Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Benarkah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen Tewas di Tangan Intel Mataram?
MAKAM bermarmer merah muda terpuruk di tengah makam-makam kecil. Beringin raksasa melindunginya dari matahari dan hujan. Helaian daun kering dan batu-batu hitam memenuhi bagian tengah tempat peristirahatan terakhir itu. Warga Desa Keramat, Tapos (perbatasan Bogor-Depok) mengenalnya sebagai makam Nyimas Utari Sanjaya Ningrum. “Sebenarnya nama beliau adalah Nyimas Utari Sandijayaningsih,” ujar Ustad Sukandi (42 tahun), tokoh masyarakat Desa Keramat. Sukandi mendengar kisah dari orang-orang tua di Desa Keramat bahwa Nyimas Utari merupakan agen intelijen Kerajaan Mataram. Sultan Agung Hanyokrokusumo menugaskan dia untuk membunuh Gubernur Jenderal VOC pertama, Jan Pieterszoon Coen dalam penyerangan kedua Mataram ke Batavia. “Tugas itu berhasil dia jalani. Leher Coen berhasil dipenggalnya dengan golok Aceh,” ungkapnya. Keterangan Sukandi dibenarkan Ki Herman Janutama. Sembari mengutip Babad Jawa , sejarawan asal Yogyakarta itu menyebut bahwa pemenggalan kepala Coen merupakan misi rahasia yang sudah lama direncanakan dengan melibatkan grup intelijen Mataram, Dom Sumuruping Mbanyu (Jarum yang Dimasukan Air). “Orang sekarang mungkin akan kaget kalau dikatakan militer Mataram memilik kesatuan telik sandi sendiri, tapi bagi kami yang akrab dengan manuskrip-manuskrip tua dan cerita-cerita lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, hal ini tidak aneh,” ujar Ki Herman. Infiltrasi telik sandi Mataram ke Batavia sudah dirancang sejak 1627. Dengan mengerahkan orang-orang Tumenggung Kertiwongso dari Tegal, komandan kelompok intel Mataram Raden Bagus Wonoboyo membangun basis di wilayah bantaran Kali Sunter di daerah Tapos. Untuk melengkapi kerja-kerja rahasia tersebut, Wonoboyo mengirimkan putrinya yang memiliki kemampuan telik sandi mumpuni, Nyimas Utari, untuk bergabung dengan agen telik sandi asal Samudera Pasai, Mahmuddin. “Dia memiliki nama sandi: Wong Agung Aceh. Dia kemudian menikahi Nyimas Utari,” kata Ki Herman. Dari Aceh, kedua agen intelijen itu memasuki benteng VOC di Batavia dengan kamuflase sebagai pebisnis. Mereka memiliki kapal dagang yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Mereka lantas dipercaya Coen sebagai mitra bisnis VOC. Begitu dekatnya, hingga mereka memiliki akses ke kastil dan bergaul dengan Eva Ment, isteri Coen, dan anak-anaknya. Pada 1629, balatentara Mataram menyerbu Batavia. Di tengah kekacauan dan kepanikan, Nyimas Utari membunuh Eva dan anak-anaknya dengan racun lewat minuman. Mahmuddin berhasil menyelinap ke ruangan Coen dan membunuhnya. “Guna bukti kesuksesan misi mereka ke Sultan Agung, Nyimas Utari dengan menggunakan golok kepunyaan Mahmuddin memenggal kepala Coen,” ujar Ki Herman. Sambil membawa kepala Coen, Mahmuddin dan Nyimas Utari diloloskan pasukan penyelundup Mataram dari dalam benteng VOC. Namun, saat pelarian tersebut mereka dihujani tembakan meriam yang menewaskan Nyimas Utari. Mahmuddin membopong jasad istrinya hingga wilayah Desa Keramat, tempat dia dimakamkan. Kepala Coen diambil oleh Wonoboyo. Secara estafet, kepala itu dibawa lewat jalur Pantai Utara oleh tentara Mataram di bawah komandan Tumenggung Surotani. Sultan Agung memerintahkan untuk menanam kepala itu di baris ke-716 tangga menuju makam raja-raja Jawa di Imogiri. “Hingga kini, para peziarah yang paham cerita ini akan melangsungkan ritual pengutukan terhadap jiwa Coen dengan cara menginjak-injak tangga ke-716 seraya mengeluarkan sumpah serapah dari mulut mereka,” ujar Ki Herman. Kendati kematian Coen terkesan mendadak, namun secara resmi kalangan sejarawan Belanda meyakini kematiannya karena penyakit kolera. Menurut H.J. De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram , pada 17 September 1629, Coen masih terlihat segar bugar saat memeriksa kesiapsiagaan tentaranya untuk mempertahankan Batavia. “Pada 20 September malam dia mendadak jatuh sakit dan sekitar jam satu malam dia meninggal dunia,” tulis De Graaf . Dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi , sejarawan Alwi Shahab mengutip versi Belanda yang menyebut jasad Coen kemudian dimakamkan di Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI di Taman Fatahillah) dan kemudian dipindahkan ke De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda yang kini menjadi Museum Wayang). Namun, sejarawan Sugiman MD dalam Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi , meragukan bahwa makam itu berisi jasad Coen. Terlebih menurut arkeolog Chandrian Attahiyyat, para arkeolog Belanda memastikan bahwa di makam itu tidak ditemukan jasad berupa tulang belulang saat mereka melakukan penggalian pada 1939. Supaya komprehensif, seharusnya penggalian pun dilakukan di Imogiri. “Memang sejauh ini belum pernah ada penelitian arkelogi soal kebenaran versi Babad Jawa tentang terbunuhnya Coen,” ujarnya.*
- Siapa Sebenarnya Ayah Ken Angrok?
SUATU hari, Ken Endok mengantarkan makanan untuk suaminya, Gajah Para, di ladang. Di tengah jalan, dia dihadang dewa Brahma dan disetubuhi. Suaminya tahu dan menceraikannya namun lima hari kemudian dia meninggal dunia. Karena malu, Ken Endok membuang bayinya, Ken Angrok, yang mengeluarkan sinar di malam hari. Ken Angrok hidup mengembara sebagai pencuri, perampok, pembunuh, dan pemerkosa. Dia dikejar-kejar rakyat dan utusan Tumapel atas perintah raja Daha (Kediri). Berkat bantuan dewa-dewa, dia selalu lolos. Bahkan dia diaku anak dewa Siwa dan penjelmaan dewa Wisnu. Ken Angrok menghambakan pada penguasa (akuwu) Tumapel, Tunggul Ametung, melalui perantaraan pendeta Lohgawe. Dia membunuh Tunggul Ametung dan menikahi istri mudanya, Ken Dedes, yang sedang mengandung tiga bulan. Dia pun menjadi akuwu di Tumapel. Semua itu dibiarkan saja oleh keluarga Tunggul Ametung dan rakyat Tumapel. Setelah 40 tahun memimpin Tumapel, dia dinobatkan sebagai raja di Tumapel oleh para brahmana dari Daha. Sebagai raja, Ken Angrok bergeral Sri Rajasa san Amurwabhumi. Raja Daha, Dandan Gendis, pernah mengatakan hanya kalau Bhatara Guru sendiri turun ke bumi, kerajaannya dapat dikalahkan. Maka, atas izin para pendeta, Ken Angrok memakai nama Bhatara Guru untuk menyerang dan mengalahkan Daha. Dia menjadi maharaja di Tumapel (kemudian terkenal dengan nama Singhasari) pada tahun 1222. Kisah Ken Angrok tersebut termuat dalam kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Anrok (gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya) . Kisah Ken Angrok juga termuat dalam kitab Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca yang ditulis tahun 1365 dan Kidung Harsawijaya . Nagarakrtagama menyebut Ken Angrok sebagai keturunan dewa yang lahir tanpa melalui kandungan atau tidak beribu. Sedangkan Kidung Harsawijaya menyebut Ky Anrok keturunan orang Pankur, anak Ni Ndok, yang menjadi raja dengan gelar Sri Rajasa. Sejarawan Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit , menafsirkan Ken Angrok sebagai anak dari hasil perbuatan tidak senonoh antara Ken Endok dan laki-laki lain, dewa Brahma. Ahli efigrafi Boechari lebih tegas lagi, menyebut perbuatan tidak senonoh itu sebagai pemerkosaan. Tetapi, siapa pelakunya, yang dilambangkan sebagai dewa Brahma? Boechari menafsirkan penulis kitab Pararaton berusaha menutupi kenyataan bahwa pemerkosa Ken Endok ialah orang yang berkuasa atas wilayah dan rakyat di situ, yaitu Tunggul Ametung. “Sebagai penguasa atau san amawa bhumi , dia luput jangkauan hukum, bahkan dia mempunyai kekuasaan untuk menyingkirkan laki-laki yang menjadi suami sah dari wanita yang berkenan di hatinya,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasastri. Jika merujuk kitab hukum pada masa itu, pemerkosaan termasuk tindak pidana paradara ; si pemerkosa bisa dijatuhi hukuman mati. Bahkan ada pasal yang menyebutkan suami perempuan yang diperkosa berhak membunuh si pelanggar kesusilaan itu. Boechori menguraikan beberapa alasan mengapa Ken Angrok adalah anak Tunggul Ametung dan Ken Endok. Dalam masyarakat yang berpegang pada caturwarna (pembagian masyarakat menjadi empat kasta: brahmana, ksatria, waisya, dan sudra), rasanya tidak mungkin seorang petani, yang setinggi-tingginya masuk kasta waisya (petani, prajurit, dan pedagang) dan tidak mustahil masuk kasta sudra (rakyat jelata), semudah itu dapat merebut kekuasaan dan mendapat dukungan para brahmana. Ken Angrok juga dengan mudah diterima penghambaannya oleh Tunggul Ametung, yang pernah memerintahkan penangkapannya karena mengacaukan daerah Tumapel. Setelah membunuh Tunggul Ametung, Ken Angrok dengan mudah memperistri jandanya, Ken Dedes, dan menjadi penguasa Tumapel tanpa campur tangan keluarga Tunggul Ametung dan rakyat Tumapel. Motif Ken Angrok membunuh Tunggul Ametung mungkin pertama-tama karena cinta, yang kedua karena hak waris. Dia merencanakan membunuh ayahnya sebelum anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes lahir. Setelah berhasil, dia memperistri Ken Dedes agar semua warisan, termasuk kekuasaan atas Tumapel, jatuh kepadanya. Untuk itu, Ken Angrok memaksa Mpu Gandring menyelesaikan keris pesanannya dalam waktu lima bulan. Dengan memperhatikan struktur sosial dan kepercayaan zaman dahulu, Boechari telah memberikan tafsiran lain atas cerita Ken Angrok. “Mungkin pengarang Katuturanira Ken Anrok mau menyembunyikan dua hal, yaitu bahwa Ken Anrok terlahir di luar perkawinan, dan bahwa ia telah membunuh ayahnya sendiri,” tulis Boechari. Ken Angrok, pendiri dinasti Rajasa yang menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit, meninggal pada tahun 1227 dan dimakamkan di Candi Kagenengan, kemungkinan terletak di atas Gunung Katu, Malang.*
- Tradisi Minum Tuak Zaman Mataram Kuno
RAJA Mataram, Rake Watukura Dyah Balitung (898-911), mengutus Rakryan Watu Tihang Pu Sanggramadhurandhara meresmikan tanah, bangunan suci dan sawah di wilayah desa Taji menjadi daerah perdikan (bebas pajak). Para pejabat di tingkat pusat, tingkat desa, saksi dari desa tetangga, dan penduduk desa Taji, turut hadir mengikuti upacara penetapan sima itu. Setelah upacara selesai, tersuguh hidangan berupa nasi dengan lauk -pauk daging kerbau, ayam, ikan asin , dan telur. Tak lupa minuman tuak (twak) . Minuman ini acapkali menjadi suguhan pada prosesi penetapan sima. Informasi awal mengenai prosesi penetapan sima yang menyuguhkan tuak, tersua dalam prasasti Taji yang dikelurakan pada tahun 823 Caka atau 901 M. Tuak juga tercatat dalam prasasti-prasasti lain, yang dikeluarkan dari masa Dyah Balitung hingga Pu Sindok. Selain penetapan sima , tuak dan minuman keras lainnya disajikan setelah prosesi sumpah dan kutukan. Tuak juga ditenggak selagi menikmati pertunjukan topeng, lawak, dan wayang. Secara umum, menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, minuman yang mengandung alkohol atau minuman keras biasanya disebut madya yang dibuat dari pohon palem bernama sajeng . Dan semua yang disebut sajeng adalah tuak, waragang , badyag , tuak tal , budur . Perbedaan antara tuak dan tuak tal terdapat dalam teks Nagarakretagama . Dalam naskah gubahan Mpu Prapanca bertarikh 1365 M ini, terdapat dua jenis tuak: twak nyu (kelapa) dan twak siwalan . “Bahan yang digunakan untuk membuat tuak kelapa ialah air kelapa ( cocos nucifera linn ), sedangkan tuak siwalan atau terkadang disebut tuak tal berbahan air siwalan atau tal ( borassus flabelliber linn ),” ujar Titi kepada Historia . Berita Tiongkok masa Dinasti T’ang (618-907) memuat proses pembuatan tuak kelapa di Ka-ling (merujuk wilayah Jawa). “Mereka membuat arak (tuak, red ) dari bunga pohon kelapa yang menggantung. Jika mereka meminumnya, mereka cepat mabuk. Rasanya manis dan memabukan,” tulis W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Menurut Titi Surti Nastiti dalam “Minuman Pada Masa Jawa Kuno,” Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, 4-7 Juli 1989 , adapun wadah yang digunakan untuk meminum tuak beragam jenisnya. “Dalam teks Decawarnana ( Nagarakretagama , red ), tersua bahwa tuak kelapa, tuak siwalan, arak, hano, kilang brem, juga tampo disajikan wadah berbahan emas.”*
- Ritual Minum Tuak Raja Singhasari
TUAK tidak hanya minuman bagi beragam kalangan dalam upacara penetapan sima , prosesi sumpah dan kutukan, dan hiburan. Ia juga salah satu jenis minuman yang disuguhkan kepada raja. Bahkan, Raja Singhasari, Kertanegara, mati saat dia minum tuak. Kitab Pararaton , gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya serta disalin pada 1613, menggambarkan akhir hidup Kertanegara yang diserang Jayakatwang, raja Gelang-Gelang, bawahan kerajaan Kediri. Dia kemenakan raja Kediri, Seminingrat, jadi saudara sepupu Kertanegara. Baru setelah mengalahkan Kertanegara, dia menduduki ibukota Daha dan memerintah Singhasari sebagai negara bawahan. Kitab Pararaton menyebut, Jayakatwang menyerang Kertanegara (pada 1291) saat “ Sira Bathara Siwa Budhha pijer anadhah sajeng atau Batara Siwabuda (Kertanegara masih meminum minuman keras).” Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa kematian Kertanegara di tempat minum tuak (Sambi atutur kamoktanira bhathara sang lumah ring panadhahan sajeng). Menurut Ery Soedewo, arkeolog Balai Arkeologi Medan, peristiwa kematian Kertanegara dalam kondisi mabuk bersama para brahmana sebagaimana tersua dalam Pararaton dan prasasti Gajah Mada, sebenarnya adalah gambaran praktik ritus Buddha Tantrayana yang dianut oleh Kertanegara. “Jadi bukan kegemaran Kertanegara terhadap minuman keras khususnya tuak ( sajeng ),” tulis Ery Soedewo, “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak,” dalam Jejak Pangan dalam Arkeologi. Buddha Tantrayana yang dianut oleh Kertanegara tujuan akhirnya adalah sunyaparamananda , yaitu tingkatan hidup sebagai Adibuddha yang abadi, yang mengecap kebahagian tertinggi ( paramananda ), yang hakikatnya ialah kasunyatan ( sunya ). Untuk mencapai itu, menurut tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugraho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II, “salah satunya dengan meminum minuman keras ( madya ), orang yang melaksanakannya akan dapat mencapai tingkatan sunyaparamananda semasa dia hidup dengan ditahbiskan sebagai jina .”*
- Sukarno dan Jamnya
BEBERAPA waktu lalu heboh jam tangan merek Richard Mille milik Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Kabar yang beredar, harga jam tangan itu fantastis: mencapai satu milyar. Moeldoko, yang punya koleksi jam tangan, kemudian membantingnya untuk membuktikan jam tangan tersebut palsu. Jam tangan Sukarno juga pernah terlempar ketika dia sedang berbicara menggebu-gebu dalam suatu rapat pada 1950-an. Saking bersemangat mengacung-acungkan tangan, jam tangannya yang bannya kendor meleset lepas dari pergelangan tangan. “Terbang tinggi ke udara hampir mengenai langit-langit Istana Negara lalu melesat ke bawah laksana kapsul Apollo langsung menghunjam lantai marmer yang sekeras batu itu,” kata Guntur Soekarnoputra dalam Bung Karno & Kesayangannya. Pidato terhenti sejenak. Panitia tergopoh-gopoh mengambil jam tangan itu dan memberikannya kembali kepada Sukarno. Setelah jam tangan tadi masuk kantong jasnya, Sukarno bicara menggebu-gebu lagi. Sukarno berpikir jamnya pasti ringsek. Namun, waktu diperiksa di kamar seusai rapat, jam tangannya masih bekerja dengan baik. Karena pengalaman inilah Sukarno setia pada satu merek jam: Rolex. Menurut Guntur, sejak masa muda, Sukarno adalah seorang yang penepat waktu maka ke manapun pergi selalu memakai jam tangan. Pada mulanya, Sukarno tidak pilih-pilih merek. Merek apa saja pokoknya tepat dan rancangannya lumayan. Apalagi waktu di daerah Republik susah mencari barang-barang yang sedikit mewah akibat blokade ketat Belanda. “Kalau ada orang Kiblik (Republik) pulang dari Jakarta dan memakai arloji merek yang top-top, Bapak paling-paling cuman pegang-pegang dan lihat-lihat saja sambil telan air liur,” kata Guntur. Begitu pula ketika suatu waktu Sukarno berbincang dengan seorang komandan tentara Belanda yang mengenakan arloji dengan penutup kulit. “Sambil mengacungkan ibu jarinya Bapak bilang bahwa arloji sang komandan hebat dan bagus,” kata Guntur. “Serdadu kolonial tadi manggut-manggut sambil tertawa terbahak-bahak karena kesenangan dipuji oleh rajanya kaum ekstremis.” Barulah setelah kejadian jamnya terlempar dan jatuh itu, Sukarno memilih satu merek. Menurut Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66 , ketika Sukarno terusir dari Istana, pada 1968 tim pencatat barang-barang Sukarno yang ditinggalkan di Istana Merdeka mendata sekira 13 buah jam tangan merek Rolex. Namun, meski memilih merek Rolex, Sukarno juga memiliki jam merek lain: Patek Pilipe, Girard Perregaux, HMT Sitison, Omega, Longines, Hamilton, dan Seiko.*
- Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat
ATAS permintaan Mahbub Djunaidi, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia, Sukarno bersedia mengadakan ramah-tamah dengan para wartawan di Istana Bogor, 20 November 1965. Sukarno mendorong para wartawan agar meningkatkan kemampuannya dengan pengetahuan. “Wartawan-wartawan Indonesia ini perlu upgrading ,” kata Sukarno dalam Revolusi Belum Selesai . “Saya minta kepada semua wartawan-wartawan Indonesia. Banyaklah membaca.” Selain itu, Sukarno meminta para wartawan agar jangan membuat tulisan yang mendorong bangsa kepada self destruction (kehancuran), “sebagaimana perkataan Toynbee dan Gibbon, a great civilization never goes down unless it destroys itself from within. Satu peradaban besar tidak akan bisa turun, tidak akan bisa tenggelam, kecuali jikalau peradaban itu merusak dirinya sendiri dari dalam, merobek-robek dadanya sendiri dari dalam.” Sukarno prihatin dengan tulisan-tulisan wartawan belakangan ini yang mengarah ke “ self destruction dan berjiwa gontok-gontokan, gebug-gebugan, bakar-bakar semangat…” “Nah,” kata Sukarno, “saudara sebagai wartawan saudara punya pekerjaan itu sebetulnya gawat sekali. Oleh karena sampai sekarang ini apa yang ditulis di surat kabar dipercaya. Het volk gelooft het (rakyat percaya).” Sukarno mencontohkan sebuah berita mengenai perempuan hamil oleh ular. “Saya bilang nonsense !” Namun, pembaca yang mempercayainya menyatakan, “ Kapanparantos diserat, di serat kabar, kansudah ditulis di surat kabar.” “Nah, saudara-saudara, inilah kegawatan pekerjaan saudara-saudara,” Sukarno mengingatkan para wartawan: “Jangan sampai saudara-saudara mengeluarkan satu perkataan pun dari tetesan pena sudara yang tidak berisi satu kebenaran. Oleh karena tiap-tiap tetesan pena saudara dipercayai oleh pembaca.” “Jangan saudara dalam memegang pena itu lebih mengutamakan partai saudara daripada bangsa,” kata Sukarno. Waktu itu, setiap partai besar memiliki corong media. “Saudara sebagai wartawan itu sebetulnya bukan wakil partai, tetapi ialah wartawan daripada bangsa Indonesia. Wartawan daripada Revolusi Indonesia.” Lebih dari itu, Sukarno sangat mengkhawatirkan dan mengecam wartawan yang menulis berita fitnah. “Tanggungjawab saudara adalah tinggi sekali. Karena itu jangan sampai tulisan saudara itu sebetulnya adalah fitnah.” Menurut Sukarno, dari segala macam kejahatan, fitnah yang terjahat. Agama apapun tidak membenarkan fitnah. “Moral agama harus kita pegang tinggi, moral agama antara lain melarang, menjaga jangan sampai kita menjalankan fitnah,” kata Sukarno.*
- Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang
PADA 25 Maret 1960, pemerintah Kerajaan Belanda mengumumkan akan mengirim kebangaan Angkatan Laut-nya: kapal induk Karel Doorman ke perairan Papua. Kebijakan ini diinisiasi oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns. Pengiriman Karel Doorman bertujuan untuk memperkuat pertahanan Belanda di Papua. Mendatangkan Karel Doorman seolah menjadi jawaban dari pemerintah Belanda, setelah asetnya di Indonesia dinasionalisasikan antara 1957-1959. Hal ini sekaligus meneguhkan sikap Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di Papua. Karel Doorman yang berbobot 18.040 ton adalah satu-satunya kapal induk milik Kerajaan Belanda. Namanya diambil dari nama Laksamana Karel Doorman, panglima Angkatan Laut Belanda yang gugur saat melawan Jepang dalam pertempuran laut Jawa pada 1942. Saat itu, masih belum banyak negara di dunia yang mempunyai kapal induk, kapal super besar yang dapat mengangkut pesawat-pesawat tempur. Menurut Harian Umum, 29 April 1960, ekspedisi Karel Doorman ke Papua mengangkut pesawat-pesawat jet pemburu Hawker Hunter untuk ditempatkan di Pangkalan Udara Biak. Selain itu, serdadu-serdadu wajib militer Belanda yang akan dibentuk menjadi “Batalion Papua” turut dibawa. Baca juga: Debat Pendiri Bangsa Soal Papua Presiden Sukarno meradang sekaligus cemas. Menurutnya, Karel Doorman dapat menyulut perang dan mengancam kedaulatan Indonesia. Kekhawatiran Sukarno bukan tanpa alasan. Angkatan Perang Indonesia dipastikan belum siap jika sewaktu-waktu Karel Doorman berniat melancarkan agresi ke Indonesia. Jenderal Abdul Haris Nasution selaku Menteri Keamanan Nasional dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dalam memornya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama , mengungkapkan, “kita belum mampu untuk itu (berperang) dan juga pangkalan-pangkalan serta kekuatan-kekuatan laut kita adalah rawan jika Karel Doorman datang dengan kapal-kapal pembantunya”. Desas-desus tentang Karel Doorman membuat publik Indonesia kian tegang. Berbagai cara ditempuh untuk menutup gerak Karel Doorman mendekati kawasan Nusantara. Sukarno menginstruksikan agar pertahanan Indonesia di perbatasan Maluku diperkuat. “Cuti militer di Maluku dan Irian Barat dicabut. Seluruh rakyat dalam keadaan waspada,” tulis Harian Umum, 28 Mei 1960. Baca juga: Ketika Bung Hatta Menolak Papua Untuk mengantisipasi laju Karel Doorman , Sukarno menemui pemimpin Mesir Gammal Abdul Nasser. Sukarno dan Nasser sepakat pengiriman kapal induk Belanda ke Papua bertentangan dengan prinsip Konferensi Asia Afrika. Harian Umum, 28 April 1960 mewartakan pernyataan bersama kedua pemimpin itu: mengutuk Belanda mengirimkan Karel Doorman. Pada 31 Mei 1960, Karel Doorman bertolak dari pelabuhan Rotterdam menuju Papua diiringi dua kapal pemburu Groningen dan Limburg serta satu kapal tanker minyak Mijhdrecht. Demi menghindari masalah dengan pemerintah Mesir, Karel Doorman tidak melewati Terusan Suez yang merupakan rute terdekat. Akibatnya, jalur yang lebih jauh harus ditempuh yaitu melalui Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Ketika Karel Doorman direncakan merapat di pelabuhan Yokohama, Jepang, untuk mengisi pasokan minyak dan air, Duta Besar Bambang Sugeng langsung bereaksi. “Indonesia memprotes Jepang tentang mampirnya Karel Doorman , ” tulis Sin Po, 12 Agustus 1960. Baca juga: Menlu Belanda Sponsori Papua Merdeka, Sukarno: Dia Bajingan! Dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Jepang, Zentaro Kosaka, Sugeng mengancam akan kembali ke Indonesia dan mengisyaratkan pemutusan hubungan ekonomi Indonesia dengan Jepang. “Kosaka mengubah keputusannya, dengan alasan bahwa dia tidak ingin menjual suatu persahabatan dengan negara Asia, hanya demi sebuah kapal induk,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno Ratnasari Dewi & Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966 . Kendati negara sahabat Indonesia mempersulit pelayarannya, Karel Doorman tak dapat dicegah menginjak Papua. Belanda juga punya sekutu. Untuk kebutuhan logistik dan bahan bakar, Karel Doorman memperolehnya dari Australia. Karel Dorman berlabuh di Papua pada 1 Agustus 1960. Hollandia (Jayapura), Biak, dan Manokwari adalah kota-kota yang disinggahi Karel Doorman. Selama tiga minggu mengadakan pawai bendera, Karel Doorman dimanfaatkan sebatas pada kegiatan-kegiatan sosial, pelayaran kecil, dan demo-demo pesawat terbang untuk menarik simpati rakyat lokal. “Kehadiran Karel Doorman mengangkat moral orang-orang Belanda di Papua. Unjuk kekuatan itu juga memperbesar kepercayaan orang-orang Papua terhadap Belanda,” tulis sejarawan Belanda, Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Baca juga: Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet Safari Karel Doorman di Papua, selain memakan biaya ekonomi yang tinggi, berdampak politis yang cukup besar. Di Indonesia, Belanda dicap sebagai musuh revolusi. Sukarno meresmikannya dengan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. Dia tak ingin kalah gertak. “Belanda malahan mengirimkan Karel Doorman -nya. Satu negara rentenir kecil yang sebenarnya sudah jatuh seperti Nederland itu, yang masih bernafsu kolonialisme. Sekarang dengarkan saudara-saudara! Dalam keadaan yang demikian itu, tidak ada gunanya lagi hubungan diplomatik dengan negeri Belanda. Saya perintahkan Departemen Luar Negeri memutuskan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda!” seru Sukarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1960, “Jalannya Revolusi Kita” dikutip Mochamad Said dalam Pedoman Untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat . Meski tak menimbulkan kontak senjata, insiden Karel Doorman mendorong Indonesia untuk segera meningkatkan kemampuan Angkatan Perang-nya. Pada akhir tahun 1960, Sukarno mengutus Jenderal Nasution ke Moskow. Misi Nasution: memperoleh senjata berat tercanggih milik Uni Soviet. Hubungan Indonesia-Belanda memasuki era konfrontasi militer.
- Kisah Lain Pergantian Nama Kusno Jadi Sukarno
SEMULA namanya Kusno, kemudian diganti menjadi Sukarno. Dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , Sukarno menceritakan alasan penggantian nama itu karena dia sakit-sakitan, seperti terkena malaria dan disentri. Ternyata, ada cerita berbeda di balik perubahan nama itu. Cerita itu terdapat dalam riwayat singkat ibu Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai, Bung Karno Anakku , karya Soebagijo I.N. Buku ini semula berjudul Pengukir Jiwa Soekarno, terbit tahun 1949. Ide mengganti nama datang dari kakak perempuan Sukarno, yaitu Karsinah. Pada suatu hari, Karsinah bertanya kepada adiknya, “Kus, Kus…Bagaimana Kus, pendapatmu, apabila nama kita ini diganti saja?” “Mengapa diganti yu? Apa salahnya kita memakai nama Karsinah dan Kusno?” “Saya rasa Kus, nama kita ini tidak begitu sedap didengar oleh telinga. Ayah kalau memanggil saya, Nah… Karsinah… Nah… Karsinah… Ah, tidak sedap nian di telinga. Dan apabila memanggil engkau: Kusss… Kus… Tikus atau bagaimana engkau itu?” Kusno diam sejenak. Memikirkan usul kakaknya itu, kemudian dia berkata, “Saya pikir-pikir benar juga engkau, yu. Sebenarnya bagi saya sendiri juga tidak senang dipanggil Kus itu. Kus itu singkatan dari Tikus atau bagaimana? Atau singkatan dari… kakus, barangkali. Ah, tidak… saya tidak mau lagi dipanggil Kus. Walau oleh ayah atau ibu sekalipun.” Mereka kemudian menyampaikan rencana mengganti nama kepada ayahnya, Raden Soekemi Sosrodiharjo. Ayahnya menyetujuinya dan menyerahkan kepada mereka untuk memilih sendiri nama yang diinginkan. Namun, ayahnya memberikan syarat: “Nah, hendaknya nama baru itu mulai dengan huruf Jawa KA, sedang permintaanku kepadamu Kus, supaya nama yang akan engkau pilih mulai dengan huruf Jawa SA dan akhirnya huruf NA.” “Tidak pernah ada orang menerangkan mengapa guru Sosro mengajukan syarat yang demikian itu,” tulis Soebagijo. Karsinah memilih nama Karmini, sedangkan Kusno memilih nama Sukarno. “Ayah, nama yang saya pilih Su-kar-no! Sukarno, Pak, seperti nama adipati Awonggo, perwira yang sakti tiada tandingan itu ayah.” “Jadi, mulai saat sekarang ini Kusno sudah tidak ada?” tanya ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. “Tidak ada, Bu. Yang ada hanyalah Sukarno. Ini, Bu, Sukarno, anakmu laki-laki ini.”*
- Meluruskan Sejarah Bendera Pusaka
DI internet beredar luas informasi mengenai kain Bendera Pusaka Merah Putih yang dikibarkan pada Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Disebutkan bahwa bendera itu berasal dari kain seprai warna putih dan kain tenda warung soto warna merah. Benarkah? Fatmawati, istri Sukarno yang menjahit Bendera Pusaka Merah Putih, menceritakan dari mana dia mendapatkan kain untuk bendera Merah Putih dalam bukunya, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume 1, yang terbit tahun 1978. Menurut Fatmawati, suatu hari, Oktober 1944, tatkala kandungannya berumur sembilan bulan (Guntur lahir pada 3 November 1944), datanglah seorang perwira Jepang membawa kain dua blok. “Yang satu blok berwarna merah sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai ,” kata Fatmawati . Dengan kain itulah, Fatmawati menjahitkan sehelai bendera Merah Putih dengan menggunakan mesin jahit tangan,“sebab tidak boleh lagi mempergunakan mesin jahit kaki.” Pemberian kain sebagai bahan bendera itu agaknya berkaitan dengan pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 7 September 1944 bahwa Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia “kelak di kemudian hari.” Menurut Sukmawati Sukarnoputri, dikutip oase.kompas.com , 24 Juli 2011, Fatmawati menjahit sambil sesekali terisak dalam tangis karena dia tidak percaya Indonesia akhirnya merdeka dan mempunyai bendera serta kedaulatan sendiri. Siapa perwira Jepang yang mengantarkan kain merah putih kepada Fatmawati? Perwira tersebut adalah seorang pemuda bernama Chairul Basri. Dia mendapatkannya dari Hitoshi Shimizu, kepala Sendenbu (Departemen Propaganda). Pada 1978, Hitoshi Shimizu diundang Presiden Soeharto untuk menerima penghargaan dari pemerintah Indonesia karena dianggap berjasa meningkatkan hubungan Indonesia-Jepang. Usai menerima penghargaan, Shimizu bertemu dengan kawan-kawannya semasa pendudukan Jepang. “Pada kesempatan itulah ibu Fatmawati bercerita kepada Shimizu bahwa bendera pusaka kainnya dari Shimizu,” kata Chairul Basri dalam memoarnya, Apa yang Saya Ingat . Pada kesempatan lain, waktu berkunjung lagi ke Indonesia, Shimizu menceritakan kepada Chairul Basri bahwa dia pernah memberikan kain merah putih kepadanya untuk diserahkan kepada Fatmawati. Kain itu diperoleh dari sebuah gudang Jepang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, di depan bekas bioskop Capitol. “Saya diminta oleh Shimizu untuk mengambil kain itu dan mengantarkannya kepada ibu Fatma,” kenang Chairul. Tiba saatnya Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ketika Fatmawati akan melangkahkan kaki keluar dari pintu rumahnya terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada. “Kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah satu yang hadir di tempat depan kamar tidur. Nampak olehku di antara mereka adalah Mas Diro (Sudiro eks wali kota DKI), Suhud, Kolonel Latif Hendraningrat. Segera kami menuju ke tempat upacara, paling depan Bung Karno disusul oleh Bung Hatta, kemudian aku,” kata Fatmawati . Setelah Sukarno membacakan Proklamasi, Latif Hendraningrat dan Suhud kemudian mengerek Bendera Pusaka Merah Mutih.
- Samaun Bakri, Utusan dan Kepercayaan Sukarno
SETELAH bebas dari pengasingannya di Bengkulu, Sukarno bersama istrinya, Inggir Garnasih, tiba di Jakarta pada 9 Juli 1942. Dia meninggalkan kekasihnya: Fatmawati. Dia lalu mengirimkan pesan atau bingkisan untuk Fatmawati melalui utusannya: Samaun Bakri. Samaun bersama Abdul Karim Oey dan dr. Djamil mengurus pernikahan Fatmawati dengan Sukarno yang diwakilkan teman dekatnya, opseter (pengawas) Sarjono, pada 1 Juni 1943. Samaun kemudian membawa Fatmawati dan orangtuanya ke Jakarta. “Rombongan kami terdiri dari ayah, ibu, saudara Samaun Bakri (utusan Bung Karno), paman ibuku Moh. Kancil (penjahit pakaian Bung Karno waktu di Bengkulu) dan aku sendiri,” kata Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno Volume 1 . Siapa Samaun Bakri? Samaun lahir pada 28 April 1908 di Nagari Kurai Taji, Sumatra Barat, dari pasangan Bagindo Abu Bakar dan Siti Syarifah. Samaun mengenyam pendidikan Vervolgschool setara sekolah menengah pertama, Sumatra Thawalib di Padang Panjang, kursus-kursus politik, dan bahasa asing. Awal tahun 1926 dia bekerja di kantor residen Padang. Namun, baru beberapa bulan bekerja dia keluar karena tak terima dengan keangkuhan orang Belanda. Samaun memilih jalan pergerakan. Sedari muda, dia pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Ketika partai-partai pergerakan dibubarkan pemerintah kolonial, dia bergabung dengan Muhammadiyah. Pada 1929, dia menjadi wartawan suratkabar Persamaan . Melalui harian ini, dia mengkritik pemerintah kolonial, seperti kontrolir Pariaman, Spits. Sehingga, Spits melalui kepala Nagari Kurai Taji, Moehammad Noer Majolelo, mengusir Samaun. Majolelo, yang masih keluarganya, membekali Samaun tujuh ringgit. “Samaun, sebenarnya kau terlalu besar, sedang daerah ini terlalu kecil untuk perkembangan bakatmu. Lebih baik kau pergi ke kota besar. Ini uang sekadar biaya. Pergilah! Saya aman dari semburan Spits dan kau bisa berkembang, mungkin nanti kau jadi orang besar,” kata Majolelo, seperti ditirukan Fuad S. Bakri, anak Samaun Bakri, kepada Historia . Baru-baru ini Fuad dan Teguh Wiyono menerbitkan biografi Samaun Bakri Sang Jurnalis & Misteri Jatuhnya RI-002. Samaun bersama Siti Maryam (istri ketiganya) dan Abdul Muis (anak dari istri pertama) pergi ke Medan. Tak lama kemudian dia pergi ke Bengkulu. Di sini dia aktif di Muhammadiyah dan sebagai wartawan suratkabar Sasaran . Karena dibredel pemerintah kolonial, dia mendirikan suratkabar Penabur . Samaun memimpin penyambutan Sukarno, yang dipindahkan dari tempat pengasingan Ende ke Bengkulu, pada 14 Februari 1938. Di Bengkulu, Samaun berteman akrab dengan Sukarno. “Dia pernah menjadi wakil majelis pemuda Muhammadiyah daerah Bengkulu. Dia jadi kurir Bung Karno. Di Jakarta dia dekat dengan Bung Karno dan menjadi orang kepercayaan Presiden,” kata Abdul Karim Oey dalam Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, Sahabat Karib Bung Karno . Pada masa pendudukan Jepang, Samaun menjadi pembantu KH Mas Mansyur, salah seorang dari Empat Serangkai (bersama Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara) yang memimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), organisasi bentukan Jepang. Dia juga menjadi anggota Jawa Hokokai . Samaun bersama golongan muda seperti Sayuti Melik, BM Diah, Adam Malik, dan Sukarni menjadi saksi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan. Pascakemerdekaan, Samaun menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Jawa Barat plus anggota Badan Pekerja KNIP. Dia juga sempat menjadi pembantu Walikota Jakarta Soewirjo. Ketika Sekutu datang, Samaun dan keluarga meninggalkan tempat tinggalnya sejak pendudukan Jepang di Jalan Maluku No 5 Menteng, Jakarta, dan pergi ke Jawa Barat. Dia menjadi sekretaris penjabat Gubernur Jawa Barat Mr Datuk Djamin merangkap anggota Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) yang memutuskan membumihanguskan kota Bandung pada 23 Maret 1946. Untuk mengenang peristiwa yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api itu, Samaun menulis buku Setahoen Peristiwa Bandoeng . Dari Jawa Barat, Samaun diangkat menjadi wakil residen Banten pada 1947. Dia ditugaskan pemerintah pusat di Yogyakarta mengangkut 20 kg emas dari tambang emas Cikotok untuk membeli pesawat. Emas tersebut diangkut dengan pesawat Dakota RI-002 milik Bobby Earl Freeberg. Pesawat lepas landas dari lapangan udara Gorda, Serang, menuju Tanjung Karang Lampung. Namun, dari Tanjung Karang menuju Bukittinggi, pesawat hilang kontak pada 1 Oktober 1948. Reruntuhan pesawat baru ditemukan pada 14 April 1978 di bukit Punggur, Lampung. Kerangka Samaun bersama empat awak pesawat lainnya –anehnya kerangka Bob Freeberg tidak ada– dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang pada 29 Juli 1978. Samaun menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari pemerintah Indonesia tahun 2002.*
- Kisah Sukarno dan Pohon-pohonnya
MANTAN wakil komandan Resimen Tjakrabirawa Maulwi Saelan ingat betul kebiasaan Sukarno di Istana Negara saat mengisi waktu senggang. “Selain membaca atau bercengkerama, biasanya dia berkebun,” ujarnya kepada Historia . Kecintaan Sukarno pada pohon atau tanaman berangkat dari masa kecilnya yang dekat dengan alam. Dalam otobiografinya karya Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , dia dan teman-temannya suka bila sebuah pohon tumbuh. Dengan daun dari pohon itu mereka bisa bermain sado-sadoan. Daun pohon tersebut berbentuk lebar di tengah dan runcing di ujung. Bagian tengah mereka jadikan kereta sado yang mengangkut penumpang, sementara ujungnya ditarik oleh kuda yang diperankan oleh salah satu di antara mereka. Berbeda dari teman-temannya, yang kebanyakan memilih menjadi penumpang, Sukarno lebih sering menjadi kuda atau kusir. Sewaktu menjalani pembuangan di Ende, Sukarno senang merenung di bawah sebuah pohon sukun. Pohon itu terletak di tanah lapang yang –berjarak sekira 700 meter dari rumahnya– menghadap Teluk Sawu dan bercabang lima. Pemandangan indah teluk dan rimbunnya dedaunan pohon yang memayunginya mampu mengusir kesepiannya. Di bawah pohon itulah dia menggali nilai-nilai leluhur. Lima cabang pohon itu konon menginspirasi Sukarno mensintesiskan nilai-nilai leluhur ke dalam lima sila (Pancasila). Kelak, penduduk menamakan pohon itu sebagai pohon Pancasila. Saat sudah berkuasa, Sukarno menaruh perhatian pada upaya pelestarian hutan. Hal itu tercermin dalam pidatonya pada Kongres Boeroeh Kehoetanan di Malang, 27 September 1946. Menurutnya, sebagaimana dikutip harian Merdeka , 1 Oktober 1946, “350 tahun kita tak bernegara. Kita ingin hidup bernegara. Kita berjuang menumpahkan darah untuk hidup. Hidup minta makan, makan minta padi, padi minta hutan. Tidak ada hutan, tidak ada sumber, tidak ada air.” Di berbagai tempat yang dia kunjungi, Sukarno biasa menyempatkan menanam sebuah pohon. Di Berastagi, ketika dia dan beberapa pemimpin Republik dibuang saat agresi militer Belanda kedua, sempat menanam sebuah pohon beringin di pekarangan rumah yang menjadi tempat penahanannya. “Itu beringin Sukarno. Pak Sukarno yang menanam,” ujar istri Sumpeno, penjaga rumah, kepada Historia . Pada 1960, Sukarno juga menanam pohon beringin di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pohon ini kemudian dikenal dengan nama “Beringin Sukarno.” Pada 1955, ketika naik haji, Sukarno tak hanya membawa banyak bibit pohon mimba tapi juga beberapa ahli untuk mengurusnya. Bibit-bibit itu kemudian ditanam di padang Arafah, dan pada gilirannya menghijaukan padang gersang. Kerajaan Saudi menyebut pohon itu “Syajarah Sukarno atau Pohon Sukarno” sebagai penghargaan atas jasa baik Sukarno. Ketika melihat kondisi Jakarta yang dianggapnya sudah tak representatif sebagai ibukota negara, Sukarno membuat rencana pemindahan ibukota ke Palangkaraya. Sukarno ikut membuat master plan, lengkap dengan sabuk hijaunya. “Oleh karenanya dapat dipastikan sabuk pohon atau jalur hijau atau hutan kota akan ditanam di sepanjang jalan-jalan protokol Kota Palangkaraya,” tulis Wijanarka dalam Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya . Pada 17 Juli 1957, Sukarno melakukan pemancangan tiang pertama sebagai penanda dimulainya pembangunan Palangkaraya. Namun, ibukota tak jadi pindah kesana, tetap di Jakarta. Tak hanya di luar, Sukarno juga menanam pohon di Istana Negara. “Itu pohon beringin yang di Istana dia yang tanam,” ujar Maulwi kepada Historia . Keterangan Maulwi diperkuat kesaksian ajudan Sukarno, Bambang Widjanarko dalam Sewindu Dekat Bung Karno . Menurutnya, sang presiden sangat perhatian kepada taman dan pepohonan yang mengisinya. Hampir tiap pagi dia meminta Bambang menemaninya berkeliling memperhatikan taman-taman Istana. Apabila ada pohon yang terlantar atau rusak, dia akan sangat marah. Selain menanyakan penyebab mengapa pohon yang dilihatnya bisa terlantar, Sukarno biasanya segera memanggil tukang kebun untuk merawat pohon tersebut. Seringkali, kata Bambang, Sukarno menanyakan nama-nama tanaman yang mereka berdua lihat untuk mengetes pengetahuan Bambang soal tanaman. Hal yang sama juga terjadi ketika Sukarno berada di Istana Tampaksiring, Bali. “Sukarno senang bekerja di kebun pagi hari dan menanam banyak pohon dan menghabiskan waktu di Istana dengan tangannya sendiri,” tulis Horst Henry Geerken dalam A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno. Kecintaan Sukarno terhadap pohon itu pula yang membuatnya ingin dimakamkan di sebuah tempat yang teduh oleh pepohonan. Dia tak ingin dimakamkan secara mewah. Dia hanya ingin dimakamkan secara sederhana yang mengesankan ketenangan dan kedekatannya dengan alam dan rakyatnya. Sukarno berwasiat: “Aku mendambakan bernaung di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus…Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung-gunung dan subur, dimana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen.” Namun, rezim Orde Baru dengan alasan politik tidak memakamkan Sukarno di tempat yang diinginkannya itu, tapi di Blitar.*
- Maulwi Saelan, Penjaga Fisik dan Nama Baik Sukarno
PEKIK merdeka menggema di auditorium Museum Nasional, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2014. Maulwi Saelan (88 tahun), mantan wakil komandan pasukan pengawal presiden, Tjakrabirawa, mengumandangkannya sesaat sebelum memberi sambutan acara peluncuran dan diskusi biografinya, Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno . Sebagai saksi dan pelaku sejarah, Maulwi merasa terpanggil memberi kesaksian dari sebagian kecil sejarah Indonesia, khususnya mengenai Sukarno. Penodaan terhadap nama baik presiden pertama Indonesia itu begitu besar dan terus berlanjut hingga kini akibat sejarah monoversi yang dipaksakan penguasa Orde Baru. “Saya bersedia dan terpanggil untuk menyatakan hitam dan putihnya sejarah, khususnya yang terkait dengan Sukarno,” ujarnya. Kedekatannya dengan Sukarno bermula ketika Maulwi menjadi wakil komandan Tjakrabirawa pada 1962. Semenjak itu, kata Maulwi, “saya berada sangat dekat dengan presiden Sukarno, baik pada situasi penting dan genting, juga pada hal-hal yang kecil, remeh-temeh, hingga berkelakar.” Salah satu informasi terpenting adalah detik-detik di sekitar peristiwa G30S. Kala itu, Maulwi mendampingi dan berada dekat dengan Sukarno. Menurutnya, pernyataan Kolonel KKO Bambang Widjanarko bahwa Sukarno terlibat dan menginstruksikan Letkol Untung untuk menindak para jenderal tidak loyal adalah tidak benar. Pada 4 Agustus 1965 pagi di serambi belakang Istana Merdeka, Sukarno menderita sakit, sehingga tidak mungkin ada pertemuan dengan Untung. Lagipula, Untung hanyalah komandan batalion. “Tidak mungkin dia bisa begitu saja bertemu presiden,” ujarnya. Sejarawan Anhar Gonggong menanggapi perbedaan keterangan dua orang terdekat Sukarno itu. Persoalan yang mesti diingat, menurutnya, adalah tentang rasio dan background ketika keterangan itu diberikan. Ada kondisi-kondisi tertentu yang harus dipahami ketika keduanya memberi keterangan. “Saya khawatir bahwa Widjanarko berada dalam tekanan, sebab kondisinya tidak memungkinkanya untuk tidak mengatakan itu. Bila dia tidak mengatakan itu (keterangan yang diinginkan rezim Orde Baru – red ), boleh jadi dia dipenjara. Faktor itulah yang harus diperhitungkan,” ujar Anhar. Faktor psikis pula yang menjadi sorotan Bonnie Triyana, sejarawan sekaligus penulis biografi Maulwi Saelan. Menurut pemimpin redaksi majalah Historia ini, Bambang Widjanarko, Maulwi Saelan, dan Moh. Sabur (komandan Tjakrabirawa) sama-sama diinterogasi Team Pemeriksa Pusat (Teperpu). Perbedaan faktor psikologi di antara ketiganya dan down mental akibat interogasi dan paksaan menghasilkan keterangan yang berbeda. Widjanarko memberikan keterangan yang sesuai keinginan penguasa, yakni menyatakan Sukarno mengetahui dan merestui penculikan para jenderal. Sedangkan Maulwi memberikan keterangan yang jelas tak dikehendaki penguasa sehingga dia dipenjara. Selepas bebas dari penjara, Maulwi sempat mengajak bertemu Bambang Widjanarko guna mengoreksi cerita keterlibatan Sukarno pada peristiwa G30S. Namun, hingga akhir hayatnya, Bambang tak pernah memenuhi janjinya untuk bertemu Maulwi. Sejarawan Asvi Warman Adam berpendapat, Maulwi menepis anggapan miring bahkan tuduhan keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S. Selain mengkonfirmasi dan membantah adanya pertemuan pada 4 Agustus 1965, Maulwi juga membantah informasi adanya penyerahan secarik kertas dari Untung kepada Sukarno yang dibawa Sogol, anggota Tjakrabirawa bagian hygiene, di malam 30 September dan dibaca Sukarno di toilet. Bantahan-bantahan itu membuat “Maulwi tak hanya menjaga fisik Bung Karno, tetapi juga menjaga nama baik Sukarno dalam urusan sejarah,” ujar Asvi. Asvi melanjutkan, peran Maulwi sebagai “penjaga” telah berjalan sejak Indonesia berdiri. Dia seorang penjaga revolusi karena ikut dalam perang kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, hingga Yogyakarta. Saat perhelatan Olimpiade Melbourne 1956, dia tampil sebagai penjaga gawang sekaligus kapten timnas Indonesia saat mengadapi Uni Soviet. Peran penjaga itu berlanjut ketika dia menjaga presiden Sukarno saat bertugas di Resimen Tjakrabirawa. Dan terakhir, dia aktif sebagai penjaga pendidikan dengan mendirikan sekolah al-Azhar Syifa Budi.*






















