top of page

Hasil pencarian

9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kontemplasi Nan Sunyi di Gereja Sacrè-Coeur

    Berbicara tentang Prancis tak akan bisa lepas dari kota Paris. Kota ini memberikan kesan kuat bagi para pelancong. Musik, kultur, seni, dan sepakbola bersatu di kota ini. Suasana kotanya romantis. Banyak pasangan ucap janji setia di menara Eiffel, Sungai Seine, dan Jembatan Ponts de Art. Sudut lain kotanya tak kalah ciamik. Bangunan bersejarah berlimpah. Salah satu bangunan bersejarah itu Gereja Sacrè-Coeur. Letaknya di Montmartre, daerah berbukit di pinggiran utara kota Paris. Saya harus melalui berbagai jalan sempit untuk menuju Sacrè-Coeur. Kanan dan kiri jalan sempit itu sesak oleh berbagai kafe untuk minum kopi, makan, dan menenggak  wine .  Ribuan wisatawan mengunjungi Sacrè-Coeur setiap harinya. (Fernando Randy/Historia). Setelah melewati jalan sempit, saya bertemu ratusan anak tangga dan harus menapakinya pelan-pelan. Cukup melelahkan. Tapi ketika sampai di puncak bukit, lelah itu sirna. Pemandangan Paris terhampar jelas. Gereja Sacrè-Coeur berdiri dengan megah di atas ketinggian 130 meter.   Suasana jalan menuju ke Sacrè-Coeur di Montmarte Paris. (Fernando Randy/Historia) Sacrè-Coeur berusia lebih dari satu abad. Pembangunannya dimulai pada 1875. Tak lama setelah kekalahan Prancis dari Prusia pada 1871 dan revolusi Komune Paris pada tahun yang sama. Dua peristiwa ini begitu memukul orang Katolik Prancis. Mereka merasa peristiwa itu muncul tersebab dosa-dosa keseharian mereka. Sebagai bentuk pertobatan, mereka berikhtiar mendirikan sebuah gereja dan meminta Paul Abadie, seorang arsitek, untuk merancangnya. Gambar-gambar pada dinding Gereja Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia). Pembangunan Sacrè-Coeur selesai pada 1914. Kemudian gereja ini dikuduskan pada 1919, setelah Perang Dunia I berakhir. Kekhasan Sacrè-Coeur terletak pada pemilihan warnanya. Semuanya putih bersih. Simbolisasi dari arti namanya, Hati Suci. Warna putih dihasilkan dari penggunaan batu Château-Landon. Batu ini mengeluarkan zat kapur yang berfungsi sebagai pemutih alami dan sanggup bertahan lama sehingga membuat gereja ini terlihat putih bersinar. Berbagai patung umat Kristiani menghiasi Gereja Sacrè-Coeur di Paris. (Fernando Randy/Historia). Saat memasuki gerbang Sacrè-Coeur, saya dapat merasakan kekuatan arsitekturnya. Situasi di sana memang ramai, tapi nuansa ketenangan begitu kuat. Ramai di luar gereja, damai di dalam hati. Di dalam gereja tinggi menjulang itu terdapat berbagai patung tokoh umat Kristiani. Selain itu juga tersua lukisan dinding yang sangat indah berupa Yesus terbang. Menambah kuat kesan spiritual selama berada di Sacrè-Couer.  Para wisatawan mengambil foto kota Paris dari atas Sacre-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Pesan-pesan yang teringgal di Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia). Sacrè-Coeur terbuka luas untuk semua penganut agama. “Wisatawan dari semua negara, dari agama apapun, bebas masuk ke dalam sini. Yang terpenting adalah sopan dan saling menghargai, karena ini adalah tempat ibadah,” ujar Adrien Rene (34), salah satu penjaga gereja.  Lukisan Yesus Kristus di atap Gereja Sacrè-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Setelah menyelami kedalaman arsitektur Sacrè-Coeur, saya keluar gereja dan melihat berbagai atraksi kreatif para seniman Paris di sekitar gereja. Dari pemusik, pelukis jalanan, hingga pesulap. Mereka menggantungkan hidup pada gereja dan berharap berkatnya selalu terlimpah kepada mereka. Jules seorang pesulap saat mempertontonkan keahlianya di sekitar Sacrè-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Jules (25), seorang wanita pesulap di sekitar Sacrè-Coeur, mengatakan bahwa dia belum lama menggelar pertunjukan di sekitar gereja. "Namun Sacrè-Coeur selalu memberikan berkat melimpah kepada saya dalam setiap kepingan euro wisatawan." Para wisatawan menikmati sore hari di Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia).

  • Mula Kaum Ibu Membincang Masalah Politik

    KONGRES Perempuan Indonesia (KPI) IV menandai perbedaan penting tiga kongres serupa sebelumnya. Jika pada KPI I sampai III pembahasan selalau berkaitan dengan hak perempuan di ranah perkawinan dan pendidikan, pada KPI IV para perempuan menitikberatkan diskusi pada peran perempuan dalam politik. Meski pembahasan mengenai hak plih sudah dlakukan pada kongres ketiga, para perempuan masih sebatas untuk mempelajari dan melakukan riset lebih dalam. Baru pada kongres keempat mereka bersepakat untuk memperjuangkan posisinya di ranah politik melalaui tuntutan pemberian hak pilih. Kongres yang diadakan di Semarang pada 25-28 Juli 1941 ini dipimpin oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito. Sebanyak 13 organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Isteri Indonesia, Wanita Taman Siswa, dan lain-lain hadir untuk menyumbangkan buah pikir mereka. Kongres pada akhirnya menghasilkan beberapa keputusan seperti, sepakat mendukung Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan organisasi lainnya menolak wajib militer ( militieplicht ) terbatas bagi bangsa Indonesia. Selain itu, kongres menyarankan pada Volksraad agar mendorong bahasa Indonesia dimasukkan sebagai mata pelajaran tetap pada sekolah menengah (HBS dan AMS). Mereka juga mendirikan empat komite yang masing-masing bertugas untuk memberantas buta huruf, menyelidiki kesempatan kerja perempuan Indonesia, mempelajari hukum Islam dalam perkawinan, dan memperbaiki ekonomi perempuan. Pembahasan kongres didominasi soal hak pilih perempuan mengingat sejak 1930-an para perempuan Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan hak suara sama seperti lelaki. Di tahun-tahun sebelumnya, sedikit sekali catatan tentang perjuangan hak pilih perempuan pribumi. Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia menyebut ada beberapa alasan yang mendasari kelambanan organisasi perempuan Indonesia dalam menyadari isu hak pilih. Salah satunya, organisasi konservatif, biasanya berdasar agama, meyakini bahwa perempuan tidak siap untuk berperan dalam urusan politik dan tidak pernah didorong untuk melakukannya. Selain itu, politik selalu diartikan sebagai dunia laki-laki. Namun ketika perempuan Indonesia menyaksikan seorang perempuan Belanda duduk di Dewan Rakyat, mereka tergugah untuk mendapatkan hak pilih juga. Lewat keputusan kongres, mereka menolak sikap Minangkabauraad yang enggan memberikan hak pilih bagi kaum ibu. Sebaliknya, mereka mengajukan tuntutan pada Volksraad agar perempuan Indonesia mempunyai hak pilih aktif dan pasif. Sebagai tindak lanjut, kongres mengirimkan telegram pada Dewan Rakyat, Fraksi Nasional Indonesia (Suroso), dan Gubernur Jenderal di Batavia tentang hak pilih perempuan. "Setelah mendengar pembicaraan-pembicaraan dalam Dewan Rakyat, di mana sebagian besar anggotanya telah menyetujui hak untuk memilih bagi wanita, Kongres Perempuan Indonesia ke IV mohon agar hak pilih bagi kaum wanita dikabulkan," demikian bunyi surat tersebut seperti tercatat dalam Sejarah Setengah Abad Kesatua Pergerakan Wanita Indonesia. Soeroso yang menerima surat tersebut menyampaikannya dalam sidang Dewan Rakyat pada 4 September 1941. Sidang berlangsung cukup alot lantaran beberapa anggota Dewan Rakyat seperti T. de Raadt, Soeangkoepon, dan Loa Sek Hie, menolak memberikan hak pilih bagi perempuan pribumi. Pemerintah Kolonial juga menanggapi tuntutan dari KPI pada sidang tanggal 9 September 1941. Mr. Van Hasselt, perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda, menyatakan belum saatnya memberi hak pilih pada perempuan Indonesia dan perempuan bangsa asing. Namun, secara prinsip pemerintah tidak keberatan pada hak pilih perempuan Indonesia dan bangsa asing. Pernyatan itu mengecewakan para perempuan. Perjuangan mereka juga harus terhenti lantaran Jepang keburu masuk lalu membekukan KPI. Satu-satunya organisasi perempuan yang diperbolehkan adalah Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang yang berbau militeris. Rencana kongres kelima di Surabaya pimpinan Nyonya Sundari dari Putri Budi Sejati pun batal. "Jaman kolonial Belanda itu yang terakhir adalah kongres perempuan Indonesia IV di Semarang tahun 1941. Jaman Jepang tidak ada apa-apa," kata Maria Ullfah pada Dewi Fortuna Anwar dalam arsip rekaman sejarah lisan Arsip Nasional RI.

  • Mengunjungi Tempat Belajar I-Tsing

    Para biksu baru saja selesai sarapan. Mereka berlari-lari kecil mengelilingi tembok-tembok mahavihara . Katanya itu ampuh untuk memperlancar pencernaan. Mereka menghabiskan hari-harinya belajar di mahavihara itu. Bangunannya mirip kota berbenteng. Dengan bata-bata yang disusun sebagai tembok. Begitu sunyi dan jauh dari keramaian, mahaviahara tersembunyi di tengah hutan pedalaman Sumatra, di seberang Sungai Batanghari yang lebar. Kondisi itu dicatat I-Tsing, biksu asal Tiongkok yang pernah melawat ke Sumatra pada abad ke-7 dalam perjalanannya ke Nalanda, India. Suasana ini pula yang terbayang ketika memasuki kawasan Candi Kedaton. " Dia (I-Tsing, red. ) menggambarkan keseharian para biksu yang tinggal di sini. Kalau kita observasi deskripsi ini mirip dengan kompleks Candi Kedaton ," ujar Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog Universitas Jambi , ketika ditemui di Kompleks Percandian Muaro Jambi. Candi Kedaton merupakan salah satu kompleks candi dari gugusan Kompleks Percandian Muaro Jambi. Dari jalan raya, ia tertutup tembok bata kuno. Namun begitu menyeberangi kanal yang memisahkan kompleks ini, barulah terlihat kelompok bangunan ini adalah yang terbesar di antara gugusan candi-candi di Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi. Ada tembok pagar keliling setinggi dua kali orang dewasa yang menutup kompleks bangunan kuno itu dari luar. Gerbang asli masuk ke kompleks ini berada di arah berlawanan dari jalan raya. Kendati gapuranya masih berdiri kokoh, wujudnya sudah tak utuh. Mungkin dulunya ia beratap dan berpintu. Sarnobi, salah satu dari 12 juru pelihara di candi itu, sempat menunjukkan adanya dua baris tulisan Jawa Kuno pada salah satu hiasan Makara pada gapura. Aksaranya bergaya kuadrat, yaitu gaya tulisan yang dipahat menonjol. Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pernah menjelaskan dalam kesempatan yang berbeda kalau gaya tulisan ini muncul pada masa Kadiri dan masih dipakai pada zaman Majapahit. Berdasarkan tulisan itu, menurut Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan dalam Candi Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa , mungkin Candi Kedaton pernah dipakai sebagai tempat meditasi Mpu Kusuma. "Tempat mengheningkan ciptanya (meditasi, red. ) Mpu Kusuma," bunyi tulisannya. Masuk melewati gapura, di bagian dalam kompleks nampak tembok-tembok bata lain yang lebih rendah. Fungsinya membagi halaman. Sekiranya ada sembilan halaman di sana. Di dalam halaman-halaman yang terpisah itu ada sepuluh runtuhan bangunan. Di antaranya, bangunan induk, mandapa, danbangunan perwara yang ukurannya lebih kecil. Ditemukan pula sumur kuno dari susunan bata, juga belanga perunggu yang lebarnya kira-kira satu meter. "Dulu ini kebun karet, duku, durian. Candinya sebagian utuh, sebagian hancur," ujar Sarnobi yang menemani kunjungan kala itu. "Ada pohon besar sekali di atas candi itu dulunya. Kami ikut juga merobohkannya." Warga sekitar candilah yang pertama menemukan keberadaan candi itu. Mereka heran mengapa tanah di tempat yang kini nampak candinya itu begitu tinggi. "Ditanam apapun nggak bisa hidup. Rupanya banyak batu kerikil dan candi di dalamnya," kata Sarnobi. Bata-bata yang berserakan di kawasan itu dulunya juga sering dibawa pulang warga sekitar untuk dijadikan pondasi rumah. "Kan tidak tahu, dibikin pondasi rumah kok bagus," kata Sarnobi sambil tertawa. Gerbang Kompleks Candi Kedaton. (Risa Herdahita Putri/Historia). Dikunjungi I-Tsing Banyak peneliti yang mengkaitkan sisa-sisa bangunan di lahan seluas 43.000 m2 itu dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh I-Tsing. Di kota Foshi yang berbenteng itu, menurut Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi, I-Tsing melihat kalau para biksu menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran yang persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. "Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda," kata Shinta. Sedangkan menurut Asyhadi, dilihat dari lokasinya, gugusan kompleks percandian Muaro Jambi secara keseluruhan memang cocok sebagai tempat belajar. Dalam mambangun mahavihara para pendirinya pasti memilih lokasi yang jauh dari keramaian. Kalau tak di gunung, maka di tengah hutan. "Untuk mencari tempat yang sunyi dan cocok untuk belajar jauh dari godaan duniawi," kata Asyhadi. "Kita lihat sekarang sungai ini (Batanghari, red .) begitu luas dan lebar. Bayangkan ribuan tahun lalu mungkin lebih lebar lagi, artinya akses lalu lalang susah dan jarang dilakukan." Sayangnya, data pertanggalan yang bisa memperkuat apakah percandian ini semasa dengan kedatangan I-Tsing belum bisa banyak berbicara. Sejauh ini periode pembangunan candi baru bisa diperkirakan lewat adanya temuan keramik Dinasti Tang (618-907) dan yang terbanyak, temuan keramik dari era Dinasti Sung (960-1279). Ada lagi yang memperkirakan lewat gaya tulisan dalam lempengan emas berisi mantra yang ditemukan dalam kawasan situs di Candi Gumpung. Ahli epigrafi, Boechari menganalisis gaya tulisan itu berasal dari abad ke-7 dan ke-8.   Sementara gaya arsitektur candi di Kompleks Percandian Muaro Jambi tak bisa dijadikan ukuran. "Tak bisa menganalisis arsitektur Muaro Jambi dari abad keberapa karena agak unik. Uniknya candi-candi ini polos dan sederhana," kata Asyhadi. Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, Ignatius Suharno juga mengatakan perlunya kajian lebih dalam soal apakah benar Candi Kedaton dan candi-candi di sepanjang gugusan Kompleks Percandian Muaro Jambi itu benar yang dimaksudkan I-Tsing dalam catatannya. "Makanya, belum ada catatan jelas atau prasasti terkait Muaro Jambi. Adanya baru analisis-analisis," katanya saat ditemui di kantor BPCB. Namun, yang pasti semua sepakat. Karena sebagian besar adalah candi, ditambah pentirtaan, dan arca-arca bernapaskan ajaran Buddha, tentunya Kompleks Percandian Muaro Jambi berkaitan dengan pusat keagamaan bagi masyarakat Buddha di masa lalu.

  • Nasib Tragis Raja Inggris yang Dimakzulkan

    RABU 18 Desember 2019 menjadi “Rabu kelabu” bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Malam hari itu waktu setempat, House of Representatives mengetuk palu untuk menetapkan impeachment atau pemakzulan terhadap Trump. Pemakzulan bisa disebut sebagai proses politik untuk mengadili tindak kejahatan seorang pemimpin. Di negara-negara dengan sistem bikameral, pemakzulan berhulu pada suara mayoritas yang didapatkan dari pemungutan suara di badan legislatif. Suara mayoritas itu lalu diteruskan ke Senat. Senat lalu menyelidikinya dan memutuskan apakah si kepala negara harus melepaskan jabatannya atau tidak. Sebelum Trump yang nasibnya bakal ditentukan Senat AS kelak, ada dua presiden AS yang dimakzulkan meski kemudian tetap menjabat sampai akhir masa jabatan. Adalah Andrew Johnson pada 24 Februari 1868 dan Bill Clinton pada 19 Desember 1998. Di Indonesia, setidaknya dua presiden pernah di- impeach , yakni Sukarno pada 12 Maret 1967 dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 23 Juli 2001. Namun tahukah Anda bahwa tidak hanya presiden, seorang raja pun pernah dimakzulkan bahkan sampai divonis eksekusi mati? Siapa Raja Charles I? Dari beragam catatan sejarah, peristiwa pemakzulan pertama terhadap seorang pejabat negara terjadi di Inggris pada 1346. Adalah Lord William, bangsawan Inggris yang menjadi baron keempat di Latimer, yang dimakzulkan. Tiga abad berselang, giliran seorang raja yang di- impeach hingga bermuara pada eksekusi mati. Raja itu ialah Charles I. Charles I dinobatkan jadi raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia pada 25 Maret 1625 sepeninggal ayahnya, Raja James I (Raja James IV, sebagai penguasa Skotlandia). Sebagaimana mendiang ayahnya, Charles I juga kerap berselisih dengan parlemen yang banyak diisi para politisi puritan. Oleh karena itu, perselisihan Charles I dengan parlemen tak hanya soal uang atau kebijakan diplomatik, namun juga soal agama. Perselisihan agama itu berpangkal pada istri Charles I, Ratu Henrietta, yang berasal dari Prancis dan beragama Katolik Roma. Lukisan tiga wajah Raja Charles I. ( royalcollections.org.uk ). Mengutip Robert Unwin dalam The Making of United Kingdom , perkara lain yang bikin ruwet hubungan sang raja dan parlemen adalah relasinya dengan George Villiers, 1st Duke of Buckingham. Villierslah biang kerok yang membuat Inggris terlibat dalam berbagai konflik yang menguras keuangan negara, seperti di Perang Ekspedisi Cádiz kontra Spanyol (1-7 November 1625) dan Pertempuran St. Martin melawan Prancis (1627). “Charles butuh uang dari parlemen yang bakal menaikkan pajak. Parlemen memanfaatkannya untuk bernegosiasi. Parlemen merilis daftar keluhan rakyat terhadap raja yang dikenal dengan ‘Petition of Right’. Charles terpaksa setuju. Namun menyusul pembunuhan Duke of Buckingham pada 1629, hubungan antara Charles dan parlemen memburuk, Charles membubarkan parlemen,” ungkap Unwin. Maka selama 11 tahun berikutnya Inggris dipimpin seorang tiran yang memerintah tanpa diawasi parlemen. Baru pada 1640 parlemen diketengahkan Charles atas usulan salah satu menterinya, Thomas Wentworth, 1st Earl of Strafford. Nahas, setahun berselang justru Wentworth sendiri dimakzulkan parlemen yang berakhir pada keputusan eksekusi mati. Parlemen dan Charles kembali bersitegang saat kekuasaannya hendak dikerdilkan parlemen lewat hukum-hukum baru yang dikeluarkan House of Commons (legislatif). Charles yang marah menggeruduk parlemen dengan pasukannya untuk menangkap lima musuh politik di House of Commons pada 1642. Para oposan itu lalu kabur. Peristiwa itu menandai dimulanya Perang Saudara Inggris antara kaum “Roundheads” yang pendukung parlemen dan “Cavaliers” sebagai loyalis Charles I. Meski Perang Saudara Inggris terjadi hingga 1649, Charles I sudah lebih dulu ditawan di Isle of Wight sejak 1648. Baru pada Januari 1649 statusnya sebagai raja dimakzulkan House of Commons, badan legislatif di Parlemen Rump, dengan dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan pengkhianatan terhadap rakyat Inggris. Raja Charles I dalam sidang pemakzulannya. (Wikipedia/Repro The Phelps Family of America and their English Ancestors ). Pada 20 Januari 1649, Charles I diseret ke kursi terdakwa di Westminster Hall. Tiga hakim dan 150 komisioner pengadilan tinggi menghadapi sang raja dalam pengadilan kasus itu. Tetapi Charles I menganggap peradilan itu sebagai peradilan ilegal. Sebagai raja, ia masih berpegang pada hukum tradisional Inggris: raja adalah kekuasaan abadi yang diberikan Tuhan sehingga raja dianggap takkan pernah salah. Oleh karenanya, persidangan itu tak punya kekuatan hukum terhadap kedudukannya sebagai raja. “Tidak ada pengacara terpelajar yang akan menyetujui bahwa sebuah pemakzulan bisa dihadapkan pada raja… Saya ingin tahu wewenang dari otoritas hukum mana, sampai saya bisa diseret ke (persidangan) ini,” kata Charles I saat diberi kesempatan bicara, dikutip dari The Constitutional Documents of the Puritan Revolution: 1625-1660 yang dieditori Samuel Rawson Gardiner dari Universitas Oxford. Pernyataan itu mendapat bantahan dari Bradshaw, satu dari tiga hakim yang memimpin sidang. Menurutnya, saat Charles I dinobatkan dengan sumpah, sumpahnya punya makna timbal-balik terhadap rakyat. Dalam dakwaan, justru rakyatlah yang dikhianati Charles I hingga menjadikan ikatan antara raja dan rakyatnya terputus. Surat vonis Raja Charles I (kiri) & ilustrasi eksekusi mati dengan pemenggalan kepala. ( parliament.uk ). Charles I pun tetap disidang dan pada 27 Januari 1649 divonis hukuman mati. “Sidang mencapai keputusan bahwa Charles (dari wangsa/dinasti) Stuart dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya sebagai tiran, pengkhianat, pembunuh dan musuh negara, dengan hukuman mati lewat eksekusi pemenggalan kepala,” demikian bunyi vonis Charles yang ditandatangani 59 komisaris sidang, termaktub dalam arsip “Death Warrant of King Charles I” yang dimuat situs parliament.uk . Eksekusinya digelar di halaman Banqueting House, Istana Whitehall pada 30 Januari 1649 siang. Peristiwa pemakzulan itu lantas diadopsi para perumus konstitusi AS, di mana dalam Konvensi Konstitusi 1787 prosedur pemakzulan dimasukkan di Konstitusi Amerika Pasal II ayat 4. Konstitusi serupa itu kini dihadapi Trump.

  • Khazanah Arsip Lima Tokoh Indonesia

    DALAM Kongres Pemuda I, para perempuan turut hadir. Emma Peradiredja salah satunya. Dia mewakili Jong Islaminten Bond. Dalam kongres tersebut Emma aktif dalam pembicaraan mengenai nasib perempuan dalam pendidikan. Pada Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, Emma kembali hadir dan aktif. Ketika masa revolusi fisik, Emma menjadi pemimpin pemuda dalam perlawanan di Bandung dan menjadikan rumahnya sebagai markas. Ketika Bandung menjadi lautan api, ia bersama Djawatan Kereta Api mengungsi ke Cisurupan pada Juni 1947 untuk kemudian pindah ke Yogyakarta hingga ditangkap pada 1949. Seluruh aktivitas Emma sejak 1921-1978 tersebut tercacat dengan rapi lewat tulisan tangannya. Catatan pribadi Emma inilah yang diserahkan Amarawati Poeradiredja, anak Emma, kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pengambilalihan arsip tersebut kemudian diresmikan dalam acara Penyerahan Arsip LAPAN, Ormas, dan Perseorangan di ANRI, Kamis (19 Desember 2019). “Semua arsip Bu Emma saya simpan baik-baik. Saya mencatat arsip yang dipinjam lalu kembali. Undangan untuk berbicara tentang Bu Emma juga semua saya simpan dengan baik,” kata Amara. Ada lima tokoh yang arsipnya diserahterimakan ke ANRI. Selain Emma, ada Ir. Djuanda Kartawidjaja, Ir. Suharto, dr. Rusmono, dan Rajab Leasa. Dari kalangan ormas yang menyerahkan arsip statis ialah Teater Keliling pimpinan Rudolf Puspa. Selain itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga menyerahkan foto dan citraan satelit Lumpur Lapindo yang pernah digunakan sebagai rujukan ganti rugi lahan korban tedampak. Rudolf Puspa memberikan sambutan di acara penyerahan arsip Teater Keliling. (Nur Janti/Historia). Menurut Kepala Subdirektorat Akuisisi Arsip III Ormas, Perseorangan, dan Sejarah Lisan Yosephine Hutagalung, proses pengambilalihan arsip pribadi memakan waktu sekira satu tahun. Seluruh foto yang dkumpulkan kemudian diriset kembali untuk diberi konteks waktu dan peristiwa. Upaya menambah khazanah arsip perorangan juga dibarengi dengan pembuatan arsip sejarah lisan yang bisa memperkaya sumber periset biografi tokoh. Dalam pembuatan arsip sejarah lisan Ir. Djuanda Kertawidjaja, misalnya, ANRI telah mewawancara anak bungsunya, Noorwati Djuanda. Dokumen penting yang diserahkan oleh keluarga Ir. Djuanda Kartawidjaja merupakan catatan sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada 25 Februari hingga 7 Maret 1946. Sebelumnya, pihak ANRI juga meminta arsip perorangan dari Ciputra mengingat ia punya banyak karya dalam pembangunan kota Jakarta. Sayangnya, kondisi kesehatan Ciputra tidak memungkinkan. “Tadinya kami mau membuat proyek sejarah lisan ke Pak Ciputra, namun sayangnya beliau sedang dirawat di rumahsakit dan tidak bisa diwawancara,” kata Yosephine. Sementara, penyerahan arsip Ir. Suharto sudah dimulai sejak November 2018. Semula keluarga hanya menyerahkan arsip foto namun ketika Ir. Suharto meninggal pada Agustus 2019, seluruh arsip diserahkan pada ANRI. Koleksi paling menonjol ialah rancangan pesawat XT-400 sebagai pesawat perintis. Ada pula kumpulan foto dan dokumen Ir. Suharto dari 1966-2017. Mengenai arsip dr. Rusmono, isinya berupa kumpulan disposisi Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto kepada Rusmono selama menjabat sebagai dokter kepresidenan pada 1986-1995. Terdapat pula arsip foto pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Fakfak yang diserahkan Rajab Leasa. Penyerahan arsip Emma Poeradiredja, dilakukan selama setahun. “Pengerjaan Arsip Bu Emma sudah dilakukan sejak pertengahan 2018. Sejauh ini koleksi arsip era pergerakan nasional masih sedikit, khususnya perempuan. Maka arsip dari Bu Amara jadi penting untuk melengkapi koleksi ANRI,” kata Suryagung, arsiparis yang mengerjakan akuisisi arsip Emma Poeradiredja. Amarawati menceritakan perjuangan Emma Poeradiredja. (Fernando Randy/Historia). Dalam proses penyerahan arsip ini, Amara memberikan delapan buku, arsip foto, surat, naskah pidato, dan dokumen kegiatan Emma. Namun Amara meminta agar ANRI memberikan salinannya. “Kalau yang asli boleh diambil, tapi setidaknya saya punya salinannya. Jadi ketika ada yang bertanya tentang Bu Emma saya punya pegangan,” kata Amarawati. Arsip yang diserahkan dari keluarga Emma terhitung paling banyak lantaran Amara cukup rajin menata dan mendaftar peninggalan Emma. “Semua yang saya simpan dan koleksi itu penting. Untuk kenangan saya tentang Bu Emma, juga untuk diwariskan ke anak cucu saya. Kita nggak bisa melupakan sejarah yang begitu dekat,” kata Amara.

  • Tjokroaminoto Jadi Hanoman

    Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto merupakan tokoh yang dikenal sebagai guru bangsa. Dia menempa tokoh-tokoh seperti Sukarno, Muso, Alimin hingga Kartosoewiryo kala mondok di rumahnya, di Surabaya. Selain sebagai guru politik yang jago berpidato, Tjokroaminoto ternyata juga seorang seniman. Bakat seni Tjokroaminoto terasah ketika dia bersekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren  (OSVIA) Magelang. Selain mendapat pendidikan sebagai calon pegawai pemerintahan, Tjokroaminoto juga dilatih berbagai kesenian Jawa. Pelajaran khusus bagi para pelajar Jawa di OSVIA meliputi sastra, karawitan hingga tari-tarian Jawa. "Adalah suatu aib bagi seorang priyayi lulusan OSVIA, bila tidak mahir menari Jawa, yang disebut beksa. Dan Oemar Said Tjokroaminoto memang mahir sekali dalam hal tari-tarian ini," sebut Subagiyo Ilham Notodijoyo dalam Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah. Pada 1902, Tjokroaminoto lulus dari OSVIA. Dia kemudian menjadi pegawai pamongpraja sebagai juru tulis patih di Ngawi, Jawa Timur. "Akan tetapi seperti halnya dengan Tirto Adhi Soerjo , ia tidak menyukai pekerjaan tersebut, sehingga ia keluar dari dinas pamongpraja pada tahun 1905, kemudian menggabungkan diri pada suatu pertunjukan wayang orang," tulis Hartono Kasmadi dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah. Pada 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja di firma Kooy & Co. Kegemaran berkesenian Jawa, terutama pada pertunjukan wayang orang, terus ia bawa. Ia seringkali membawa anak dan para pelajar yang mondok di rumahnya untuk berlatih wayang orang. "Kalau saya tidak salah ingat, ketika saya masih berusia sekitar 5-6 tahun, di Surabaya, ayah bersama-sama para pelajar yang mondok di rumah, secara teratur entah seminggu sekali atau seminggu dua kali, mengadakan latihan tari-tarian wayang bertempat di Taman Seni Panti Harsoyo, sekarang barangkali taman ini telah berubah menjadi hotel," ungkap Harsono Tjokroaminoto dalam Menelusuri Jejak Ayahku . Ketika bermain dalam pertunjukan wayang orang, Tjokroaminoto sering memerankan tokoh Hanoman. Sosok kera putih sakti itu adalah tokoh wayang idolanya. "Jika ikut dalam suatu pertunjukan wayang orang, maka kesukaan almarhum dulu ialah menjadi Hanoman. Dalam memilih peranan itu kiranya beliau ingin memuntahkan isi jiwanya dalam menghadapi perjuangan bangsanya,” tulis Amelz dalam H.O.S Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya . Dalam kisah Ramayana, Hanoman bersama pasukan wanara diceritakan berhasil mengalahkan banyak tentara Dasamuka dalam satu peperangan. Dasamuka sendiri merupakan tokoh yang oleh TJokroaminoto dianalogikan sebagai penjajah. "Jadi rupanya yang menjadi latar belakang ayah menggemari peran sebagai Hanoman tidak lain adalah karena Hanoman itu, bagi beliau, merupakan simbol di dalam perjuangannya membela bangsa Indonesia dari penindasan penjajah Belanda," kata Harsono. Selain itu, Tjokroaminoto mengibaratkan Dasamuka sebagai kapitalis yang harus dihancurkan. Maka pertarungan Hanoman dan Dasamuka relevan dengan semangat perjuangannya. "Bagi ayah, pertarungan ini merupakan perlambang dari perjuangan beliau dalam usaha rakyat Indonesia menghancurkan penjajah yang angkara murka, yang bersifat kapitalistik dan imperialistis itu," terang Harsono. Selain pandai bermain dalam pertunjukan wayang orang sebagai Hanoman, Tjokroaminoto juga jago menyanyikan tembang-tembang Jawa serta membuat sajak dan pantun Jawa. Keluarganya pun juga dekat dengan kesenian meskipun mereka berbeda selera. Istrinya, Soeharsikin, lebih memilih piano daripada gamelan. Sedangkan anak-anak Tjokroaminoto seperti Oetari, Anwar Tjokroaminoto, dan Harsono Tjokroaminoto juga pandai bermain alat musik dan menyanyi.

  • Langkah Gila Belanda di Yogyakarta

    HARI Minggu itu adalah saat kelabu bagi Yogyakarta dan penghuninya. Sejak pagi, pesawat-pesawat pembom Belanda jenis P51 dan Spitfires terus menghujani ibu kota Republik Indonesia (RI) tersebut dengan ratusan bom dan rentetan tembakan senapan otomatis. "Kami saja yang tentara sudah merasa tegang menghadapi situasi tersebut, apalagi rakyat sipil," kenang almarhum Mayor Jenderal (Purn.) Sukotjo Tjokroatmodjo. Sukotjo adalah anggota pasukan Corps Polisi Militer (CPM) yang mengawal Istana Negara. Pada saat militer Belanda menginvasi Yogyakarta, dia seorang letnan muda yang bersama pasukannya tengah bersiap untuk menjaga keselamatan Presiden Sukarno. Tidak hanya bom dan tembakan, roket-roket pun diluncurkan ke berbagai gedung yang berfungsi sebagai instalasi militer milik Republik. Tak jarang, amunisi-amunisi berat itu mengenai sasaran yang salah dan jatuh di lingkungan pemukiman penduduk hingga menimbulkan korban. Sejatinya pihak RI sudah menduga bahwa Belanda akan keluar dari kesepakatan Perjanjian Renville dan melakukan penyerbuan ke wilayah Republik. Namun pihak RI tidak mengira jika hari H-nya adalah 19 Desember 1948. Alasannya, selain di Yogyakarta saat itu sedang ada para pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN), para pemimpin Republik juga percaya bahwa Belanda baru berani menyerang setelah mereka mendirikan pemerintah federal sementara yang terdiri atas negara-negara bagian Indonesia yang sudah dibangun dan dikuasai Belanda. Demikian diungkapkan oleh George McTurnan Kahin dalam  Nasionalisme dan Revolusi Indonesia . Wakil Presiden RI Mohammad Hatta termasuk yang kecele dengan serangan itu. Satu hari sebelum invasi tersebut terjadi, Hatta menyatakan kepada Kolonel T.B. Simatupang bahwa tak mungkin militer Belanda akan menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1949. "Itu langkah gila jika Belanda berani melakukannya," ujar Hatta seperti dikisahkan Simatupang dalam Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit dalam Perang Kemerdekaan. Hatta percaya bahwa Belanda akan menyerang Yogyakarta. Tapi dia sangsi jika mereka akan melakukanya pada 19 Desember 1948. Hatta memperkirakan Belanda harus berpikir panjang, karena pagi itu Ketua KTN H. Merle Cochran, diplomat Amerika Serikat, tengah berangkat ke Jakarta, membawa surat jawaban Belanda atas pertanyaan dari pemerintah RI. "Tidakkah akan merupakan penghinaan besar terhadap Amerika Serikat, bila Belanda melancarkan serangannya sementara surat menyurat RI-Belanda dengan perantara Amerika Serikat belum diputuskan?" kata Hatta kepada Simatupang. Namun, ternyata Belanda memang mengambil langkah gila itu keesokan harinya. Sementara itu, pada waktu yang sama ketika Hatta dan Simatupang bertemu, di Jakarta Merle Cochran dan Yusuf Ronodiporo, anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda, baru saja tiba di Jakarta. Mereka keesokan harinya ada rencana menyampaikan surat dari Wakil Presiden RI untuk Dr. L.J.M. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda. Sekitar jam 21.00, Yusuf menerima telepon dari Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) untuk secepatnya mengambil surat yang ditujukan kepada delegasi Indonesia. Jam 21.15, surat tersebut sudah ada di tangan Yusuf. Ketika surat yang dialamatkan kepada The Chairman of the Delegation of the Republic (tanpa menyebut Indonesia) itu dibuka, alangkah terkejutnya Yusuf Ronodipuro. Ternyata isi surat tembusan yang sejatinya ditujukan kepada KTN itu adalah keputusan sepihak dari Belanda untuk membatalkan kesepakatan Perjanjian Renville. "…dan mulai hari Minggu, 19 Desember 1948 jam 00.00 (kami) tidak lagi terikat oleh persetujuan tersebut," demikian salah satu bunyi surat yang saat ini ada di dokumen Kementerian Luar Negeri Belanda bertajuk Indonesie in de veligheidsraad de Verenidge Naties (November 1948-Januarie 1949) . Dikisahkan oleh Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor vs Jenderal Soedirman , Yusup lalu berinisiatif mengirimkan kabar penting itu ke Yogyakarta melalui Kantor Pos Umum di Jakarta, namun tidak berhasil. Operator telegram tidak dapat mengirimkan berita, karena semua kontak dengan Yogyakarta tetiba diblok. Tidak ada cara lain, Yusuf lalu mendatangi kamar Cochran di Hotel Des Indes. Begitu selesai membaca surat tersebut, merah padamlah wajah diplomat Amerika Serikat itu, hingga keluar ucapan kasar dari mulutnya: "Damn it! We have to go to Jogja now! (Sialan! Kita harus pergi ke Yogya sekarang juga)," teriaknya. Namun, dalam kenyataannya kepergian ke Yogyakarta pun tidak bisa dilakukan malam itu juga. Itu terjadi karena U.S. Airforce yang digunakan untuk kepentingan KTN tidak mendapatkan izin terbang dari Belanda. Upaya Cochran untuk meminta tolong kepada Elink Schuurman, Pejabat Sementara Ketua Delegasi Belanda, ditolak. Keesokan harinya, aksi ofensif terhadap Yogyakarta pun dilakukan. Pagi sekali Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor sudah memimpin penyerbuan ke Yogyakarta melalui pesawat Mitchell B-25 buatan Amerika Serikat. Ketika situasi sudah sepenuhnya terkendali, dari Maguwo, Spoor ke Semarang untuk mengamati gerak maju pasukan darat ke Yogyakarta dan Solo. Sekitar jam 9 siang, dia kembali ke Jakarta untuk melaporkan kesuksesan Operasi Gagak kepada Dr. Beel. Saat menuju rumah Dr. Bell, menurut  sejarawan J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kajayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia , dia sempat bertemu dengan seorang pemantau militer dari Amerika Serikat. "What a lovely day to start a war!  (Hari yang sangat menyenangkan untuk memulai sebuah perang)," kata sang perwira itu menyindir.

  • Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu

    TIGA poster olimpiade itu rapi memenuhi salah satu sudut sebuah kantor. Masing-masing poster Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000, dan Olimpiade Athena 2004. Poster-poster itu “berbicara” banyak tentang sepakterjang legenda hidup judo Indonesia Krisna Bayu. Kendati sejak 2017 Krisna mengomandoi Pengurus Pusat Persatuan SAMBO Indonesia (PP Persambi), ia tetap tak ingin melupakan dari mana ia berasal (baca: judo). Dari judolah namanya berkibar sebagai satu-satunya judoka Indonesia yang mampu berlaga di tiga pesta olahraga terbesar dunia. “Saya kan memang selalu orang judo. Tapi kalau mau masuk (kepengurusan) judo atau tidak, itu masalah kesempatan datang atau enggak kepada saya secara organisasi. Selama ini enggak ada yang kasih kesempatan saya untuk membangun, ya enggak apa-apa,” ujar Krisna saat berbincang dengan Historia  di kantornya. Tanpa mengecilkan prestasi para seniornya seperti Ceto Kosadek, mendiang Untung Putro Setiono atau Pujiawati, kiprah Krisna sejak 1980-an belum ada yang menyamai, apalagi melampaui. Selain satu-satunya judoka Indonesia yang mampu berlaga di tiga olimpiade, prestasi Krisna antara lain peraih medali emas SEA Games 1997, 2001, 2003, 2009; perunggu SEA Games 2011; perunggu Kejuaraan Asia 2004; serta emas Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG) Bangkok 2009. Mayoritas capaiannya itu diraih di kelas 90kg atau 100kg. Jelas, di balik prestasi itu ada perjuangan berat dan panjang Krisna sejak merintis kiprahnya. Judo tak asing di telinga Krisna. Segala hal tentangnya sudah begitu familiar pada Krisna sejak kecil. Maklum, pria kelahiran 24 Desember 1974 itu berasal dari keluarga yang mayoritas berkecimpung dalam olahraga. “Ayah saya, Amin Pambudi, pelatih judo. Sekarang usia 75 tahun masih aktif melatih di klub. Pernah jadi pelatih kontingen Jawa Tengah di PON (Pekan Olahraga Nasional). Hampir semua di judo. Yang di sepakbola itu cuma satu kakak saya, Gatot (Prasetyo), kiper Persib Bandung. Kakak saya yang lain, Andi Nugroho, ikut melatih di SAMBO. Adik perempuan saya, Lita, juga jadi pelatih judo dan satu lagi adik laki-laki saya melatih tim Kurash di SEA Games kemarin,” terangnya. Krisna Bayu (kanan) saat masih berlaga mewakili Indonesia di SEA Games 2011 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Saat berumur sembilan tahun (1983), Krisna dikenalkan judo oleh ayahnya dengan lebih serius meski dikelilingi keterbatasan. Saat itu pula Krisna memilih judo untuk masa depannya yang tak pernah ia sesali. “Di kehidupan kecil saya itu banyak problem perekonomian keluarga. Jadi sejak kecil saya diajarkan ayah, bahwa kalau sudah pilih sesuatu, jangan mundur dan terima konsekuensinya. Dari tahun 1983 itu bertahap dari kejuaraan antarklub, antar-pelajar, antar-kabupaten/kota, antarprovinsi, lalu ke ajang-ajang junior daerah, junior nasional, sampai masuk pelatnas judo tahun 1989,” kenangnya. Nama Krisna mulai dikenal luas saat PON 1993 di Jakarta. “Gue itu dikenalnya 1993, saat gue ngebanting monster-monster (judoka kelas berat, red. ). Di PON 1993 itu gue ngebanting Ceto Kosadek yang beratnya 150-an (150kg), sementara gue saat itu beratnya 79kg di kelas bebas. Banyak senior yang kena bantai waktu itu,” sambungnya. Melawan Penyakit Ayan Sepanjang hidupnya, Krisna tak melulu bertarung melawan judoka dalam maupun luar negeri. Ia juga mesti bertarung melawan penyakitnya sendiri, epilepsi. Penyakit yang populer disebut ayan itu sudah dideritanya sejak usia sembilan tahun. “Sangat tinggi pengaruhnya (epilepsi) dalam perjalanan saya. Frekuensi latihan saya begitu beratnya di pelatnas, itu sembilan jam sehari. Ya everytime (setiap waktu) pasti kolaps. Di- bully juga sering dengar kata-kata ‘Ya Bayu kan juara judo tapi penyakitnya ayan.’ Buat saya ya biarin aja lah,” kata Krisna lagi. Perjuangan berat Krisna itu masih diingat betul oleh Wasekjen Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI) periode 1997-2014 Aji Kusmantri. Menurutnya, Krisna berjuang melawan penyakit ayannya tanpa mau ketergantungan pada obat-obatan, di sela-sela kerasnya latihan di pelatnas. “Krisna sejak awal junior dia memang punya bakat alam. Namun yang jelas anak itu dulu punya penyakit epilepsi. Setiap pertandingan ke luar negeri, kita harus urus surat anti-doping, karena zat obatnya ada yang mirip dengan doping. Tapi memang dia tidak mau tergantung dengan obat. Sampai akhirnya dia bisa lepas sendiri (sembuh, red. ),” kata Aji kepada Historia via telepon . Kini, Krisna mengaku sudah sembuh dari epilepsi sejak 10 tahun lalu. Cemoohan orang terhadapnya perlahan berganti sanjungan berkat sejumlah prestasinya membanggakan negeri. “Dulu jangankan dari pihak luar, dari pengurus dan pelatih saja ada yang melecehkan saya. Tapi apa harus kita balas? Kan tidak. Saya enggak pernah merasa down atau putus asa. Ayah saya pun menasihati, lebih baik membalas dengan bukti prestasi. Dari pengalaman saya, artinya Anda tidak boleh dikontrol oleh kekurangan itu. Justru Anda yang harus mengontrol kekurangan itu menjadi kelebihan kita,” ujar Krisna lagi. Rela Mati di Arena Dari pengalamannya sepanjang karier sejak 1983 hingga pensiun pada PON 2012 di Riau, tiada yang paling dibanggakannya selain bisa membela Indonesia di tiga olimpiade (Atlanta 1996, Sydney 2000, Athena 2004). Krisna lebih menghargai itu ketimbang koleksi emas di SEA Games. Kendati gagal membawa pulang medali, Krisna bersyukur layak disebut “Olympian” lantaran tak sembarangan judoka bisa tampil di ajang sebesar itu. Yang takkan pernah dilupakannya, yakni di Olimpiade Sydney 2000. Bersama judoka putri kelas 70kg Aprilia Marzuki, Krisna mewakili Indonesia karena peringkat dunianya berhasil menembus olimpiade. Di babak pertama, Krisna langsung menghadapi judoka Brasil Carlos Honorato di kelas 90kg putra. Walaupun kalah dari Honorato, Krisna masih bisa ikut babak repechage lantaran sempat dapat poin. “Main pertama ketemu Honorato, saya dibanting. Kepala saya nyungsep, posisi di bawah. Leher saya di sini dan di sini retak,” kata Krisna sambil menunjuk dua sisi samping lehernya. Krisna Bayu dengan tiga koleksi poster yang dibanggakannya: Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000 & Olimpiade Athena 2004 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Meski cedera parah yang bisa berakibat kematian, Krisna tak ingin berakhir seperti di Olimpiade 1996 Atlanta. Kala itu, Krisna sebagai satu-satunya judoka yang mewakili Indonesia, gugur saat baru sekali tampil di 32 besar kelas 86kg putra. Dia dikalahkan judoka Spanyol León Villar. “Jauh-jauh dari Indonesia ke Amerika, sekali main kalah. Aduh, rasanya malu minta ampun. Berikutnya (Sydney 2000) saya lebih baik mati dikarungin kantung mayat daripada kalah memalukan. Apapun risikonya. Saat dibanting Honorato, saya berusaha agar enggak langsung ippon (poin sempurna). Jadinya kepala saya duluan yang kena matras. Berat saya dan dia (bedanya, red .) hampir 100, massa bantingan 400 yang menerima leher saya. Coba bayangin,” tambah Krisna. Selepas dibanting Honorato, Krisna masih sanggup berdiri walau mulai berkunang-kunang. Akhirnya Krisna kalah poin, 0001 berbanding 1020 milik Honorato. “Setelah keluar arena, dia sempat jatuh di kamar mandi karena nahan sakitnya itu. Tapi masih mau bertanding. Itu yang saya salut. Dulu dia satu-satunya atlet Asia Tenggara yang sulit dikalahkan memang,” kata Aji lagi. Raihan poin membuat Krisna berhak ikut babak repechage. Namun cedera membuatnya harus terima kekalahan poin (0100) dari judoka Spanyol Fernando González (1001). “Setelah kalah, pas masuk kamar mandi, saya jatuh. Sudah enggak sadar. Tahu-tahu saya di rumahsakit. Pas bangun, kondisi leher sudah digips. Pas lihat manajer saya tanya, ‘Oom, masih ada kesempatan main lagi enggak?’ Kata dia, ‘sudah, santai aja. Sudah enggak ada. kamu tenang aja.’ Kalau di situ leher saya patah, wah saya malah bangga. Saya hanya malu kalau sekali main langsung gugur. Buat saya kehormatan bangsa di atas segalanya walau nyawa harus saya berikan,” kata Krisna. Menakhodai SAMBO Indonesia Setelah pensiun pada 2012, Krisna lebih banyak berkecimpung di dunia bisnis. Baru pada 2017 ia comeback ke dunia olahraga dengan menjadi ketua umum PP Persambi, bukan di kepengurusan judo alias PJSI yang sudah membesarkan namanya. “Ya enggak sempat di kepengurusan PJSI karena belum dikasih kesempatan saja. Hak ketumnya mau melibatkan saya atau tidak. Bukan berarti saya meninggalkan judo. Judo is my life. Judo itu artinya membangun watak manusia. Kalau enggak dibutuhkan ya enggak apa-apa, harus sabar dan tetap berdedikasi walau di luar organisasi. Ya makna filosofi judo itu yang saya aplikasikan, tapi orang judo malah memusuhi saya. Kan aneh,” tuturnya. Semenjak menakhodai SAMBO Indonesia, bersamaan dengan mulai dipertandingkannya SAMBO di Asian Games, Krisna menggulirkan sejumlah program. Antara lain, menerapkan sport science dan sport intelligence . “Karena kan kalau mau pasang target untuk menang, butuh basis data yang bisa menjelaskan secara rinci. Kita punya database person-to-person semua atlet kita. Kita juga kerahkan wasit-wasit kita sebagai sportintelligence agar bisa melihat dan membaca kekuatan negara-negara lain,” sambungnya. Hasil dari kebijakannya pun terlihat di SEA Games Filipina 2019. Target satu emas yang dipasang Krisna tak dinyana dilampaui tim SAMBO Indonesia dengan membawa pulang empat emas, satu perak, dan dua perunggu. Sejak 2017 Krisna Bayu didapuk sebagai Ketum PP Persambi (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Selain dua hal teknis di atas, menurut Krisna, faktor penting lain yang membuat tercapainya prestasi adalah dia terjun langsung melecut spirit para atletnya sepanjang lima bulan persiapan di Ciloto dan di sejumlah turnamen ajang ujicoba. “Cara bertarung anak-anak saya (atlet-atlet SAMBO Indonesia) dan semangatnya harus sama dengan saya. Saya bilang kalau hanya perunggu, kamu pasti dapat. Tapi pimpinan kamu ini seorang legenda. Saya enggak mau membina anak-anak pecundang,” ujarnya mengulangi seruannya pada para anak-didik. Krisna ingin para anak-didiknya mendapatkan latihan sekeras ketika ia dididik menjadi atlet. Ia tak segan memberi peringatan keras bila ada atlet yang performanya tak memuaskan. Bahkan, Krisna tak segan “main tangan”. “Begitu ada yang latihan ‘mencla-mencle’, saya pepetin leher dia ke tembok. ‘Kamu ngerti enggak ini duit siapa? Ini kamu makan duit negara! Cara latihan kamu kayak orang kampung. Kayak gini cara kamu bertanggungjawab? Anda mau ngikutin aturan saya atau enggak? Kalau enggak, silakan keluar!’,” ujarnya sambil memperagakan aksi gebrak meja. Meski Persambi hanya mendapat anggaran Rp1,6 miliar dan Krisna menomboki Rp200 juta, Krisna hanya ingin para atletnya bisa membayar biaya itu dengan prestasi. “Tapi setelah selesai latihan mereka harus kita rangkul. Harus kita rebut hatinya. Saya kasih motivasi bahwa kalau mau sejajar dengan saya, mereka harus berani dapat emas. Yang dapat perunggu kemarin aja menangis, minta maaf gagal dapat emas. Kalau saja kita dapat anggaran lebih dari Rp1,6 M itu, saya berani targetkan sikat tujuh emas,” tandasnya.

bottom of page