali muncul pada era 1880-an bersamaan dengan meningkatnya gerakan pemurnian yang digalang Prohibition Party (berdiri pada 1869) dan para perempuan aktivis Christian Temperance Union (berdiri 1874). Kekuatan gerakan bertambah ketika Anti-Saloon League berdiri pada 1893. Ketiganya memperjuangkan undang-undang melarang alkohol. Menurut mereka, alkohol merusak bangsa Amerika. Tuntutan mereka mulai menampakkan hasil pada awal abad ke-20. Hampir semua negara bagian dan kabupaten di Amerika Serikat mulai mengeluarkan aturan larangan alkohol. “Kebanyakan aturan hukum awal ini dikeluarkan di pedesaan selatan, ini berangkat dari keprihatinan terhadap perilaku budaya mabuk-mabukan penduduk yang terus bertumbuh di negeri, terutama imigran Eropa,” tulis Coolleen Graham dalam “The United States Prohibition of Alcohol 1920-1933”, dimuat di laman cocktails.about.com . Perang Dunia I, yang menandai keterlibatan awal AS dalam politik internasional, meningkatkan kekuatan gerakan tersebut. Selain secara praktis larangan alkohol akan meningkatkan pasokan biji-bijian penting seperti barley, konsumsi alkohol secara religi bertentangan dengan kehendak Tuhan dan secara moral, orang yang bersenang-senang menikmati alkohol amat tidak bernurani karena banyak pemuda Amerika lain sedang mempertaruhkan jiwa mereka di medan perang. Semantara itu, industri minuman keras sedang bergeliat waktu itu. Penemuan mesin pendingin pada akhir abad ke-19 menjadi pemantiknya. Dengan mesin itu, para produsen minuman keras bisa memperpendek jalur distribusi produknya dan memangkas ongkos produksi. Para produsen seperti Pabst, Annheuser, atau Busch, yang menangkap peluang bisnis itu, dengan gencar mendirikan banyak saloon (sejenis bar pada masa itu) di berbagai kota Amerika. Melalui saloon-saloon itu, bir atau whiskey tak hadir ke tangan konsumen lewat botol lagi, tapi langsung ke gelas dari tangki-tangki pendingin milik saloon . Dibanjirinya kota-kota Amerika dengan saloon membuat kompetisi dalam bisnis tersebut semakin ketat. Para pemilik saloon menekan para pegawainya untuk menarik pelanggan sebanyak mungkin. Hal itu membuat para penjaga saloon melakukan berbagai upaya kreatif untuk memikat calon konsumen, seperti dengan menawarkan fasilitas judi, adu ayam, hingga prostitusi terutama kepada pelanggan yang lelaki muda. Oleh para penentang alkohol, realitas itu dijadikan pembenar untuk menganggap bahwa alkohol sebagai pemicu lahirnya tindakan-tindakan amoral. Kampanye mereka membuat mood masyarakat berubah jadi membenci alkohol. Pada 16 Januari 1920, Kongres mengeluarkan The 18 th Amendment, yang berisi larangan memproduksi, mendistribusikan, dan menjual minuman beralkohol. Konsumsi alkohol di AS menurun. Para pendukung legislasi itu optimis “eksperimen mulia” itu akan berhasil dengan baik. Pada awal 1920-an, angka penurunan mencapai 30 persen. Namun, para penentang legislasi terus mencari “jalan tikus” untuk mendapatkan minuman keras. Penyuling minuman keras mulai bermunculan, yang menjual minuman keras mereka dalam skala kecil. Keuntungan besar dari penjualan minuman ilegal membuat rumah penyulingan minuman menjamur. Minuman ilegal menjadi ceruk bisnis yang amat menjanjikan. “Jauh lebih menguntungkan dan hemat biaya membuat dan mendistribusikan alkohol sulingan (gin, vodka, whisky, dan rum) dibandingkan bir (pabrik, red .),” tulis Jefferson M. Fish dalam Drugs and Society: US Public Policy . Pemberlakuan UU Alkohol juga menyuburkan penyelundupan. Kanada dan Meksiko, juga negara-negara Eropa, menjadi pemasok rutin minuman-minuman ilegal ke AS. Dengan adanya celah kecil dari pemberlakuannya, undang-undang tersebut juga memarakkan penyalahgunaan alkohol. “Alkohol dan wine diresepkan oleh dokter dan tersedia di apotek. Banyak orang bersertifikat pendeta dan rabi mendistribusikan ‘anggur sakramen’ dalam jumlah besar,” lanjut Fish. UU Alkohol pada gilirannya menyuburkan kriminal. Selain suap dan korupsi aparat dan pejabat, legislasi itu juga menjadi ajang persaingan para mafia dan gangster untuk menguasai distribusi minuman ilegal. Chicago menjadi pusat persaingan mereka. Al Capone, salah satu mafia terbesar yang berbasis di kota tersebut, menangguk keuntungan besar dari bisnis itu. Para penduduk memproduksi dan menjual untuk mencari tambahan penghasilan di masa sulit itu.  Minimnya jumlah aparat plus rendahnya gaji mereka serta korup membuat pengawasan terhadap jalannya legislasi memprihatinkan. Lepas dari tiga tahun pertama, konsumsi alkohol justru meningkat. “Larangan itu tak pernah benar-benar populer bagi orang Amerika. Orang Amerika suka minum dan bahkan ada kenaikan jumlah perempuan yang minum selama era berlakunya legislasi, dan ikut mengubah persepsi umum tentang arti menjadi ‘terhormat’ (istilah yang sering digunakan pendukung legislasi untuk merujuk kepada non-peminum),” tulis Graham. Setelah melalui dua tahap pengurangan, pemerintahan F.D. Roosevelt, yang mulai berkuasa pada 1933, berhasil meyakinkan Kongres untuk mengeluarkan The21 st Amendment. UU ini menghapuskan peraturan undang-undang larangan alkohol –menjadi satu-satunya UU yang menghapus UU. “Jauh setelah pencabutan, konsensus tetap menganggap bahwa larangan alkohol secara nasional merupakan kebijakan publik yang buruk. Larangan itu, bagaimanapun, menghasilkan efek samping negatif jauh lebih substansial,” tulis Fish.

  • Toleransi Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan

    Bissu Saidi beberapa waktu sebelum dia wafat, untuk menuliskan gendernya apakah sebagai laki-laki, perempuan, atau waria. “Tidak nak. Saya ini bissu . Bissu itu sendiri,” jawabnya kepada Historia . Saidi kemudian mengangkat tangannya. Membuka telapaknya, lalu memegang jempolnya. Jempol itu, kata dia, adalah bura’ne (laki-laki), kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu . Pada masa lalu, bissu dianggap sebagai pranata spiritual paling vital sebagai penyambung dan penghubung antara manusia dan dewa. Bissu memiliki bahasa sendiri, yang diyakini sebagai bahasa orang-orang langit. Bahkan di beberapa kerajaan, bissu dilindungi oleh raja dan diberikan amanah dalam menjaga arajang (pusaka kerajaan). Tak hanya itu, calalai dan calabai , pun diterima di tengah masyarakat. Tak ada pertentangan atau bahkan tindakan untuk menekan. “Mereka hidup layaknya seperti orang lain,” kata peneliti sosial dan filolog Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi. Namun, perubahaan perlahan-lahan terjadi. Ketika budaya baru, dalam hal ini munculnya agama (Kristen dan Islam) menempatkan pembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara kodrati. “Dari sini, calalai, calabai dan bissu , akhirnya menjadi masyarakat kelas dua,” kata Muhlis. Bahkan pada periode tertentu, saat pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan dilaksanakan Operasi Taubat. Orang-orang yang mengakui dirinya di luar dari gender perempuan dan laki-laki akan dikejar. Jika calalai akan diberikan kembali baju perempuan. Begitu pun sebaliknya untuk calabai dan bissu , diberikan baju laki-laki. Sementara itu, dosen Fakutas Imu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman mengatakan, kehidupan sosial di masyarakat Bugis dan Makassar (umumnya Sulawesi Selatan) sejak masa lalu mengenal lima identifikasi gender tersebut. “Secara individu per individu sikap saling menghargai itu muncul,” katanya. “Bahkan, karena tingginya toleransi di kalangan kelompok, bissu misalnya mendapatkan tempat penting dalam sebuah ritual.” Tapi bagi Alwi, budaya Bugis dan Makassar itu sangat maskulin. Karakter akan keberanian, keteguhan dan keperkasaan selalu menampilkan sosok laki-laki. Namun bukan berarti, sisi maskulinitas ini mengabaikan identitas gender lainnya. “Di Sulsel, (pada) masa kerajaan kita tidak sulit menemukan raja perempuan,” katanya. Christian Pelras dalam Manusia Bugis , menuliskan relasi gender masyarakat Bugis begitu cair. Hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tidak saling membatasi gerak. Orang Bugis tidak menganggap laki-laki atau perempuan lebih dominan satu sama lain. Pelras, mengutip Sir Stamford Raffles pada 1817 bahwa di Sulawesi Selatan perempuan “tampil lebih terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajan yang dicapai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia lain.” Namun kemudian bagi Pelras, calabai yang dituliskannya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan calalai sebagai “jenis kelamin keempat” masing-masing memiliki peran di masyarakat. Tak jarang, calabai akan berperan dalam prosesi ritual tradisional sebagai indo’ botting (ibu pengantin yang berperan dalam menentukan langgeng tidaknya pasangan).  James Brooke dalam jurnal perjalanannya ke Wajo pada 1840 mengatakan, tentang kebiasaan seorang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu. Jadi, meski perbedaan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar dalam ungkapan mau’ni na woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane sipa’na” (meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki).

  • Inilah Tiga Orang Jawa yang Membahayakan Portugis

    PADA 8 Januari 1515, Jorge d’Albuquerque, gubernur Portugis di Malaka menulis surat kepada Raja Portugis. Isinya menyebut tiga orang dari Jawa yang membahayakan penguasaan Portugis atas Malaka, yakni pate Quitis (Pate Kadir), pate Amoz (Pate Unus), dan Pate Rodym (Raden Patah). Pate Kadir, kepala suku Jawa di Malaka, dianggap berbahaya karena memimpin pemberontakan suku Jawa di Malaka pada 1515. Pemberontakan itu gagal. Sedangkan Pate Unus menyerang Malaka pada 1512, juga mengalami kegagalan. Akibat serangan itu, hubungan dagang antara Jawa dan Malaka memburuk. “Raden Patah sebagai sultan Demak, tetap merupakan saingan berat orang-orang Portugis di Malaka,” tulis Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Menurut Slamet Muljana, tokoh Pate Unus sejak lama dipersoalkan para sarjana yang menyelidiki sejarah Majapahit-Demak. Penjelajah Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental menyebut Pate Unus adalah menantu Raden Patah. Ayahnya adalah penguasa Jepara yang berhubungan baik dengan Raden Patah. Sedangkan sumber Tionghoa dari kelenteng Sam Po Kong di Semarang menyebut Pate Unus (Yat Sun) adalah putra dari Raden Patah (Jin Bun). “Dalam hal ini, berita dari kelenteng Semarang lebih banyak dapat dipercaya daripada uraian Tome Pires,” tulis Slamet Muljana yang juga menganggap informasi Tome Pires tentang asal-usul Raden Patah kurang jitu. Karena Pate Unus tidak tinggal di Demak tetapi menetap di Jepara, maka Tome Pires mengira dia bukan putra mahkota Demak. Yang dianggap putra mahkota Demak adalah Rodin Muda. Rodin adalah bentuk ubahan dari sebutan Raden. Siapakah Rodin Muda? Serat Kanda menyebut bahwa Pangeran Surya (Pate Unus) adalah anak dari Raden Adipati Bintara (Raden Patah) dengan istri tertua (anak Sunan Giri). Dia memiliki adik bernama Raden Trenggana. Sumber Tionghoa menyebut Raden Trenggana sebagai Tung Ka Lo. Babad Tanah Jawi menyebut Pate Unus sebagai Pangeran Sabrang Lor. G.P. Rouffaer dalam Wanneer is Majapahit gevallen? (Kapan Runtuhnya Majapahit?) menafsirkan sebutan itu diperolehnya akibat serangan terhadap Malaka, yang terletak di seberang utara selat. H.J. de Graaf meyakini bahwa Pangeran Sabrang Lor adalah Rodin Muda (Raden Trenggana). Sedangkan Pate Unus adalah pembesar Jepara yang berhasil menyingkirkan Rodin Muda sehingga dapat berkuasa di Demak. Berdasarkan pemberitaan sejarawan Portugis Joao de Barros dalam bukunya Da Asia , R.A. Kern menduga bahwa Pate Unus adalah raja Sunda. Menurut Slamet Muljana, berita-berita Portugis menyebut Pate Unus menunjukkan bahwa dia memilih nama Islam, Yunus. Nama ini didapatkanya dari orang-orang Jawa yang menetap di Malaka dan yang merantau ke pelbagai kota pelabuhan. Tetapi, berita Tionghoa dari kelenteng di Semarang tidak menyebutkan nama Islamnya. Pate Unus menggantikan ayahnya Raden Pateh sebagai Raja Demak, yang meninggal pada 1518. Dia tak berkuasa lama karena meninggal pada 1521 akibat sakit bengkak paru-paru. Karena tidak memiliki keturunan, dia digantikan adiknya, Raden Trenggana.*

  • Di Hadapan Lenin, Sneevliet Anjurkan Kerjasama Dengan Islam

    DALAM kongres Komintern kedua yang diselenggarakan di Moskow dan Petrograd, Juli 1920, situasi negeri-negeri jajahan di Timur, termasuk Hindia Belanda, jadi salah satu agenda utama pembahasan. Henk Sneevliet dipilih untuk menjadi ketua komisinya. Pemilihan itu menurut Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia karena melihat tujuan wewenang yang diberikan kepada Sneevliet dari organisasi-organisasi di Hindia ketika dia diusir dari Hindia Belanda.  Sedangkan menurut guru besar ilmu politik University of Waikato, Selandia Baru Dov Bing pemilihan Sneevliet karena dia dianggap berpengalaman hidup di negeri koloni seperti Hindia Belanda. “Dia tak hanya menguasai revolusi di negeri kolonial secara teoritis tapi juga punya pengalaman langsung dari tangan pertama tentang kekuatan dan kelemahan gerakan proletar di Hindia Belanda.” Bagi rekan-rekannya di Hindia Belanda, Sneevliet menjadi tumpuan untuk mewakili kepentingan partai di Komintern. Sneevliet, menurut McVey, semula bersikap ragu terhadap kerjasama semua golongan radikal di Hindia Belanda, terutama dari kalangan Islam. Namun setibanya di Belanda, dia berbalik arah dan menjadi pendukung kerjasama Islam dan komunis yang gigih karena melihat potensi kekuatan progresif dari Sarekat Islam. Dalam kongres Komintern kedua itu, Sneevliet menyampaikan argumentasinya tentang mengapa gerakan revolusioner di Hindia Belanda harus bersatu dengan Sarekat Islam. Karena walaupun nama organisasinya terdengar religius, demikian kata Sneevliet, “Sarekat Islam memiliki karakter kelas... kita dapat menghargai tugas gerakan revolusioner sosialis untuk membangun ikatan kuat dengan organisasi masssa dengan organisasi massa Sarekat Islam.” Menurut anjurannya, kaum sosialis revolusioner di Hindia Belanda harus mampu menyusun kerjasama yang lebih luas dengan kalangan Islam serta menggalang kaum proletar untuk menumbangkan kolonialisme. “Dalam kongres ISDV pada 1918 membuktikan betapa besar pengaruhnya di kalangan bumiputera. Program revolusioner sudah disepakati, tak ada jalan lain untuk meraih kemerdekaan kecuali dengan cara aksi massa sosialis,” kata Sneevliet dalam pidatonya di Komintern kedua, seperti dikutip dari Ruth McVey. Cara kerja sama ini pula disebut sebagai teori “block-within” (blok di dalam) yang bermakna bahwa kaum sosialis revolusioner harus masuk ke dalam organisasi seperti Sarekat Islam serta membawa massa organisasi tersebut ke arah yang lebih progresif dan revolusioner.   Perhatian Sneevliet pada Hindia Belanda memang tidak beranjak untuk beberapa waktu setelah pengusirannya. Setibanya di Belanda, dia masih berorientasi kepada gerakan dan memikirkan strategi  partai di Hindia Belanda. Tak lama setelah terbit artikel di harian Nieuwe Rotterdamsche Courant , 20 Januari 1924, Henk masih menyempatkan menulis tanggapannya. Menurut dia, koresponden dari koran “terpenting kaum kapitalis” itu melaporkan situasi di Jawa: tentang kemunculan sebuah gerakan rakyat sejati yang berhimpun di dalam Partai Komunis Indonesia. Sneevliet juga menulis tentang kegagalan pemimpin Sarekat Islam memperluas gerakannya karena faktor “personal karakter”, sementara Boedi Oetomo malah berubah menjadi organisasi priayi Jawa. “Tapi PKI sebagian besar terdiri dari kaum pekerja. Ada ribuan buruh keretaapi, buruh pabrik, rakyat yang terhubung dengan proses industrialisasi,” tulis Sneevliet dalam konsep tulisan yang kini tersimpan di koleksi arsip Institut Internasional untuk Sejarah Sosial, Amsterdam.   Pengalaman beberapa organisasi di Hindia Belanda yang gagal memperluas gerakan dan meningkatkan partisipasi rakyat, dijawab oleh PKI dengan meradikalisasi massa dan memobilisasi mereka sebagai kekuatan revolusioner.   Sebelum adanya disiplin organisasi yang diberlakukan Haji Agus Salim pada 1921, massa pendukung PKI juga menjadi bagian keanggotaan Sarekat Islam. Setelah pemberlakukan dispilin itu, PKI menempuh jalannya sendiri, begitu pula Sarekat Islam.

  • Tanzania Pernah Tak Akui Soeharto Sebagai Presiden Indonesia

    PRESIDEN Sukarno mengangkat Moehammad Jasin sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Mesir. Namun, pimpinan Angkatan Darat memohon agar posisi tersebut diberikan kepada Letnan Jenderal Mokoginta. Pihak kepolisian tak keberatan. Sebagai gantinya, Jasin yang saat itu menjabat ketua umum DHN Angkatan ’45, ditempatkan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Tanzania.

  • Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah

    PADA tengah malam 1 Maret 1957, sebuah pertemuan diadakan di rumah jabatan gubernur Sulawesi. Beberapa orang dijemput tim khusus. Jalan-jalan di sekitar Makassar dijaga ketat oleh anggota militer. Menjelang pukul 03.00 dini hari, Gubernur Andi Pangerang Pettarani meyambut mereka. Orang-orang itu berasal dari kalangan militer hingga orang-orang sipil yang berpengaruh. Di antaranya Mayor M. Jusuf (kemudian menjadi Panglima TT VII Hasanuddin), Komandan TT VII Ventje Sumual, Letnan Kolonel Saleh Lahade, J. Latumahina (kepala seksi politik di kantor Gubernur), Andi Burhanuddin (residen dalam staf gubernur) dan satu-satunya perempuan Ny. Milda Towoli-Hermanses (ketua dewan kota). Dalam catatan Barbara Sillars Harvey, Permesta; Pemberontakan Setengah Hati , malam itu ada sekitar 50 orang yang berkumpul. Mereka saling memandang dan sedikit kebingungan, meski persiapan akan hal ini telah diantisipasi beberapa bulan sebelumnya. Saleh Lahade membacakan piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Salah satu isinya mengenai konsep otonomi daerah. Permesta menginginkan pembangunan dilakukan secara adil pada setiap provinsi. Hasil sumber daya daerah digunakan untuk pembangunan daerah sebanyak 70 persen dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Namun, sebelum Saleh Lahade membacakan piagam Permesta, Ventje Sumual membacakan proklamasi pemberlakuan kedaan darurat perang di suluruh Indonesia. Pernyataan itu, dititikberatkan untuk memberantas upaya dan tindakan apapun yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia. Jakarta menuding, Permesta adalah upaya memisahkan diri dari Indonesia. Ide dasar Permesta sebenarnya dimulai sejak Januari 1957. Salah satu yang memiliki andil besar adalah anggota dari barisan Partai Kedaulatan Rakyat (PKR). Para kader partai ini membangun komunikasi antara orang per orang, para tokoh dari kalangan sipil higga militer. Pada Februari 1957, Gubernur Andi Pangerang melakukan kunjungan ke Jakarta dan menyampaikan ide-ide masyarakat akan adanya otonomi. Bahkan telah memohon pada pemerintah pusat di Jakarta sebanyak Rp400 juta untuk melaksanakan rencana pembangunan daerah. Di saat itu pula, anggota PKR telah bersidang dan mendukung penuh upaya gubernur. Sementara itu, kalangan militer pun ikut menentukan sikap dan mengirim Ventje Sumual, didampingi M. Jusuf serta Arnold Baramuli (jaksa tinggi provinsi dan militer) ke Jakarta untuk mendukung gubernur. Namun, ironisnya tak ada yang berhasil meyakinkan pemerintah akan ide otonomi ini. Keinginan melaksanakan ide otonomi daerah ini, dinilai sangat mendesak. Kemakmuran dan keadilan pembangunan manusia di Indonesia timur menjadi prioritas. “Sentralistik, atau menjadikan Jakarta sebagai pusat dalam mengatur daerah, dinilai tidak cukup baik dan sulit menjangkau semua lapisan masyarakat,” kata sejarawan Universitas Hasanuddin, Edwar Poelinggomang kepada Historia . Kemudian perkembangan Permesta yang dominan diisi oleh orang-orang dari utara (Minahasa, Sulawesi Utara) dibandingkan dengan orang-orang selatan (Bugis dan Makassar) menjadi kemelut lain. Ada kecemberuan antar sesama pelopornya. Pada 8-12 Mei 1957, diadakan Kongres Bhinneka Tunggal Ika di Makassar. Kongres inilah yang dianggap sebagai kegiatan puncak Permesta pasca proklamasi. Barbara menuliskan, dari 122 peserta kongres terdapat semua perwakilan dari Indonesia timur. Namun, kongres itu tak dihadiri Gubernur Andi Pangerang. Perbedaan pandangan yang kemudian mencolok antara utara yang menginginkan perkembangan ekonomi dan selatan yang menginginkan persoalan keamanan yang menjadi paling utama. Dan pada pertengahan 1957 kesatuan TT VII yang dipimpin Ventje Sumual dibubarkan. Dan menyerahkan jabatannya kepada Andi Mattalatta sebagai panglima militer. Akhirnya, pada Juni 1957, Ventje Sumual bersama beberapa orang perwiranya meninggalkan Makassar menuju Minahasa. Konflik pun semakin meluas. M. Jusuf yang telah menjadi Komando Hasanuddin, menyatakan ketidaksetujuannya dengan Permesta. Jusuf, memimpin beberapa aksi untuk melemahkan posisi Permesta. Sementara itu, Saleh Lahade menerima pinangan PRRI yang diproklamasikan di Sumatera sebagai menteri Penerangan. Ikut pula Mochtar Lintang sebagai menteri agama, dan Ventje Sumual sebagai panglima Angkatan Darat. Akhirnya, konsep dasar yang menginginkan desentralisasi yang digaungkan PRRI dan Permesta terlupakan. Lalu kemudian, pada era reformasi ide tersebut kembali digaungkan. Dan pada 2002, konsep otonomi daerah dilaksanakan.

  • Mengapa Bandung Dijuluki Parijs van Java?

    RIDWAN Hutagalung meradang. Pemerhati sejarah kota Bandung itu menyayangkan penamaan tidak tepat untuk “Paris van Java”, nama salah satu pusat perbelanjaan di kota tersebut. Menurutnya, kalau mau mengikuti kaidah bahasa Belanda dan sejarah yang benar, kata Paris seharusnya ditulis sebagai Parijs bukan Paris. “Kalau tetap mau menggunakan kata Paris ya bagusnya jadi Paris of Java atau apalah yang sesuai kaidahnya,” katanya kepada Historia . Pernyataan Ridwan benar adanya. Julukan Parijs van Java untuk Bandung itu memang dipopulerkan pertama kali oleh orang-orang Belanda. Sejarawan Haryoto Kunto mengisahkan kemungkinan munculnya julukan itu dari seorang pedagang berdarah Yahudi Belanda bernama Roth. “Untuk mempromosikan dagangannya di pasar malam tahunan Jaarbeurs (sekarang Jalan Aceh) pada 1920, Roth mempopulerkan kalimat Parijs van Java ,” tulis Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bagi Roth, pemilik toko meubel dan interior itu, sebutan Bandung Parijs van Java sangat penting untuk promosi dagangnya. Sejak lama Paris jadi kiblat mode dunia, sehingga embel-embel nama Paris diharapkan mencuri minat orang untuk datang ke pasar malam tahunan di Bandung. "Slogan itu semakin populer setelah Bosscha (pengelola perkebunan terkemuka di Hindia Belanda) sering mengutipnya dalam berbagai kesempatan pidato di depan masyarakat Bandung…” tulis Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha dalam Braga Jantung Parijs van Java . Kiblat Mode Selain faktor tersebut, Ridwan pun berpendapat jika Bandung sebagai Paris-nya Pulau Jawa muncul karena adanya perkembangan pesat mode Paris yang berbarengan dengan antusiasme kalangan berpunya di Bandung pada seni. Sebut saja di antaranya adalah seni arsitektur, yang menerapkan art deco sebagai acuan pembangunan gedung di hampir se-antero kota Bandung. “Contoh yang paling terkemuka adalah Gedung Hotel Preanger dan Savoy Homan,” ujar Ridwan. Di dunia fesyen, selera Bandung lagi-lagi “sangat Paris” saat itu. Di Bandung pada era 1900-an, ada sebuah toko bernama Aug. Hegelsteens Kledingmagazijn (terletak di kawasan Jalan Braga), tempat orang-orang Bandung yang ingin tampil “lebih terkini”. Toko itu semakin terkenal saat berganti nama menjadi berbau Prancis: Au Bon Marche Modemagazijn yang didirikan oleh pebisnis A. Makkinga pada 1913. “Pada masa kejayaanya, busana dengan trend mode terbaru dari pusat mode di Paris akan segera dipajang di toko ini,” ungkap lelaki kelahiran Pematang Siantar pada 1967 tersebut. Toko Au Bon Marchel dikenal bergengsi saat itu, tercermin dari setiap iklan mereka di majalah-majalah. Di sana mereka menawarkan aneka mode berbahan sutera lembut dengan pilihan desain motif bunga dan sandang bergaya elegan. Di tulis di dalam iklan tersebut: wij brengen steeds de laatse mode (kami selalu menyajikan mode terbaru). “Si calon pembeli kemudian diyakinkan dengan tambahan kalimat: zie geregeld onze etalages ” (lihatlah etalase kami yang tersusun rapi),” tulis Ridwan. Bagaimana soal harga di Toko Au Bon MarcheI Modemagazijnronisnya? Jangan tanya, tentu saja selangit. Hal ini wajar mengingat pakaian yang dipajang di etalase toko tersebut adalah mode kelas satu sehingga kalangan biasa sulit untuk memilikinya. Kenyataan ini sungguh ironis jika mengetahui nama bon marche sendiri dapat diartikan secara bebas menjadi “belanja murah meriah”.

  • Cerita Kumis Pahlawan Nasional Raja Haji Fisabilillah

    PADA 6 Januari 2016, Kota Tanjungpinang berusia 232 tahun. Penetapan hari jadi tersebut pada 1989. Tanggal tersebut merujuk pada peristiwa sejarah kemenangan Raja Haji Fisabilillah atas Belanda di Pulau Penyengat pada 6 Januari 1784. Opu Daeng Celak alias Engku Haji adalah bangsawan Bugis yang bermigrasi ke Riau dan memperoleh gelar Yang Dipertuan Agung (pembantu sultan dalam urusan pemerintahan) Kerajaan Riau-Johor. Ketika dia wafat tahun 1744, anaknya, Raja Haji yang berusia 19 tahun diangkat menjadi Engku Kelana. Tugasnya mengatur pemerintahan dan menjaga keamanan seluruh wilayah Kerajaan Riau-Johor. Dia juga teribat dalam pertempuran melawan Belanda dalam Perang Linggi (1756-1758). Menurut buku Jejak Pahlawan dalam Aksara yang diterbitkan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, sejak Raja Haji menjadi Yang Dipertuan Muda IV tahun 1777, Kerajaan Riau-Johor mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi, pertahanan, sosial-budaya, dan spiritual. Raja Haji mengadakan perjanjian dengan Belanda. Salah satu isinya mengenai kapal asing yang disita Belanda atau Kerajaan Riau-Johor harus dibagi dua. Perjanjian tersebut dilanggar Belanda. Usaha Raja Haji mengadakan pembicaraan dengan Gubernur Belanda di Malaka mengalami kegagalan. Pada 6 Januari 1784, pasukan Belanda mendarat di Pulau Penyengat. Pasukan Raja Haji berhasil mengalahkannya sehingga pasukan Belanda ditarik ke Malaka pada 27 Januari 1784. Raja Haji dibantu pasukan Sultan Selangor, menyerang Belanda di Malaka pada 13 Februari 1784. Dalam situasi kritis, pasukan Belanda mendapat bantuan dari armada yang dipimpin oleh Jacob Pieter van Braam, yang sedianya akan berlayar ke Maluku. “Pertempuran meletus pada 18 Juni 1784, Raja Haji gugur dalam pertempuran tersebut bersama kurang lebih 500 orang pasukannya,” demikian tertulis dalam Jejak Pahlawan dalam Aksara . Makam Raja Haji Fisabililah di Pulau Penyengat. (Wikimedia Commons). Muhammad Sani, walikota Tanjungpinang (1985-1993) mengatakan bahwa Raja Haji telah ditetapkan sebagai Pahlawan Maritim Nasional dari Provinsi Kepulauan Riau, namun pengusulan sebagai Pahlawan Nasional sempat terhenti. Setelah menjabat Kepala Biro Bina Sosial Kantor Gubernur Kepulauan Riau, Sani mendapat tugas dari Wakil Gubernur Riau, Rustam S. Abrus, untuk mengurus kembali pengajuan Raja Haji sebagai Pahlawan Nasional. Sani kemudian mengadakan seminar kepahlawanan Raja Haji. Untuk keperluan seminar itu, dibuatlah lukisan Raja Haji oleh Arius. “Saya selaku penanggung jawab seminar memberikan contoh gambar. Saya lupa di mana gambar itu saya kutip. Gambar tersebut saya serahkan kepada Arius,” kata Sani dalam memoarnya, Untung Sabut . Gambar yang diserahkan Sani tidak berkumis. Tetapi, terjadi kejutan saat pembukaan seminar. Waktu selubung penutup lukisan dibuka oleh Pelaksana Harian (Plh) Gubernur Riau, Baharuddin Yusuf, wajah Raja Haji berubah. Ada kumis melintang di wajahnya. “Semua orang terkejut. Termasuk saya. Karena semua orang tahu gambar yang saya berikan tidak berkumis,” ujar Sani. Baharuddin Yusuf tak kehilangan akal. Dia berusaha meredakan keterkejutan para peserta seminar, dengan mengatakan, “Inilah gunanya seminar, untuk mencari mana yang betul, wajah Raja Haji berkumis atau tidak berkumis.” Peserta pun tertawa. Pemerintah menetapkan Raja Haji Fisabilillah sebagai Pahlawan Nasional pada 1997. Cucunya, yaitu Raja Ali Haji, yang disebut sebagai Bapak Bahasa Indonesia, juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2004.*

  • Perkara Lampu, Sukarno Digampar Serdadu Jepang

    ERA penjajahan Jepang (1942-1945) dikenang bangsa Indonesia sebagai masa-masa penuh kesengsaraan. Selain merampas bahan-bahan sandang seperti tekstil dan bahan pangan utama rakyat seperti beras, tentara Jepang pun tak segan-segan melakukan tindakan keras kepada rakyat yang dianggap tak patuh kepada peraturan mereka. “Paling ringan kalau tidak menurut, kita digampar oleh mereka,” ujar Atma (92) kepada Historia . Atma salah seorang anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang saat itu tinggal di Bogor. Main tangan yang dilakukan militer Jepang itu tak saja dialami oleh rakyat kecil. Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno juga ternyata pernah mendapatkan gamparan dari seorang perwira Kenpeitai (Polisi Militer Angkatan Darat Jepang) berpangkat kapten. Ceritanya suatu malam, seperti biasa sirene tanda bahaya berbunyi. Bung Karno yang saat itu sudah tinggal di Jakarta terlambat memadamkan lampu seperti yang sudah diwajibkan pemerintah militer Jepang jika rakyat mendengar suara sirene. “Secercah kecil cahaya selama satu detik tampak bersinar dari luar yang gelap,” ujar Sukarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Begitu Bung Karno mematikannya, tak lama kemudian terdengar derap sepatu lars tentara Jepang di halaman rumahnya. Tak lama kemudian terdengar pintu digedor-gedor secara keras dan secara cepat pula dibuka oleh isteri Bung Karno saat itu, Inggit Garnasih. “Ada apa?” tanya Inggit dengan suara gemetar. “Siapa pemilik rumah ini!?” tanya seorang kapten Kenpeitai dalam nada menggertak. “Saya,” jawab Inggit pelan. “Bukan, yang kami maksud siapa kepala keluarga di rumah ini?! Di mana suami Nyonya?” Khawatir terjadi sesuatu dengan Inggit, Bung Karno lantas keluar dari kamarnya. Saat melihat kemunculan Bung Karno, perwira itu langsung mendekat dan plak! Plak! Plak! Tanpa basa-basi dan seraya diiringi bentakan kasar, ia lalu menampar wajah, pipi kanan dan kiri pemimpin rakyat Indonesia tersebut secara keras. Demi melihat sang suami diperlakukan demikian, Inggit menjerit dan spontan jatuh berlutut. “Jangan! Jangan pukul dia. Sayalah yang harus bertanggungjawab, bukan dia! Ini bukanlah kesalahan dia! Mohon dia dimaafkan. Sayalah yang melakukannya,” teriak Inggit. Alih-alih menghentikan aksinya, perwira Jepang itu malah semakin brutal memukuli Bung Karno. Akibatnya, darah mengalir dari hidung dan bibir Sukarno. Kendati dalam situasi demikian, Sukarno tetap berdiri tenang. “Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku tidak berusaha membela diriku sendiri. Biarlah kesakitan ini menjadi kerikil di jalan menuju kemerdekaan. Hatiku berkata: langkahilah dia. Kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah dan terus berjalan,” ujar Bung Karno. Penganiayan perwira Kenpeitai itu selanjutnya diprotes keras oleh Sukarno dan kawan-kawannya langsung kepada Gunseikanbu (pemerintah sipil yang dibentuk militer Jepang di Indonesia). Menurut Mr. Sudjono, sebagian kecil orang Indonesia yang menjadi perwira dalam ketentaraan Jepang saat itu, dirinya tak diam saja mendengar Bung Karno diperlakukan secara kasar. “Meskipun mereka tak dapat mencegahnya, namun secara resmi pihak Gunseikanbu meminta maaf atas terjadinya peristiwa itu,” tulis Mr. Sudjono dalam buku Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942. Secara pribadi, Kepala bagian Pemerintahan militer Jepang, Kolonel Nakayama meminta maaf langsung kepada Sukarno. Ia berdalih bahwa sang kapten Kenpeitai tidak tahu apa-apa dan tidak paham siapa Sukarno sebenarnya. “Segera akan diambil tindakan terhadap orang itu,” demikian janji Kolonel Nakayama kepada Bung Karno. Lantas dihukumkah kapten Kenpeitai tersebut? Tak ada pernah kejelasan soal itu hingga sekarang.*

  • Nyirib, Tradisi Urang Sunda yang Mulai Punah

    AKI Ucup masih ingat rutinitas mengasyikan itu. Selalu tiap tahun, bertempat di Sungai Cimandiri, Sukabumi, dirinya bersama-sama orang-orang sekampung melaksanakan nyirib (sering juga disebut marak ). Itu nama sejenis tradisi orang Pasundan untuk kegiatan menangkap ikan secara bergotong royong. “Dari kecil hingga dewasa, nyirib itu adalah kegiatan yang sering kami tunggu-tunggu karena selain untuk hiburan, kami pun bisa bertukar kabar tentang kondisi masing-masing dengan sesama penghuni kampung,” ujar lelaki berusia 91 tahun itu. Menurut Aan Merdeka Permana, tradisi nyirib atau marak sejatinya sudah ada sejak era kerajaan-kerajaan Sunda berjaya. Selain untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari, nyirib juga dilaksanakan sebagai bentuk upaya penguatan sosial dan solidaritas di  kalangan masyarakat Sunda. “Saya pikir, aktivitas itu sesungguhnya lebih kental nuansa kegotongroyongannya,” ujar sejarawan cum sastrawan Sunda itu kepada Historia . Aktivitas nyirib biasanya dilakukan pada setiap tutup tahun. Kala agama Islam menjadi anutan sebagian besar orang Sunda, kegiatan ini dijalankan kala menjelang datangnya bulan puasa. Pelaksanaan kegiatan ini pun termasuk merata. Artinya hampir sebagian besar masyarakat Sunda melakukannya, terutama mereka yang lingkungannya dekat dengan aliran sungai besar dan sedang. Persiapan nyirib , umumnya dilakukan sejak pagi hari buta. Dimulai dengan  ritual-ritual doa, para lelaki lantas mengondisikan leuwi (bagian terdalam sungai yang banyak ikannya). Caranya adalah dengan mengepung wilayah leuwi dengan batu-batu dan dedaunan serta mengalirkan air dari hulu  ke hilir terjauh dengan metode dipekong (membuat beberapa saluran sungai kecil juga dengan menggunakan batu, tanah liat dan dedaunan). Setelah pembuatan bendungan kelar dan arus air dari hulu berhasil dialihkan ke hilir terjauh, air yang tersisa di dalam bendungan lantas ditawu (dikuras dengan menggunakan wadah sejenis ember) dengan melibatkan ratusan manusia. Begitu ribuan galon air sudah dikeluarkan dan  keadaan leuwi sudah dianggap aman, maka pimpinan kegiatan (biasanya kepala dusun atau kepala desa) menyilakan orang-orang (termasuk anak-anak dan kaum perempuan) untuk terjun mencari ikan dengan berbagai cara. Agus Thosin, berusia 65 tahun,  termasuk orang yang masih mengalami masa-masa nyirib di wilayah Cianjur. Ia melukiskan betapa orang-orang kampungnya bersuka cita  saat melaksanakan kegiatan itu, terutama anak-anak kecil. Dengan menggunakan berbagai jenis perangkat tradisonal untuk menangkap ikan, seperti sirib, lambit, keucrik, ayakan dan bubu) dalam tawa dan canda mereka berlomba-lomba menangkap ikan yang sudah tidak bisa lagi lari kemana-mana. Hasil dari kegiatan nyirib ini biasanya memuaskan. Berbagai jenis ikan yang saat ini mungkin jarang ditemukan lagi, seperti senggal, tawes, udang, mujaer, gengehek, gabus, lele, kancra dan nama-nama ikan jadul lainnya berhasil mereka ambil dari sungai. “Jumlahnya banyak sekali, sampai berkwintal-kwintal,” ujar Agus. Alih-alih dimiliki sendiri, ikan-ikan itu lalu ditampung dalam suatu wadah yang sangat besar dan kemudian dibagi secara merata kepada semua orang kampung tak terkecuali  para orang tua yang sudah tak mampu lagi terjun dalam aksi itu. Biasanya, ikan-ikan itu dibungkus dengan daun pisang atau daun jati. Sayangnya, tradisi sosial tersebut  hanya bisa disaksikan sampai akhir sekitar tahun 1970-an. Bahkan Ucup dan Agus sangat yakin saat ini nyirib sudah tinggal nama semata. Seiring merajalelanya pabrik-pabrik hingga menjadikan air sungai tercemar dan “ditumbuhinya” bantaran-bantaran sungai oleh hunian manusia hingga menjadi sempit dan dangkal, tradisi nyirib pun bergerak ke pintu kematiannya. “Mau di mana lagi nyirib dilakukan? Paling-paling kalau mau nyirib sekarang mah ke pasar saja,” ujar Ucup sambil tertawa pahit. Kini, menjelang tutup tahun atau datangnya bulan puasa, di kampung-kampung yang dilewati aliran sungai, tak ada lagi anak-anak yang dengan hati penuh suka cita mempersiapkan alat-alat menangkap ikan. Mereka sekarang lebih suka mempersiapkan terompet dan petasan untuk menyambut tahun penghabisan.

bottom of page