Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jejak Cina di Natuna
Saling klaim kepemilikan wilayah laut kembali terjadi. Kali ini persengketaan menimpa wilayah Laut Natuna, Kepulauan Riau. Pemerintah RI sungguh dibuat kesal oleh sikap Cina yang kukuh mengakui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna sebagai bagian dari wilayah Laut Cina Selatan. Padahal Pengadilan Internasional dalam United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) menyebut “Nine Dash Line” milik Cina yang telah ada sejak 1947 tidak memiliki dasar historis yang kuat. Pemerintah Indonesia tentu menolak dengan tegas klaim Cina atas Natuna itu. Pemerintah berpegang pada dua pijakan hukum untuk membantah klaim itu: Konvensi UNCLOS tahun 1982 dan putusan Pengadilan Arbitrase Laut China Selatan saat menyelesaikan sengketa Filipina pada 2016. Akibat adanya perseteruan ini, masyarakat cukup dibuat panik. Terutama untuk para nelayan yang sehari-harinya melaut di sana. Saling lempar tanggung jawab juga terjadi di tubuh pemerintah. Diberitakan detik.com , Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah tegas dalam menindak kapal-kapal Cina yang masuk ke Natuna. Namun ia juga mengingatkan agar jalan damai tetap dikedepankan dalam menyelesaikan persoalan ini. “Pemerintah RI harus bertindak tegas untuk mendesak kapal-kapal Republik Rakyat Tiongkok segera meninggalkan Laut Natuna Utara dengan mengedepankan diplomasi damai,” kata Puan. Lantas apakah klaim secara historis Cina terhadap wilayah Natuna sudah tepat? Tentunya perlu kajian mendalam dari para sejarawan untuk membenarkannya. Namun sejarah mencatat jejak orang-orang Cina di Natuna memang sudah ada sejak dahulu kala. Perjalanan ke Natuna Catatan pertama perjalanan orang-orang Cina ke Nusantara diketahui baru muncul pada abad ke-5 M. Melalui seorang biksu bernama Faxian, jejak para pelaut dari daratan Asia itu terekam dengan cukup baik. Meski dalam tulisan sang biksu, Catatan Negara-Negara Budhis , tidak terlalu lengkap membahas tentang keadaan di Nusantara, tetapi narasinya itu berhasil membuka jalan menuju ekspedisi yang lebih besar dikemudian hari. Menurut peneliti dari Pusat Studi Cina di Universitas Indonesia Nurni Wahyu Wuryandari, bangsa Tionghoa baru secara resmi mengunjungi Nusantara pada masa Dinasti Tang abad ke-7 M. Saat itu letak geografis Nusantara, khususnya Jawa, sudah tercatat dengan baik. Sehingga hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan daratan Cina perlahan mulai terjalin. “Saya curiga pelaut Tionghoa belum berlayar sendiri. Tetapi pakai perahu atau kapal besar milik India. Sebab Faxian tidak melaut dengan kapal Tiongkok, tapi pakai kapal dagang India. Mulai dari Dinasti Tang mungkin sudah pakai kapal sendiri (kapal Tiongkok). Cuma kita tidak tahu seberapa besar armadanya,” ucap Nurni kepada historia. Sementara itu, W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, menyebut jika para pelaut Cina melakukan perjalanan ke Nusantara melalui rute laut di wilayah Samudra Selatan. Total perjalanan menuju perairan Nusantara kurang lebih memakan waktu dua bulan, tergantung keadaan cuaca dan angin selama pelayaran berlangsung. Melalui catatan para pelaut China masa Dinasti Sung (960-1279 M) yang dikumpulkan Groeneveldt, diketahui bahwa mereka sudah melakukan perjalanan ke banyak tempat di Nusantara. Pusat kegiatan memang ada di Jawa, tetapi hubungan dengan daerah lain tidak pernah luput dari perhatian para pelaut Cina. Dalam hal ini apakah Natuna menjadi salah satu tempat yang mereka kunjungi? Kemungkinannya cukup besar, mengingat perairan Natuna masuk dalam rute perjalanan para pelaut Cina ini ketika berada di Nusantara. Jika melihat letak wilayah tersebut, bisa jadi Natuna digunakan sebagai tempat singgah para pedagang yang akan berlayar menuju pantai Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Perkiraan itu diperkuat oleh penelitian Groneveldt tentang rute perjalanan pelaut Dinasti Sung antara abad ke-11 sampai abad ke-13. “Jarak dari ibukota ke utara (Kalimantan) memakan waktu 15 hari. Kemudian akan sampai di pantai timur Sumatera 15 hari lagi. Tujuh hari kemudian sampai di Kora, wilayah barat Semenanjung Malaya. Akhirnya tujuh hari lagi menuju Chaili-ting (mungkin sebuah pulau yang terletak di mulut Teluk Siam, di jalan menuju tanah Jiaozhi, Annam bagian utara) dan menuju Guangzhou." Jika rute tersebut terbukti digunakan para pelaut Cina, maka semakin jelas jika Natuna masuk di dalamnya. Lantas apakah ada bukti-bukti sejarah tentang keberadaan koloni dari daratan Asia ini? Tentu ada. Peninggalan di Natuna Dalam Buku Hari Jadi Kota Ranai yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Natuna, disebutkan bahwa Pulau Bungaran, salah satu wilayah administrasi Natuna, telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal yang akan merapat ke Sriwijaya dari Laut Cina Selatan. Sejak permulaan abad ke-13 rute ini ramai digunakan. Sejumlah kegiatan dagang juga cukup berkembang di sana. Peningkatan aktifitas dagang di wilayah pantai timur Sumatera dan perairan Malaka berimbas pada banyaknya bangsa asing masuk ke wilayah Kepulauan Riau, termasuk perairan Natuna. Kegiatan kemaritiman tersebut tentu meninggalkan jejak kebudayaan yang tidak bisa dianggap remeh. Ada banyak kemungkinan yang terjadi. Salah satunya peninggalan arkeologis berupa benda-benda di sekitar perairan Natuna. Berdasarkan anggapan itulah pada 2015, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan survei arkeologi di sekitar Teluk Buton. Survei tersebut merupakan tindak lanjut atas laporan-laporan mengenai penemuan pecahan keramik di sekitar situs. Ditambah pengumpulan data secara pustaka juga menjadi acuan tim survei dalam menentukan titik koordinat penggalian. Dalam laporannya, termuat Di Balik Peradaban Keramik Natuna , tim survei berhasil mengumpulkan bermacam-macam peninggalan dari berbagai ukuran, berupa pecahan keramik, koin logam, tembikar dan benda-benda lain. Jumlahnya pun tidak main-main. Di pantai-pantai sekitar Natuna, khususnya Situs Karang Cina, ditemukan banyak pecahan keramik Cina. “Keramik tersebut sebagian besar berasal dari Cina Daratan. Ada yang berasal dari masa Ching, Ming, Yuan, bahkan dari masa Song. Dapat dibayangkan berapa lama Pulau Natuna yang hampir tidak terlihat dalam peta ini begitu diperhatikan oleh para pelaut Asia,” kata Ivan Evendi, tim Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Temuan-temuan itu mempertegas peran Natuna dalam perlintasan niaga di masa lalu, utamanya periode abad ke-9 hingga ke-20. Arkeolog Naniek Harkantiningsih dalam Natuna: Jalur Pelayaran dan Perdagangan Jarak Jauh menyebut jika beberapa lokasi juga mengindikasikan adanya bekas pelabuhan singgah di perairan Natuna yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan timur dan barat. “Melalui identifikasi keramik dapat disimpulkan bahwa Pulau Natuna dan sekitarnya secara intensif telah dihuni secara bersinambung oleh penduduk yang terkait dengan perniagaan global, posisi dan potensinya berada di persimpangan, menjadikan pulau ini pernah memegang peran penting, mungkin berkaitan dengan jaringan pelayaran dan perniagaan kerajaan besar,” kata Naniek.
- Cara Penguasa Jawa Melawan Tiongkok
Sejak mendirikan Dinasti Yuan, Khubilai Khan mulai menebar kekuasannya.Ia menuntut bakti dari penguasa-penguasa yang sebelumnya mengakui kekuasaan kaisar-kaisar Dinasti Sung. Jika menolak, mereka akan diserang. Salah satunya penguasa di Jawa. Khubilai Khan mengirim utusan ke Jawapada 1280, 1282, dan 1286.Raja Singhasari, Kertanegara dengan percaya diri merusak muka utusan terakhir, Meng Qi pada 1289, karenatelah menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan Asia Tenggara. Sebagaimana disebut dalam Kakawin Nagarakrtagama, bahwa seluruh Jawa, Sunda, dan Madura tunduk di bawah kekuasaan Kertanegara. Ia mengirim ekspedisi militer ke Malayu, menguasai Pahang di Semenanjung Malayu, serta menaklukkan Bali dan memboyong rajanya sebagai tawanan pada 1284. Ia juga menguasai Gurun, pulau di wilayah timur Nusantara, dan Bakulapura atau Tanjungpura di barat daya Kalimantan. Dalam Prasasti Camundi dari 1292 disebutkan Kertanegara puas dengan keme na ngan-kemenangannya di semua tempat. Ia menjadi payung pelindung seluruh dwipantara atau Nusantara. Sejarawan Malang, Suwardono dalam Krtanegara dan Misteri Candi Jawi, menjelaskan Prasasti Camundi memberikan petunjuk tentang hubungan Kertanegara dengan kawasan Asia Tenggara bagian selatan dan kepulauan. Itu pula yang dimaksud dalam Nagarakrtagama. Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, walaupun dalam Nagarakrtagama disebut menundukkan bukan berarti ada pertempuran. "Kalau ada (pertempuran) itu akan mempermudah Mongol masuk, karena energi berkurang," ujarnya. Khususnya ekspedisi ke Malayu pada 1275. Untuk mempererat hubungan dengan Malayu , pada 1286 Kertanegara mengirimkan hadiah berupa arca Buddha Amoghapasa. Penempatannya di Dharmasraya dipimpin oleh empat pejabat tinggi dari Jawa. Menurut Dwi itu bukan ekspedisi militer melainkan untuk merekut mitra sejajar. "Menurut saya ini semacam MoU ( memorandum of understanding ). Jika dua kekuatan itu berkoalisi, diharapkan dapat mengontrol Selat Malaka dan menghadapi musuh bersama,khususnya menghadapi serangan Mongol," kata Dwi. Selain di kawasan Nusantara, Kertanegara juga bersekutu dengan Kerajaan Champa. Tujuannya sama: untuk membendung serangan bangsa Tartar, sebutan Jawa untuk Mongol. Dalam Prasasti Po Sah di dekat Phanrang dari 1306 disebutkan seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi. Adik Kertanegara itu menikah dengan Raja Jaya Simhawarman III (1287-1307). Kerja sama itu menguntungkan bagi Jawa ketika Kubilai Khan mengirim pasukan pada 1292 untuk menghukum Kertanegara. Raja Jaya Singhawarman III tidak mengizinkan mereka menurunkan jangkar di pelabuhan Champa untuk mengisi perbekalan. Apalagi s elama berlayar ke Jawa, mereka menghadapi banyak kesulitan. Shi Bi, salah satu komandan ekspedisi dalam catatannya di Sejarah Dinasti Yuan, menyebut angin selama pelayaran bertiup sangat kencang. Lautan begitu bergelombang membuat kapal terombang-ambing. Para prajurit pun tak makan selama berhari-hari. Ditambah lagi, menurut W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa , armada Mongol yang berlayar dari Quanzhou di Fujian itu tidak mengikuti rute biasanya yang menyusuri pesisir Malaka dan Sumatra. Mereka justru berlayar di tengah lautan dan dengan berani atau mungkin nekat mengambil rute lurus terdekat menuju tujuannya. Akibatnya, dari ribuan kapal , yang berhasil sampai Jawa Timur hanya sebagian kecilnya. Banyak yang tewas. Baik karena serangan bajak laut, maupun penyakit. " Mongol itu tidak jago berlayar. Apalagi paling sulit melintasi Laut Cina Selatan," kata Dwi. Supremasi Tiongkok Banyak yang yakin ekspedisi Khubilai Khan ke Jawa sebenarnya demi menguasai perdagangan laut. Namun, David W. Bade, ahli perpustakaan di Joseph Regenstein Library Universitas Chicago, dalam Of Palm Wine, Women and War: The Mongolian Naval Expedition to Java in the 13th Century , menjelaskan bahwa saat itu Jawa menjadi negara terakhir di selatan Tiongkok yang menolak tunduk. Pengaruh Jawa semakin besar setelah mengirim utusan ke Malayu dalam ekspedisi Pamalayu. Apalagi pengaruh Sriwijaya,yang berhubungan baik dengan Tiongkok, sudah pudar. "Kemungkinan invasi Mongol ke Jawa hanya karena hasrat Khubilai Khan mengirimkan angkatan lautnya dan juga amarahnya setelah Meng Qi dilukai, masih terus dipertanyakan," tulis Bade. Morris Rossabi, sejarawan Queens College dan Columbia University, salah satu yang meragukan ekspedisi Mongol ke Jawa hanya untuk menghukum orang asing yang melukai utusannya. "Sementara banyak sekali yang harus dipertaruhkan dalam ekspedisi ini," tulis Rossabi dalam Khubilai Khan: His Life and Times . Jika dilihat secara umum, menurut Groeneveldt, penguasa di Tiongkok selalu digerakkan oleh karakter superioritas mereka. Kala itu, supremasi Tiongkok terhadap negara-negara lain adalah dogma nasional yang begitu tertanam, bahwa kaisar ditunjuk Langit untuk menjadi penguasa dunia. Sejak masa awal sejarah Tiongkok, mereka selalu mencatat kedatangan penguasa asing yang memberikan penghormatan kepada kaisar. Para penguasa dari negara - negara yang lebih kecil di Asia sering melakukan perdagangan hingga ke Tiongkok , sambil membawa hadiah untuk mengambil hati penguasa nya . Bahkan, c ara ini diikuti para pedagang swasta yang menyamar sebagai utusan dari negeri jauh. Dengan memberikan sedikit barang dagangan, mereka berharap mendapat fasilitas perdagangan atau akses hingga ke ibu kota. "Keuntungan utama hubungan ini adalah kesempatan bagi para penguasa di negara-negara lain agar bisa berdagang di Tiongkok," tulis Groeneveldt. Sejak dulu Tiongkok dipandang tinggi, khususnya oleh negara-negara di Asia. Budayanya tinggi, istananya mewah dan luas. Kekayannya membuat kagum bangsa-bangsa di Asia. Karenanya para penguasa merasa mendapat kehormatan jika bisa menjalin hubungan dengan Tiongkok. Sementara bagi kaisar, semua negara harus tunduk kepada bangsa yang dipilih Langit, yaitu Tiongkok. Jika ada yang memberikan hadiah (upeti), walaupun sedikit harus diterima dengan tangan terbuka dan dibantu sesuai dengan kebutuhannya. "Bangsa Tionghoa bahkan menjadikan upaya kontak dagang biasa menjadi pengakuan atas superioritas mereka," tulis Groeneveldt. Terlebih lagi kekuasaan Tiongkok di era Dinasti Mongol. Menurut sejarawan Inggris, John Man dalam Kubilai Khan, ambisi utama Sang Khan adalah membuat dunia mengakui kejayaannya. "Tak ada alasan khusus kenapa harus menaklukkan suatu negara. Ia hanya harus melakukannya," tulis John Man. Oleh karena itu, menurut Suwardono, Kertanegara berusaha untuk menyatukan seluruh Nusantara karena adanya bahaya dari luar yang mengancam, yaitu pasukan Mongol .
- Asal-Usul Marga Sinaga
SINAGA adalah salah satu marga tertua yang ada dalam suku Batak Toba. Asalnya dari Desa Urat, Pulau Samosir namun marga ini umum pula dikenal di Indonesia. Tidak sedikit pula keturunan Sinaga yang hari ini berada di penjuru dunia. Bila dijejaki dari garis leluhur, maka marga Sinaga keturunan Si Raja Batak generasi kelima. Dari Si Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan. Guru Tateabulan memperanakkan Tuan Sariburaja. Tuan Sariburaja memperanakkan Raja Lontung. Si Raja Lontung inilah yang menjadi ayahnya Sinaga. Si Raja Lontung memiliki sembilan anak yang terdiri dari 7 laki-laki dan 2 perempuan ( boru ). Mereka antara lain: Toga Sinaga, Tuan Situmorang, Toga Pandiangan, Toga Nainggolan, Toga Simatupang, Toga Aritonang, Toga Siregar, Siboru Amak Pandan, dan Siboru Panggabean. Menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya , keturunan Lontung kebanyakan tinggal di Samosir. Keturunan Lontung kemudian menyebar memenuhi Tanah Batak. “Hampir di seluruh Tanah Batak terdapat keturunan Lontung, bermarga Sinaga,” tulis Tambunan. Dalam beberapa buku tarombo (silsilah), sebagaimana dicatat antropolog Richard Sinaga dalam Silsilah Marga-Marga Batak , ada yang menempatkan Situmorang sebagai keturunan Lontung yang pertama sedangkan Sinaga pada urutan kedua. Menurut cerita orang tua turun-temurun, anak sulung Si Raja Lontung adalah Sinaga dan anak kedua Situmorang. Setelah dewasa, Situmorang lebih dulu kawin dengan Boru Limbong sementara adik Boru Limbong ini diperistri oleh Sinaga. “Karena itu Situmorang lazim disebut haha ni parrajaon (menjadi abang karena istrinya kakak dari istri Sinaga) dan Sinaga disebut haha ni partubu (abang karena lebih dahulu lahir),” tulis Richard Sinaga. Sinaga mempunyai 3 anak laki-laki antara lain: Raja Bonor, Raja Ratus, dan Raja Uruk. Masing-masing dari mereka mempunyai tiga anak laki-laki. Raja Bonor yang kemudian disebut Sinaga Bonor memperanakkan Raja Pande, Tiang Ditonga, dan Suhutnihuta. Si Raja Ratus yang kemudian disebut Sinaga Ratus memperanakkan Ratus Nagodang, Si Tinggi, dan Si Ongko. Raja Uruk yang kemudian disebut Sinaga Uruk memperanakan Sihatahutan, Barita Raja, dan Datu Hurung. Dalam Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX , budayawan Sitor Situmorang mencatat persaingan antara marga Sinaga dan Situmorang pada masa Si Singamangaraja XII. Salah satu keturunan Sinaga bernama Ompu Palti Raja –menurut Belanda– adalah musuh bebuyutan Sisingamangaraja. Pada masa penyerangan Belanda, Ompu Paltiraja bersikap netral bahkan bermusuhan dengan Sisingamangaraja. Menurut Sitor, meski sama-sama keturunan Lontung, Situmorang dan Sinaga memainkan peran kultural dan politik yang berbeda. Marga Situmorang disebutkan sebagai bride giver karena Sisingmanagaraja selalu beristrikan boru Situmorang. Sementara Sinaga disebut oleh Sitor sebagai bride taker bagi dinasti Sisingamangaraja. “Dari silsilah diketahui bahwa relasi antara kedua marga kakak-beradik dalam lingkungan Lontung itu ditandai persaingan intern, yaitu perebutan hegemoni dalam organisasi parbaringin (agama Batak) di semua bius Lontung,” tulis Sitor. Selain itu, diterangkan Sitor antara marga Sinaga dan Situmorang kerap bersaing mengenai siapa yang berhak menjadi Pandita Bolon (pendeta utama) yang mempimpin organisasi parbaringin dalam bius (paguyuban meliputi wilayah tertentu) mereka. Sampai saat ini semua keturunan Toga Sinaga masih tetap satu marga yaitu marga Sinaga. Lain halnya dengan saudara-saudaranya yang enam, telah berkembang menjadi beberapa marga. Semua keturunan Toga Sinaga terhimpun dalam satu ikatan yang diberi nama: Parsadaan Pomparan Toga Sinaga dohot Boruna (PPTSB). Persatuan ini ada di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan tingkat nasional. Pada 1966 PPTSB membangun tugu Toga Sinaga di Desa Urat, Samosir dan diresmikan pada Juni 1970. Di tanah air, beberapa tokoh bermarga Sinaga tercatat sebagai tokoh publik. Mereka antara lain Anicetus Bongsu Antonius Sinaga (uskup agung), Saktiawan dan Ferdinand Sinaga (pesepakbola), Restu dan Gita Sinaga (artis peran), Indra Sinaga (vokalis band Lyla), Narova Morina Sinaga (vokalis band Geisha), Dolorosa Sinaga (perupa), dan yang lainnya .
- Jalan Panjang Memulangkan Jarahan Belanda
SEBANYAK 1.500 benda bersejarah Indonesia yang dibawa Belanda pada masa kolonial telah direpatriasi (dikembalikan) pada akhir 2019. Repatriasi yang berlangsung sejak 2015 itu, disebut sebagai yang terbesar sepanjang sejarah. Namun, repatriasi itu tentunya bukan yang pertama kali. Sejak era kepemimpinan Sukarno, upaya repatriasi sudah mulai dilakukan. Pada 1954, Muhammad Yamin, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saat itu, melawat ke Belanda. Dalam kunjungan tersebut, Yamin dan Soedarsono, Kepala Jawatan Kebudayaan yang menyertainya, mulai merintis usaha pengembalian benda bernilai sejarah dan budaya Indonesia yang disimpan di Belanda. Sutrisno Kutoyo dalam biografi Prof. H. Muhammad Yamin, S.H. menyebut upaya tersebut mendapat respons baik dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda. Mereka menyatakan akan segera menyerahkan benda-benda bernilai sejarah dan budaya yang diambil pada masa kolonial. Baca juga: Belanda Kembalikan Ribuan Benda Bersejarah Beberapa benda yang waktu itu hendak dikembalikan antara lain, tengkorak Sangiran, keropak Negarakertagama , arca Prajnaparamita, naskah tulisan tangan dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Madura serta dialek-dialek tulisan tangan bahasa Indonesia, tengkorak Trinil Du Bois, dokumen perang, dan peta lama Indonesia. Kemudian pada 1955, dilakukan inventarisasi koleksi benda purbakala dan naskah kesastraan yang berada di Belanda dan beberapa negara Eropa. Hasilnya, sebanyak 1.151 benda yang disimpan di berbagai museum di Belanda serta 31 benda di museum Jerman, Denmark, dan Belgia berhasil diinventarisir. Keropak Negarakrtagama menjadi benda pertama yang dikembalikan Belanda ke Indonesia. ( cagarbudaya.kemdikbud.go.id ). Namun, wacana repatriasi 1954 dan 1955 tersebut tampaknya tak pernah terealisasi. Isu tersebut baru disinggung kembali dalam Musyawarah Museum Seluruh Indonesia ke-1 di Yogyakarta pada Oktober 1962. Musyawarah menghasilkan usulan kepada pemerintah Indonesia untuk mengupayakan pengembalian "harta-harta alam dan kebudayaan" Indonesia di luar negeri. "Saatnya sudah tiba kini bagi kita untuk mengadakan registrasi terhadap harta kebudayaan nasional, agar dengan demikian dapatlah diketahui dengan jelas apa saja daripadanya yang masih kita miliki, yang telah hilang dan apa ada kemungkinan untuk mendapatkannya kembali," sebut Ghozali, Sekretaris Asisten Kurator Bagian Edukasi Museum Pusat (kini Museum Nasional), dikutip majalah Varia , 5 Juni 1963. Baca juga: Kisah Benda-Benda Bersejarah Indonesia Dibawa ke Negeri Orang Selain masalah pengembalian, musyawarah juga mengusulkan perombakan radikal terhadap sistem permuseuman yang dianggap telah usang. Diusulkan pula peninjauan terhadap Monumenten Ordonnantie 1931 dan diganti dengan Undang-Undang Museum dan Museum Nasional. Undang-Undang Museum diharapkan dapat menjamin kelestarian benda budaya bersejarah Indonesia dari difusi dan transisi budaya. Lebih lanjut, musyawarah juga menganjurkan agar Indonesia bergabung dengan International Council of Museum (ICOM) yang berpusat di Paris dan disponsori oleh UNESCO. Dengan menjadi anggota ICOM, Indonesia dapat menjalin hubungan kebudayaan dengan negara-negara anggota. Hal ini akan dapat mempermudah usaha-usaha pengembalian benda-benda bersejarah Indonesia. Baca juga: Harga Mahal di Balik Patung Gajah Museum Nasional Wacana-wacana tersebut tampaknya baru membuahkan hasil pada 2 September 1970, ketika Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke Belanda. Dalam kunjungan tersebut, bersamaan dengan resepsi kenegaraan di Huis Ten Bosch, Ratu Juliana menyerahkan keropak Negarakrtagama . "Tidak lupa sebuah buku tua yang bernama Negara Kertagama diberikan kepada Soeharto setelah buku yang memang berasal dari Indonesia itu tersimpan lama di Leiden," tulis majalah Ekspress , 19 September 1970. Namun, penyerahan tersebut agaknya hanya simbolis. Pasalnya, keropak Negarakrtagama baru benar-benar berada di tanah air pada 1972. Arca Prajnaparamita, salah satu masterpiece Museum Nasional, dikembalikan Belanda pada 1978. (Wikipedia). Pada 1978, Museum Pusat (kini Museum Nasional) dalam rangka ulang tahun yang ke-200, mengadakan pameran berbagai benda koleksinya. Secara khusus pameran tersebut menampilkan benda-benda bersejarah yang berhasil dikembalikan dalam rangka kerja sama kebudayaan antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Salah satu benda primadona dalam pameran ini adalah arca Prajnaparamita dari salah satu candi Kerajaan Singhasari. Menurut katalog Pameran Peringatan Ulang Tahun ke-200 Museum Pusat arca ini dikembalikan oleh Belanda melalui Duta Besar Indonesia untuk Belanda Sutopo Yuwono pada 1978. Baca juga: Lebih Dekat dengan Museum Nasional Awalnya arca ini diserahkan kepada seorang sarjana Belanda bernama Reinwardt oleh asisten residen D. Monnerau, untuk disumbangkan kepada salah satu museum di Belanda pada 1819. Arca ini berada di Belanda selama satu setengah abad sejak diangkut ke Leiden pada 1823. Bersamaan dengan pengembalian arca tersebut, Belanda juga memulangkan tiga buah benda yang pernah digunakan oleh Pangeran Diponegoro, yaitu sebuah payung kehormatan, tombak dan pelana kuda. Selain itu terdapat 237 benda berharga dari Puri Cakaranegara, Lombok, hasil jarahan pada Perang Lombok 1894. Baca juga: Kembara Pusaka Diponegoro Pada 2017, 37 tahun pasca pengembalian yang cukup besar itu, bersamaan dengan pembukaan pameran "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini" di Galeri Nasional, sebuah tongkat milik Pangeran Diponegoro dikembalikan. Mengutip National Geographic Indonesia , tongkat bernama Kanjeng Kyai Cokro itu telah disimpan selama 181 tahun oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1833-1834, Jean Chretien Baud. Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dengan Direktur Rijkmuseum Taco Dibbits usai pertemuan membicarakan pengembalian benda seni bersejarah dari Belanda ke Indonesia, 17 Mei 2019. (Dok. Bonnie Triyana). Setelah kembalinya 1.500 benda bersejarah akhir 2019, kini pemerintah Indonesia tengah melakukan pembahasan dengan Nationaal Museum van Wereldcultuturenterkait repatriasi gelombang selanjutnya. Ada tiga museum yang mengajukan repatriasi yakni Rijks Museum, Tropen Museum, dan Volkenkunde Museum. Baca juga: Mencari Museum yang Mendidik Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid dalam konferensi pers di Museum Nasional pada 2 Januari 2020, menyebut repatriasi selanjutnya masih berada pada tahap diskusi, terutama dengan museum Kerajaan Belanda, Rijks Museum. "Bulan Mei 2019 jumpa dengan direktur Rijks Museum mendiskusikan ini. Sebentar lagi akan ada workshop-workshop untuk meneruskan pembicaraan ini. Pengembalian apa yang di Belanda sekarang disebut roofkunst, benda-benda bersejarah dan benda kesenian yang diperoleh dengan cara tidak pantas," kata Hilmar Farid. Tim Indonesia yang terlibat dalam pembahasan pengembalian benda seni bersejarah dengan pihak Rijksmuseum. Dari kiri ke kanan: Nusi Lisabila Estudiantin dari Museum Nasional Indonesia, sejarawan Bonnie Triyana, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Belanda Din Wahid, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, dan politikus Heri Akhmadi. (Dok. Bonnie Triyana). Hilmar menyebut, proses repatriasi ini akan memakan waktu cukup lama karena perlu kajian lebih dalam hingga dilanjutkan ke pemilihan barang-barang yang akan dikembalikan ke Indonesia. "Karena untuk menentukan mana barang yang benar-benar diambil dengan cara dijarah juga tidak mudah," imbuhnya. Hilmar juga menambahkan bahwa "demam" repatriasi memang tengah menjadi pembicaraan hangat di berbagai negara di Eropa. Negara-negara tersebut berupaya melakukan dekolonialisasi rak-rak museum dan mengembalikan barang jarahan kepada negara bekas jajahan.
- Ketika Balet Dianggap Menghina Islam
TUJUH perempuan penari masuk panggung gelap. Pakaiannya putih menyerupai mukena untuk salat. Mukena menutup bagian kepala sampai ke lutut. Tapi lengan tangan terbuka. Bagian lutut sampai kaki dibungkus oleh leotard (sejenis legging senam). Lampu-lampu panggung menyorot para penari. Suara azan terdengar. Dilafazkan oleh perempuan. Bersahut-sahutan dalam bahasa Arab dan Indonesia.
- CIA dan Daftar Anggota PKI yang Dihabisi
SETELAH peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi pembunuhan massal terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Jumlah korbannya mencapai ratusan ribu orang. Dan Amerika Serikat berperan dalam memberikan daftar orang-orang komunis itu untuk diburu dan dihabisi.
- Apa Arti Pengibaran Bendera Merah Iran?
SABTU 4 Januari 2020 jadi Sabtu penuh duka buat Iran. Sehari sebelumnya, Mayjen Qassem Soleimani terbunuh dalam serangan Amerika Serikat di Bandara Internasional Baghdad. Segenap rakyat Iran murka, hingga mengibarkan bendera merah darah di puncak Masjid Jamkaran di kota suci Syiah, Qom, pada Sabtu. Jenderal Soleimani, panglima pasukan Quds, merupakan salah satu tokoh militer penting yang bekerjasama dengan sejumlah milisi Syiah di Irak dalam rangka memerangi kelompok teroris ISIS. Namun konvoinya dekat Bandara Internasional Baghdad diserang misil dari drone milik Amerika. Dalih Amerika, Soleimani punya rencana menyerang para diplomat dan personel militer di Kedutaan Amerika di Baghdad. Kematian Soleimani, sosok yang dihormati setelah Ayatollah Ali Khamenei, membuat Iran meradang dan menyatakan bakal bikin perhitungan lewat tindakan militer. Publik internasional pun khawatirk insiden itu bisa memicu Perang Dunia III. Terlebih, Presiden Amerika Donald Trump dan Presiden Iran Hassan Rouhani sudah bertukar ancaman. “Kami akan membalas pertumpahan darah ini. Kejahatan yang dilakukan Amerika akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu kejahatan yang tak terlupakan terhadap bangsa Iran,” cetus Rouhani, dikutip Daily Mail , 4 Januari 2020. Sementara, Donald Trump d i akun Twitter -nya mengancam bahwa Amerika akan menyerang 52 lokasi penting di Iran jika Iran berani balas dendam. Saling-ancam itu jelas tidak main-main. Pasalnya, Iran sudah mengibarkan bendera merah darah di puncak Masjid Jamkaran. Bendera suci bertuliskan “Ya la-Tharat al-Husayn” (Wahai, mereka yang membalaskan dendam Imam al-Husain) itu simbol balas dendam. Ia bertautan dengan peristiwa historis pembalasan dendam umat Syiah di tahun 680 Masehi atau tahun ke-61 Hijriah. “Ya la-Tharat al-Husayn’ adalah moto Imam Ali (A.S) dalam membalaskan dendam Imam Husain (A.S) dan orang-orang yang dianiaya di seluruh dunia. Dalam sejarah, tidak ada darah martir yang sia-sia dan itu merupakan takdir Yang Maha Kuasa. Fajar kemenangan,” demikian diungkap situs pengelola Masjid Jamkaran . Darah Cucu Kesayangan Rasulullah di Karbala Sejarawan Jerman Wilferd Madelung yang mendalami sejarah Islam menulis dalam The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate, Husain yang lahir pada 3 Sya’ban 4 Hijriah (10 Januari 626) merupakan satu dari dua keturunan lelaki terakhir dari Nabi Muhammad SAW, selain kakaknya, Hasan. Rasulullah SAW sangat menyayangi dua buah hati hasil pernikahan putrinya Fatimah dan sepupunya, Ali bin Abi Thalib, sejak kecil. “Rasulullah menggendong Hasan dan Husain dan bersabda, ‘Barangsiapa yang mencintaiku dan mencintai keduanya dan mencintai ayah-ibunya, maka ia akan berdiri sejajar di sampingku di Hari Akhir,” sebagaimana Hadist Riwayat (H.R) Tirmidzi yang dikutip Madelung. Deskripsi rute Husain bin Ali dari Mekkah dengan tujuan Kufah dan gambaran detik-detik jelang Pertempuran Karbala yang tak berimbang (Foto: al-islam.org/wikimedia ) Namun perpecahan di antara umat Islam mulai terjadi di internal Kekhalifahan Rasyidin, bahkan belum seabad selepas Nabi Muhammad SAW wafat pada 12 Rabiul Awal, 10 H (8 Juni 623 M). Pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan pada 656 M memicu Fitna I atau Perang Saudara Pertama (656-661 M) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Syam Muawiyah bin Abu Sufyan. Menyusul pembunuhan Ali bin Abi Thalib di Masjid Agung Kufah, 26 Januari 661 M, dan demi mengakhiri perang saudara, Hasan bin Ali mengajukan perjanjian. Inti perjanjian itu di antaranya Hasan bersedia menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah, namun untuk khalifah selanjutnya tidak boleh diserahkan pada keturunan dan mesti melalui pemilihan yang adil. Perjanjian itu namun dilanggar Muawiyah menjelang kematiannya, dengan mengangkat Yazid putranya sebagai penerus Kekhalifahan Umayyah, April 680 M. Hal itu membuat Kekhalifahan Muawiyah tak lebih dari sekadar dinasti. Saat memerintah, Yazid mewajibkan setiap provinsi tunduk pada keputusannya. Hasan dan Husain sebagai pemimpin Bani Hashim yang berdiam di Madinah, menolak tunduk pada keputusan Yazid. Akibatnya, Husain yang menggantikan Hasan yang dibunuh dengan diracun, diburu Muawiyah. Ia dan para pengikutnya diperintahkan untuk tunduk dan berikrar setia pada sang khalifah atau akan dibunuh. Husain dan para pengikutnya lantas mengungsi ke Mekkah. “Di Kufah, para pemimpin Syiah menulis surat pada Husain. Mereka meminta Husain memimbing mereka, mengingat di Kufah belum ada imam besar,” ungkap Madelung. Lantaran masih jadi “buron” Yazid, Husain memilih keluar dari Mekkah. Husain dan sekira 100 pengikutnya menuju Kufah pada 8 Zulhijjah 60 H (9 September 680 M). Tragedi Karbala Di dekat Sungai Eufrat, tepatnya di Qadisiyya, rombongan Husain dicegat 1.000 serdadu Muawiyah yang dipimpin Hurr bin Yazid al-Tamimi. Mereka mulanya hanya mencegah rombongan Husain masuk Kufah. Husain pun terpaksa mencari tempat lain untuk berkemah sambil menanti negosiasi. Pada 2 Muharram 61 H (2 Oktober 680 M), rombongan Husain tiba di Padang Karbala, 70km utara kota Kufah. “Di hari yang sama, datang lagi 4.000 orang pasukan pimpinan Umar bin Sa’d. Kepada Husain, ia memerintahkan rombongan itu menyatakan kesetiaan pada Yazid. Husain menolak hingga perkemahan rombongannya dikepung, termasuk akses kebutuhan air di Sungai Eufrat diblokade pasukan Umar bin Sa’d,” sambung Medelung. Rombongan Husain bin Ali yang dikepung pasukan Umayyah (Foto: wikimedia) Negosiasi demi negosiasi Husain dengan Umar bin Sa’d tak menelurkan kesepakatan, hingga rombongan Husain tiga hari kekurangan air bahkan sekadar untuk memenuhi kebutuhan anak-anak di perkemahan. Perang pun jadi jalan satu-satunya. Setelah salat Subuh, 10 Muharram 61 H (10 Oktober 680 M), pertempuran tak imbang pecah antara rombongan Husain yang hanya berjumlah 72 lelaki dengan sekira 5.000 serdadu Umayyah. Satu per satu pengikut Husain bertumbangan saat dihujani panah maupun duel satu lawan satu. Putra-putranya tak terkecuali. Kala mentari mulai beringsut ke ufuk barat, tinggal Husain sendirian yang masih hidup. Saat sedang belari menuju tepi Sungai Eufrat, Husain dipanah dan kena mulutnya. Setelah terluka oleh serangan lawan, kepala Husain dipenggal Sinan bin Anas. Puluhan pengikut Husain yang semuanya tewas di hari nahas itu dipenggal. Kepala-kepalanya diusung di pucuk tombak untuk dipersembahkan ke Khalifah Yazid. Sementara rombongan yang tersisa, terdiri dari anak-anak dan perempuan, dibawa ke Syam untuk ditahan. Semua keturunan Husain musnah, kecuali Zayn al-Abidin bin Husain yang tak ikut bertempur karena sakit. Nyawa Zayn hampir melayang oleh Shamir bin Dhil-Jawshan kalau tak dicegah Umar bin Sa’d. Lukisan "pertempuran Karbala" oleh Abbas al-Musavi (Foto: Brooklyn Museum) Pembunuhan Husain sang cucu kesayangan Rasulullah itu jadi kabar menggemparkan. Bagi kaum Syiah, tragedi itu melahirkan kewajiban balas dendam yang membawa konflik itu menuju Fitna II atau Perang Saudara Kedua (680-692 M). Meski Yazid meninggal karena penyakit yang tak diketahui pada 683 M, Abdullah bin Kamal, anggota pasukan Syiah dari Kufah yang dipimpin Mukhtar al-Thaqafi, berhasil membunuh Umar bin Sa’d. Pasukan Muhktar juga membunuh Ubaidillah bin Ziyad, yang memerintahkan tentaranya membunuh putra Husain yang masih bayi di Padang Karbala, di Pertempuran Khazir (686 M). Peristiwa itu lalu diperingati umat Syiah sebagai Hari Asyura setiap tahun pada 10 Muharram. “Oleh karenanya bendera merah itu punya makna, ‘kematian lebih baik’, sebagai bagian dari pesan dari kisah di Karbala: Husain, Imam ketiga Syiah, mengatakan saat menerima ancaman pembunuhan, ‘kematian lebih baik daripada hidup di bawah penindasan.’ Sepuluh dari 11 Imam Syiah yang dibunuh dalam sejarah diberi bendera hijau, hanya satu, Husain yang punya bendera merah,” sebut Michael M. J. Fischer dalam Iran: From Religious Dispute to Revolution.
- Hatta yang Keras Kepala
HIDUP di Boven Digul pada 1935 merupakan takdir yang tidak bisa dihindari Mohammad Hatta. Ia dan beberapa tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap pemerintah Belanda karena aktifitasnya dianggap membahayakan. Bersama Sjahrir, Hatta ditangkap di Batavia pada Februari 1934, dan baru ditempatkan di Tanah Merah setahun kemudian, tepatnya pada 28 Januari 1935. Sebelum ditempatkan di desa, Hatta dan penghuni baru Tanah Merah dipanggil ke kediaman pejabat Belanda yang bertanggung jawab atas Digul, Kapten Van Langen. Ia menerangkan tentang pembagian kelompok masyarakat di tempatnya yang harus dipilih oleh para interniran baru itu. Diceritakan Hatta dalam Mengenang Sjahrir , di Digul masyarakatnya terbagi menjadi dua: golongan yang bekerja sama dengan pemerintah ( werkwillig ), dan golongan yang enggan membantu pemerintah ( naturalis ). Orang-orang werkwillig setiap bulannya akan diberi ransum berupa beras, kacang hijau, teh, minyak kelapa, dan kebutuhan pokok lainnya. Mereka juga diberi upah 40 sen sehari. Para werkwillig ini bahkan dijanjikan kembali ke tempat asalnya, dalam kondisi tertentu. Sementara kelompok naturalis saban bulan hanya mendapat ransum saja. Mereka juga harus melakukan pekerjaan kasar, seperti mencangkul, menggali selokan, dan pekerjaan lain yang serupa. Para naturalis ini diyakini akan hidup selamanya di tanah Digul. “Tuan pilihlah, ke dalam golongan mana tuan akan masuk,” tanya Van Langen kepada Hatta. “Masukkan saja aku ke dalam golongan naturalis. Jikalau aku kiranya mau masuk golongan werkwillig , dahulu di Jakarta aku sudah memilihnya. Berbagai jabatan sudah ditawarkan pemerintah kepadaku. Aku tentu sudah menjadi tuan besar dan tak perlu aku datang ke Digul untuk menjadi kuli upah 40 sen sehari. Aku tetap sebagai nonkooperator,” tegas Hatta. “Buat tuan diadakan kerja kantor. Tuan tidak akan mengerjakan pekerjaan kuli. Apabila tuan memilih golongan naturalis , tuan akan tetap tinggal di Digul ini. Tidak akan dikembalikan ke daerah asal tuan,” ucap Van Langen. “Itu pendapat tuan. Menurut pendapatku tidak ada yang tetap di dunia ini. Semuanya dalam perubahan, apa yang tidak bisa sekarang, di kemudian hari bisa terjadi. Sebab itu aku tetap pada pendirianku,” kata Hatta. Van Langen yang tahu betul kemampuan Hatta tidak ingin membiarkannya begitu saja. Ia ingin tokoh PNI itu ada di pemerintahannya, mengatur tempat pembuangan itu bersama. Akhirnya Van Langen mempersilahkan Hatta beristirahat. Dan memintanya kembali esok hari, berharap mendapat jawaban yang berbeda dari Hatta. “Baiklah jangan tuan ambil keputusan hari ini. Pikirkanlah semalam apa yang kukatakan ini. Tuan kembali besok pagi,” ucapnya. Setelah Hatta meninggalkan ruangan, kawan-kawan yang lain bergiliran masuk mengahadap Van Langen. Termasuk Sjahrir, para buangan itu memilih masuk golongan naturalis . Mereka tetap pada pendiriannya sebagai golongan nonkooperator. Keesokan harinya Hatta kembali menemui Van Langen. Ia datang masih dengan pendirian yang sama: tidak bersedia membantu pemerintah. Pejabat Belanda itu menyayangkan sikap Hatta yang begitu keras kepala. Menurutnya Hatta tidak memikirkan matang-matang masa depannya di Digul karena bisa saja ia tinggal selama-lamanya di Tanah Merah itu. “Percayalah aku tidak akan tinggal selama-lamanya, karena dunia berubah senantiasa,” kata Hatta sambil melangkah ke luar ruangan itu. Sewaktu Hatta sampai di mulut pintu, Van Langen kembali melayangkan tawarannya: “Aku harap tuan nanti mengubah pendirian tuan.” Sambil berlalu Hatta hanya memberi senyum. Pada Juli 1935, enam bulan sejak Hatta menolak Van Lagen, tawaran untuk mengabdi kepada Belanda kembali datang. Kali ini melalui Residen Haga dari Ambon, yang kebetulan akan mengunjungi Digul dalam tugasnya meninjau seluruh daerah kekuasaannya. Waktu itu Van Lagen sudah tidak memerintah, tugasnya digantikan oleh Kapten Wiarda. Ketika Residen Haga sampai di Digul, diperintahkannya kepada Wiarda supaya Hatta dan Sjahrir datang menghadapnya. Setelah sampai, Hatta dipersilahkan masuk terlebih dahulu. Di dalam ruangan sudah menunggu Residen Haga dan seorang pendampingnya. Percakapan dibuka dengan menanyakan kabar kesehatan Hatta. “Aku mengerti tuan berusaha hidup dari karangan-karangan tuan dalam surat kabar. Berhubung dengan itu, pemerintah bersedia membantu memenuhi keperluan tuan membayar porto pos. Saban bulan juga tuan akan menerima f 7.50,” ucap Haga. “Apa artinya tiga ringgit itu bagiku, tidak besar bedanya dengan harga makanan yang kuterima saban bulan. Kalau aku diberi bantuan di atas jumlah biasa yang diberikan di sini untuk orang interniran, kenapa aku tidak diberi bantuan sebanyak bantuan yang diberika kepada kaum intelektual yang diinternir di tempat lain seperti Dr. Tjipto dan Mr. Iwa di Banda Neira atau Ir. Sukarno di Endeh?” kata Hatta. Residen Haga lalu menerangkan jika setiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda terkait para interniran, terutama persoalan pendapatan yang mereka terima setiap bulan. Itulah mengapa selama masih berstatus tahanan Digul, Hatta tidak mungkin mendapat upah sebesar kawan-kawannya di tempat lain. “Kalau begitu, biarlah aku menerima bantuan hidup menurut rezim yang berlaku di sini. Bantuan f 7.50 itu untuk ongkos pos mengirim karangan-karanganku tidak perlu tuan berikan,” tegas Hatta. Sesaat Residen Haga terdiam. Ia kemudian meminta Hatta memikirkan tawarannya itu, tidak perlu menjawab terburu-buru. “Betapapun juga baiklah tuan pikirkan semalam, besok pagi tuan datang kembali memberikan jawaban yang terakhir,” ucapnya. “Baiklah, izinkan aku kembali ke kampung pembuangan,” kata Hatta. Setelah berjabat tangan, Hatta pun pamit undur diri. Lalu giliran Sjahrir yang diminta masuk. Sekitar 15 menit berada di dalam, Sjahrir keluar. Sambil berjalan ke tempat tinggal, Hatta menceritakan percakapannya dengan Haga. Ternyata Sjahrir pun diberi tawaran yang sama dan ia juga diminta memberi jawaban keesokan harinya. Esok paginya, Hatta dan Sjahrir kembali ke kantor pemerintahan menemui Residen Haga. Hatta diterima terlebih dahulu. Di dalam, Hatta menegaskan kalau dirinya tetap pada pendirian dan menyesal tidak dapat menerima bantuan pemerintah tersebut. Waktu Hatta keluar, Sjahrir diminta untuk masuk. Sekira 10 menit ia berada di dalam. Tatkala sudah keluar, Sjahrir mengatakan kepada Hatta bahwa dirinya terpaksa menerima bantuan dari pemerintah itu. Selama berada di Digul, dia tidak memiliki pendapatan sepeserpun untuk menafkahi istrinya di Belanda. Hatta dapat memaklumi keputusan Sjahrir. Namun beberapa kawan di Tanah Merah mencela tindakan Sjahrir tersebut. Dia dituduh telah menyerah kepada pemerintah Belanda. Hatta tidak tinggal diam. Ia meyakinkan semua orang bahwa Sjahrir bukan meminta, tetapi hanya menerima dan memang keadaan yang memaksanya melakukan hal itu. Beberapa waktu kemudian, cela-celaan kepada Sjahrir tidak terdengar lagi. “Di Digul aku selalu berpesan kepada kawan-kawan yang dibuang ke sana, yang lama dan yang baru, supaya menjaga kesehatan pikiran dan perasaan, jangan terganggu apa-apa, tetap menerima segalanya dengan hati yang tenang,” kata Hatta.
- Natuna di Mata Penjelajah Eropa
NATUNA kembali mencuri perhatian rakyat Indonesia. Penetrasi kapal nelayan China yang dilindungi sebuah kapal coastguard negeri itu ke perairan Natuna pada 19-24 Desember 2019 membuat pemerintah Indonesia marah. Terlebih, kapal China itu tak menggubris peringatan dari kapal TNI AL yang saat itu melakukan patroli. Protes pun dilayangkan pemerintah Indonesia. Natuna, kepulauan yang terletak di Provinsi Kepulauan Riau, memang kerap mencuri perhatian banyak pihak lantaran kaya sumberdaya alam dan letaknya strategis. Letaknya di jalur perniagaan lama membuatnya dikunjungi banyak orang dari berbagai belahan bumi sejak lama. Letak strategis itu pula yang membuat Natuna mencuri perhatian Raja Prancis Charles X. Beberapa saat sebelum kejatuhannya, Charles X menunjuk Cyrrille Pierre Theodore Lapace, veteran angkatan laut Kerajaan Prancis yang berpengalaman dalam berbagai pertempuran, untuk menjalankan sebuah ekspedisi maritim. “Ekspedisi maritim yang baru ini mengemban dua misi, yakni misi resmi, menyangkut pemeriksaan hidrografi untuk menyempurnakan atlas Asia Tenggara, dan misi yang lebih resmi, yakni misi politik ekonomi rahasia untuk menandai wilayah-wilayah strategis guna membangun jaringan basis logistik Prancis di Laut Cina Selatan,” tulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI Sampai Abad XX . Menggunakan La Favorite , Laplace bertolak dari Pelabuhan Toulon pada 30 Desember 1829. Kapal korvet berbobot 680 ton yang dilengkapi 24 meriam itu tiba di Pelabuhan Singapura pada 17 Agustus 1830 setelah melewati Samudera Hindia. “Laplace memulai pengamatannya sama seperti pelaut Prancis lain yang pernah berkunjung ke Asia Tenggara dan tidak mampu menyembunyikan kekaguman pada pilihan strategis dan sangat tepat yang dibuat bangsa Inggris yang bercokol di Singapura,” sambung Dorleans. Sekira sepekan kemudian, La Favorite melanjutkan pelayaran ke timur guna mencapai China dengan transit di Manila dan Makao. Geliat perniagaan di China dan tertinggalnya perniagaan internasional Prancis membuat Laplace mengeluarkan analisis. Menurutnya, penyebab tertinggalnya perniagaan internasional Prancis antara lain adalah minimnya kapal Prancis yang ke China dan buruknya attitude para niagawan Prancis yang melakukan perniagaan internasional. Dari China, Laplace melanjutkan perjalanan ke Indochina. Negosiasi alot dengan beberapa penguasa setempat membuatnya tertahan agak lama di sana. Dari sana, Laplace kembali berlayar ke selatan, Laut China Selatan. “Berdasarkan instruksi dari Prancis, Laplace membawa misi untuk menemukan Pulau Natuna di sebelah barat Borneo, suatu daratan yang tidak pernah dijelajahi bangsa Eropa,” tulis Dorleans. Setelah berlabuh di Kepulauan Paracel, yang disengeketakan Vietnam dan RRC pada 1970-an, Laplace berlayar lebih ke selatan. “Melalui Pulau Sapata, yang kami ulangi pada hari ke-10, angin bertiup ke arah timur laut dan timur laut lebih utara, sangat segar; lautnya sangat luas. Ketika kami telah melewati pulau ini secara paralel, kami menuju barat daya seperempat derajat, untuk menuju dan mengenali Kepulauan Natuna, tempat kami harus melakukan eksplorasi,” tulis Laplace dalam catatan hariannya, Voyage Autour du Monde par les Mers de L’Indie et de Chine Execute sur la Corvette de l’Etat La Favorite Pendant Les Annees 1830, 1831 et 1832. Pelayaran berlangsung sekira dua hari menuju Natuna dengan panduan peta karya James Horsburgh, hidrografer Skotlandia yang bekerja untuk British East India Company. “Pada tanggal 12 (Maret 1831, red .), saat fajar, bagian dari kepulauan (Natuna) ini yang secara umum ditandai dengan Natuna Utara, muncul dalam pengamatan kami. Pulau utama dari kepulauan ini dinamakan Pulau Laut oleh penduduk setempat, dan tidak lebih dari 8 mil panjangnya dari timur laut sebagai ujung utaranya ke barat daya sebagai ujung selatannya,” sambung Laplace. Kontur Pulau Laut tidak rata dan di tengahnya terdapat pegunungan tinggi yang dipisahkan oleh lembah-lembah dalam. Dari laut, kata Laplace, mereka terlihat seperti pulau-pulau kecil. “Bagian barat daya Pulau Laut lebih rendah, tetapi lebih berhutan dan lebih menyenangkan daripada di utara. Pantainya dipagari pepohonan kelapa yang menaungi beberapa dusun yang dikelilingi oleh ladang pertanian. Lokasi ini, menurut pengamatan kami, terletak pada 4o 30' 40" Lintang Utara dan 105o 22 '20" Bujur Timur,” tulisnya. Tanggal 13, saat angin bertiup dari utara membuat arus laut sangat kuat, Favorite lego jangkar. Baru fajar keesokan harinya Favorite kembali berlayar dengan arah tenggara. Dalam pelayaran ini, Laplace menandai pulau-pulau penting di Natuna, dengan Pulau Bunguran (Natuna Besar) sebagai pulau terpenting. “Pada pukul sepuluh, kami mulai mengenali pantai Natuna Besar, di Pulau Bunguran, sampai menemukan pantai utara yang rendah dan berpasir seluruhnya. Niat kapten pertama-tama adalah memperluas penjelajahan pulau ini ke timur, memotong ke selatan, dan kemudian menjelajahi pantai timurnya yang dikelilingi karang dan pulau-pulau, belum pernah dikunjungi oleh para penjelajah; tetapi karena angin tidak memungkinkan kami untuk mengulanginya di tepi Tanjung Utara, kami memutuskan, agar tidak kehilangan waktu yang berharga dalam pertempuran melawan laut lepas dan angin yang sangat kencang, untuk melakukan catatan hidrograf terlebih dahulu bagian penting dari kepulauan ini,” kata Laplace. Natuna Besar di bagian utaranya hanya berisi pantai. Sekira 14 atau 15 mil di selatannya barulah terlihat gunung. “Penduduk menunjukkannya dengan nama Gunung Bedung. Puncaknya berbentuk crosshair , dan merupakan salah satu titik tertinggi di kepulauan ini.” Sekira tujuh mil di timur Gunung Bedung, menjulang Gunung Ranai. Gunung yang menurut Laplace memiliki tinggi 600 batang (1035m) itu merupakan titik tertinggi di kepulauan. Di antara dua gunung itu merupakan datarang tinggi berhutan lebat yang subur. “Semua daerah di antara keduanya dan puncak selatan memberi dataran yang luas, di mana penduduk meyakinkan kami bahwa itu penyebab suburnya daerah itu dan berpenduduk,” kata Laplace. Natuna Besar menjadi pulau yang paling banyak dicatat oleh Laplace. Kondisi geografisnya ditulis cukup detail. Bukan hanya pantai dan gunung, karang, hutan, sungai, beberapa air terjun, dan cuaca pun mendapat perhatian. Meski bahaya dari ganasnya tiupan angin atau karang-karang di sekeliling pulau-pulau di Natuna sesekali menakutkan dan merepotkan para awak Favorite , Ekspedisi Natuna memberi kesan mendalam pada mereka . Keramahan dan kecakapan pengetahuan penduduk, orang Melayu, membuat mereka kagum. Bantuan penduduk antara lain diberikan saat para awak Favorite ragu akan melintasi selat sempit Pulau Barat-Laut, terletak di barat Natuna Besar. “Orang-orang Melayu meyakinkan kami bahwa celah ini praktis, dan kami tak memiliki apapun selain memuji keakuratan informasi mereka,” tulisnya. Bantuan itu membuat Favorite berhasil berlabuh di Pulau Buton seperempat jam kemudian. Namun, di Pulau Sedanaong yang oleh Laplace disebut Ile Belle, tanda persahabatan yang ditunjukkan para awak Favorite justru disalahtangkap oleh penduduk. Dua perahu kecil penduduk mencoba mendekati Favorite namun kemudian kembali ke pantai. “Mungkin terintimidasi oleh ukuran korvet yang sangat besar, (sehingga) tidak mengunjungi kami.” Keramahan penduduk yang menemani pemandangan indah pulau-pulau di Natuna memberi kesan mendalam para anggota Ekspedisi Natuna. “Selama durasi pekerjaan hidrografi kami, yaitu sejak perjalanan kami dengan Favorite hingga tanggal 21, kami tidak berhenti menikmati cuaca luar biasa: atmosfer disegarkan oleh angin dari langit timur laut yang tenang dan cakrawala yang biasanya sangat jernih, memberikan kontribusi untuk melakukan pengamatan astronomi kami sepresisi yang diinginkan: jam tangan kami, di bawah pengaruh suhu yang sama dan tekanan atmosfer yang hampir tidak berubah, bertahan hingga Jawa menjadi pasangan sempurna, dan kami dapat membuat ketiganya berkontribusi dalam penentuan garis bujur,” tulis Laplace. Ekspedisi yang berlangsung hingga 21 Maret 1831 itu namun tak hanya mengesankan buat para anggota tim tapi juga meninggalkan warisan berharga buat dunia. “Ini benar-benar suatu misi eksplorasi dan bangsa Prancislah yang pertama kali menyusun peta maritim yang jelas mengenai daerah tersebut,” tulis Dorleans.
- Bentakan Menlu RI Buat Diplomat AS
MENTERI Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan tidak akan pernah mengakui klaim Tiongkok atas wilayah Natuna. Pernyataan Retno terlontar sehubungan dengan adanya aksi kapal-kapal penjaga pantai Cina yang lancang memasuki kawasan Natuna. Menurutnya klaim sepihak Cina bertentangan dengan hukum internasional tentang batas teritorial laut sebagaimana telah diatur dalam konvensi UNCLOS pada 1982. Sikap Retno ini justru berkebalikan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Kordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Prabowo mengatakan Tiongkok tetap negeri sahabat Indonesia sedangkan Luhut menghimbau agar persoalan ini tidak dibesar-besarkan. Prabowo dan Luhut terkesan lembek padahal keduannya adalah mantan jenderal yang merintis karier militer dari korps pasukan elite. Di era Presiden Sukarno, Indonesia juga pernah memiliki menteri luar negeri yang berani bernama Soebandrio. Bila Retno Marsudi mengawali karier diplomatiknya sebagai Duta Besar (Dubes) RI untuk Islandia dan Norwegia, maka Soebandrio merupakan Dubes RI pertama untuk Inggris. Soebandrio kemudian menjabat menteri luar negeri pada 1957 hingga 1966. Pada Maret 1958, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) menyeret keterlibatan Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS yang saat itu dipimpin Presiden Dwight Eisenhower secara resmi menyatakan simpatinya kepada pemberontakan itu. Dukungan tersebut kemudian diikuti dengan bantuan materi berupa sokongan persenjataan, logistik, dan dana operasional. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengerahkan pasukan elite RPKAD dari Jawa Barat dan Banteng Raiders dari Jawa Tengah ke Sumatra Barat untuk menumpas PRRI. Atas tindakan TNI tersebut, Sterling J. Cottrell datang tergesa-gesa menemui Menteri Luar Negeri Soebandrio. Sebagaimana tercatat dalam arsip Foreign Relations of The United States, 1958--1960, Indonesia, Volume XVII , Cotrell adalah seorang diplomat yang berposisi sebagai penasihat Kedutaan Besar AS di Indonesia. Cotrell bertugas di Jakarta sejak awal 1958. Menurut Juru Bicara Departemen Luar Negeri Ganis Harsono, Cotrell menemui Soebandrio di kantor Departemen Luar Negeri dengan gaya angkuh. Kedua belah tangan bertolak di pinggang dan sebelah kakinya di atas meja koktail Soebandrio. Cotrell meminta agar anggota-anggota marinir Armada Ke-7 Amerika diizinkan mendarat di pantai sebelah timur Sumatra untuk melindungi jiwa dan kepentingan orang-orang Amerika, terutama yang bermukim di kompleks pertambanyak minyak Caltex, Riau. Melihat lagak Cotrell, Soebandrio meradang. Tanpa panjang bicara, dia lantas membentak Cotrell persis di wajahnya. “Keluar kamu! Sampaikan kepada Menteri Luar Negerimu (John Foster) Dulles, bahwa dua ratus pesawat udara Cina telah siap di Pulau Hunan untuk menyapu anggota-anggota marinirmu kalau dalam tempo empat hari Dulles tidak mengeluarkan pernyataan bahwa Amerika tidak hendak mencampuri soal-soal dalam negeri Indonesia,” jawab Soebandrio ditirukan Ganis sebagaimana terkisah dalam Cakrawala Politik Era Sukarno . Hubungan Indonesia dengan Cina memang mulai rapat setelah Konferensi Asia-Afrika pada 1955. Dalam hajatan akbar yang diselenggarakan Indonesia itu, Cina mengutus delegasinya yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Chou En-Lai. Namun soal pesawat udara Cina yang siaga di Pulau Hunan (Hainan, provinsi Cina bagian paling selatan - red ) untuk menyelamatkan Indonesia, dapat dipastikan hanyalah gertakan Soebandrio semata. Walau demikian, bualan Soebandrio ternyata dimakan oleh Cotrell. Sebelum tempo empat hari yang ditetapkan Soebandrio berakhir, John Foster Dulles dalam satu keterangan pers di Washington mengatakan bahwa AS tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Dilansir majalah Time 10 Maret 1958, sebagaimana dikutip Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953--1963 , Dulles menyatakan bahwa “Washington lebih senang dengan pemerintahan (Indonesia) yang lebih konstitusional,” tetapi tanpa menyiratkan sedikit pun soal keterlibatan langsung AS. Pendapat Dulles tersebut didahului pernyataan Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Timur Jauh, Walter Robertson. Pada 4 Maret 1958 Robertson memberi kesaksian di hadapan Kongres mengenai bahaya komunisme di Indonesia namun tidak menyinggung soal campur tangan AS di Indonesia. “Pada waktu itulah pemimpin-pemimpin pemerintah Amerika Serikat mulai menyadari, bahwa mereka telah salah pasang dalam pertaruhan,” ujar Ganis Harsono.





















