top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mengingat Kembali Sanento Yuliman

    Dalam dunia seni, orang seringkali menyematkan kata maestro pada seorang seniman yang memang telah punya nama besar atau masyur karya-karyanya. Namun, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam program pameran maestro seni rupa, mengangkat sebuah nama dalam dunia seni rupa yang barang kali jarang dibicarakan: Sanento Yuliman. Sanento Yuliman sebenarnya juga seorang pelukis, kartunis, dan penyair. Tetapi, Sanento sebagai kritikus, memiliki tempat sendiri dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sanento telah turut menghidupkan dunia seni rupa Indonesia, melalui esai-esai, skripsi, dan disertasinya. Kumpulan arsip dan karya Sanento tengah dipamerkan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pameran bertajuk "Mengingat-Ingat Sanento Yuliman" ini berlangsung hingga 15 Januari 2020. Sanento Muda Sanento Yuliman lahir di Jatilawang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada 14 Juli 1941. Dia masuk Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1960 dan lulus pada 1968 dengan skripsi berjudul Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Lukis Indonesia. Skripsinya mendapat Anugerah Hamid Bouchoureb dari Seni Rupa ITB. Ketika masih mahasiswa, Sanento aktif sebagai kartunis. Pada 1966, dia mengikuti pameran dan mengurus rubrik kebudayaan pada mingguan Mahasiswa Indonesia . Lalu pada 1967, dia menjadi kartunis di Mimbar Demokrasi . Selain membuat kartun, dia juga menulis puisi. Puisinya, Laut meraih penghargaan majalah Horizon  pada 1968. Majalah sastra itu juga memberi penghargaan pada esai Sanento berjudul Dalam Bayangan Sang Pahlawan . Esai tersebut menjadi salah satu tulisan Sanento yang terkenal. Merupakan satir atas narasi sejarah kepahlawan Indonesia yang disebutnya sangat teatral. Yang harus memenuhi syarat-syarat teater yang agung, dramatis, dan fiktif. "Kepahlawanan adalah konsep teatral. Menganjur-anjurkan, menghidup-hidupkan, dan membesar-besarkan kepahlawan di Indonesia berarti kita harus menyiapkan Indonesia menjadi suatu teater," tulis Sanento. Sanento mengaitkan masalah heroisme itu dengan gerakan massa, fanatisme, dan persoalan individualitas. Pada paragraf terakhir, dia mengatakan, "adalah bangsa yang besar bangsa yang dapat menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa." Sumbangan Terhadap Seni Rupa Pada 1969, Sanento kembali ke almamaternya di Seni Rupa ITB untuk mengajar. Kemudian pada 1972 hingga 1974, dia menjadi anggota redaksi majalah Horizon . Pada 1975, dia aktif dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GRSBI). Dan pada tahun yang sama, dia juga menjadi pengurus dan penulis Galeri Pop Art di majalah Aktuil . Sanento menulis buku Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar . Sayangnya, menurut kurator pameran Hendro Wiyanto, gagasan-gagasan Sanento hingga sekarang hanya berhenti sebagai pengantar. "Lagi-lagi naskah itu tetap menjadi naskah dan tidak pernah menjadi apa-apa, tidak banyak orang yang membaca sungguh-sungguh tulisan Sanento," sebutnya. Sanento melanjutkan studi doktoral di Universitas Montpellier, Prancis. Dia menyelesaikan studinya pada 1981. Disertasinya berjudul Asal Mula Seni Lukis Kontemporer Indonesia: Peran S. Sudjojono  (Genese De Lo Peinture Indonesienne Contemporaine: Le Role De S. Sudjojono) dibimbing oleh sejarawan Denys Lombard. Sanento kemudian pulang ke Indonesia dan menulis makalah Apresiasi Seni Lukis: Jika Cakrawala Diperluas . Pada 1982, dia menulis buku G. Sidharta di Tengah Seni Lukis Indonesia  bersama Jim Supangkat. Dia juga menulis makalah Dua Seni Rupa pada 1984. Namun, sama seperti sebelumnya, tulisan-tulisan Sanento belum mendapat respons dari seniman maupun kritikus setelahnya. "Lagi-lagi juga kita tidak pernah sungguh-sungguh bertanya, Dua Seni Rupa  yang dimaksud oleh Sanento Yuliman itu sebenarnya apa," terang Hendro. "Jadi saya setuju sepenuhnya dengan apa yang dikatakan oleh Sanento bahwa seni rupa Indonesia masuk ke dalam suasana 'segala sesuatu menjadi legenda' dan kita tidak pernah bertanya apa-apa," lanjutnya. Membaca Kembali Melalui pameran ini, Danuh Tyas Pradipta, anak Sanento yang juga menjadi kurator dalam pameran ini menyebut banyak hal yang bisa disampaikan lewat arsip ayahnya. "Lebih kepada jejak-jejak yang mungkin itu personal atau intelektual. Dan tentunya pemikiran Sanento dari mulai hal kecil sampai yang mungkin terasa besar dan berat seperti dalam skripsi atau disertasinya," kata Danuh. Dari karya-karya itu, Danuh berharap muncul respons yang menghidupkan kembali gagasan-gagasan Sanento maupun muncul perdebatan-perdebatan lain darinya. "Saya pikir, sebuah pameran lagi-lagi seperti Pak Hendro bilang bukan hanya masalah produksi karya seni tetapi juga yang lebih penting dari itu juga pembacaan dan pemaknaan terhadap karya-karya seni dan fenomena seni rupa itu sendiri. Itu kemudian yang tidak kalah penting dalam dunia seni rupa kita," ujarnya. Hendro menambahkan, "kami berharap bahwa 'Mengingat-ingat Sanento Yuliman' mendorong kita bukan hanya sekadar mengingat tetapi juga membaca kembali, mengkaji kembali, dengan pikiran Sanento." Bersamaan dengan pembukaan pameran ini, DKJ juga meluncurkan tiga buku Seri Wacana Seni Rupa, Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa Oei Sian Yok (1956-1961) , Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-2019)  oleh Bambang Bujono, dan Estetika yang Merabunkan: Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992)  oleh Sanento Yuliman. Sanento pernah mendapat Anugerah Adam Malik atas sumbangsihnya sebagai kritikus seni rupa pada 1984. Sejak tahun itu juga dia aktif menulis di majalah Tempo . Kemudian pada 1990, dia menulis tiga rangkaian esai Ke Mana Seni Lukis Kita? Sanento kemudian juga terlibat dalam pengembangan Yayasan Seni Rupa Indonesia (YASRI). Dua tahun setelahnya, pada 1992, Sanento meninggal dunia karena pendarahan otak, meninggalkan istri dan tiga orang anaknya.

  • SAMBO, Seni Beladiri dari Negeri Tirai Besi

    SEA Games 2019 Filipina meninggalkan banyak kesan negatif. Khusus buat Indonesia, ia meninggalkan banyak catatan yang perlu ditangani segera. Selain target berada di peringkat dua klasemen akhir tak terpenuhi, prestasi atlet-atlet kita buruk di kategori olahraga atletik dan akuatik. Cabang sepakbola putra yang awalnya digadang-gadang bakal membuahkan prestasi, berakhir jeblok. Beruntung, cabang olahraga SAMBO memberi kita prestasi. “Kita awalnya target satu medali emas. Tapi kita bisa bawa pulang empat emas. Terlepas dari anggaran persiapan kita salah satu yang terkecil dan pelatnas lima bulan di Puncak, Bogor,” ujar Ketum PP Persambi Krisna Bayu kepada Historia. Empat emas itu diraih Ridha Wahdaniyaty Ridwan dari kategori sport 80kg putri, Fajar di combat 57kg putra, Seni Kristian di combat 90kg putra, serta Desiana Syafitri, Emma Ramadinah, Erik Gustam, dan Rio Akbar Bahari di kategori mixedteam (beregu campuran). Ditambah sekeping perak dari Jasono Fitono Sim (perak, combat 82kg putra) serta dua perunggu dari Rio Bahari (sport 82kg putra) dan Deni Arif Fadhillah (combat 74kg putra, Indonesia jadi juara umum di cabang SAMBO. Para atlet SAMBO Indonesia yang membawa pulang 4 emas, 1 perak & 2 perunggu di SEA Games 2019 (Foto: Dok/Facebook Krisna Bayu) Capaian itu tentu layak dibanggakan mengingat baru di SEA Games kali ini SAMBO menyumbang medali kepada kita. Di Asian Games 2018, SAMBO juga sudah dimainkan sebagai cabang resmi, namun tak satupun dari delapan atlet kita yang mendapatkan medali. Juara umumnya kala itu Kazakhstan, salah satu negara pecahan Uni Soviet, dengan dua emas dan tiga perunggu. Mongolia, Uzbekistan, Tajikistan, dan Jepang berturut-turut mengikuti di belakangnya. Tak heran bila tiga dari lima besar itu ditempati negara-negara pecahan Soviet. Seni beladiri SAMBO memang berasal dari negeri “Tirai Besi”. Dari Judo Lahirlah SAMBO Melihat pertandingan SAMBO kategori Sport, Combat, dan Mixed Team, terlihat nyaris tak ada bedanya dengan beladiri-beladiri berintikan gerakan bantingan seperti judo, gulat, jiu-jitsu, atau kurash. Menurut Krisna, bisa dikatakan teknik bantingan dan kuncian SAMBO memang serupa dengan yang digunakan di beladiri-beladiri itu. “Soal bantingan, judo, kurash, gulat, SAMBO seratus persen sama. Di pertarungan ground -nya di kategori sport maupun combat juga seratus persen sama. Di combat, semua olahraga yang menggunakan pukulan dan tendangan adalah sama. Di kategori ini juga ada gerakan cekikan. Jadi SAMBO benar-benar olahraga mix atau campuran,” ujar maestro judo Indonesia era 1990-2000-an itu. Ketum PP Persambi Krisna Bayu saat ditemui di kantornya berbincang mengenai SAMBO Indonesia (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Persamaan itu wajar karena SAMBO memang diciptakan dari modifikasi judo. Adalah Vasili Sergeyevich Oshchepkov, mata-mata Uni Soviet pada 1920-an, yang menciptakannya. Bersama praktisi beladiri Viktor Spiridonov, Oshchepkov mengembangkannya secara terpisah di kalangan Tentara Merah dengan tambahan modifikasi dari gulat dan jiu-jitsu. Lantaran dikembangkan secara terpisah itulah SAMBO kini bercabang menjadi dua kategori: sport dan combat. Kiprah Oshchepkov bermula dari penugasannya ke Tokyo pasca-kekalahan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang tahun 1905. Selain ditugaskan untuk mempelajari judo, Oshchepkov juga ditugasi menjadi mata-mata. Di sanalah Oshchepkov mempelajari judo dan jiu-jitsu dengan masuk klub judo Azabu yang bernaung di bawah Resimen Infantri I Tentara Kekaisaran. Oshchepkov lalu membawa judo dan jiu-jitsu ke kalangan militer Soviet pada 1927. “Dia memuat sebuah artikel: ‘Jiu-jitsu Jepang masuk Tentara Merah’ di suratkabar militer Krasnoarmeyskaya Zvezda (30 September 1927), di mana ia menuangkan pemikiran akan relevansi pertarungan jarak dekat dalam perang modern,” sambung Thomas A. Green dan Joseph R. Svinth dalam Martial Arts of the World: An Encyclopedia of History and Innovation, Volume I . Sementara di sisi lain, Spiridonov juga mengembangkan jiu-jitsu di klub olahraga Dynamo, milik NKVD (Polisi Istimewa Soviet), yang dipimpinnya. Bedanya, Spiridonov mempelajari jiu-jitsu via literatur, bukan dari instruktur Jepang langsung, lantaran memang kala itu masih berlaku aturan ketat pelarangan olahraga asing diterapkan di Soviet. Vasili Sergeyevich Oshchepkov (kiri) & Viktor Spiridonov, dua tokoh pelopor SAMBO di Uni Soviet (Foto: sport.sambo/samoz.ru) Keduanya lantas berkolaborasi pada 1923 hingga menciptakan beladiri baru bernama SAMBO. Nama SAMBO merupakan singkatan dari Samozashchita Bez Oruzhiya (beladiri tanpa senjata/tangan kosong). Namun, tak lama kemudian keduanya berseberangan jalan. Masing-masing pun memperkenalkan SAMBO secara terpisah. Oshchepkov di CDKA atau Mabes Tentara Merah, Spiridonov tetap di NKVD. Pada 1950, Soviet menggelar eksebisi internasional SAMBO pertama. Enam tahun kemudian, SAMBO diterima jadi bagian Fédération Internationale des Luttes Associées (FILA) atau federasi gulat internasional sebagai salah satu turunan gulat bebas. Namun baru tahun 1972 FILA merestui kejuaraan terbuka resmi pertama, di Riga, Latvia dan Kejuaraan Dunia SAMBO pertama di Tehran, Iran setahun berselang. Pada 13 Juni 1984 SAMBO memisahkan diri dari FILA untuk kemudian mendirikan federasinya sendiri, Fédération Internationale Amateur de SAMBO (FIAS), di Madrid, Spanyol. Sayangnya hingga kini SAMBO belum diterima sebagai cabang resmi olimpiade. Pembelokan Sejarah SAMBO Sebelum masuk ke pentas olahraga bertaraf internasional pada 1950-an, sejarah SAMBO sempat dibelokkan. Kisah tentang Oshchepkov dimarjinalkan dan Soviet membuat sejarah baru lewat SAMBO yang dibawakan praktisi Anatoly Arkadyevich Kharlampiyev. “Pendekatan risetnya sendiri harus menyerah pada tekanan pertimbangan ideologis, kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, serta simpati personal. Hasilnya adalah manipulasi fakta-fakta dan versi-versi berbeda tentang penciptaan SAMBO. Kini (setelah Soviet bubar, red. ) dokumen-dokumen pemerintah sudah bisa diakses publik dan banyak wawancara dengan saksi mata yang dikumpulkan. Hal itu memungkinkan rekonstruksi penciptaan SAMBO secara mendetail,” ungkap Thomas A. Green dan Joseph R. Svinth. Terlepas dari pengakuan dunia terhadap Oshchepkov dan Spiridonov sebagai pencipta SAMBO pasca-runtuhnya Soviet, faktanya Kharlempiyev berperan banyak dalam mengembangkan SAMBO. Sepeninggal Oshchepkov pada 1937 setelah ditangkap atas tuduhan mata-mata dan tewas di penjara, Kharlempiyev “memonopoli” pengembangan SAMBO. International SAMBO Tournament yang digelar secara terbatas di Moskva pada 1969 (Foto: sambo.sport/FIAS ) Saat jadi petinggi Komite Olahraga Soviet pada 1938, ia memasukkan SAMBO menjadi salah satu olahraga resmi dan menetapkan hari lahir SAMBO pada 16 November 1938. Saat berkiprah di Departemen Pendidikan Fisik Soviet pada 1953, Kharlempiyev meracik sistem dan regulasi baku SAMBO hingga dijuluki “Bapak SAMBO”. Julukan ini baru diralat setelah kisah tentang Oshchepkov dan Spiridonov dalam arsip Soviet dibuka pada 2000-an. Kharlempiyev kini digelari sebagai “Bapak SAMBO Modern”. Perbedaan SAMBO yang dikembangkan Kharlempiyev terletak pada banyaknya teknik gulat-greco dan gulat bebas –bukan judo– yang diadopsi. Maka ketika SAMBO mulai diperkenalkan ke luar secara terbatas pada 1950-an, para praktisi SAMBO enggan menyatakan SAMBO berakar dari judo. “Beberapa pejudo Jepang yang melihat aksi-aksi petarung SAMBO mengklaim bahwa seni beladiri itu meniru judo, bahwa 75 persen teknik SAMBO sama persis dengan judo. Namun para praktisi Rusia tak mengakui. Mereka bersikeras bahwa sama sekali tak ada pengaruh beladiri Jepang dalam SAMBO,” tulis majalah bulanan Black Belt edisi Februari 1967. Di era itupun SAMBO baru diperkenalkan terbatas di negara-negara Blok Timur seperti Hungaria, Bulgaria, Rumania, dan Jerman Timur. Sedari awal 1950-an, para atlet SAMBO Soviet pun lebih banyak berkiprah di ajang-ajang judo dan gulat. Belum sepenuhnya ajang resmi SAMBO. “Karena saat itu sebenarnya SAMBO belum benar-benar dikembangkan secara komplit. Para praktisi Rusia masih terus bereksperimen dengan teknik-tekniknya secara utuh untuk membuat sistem keseluruhan yang rasional dan lebih dekat dengan gulat ketimbang judo,” lanjut majalah itu. Oleh karena itu perkembangan SAMBO terbilang lambat dan masih terbatas di Eropa Timur. SAMBO baru benar-benar go -internasional setelah berdirinya FIAS yang diikuti berdirinya federasi serupa di Eropa, Asia, Amerika, Australia dan Oseania, dan Afrika. Meski belum masuk olimpiade, SAMBO sudah dipertandingkan secara resmi di Asian Games 2018 (Foto: sambo.sport/FIAS ) SAMBO Merambah Indonesia Di Indonesia, SAMBO baru populer pada 2006. Ir. Aji Kusmantri, wakil sekjen Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI) periode 1997-2014, jadi pionirnya. Aji jua yang lantas mendirikan Pengurus Besar Persatuan SAMBO Indonesia (PB Persambi). “Sebenarnya di awal 2000-an sudah ada orang Indonesia yang berlatih SAMBO, tapi memang tidak mengembangkan. Sekadar hobi saja. Mereka ini para mahasiswa Indonesia yang sebelumnya studi di Belanda. Dibawa ke Indonesia hanya dalam bentuk komunitas saja,” kata Aji kepada Historia saat dihubungi via telepon. “Resminya”, SAMBO datang ke Indonesia lewat Mr. Pulatov, pejabat polisi Rusia yang mengembangkan SAMBO di Uzbekistan sekaligus salah satu petinggi SAMBO Union of Asia. Misi yang dibawanya adalah untuk belajar dari padepokan judo Indonesia di Ciloto untuk kemudian diadopsi untuk mendirikan perguruan SAMBO di Uzbekistan sekaligus untuk lebih mengglobalkan SAMBO agar bisa masuk cabang resmi olimpiade. “Mulanya Mr. Pulatov itu bersurat ke Kemenpora tapi enggak direspon. Lalu dia kontak pengurus judo Singapura yang juga teman saya, Gerard Lim. Dari teman saya itu yang memberikan kontak saya kepada Mr. Pulatov,” tambahnya. Setelah kontak tersambung, Pulatov menemui Aji untuk kemudian diantarkan ke Kemenpora. “Saya bawa ke Almarhum Pak Latif, orang Kemenpora. Tapi karena dari Kemenpora melihatnya ini barang (baca: olahraga) baru, mereka enggak begitu komentar banyak. Indonesia ini negara ke sekian yang didatangi Pulatov. Cita-citanya agar SAMBO masuk olimpiade,” lanjut Aji yang lantas mendirikan PB Persambi pada 2006. “Pak Aji melihat olahraga SAMBO ini bakal berkembang. Makanya dia ikut mempelopori-lah. Tapi 13 tahun mati suri. Karena belum adanya kesamaan visi-misi dengan Pak Aji, terus saya ambil alih. Saya ingin Persambi ini ada legalitasnya karena waktu itu belum ada,” sambung Krisna. Krisna Bayu memimpin PP Persambi sejak 2017 yang berharap SAMBO sudah akan dipertandingkan secara resmi di PON 2024 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Krisna mengubah sedikit nama menjadi PP (Pengurus Pusat) Persambi. Pada musyawarah nasional tahun 2017, Krisna terpilih menjadi ketua umumnya. “Memang sempat clash dengan Pak Aji, namun kita berdua membuat kesepakatan. Karena sebuah organisasi kan harus ada landasan hukumnya, harus punya legalitas,” tambahnya. Meski sudah diikutkan dalam Asian Games 2019, PP Persambi baru resmi menjadi anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada Juni 2019. Itupun, aku Krisna, setelah sempat tiga kali ditolak menjadi anggota. “Banyak alasanlah waktu itu. Tapi akhirnya kita dilantik jadi anggota KONI dan KOI itu Juni 2019. Kini kita sudah punya 27 pengurus provinsi. Dengan hasil SEA Games ini (4 emas, 1 perak, 2 perunggu), saya akan berusaha untuk masuk eksebisi PON (Pekan Olahraga Nasional) 2020. Harapannya di PON 2024 sudah include di dalam PON sebagai cabang resmi,” tandas Krisna.

  • Pajak Kasino untuk Pembangunan Jakarta

    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap sejumlah kepala daerah yang menyimpan uang puluhan miliar di kasino luar negeri. “PPATK menelusuri transaksi keuangan beberapa kepala daerah yang diduga melakukan penempatan dana dalam bentuk valuta asing dengan nominal setara Rp50 miliar ke rekening kasino di luar negeri,” kata Kiagus Ahmad Badaruddin, ketua PPATK, di kantor PPATK, Jumat (13/12/2019), dikutip cnnindonesia.com . Kepala daerah dan kasino mengingatkan kita pada Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977). Dia mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan melegalkan judi dan memajakinya untuk mendapatkan dana pembangunan.  Di awal menjabat, Ali Sadikin terkejut ketika mengetahui APBD DKI Jakarta hanya Rp66 juta sudah termasuk hasil pungutan pajak daerah dan subsidi dari pemerintah pusat. Dia meminta kepada pejabat senior pemerintah DKI Jakarta mencari jalan untuk menambah anggaran pendapatan. Wardiman Djojonegoro, kepala Biro II yang membawahi dinas kehumasan dan keprotokolan, membuka-buka beberapa peraturan pemerintah yang kebanyakan masih berbahasa Belanda. Dia kemudian menemui Djoemadjitin, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, dan menunjukkan kepadanya peraturan pemerintah Belanda yang termuat pada Staatsblad  (Lembaran Negara). Peraturan kolonial yang dimaksud adalah Statsblad  tahun 1912 No. 230 dan Statsblad  tahun 1935 No. 526. Statsblad  itu kemudian dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Undang-Undang No. 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yang memberikan wewenang kepada kepala daerah untuk memungut pajak perjudian. “Di situ tertulis, pendanaan bisa saja diperoleh dari sumber tidak resmi, tidak dari APBD provinsi. Pak Djoemadjitin mengatakan dulu Volksraad atau Dewan Rakyat menyetujui dana yang diperoleh dari pajak perjudian. Dia lalu melapor ke Ali Sadikin bahwa ada peraturan daerah yang menyatakan bisa memungut pajak dari izin perjudian,” kata Wardiman dalam Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa . “Apakah masih berlaku dan legal?” tanya Ali Sadikin. “Masih Pak, legal,” jawab Djoemadjitin. “Baiklah saya akan menertibkan perjudian, dan dari judi saya akan memungut pajak,” kata Ali Sadikin. Sayembara Menulis Keputusan Ali Sadikin menertibkan perjudian dan memungut pajaknya mendapat dukungan dari tulisan pemenang sayembara mengarang yang diselenggarakan pemerintah daerah DKI Jakarta. Lomba mengarang dalam rangka memperingati hari ulang tahun ke-440 tahun DKI Jakarta itu bertema “Mengatasi Problematik Pendidikan SD di Ibu Kota Jakarta” pada 14 Agustus 1967. Pemenang pertama sayembara itu adalah Christianto Wibisono, wartawan harian KAMI . Dia yang kelak menjadi pengamat ekonomi memenangkan hadiah dua sepeda motor: satu untuk dirinya, satu lagi untuk koran KAMI , tempat karangannya dimuat. “Saya mengusulkan lokalisasi perjudian sebagai sumber pembiayaan inkonvensional dalam tulisan di harian KAMI . Tulisan itu memenangkan hadiah pertama, dan usul saya dilaksanakan langsung,” kata Christianto dalam tulisannya di buku Empu Ali Sadikin Delapan Puluh Tahun . Dalam tulisannya, Christianto mengusulkan agar pemerintah DKI Jakarta melegalkan kasino dan memajakinya sebagai sumber dana untuk membangun gedung sekolah dasar bagi 600.000 anak usia sekolah yang terancam tidak bisa sekolah. APBN pemerintah pusat tidak ada karena sekolah dasar memang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, sementara APBD DKI Jakarta defisit. "Jadi, kalau tidak ada pendapatan dari sumber inkonvensional, ya akan telantarlah 600.000 anak usia SD, tidak bisa bersekolah di ibu kota Republik Indonesia," tulis Christianto. Pada 26 Juli 1967 Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan yang melarang perjudian gelap di wilayah DKI Jakarta. Dua bulan kemudian, dia meresmikan kasino pertama di Petak Sembilan No. 52 dengan pelaksana Atang Latief dan pemodal Dadi Darma (Yauw Foet Sen), ayah Jan Darmadi. “Kadang-kadang saya merasa ‘menyesal’, mengapa saya tidak langsung saja minta saham kosong kepada Dadi Darma sebagai imbalan atas ‘jasa’ mengusulkan kasino yang mengorbitkannya jadi konglomerat sejak 1967, sebelum Liem Sioe Liong bergerak mendirikan pabrik tepung terigu Bogasari,” kata Christianto. Namun, lanjut Christianto, seandainya diberi saham kosong dan menjadi komisaris kasino, barangkali kinerja sebagai jurnalis akan steril dan tidak akan jadi salah satu pendiri majalah Tempo  (1971) dan kemudian pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) pada 1980. Pajak Judi untuk Pembangunan Kebijakan Ali Sadikin melegalkan judi ditentang banyak orang. Bila ada kesempatan memberikan sambutan, dia menjelaskan bahwa dia sendiri sadar itu tidak benar menurut ajaran agama apa pun, tetapi kenyataannya judi itu ada dan sulit diberantas. "Saya habis-habisan dicaci maki. Karena itu, saya disebut gubernur judi, gubernur maksiat," kata Ali Sadikin dalam Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab .     Ali Sadikin mengakui sebenarnya benci judi, tetapi waktu itu ada judi liar dan dia butuh uang untuk pembangunan. Saat itu, ada enam tempat judi ilegal yang di belakangnya ada oknum-oknum tentara. "Saya panggil muspida, saya beritahu, saya perlu uang untuk sekolah, untuk ini, untuk ini, untuk ini. Pinjam dari bank tidak boleh. Dari luar negeri tidak boleh. Ini ada sumber uang, akan saya ambil. Dan ada undang-undang yang membenarkan saya sebagai gubernur memberikan izin judi. Saya ambil pajaknya untuk biaya membangun Jakarta," kata Ali Sadikin. Dengan melegalkan judi, Ali Sadikin juga dapat mencegah para penjudi pergi ke luar negeri. "Judi ini saya atur hanya untuk kalangan tertentu. Saya pikir, untuk apa mereka menghambur-hamburkan uang di Makau. Lebih baik untuk pembangunan di Jakarta saja," kata Ali Sadikin dalam biografinya, Bang   Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H. Menurut Christianto, dari pajak kasino pemerintah DKI Jakarta memperoleh surplus dana yang berfungsi sebagai dinamo pembangunan untuk pelbagai bidang, bukan hanya untuk gedung-gedung sekolah. "Bidang kesenian memperoleh dana yang cukup besar untuk membangunan fasilitas PKJ (Pusat Kesenian Jakarta) di kompleks bekas kebon binatang Cikini. Fasilitas fisik kesenian di Taman Ismail Marzuki itu sangat megah mengingat kondisi ekonomi makro Indonesia waktu itu (1968)," tulis Christianto. Ali Sadikin mengklaim telah membangun 2.400 gedung sekolah, lebih dari 1.200 kilometer jalan raya, memperbaiki kampung, membina pusat kesehatan, masjid, dan penghijauan dengan uang sendiri. "Sebagiannya adalah hasil judi," kata Ali Sadikin.  Di awal menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin hanya memiliki APBD sebesar Rp66 juta. Dia berhasil meningkatkannya di antaranya dengan pajak judi. Sebelas tahun kemudian, dia meninggalkan APBD kepada penggantinya, Tjokropranolo, sebesar Rp116 miliar. "Kerja, kerja, kerja. Cari uang untuk rakyat, termasuk (dari pajak) judi," kata Ali Sadikin.

  • Menelaah Bocoran Dokumen Rahasia "Penahanan" Uighur

    SEHABIS membaca keseluruhan dokumen rahasia soal "kamp konsentrasi" Uighur di Xinjiang yang pada 23 November 2019 dibocorkan Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) yang bekerja sama dengan 17 media dari 14 negara, barangkali bisa dimaklumi jika juru bicara pemerintah Xinjiang, dalam wawancara eksklusifnya dengan surat kabar Tempo Global ( Huanqiu Shibao , 3/12/2019), dongkol menyebut pemberitaan tentang itu tidak hanya "memutarbalikkan hitam dan putih" ( dian dao hei bai ) tetapi juga "ngawur tidak memedulikan fakta yang ada" ( xin kou ci huang ).

  • Para Pramugari Garuda di Sisi Sukarno

    Kecantikan dan aura pramugari memang bisa mempesona siapa saja. Karyawati yang menjadi kru pesawat ini dilatih untuk melayani penumpang. Selain piawai melayani penumpang, pramugari juga dituntut berpenampilan menarik. Bertubuh jenjang semampai, pintar, mampu berbahasa asing, dan jago berdandan biasanya kualifikasi yang harus dimiliki setiap pramugari.  Figur sekaliber Presiden Sukarno pun pernah kecantol dengan pramugari. Perempuan itu bernama Kartini Manoppo, gadis asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Pertemuan pertama Sukarno dan Kartini Manoppo berlangsung di atas udara dalam suatu penerbangan pada 1958. Bung Karno menumpang pesawat Garuda menuju Malang untuk meresmikan proyek pabrik tenun di Batu Ceper. Di saat yang sama, Kartinilah yang menjadi pramugarinya. Tiada kesan istimewa dalam pandangan pertama, kecuali Kartini mendapat kenang-kenangan berupa sehelai kain tenun Malang dari Bung Karno usai penerbangan itu. Selain berprofesi sebagai pramugari Garuda, Kartini juga seorang model. Dia pernah dilukis oleh pelukis sohor Basuki Abdullah. Pada 1959, Basuki Abdullah mengadakan pameran yang dihadiri Presiden Sukarno. Saat itulah Sukarno melihat wajah cantik Kartini terlukis dalam kanvas Basuki Abdullah. Sukarno kesengsem lalu jatuh hati. Atas permintaan Bung Karno, Kartini yang sudah berhenti dari Garuda langsung ditempatkan di pesawat resmi kepresidenan Dolok Martimbang. Mulailah Kartini mendampingi Sukarno dalam setiap penerbangan ke berbagai tempat. Hingga suatu ketika, Sukarno menyatakan cintanya kepada Kartini sembari menyatakan niatan untuk mengambilnya sebagai istri. “Bung Karno meminang saya dalam keadaan sebagai manusia biasa. Bung Karno tidak memaksa. Ia meminta dengan tutur kata yang sopan, dengan senyum dan pandangan mata yang sulit untuk saya lupakan sampai sekarang ini,” tutur Kartini Manoppo dalam majalah Info  No. 78, 31 Juli 1978. Pernikahan Sukarno dengan Kartini menghasilkan buah hati bernama Totok Suryawan. Kendati demikian, Totok tidak sempat melihat ayahnya. Situasi politik memaksa Kartini melahirkan di luar negeri. Totok lahir di Jerman pada 1967 saat Sukarno berada di penghujung kekuasaan. Irma yang Menolak Jurus cinta Sukarno terhadap pramugari yang ditaksir tidak selamanya manjur.  Irma Ottenhoff Mamahit adalah pramugari Garuda asal Minahasa lainnya yang ditaksir oleh Bung Karno. Seperti umumnya perempuan Minahasa, Irma memiliki paras manis. Dia diterima sebagai pramugari pesawat kepresidenan Dolok Martimbang pada awal 1960. Bung Karno menyadari keberadaan Irma. Dalam suatu kesempatan, Irma pernah mendapati bahwa sang presiden mengagumi dirinya. Irma tampil anggun dengan mengenakan kebaya. “Irma, kau cantik sekali. Selalu kau pakai kain kebaya, dan pakaian nasional itu membuat pribadimu tampak lebih cantik,” kata Bung Karno, ditirukan Irma, dalam wawancaranya kepada Kartini  edisi 6-19 Agustus 1979.    Berkali-kali terbang bersama, Sukarno pun kecantol. Sayangnya, Irma enggan membalas perasaan Sukarno. Irma mengatakan tidak tertarik dengan pria yang usianya jauh lebih tua seperti Bung Karno. Dia juga tidak bersedia masuk dalam deretan istri-istri Sukarno. Kendati demikian, setelah menolak Sukarno, Irma malah menerima pinangan dari seorang duda yang usianya jauh diatasnya. Hal ini tentu saja bikin Bung Karno kecewa. Calon Berikutnya: Baby Huwae   Selain Kartini Manoppo dan Irma Ottenhof, ada lagi Baby Huwae. Nama lengkapnya Baby Constance Irene Theresia Huwae. Baby memiliki darah campur keturunan Jawa, Maluku, dan Jerman. Dia masih terhitung keponakan Menteri Kesehatan Gerrit Siwabessy. Perkenalan Baby dengan Sukarno bermula di Bandung, pada1958. Saat itu, Baby di usianya yang masih SMP menjadi peragawati dalam peragaan batik sekalgus pembukaan taman hiburan dan kolam berenang Karang Setra di Bandung. Dalam pertemuan itu, Baby belum berprofesi sebagai pramugari. Namun Bung Karno sudah terpikat melihat Baby yang masih belia. Bertahun berselang, nama Baby melambung sebagai selebriti tanah air setelah sukses membintangi film Asrama Dara karya sineas kenamaan Usmar Ismail. Bung Karno lantas memanggil Baby sowan ke Istana. Kepada Baby, Bung Karno menanyakan apa cita-citanya yang langsung dijawab oleh sang gadis: pramugari. Menyadari potensi dan kecantikannya, Bung Karno menawarkan kesempatan kepada Baby untuk menjajal karier sebagai pramugari di pesawat kepresidenan Dolok Martimbang. Kendati mendapat fasilitas berupa jalur pintas dari presiden, langkah Baby berkiprah di Dolok Martimbang terkendala. Orang tuanya menginginkannya merampungkan sekolah lebih dahulu. Impian itupun akhirnya harus pupus. “Sejarah berkata lain,” ujar Baby Huwae dikutip Erka dalam Bung Karno: Perginya Seorang Kekasih, Suamiku, dan Kebangganku,  “Karena orang tua tidak setuju maka saya tak jadi pramugari dan juga tak jadi terus main film.” Meski mereka gagal terbang bersama, Sukarno memberikan nama Indonesia bagi Baby Huwae: Lokita Purnamasari.

  • Medali Kehormatan Pahlawan Perang Vietnam yang Dipertanyakan

    SEIRING hengkangnya mentari dari ufuk barat pada 11 April 1966, situasi kian mencekam. Parameter yang dibuat serdadu Angkatan Darat (AD) Amerika Serikat (AS) mulai jebol. Desingan peluru Viet Cong makin gencar. Bill ‘Pits’ Pitsenbarger (diperankan Jeremy Irvine), paramedis Angkatan Udara (AU) Amerika, memilih turut bertahan dan memanfaatkan upaya evakuasi terakhir dengan helikopter untuk koleganya yang terluka. Ia turut angkat senjata bersama segelintir pasukan Amerika yang tersisa hingga dini hari 12 April 1966. Saat tim evakuasi Amerika mendatangi lokasi itu lagi esok paginya, mayat-mayat serdadu Amerika bergelimpangan. Pits salah satunya. Tiga dekade berselang, pengajuan anugerah Medal of Honor –medali kehormatan tertinggi untuk anggota militer AS– untuk mendiang Pits muncul. Tugas me -review  sebelum sang pahlawan dianugerahi penghargaan jatuh kepada birokrat Kementerian Pertahanan Amerika di Pentagon Scott Huffman (Sebastian Stan), sebelum penghargaannya diserahterimakan ke Frank Pitsenbarger (Christopher Plummer), ayah mendiang Pits. Dalam penyelidikannya, Huffman menemukan banyak hal ganjil tentang Operasi Abilene, operasi yang dilancarkan para petinggi militer AS seiring gugurnya Pits dan sejumlah anggota pasukan AD Amerika dari Kompi C, Batalyon II, Resimen Infantri ke-16. Operasi itu menuntun mereka pada Pertempuran Xa Cam My (11-12 April 1966), salah satu pertempuran paling berdarah di Perang Vietnam. Jalan Huffman berliku dari saat menyelidiki sejumlah arsip rahasia hingga wawancaranya pada sejumlah veteran Perang Vietnam, mulai dari rekan mendiang Pits maupun mereka yang pernah diselamatkan Pits dalam pertempuran itu. Pits saat itu menyelamatkan 60 anggota Kompi C, di antaranya Ray Mott (Ed Harris), Tully (William Hurt), Jimmy Burr (Peter Fonda), dan Takoda (Samuel L. Jackson). Begitulah sinopsis film The Last Full Measure karya sutradara Todd Robinson. Premier film berdurasi 110 menit itu sudah tayang di hadapan sejumlah veteran Perang Vietnam di Westhampton Beach, 19 Oktober 2019. Pun begitu, The Last Full Measure baru akan diputar resmi di bioskop-bioskop pada 24 Januari 2020. Jeremy Irvine (kanan) yang memerankan mendiang peraih Medal of Honor Bill Pitsenbarger (Foto: IMDB/The Airmen Memorial Museum) The Last Full Measure bukan melulu perang. Lewat film yang terinspirasi dari kisah nyata ini Robinson juga ingin menghadirkan kenyataan meski tetap bakal sarat bumbu dramatisasi. Terutama, tentang mengapa dibutuhkan waktu tiga dekade untuk seorang pahlawan dianugerahi Medal of Honor. Selain itu, konspirasi apa yang membuat namanya begitu lama terpendam dalam lemari arsip Pentagon. Kecuali Pits, orangtuanya, dan Menteri Angkatan Udara Frederick Whitten Peter (Linus Roache), hampir semua karakter di The Last Full Measure tak dihadirkan dengan identitas tokoh aslinya. Siapa Bill Pitsenbarger? Pits lahir di Piqua, Ohio, Amerika pada 8 Juli 1944 dengan nama William Hart Pitsenbarger. Anak semata wayang Frank dan Irene Pitsenbarger ini sejak kecil anak yang tak bisa diam. Malang-melintang di banyak kegiatan olahraga, Pits lalu ingin masuk pasukan elit AD Amerika Green Berets, bahkan sebelum lulus pendidikan setara SMA. Jelas orangtuanya enggan mendukung. Keinginan Pits masuk militer baru terwujud setelah lulus SMA pada 1962. Kurator Airmen Memorial Museum William I. Chivalette dan W. Parker Hayes Jr. mengungkap dalam arsipnya, “William H. Pitsenbarger: Air Force Enlisted Hero”, Pits masuk pendidikan dasar AU di Lanud Lackland, Texas. Sebagai calon Air Force Pararescue Jumper (PJ) alias Penerjun Paramedis AU, ia dilatihan menyelam oleh para instruktur Angkatan Laut, terjun payung oleh instruktur AD, dan pelatihan survival AU. Ia lulus pada 14 Juni 1963 dengan pangkat Airman 3rd Class (A3C) – setara prajurit satu. Meski sudah mencatat 250 misi penyelamatan, A1C Bill Pitsenbarger butuh 34 tahun dianugerahi Medal of Honor secara anumerta (Foto: The Airmen Memorial Museum) Pits lantas ditempatkan di Okinawa, Jepang. Penugasan itu tak disenanginya. “Kemudian dia mengajukan permintaan tugas di Vietnam. Setelah disetujui, ia dikirim ke pelatihan survival di iklim tropis di Albrook, Panama selama dua pekan. Sebelum dikirim ke Vietnam, ia pulang ke Piqua dan kemudian pergi untuk tak lagi kembali,” ungkap Chivalette dan Hayes Jr. Sebelum menemui ajalnya, Pits tercatat sudah melakukan 250 misi tempur/penyelamatan sebagai PJ atau paramedis AU di Detasemen 6, Skuadron Pemulihan AU yang berbasis di Lanud Bien Hoa. Pangkatnya dipromosikan menjadi Airman 1st Class (A1C) atau setara kopral. “Dia prajurit yang istimewa. Selalu waspada dan siap sedia menjalankan misi apapun. Dia juga pribadi yang periang dan selalu hadir saat dibutuhkan. Dia selalu bisa menyuntik semangat pada orang-orang yang diselamatkannya,” kenang komandan Pits, Mayor Maurice G. Kessler, dikutip Chivalette dan Hayes Jr. Hari yang nahas itu tiba pada 11 April 1966. Firasat akan kematiannya sudah mencuat beberapa saat sebelum ia ditugaskan di hari itu. “Saya punya perasaan yang buruk tentang misi ini,” kata A2C Roy A. Boudreaux, rekan Pits, menirukan kata-kata sang mendiang, dikutip Edward F. Murphy dalam Vietnam Medal of Honor Heroes . Hari itu AD Amerika melancarkan Operasi Abilene dengan mengirim 134 serdadu Kompi C, Batalyon II, Resimen ke-16 ke Perkebunan Karet Courtenay di Desa Cam My. Pukul 3 petang waktu setempat, kompi itu diserang penembak-penembak runduk Viet Cong secara sporadis hingga menimbulkan banyak korban. Sambil membuat parameter pertahanan, mereka meminta evakuasi udara lewat radio. Berangkatlah dua Helikopter HH-43F “Huskies” dengan kode misi “Pedro 97” dan “Pedro 73”. Pits yang mengajukan jadi relawan evakuasi medis, berada di heli Pedro 73 dengan pilot Kapten Harold D. Salem, kopilot Mayor Maurice Kessler yang juga komandannya, serta mekanik A1C Gerald C. Hammond. Dua heli itu setidaknya melakukan masing-masing tiga kali evakuasi udara bolak-balik dari basis udara mereka ke lokasi penjemputan evakuasi di Desa Cam My. Saat upaya keempat, yang kesulitan dilakukan sendiri oleh pasukan darat gegara kondisi mereka kian terjepit, Pits meminta izin komandannya untuk turun langsung dari heli guna membantu evakuasi. A2C Roy A. Boudreaux (kiri) & A1C Bill Pitsenbarger sebelum Pertempuran Cam My (Foto: The Airmen Memorial Museum) Pada upaya kelima, Pedro 97 harus diistirahatkan demi mencegah malfungsi heli. Sementara Pedro 73 melakukan penjemputan terakhir. Sialnya, badan heli kena tembakan Viet Cong dan harus segera pergi dari lokasi. Melihat masih banyak pasukan darat yang terluka, Pits memilih menaikkan tiga korban luka terakhir sebelum Pedro 73 harus pulang ke base untuk terakhir kali di hari itu. Pits memilih tetap bersama para pasukan darat yang tersisa dan tak terangkut. “Sesaat heli pergi, serangan musuh kian intensif. Seraya berlindung dari serangan mortir dan peluru senapan otomatis, dia merawat prajurit yang luka, mencari dan mendistribusikan amunisi dan ikut bertempur menahan Viet Cong. Dia kena tiga tembakan pada malam harinya oleh penembak runduk Viet Cong. Saat jasadnya ditemukan esok harinya, tampak jasadnya memegang senapan di satu tangan dan menggenggam perlengkapan medis di tangan lainnya,” singkap James H. Willbanks dalam America’s Heroes: Medal of Honor Recipients from the Civil War to Afghanistan. Jenazah Pits dibawa pulang lalu dikebumikan di Permakaman Memorial Park Covington, Ohio. Sejumlah penghargaan, mulai dari Air Force Cross hingga Airman’s Medal, untuk mendiang Pits diterima sang ayah selaku wakilnya. Namun butuh sekira 34 tahun bagi pengorbanannya untuk dianggap layak mendapatkan Medal of Honor, melalui proses yang teramat panjang dan berliku. Mendiang Pits baru mendapatkannya pada Desember 2000 yang diserahkan langsung oleh Menteri AU Amerika F. Whitten Peters.

  • Ketika Cicadas Dibombardir

    RABU, 12 Desember 1945. Asikin Rachman tengah berjalan di kawasan Pasar Cicadas, Bandung pagi itu. Suasana sangat ramai. Lazimnya di pasar, para pedagang dan pembeli sibuk bertransaksi. Saat itulah, di langit biru tetiba muncul 6 pesawat tempur. Masing-masing berjenis 3 Mosquito dan 3 Thunderbolt. Setelah beberapa kalo bermanuver, burung-burung besi itu pun secara bersamaan menjatuhkan bom seraya memuntahkan peluru mitraIiur yang banyak. “Kami di bawah yang tadinya tidak menyangka mereka bermaksud akan membantai kami, jadinya kocar-kacir dan berlindung sebisanya,” ujar lelaki yang kini berusia 95 tahun itu. Insiden pemboman kali pertama oleh RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) itu tercatat dalam biografi Kolonel (Purn.) Mohamad Rivai, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Akibat pemboman itu, Markas TKR Cicadas dan Gedung Komite Nasional Indonesia Daerah Cicadas hancur berantakan, puluhan rumah penduduk hancur lebur dan banyak rakyat tewas terkena reruntuhan bangunan. “Usai pemboman itu, sebuah lubang besar menganga muncul di tengah jalan besar,” kenang Asikin, yang saat itu prajurit lasykar Hizbullah. Nyaris berjam-jam, orang-orang tak berani keluar dari persembunyiannya. Barulah pada sore hari, rakyat dan para pejuang bergotong royong mengamankan mayat-mayat yang berserakan dan mencari jasad-jasad yang masih tertimbun reruntuhan. Hingga malam hari, pencarian terus dilakukan dengan menggunakan penerangan senter dan obor. “Bisa dibilang semuanya beres setelah kami bekerja siang-malam selama tiga hari berturut-turut," kata Asikin. Euis Sa’ariah alias Sartje, pejuang Laskar Wanita Indonesia (Laswi), terlibat dalam pencarian tersebut. Dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan karya Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo dan Ummy Latifah Widodo, Sartje bersaksi bahwa saat itu banyak korban pemboman yang ditemukan dalam kondisi sudah membusuk. “Sampai-sampai (setelah mengangkut mayat-mayat itu), saya enggak bisa makan,” ungkapnya. Di hari ketiga pencarian dan evakuasi korban, pesawat-pesawat tempur Inggris kembali menyerang. Mereka menjatuhkan 15 bom yang meluluhlantakan desa-desa sekitar Cicadas, sehingga kesengsaraan rakyat semakin hebat. “Namun sekali ini, korban jiwa tidak ada. Sebabnya rakyat dan pejuang baru mengerti jika sasaran penembakan dan pemboman musuh adalah desa-desa dan tempat-tempat yang tersembunyi,” ujar Mohamad Rivai. Maka ketika pesawat-pesawat itu mulai beraksi, para pejuang dan rakyat alih-alih mengamankan diri ke tempat berlindung, mereka justru bertiarap di sawah-sawah dan jalanan tanpa melakukan gerakan apapun. Dengan aksi seperti itu, para pilot RAF malah tidak menembak mereka. Namun, penderitaan rakyat Cicadas belum berakhir. Pada 21 Desember 1945, tepat jam 13.00, beberapa pesawat pembom Inggris kembali menyambangi kawasan yang sejak zaman Hindia Belanda dikenal sebagai pusat tekstil tersebut. Kali ini Inggris menyasar Markas Batalion Hizbullah pimpinan Mayor Aminuddin Hamzah dan Unit Husinsyah. “Akibat pemboman itu puluhan rakyat tewas dan 35 lainnya mengalami luka-luka…Inggris sendiri mengumumkan telah menangkap satu truk penuh pasukan Banteng Hitam,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi dan Bertempur (Jilid II) . Dalam pemberitaannya pada 26 Desember 1945, harian Merdeka  menyebut bahwa korban pemboman Inggris pada 21 Desember 1945 telah banyak menimbulkan kematian di kalangan rakyat sipil. Secara jelas, Merdeka  menyebut mayoritas korban adalah masyarakat Tionghoa yang tinggal di wilayah sekitar Pasar Cicadas. Dua hari kemudian, Cicadas lagi-lagi disambangi pesawat-pesawat pembom Inggris. Kendati para petugas dari Palang Merah Indonesia (PMI) masih sibuk melakukan evakuasi korban pemboman 21 Desember 1945, pihak militer Inggris tak peduli dan tetap melakukan penyerangan lewat udara ke lembah Cicadas. Bahkan seolah tak cukup lewat udara, di darat pun mereka mengerahkan kekuatan-kekuatan tempurnya. “Sejak jam 06.00 telah terjadi pertempuran-pertempuran di mana musuh mempergunakan tank dan artileri,” ungkap Nasution. Apa yang menyebabkan militer Inggris begitu bernafsu menghabisi wilayah Cicadas? Menurut Nasution, militer Inggris sangat meyakini informasi dari intelijennya bahwa Cicadas merupakan salah satu basis terkuat para “ekstrimis Indonesia” yang ada di Bandung. Dan memang menurut sejarawan  John R.W. Smail, Cicadas yang padat dipenuhi oleh kekuatan kelompok-kelompok bersenjata Indonesia. Mulai TKR hingga badan-badan lasykar. “Di sana ada kekuatan Hizbullah paling besar di Bandung yakni batalion yang dipimpin oleh Aminuddin Hamzah,” ungkap Smail dalam Bandung Awal Revolusi (1945-1946).

  • Singa Itu Bernama Kasman

    BANYAK pemimpin pergerakan memiliki sikap tegas. Namun jika sikap itu dikaitkan dengan nama, mungkin baru Kasman Singodimejo saja yang memilikinya. Singodimejo sendiri berarti “singa di meja”. Ada begitu banyak anekdot tentang Kasman yang membuktikan betapa sikap berani memang melekat pada dirinya. Dalam biografinya, Hidup itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun , ada sejumlah kawan yang mengisahkan pengalamannya menyaksikan langsung singa dalam diri Kasman terbangun. Umumnya terjadi karena keadaan memaksa Kasman bertindak keras. Satu kisah diceritakan oleh Mohammad Natsir (Perdana Menteri Indonesia era demokrasi liberal). Suatu waktu, Kasman bertandang ke Ternate. Seusai menyampaikan pidato, ia sesegera mungkin harus menyeberangi laut menuju Bitung (Sulawesi Utara). Ada acara penting yang mesti dihadiri. Namun begitu sampai di pinggir laut, cuaca mulai berubah, ombak pun semakin meninggi. Dari pengalaman para nelayan di sana, sangat tidak mungkin untuk melaut saat kondisi demikian. Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan kapan ia dapat memulai perjalanan lautnya itu. Waktu yang terus berjalan semakin menyekik Kasman. Ia mulai gelisah. Di saat itu juga, kesingaan dalam diri Kasman keluar. Janji kepada warga Bitung membuat ia terpaksa menjadi orang yang berani (dibaca: keras kepala). Kasman mulai berteriak: “Apakah ada nakhoda Muslim yang percaya bahwa hidup dan mati itu di tangan Allah. Siapa yang bersedia mengantarkan saya dalam keadaan ini ke Bitung?” Teriakan Kasman itu cukup mengagetkan orang-orang di sana. Namun di saat yang bersamaan mengundang sekitarnya untuk ikut menjadi pemberani. Beberapa orang saat itu mengangkat tangan. Mereka bersedia menerjang ombak mengantarkan si pemberani menuju tempat tujuannya. Malam itu Kasman berhasil mendarat dengan selamat di Bitung. Kisah lain dari Kasman Singodimejo yang tidak kalah menarik terjadi saat ia ditangkap atas tuduhan merencanakan pembunuhan atas Presiden Sukarno. Tahun 1963, Kasman bersama-sama dengan Hamka, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, Letkol Nasuhi, dan lainnya ditahan di Kompleks Sekolah Kepolisian, Sukabumi. Dalam sebuah pemeriksaan, Kasman didesak untuk mengakui segala tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Termasuk tuduhan mengadakan rapat rahasia di Tanggerang dalam upaya pembunuhan presiden itu. Bahkan demi mendapat pengakuan Kasman, para anggota pemeriksa memaksa Nasuhi memberikan keterangan palsu. “Tidakkah Letkol pada malam itu menjemput Pak Kasman dan membawanya ke Tanggerang?” desak salah seorang pemeriksa. Nasuhi hanya tertunduk diam. Si pemeriksa lalu kembali melayangkan pertanyaan, kali ini dengan sedikit ancaman. “Awas! Letkol diproses verbal (lisan) telah mengakuinya.” Nasuhi tetap tidak memberi jawaban. Melihat hal itu, meski masih diliputi suasana tegang, Kasman mencoba berbicara. Ketua pemeriksa pun memberi izin. “Bismillahirahmanirrohim, Nasuhi, dengan Allah sebagai saksi, jawablah pertanyaan tadi itu!” kata Kasman. Bak patung, Nasuhi tetap diam seribu bahasa. Kasman lalu kembali meminta Nasuhi mengungkap kebenarannya. “Nasuhi, kamu kan percaya dan takut kepada Allah Akbar. Jawablah secara jantan! Kamu kan laki-laki. Jawablah Allah sebagai saksi.” Nasuhi akhirnya buka suara, namun pelan sekali. “Yang keras suaramu! supaya kedengaran!” tegas Kasman. “Saya terpaksa,” jawab Nasuhi lirih. “Apa yang terpaksa,” timpal Kasman. “Saya terpaksa menanda tangani proses verbaal. Sebenarnya tidak begitu,” Nasuhi menjelaskan. “Nah, tuan-tuan pemeriksa. Itulah keadaan yang sesungguhnya. Isi proses verbaal itu dan pengakuan Nasuhi itu tidak betul,” pungkas Kasman. Dengan jawaban Nasuhi itu, Kasman sebenarnya telah unggul dalam perdebatan tersebut. Namun seakan tidak mau kalah, para pemeriksa menyebut bahwa kesaksian dari Nasuhi itu tidak membuktikan kebenaran apapun. Terlebih pernyataan dari orang-orang selain Nasuhi dalam proses verbal telah membenarkan kejadian yang melibatkan Kasman. Kasman yang terus tersudut keberatan dengan pernyataan para pemeriksa. Ia sangat yakin jika mereka melakukan paksaan hingga siksaan kepada para tertuduh agar berbicara lain saat proses verbal. “Maaf saya dapat kesan bahwa oleh tuan pemeriksa, telah dikerjakan penggiringan, paksaan-paksaan, siksaan-siksaan, dan lain-lain sebagainya, sehingga para tertuduh yang bersangkutan itu terpaksa mengaku demi keselamatan jiwa mereka. Saya sebagai bekas Jaksa Agung, sebagai bekas Kepala Kehakiman Militer, dan sebagai bekas Menteri Muda Kehakiman persis mengetahui batas-batas dari wewenang pemeriksaan perkara. Semua itu tidak sah,” ucap Kasman. Setelah mengucapkan semua unek-uneknya, Kasman lantas berdiri. Ia dorong jauh-jauh kursinya ke belakang dan dengan kepalan tangan di atas, sambil melotot ia berteriak sekencang-kencangnya: “Percuma pemeriksaan semacam ini. Percuma! Sekarang begini saja. Silahkan tuan-tuan cabut pistolnya dan tembaklah saya. Tembak! Tembak! Tembaak!” Semua orang terkejut. Ketua pemeriksa lalu meminta proses pemeriksaan hari itu disudahi. Ia mempersilahkan Kasman untuk bersitirahat. Tanpa menoleh, ia langsung keluar dan masuk ke kamarnya. Orang-orang di dalam ruangan hanya bisa terduduk diam. Bagi Mohammad Roem, kawan yang telah dikenal Kasman sejak 1924 di STOVIA, sosok singa tidak hanya ada dalam diri Kasman, tapi ada di mana pun dirinya berada. Dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3: Wajah-Wajah Pemimpin dan Orang Terkemuka Indonesia , meyakini jika hati singanya keluar pada saat yang diperlukan. “Saya rasa anggota-anggota tim pemeriksa tangannya sudah gatal untuk menganiaya Bapak Kasman. Akan tetapi momentumnya adalah Pak Kasman yang mempergunakan,” kata Roem.

  • Jejak Kuasa Raja Sunda

    PERJALANAN penjelajah Portugis Tome Pires akhirnya sampai juga di Jawa. Sebuah negeri yang kebudayaannya jelas berbeda dengan Malaka (basis kekuatan Portugis di Asia) cukup membuatnya tercengang. Kondisi budaya dan politik di sana telah memberi pemahaman baru baginya. Satu kerajaan yang menarik perhatian sang penjelajah adalah Kerajaan Sunda, sang penguasa bagian barat Jawa. Keberadaan Sunda telah banyak diketahui Pires sejak pendaratan pertamanya di Jawa. Ia mendapat kabar dari orang-orang di pelabuhan tentang negeri itu. Berdasar informasi tersebut, Pires lalu menulis di dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental , tentang gambaran Kerajaan Sunda. “Sebagian orang menegaskan bahwa Kerajaan Sunda menguasai setengah Pulau Jawa. Sebagian lainnya, yakni orang-orang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, meyakini bahwa Kerajaan Sunda menduduki sepertiga atau seperdelapan bagian pulau,” tulisnya. Pires menyaksikan secara langsung besarnya kekuasaan Raja Sunda di pulau tersebut. Namun sayang apa yang dilihatnya itu adalah akhir dari perjalanan kerajaan Hindu-Budha tersebut di Jawa Barat sebelum Islam benar-benar berkuasa di sana. Besar Kekuasaan Dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II , diketahui bahwa Kerajaan Sunda yang disaksikan oleh Pires merupakan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Menurut berita dari prasasti Batutulis , kerajaan ini awalnya berpusat di Kawali namun karena keadaan tertentu akhirnya memutuskan untuk memindahkan kekuasaannya ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Bogor ( Buitenzorg ). Raja yang memerintah saat itu adalah Prabu Guru Dewataprana. Administrator Inggris John Crawfurd saat melakukan penelitian tentang Nusantara pada pertengahan abad ke-19, dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries , pernah mengungkapkan keberadaan Kerajaan Pajajaran ini berdasarkan penemuan prasasti dan sisa-sisa istana. Ia memperjelas informasi yang dibagikan oleh Pires. “Pajajaran ialah nama sebuah kerajaan kuno di Jawa, ibu kotanya terletak di Bogor, yang berada di wilayah Sunda, 40 mil di timur Batavia (Jakarta). Dugaan ini muncul akibat ditemukannya fondasi istana dan batu prasasti,” ucap Crawfurd. Sejarawan Nugroho Notosusanto juga membenarkan penelitian Crawfurd tersebut berdasarkan sumber-sumber lokal, seperti Carita Parahyangan : “Adanya sebuah bangunan induk, di samping bangunan-bangunan lain yang ada di kompleks tersebut. Rupanya di bangunan induk itulah raja bersemayam sementara di bangunan-bangunan lainnya tinggal para pejabat kerajaan serta kerabat dekat keraton yang lain.” Di sebuah tempat bernama Dayo ( dayeuh /kota), raja menghabiskan sebagian besar waktunya. Kota yang cukup besar itu dipenuhi oleh rumah-rumah berbahan utama kayu, dan beratap daun kelapa. Kondisinya terlihat lebih baik jika dibandingakan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Dari pelabuhan utama yakni Sunda Kelapa, perjalanan ke Dayo membutuhkan waktu kurang lebih dua hari. Raja Sunda, kata Pires, merupakan orang yang taat beribadah. Ia dikelilingi oleh ahli-ahli agama. Masyarakatnya pun dikenal sebagai ksatria dan pelaut yang unggul. Bahkan dikatakan lebih baik daripada pelaut dan ksatria dari Jawa (bagian timur). Di beberapa tempat masyarakatnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan menggembala ternak dan becocok tanam. “Pria-pria Sunda berwajah rupawan, berkulit gelap dan berperawakan tegap,” kata Pires. Setiap tahunnya Kerajaan Pajajaran mampu menjual beras sebanyak ribuan ton (lebih dari 10 jung). Selain itu mereka mampu menghasilkan sayur-mayur yang tak terhitung jumlahnya, serta menjual aneka hewan yang tidak dapat dipastikan jumlahnya. Selain bahan makanan, Pajajaran juga memperjualbelikan para budak  (laki-laki dan perempuan). Salah satu bukti besarnya Kerajaan Pajajaran ini juga terlihat dari kepemilikan raja atas 4000 ekor kuda dan 40 ekor gajah yang dipelihara. Raja menggunakan gajah-gajah itu untuk beberapa acara kerajaan, tidak sebagai alat berperang. Selama berada di Pajajaran, Pires tidak melihat adanya konflik di masyarakat. Menurutnya raja memerintah dengan adil dan bijak sehingga rakyatnya berada dalam keadaan yang selalu baik. Kerajaan Pajajaran telah melakukan perdagangan secara luas dengan negeri-negeri di sekitarnya. Bahkan mereka telah mencapai Malaka untuk bertransaksi dengan bangsa Portugis. Beberapa komoditi, termasuk bermacam kain khas Sunda, dikirim ke Malaka. Hubungan baik juga terjalin antara orang-orang Sunda dengan pedagang Arab dan Tiongkok di negerinya. “Mereka sudah terbiasa dengan perdagangan. Orang-orang Sunda sering pergi ke Malaka untuk berdagang. Mereka akan menaiki kapal-kapal kargo bermuatan 150 ton. Sunda memiliki lebih dari 6 jung dan lanchara-lanchara khas Sunda yang memiliki tiang kapal berbentuk bangu dan anak tangga di antara tiap kapal sehingga mudah untuk dikemudikan,” tulis Pires. Namun gambaran betapa besarnya kekuasaan Kerajaan Pajajaran oleh Pires itu hanya terjadi selama keberadaannya di sana. Setelah ia meninggalkan negeri itu, konflik anatara Sunda yang masih berpegang kepada Hindu-Budha, dengan Islam mulai memanas. Puncaknya, kira-kira pada 1579, kerajaan Sunda ini berhasil diduduki oleh kekuatan Islam. Perubahan di pemerintahan tentu berpengaruh besar pada kondisi masyarakat dan negeri Pajajaran dikemudian hari.

  • Alkisah Cenderamata Lekra

    SEBUAH piringan hitam bersampul biru dan merah dengan ornamen warna emas itu tersimpan di bagian koleksi khusus milik sejarawan Anton Lucas yang kini dikelola Perpustakaan Universitas Flinders, Adelaide, Australia. Pada sampulnya tertera “Pilihan Lagu-Lagu Jang Diperdengarkan Oleh Rombongan Njanji Dan Tari Lekra Indonesia di Tiongkok.” Muka sampul pertama piringan hitam berisi lagu Pudjaan Kepada Pantai, Persahabatan Tiongkok-Indonesia, Asia Afrika Bersatu, Nasakom, Dari Rimba Kalimantan Utara, Lagu Perjuangan, Api Cubana, dan  Djamila. Sedangkan muka sampul kedua berisi susunan lagu rakyat Maluku Tarik Lajar , lagu rakyat Sulawesi Selatan Atiradja , Lagu Batak Simalungun Sihala Erdeng-Erdeng , lagu Batak Sing-Sing So , dan lagu Batak Karo Erkata Bedil . Musisi-musisi Lekra yang tergabung dalam kumpulan ini antara lain, SW Kuntjahjo, Slamet, Szuma Wensen, Make, Sudharnoto, Subroto K. Atmodjo, Mochtar Embut, serta Kondar Sibarani. Selain itu, turut pula solois Andy Mulja dan Eveline Tjiauw. Beberapa lagu dinyanyikan oleh paduan suara Kondar Sibarani dengan iringan piano Mochtar Embut. Album ini merupakan cenderamata Lekra dalam rangka misi kebudayaan ke Tiongkok pada 1963. Pada tahun tersebut, Lekra memang tengah menggalakan diplomasi kebudayaan ke berbagai negara seperti Tiongkok, Korea Utara dan Uni Soviet. Misi Kebudayaan Ke Tiongkok Pada 26 September 1963, rombongan Lekra yang mengemban misi kebudayaan ke Tiongkok tiba di kota Kanton. Rombongan ini diketuai oleh seniman Sunardi. Turut pula pelukis kenamaan Basuki Resobowo dan I Tarmizi, komponis Gesang dan rombongan, serta sastrawan Nusananta dan Anjasmara serta musisi-musisi yang mengisi kumpulan lagu dalam piringan hitam. Sebanyak 30 orang mempertunjukan lagu-lagu, tarian, keroncong, angkung, gamelan Jawa dan Sunda, serta paduan suara pada gala premier. Gala premier ini juga dihadiri oleh DN Aidit, Gubernur Jakarta Sumarno, serta delegasi Himpunan Sarjana Indonesia (HIS) dan Gerwani. Pada 30 September malam, rombongan dijamu oleh PM Tjou En-lai di Gedung Kongres Kebudayaan Nasional di Kota Peking dalam rangkaian Hari Nasional Tiongkok pada 1 Oktober. “Segenap hadirin yang berjumlah lebih dari 4000 orang diantaranya 1800 orang lebih tamu-tamu asing dari lebih kurang 80 negara, dengan dipelopori oleh delegasi dari Indonesia yang ternyata merupakan delegasi terbesar di antara delegasi-delegasi lain-lain negara yang tahun ini diundang guna menghadiri perayaan 1 Oktober, menyambut dengan tepuk sorak hangat sekali diperdengarkannya lagu “Bengawan Solo” itu, termasuk P.M. Tjou En-lai, yang duduk sejajar dengan ketua delegasi DPR GR Indonesia MH. Lukman,” tulis Harian Rakjat, 3 Oktober 1963. Persahabatan Tiongkok Indonesia menjadi tema utama dalam berbagai pertunjukan yang dipersembahkan oleh delegasi Indonesia. “Lagu-lagu Tiongkok yang berdasarkan syair Ketua Mao Tse-tung, lagu-lagu pudjian untuk Kuba dan untuk pahlawan wanita Aldjazair Djamila Bouhired juga mendapat sambutan hangat,“ sebut Harian Rakjat , 10 Oktober 1963. Harian Ta Kung Pao , Peking, menyebut bahwa seniman-seniman Lekra telah membawa tema persahabatan revolusioner yang sedang tumbuh antara Indonesia dan TIongkok. “Adalah menjadi tugas yang tak dapat dielakkan bagi kita kaum seniman untuk melipatgandakan usaha-usaha kita untuk melindungi, memperkembangkan dan memperkokoh persahabatan ini”, kata Tien Han, seniman kenamaan Tiongkok, mengutip  Harian Rakjat, 17 Oktober 1963.   Keesokan harinya parade besar untuk memperingati 1 Oktober diadakan di lapangan Tiananmen. Parade ini memamerkan industri ringan dan berat, pertanian, pendidikan, kesehatan, hingga pertahanan negara. Delegasi Indonesia (Ansambel Gembira) tampil di Beijing pada 1963. (Repro Heirs to World Culture Being Indonesian 1950-1965 ). Irama Musik Lekra Selama kurun 1950 hingga 1965, Lekra telah menjadi bagian penting dalam panggung kebudayaan Indonesia. Lembaga-lembaga kebudayaan seperti Lekra, Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dan lainnya tengah berada dalam masa pencarian identitas kebudayaan nasional. Di bidang musik, melalui Lembaga Musik Indonesia (LMI), Lekra mendasari kegiatan-kegiatannya sesuai cita-cita revolusi Sukarno. Irama ‘mars’, penuh semangat, patriotis dan bernuansa politik terdengar kental dalam lagu-lagu tersebut. Lagu-lagu seperti Pudjaan Kepada Pantai, Asia Afrika Bersatu, Nasakom, dan Lagu Perjuangan misalnya,menunjukan keberpihakan politik dan mendorong keterlibatan rakyat dalam revolusi. “Fokus perhatian LMI mencakup musik asli Indonesia maupun musik Barat (diatonis), dan musik tradisional maupun ciptaan baru, khususnya yang berfokus pada musik yang dianggapnya revolusioner,” terang sejarawan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam tulisannya " Bersama LEKRA dan Ansambel; Melacak Panggung Musik Indonesia", dalam Ahli Waris Budaya Dunia, Menjadi Indonesia 1950-1965 . Hubungan kebudayaan antara Lekra dengan berbagai negara seperti Tiongkok dan Uni Soviet juga mempengaruhi musik Lekra. Dalam suvenir piringan hitam Lekra misalnya terdapat lagu Dari Rimba Kalimantan Utara yang memiliki nuansa musik Tiongkok. Tak hanya itu, musik juga digunakan sebagai bahasa diplomasi dan solidaritas. Lagu-lagu seperti Persahabatan Tiongkok-Indonesia, Api Cubana, dan Djamila secara jelas menunjukan usaha diplomatis dan dukungan Indonesia terhadap negara sahabat seperti Kuba dan Aljazair. “Ciptaan lagu-lagu dengan tema ideologis merupakan salah satu aktivitas budaya yang amat didukung oleh negara-negara sosialis dan gerakan sosialis pada tahun 1950-an dan 1960-an. Sosialisme merupakan gerakan internasional. Tidaklah mengherankan kalua di Indonesia juga diciptakan lagu-lagu yang menjalin kesetiakawanan dan menekankan ikatan antar negara (atau gerakan) sosialis,” tulis Rhoma. Pengembangan musik daerah juga menjadi perhatian Lekra. Muka 2 piringan hitam khusus berisi lagu rakyat, mulai dari lagu Maluku Tarik Lajar , lagu rakyat Sulawesi Selatan Atiradja , hingga lagu Batak Karo Erkata Bedil . “Lekra dengan sadar menjadikan musik daerah bukan sekadar sampiran, atau pinggiran, melainkan musik yang porsinya harus di dorong ke tengah sekaligus derajatnya diangkat tinggi-tinggi,” sebut Rhoma. Selain program-progam untuk mengangkat musik daerah, Lekra juga menaikan citra musik daerah dengan menyelenggarakan festival-festival serta lomba paduan suara musik daerah, musik nasional, dan musik revolusioner. Pada awal 1960-an, juga berkembang ansambel nyanyi atau nyayi dan tari yang membawakan repertoir ciptaan baru yang ‘progresif’ atau ‘revolusioner’. Lagu-lagu nasional dan daerah juga diaransemen dengan gaya musik diatonis Barat. Beberapa ansambel yang terkenal pada era itu di antaranya Ansambel Gembira, Ansambel Njanji dan Tari Madju Tak Gentar, Ansambel Tari-Njanji Bhinneka, dan Ansambel Angin TImur. Ansambel Gembira inilah yang pada 1963 turut dalam rombongan delegasi LEKRA di Tiongkok serta mengisi sebagian lagu-lagu dalam cenderamata piringan hitam itu.

  • Dendam Pilot Vietnam yang Bikin Hengkang Paman Sam

    ENTAH terpengaruh video penembakan massal yang ditontonnya beberapa hari sebelumnya atau bukan, Letnan dua udara Mohammed al-Shamrani, pilot Arab Saudi yang sedang menempuh pendidikan di Pangkalan AL Amerika Serikat (AS) Pensacola, melakukan aksi gila pada Jumat, 6 Desember 2019. Dia menembaki orang-orang di pangkalan itu. “Mohammed al-Shamrani membunuh tiga orang dan melukai delapan lainnya ketika menyerang menggunakan pistol Glock 9mm Jumat (6/12/2019),” tulis kompas.com . Sebelum melakukan aksi gilanya, Shamrani sempat menulis cuitan di akun Twitter -nya. “Saya melawan kejahatan, dan AS sudah sepenuhnya menjadi negara iblis. Saya membenci kalian karena setiap hari, kalian mendukung, mendanai, dan menyokong kejahatan tak hanya terhadap Muslim, tapi juga kemanusiaan,” ujarnya, dikutip kompas.com . Shamrani akhirnya tewas oleh tembakan beberapa aparat yang merespon aksi gilanya. Buntut dari ulah Shamrani, otoritas militer AS menahan sedikitnya 10 siswa asal Saudi pada hari berikutnya. Meski berbeda, apa yang dilakukan Shamrani mengingatkan kita pada pembelotan pilot AU Vietnam Selatan (Vietsel) Dinh Khac Chung, populer sebagai Nguyen Thanh Trung, di pengujung Perang Vietnam.  Pembelotan Trung disebabkan oleh dendam karena kematian Dinh Van Dau ayahnya. Van Dau merupakan gerilyawan Vietcong sekaligus sekretaris distrik partai komunis yang ditangkap dan dibunuh pasukan Vietnam Selatan (Army of the Republic of Vietnam/ARVN), negara boneka AS, pada 1963. Selain membunuh Van Dau, ARVN juga menangkap istri Van Dau dan membakar rumah mereka. “Hari itu, saya tidak bisa kembali ke rumah. Saya tidak punya tempat untuk pergi. Jadi saya duduk di perahu (yang saya gunakan tiap hari untuk ke sekolah) bolak-balik, bolak-balik di sungai sepanjang malam. Saya bertanya pada diri sendiri, siapa yang bertanggung jawab atas kematian ayah saya? Saya jawab sendiri. Saya berkata, Presiden Diem [pemimpin, pilihan orang Amerika], Anda bertanggung jawab atas kematian ayah saya. Dan saya katakan pada diri sendiri, kelak ketika dewasa, jika saya punya kesempatan, saya akan menjadi pilot. Dan saya akan membom istana pemimpin Vietnam Selatan,” kata Thrung sebagaimana dimuat laman pbs.org . Dinh lalu mengganti namanya demi menyembunyikan identitas diri dan keluarganya. “Ia mengadopsi nama samaran Nguyen Thanh Trung. Perubahan itu dilakukan oleh ‘kawan dekat’ ayahnya yang juga mengatur pemalsuan kisah hidup mereka,” tulis Fox Butterfield dalam “Pilot for Saigon Called Red Agent”, dimuat The New York Times 19 September 1975. Sebagaimana remaja lain di desanya yang miskin di Delta Sungai Mekong, Trung pun bergabung dengan Vietcong tak lama setelah itu. Militer lalu mengirimkannya ke Saigon Science University pada 1965. Tekad kuat Trung untuk membalas dendam atas kematian ayahnya –sekaligus untuk mengusir AS guna mengakhiri perang– dimanfaatkan Vietcong dengan mendorongnya masuk AU Vietsel. “Dia ditanam ke AU oleh Vietnam Utara untuk tugas khusus membom istana dan kedutaan (AS, red .) kelak ketika diperintahkan,” tulis laman www.deseret.com . Trung, tak melihat peluang lain untuk mewujudkan mimpinya kecuali bergabung dengan AU Vietsel. Setelah mendaftar masuk AU Vietsel dan diseleksi ketat latar belakangnya, Trung diterima pada 1969. Setahun kemudian, dia dikirim ke Texas untuk menjalani pendidikan penerbangan lanjutan. Dia lulus sebagai peringkat dua terbaik dari 500 siswa di angkatannya. Sepulang dari pendidikan, Lettu Trung terpilih bertugas di skuadron elit 534 AU Vietsel. “Trung, seorang pilot F-5E yang ditempatkan di Pangkalan Udara Bien Hoa,” tulis George Veith dalam Black April: The Fall of South Vietnam, 1973-75 .  Sebagai salah satu pilot tempur terbaik, dia berhak memiloti pesawat tempur canggih F-5 Tiger. Trung dilibatkan dalam banyak misi. Ratusan misi bombardir udara dilakukannya terhadap basis-basis Vietcong. Sambil terus menjalankan tugas resminya di AU Vietsel, Trung diam-diam terus menjalin kontak dengan Vietcong. Kontak rahasianya dengan Vietcong kian intens menjelang akhir 1974 sehubungan dengan akan digelarnya Ho Chi Minh Campaign atau The General Offensive and Uprising of the Spring 1975 (13 Desember 1974-30 April 1975). “Trung diberi perintah untuk membelot jika memungkinkan, karena ia diperlukan untuk melatih pilot AU Vietnam Utara mengoperasionalkan pesawat sitaan,” sambung Veith. Untuk bisa menjalankan misi rahasia itu, ia bahkan sempat dipertemukan dengan PM Vietnam Utara Pham Van Dong. Selain itu, Trung terus berlatih mendaratkan F-5 Tiger, yang secara normal butuh landasan minimal 3000 meter, di runway  yang hanya sepanjang 1000 meter. Yang tersulit baginya adalah mencari cara untuk melarikan pesawat tempur canggih itu. Keberuntungan baru menghinggapi Trung kurang dari sejam menjelang dimulainya operasi bombardir udara AU Vietsel terhadap pasukan Vietnam Utara di dekat Nha Trang, 8 April 1975. Seorang pilot yang harusnya ikut misi, belum datang. “Trung saat itu tak punya jadwal terbang tapi mengajukan diri pada menit akhir untuk mengisi kursi pilot lain itu, yang biasanya datang terlambat karena rumahnya di Saigon dan skuadron berbasis di Bien Hoa, 40 menit berkendara,” tulis Fox. Trung berada di pesawat nomor dua dari tiga pesawat yang dikerahkan dalam misi. Pikirannya terus mencoba menenangkan perasaannya yang berkecamuk. Menjelang pesawat membentuk formasi, Trung mencari cara untuk memisahkan diri. Dia mengacungkan dua jarinya kepada komandan misi sebagai isyarat pesawatnya mengalami electric problem . Sesuai prosedur militer, dia hanya punya waktu 10 detik untuk memutuskan apakah membatalkan misi atau melanjutkan misi dengan menyusul menggunakan pesawat lain. Trung memutuskan membatalkan misi. Kesempatan itulah yang dia gunakan untuk mengarahkan pesawatnya ke Saigon. “Setelah lepas landas, saya terbang langsung ke Saigon. Hari itu, pesawat saya dimuati empat bom, dua untuk istana, dua untuk Kedutaan AS,” kata Trung, dikutip pbs.org . Begitu mencapai istana presiden, Trung langsung menjatuhkan dua bom pertama. Tanpa diduganya, bom itu meleset dan mendarat di taman samping istana. “Saya lalu mengambil keputusan dengan amat cepat. Dengan dua bom terakhir saya akan membom istana dan melupakan kedutaan,” sambung Trung. Dua bom terakhir itu jatuh tepat di atap istana. Trung langsung melarikan pesawatnya ke Pangkalan Udara Phuoc Binh di Provinsi Phuoc Long yang dikuasai Vietnam Utara. Selain dendamnya terbayarkan, pemboman Trung meruntuhkan moril pasukan Vietsel “Dia telah membawa perang ke pusat kota Saigon –dan memberi sinyal kepada para pemimpin Vietnam Selatan bahwa waktu mereka hampir habis. Ketika Trung mendaratkan F-5 Amerika di landasan terbang kecil di wilayah utara, ia disambut dengan sambutan pahlawan.” Dua puluh dua hari kemudian, Saigon direbut pasukan Vietnam Utara. Amerika pun dipaksa hengkang dalam malu.

  • Pierre Tendean dan Kelompok Berandalan

    APRIL 1965, Pierre Tendean kedatangan kawan lama bernama Soesono. Pierre dan Soesono adalah sejawat seangkatan semasa menempuh pendidikan taruna di Akademi Teknik AD (Atekad, kini masuk satuan Zeni). Keberadaan Soesono di Jakarta sehubungan dengan tugas menjemput truk yang akan digunakan peletonnya di Sei Mencirim, Medan. Sebagai bentuk keramahan, Pierre mengajak Soeseno makan bakmi di Jalan Sambas, Blok M, Jakarta Selatan. Setelah makan, perjalanan dilanjutkan ke paviliun dinas Pierre di Jalan Teuku Umar, Menteng yang juga kediaman Jenderal Abdul Haris Nasution. Pierre memang merupakan ajudan Nasution. Di tengah jalan, Soesono dikejutkan dengan temuan sepucuk pistol di lantai kabin belakang jip. Merasa heran dengan keberadaan senjata tersebut, Soesono menanyakannya kepada Pierre. Ditanya demikian,  Pierre hanya tertawa. “Kamu ikut aku ke Teuku Umar. Kita kerjai itu crossboy-crossboy  (anak-anak berandalan). Sudah aku tangkap-tangkapi,” ujar Pierre ditirukan Soeseno sebagaimana dikisahkan dalam biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi  suntingan Abie Besman. Crossboy  yang dimaksud Pierre adalah kelompok pemuda badung yang suka meresahkan disekitar permukiman Menteng. Pierre memang dikenal tegas dalam menindak para pengganggu tersebut. Pasalnya, lingkungan tempat tinggal Nasution kerap diusik oleh kehadiran crossboy  yang suka petantang-petenteng membawa senjata api. Sebagai ajudan yang bertugas menjaga Nasution sekeluarga, Pierre berkewajiban menertibkan mereka. Selain crossboy , menurut Masykuri dalam biografi  Pierre Tendean , banyak anak pembesar, termasuk anak Perwira Tinggi TNI yang suka kebut-kebutan di Jalan Teuku Umar. Pihak kepolisian pun seolah tidak berdaya entah karena kewalahan atau segan berurusan dengan pejabat. Tanpa sepengetahuan Nasution, Pierre berinisiatif menghentikan kebiasaan berandalan tanggung ini.        Meski lalu lalang dengan kecepatan tinggi, Pierre nekat saja menyetop pengendara ugal-ugalan yang ditemuinya. Diperintahkannya anak-anak muda tanggung itu turun dari mobil. Pierre lantas menahan dan menjemur mereka di pekarangan belakang rumah Nasution. Ada yang coba-coba menantang karena merasa anak tentara, malah dibentak balik oleh Pierre. Setelah itu, Pierre menelepon orang tua mereka masing-masing. Hanya anak-anak yang dijemput oleh orangtuanya yang akan dilepaskan. “Mereka diminta menulis surat pernyataan dan bapaknya dipanggil. Para bapak mereka yang notabene pejabat negara, juga sungkan terhadap Pierre karena semua tahu prestasi Pierre dan di kalangan tentara juga mengetahui Pierre dipilih oleh Pak Nas untuk menjadi ajudannya,” kenang Hamdan Mansjur, ajudan Nasution dari Korps Kepolisian dalam biografi resmi Pierre Tendean.    Yanti Nasution, putri sulung Nasution mengingat kejadian bagaimana Pierre menangkapi anak-anak pejabat yang kebut-kebutan di Jalan Teuku Umar. Yanti yang waktu itu berusia 13 tahun menuturkan betapa paniknya anak para pembesar yang ditahan dan dihukum oleh Pierre. Jelas Yanti ingat karena sebagian besar adalah kawan sekolahnya.    “Berkat usaha Lettu Pierre ini, kebiasaan kebut-kebutan menjadi berkurang dan banyak orang yang menyatakan terimakasih kepadanya,” tulis Masykuri.

bottom of page