top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kisah Jenderal Soedirman dan "80 Perompak"

    Jumat, 1 November 1946. Udara pagi Jakarta mulai menghangat, saat serangkaian kereta api istimewa memasuki Stasiun Manggarai. Begitu berhenti, ribuan orang yang memenuhi ruang tunggu mulai ramai bersuara. Suasana mulai “histeris” manakala dari salah satu gerbong muncul dua orang yang ditunggu:  Panglima Besar Tentara Republik Indonesia (TRI) Jenderal Soedirman dan Kepala Staf TRI, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. “Pekik merdeka kembali berdengung di Jakarta, menyambut kedatangan Pak Dirman,” ujar mantan Menteri Pertambangan di era Orde Baru Soebroto, seperti dikutip sejarawan Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1959. Soebroto adalah salah seorang kadet Akademi Militer Yogyakarta. Bersama 14 rekannya, dia masuk dalam barisan pengawal Soedirman saat itu. Mereka terpilih karena dianggap berasal dari kalangan elit TRI yang memiliki disiplin tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai (salah satunya menguasai bahasa Inggris dan bahasa Belanda). Kriteria itu penting supaya prajurit-prajurit TRI tidak  memalukan bila tampil di depan hidung tentara Inggris dan tentara Belanda. Kedatangan para pucuk pimpinan TRI ke Jakarta dalam rangka menindaklanjuti hasil Perjanjian Linggarjati antara pemerintah RI dengan pemerintah Kerajaan Belanda yang hingga akhir Oktober 1946 sudah mendekati final. Mereka akan membicarakan soal teknis dari pelaksanaan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Belanda sendiri awalnya keberatan dengan kedatangan Jenderal Soedirman lengkap dengan para pengawal bersenjatanya ke Jakarta. Bahkan dalam nada marah, Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor menyebut upaya itu sebagai bentuk provokasi dari Soedirman. Dalam suratnya kepada Kepala Staf Umum Tentara Kerajaan Belanda Jenderal H.J. Kruls, Spoor menyatakan kedatangan Soedirman dengan rombongan bersenjatanya ke Batavia sungguh memberi malu  kepada orang-orang Belanda. “Ia sangat berang dengan tindakan provokatif Jenderal Soedirman ‘dengan 80 perompak-nya’ di Batavia,” tulis sejarawan JA.de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia. Spoor juga menyebut bahwa Soedirman dan para republiken sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menciptakan perdamaian. Mereka tidak loyal terhadap kesepakatan yang sudah diciptakan oleh kedua pihak dalam Perjanjian Linggarjati. Namun apa boleh buat, orang-orang Inggris yang masih bercokol di Jakarta dan merupakan wakil sah dari Sekutu, menginginkan Belanda untuk menyelesaikan semaksimal mungkin konfliknya dengan Indonesia harus lewat meja perundingan. “Belanda kini terpaksa berunding dengan para ‘bajingan dan kolaborator dari masa perang’,” ungkapnya. Di lain pihak, kedatangan rombongan Soedirman ke Jakarta, memang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir.  Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, sebenarnya bisa saja rombongan Panglima Besar menyudahi perjalanannya di Stasiun Gambir dan diam-diam langsung masuk Hotel Shutteraff yang ada persis di muka stasiun tersebut (sekarang Gedung Pertamina). “Namun Sjahrir menginginkan supaya Soedirman dan rombongannya diarak dari Stasiun Manggarai menuju hotel tempat mereka menginap untuk memperlihatkan kepada Belanda dan Inggris bahwa Republik memiliki tentara yang patut dibanggakan,” ujarnya. Bagi para pengawal, situasi tersebut merupakan ujian tersendiri bagi kedisiplinan mereka sebagai tentara. Terutama bagi yang kebagian jaga di depan hotel, persis menghadap jalan raya. Entah berapa kali dalam sehari, serdadu-serdadu Belanda secara provokatif berjalan hilir-mudik di depan mereka dengan sorot mata memusuhi dan menghina. “Kami masing-masing hanya bisa saling melototkan mata saja, untunglah tidak sampai terjadi insiden,” kenang Soebroto. Namun selain perang urat syaraf, ada juga kenangan indahnya. Tak jarang orang-orang Jakarta, terutama para gadisnya, mondar-mandir di depan kadet penjaga. Mereka rupanya sengaja lewat depan Hotel Shutteraff hanya sekadar ingin tahu betapa tampan dan gagahnya para prajurit TRI yang mereka banggakan itu. Rombongan Soedirman berada di Jakarta hingga Selasa sore, 5 November 1946. Paginya, Panglima Besar masih menyempatkan diri melakukan shalat Idul Adha di Lapangan Gambir (sekarang kawasan Monas) bersama masyarakat Jakarta. Seperti saat menyambut kedatangan Soedirman di Stasiun Manggarai beberapa hari sebelumnya, ribuan masyarakat Jakarta pun terlihat antusias menjalankan shalat berjamaah dengan panglima besar-nya.

  • Panglima Doyan Ngebut

    JENDERAL M. Jusuf dikenal sebagai panglima yang perhatian kepada prajurit. Hari-harinya selama menjabat sebagai Menhankam/Pangab di kabinet Pembangunan III lebih banyak dihabiskan di lapangan untuk meninjau langsung kesiapan pasukan dan persenjataan atau kondisi kehidupan para prajurit beserta keluarga mereka. Kebiasaan itu telah dilakukan Jusuf jauh sebelum dia menduduki kursi nomor satu ABRI. Namun selain hobi memperhatikan prajurit, Jusuf juga hobi ngebut menggunakan jip. Kebiasaannya sejak masih perwira pertama itu dilakukannya untuk inspeksi mendadak ke lapangan. Ketika sudah menjabat sebagai Pangdam Hasanuddin, kebiasaan itu tetap dilanjutkannya. “Menurut cerita ajudannya waktu itu, meskipun menjabat panglima, Jusuf sering menyetir mobil jipnya sendiri ke daerah-daerah yang masih rawan atau untuk meninjau pasukannya,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit . Baca juga:  Jenderal Takut Kepergok Merokok Bila sudah mengendarai jipnya, Jusuf akan memacu laju mobil sekencang mungkin, tak peduli keamanan daerah yang dilaluinya maupun ganasnya medan. Hal itulah yang membuat Mayor Himawan Soetanto (dan Yon 330 Siliwangi, di kemudian hari menjabat sebagai Kasum ABRI) dan Letda TB Silalahi (dan Ki kavaleri, di kemudian hari menjabat menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) kagum terhadapnya. Himawan mengisahkan  pertemuan pertamanya dengan Jusuf terjadi ketika Jusuf melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pare-Pare, tempat Himawan bertugas Jusuf datang tanpa ajudan dan pengawal. Pengawalan bukannya tak pernah digunakan Jusuf ketika melakukan sidak. Namun, jumlah yang besar membuat laju pengawal tak bisa cepat. Jusuf tak betah berlambat-lambat. Biasanya, kalau sudah begitu Jusuf akan berjalan duluan. “Pokoknya kalau panglima sudah menghidupkan lampu dim, artinya dia mau lebih cepat. Kalau sudah begitu, pengawal di mobil depan minggir,” kata sang ajudan. Silalahi pernah kewalahan ketika, dalam tugasnya menumpas gerakan Andi Selle, mendapat tugas mengawal Jusuf. Pasalnya, Jusuf acapkali menghilang menggunakan jipnya. Hal itu membuat Silalahi dan regu pengawal ketar-ketir. Alih-alih mendengarkan keluhan dari Silalahi dkk. kemudian, Jusuf justru dengan enteng menjawab, “Habis, panser kalian jalannya terlalu pelan.” Kesukaan pada kecepatan itu membuat Jusuf kerap memilih jalur yang lebih pendek untuk mencapai tujuan kendati jalur itu jauh lebih berbahaya. Bila berkunjung ke Bone, Jusuf lebih suka melewati jalur memotong gunung yang dipenuhi semak dan kanan-kirinya jurang. Suatu kali, dia mengajak seorang pengawal. Sambil memacu jipnya, Jusuf menceritakan ada sebuah mobil yang masuk ke jurang ketika melewati jalur itu. Sang pengawal yang ketakutan sejak awal pun terus berpegangan pada bagian mobil alih-alih mendengarkan keterangan Jusuf. Baca juga:  Pelajar Makassar Bernyali Besar Hal itu pula yang dialami Himawan ketika diminta Jusuf menemaninya napak tilas ke Barru. Saat itu tahun 1983, Jusuf sudah menjadi menhankam/Pangab dan Himawan sudah menjadi Kasum ABRI dengan tiga bintang di pundak. Himawan diminta duduk di samping Jusuf yang berada di balik kemudi. Jip Jusuf berada di urutan ketiga, di belakang sebuah sedan Volvo dari Polri dan mobil pembuka jalan dari POM ABRI. Dalam perjalanan, Jusuf tak tahan lagi dengan iring-iringan yang melaju lambat. Pedal gas pun di injaknya lebih kuat. Dalam sekejap, mobil POM ABRI dan kemudian sedan Volvo Polri pun disalipnya. “Wah, payah mobil si Awaluddin ini,” kata Jusuf mengomentari sedan Volvo Polri, yang kala itu Kapolrinya Jenderal Awaluddin Djamin. Alhasil, Jusuf telah selesai minum dan ngobrol dengan pejabat di Barru saat rombongan baru tiba 40 menit kemudian. Usai kunjungan, Himawan kembali harus menahan nafas lantaran harus kembali merasakan kengerian ngebut disupiri panglima ABRI. Kendati jalan menuju Bandara Hasanuddin berliku, Jusuf justru makin “gila”. Laju jipnya dia geber dengan kecepatan rata-rata 140km/jam. Hal itu membuat Himawan kian kencang menggenggam pegangan di bagian depan mobil. Dia tak ingat lagi apa saja yang dikatakan Jusuf ketika dalam perjalanan banyak bercerita. Konsentrasi Himawan hanya tertuju pada keselamatan. Himawan baru lega ketika jip tiba di bandara. Kepada Kolonel Sintong Pandjaitan, orang yang diminta Jusuf menyediakan jip, dan Kasdam Brigjen Bachtiar, Himawan pun mengeluhkan perjalanan yang baru dialaminya. “Wah, Pak Jusuf itu gila betul menyetirnya. Kalau terbalik gimana ya?” kata Himawan yang langsung disambut tawa Sintong dan Bachtiar. Yang disebut terakhir hanya berkomentar singkat, “Ya begitulah beliau itu. Dulu malah jalannya belum sebagus sekarang, tapi ngebutnya sama juga.” Menurut Jusuf, kegemarannya ngebut bukan tanpa alasan. “Kalau kau membawa oto secara cepat, biasanya yang mau mencegat kita berpikir dulu. Paling tidak, susah untuk dijadikan sasaran sniper,” katanya. Hobi Jusuf itu kerap “memakan korban”. Himawan hanya satu di antaranya. Korban paling parah adalah seorang yang dikisahkan mantan komandan Jusuf, Mayjen Andi Mattalatta. Dalam otobiografinya, Meniti Siri’ dan Harga Diri , Mattalatta mengisahkan kejadian itu berlangsung saat Jusuf hendak menghadiri resepsi pernikahannya di Barru, 5 Oktober 1951. Baca juga:  Cerita dari Stadion Andi Mattalatta Karena baru tiba dari Jakarta, Jusuf berupaya buru-buru ke Barru menggunakan jip. Mengetahui hal itu, Nyonya Alimbachri yang sangat ingin menghadiri resepsi Mattalata, segera menumpang Jusuf. Jusuf mengizinkan, perjalanannya ke Barru tak sendirian. “Makassar-Barru yang jauhnya 100 km, ditempuhnya kurang dari sejam. Di belakang duduk sendirian Nyoya Alimbachri. Setelah Kapten TNI Andi Jusuf tiba di tempat resepsi, barulah beliau menoleh ke belakang melihat penumpangnya. Tiba-tiba beliau heran, karena tidak ada orang yang duduk di belakang. Ternyata, penumpangnya sudah pingsan dan terjatuh di lantai mobil. Memang Kapten TNI Andi Jusuf senang ngebut. Sampai beliau berbintang empat, masih senang ngebut,” kata Mattalatta.

  • Ketika Wardiman Djojonegoro Dimarahi Bang Ali

    Sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin lekat dengan predikat pemarah. Emosinya kerap meluap-luap. Tidak jarang umpatan keluar dari tutur lisan gubernur yang akrab disapa Bang Ali ini. “Ali Sadikin jika marah sering mengumpat. Banyak pejabat yang pernah jadi sasarannya, termasuk saya,” kenang Wardiman Djojonegoro dalam memoarnya Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar. Wardiman pernah menjabat sebagai Kepala Biro Kepala Daerah Pemda DKI Jakarta antara 1966-1979. Selama itu pula, Wardiman mendampingi Ali Sadikin, terutama dalam menangangi tugas-tugas keprotokolan. Wardiman tahu persis bagaimana sikap Bang Ali kalau lagi jengkel bila tugas dan proyek Pemda DKI dijalankan tidak sebagaimana mestinya. Ketika PON VII dihelat di Surabaya, Bang Ali menjanjikan bonus bagi atlet Jakarta yang berprestasi. Mereka yang mempersembahkan medali antara lain Indrajati Sidi, pemenang cabang panca lomba. Kepada Indrajati, Pemda DKI Jakarta menghadiahinya dengan paket liburan ke Singapura dan Bangkok, Thailand. Wardiman ditugaskan menyiapkan keberangkatan para atlet ke Bangkok. Namun Wardiman lupa memberitahukan kepada Dubes RI di Bangkok perihal kedatangan mereka. “Akibatnya, saya dimarahi oleh Ali Sadikin dan keluarlah kata-kata ‘kebun binatang’,” kenang Wardiman. Kejadian berikutnya, suatu ketika kontingen olahraga DKI Jakarta pulang dari Lampung dengan menggunakan kapal setelah memenangkan pertandingan. Ali Sadikin menelepon Wardiman untuk persiapan penyambutan. Kata Bang Ali, “Man, siapkan korps musik untuk menyambut.” Wardiman menempatkan korps musik di depan tenda tamu. Melihat itu, Bang Ali malah marah. Ali menginginkan agar korps musik di taruh di dermaga tempat kapal merapat. Apes bagi Wardiman. Dia pun kena maki oleh Bang Ali. Kisah dampratan Bang Ali bagi Wardiman masih berlanjut. Pada 1969, Presiden Singapura Yusuf bin Ishak berkunjung ke Jakarta. Seyogianya bendera Singapura berkibar di Balai Kota. Lagi-lagi Wardiman lalai. Dia lupa memberikan instruksi untuk mengibarkannya. Kealpaan itu menurut Wardiman secara tidak sadar dipengaruhi dengan peristiwa digantungnya dua prajurit Korps Komando (KKo) AL, Usman dan Harun. Peristiwa itu menyulut emosi rakyat Indonesia, termasuk Wardiman. “Akibatnya, sekali lagi Ali Sadikin mengumpat marah kepada saya,” ujar Wardiman. Selain itu, Wardiman juga pernah menyaksikan kemarahan Ali Sadikin kepada pihak Hotel Indonesia. Waktu itu, Hotel Indonesia menjadi satu-satunya hotel bergengsi di Jakarta sementara Ali Sadikin sedang kedatangan tamu delegasi luar negeri. Rupanya ada yang melapor bahwa tamu-tamu asing Bang Ali itu tidak mendapat kamar. Untuk mengatasinya. Ali Sadikin mendatangi Manajer Hotel Indonesia, seorang berkebangsaan asing. Sambil memegang dan mengangkat kerah bajunya, Bang Ali mengancam, “Jika delegasi dari luar negeri tidak mendapat kamar, saya akan keluarkan kamu dari Indonesia.” Akibatnya, sejumlah tamu domestik yang menginap di hotel itu terpaksa menjinjing koper untuk pindah ke penginapan lain.   Menurut Wardiman, sistem kepemimpinan Ali Sadikin serba cepat dan menuntut selalu ada ‘ check dan recheck ’. Maka itu, selama menjadi bawahan Bang Ali, biro yang dipimpinnya selalu menjadi tempat pengecekan terakhir. Tidak heran Wardiman paham tindak tanduk Bang Ali. Mulai dari visi misi membangun Jakarta, gaya kepemimpinan, sampai tempramennya yang terbilang tinggi.   “Ketika Ali Sadikin menjadi gubernur, prioritas yang didahulukannya adalah menyiapkan standar hidup penduduk Jakarta agar lebih baik, tetapi sekarang saya khawatir kita telah kehilangan sasaran,” kenang Wardiman.

  • Saat Jakarta Dikepung Banjir

    Warga Jakarta memasuki tahun baru 2020. Tapi bertemu lagi dengan masalah klasik: banjir. Jakarta dan air ibarat musuh bebuyutan. Tak pernah sampai pada titik temu, tak pernah ada solusi. Gubernur silih berganti, tapi kota ini tetap takluk oleh air. Seorang pemulung berusaha melewati banjir di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Banjir Jakarta telah menggenangi catatan sejarah berabad lamanya. Jauh hari sebelum dihuni manusia, Jakarta merupakan dataran rendah. Sebagian daerahnya bahkan lebih rendah daripada permukaan laut. Dengan demikian, banjir di Jakarta sebelum berpenghuni merupakan peristiwa lumrah. Tak ada yang dirugikan. Tapi begitu manusia menghuni wilayah ini, lain ceritanya. Anak-anak bermain saat banjir di kawasan Mangga Dua, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Seorang warga berusaha menghindari banjir. (Fernando Randy/Historia). Masa VOC bercokol di Batavia, nama lama Jakarta, banyak Gubernur Jenderal mencoba aneka cara untuk menanggulangi banjir. Jan Pieterszoon Coen (menjabat 1619—1623 dan 1627—1629) misalnya, mulai membuat sejumlah kanal untuk mengendalikan air dari sungai-sungai yang membelah Jakarta. Antara lain Sungai Ciliwung, sungai utama di Batavia.  Para warga berusaha melewati banjir di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Namun upaya tersebut tak sepenuhnya berhasil. Seiring masa, kanal-kanal yang dibuat oleh Coen tidak berfungsi dengan baik. Kanal penuh dengan sampah pabrik gula atau tebu. Laju air tersendat. Banjir pun mendera dan menenggelamkan sebagian wilayah Batavia.  Suasana banjir di kawasan Mangga Dua, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Ratusan tahun kemudian wilayah Batavia meluas dengan pesat. Hutan berganti oleh hunian manusia. Tapi masalah kota ini tetap sama. Bahkan hingga masuk masa merdeka, Jakarta masih dijajah banjir. Tak jarang cakupan wilayah terdampak banjir begitu luas. Seperti banjir pada 1960-an yang melanda Grogol. Berbagai kendaraan berusaha menerobos banjir di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Edi Sedyawati dkk. dalam  Sejarah Kota Jakarta 1950-1980  menyatakan, masalah banjir adalah masalah utama Jakarta. Penyebabnya, Jakarta tak pernah punya sistem tata kelola air yang memadai. Padahal kota ini terbelah oleh hingga sepuluh sungai. Tapi sebab terpenting adalah cara pandang dan perilaku warga kota yang tak pernah mengganggap alam sebagai sahabat. Hingga enak saja membuang sampah.  Warga menggunakan perahu karet di kawasan banjir Kelapa Gading, Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Banjir tak pernah pandang bulu mendera warga. Kawasan mewah seperti Kelapa Gading pun tak luput dari banjir. Warga perumahan elite yang biasanya berseliweran di mal-mal Kelapa Gading, awal tahun baru lalu justru sibuk menyelamatkan barang-barang berharga di rumahnya. Ratusan warga yang terjebak banjir di Jakarta Utara. (Fernando Randy/Historia). "Saya sudah lama tinggal di Kelapa Gading. Banjir parah tahun 2004, lalu 2007 dan kini tidak menyangka baru awal tahun 2020 kami sudah dilanda bencana. Semoga ini cepat berlalu," ujar Weni (32), warga kompleks Janur Asri, Kelapa Gading.  Baca juga:  Air Mengalir Sampai Banjir Pesatnya pembangunan di Jakarta tidak dibarengi dengan perbaikan tata kelola air. Semua membangun, tapi tidak membaik. Ditambah lagi kota ini tak siap dengan perubahan iklim akibat pemanasan global. Tapi belum terlambat untuk memperbaiki cara pandang dan perilaku semua orang di kota. Semua orang masih terus berupaya menemukan inovasi baru untuk menanggulangi banjir. Karena apabila tak ada perbaikan, bukan tidak mungkin Jakarta akan tenggelam. Warga melintasi banjir di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. (Fernando Randy/Historia).

  • Kepulauan Natuna Pada Masa Kuno

    Tercatat lebih dari 200 pulau kecil membentuk Kepulauan Natuna. Mereka tak selalu nampak dalam peta. Seolah letaknya terpencil, sehingga tak mudah mencapainya.   Kesan itu mungkin berkebalikan dengan masa lalu. Sejak dulu,   Natuna dilintasi jalur pelayaran dan niaga karena   berada di kawasan maritim Laut Cina Selatan. Ia menghubungkan negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur, terutama Tiongkok. Lokasinya di posisi persilangan jalur masuk ke perairan Malaka, Sumatra, dan Kalimantan.   Karenanya Natuna sangat mungkin dijadikan “batu loncatan” dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Demikian disebutkan Sonny C. Wibisono, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam tulisannya, “Arkeologi Natuna: Koridor Maritim di Perairan Laut Cina Selatan”, termuat di  Kalpataru, Majalah Arkeologi Vol. 23. Sayangnya, tak banyak sumber yang menyebut Natuna secara langsung. Sumber yang mungkin menyebut keberadaannya adalah “Catatan Shi Bi”   dalam  Catatan Sejarah Dinasti Yuan.  Shi Bi adalah salah satu komandan armada Dinasti Yuan yang ditugaskan Khubilai Khan untuk menghukum Raja Kertanegara di Jawa.  Catatan itu merekam rute dari Tiongkok ke Jawa yang berbeda dari rute yang pernah dilalui pelaut Tiongkok era dinasti sebelumnya. Dalam Catatan Dinasti Sung misalnya, pelayaran dari Tiongkok mengikuti jalur pantai di Asia Daratan baru kemudian menyeberang ke pantai timur Sumatra. Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina di Universitas Indonesia menjelaskan ketika itu bangsa Mongol ingin mencari rute yang paling singkat menuju Jawa. “Kepentingan mereka adalah mengirimkan angkatan perangnya,” katanya. Namun, kata Nurni, rute itu bukannya mudah malah berisiko besar. Apalagi latar belakang orang-orang Mongol bukan bangsa pelaut, melainkan bangsa pemelihara kuda. “Berhasil tapi sulit sekali,” katanya. Setelah melewati Champa, sebulan kemudian mereka tiba di Kepulauan Dong Timur dan Kepualauan Dong Barat. W.P. Groeneveldt dalam  Nusantara dalam Catatan Tionghoa , menduga dua tempat itu masing-masing merujuk pada Kepulauan Natuna dan Anamba. Sementara itu, menurut Sonny sejauh penelusurannya nama tempat yang bisa dikaitkan dengan Natuna ada dalam sumber pelayaran Tiongkok,  Shung Feng Shang Sun  (Angin Baik untuk Pelayaran) yang berasal dari pertengahan abad ke-15. Di sana disebut Mao Shan atau Ma-an Shan, yang merujuk pada Natuna Besar atau Pulau Bunguran, terletak di pantai barat Kalimantan. “Kata itu artinya pelana kuda. Kata ini bisa dihubungkan dengan bentuk denah pantai Pulau Natuna dari Pantai Klari utara sampai Pengadah atau Teluk Buton yang menyerupi pelana kuda,” tulis Sonny. Kawasan itu dilewati rute pelayaran dari Tiongkok ke arah barat India dan Asia barat. Mulai pelayaran dari pelabuhan di Tiongkok, menyusuri pantai-pantai Tiongkok dan Hainan. Dari sana berlayar ke pantai Vietnam, kemudian terpecah jalur ke selatan. “Sementara jalur utama terus menuju Pulau Tioman, ke Malaka, melewati Pulau Lima, dan setelah itu melewati Ma-an Shan (Natuna), selanjutnya lewat Pulau Mien-tan (Bintan),” tulis Sonny. Situs Kuno di Natuna Kabar baiknya, bukti-bukti arkeologis bisa lebih banyak menyumbang cerita. Survei dan ekskavasi tim Puslit   Arkenas di Natuna pada 2012-2014 menemukan t ak kurang dari 19 situs yang mengandung temuan arkeologis. Di pantai timur yang landai, keberadaan situs cukup padat. Ini mulai dari Ranai Kota, Teluk Baru, Sepempang, Serangas, Sekalong, Dua Semitan, Tanjung, Kelanga, Pengadah, dan Teluk Buton. Adapun di sebelah tenggara, yaitu di Desa Cemaga, Batu Bayan, Penarik, Pian Padang, dan Setengar. “Hampir sebagian besar situs ditemukan tak jauh dari pesisir pantai. Letaknya dekat dengan muara sungai,” jelas Sonny. “Beberapa lokasi mengindikasikan situs-situs ini juga berfungsi sebagai pelabuhan.” Situs-situs itu juga mengungkap sisa-sisa permukiman di Natuna. Tandanya adalah sebaran temuan keramik dan manik-manik pada permukaan tanahnya. Tumbuhnya permukiman di sana diduga karena kelimpahan air tawar dan kekayaan sumber hutan dan perairannya. Hutan Natuna menghasilkan kayu dan gaharu, komoditas eksotis yang sampai sekarang masih dicari. “Mungkin ini bagian dari tradisi lama yang dipandang ada kaitannya dengan tujuan atau persinggahan perniagaan itu,” ujar Sony. “Artinya data itu menunjukkan bahwa Natuna tidak hanya menjadi tempat pengimpor tetapi juga memiliki sumber setempat sebagai andalan atau pengekspor.” Penggalian di situs Setapang, Sepempang, dan Sekalong, tak mendapat banyak temuan. Padahal sebelumnya temuan permukaan cukup padat. Temuan yang paling sering ditemukan adalah keramik. Sebagian besar pecah kendati masih bisa diidentifikasi masa pembuatannya.   Keberadaan keramik di hampir seluruh situs menandai bahwa tataniaga keramik di wilayah ini pada masanya sangat tinggi.   Khususnya di Situs Setapang, ditemukan keramik mangkuk dengan celadon dari Dinasti Song-Yuan, sekira abad ke-13. Keramiknya ditemukan dekat wadah kubur dari kayu berbentuk perahu. Mungkin keramik ini adalah bekal kubur.   Dari penelitian ini juga diketahui adanya kemungkinan situs di bawah laut. Letaknya di Desa Pengadah. Dugaannya di sana ada sisa kapal karam. Dari muatan barang keramik di dalam kapal menunjukkan kalau itu adalah kapal dagang. “Dua lokasi yang sementara ini diinformasikan penduduk yaitu di perairan Teluk Buton. Temuannya disimpan di Museum Sri Serindit,” kata Sonny. Pelayaran yang Melibatkan Natuna Naniek Harkantiningsih, ahli keramologi Puslit Arkenas dalam “Natuna: Jalur Pelayaran dan Perdagangan Jarak Jauh”, termuat di  Di Balik Peradaban Keramik Natuna  menjelaskan bahwa keramik pada masa lalu menjadi komoditas impor di kawasan Natuna. Berdasarkan catatannya, sebagian besar adalah keramik yang berasal dari Tiongkok, abad ke-9 sampai ke-20, mencakup era Dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing. Keramik yang bukan dari Tiongkok baru ada mulai abad ke-14. Temuan keramik Vietnam, misalnya, berasal dari abad ke-14 hingga ke-15. Ditemukan juga keramik Thailand dari sekira abad ke-15 sampai ke-16, keramik Belanda dari abad ke-19-20, keramik Jepang dari abad ke-19-20, keramik Inggris dari abad ke-20, dan keramik Singkawang dari abad ke-20. “Temuan ini membuktikan bahwa Pulau Natuna merupakan salah satu pusat dan perlintasan niaga, yang terus bersinambung dari sekitar abad ke- 9 sampai ke-20,” jelas Naniek. Dari banyaknya temuan itu,   memperlihatkan kejayaan perniagaan yang melibatkan Pulau Natuna dimulai dari abad ke-9 sampai ke-10. Pada masa itu Sriwijaya tengah berkembang. Perniagaan itu terus meningkat pada abad ke-11 sampai ke-13. “Ketika Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-8 sampai ke-10, partisipasi Natuna dalam perdagangan di Laut Cina Selatan nampaknya belum berlangsung intensif. Proporsi keramik Palembang pada masa ini lebih tinggi,” kata Sonny. Puncaknya terjadi pada abad ke-13 sampai ke-14, dengan banyaknya ditemukan keramik bergaya Dinasti Yuan di Natuna. Setelahnya surut dan naik lagi pada abad ke-18-19   bersamaan dengan hadirnya kekuasaan kolonial di Nusantara. “Tingginya intensitas keramik tampaknya berkorelasi dengan tingginya hubungan misi dagang yang dilakukan antara Tiongkok dengan pusat negeri di Asia Tenggara, termasuk Sriwijaya,” ujar Sonny. “Pasca Sriwijaya partisipasi Natuna lebih tinggi.” Sementara munculnya keramik dari Vietnam dan Thailand bersamaan dengan merosotnya pasokan keramik Tiongkok pada masa Dinasti Ming. Baru kembali meningkat ketika Dinasti Qing berkuasa di Tiongkok.   Pada abad ini mulai bervariasi keramik dari Eropa dan Jepang. Jelaslah bahwa sejak dulu Natuna sudah menjadi   kawasan yang penting. Berkembangnya kerajaan berbasis maritim, termasuk Sriwijaya pada abad ke-7, berperan membuat pulau ini bergeliat.

  • Alex Kawilarang, Kisah Patriot yang Dicopot

    Letnan Jenderal (Purn.) Sajidiman Suryohadiprojo tidak percaya sama sekali jika seniornya di Siliwangi, Kolonel (Purn) Alex Evert Kawilarang adalah seorang pengkhianat. Alih-alih mencap-nya sebagai petualang, Sajidiman justru menyebut Alex (panggilan akrab A.E. Kawilarang) sebagai seorang patriot. Buktinya cukup banyak, ujar mantan Wakasad itu. Sejak tercatat sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR, cikal bakal TNI) pada 1945, Alex banyak terlibat dalam berbagai peristiwa bersejarah yang menegaskan dirinya adalah seorang loyalis Republik. Memimpin penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), menyelesaikan pembangkangan Andi Aziz dan membentuk pasukan komando di Angkatan Darat, adalah sebagian kecil dari jasa-jasa Alex kepada bangsa Indonesia. Sajidiman yakin jika tak ada pengaruh Alex, sejatinya wilayah Manado dan sekitarnya sudah bergolak sejak awal 1950. Namun mengapa sang kolonel justru bergabung dengan Perjuangan Semesta (Permesta) pada 1958? “Ia bergabung dengan Permesta karena marah saat Manado dibom oleh pemerintah RI,” ujar Sajidiman kepada Martin Sitompul dari historia.id . Sajidiman bisa jadi benar. Ketika mendengar kampung halaman nenek moyangnya (Manado) dibom oleh AURI pada Februari 1958, dari Washington D.C. (tempatnya bertugas sebagai atase militer Kedutaan Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat) Alex langsung mengirimkan kawat kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Mayor Jenderal A.H. Nasution. Isinya sederhana dan tegas: tidak setuju dengan pemboman tersebut dan menyatakan mundur sebagai atase militer. Demikian penuturan Alex dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih  (disusun oleh Ramadhan K.H.) “Saya marah…Tapi tidak pernah bilang saya akan bergabung dengan Permesta,” ujar Alex dalam wawancara khusus dengan majalah Tempo,  10 Mei 1999. Mengikuti “deburan hati”, Alex lantas memutuskan untuk pergi ke Manado sekadar untuk menguatkan perasaan rakyat Minahasa yang baru saja dijatuhi bom oleh AURI. Namun kedatangan Alex di Manado tentu saja tidak disia-siakan oleh para pembangkang dari Permesta. Maret 1958, dia didapuk untuk menjadi Panglima Besar Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia (PRRI). “Mereka mengangkat saya sebagai Panglima Besar PRRI. Tapi saya tidak terima. Saya mau bergabung dengan Permesta saja,” ujar mantan Panglima TT III Siliwangi itu. Alex tidak menyetujui konsep politik PRRI yang dianggapnya memiliki kecenderungan ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia. Dia lebih nyaman untuk bergabung dengan Permesta yang menurutnya lebih berfungsi sebagai oposisi saja. Kendati banyak petinggi Permesta merasa senasib sepenanggungan dengan PRRI, namun Alex menolak itu. Secara pribadi, dia menganggap tujuan politik keduanya berbeda. Itulah yang menyebabkan Alex bersikeras bahwa dirinya bukan bagian dari kekuatan militer PRRI. Dia hanya menerima dirinya sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Revolusiener (APREV), sayap militer Permesta. “(Karena sikap itulah) dia dicurigai oleh kalangan tertentu (di PRRI dan Permesta) merupakan agen Nasution,” tulis Barbara Sillars Harvey dalam Permesta, Pemberontakan Setengah Hati. Ketika bergabung dengan Permesta bukan berarti Alex pun tidak memiliki ganjalan. Sebagai seorang nasionalis, dia merasa kecewa dengan motivasi sebagian orang-orang Permesta yang turut berjuang semata-mata ingin melawan dominasi orang-orang Jawa. “Wah tidak benar kalau begitu. (Tetapi pendapat) itu kebanyakan (dianut) oleh bawahan-bawahan yang kurang mengerti,” kata Alex. Seiring dengan berjalannya waktu, perlawanan Permesta sendiri lambat laun berhasil dipatahkan. Selain adanya friksi di internal mereka (antara yang pro PRRI dengan yang tidak setuju dengan konsep PRRI), perlahan-lahan Amerika Serikat (AS) pun menarik bantuannya kepada PRRI dan Permesta. “Omong kosong! Mereka tidak membantu Permesta, tetapi memanfaatkan Permesta untuk diri sendiri,” ujar salah seorang dedengkot Permesta Ventje Sumual dalam majalah Tempo , 5 Desember 1999. Menurut Ventje, sikap AS berbalik 180 derajat ketika mereka mengetahui bahwa para petinggi tentara seperti A.H. Nasution dan Achmad Jani merupakan para jenderal yang anti komunis juga. Karena itulah harapan politik mereka memblok pengaruh komunisme dialihkan sepenuhnya kepada para jenderal tersebut dan otomatis PRRI/Permesta dibengkalaikan begitu saja. Sebagai Menteri Pertahanan dan KASAD, pada 3 Maret 1961 Nasution menyerukan kepada kaum pemberontak untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Untuk Kawilarang sendiri, seruan untuk kembali juga dilakukan oleh para prajurit-prajurit dari Siliwangi yang sedang ikut menghadapi para gerilyawan Permesta di wilayah-wilayah Sulawesi Utara. “Anak-anak Siliwangi ada yang memasang tulisan-tulisan di papan, yang isinya memanggil: ‘Pak Kawilarang supaya kembali!’,” kenang Nasution dalam biografinya: Memenuhi Panggilan Tugas Jilid IV: Masa Pancaroba Kedua. 11 April 1961, terjadilah gencatan senjata. Tiga hari kemudian, Wakil Menteri Pertahanan RI Mayor Jenderal Hidajat Martaatmadja (yang tak lain sahabat dekat Alex sejak menjadi taruna di KMA) dan Alex Evert Kawilarang secara bersama-sama bertindak sebagai inspektur suatu barisan Permesta dan pasukan TNI di dekat Tomohon. Hadir pula dalam kesempatan itu beberapa atase militer asing, termasuk Kolonel George Benson, atase militer Kedubes AS di Jakarta. “Pertentangan antara kita sekarang tak dapat dipertahankan lagi…” demikian pidato Alex seperti dikutip A.H. Nasution dalam  Memenuhi Panggilan Tugas Jilid V: Kenangan Masa Orde Lama. Nasution sendiri baru bisa bertemu dengan Alex pada 12 Mei 1961. Alex yang saat itu terlihat sangat payah (karena terkena malaria saat bergerilya di hutan-hutan Minahasa) menyatakan kesanggupanya untuk mengembalikan semua orang (eks Permesta) ke pangkuan RI. Pada 22 Juni 1961, terbit sebuah dekrit dari Presiden Sukarno yang berisi pemberian amnesti kepada para pengikut Kawilarang, Somba dan Saerang. Mereka dianggap telah menerima baik seruan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. “Satu upacara di Manado pada tanggal 29 Juli 1961 menandaskan amnesti tersebut dan penghapusan tuduhan-tuduhan resmi terhadap bekas pemberontak tersebut,” tulis Barbara Sillars Harvey. Bisa jadi tuduhan-tuduhan itu mengacu kepada suatu surat rahasia Kejaksaan Agung bernomor: Plk. A1/6181/762.- yang ditujukan kepada Mahkamah Agung  pada 27 Oktober 1958. Dalam surat itu, secara resmi pihak Kejaksaan Agung yang mewakili Pemerintah RI menuduh Kolonel A.E. Kawilarang telah bersekongkol dengan pihak pemberontak dengan mengadakan pertemuan di Singapura pada 8 Oktober 1958. Dalam pertemuan itu dibahas berbagai cara guna menghantam Pemerintah RI. Cara-cara itu diantaranya: berupaya mengacaukan perekonomian Indonesia dengan penggabungan perusahaan-perusahaan yang dimiliki kaum pemberontak, menyuap (dengan uang dan perempuan) para oknum petinggi TNI yang kerap datang ke Singapura untuk membantu pihak pemberontak dan  menginfiltrasi Resimen 6 Lampung dan Divisi Siliwangi untuk menghasut para anggotanya supaya tidak puas. Namun bukan berarti pengampunan itu menjadikan Alex kembali ke TNI. Selain dianggap sebagai pucuk pimpinan di militer Permesta, Alex pun mengakui bahwa dirinya tidak mau menyusahkan kawan-kawannya yang mungkin merasa risih berhubungan dengan bekas pemberontak seperti dirinya. Jadi minat untuk kembali berprofesi sebagai tentara sirna sudah. “Saya sendiri menganggap bahwa kehidupan saya sebagai tentara sudah berhenti sejak Maret 1958,” ujar Alex dalam biografinya. Apakah itu artinya Alex merasa trauma dengan dunia tentara? Mungkin saja, jika mengingat ketidaksetujuan sang kolonel saat putranya Edwin Kawilarang berniat masuk Akademi Militer pada 1973.

  • Buku Lagu Para Tapol

    Pada 1990, rumah Tuba bin Abdul Rochim, mantan tahanan politik (tapol) Orde Baru, di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, kebakaran. Api melahap satu RW di gang sempit itu dan menghabiskan benda-benda di dalamnya. Namun, mantan anggota Pemuda Rakyat itu malah menyelamatkan sebuah buku bersampul ungu dan sebuah gitar. Bukan televisi, radio ataupun benda berharga lainnya. "Saya hanya sempat bawa buku ini sama gitar. Gendong gitar sama bawa ini. Barang lainnya malah tidak dibawa," kenang Tuba kepada historia.id sambil memegang buku yang pinggirannya sudah kerepes itu. Buku itu tampaknya bukan buku biasa. Buku yang kertasnya sudah kecokelatan dan rapuh itu merupakan harta paling berharga milik pria kelahiran 14 April 1944 itu. Buku itu berisi lagu-lagu yang dibuat oleh para tapol Orde Baru sejak dari RTC Tangerang, Nusakambangan, hingga Pulau Buru. Baca juga: Kisah Cinta di Tepi Sungai Cisadane Salah satu lagu yang berkesan bagi Tuba berjudul Penebang Kayu . Lagu ini berkisah tentang para tapol yang dipekerjakan sebagai pencari kayu bakar ketika di penjara di RTC Tangerang pada 1966. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, Tuba dan 24 orang lainnya juga ditugasi untuk mencari kayu bakar. Mereka diperbolehkan mencari kayu bakar ke rumah-rumah penduduk karena dalam sehari mereka harus mengumpulkan 10 kubik kayu bakar. Tuba bercerita, kala itu, di depan Pendopo Kabupaten Tangerang terdapat sebuah pohon sengon yang berdiri megah yang cabang-cabangnya melintang sampai menjorok ke jalan raya. Ia dan kawan-kawannya pun mulai beraksi untuk memangkas pohon tersebut. Pekerjaan itu ternyata menjadi tontonan warga sekitar karena para tapol dengan gesit melompat dari cabang satu ke cabang yang lain seperti permainan sirkus. "Ini merupakan tontonan gratis bagi masyarakat sekitar pendopo Tangerang. Juga tidak sedikit yang merasa simpatik kepada teman-teman kita yang sedang bekerja," ujar Tuba. Pekerjaan mencari kayu bakar membuat para tapol dekat dengan masyarakat. Terlebih para tapol juga sering melakukan pekerjaan di luar seperti pijat dan totok refleksi. Baca juga: Para Tapol dan Anjingnya "Sehingga mereka dengan ikhlas suka menyisihkan sedikit rejekinya untuk dibagikan kepada kita seperti makanan, minuman, rokok, dan juga uang. Hampir seluruh Kota Tangerang dan sekitarnya, Serpong, Balaraja, Cikupa, Tigaraksa, Gunung Sindur, mereka kenal dan tahu tentang tapol PKI," kata Tuba. Berangkat dari kisah para penebang kayu itu, Michiel Karatem, rekan Tuba kemudian membuat lagu berjudul Penebang Kayu . Michiel Karatem merupakan mantan Pegawai Negeri Sipil di Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang ditangkap pasca peristiwa 1965 karena dianggap anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tuba mencatat puluhan lagu yang dibuat para tahanan politik ketika dipenjara. (Andri Setiawan/Historia). Di RTC Tangerang, setiap akhir pekan minggu ketiga diadakan acara hiburan yang disaksikan oleh petugas penjara, termasuk keluarga. Acara biasanya diisi dengan pentas musik lagu-lagu keroncong. Pada suatu ketika, para tapol pun berinisiatif menyanyikan lagu Penebang Kayu . Namun, baru beberapa saat dinyanyikan, mereka dibubarkan. "Karena katanya lagu-lagu ini menyinggung negara. Sedang berpentas, setop, jangan diteruskan," kata Tuba. Baca juga: Ingin Kembali ke Pulau Buru Pada 1973, Tuba dipindahkan ke penjara Salemba selama satu bulan. Bersama seribu lebih tapol, ia kemudian dipindahkan lagi kePulau Nusakambangan hingga akhirnya dibawa ke Pulau Buru pada November 1976. Pekerjaan mencari kayu bakar berlanjut ketika Tuba dan tapol lainnya berada di Nusakambangan. Di pulau bagian selatan Jawa itu, para tapol harus mencari kayu bakar untuk menghidupkan mesin pembangkit listrik tenaga uap. Pekerjaan yang lebih berat dan membutuhkan banyak tenaga. "Kalau di Nusakambangan itu kita ini listriknya. Cari sendiri kayu bahan bakar. Karena tenaga listriknya dengan menggunakan uap," kata Tuba. Lagu Penebang Kayu  dinyayikan ketika mereka bekerja untuk penyemangat. Selain lagu Penebang Kayu , Tuba mencatat puluhan lagu yang dibuat oleh para tapol, baik ketika di penjara Tangerang, Nusa Kambangan hingga Pulau Buru. Ia beli buku tulis di koperasi RTC Nusakambangan. Ia dapat uangnya dari pekerjaan membabat rumput di kebun karet. Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru Tuba masih menyimpan baik-baik buku lagu itu. Di dalam buku itu, Tuba juga menyimpan surat pembebasannya sebagai tapol. Baginya, buku itu adalah saksi bisu perjalanan hidupnya sebagai pelajaran bagi anak cucunya. "Ini loh bapakmu dulu begini. Jangan sampai peristiwa itu terjadi lagi pada anak cucu kita. Sejarah yang kelam," kata Tuba. Tuba kini tengah mencari teman untuk menyanyikan ulang lagu-lagu itu. Ia bercita-cita membentuk grup kwartet. Ia terinspirasi oleh paduan suara Dialita.

  • Piala Super Spanyol Sarat Drama

    AHAD (12 Januari 2020) malam, duel tim sekota antara Real Madrid kontra Atlético Madrid bakal tercipta di final Supercopa de España alias Piala Super Spanyol. Trofi itu sebelumnya diperebutkan oleh tim jawara La Liga dan kampiun Copa del Rey atau Piala Raja. Gelaran musim ini akan menandai untuk pertamakalinya laga Piala Super dimainkan di luar Spanyol, yakni di Arab Saudi. Itu mengikuti jejak Piala Super Italia 2018 yang dimainkan di King Abdullah Sport City, Jeddah, negeri yang sama. Mengutip Daily Mail , Rabu (8/1/2020), kesepakatan antara federasi sepakbola Spanyol (RFEF) dan pemerintah Saudi terjadi pada November 2019. Deal kedua pihak dimuluskan dengan “fulus” senilai total 120 juta euro yang berlaku tiga tahun. Selain soal jumlah partisipan yang ditambah menjadi empat, jadwal pun diubah dari Agustus, saat jeda kompetisi musim panas, ke Januari saat jeda liburan musim dingin. “Uang yang kami dapatkan bukan untuk membangun vila mewah. Uangnya akan disalurkan ke sepakbola putri dan klub-klub di Segunda B dan Tercera (dua kasta bawah sepakbola Spanyol, red. ). Tentu uang itu penting, siapa yang menyangkal? Uang sangat penting namun uangnya akan mengalir pada kebutuhan yang tepat,” ujar Presiden RFEF Luis Rubiales. Kendati empat partisipan, yakni Real Madrid, Atlético Madrid, Valencia, dan Barcelona tutup mata dan mulut, sejumlah kritik mencuat. Selain soal mendobrak tradisi, kritik menganggap kesepakatan itu sebagai bentuk dukungan pada kebijakan diskriminatif pemerintah Saudi terkait sejumlah isu politik, mulai dari kebebasan berpendapat dan pers, hingga soal isu hak-hak perempuan. Sementara Presiden La Liga Javier Tebas mengkritik soal hak siar yang diambil pihak Saudi, kolumnis Joan Poqui mengecam lewat tulisannya di suratkabar El Mundo (6/1/2020). “Ini turnamen yang mestinya hanya dipertandingkan Barcelona dan Valencia sebagai pemenang liga dan Piala Raja. Ini bukan Supercopa dan laganya bukan di Spanyol. Ini kejuaraan yang telah dilacurkan demi uang,” tulisnya. Amnesti Internasional mengkritik bungkamnya para bintang lapangan hijau yang jauh-jauh terbang lebih dari 4.000 mil dari Spanyol ke Saudi demi mendongkrak imej Saudi, terutama soal imej pemerintah yang gemar menangkapi aktivis HAM. “Di bawah Mohammed bin Salman (putra mahkota dan wakil perdana menteri, red. ), giat-giat olahraga bertaraf internasional digalakkan dengan kencang, bahkan saat putra mahkota memimpin sendiri pemadaman pergolakan HAM terhadap aktivis hak perempuan, aktivis hukum dan kaum minoritas Syiah. Tidak ada keadilan terhadap pembunuhan Jamal Khashoggi (wartawan Saudi, red. ) dan koalisi militer di Yaman pimpinan Saudi masih menyasar pasar-pasar, permukiman sipil, dan rumahsakit,” ujar Ketua Kampanye Amnesti Internasional Inggris Felix Jakens. Kendati dihujani kritik, Piala Super Spanyol tetap bergulir dan resmi akan dihelat dua edisi berikutnya. Toh, sejarah Piala Super Spanyol juga sarat drama sejak awal. Pentas Adu Jawara di Masa Lampau Kendati kompetisi adu kampiun liga dan Piala Raja bernama resmi Supercopa de España hadir baru pada 1982, pentas sejenis sudah eksis sejak 1940 kala Spanyol masih dipimpin diktator fasis Generalísimo Francisco Franco. Kompetisi di luar liga itu dinamai Copa del Generalísimo. Mengutip situs RFEF , ajang itu merupakan buah gagasan Leopoldo García Durán, presiden RFEF periode 1931-1936.Durán mencanangkannya untuk digulirkan pada 1936. Namun, Perang Saudara Spanyol (1939-1939) menunda rencana itu.  Gagasan yang tertunda itu baru terwujud pada 1940. Laga yang memperebutkan trofi Copa de los Campeones de España itu berformat dua leg atau tandang-kandang. Atlético Aviación (kini Atlético Madrid) merebut trofi pertama laga para jawara antarkompetisi, Copa Campeones 1940. ( El Mundo , 28 Agustus 1940). Atlético Aviación (kini Atlético Madrid) jadi juara pertamanya. Sebagai juara liga musim 1939-1940, Atletico meladeni RCD Espanyol yang merupakan jawara Copa del Generalisimo. Pertandingan dihelat pada 1 September 1940, di markas Espanyol, Estadio de Sarriá, dan pada 14 September di Campo de Fútbol de Vallecas, stadion pengganti darurat karena markas Atlético Estadio Metropolitano rusak berat akibat perang. Dalam drama dua laga final itu tercipta 14 gol. Atletico keluar sebagai kampiun setelah menang agregat 10-4. Akan tetapi Copa Campeones hanya sekali bergulir dan bahkan panggung sejenis sempat vakum hingga 1945. Usai Perang Dunia II, baru perebutan trofi antara jawara liga dan copa digagas dengan tajuk Copa de Oro Argentina, merujuk pada persahabatan antara pemerintahan Francisco Franco dengan Argentina. “Pertandingannya diinisiasi federasi sepakbola Katalan dan Konsul Argentina di Barcelona, Don Alfredo de Molina, pada 1945. Trofinya sendiri disediakan atas sumbangan orang-orang Argentina yang bermukim di Katalan,” sebut Juan Expósito Bautista dalam Organización del Fútbol Mundial. Dalam duel di stadion Camp de Les Corts, 23 Desember 1945, itu FC Barcelona, kampiun liga musim 1944-1945, menang 5-4 atas jawara copa Athletic Bilbao. Tetapi seperti pendahulunya, event itu hanya sekali itu saja dihelat. Pentas anyar hadir pada 1947. Mengutip Heinz Duthel dalam biografi klub, FC Barcelona , kompetisinya cenderung lebih berbau politis meski masih ada benang merahnya dengan Argentina yang kebetulan saat itu Franco bersahabat dekat dengan pemimpin sayap kanan Argentina, Juan Perón. “Turnamennya Copa Eva Duarte de Perón yang digulirkan RFEF secara rutin, sebagai penghormatan kepada Presiden Argentina Juan Perón dan istrinya Eva Perón. Sejak 1947 hingga 1953 digelar antara bulan September dan Desember,” tulis Duthel. María Eva Duarte 'Evita' de Perón saat tiba di Spanyol pada Juni 1947. (Wikimedia). Bukan sembarang persahabatan yang tercipta antara Argentina dan Spanyol saat itu. Spanyol dengan pemerintahan fasisnya tengah diembargo ekonomi oleh Amerika dan negara-negara sekutunya di Eropa. Krisis pangan pun melanda Spanyol. “Banyak rakyat Spanyol yang kelaparan. Peron datang membantu dan mengirim 400 ribu ton gandum, 120 ribu ton jagung, 20 ribu ton daging beku, hingga 50 ribu peti telur ke Spanyol. Oleh karenanya segenap pelosok Spanyol menganggap pasangan Perón sebagai penyelamat mereka,” ujar Joanne Mattern dalam biografi Eva Peron. Trofi turnamen Copa Eva Duarte de Perón disumbangkan langsung oleh Evita Perón saat mengunjungi Spanyol guna memenuhi undangan pemerintah setempat yang sangat berterimakasih, 8 Juni 1947. Sistem turnamennya, semua menampilkan satu laga, kecuali pada 1950 yang menampilkan dua leg. Pada 1952 dan 1953, Barcelona meraih trofi secara otomatis tanpa bertanding lantaran di dua musim itu memenangi double winners (liga dan copa). Turnamen itu mati seiring wafatnya Evita Perón, yang membuat rakyat Spanyol juga berduka. Turnamen serupa baru dibuat RFEF kembali pada 1982, yang diajukan Presiden FC Barcelona Luís Nuñez. Baik regulasi maupun format, tiada berubah dari turnamen sebelumnya. Trofi yang diperebutkan pun masih menggunakan trofi yang sama, meski kemudian menggunakan nama baru: Supercopa de España. Aturan yang diubah sekadar pemenang double winners . Sebelumnya, pemenang La Liga dan Copa del Rey otomatis mendapatkan trofi Supercopa. Namun mulai 1996, pemenang double winners akan tetap diadu lagi dengan runner-up Copa del Rey. Aturan itu masih berlaku hingga sekarang.

  • Pemain American Football Jadi Agen CIA di Indonesia

    DARI 25 tahun kariernya di CIA, dua tahun di antaranya di Indonesia. Ralph Walter McGehee bertugas di Jakarta pada 1964-1966, periode berdarah dalam sejarah Indonesia. Atas pengabdianya, CIA menganugerahkan penghargaan Career Intelligence Medal.

  • Jajan Tahu Pakai Pesawat Mustang

    Pada dekade 1950, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) memiliki puluhan pesawat tempur jenis P-51 Mustang. Pesawat buatan Amerika Serikat itu adalah pesawat buru sergap jarak jauh yang sangat handal pada era Perang Dunia II. Karena keandalannya, Mustang diproduksi ribuan dan digunakan oleh banyak angkatan udara, termasuk Indonesia. Menurut laman tni-au.mil.id , setelah pengakuan kedaulatan, Indonesia menerima hibah sejumlah pesawat Mustang dari Belanda. Di lingkungan AURI, P-51 Mustang ditempatkan di satuan tempur buru sergap Skuadron ke-3 yang bermarkas di Pangkalan Udara Cililitan, Jakarta Timur. Sebanyak 50 pesawat Mustang yang tersedia ternyata tidak sebanding dengan pilot tempur yang dimilki AURI. Wajar saja jika para penerbang Skuadron ke- 3 suka-suka saja berganti-ganti pesawat karena Mustang tidak boleh terlalu lama didiamkan. “Dulu dari Pangkalan Halim kami suka terbang dengan Mustang ke berbagai pangkalan di Jawa Tengah atau Bandung hanya untuk beli sate atau es kopyor,” ujar Ashadi Tjahjadi, salah seorang penerbang tempur Skadron III dalam Pahlawan Dirgantara: Peranan Mustang dalam Operasi Militer di Indonesia suntingan Soemakno Iswadi. Ashadi mengisahkan ruang tempat peluru yang ada di pesawat sering dikosongkan oleh para penerbang Mustang kalau sedang tidak bertempur. Ruang kosong itu kemudian kerap kali dijadikan tempat untuk mengangkut bermacam-macam barang, mulai dari beras sampai ayam kampung. “Waktu istri saya ngidam , terpaksa saya harus terbang dengan Mustang ke Bandung padahal keluarga tinggal di Polonia Medan hanya untuk membeli tahu Bandung,” kenang Ashadi. Kendati punya tingkah dan kelakuan unik demikian, pilot tempur Mustang AURI ini dikenal lihai dalam manuver di udara. Beberapa penerbangnya seperti Leo Wattimena, Roesmin Noerjadin, Ignatius Dewanto, Mulyono, Hadi Sapandi dan Pracoyo, kemudian membentuk tim aerobatik kebanggaan AURI. Merekalah yang menjadi inspirasi bagi penerbang-penerbang AURI berikutnya untuk membentuk tim aerobatik sejenis. “Sehingga tim aerobatik P-51D Mustang dapat dikatakan sebagai perintis atau the pioneer dari tim-tim aerobatik kebanggaan bangsa Indonesia, khususnya TNI Angkatan Udara,” tulis laman tni-au.mil.id . Beberapa di antara para pilot tempur tadi, kelak menjadi tokoh penting ketika AURI membangun angkatan perangnya sehingga menjadi yang terkuat pada dekade 1960. Leo Wattimena menjadi pilot tempur Mustang legendaris yang terjun di berbagai operasi militer. Ignatius Dewanto merupakan penerbang Mustang yang menembak jatuh kapal bomber yang dikendalikan pilot Amerika, Allen Pope. Roesmin Noerjadi menjadi Kepala Staf Angkatan Udara antara 1966 hingga 1969. Ashadi Tjahyadi sendiri menjabat Kepala Staf Angkatan Udara periode 1977-1983.

bottom of page