top of page

Sejarah Indonesia

Jalan Panjang Memulangkan Jarahan Belanda

Jalan Panjang Memulangkan Jarahan Belanda

Sejak era Sukarno, upaya untuk mengembalikan benda bersejarah Indonesia dari Belanda telah dilakukan. Bagaimana hasilnya?

8 Januari 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Gayor gong, salah satu barang yang dikembalikan Belanda di akhir tahun 2019. (Fernando Randy/Historia.id)

SEBANYAK 1.500 benda bersejarah Indonesia yang dibawa Belanda pada masa kolonial telah direpatriasi (dikembalikan) pada akhir 2019. Repatriasi yang berlangsung sejak 2015 itu, disebut sebagai yang terbesar sepanjang sejarah. Namun, repatriasi itu tentunya bukan yang pertama kali. Sejak era kepemimpinan Sukarno, upaya repatriasi sudah mulai dilakukan.


Pada 1954, Muhammad Yamin, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saat itu, melawat ke Belanda. Dalam kunjungan tersebut, Yamin dan Soedarsono, Kepala Jawatan Kebudayaan yang menyertainya, mulai merintis usaha pengembalian benda bernilai sejarah dan budaya Indonesia yang disimpan di Belanda.


Sutrisno Kutoyo dalam biografi Prof. H. Muhammad Yamin, S.H. menyebut upaya tersebut mendapat respons baik dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda. Mereka menyatakan akan segera menyerahkan benda-benda bernilai sejarah dan budaya yang diambil pada masa kolonial.



Beberapa benda yang waktu itu hendak dikembalikan antara lain, tengkorak Sangiran, keropak Negarakertagama, arca Prajnaparamita, naskah tulisan tangan dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Madura serta dialek-dialek tulisan tangan bahasa Indonesia, tengkorak Trinil Du Bois, dokumen perang, dan peta lama Indonesia.


Kemudian pada 1955, dilakukan inventarisasi koleksi benda purbakala dan naskah kesastraan yang berada di Belanda dan beberapa negara Eropa. Hasilnya, sebanyak 1.151 benda yang disimpan di berbagai museum di Belanda serta 31 benda di museum Jerman, Denmark, dan Belgia berhasil diinventarisir.


Keropak Negarakrtagama menjadi benda pertama yang dikembalikan Belanda ke Indonesia. (cagarbudaya.kemdikbud.go.id).
Keropak Negarakrtagama menjadi benda pertama yang dikembalikan Belanda ke Indonesia. (cagarbudaya.kemdikbud.go.id).

Namun, wacana repatriasi 1954 dan 1955 tersebut tampaknya tak pernah terealisasi. Isu tersebut baru disinggung kembali dalam Musyawarah Museum Seluruh Indonesia ke-1 di Yogyakarta pada Oktober 1962. Musyawarah menghasilkan usulan kepada pemerintah Indonesia untuk mengupayakan pengembalian "harta-harta alam dan kebudayaan" Indonesia di luar negeri.


"Saatnya sudah tiba kini bagi kita untuk mengadakan registrasi terhadap harta kebudayaan nasional, agar dengan demikian dapatlah diketahui dengan jelas apa saja daripadanya yang masih kita miliki, yang telah hilang dan apa ada kemungkinan untuk mendapatkannya kembali," sebut Ghozali, Sekretaris Asisten Kurator Bagian Edukasi Museum Pusat (kini Museum Nasional), dikutip majalah Varia, 5 Juni 1963.



Selain masalah pengembalian, musyawarah juga mengusulkan perombakan radikal terhadap sistem permuseuman yang dianggap telah usang. Diusulkan pula peninjauan terhadap Monumenten Ordonnantie 1931 dan diganti dengan Undang-Undang Museum dan Museum Nasional.


Undang-Undang Museum diharapkan dapat menjamin kelestarian benda budaya bersejarah Indonesia dari difusi dan transisi budaya. Lebih lanjut, musyawarah juga menganjurkan agar Indonesia bergabung dengan International Council of Museum (ICOM) yang berpusat di Paris dan disponsori oleh UNESCO.


Dengan menjadi anggota ICOM, Indonesia dapat menjalin hubungan kebudayaan dengan negara-negara anggota. Hal ini akan dapat mempermudah usaha-usaha pengembalian benda-benda bersejarah Indonesia.



Wacana-wacana tersebut tampaknya baru membuahkan hasil pada 2 September 1970, ketika Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke Belanda. Dalam kunjungan tersebut, bersamaan dengan resepsi kenegaraan di Huis Ten Bosch, Ratu Juliana menyerahkan keropak Negarakrtagama.


"Tidak lupa sebuah buku tua yang bernama Negara Kertagama diberikan kepada Soeharto setelah buku yang memang berasal dari Indonesia itu tersimpan lama di Leiden," tulis majalah Ekspress, 19 September 1970.


Namun, penyerahan tersebut agaknya hanya simbolis. Pasalnya, keropak Negarakrtagama baru benar-benar berada di tanah air pada 1972.


Arca Prajnaparamita, salah satu masterpiece Museum Nasional, dikembalikan Belanda pada 1978. (Wikipedia).
Arca Prajnaparamita, salah satu masterpiece Museum Nasional, dikembalikan Belanda pada 1978. (Wikipedia).

Pada 1978, Museum Pusat (kini Museum Nasional) dalam rangka ulang tahun yang ke-200, mengadakan pameran berbagai benda koleksinya. Secara khusus pameran tersebut menampilkan benda-benda bersejarah yang berhasil dikembalikan dalam rangka kerja sama kebudayaan antara pemerintah Indonesia dan Belanda.


Salah satu benda primadona dalam pameran ini adalah arca Prajnaparamita dari salah satu candi Kerajaan Singhasari.


Menurut katalog Pameran Peringatan Ulang Tahun ke-200 Museum Pusat arca ini dikembalikan oleh Belanda melalui Duta Besar Indonesia untuk Belanda Sutopo Yuwono pada 1978.



Awalnya arca ini diserahkan kepada seorang sarjana Belanda bernama Reinwardt oleh asisten residen D. Monnerau, untuk disumbangkan kepada salah satu museum di Belanda pada 1819. Arca ini berada di Belanda selama satu setengah abad sejak diangkut ke Leiden pada 1823.


Bersamaan dengan pengembalian arca tersebut, Belanda juga memulangkan tiga buah benda yang pernah digunakan oleh Pangeran Diponegoro, yaitu sebuah payung kehormatan, tombak dan pelana kuda. Selain itu terdapat 237 benda berharga dari Puri Cakaranegara, Lombok, hasil jarahan pada Perang Lombok 1894.



Pada 2017, 37 tahun pasca pengembalian yang cukup besar itu, bersamaan dengan pembukaan pameran "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini" di Galeri Nasional, sebuah tongkat milik Pangeran Diponegoro dikembalikan.


Mengutip National Geographic Indonesia, tongkat bernama Kanjeng Kyai Cokro itu telah disimpan selama 181 tahun oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1833-1834, Jean Chretien Baud.


Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dengan Direktur Rijkmuseum Taco Dibbits usai pertemuan membicarakan pengembalian benda seni bersejarah dari Belanda ke Indonesia, 17 Mei 2019. (Dok. Bonnie Triyana).
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dengan Direktur Rijkmuseum Taco Dibbits usai pertemuan membicarakan pengembalian benda seni bersejarah dari Belanda ke Indonesia, 17 Mei 2019. (Dok. Bonnie Triyana).

Setelah kembalinya 1.500 benda bersejarah akhir 2019, kini pemerintah Indonesia tengah melakukan pembahasan dengan Nationaal Museum van Wereldcultuturenterkait repatriasi gelombang selanjutnya. Ada tiga museum yang mengajukan repatriasi yakni Rijks Museum, Tropen Museum, dan Volkenkunde Museum.



Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid dalam konferensi pers di Museum Nasional pada 2 Januari 2020, menyebut repatriasi selanjutnya masih berada pada tahap diskusi, terutama dengan museum Kerajaan Belanda, Rijks Museum.


"Bulan Mei 2019 jumpa dengan direktur Rijks Museum mendiskusikan ini. Sebentar lagi akan ada workshop-workshop untuk meneruskan pembicaraan ini. Pengembalian apa yang di Belanda sekarang disebut roofkunst, benda-benda bersejarah dan benda kesenian yang diperoleh dengan cara tidak pantas," kata Hilmar Farid.


Tim Indonesia yang terlibat dalam pembahasan pengembalian benda seni bersejarah dengan pihak Rijksmuseum. Dari kiri ke kanan: Nusi Lisabila Estudiantin dari Museum Nasional Indonesia, sejarawan Bonnie Triyana, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Belanda Din Wahid, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, dan politikus Heri Akhmadi. (Dok. Bonnie Triyana).
Tim Indonesia yang terlibat dalam pembahasan pengembalian benda seni bersejarah dengan pihak Rijksmuseum. Dari kiri ke kanan: Nusi Lisabila Estudiantin dari Museum Nasional Indonesia, sejarawan Bonnie Triyana, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Belanda Din Wahid, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, dan politikus Heri Akhmadi. (Dok. Bonnie Triyana).

Hilmar menyebut, proses repatriasi ini akan memakan waktu cukup lama karena perlu kajian lebih dalam hingga dilanjutkan ke pemilihan barang-barang yang akan dikembalikan ke Indonesia.


"Karena untuk menentukan mana barang yang benar-benar diambil dengan cara dijarah juga tidak mudah," imbuhnya.


Hilmar juga menambahkan bahwa "demam" repatriasi memang tengah menjadi pembicaraan hangat di berbagai negara di Eropa. Negara-negara tersebut berupaya melakukan dekolonialisasi rak-rak museum dan mengembalikan barang jarahan kepada negara bekas jajahan.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page