top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Raja Nusantara di Penobatan Ratu Belanda

    KABAR akan naiknya Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau (putri Raja Willem III) ke takhta tertinggi Kerajaan Belanda telah santer terdengar betahun-tahun sebelum hari penobatan. Persiapannya pun dilakukan sedini mungkin oleh para pejabat Belanda agar pesta berjalan megah. Rupanya di tanah jajahan mereka juga akan diadakan perayaan untuk menyambut penobatan sang ratu. Pemerintah Hindia Belanda segera membuat persiapan untuk melangsungkan perayaan besar di Batavia. Undangannya terbuka bagi semua orang. “Pelabuhan dan kapal-kapal di Tanjung Priok diterangi lampu-lampu. Gudang arang pun dihias. Menurut rencana akan ada pesta kembang api, tapi ternyata sampai pukul 21.00 belum muncul,” tulis Threes Susilastuti dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe . Berita penobatan itu sampai juga ke telinga raja-raja pribumi yang oleh media-media Belanda disebut “sekutu dan vazal” kerajaan Belanda. Koran Hindia Belanda di Surabaya, Soerabaiasch Handelsblad , pun membuat sebuah artikel berisi gagasan untuk menghadirkan para raja tersebut ke negeri Belanda. Mereka membandingkan penobatan ratu Belanda itu dengan Tzar Rusia yang mengundang para vazal dari Asia sebagai bentuk apresiasi karena telah mengakui kekuasaan Rusia di negerinya. Menurutnya, pemimpin daerah di Hindia yang setia kepada ratu jumlahnya banyak sehingga tidak boleh disia-siakan. “Apabila Hindia hendak ambil bagian dalam pesta penobatan yang khidmat itu, itu harus terjadi dengan cara yang lebih pantas.” tulis Soerabaiasch Handelsblad . Gagasan itu didukung oleh koran-koran Belanda lainnya. Mereka berharap kerajaan Belanda melayangkan undangan resmi agar para pemimpin daerah dapat diberi kesempatan mengucapkan selamat secara langsung kepada Wilhelmina. Adanya berita mendatangkan perwakilan dari Hindia ternyata mengusik rakyat Belanda. Pada 1897, masalah tersebut dibicarakan di Tweede Kamer (Majelis Rendah) Belanda. Sebanyak 22 anggota majelis mengusulkan anggaran sebesar ƒ75.000 untuk keperluan para wakil Hindia selama di Belanda. Namun gagasan itu ditentang oleh Cremer, Menteri Daerah Jajahan Kerajaan Belanda, karena merasa bukan keharusan untuk mengundang raja-raja di tanah jajahan. Selain itu, kebiasaan hidup mewah yang takutnya dibawa dalam perjalanan mereka ke Belanda akan membebani keuangan pemerintah Belanda. “Tidak ada maksud pemerintah Hindia maupun kabinet untuk mengundang raja-raja pribumi datang ke sini, dan tidak ada juga desakan kepada mereka untuk datang. Kalau mereka datang kemari, maka mereka datang atas kehendak sendiri dan biaya sendiri,” kata Cremer dikutip Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 karya Harry A. Poeze. Setelah Cremer mengungkapkan pendapatnya, terjadi kebimbangan di tubuh Tweede Kamer. Lebih dari setengah anggota majelis berubah pikiran dan menerima tanggapan sang menteri. Perdebatan yang cukup alot pun terjadi. Akhirnya disepakati bahwa undangan untuk para perwakilan tanah jajahan tetap dilakukan. Tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit, yang bahkan tidak merepresentasikan banyaknya kepala daerah yang setia kepada Kerajaan Belanda. “Seluruh perkara dan argumen-argumen yang dikemukakan oleh Cremer memperlihatkan kecongkakan imperial dan kepelitan orang Belanda yang terkenal itu,” tulis Harry. Perwakilan yang datang, antara lain: Pangeran Ario Mataram dari Kasunanan Surakarta, yang didampingi beberapa putranya; Sultan Syarif Hasyim dari Kesultanan Siak; dan dua putra Aji Muhammad Sulaiman, Amidin dan Hassanoedin, dari Kesultanan Kutai. Umumnya para wakil raja-raja dari Hindia itu mendapat sambutan yang hangat dari penduduk Belanda. Salah satu alasannya adalah karena rasa penasaran penduduk kepada pemimpin di wilayah yang sedang mereka jajah. Media-media setempat pun berlomba memburu para perwakilan tersebut guna mendapat wawancara secara eksklusif. Selama di sana, seorang amtenar (pegawai pemerintah) bernama Van Senden  bertanggung jawab mengurusi semua kebutuhan raja dan pangeran dari Hindia. Ia mengatur semua jadwal kegiatan dan kunjungan yang akan dilakukan, termasuk urusan makan. Masing-masing perwakilan juga mendapat pemandunya sendiri. Mereka akan didampingi seorang ahli bahasa orang Belanda dan beberapa pembantu yang khusus dibawa dari kerajaannya. Bahkan Pangeran Ario membawa serta beberapa orang penari dan pembatik dari kotanya untuk tampil di depan ratu. “Para utusan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengunjungi negeri-negeri tetangga, dan di sana mereka mengagumi bermacam hal yang lain dari pada yang lain di Eropa.” tulis Harry.

  • Penolakan Vaksin Dulu dan Kini

    SEJAK beberapa tahun bekalangan, gerakan anti-vaksin muncul di tanah air. Alasan di balik gerakan beragam. Ada yang beranggapan vaksin mengganggu sistem kekebalan anak, dilarang agama, atau mengira vaksin jadi penyebab autisme anak. Meski klaim terakhir telah dibantah para ilmuwan, gerakan ini tak lantas surut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut keraguan penggunaan vaksin jadi satu dari sepuluh ancaman terbesar pada kesehatan global 2019. Buntut penolakan ini tak sepele, ada kemunculan kembali penyakit yang sebetulnya dapat dicegah dengan vaksin. Padahal beberapa penyakit pernah hampir diberantas di masa lalu. "Ada infeksi yang belum pernah kita lihat selama bertahun-tahun atau kita tidak ingat kapan terakhir kali kita melihatnya," kata Michael Angarone, asisten profesor kedokteran di Northwestern University Feinberg School of Medicine di Chicago, Amerika Serikat, seperti ditulis Beritagar . id . Kealpaan pengetahuan tentang ganasnya penyakit inilah yang membuat orang enteng saja menolak vaksin. Padahal salah satu penyakit yang dicegah vaksin, cacar, pernah jadi ancaman mematikan pada abad ke-17. Wabah cacar menyerang Ambon, Maluku tengah, Jawa, dan Sumatera. Peter Boomgard dalam “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica” menyebut pada 1613 cacar menyerang Malaka dan membunuh seperenam populasi. Wabah berikutnya muncul pada 1651 yang menghilangkan nyawa sepertiga penduduknya. Untuk menanggulangi keganasan cacar di berbagai daerah, pemerintah kolonial menggratiskan vaksinasi cacar di semua daerah sejak 1818. Dua tahun berikutnya, pemerintah mengeluarkan Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst (peraturan mengenai Dinas Kesehatan Publik) dan Reglement op de Uitoefening der Keoepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (peraturan pelaksanaan vaksinasi cacar). Dari situlah pengorganisasian program vaksin dimulai. Petugas kesehatan yang khusus menangani cacar dikepalai seorang inspektur, dibantu pengawas di tiap karesidenan yang biasanya diisi oleh dokter. Untuk wilayah yang jauh dan terpelosok, dikirim mantri cacar. Tiap minggu mantri cacar membuat tiga laporan tentang vaksinasi cacar di daerahnya dan diserahkan pada bupati dan pengawas, lalu diteruskan kepada residen dan inspektur. Enam bulan sekali, inspektur akan memeriksa hasil kerja mantri. Jika ada kasus penyakit cacar, anak dari keluarga terjangkit dilarang masuk sekolah. Semua anak di lembaga yang disubsidi pemerintah harus divaksinasi dan semua penderita cacar tidak diizinkan  keluar rumah. Perbaikan vaksinasi terjadi pada 1850 dengan dikeluarkannya pencacaran sirkulir, agar akses masyarakat pada vaksin cukup dekat. Untuk meratakan persebaran vaksinasi, pemerintah membuat pembagian area sebaran vaksin. Satu karesidenan dibagi ke dalam beberapa distrik, tergantung jumlah penduduknya. Jawa dan Madura dibagi menjadi 166 distrik. Namun karena padatnya penduduk, pada tahun berikutnya diubah lagi jadi 123 distrik. Setiap distrik dibagi menjadi tiga lingkaran. Setiap lingkaran ini dijaga satu pos vaksinasi dengan beberapa petugas kesehatan seperti dokter Jawa sebagai pengawas dan mantri cacar. Program vaksinasi menyasar anak usia 7-9 tahun. Tiap Senin, vaksinasi dilakukan untuk lingkaran dalam, Selasa untuk lingkaran tengah, dan Rabu lingkaran luar. Pada hari Kamis, mantri cacar membuat perencanaan, seperti memilih pos berikutnya, dan menyiapkan desa-desa di sekitarnya. Setiap pos harus mencakup desa-desa yang jaraknya 1,5 kilometer. Para mantri cacar menjadi agen perluasan vaksinasi di Jawa pada abad ke-19. Mereka diharuskan tinggal di distrik-distrik yang dipilih untuk penyelenggaraan program cacar. Aktivitas pencacaran dilakukan di desa induk agar masyarakat mudah menjangkau. Di Surabaya, pencacaran dipimpin dr. Gray yang dibantu dua vaccinateur dari Belanda dan 14 mantri cacar. Para petugas kesehatan ini disebar ke distrik-distrik, tiap distrik ditangani dua orang mantri cacar yang akan membuat laporan pencacaran. Dokter Gray tidak ikut terjun ke lapangan, ia sebatas mengawasi kinerja para mantri lewat laporan tersebut. Tugas mantri cacar jadi cukup berat karena selain melakukan pencacaran juga harus melakukan kontrol di wilayah kerjanya. Model pencacaran secara sirkular ini bertahan hingga abad ke-20. Dengan keberadaan pos vaksin yang dekat ini, masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk mendapat vaksin cacar. Namun program vaksin cacar ini sempat mengalami kendala. Penduduk yang sebagian besar masih buta huruf menyulitkan mantri cacar. “Rasa enggan penduduk terhadap sesuatu yang belum dikenalnya serta jarak tempuh untuk mencapai tempat pencacaran juga jadi alasan kuat penduduk untuk tidak melakukan pencacaran,” tulis Baha’Udin dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa” yang dimuat Jurnal Humaniora Oktober 2006. Kegagalan itu terjadi di Surabaya (1824), Pasuruan (1828), Kedu (1823), dan Banyumas (1835). Beberapa orang tua enggan mengantarkan anak mereka untuk divaksinasi. Pada 1821, penolakan vaksin terjadi di Pulau Bawean. Seluruh penduduk tidak mau menerima vaksin karena tidak disetujui ulama. Di Madiun pada 1831, para orang tua enggan mencacarkan anak mereka lantaran tersebar kabar bahwa vaksinasi hanya akal bulus residen yang ingin menjadikan anak-anak kampung sebagai makanan untuk buaya peliharaannya. Begitu kabar ini beredar, para ibu di Madiun langsung melarikan anak mereka untuk bersembunyi ke hutan. Beberapa penduduk punya alasan lebih masuk akal. Mereka meragukan efektivitas vaksin karana ada beberapa anak yang tetap tertular cacar meski sudah divaksin. Vaksin memang kemungkinan tidak befungsi bila terpapar udara tropis dan tidak segera digunakan begitu tiba dari Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, kualitas vaksin makin mutakhir untuk memerangi penyakit. Gerakan penolakan yang massif malah akan membuat penyakit itu muncul kembali.

  • Raja Demak Terakhir Dimakamkan di Banten

    Maulana Muhammad, sultan Banten yang masih muda, bertanya kepada penasihatnya, Pangeran Mas, negara mana yang pertama-tama harus diserang. Pangeran Mas menyarankan agar menyerang Palembang karena di sana ada seorang abdan bernama Soro yang tidak setia lagi dan sudah lama tidak memberikan upeti.  Abdan Soro adalah Kiai Gedeng Sura, pendiri Dinasti Palembang yang berakhir pada 1821. Dia melarikan diri dari Surabaya ketika Demak ditaklukkan Pajang. Dia mulai berkuasa di Palembang pada 1572. Menurut H.J. de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram , Pangeran Mas menyarankan Maulana Muhammad untuk menyerang Palembang karena menganggap pada dirinya melekat hak raja Demak . Maka, Kiai Gedeng Sura yang berasal dari Surabaya dan dulu tunduk pada Demak , dianggap sebagai abdinya. “Dalam peperangan menyerbu Palembang itulah sultan wafat akibat terkena tembakan meriam. Peristiwa gugurnya Maulana Muhammad ini terjadi pada tahun 1596 berdasarkan candrasengkala prabu lepas tataning prang ,” demikian disebut dalam Ragam Pusaka Budaya Banten . Ada penjelasan berbeda tentang Pangeran Mas. Masjid Agung Banten. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons) Ragam Pusaka Budaya Banten menyebut Pangeran Mas adalah seorang pangeran dari Demak bernama Aria Pangiri, putra dari Sunan Prawata atau Pangeran Mu’min. Pangeran Mas tersisih dua kali dari haknya menjadi raja di Demak. Pangeran ini diketahui memiliki niat untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram sehingga Raja Mataram Sutawijaya hendak membunuhnya. Namun, hal itu urung dilakukan karena bujukan istrinya. Dia kemudian berjanji tidak akan kembali ke daerah Mataram untuk selamanya. Akhirnya, dia menetap di Banten sampai wafat. Sedangkan H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa , menjelaskan bahwa Pangeran Aria Pangiri atau Pangeran Kediri adalah anak Pangeran Lepen, kemenakan Susuhunan Prawata, dan cucu Sultan Tranggana, raja Demak ketiga, yang putrinya menikah dengan Sultan Pajang. Setelah Susuhunan Prawata meninggal, Pangeran Mas memegang kekuasaan sekadarnya di Demak . Namun, dia kemudian menjadi Raja Pajang setelah Sultan Adiwijaya meninggal dunia pada 1587. Penunjukannya atas permintaan Sunan Kudus yang menggunakan wibawa kerohaniannya. Hubungan Pangeran Mas dengan Pajang adalah sebagai menantu sekaligus kemenakan dari pihak ibu Raja Pajang. Putra mahkota, Pangeran Benawa, kemudian bersekutu dengan Senapati Mataram dan orang-orang di Pajang yang tak puas. Setelah pertempuran singkat pada 1588, mereka berhasil mengusir Pangeran Mas. Nyawanya selamat berkat permintaan belas kasihan istrinya, seorang putri Pajang. Setelah itu, menurut De Graaf, Pangeran Mas pergi ke Malaka. Orang Portugis memandangnya sebagai Raja Demak ( Raja D’auma ). Dia cukup lama tinggal di jajahan Portugis itu, dari 1588 sampai 1596. Dia ditemani dua putranya (seorang berusia 20 tahun), salah satunya bernama Pangeran Mas I atau Pangeran Juruh. Pangeran Mas kemudian tiba di Banten pada 1 Juli 1596. “Di sana dia disambut dengan hormat oleh kerabatnya, raja Banten. Haknya atas kekuasaan di Demak diakui, dan dia menerima penghormatan sebagai bangsawan, sesuai dengan asal usulnya. Di Banten dia tinggal dalam perumahan di luar kota. Kiranya dia juga lama tinggal di Jakarta yang pada waktu itu di bawah kekuasaan raja Banten,” tulis De Graaf. Ragam Pusaka Budaya Banten menyebut Pangeran Mas membuat “Kreta Singa” yang dipergunakan oleh sultan-sultan Keraton Kasepuhan, Cirebon. Dalam sejarah Banten, diadikenal berkaitan dengan peristiwa penyerangan ke Palembang. Dia membujuk Maulana Muhammad agar menyerang Palembang. Sultan gugur akibat terkena tembakan meriam. Penyerbuan itu tidak membawa hasil apa-apa untuk Banten. Pasukan ditarik mundur, begitu pula Pangeran Mas kembali ke Banten. Namun masyarakat Banten tidak menerimanya dengan baik. Dia dianggap sebagai penyebab wafatnya Maulana Muhammad. Wakil Inggris di Banten, Edmund Scott, memberitakan akhir kehidupan Pangeran Mas. Pada November 1604, dalam pelayaran dari Banten ke tempat lain di pantai utara, Pangeran Mas dibunuh dengan keris oleh salah seorang putranya di tempat tidur. Menurut De Graaf dan Pigeaud, kemungkinan besar Pangeran Mas pada 1604 atau sekitarnya berlayar dari Banten ke Demak untuk memimpin pengikutnya memberontak pada Mataram. “Apa yang menjadi alasan sampai dia dibunuh, kiranya tetap merupakan rahasia.” Pangeran Mas dimakamkan di Kampung Pangkalan Nangka , Banten . Dia pun dikenal sebagai Sultan Pangkalan Nangka.

  • Upaya Memajapahitkan Bali

    USAI menyatakan ambisinya menyatukan Nusantara, Bali menjadi wilayah pertama di luar Jawa yang menjadi target Maha Patih Gajah Mada dan pasukannya. Kesaktian raja Bali, Sri Asthasura Ratna Bhumi Banten (Ida Dalem Bedulu), yang terkenal itu membuat sang maha patih turun sendiri untuk menanganinya. Pertempuran hebat pun tak terhindarkan. Kakawin Nagarakrtagama mencatat gempuran pertama terjadi pada 1343 M. Peperangan itu pada akhirnya dimenangkan pihak Majapahit, ditandai dengan Prabu Ida Dalem Bedulu. Dengan kejadian tersebut, maka habislah pengaruh garis keturunan Bali Kuno sebagai penguasa di negerinya. “Setelah kerajaan runtuh, maka Pulau Bali menjadi kacau balau. Semuanya ini menjadi tanggungan Gajah Mada,” tulis Muhammad Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Akibat kehilangan penguasanya, rakyat Bali dilanda kepanikan. Kekacauan terjadi di mana-mana. Umumnya mereka mencoba mengungsi ke tempat aman. Namun tidak sedikit yang menghimpun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan kembali. Pemberontakan pun semakin membesar di banyak tempat. Masyarakat Bali Aga, yang menyebut dirinya sebagai keturunan Bali Kuno, tak kunjung surut. Mereka menentang kekuasaan raja baru dan menghimpun banyak kekuatan untuk memberontak. Walau Gajah Mada telah melakukan banyak siasat, tetapi dibutuhkan waktu setahun untuk dapat menundukkan kerajaan Bali. Rakyat sangat gigih mempertahankan wilayahnya dari cengkraman Majapahit. Agar kekacauan tidak berlarut-larut, Gajah Mada meminta bantuan Danghyang Kepakisan, seorang Brahmana dari Kediri. Tiga cucu Danghyang Kepakisan –Sri Juru, Sri Bima Sakti, dan Sri Aji Kresna Kepakisan– kemudian diangkat oleh Gajah Mada menjadi Cakradara (raja daerah). Masing-masing bertanggung jawab atas Blambangan, Pasuruan, dan Bali. “Selanjutnya, berdatangan para Brahmana, Arya, dan Ksatria untuk menempati wilayah-wilayah yang telah dikuasai Majapahit di Bali,” tulis Tjokorda Raka Putra dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan. Para Arya (masyarakat kasta tinggi) yang membantu menaklukan Bali disebar ke desa-desa strategis di Bali. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi rakyat Bali agar tunduk pada raja baru dan Majapahit, serta mengganti elit penguasa yang lama sebagai penjaga keamanan di Bali. Menurut kisah Babad Dalem, Arya Kenceng ditempatkan di Desa Gelgel, Arya Kepakisan di Desa Bedahulu, Arya Beleteng di Desa Tangkas, Arya Belog di Desa Kaba-Kaba, dan Arya Sentong di Desa Pacung. Semuanya adalah titik penting dalam proses penguasaan Bali. Sementara itu, pada 1352 Gajah Mada mewakili Kerajaan Majapahit secara langsung memberikan kekuasaan tertinggi di Bali kepada cucu terakhir Kepakisan, yaitu Dalem Sri Kresna Kepakisan. Raja baru Bali itu lalu mendirikan istana di Samprangan, Gianyar. Sehinga munculah kerajaan Samprangan sebagai penguasa baru di Bali. “Samprangan sebagai lokasi pusat pemerintahan yang baru dipilih berdasarkan pertimbangan jarak dan untuk menjauhi desa-desa pedalaman yang masih terus melakukan pemberontakan,” tulis I Wayan Ardika, dkk. dalam Sejarah Bali: Dari Prasejarah hingga Modern . Dalam upayanya memajapahitkan Bali, Kresna Kepakisan sempat merasa lelah. Ia meminta dipulangkan ke Jawa karena perlawanan rakyat Bali tak kunjung surut. Raja lalu mengirimkan utusan ke Majapahit. Gajah Mada yang mendengar hal itu segera menolak permintaannya. Untuk melegitimasi kekuasaan Cakradaranya di Bali, Gajah Mada menghadiahi pakaian kebesaran kerajaan, lengkap dengan sebuah keris bernama Ki Durga Dingkul dan tombak bernama Si Olang Guguh . Selain itu dibuat juga piagam pengesahan yang seluruh permukaannya dilapisi emas. Karena masih diliputi kecemasan, Gajah Mada pun bertolak ke Bali untuk menemui Kresna Kepakisan. Di sana Gajah Mada membantu mengubah seluruh struktur kenegaraan di Bali. Untuk urusan pemerintahan dan birokrasi mereka sepenuhnya mengadopsi sistem dari Majapahit. Sementara sosial, ekonomi, dan budaya, disesuaikan dengan kebiasaan setempat. Demi menjaga ketentraman kerajaannya dan memutus rantai pemberontakan, atas saran Gajah Mada, sang raja memutuskan untuk menjalin hubungan baik dengan keturunan raja-raja Bali Kuno. Mereka yang sebelumnya disingkirkan, mulai dirangkul menjalankan kekuasaan di daerah-daerah yang masyarakatnya masih setia kepada Kerajaan Bali Kuno. Pelaksanaan upacara agama dan leluhur juga terus dilestarikan di seluruh Bali. “Sri Dalem Kresna Kepakisan dianggap sebagai raja yang telah berhasil menunaikan tugas dan kewajibannya sebagai fasilitator Majapahit di Bali dan wilayah taklukannya,” tulis I Wayan Ardika, dkk.

  • Menikahi Saudara Sepupu pada Zaman Kuno

    Konon kabarnya, perkawinan Wijaya dan keempat putri Kertanagara adalah perkawinan antara misan ketiga. Sang Sri Parameswari Tribhuwana, si sulung yang tanpa cela; Dyah Duhita yang sempurna kecantikannya; Prajnaparamita, dikenal dengan nama Jayendradewi, dewi yang sempurna kemolekannya; Lalu si bungsu Gayatri yang ramah, yang dijadikan Rajapatni di dalam keraton, keempatnya masih bersaudara dekat dengan Sang Kertarajasa. Ayahnya, Dyah Lembu Tal ialah sepupu Kertanagara. Sang Narendra senang menjadi sepupu ketiga para putri. Mereka pun jadi punya cita-cita yang sama. “Karena itu juga bagaimana istri-istri raja bersatu dengannya, mempunyai cita-cita yang sama, apapun perintahnya kepada mereka semua memberikan kesenangan kepada dunia,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama. Berbeda dengan di India, di Jawa perkawinan antarsaudara sepupu umum dilakukan. Prasasti dan naskah menjadi buktinya. Utamanya, perkawinan ini dilakukan di antara keluarga kerajaan. Menurut arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa, hal ini kemungkinan demi menjaga harta agar tak jatuh ke orang lain. Praktiknya sudah terjadi sejak masa Mataram Kuno. Selain antarsaudara sepupu, ada perkawinan politis antara raja, atau kerabat raja dengan putri, atau kerabat dekat bangsawan yang berada di bawah kekuasaannya. “Ini untuk memperkokoh kedudukan, juga dimaksudkan untuk menghindarkan kekuasaan mereka jatuh ke tangan orang lain,” kata Titi. Menikahi saudara sepupu paling nampak dilakukan pada masa Majapahit. Di antara penguasa daerahnya, yang merupakan kerabat dekat raja, banyak yang masih saudara sepupu. Mereka ini kemudian diikat hubungan perkawinan. Setelah Wijaya menikahi empat sepupunya sekaligus, cucunya, Hayam Wuruk, menikah dengan anak dari suami bibinya. Kemudian Wikramawarddhana menikahi Kusumawarddhani, putri dari kakak laki-laki ibunya. Suhita menikah dengan Ratnapangkaja, anak dari adik perempuan ayahnya. Wijayaparakramawarddhana menikah dengan Jayawarddhani, putri dari adik perempuan ayahnya. Rajasawarddhana menikah dengan Bhre Tanjungpura, putri dari adik laki-laki ayahnya. Kemudian Girisawarddhana menikah dengan Bhre Kabalan, cucu perempuan dari adik kakeknya. Terakhir, Singhawikramawarddhana menikah dengan Bhre Singhapura, putri dari anak sepupunya. Jauh sebelum itu Airlangga sudah melakukannya. Penguasa Kahuripan itu menikahi putri Dharmawangsa Tguh sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Pucangan (1037). Beberapa naskah sastra pun mengisahkan perkawinan antarsepupu. Kakawin Krsnayana dan Hariwangsa menyebutkan Kresna dan Rukmini sebagai saudara sepupu. Ibu Rukmini, Dewi Prthukirti adalah adik ayahnya Kresna. Pun dalam Kakawin Ghatotkacasraya disebutkan antara Ksitisundari, putri Kresna dan Rukmini, dan kekasihnya Abhimanyu, anak Arjuna dan Subhadra, masih saudara sepupu. Juga dalam Kakawin Sutasoma, disebutkan Sutasoma adalah saudara sepupu Dyah Candrawati. Sebenarnya, apabila mengikuti hukum India, perkawinan semacam ini dilarang. Di Kitab Manawadharmasastra tertulis seorang laki-laki dilarang menikah dengan perempuan yang masih sapinda . Itu artinya dia masih ada hubungan tujuh generasi dari pihak ayah dan lima generasi dari pihak ibu dengan si lelaki. Kitab itu juga melarang pernikahan dengan anak dari adik ayah atau dengan anak dari adik ibunya atau anak dari kakak laki-laki ibu. “Meskipun demikian pada praktiknya di beberapa bagian di India, terutama di bagian selatan mereka melakukan perkawinan antara saudara sepupu, malah dianjurkan,” kata Titi.

  • Turnamen Tertua Itu Bernama Wimbledon

    PETENIS anggun asal Jerman Angelique Kerber memendam senang sekaligus tegang. Dia kembali berlaga pentas Wimbledon edisi ke-133 musim panas ini, 1-14 Juli 2019. Kerber “merumput” lagi di All England Lawn Tennis and Croquet Club sebagai juara bertahan tunggal putri. “Rasanya berbeda karena Anda kembali sebagai juara bertahan kali ini, jadi turnamen tahun ini spesial bagi saya. Banyak emosi dan kenangan dari tahun lalu, tentunya. Saya memulai dari nol lagi dan harus fokus di babak pertama. Pastinya saya juga berusaha menikmati tiap momen di dalam maupun luar lapangan,” ungkapnya, dikutip The Guardian , Senin (1/7/2019). Perasaan serupa juga menaungi Novak Djokovic, juara bertahan tunggal putra turnamen tenis tertua dunia itu. Petenis Serbia pemilik rangking 1 dunia (ATP) itu kembali untuk memburu gelar Wimbledon kelimanya, setelah sebelumnya memuncaki edisi 2011, 2014, 2015, dan 2018. Publik tanah air sendiri bisa berbangga dalam Wimbledon tahun ini. Pasalnya, Christoper Rungkat menjadi wakil Indonesia di nomor ganda putra berpasangan dengan petenis Taiwan Cheng-Peng Hsieh. Keikutsertaan Christoper membuka peluang raihan gelar yang pernah dibawa pulang petenis tanah air sebelumnya. Seperti yang ditorehkan Angelique Widjaja kala memenangi tunggal putri junior Wimbledon 2001 atau Tami Grende yang memetik gelar Wimbledon 2014 di nomor ganda putri junior berpasangan dengan petenis China Qui Yu Ye. Tami Grende (kiri) saat memenangkan Wimbledon Junior 2014 (Foto: All England Lawn Tennis Club) Meski level junior, raihan itu tetap membanggakan. Wimbledon merupakan turnamen tenis terorganisir tertua, pada 1877, laiknya FA Cup sebagai kompetisi sepakbola tertua dunia. Wimbledon satu-satunya turnamen Grand Slam yang dimainkan di lapangan rumput yang tersisa. Selain jadi turnamen tenis tertua dunia, Wimbledon diakui sebagai kompetisi olahraga terorganisir tertua kedua setelah turnamen olahraga layar Americas Cup yang lebih tua 26 tahun. Muasal Wimbledon Kelahiran turnamen Wimbledon tak lepas dari perjalanan sebuah klub olahraga para bangsawan Inggris, The All England Croquet Club. Klub tersebut didirikan pada 1868 oleh enam editor majalah mingguan The Field : John H. Walsh, R.F. Dalton, John Hindle Hale, A. Law, S.H. Clark Maddock, dan Walter Jones Whitmore. Seiring menurunnya antusiasme terhadap olahraga croquet, Walsh memodifikasi lapangan tenis menjadi lapangan rumput untuk bisa dijadikan cabang tambahan di klubnya. Tenis mulai populer saat itu. Pada 14 April 1877, tenis lapangan rumput resmi dijadikan olahraga kedua klub itu hingga mengubah nama klub jadi All England Croquet and Lawn Tennis Club (AEC<C). Ilustrasi turnamen Wimbledon pertama pada 1877 (Foto: wimbledon.com) Walsh pula yang memprakarsai gelaran turnamen amatir terbuka sebulan berselang. Mengutip Wimbledon: The Official History of the Championships karya John Barrett, turnamen itu menerima peserta dengan biaya pendaftaran 1,1 shilling. Peralatan raket dan sepatu tanpa hak juga harus bawa sendiri, sementara bola-bolanya disediakan panitia. “Kondisinya masih seadanya dan sederhana. Sejumlah lapangan rumput dengan net setinggi lima kaki. Raket-raket yang digunakan juga merupakan modifikasi dari sepatu salju,” sebut Barrett. AEC<C mencetuskan turnamen berbayar itu untuk membiayai perbaikan alat-alat pemotong rumput mereka yang rusak. Kendati nama resmi turnamen yang dihelat pada 9-19 Juli 1877  itu The Championship, publik mengenalnya sebagai Wimbledon Championship lantaran venue -nya berlokasi di lapangan Worple Road SW19 distrik Wimbledon, London. Dari sebaran iklan dan pengumuman yang diedarkan The Field edisi 9 Juni 1877, turnamen itu total diikuti 22 pemain amatir. Wimbledon pertama ini juga baru menampilkan nomor tunggal putra. Semua pemainnya juga masih asal Inggris. Adalah Spencer Gore yang, sebelumnya merupakan atlet kriket, jadi juaranya setelah di final menundukkan Charles Heathcote. Gore pun jadi orang pertama yang merengkuh hadiah utama berupa trofi Field Cup, trofi perak berbentuk cangkir setinggi 18 inci berpahat tulisan: “The All England Lawn Tennis Club Single Handed Championship of the World”. Trofi itu sempat hilang pada 1883 hingga AEC<C mesti menggantinya dengan trofi serupa bernama Challenge Cup yang diperebutkan mulai 1884. Sementara, kategori putri baru diikutsertakan dalam Wimbledon pada 1884. Pialanya, “Venus Rosewater Dish”, berupa piringan perak berdiameter 18,75 inci berpahat deskripsi Dewi Minerva. Maud Watson menjadi peraih pertama trofi itu. May Sutton jadi petenis asing pertama yang menangkan Wimbledon pada 1905 (Foto: wimbledon.com) Memasuki awal abad ke-20, Wimbledon yang jumlah pesertanya terus bertambah, mulai kedatangan peserta asing. “(Petenis) Amerika May Sutton Bundey jadi petenis asing yang menang pada Wimbledon 1905 di pertandingan putri. Norman Brookes dari Australia jadi pemenang asing pertama tunggal putra pada 1907,” sebut John Nauright dalam Sports Around the World: History, Culture and Practice. Namun, turnamen Wimbledon yang kian mendunia baru bertransformasi ke profesional pada 1968. Prize money mulai diperkenalkan pada 1968 dengan besar hadiah dua ribu poundsterling untuk juara tunggal putra dan 750 pounds untuk putri. Ironisnya, masuknya peserta asing membuat petenis Inggris Raya malah jarang menang. Legenda Fred Perry pernah memutus nasib buruk petenis tuan rumah saat menjuarai edisi 1934, setelah terakhir kali petenis Inggris lainnya, Arthur Gore menang pada 1909. Sejak era keterbukaan pada 1968, bahkan hanya Andy Murray petenis Inggris yang pernah menang, pada 2013 dan 2016.

  • Kapolri Total Mendalami Spiritual

    SUPARDI berdiri tegak. Merapatkan tumit. Berkonsentrasi. Dia meraba tangan hingga lengan kanan, berganti ke tangan hingga lengan kiri, lalu dada, perut, paha, lutut, kaki, betis, belakang paha, pinggul, punggung, pundak, dan terakhir mengusap wajah. Dia menarik nafas dari rongga dada lalu memutar lengan ke belakang, dan tumit sedikit terangkat. Gerakan itu diulanginya hingga duapuluh kali putaran.

  • Soekanto Dikudeta di Tengah Prahara

    TAHUN 1959 adalah tahun terberat bagi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dalam kedudukannya sebagai Menteri Muda/Kepala Kepolisian Negara. Kepentingan partai politik menyusup di antara perwira-perwira polisi. Salah satunya AKBP Soetarto, kepala Bagian Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) Komisariat Jawa Tengah yang bersimpati pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Soetarto pula, sebagai ketua umum Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI), yang mendesak Soekanto untuk mengadakan konferensi kepala-kepala polisi seluruh provinsi di Indonesia.

  • Awal Rencana Bangun O-Bahn di Indonesia

    Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sedang mengkaji pengadaan transportasi massal O-Bahn di kota-kota besar Indonesia. O-Bahn menyerupai moda Bus Rapid Transit (BRT). Ada lajur khusus untuknya di jalan umum beraspal. Ia juga bisa berjalan di atas rel seperti moda Light Rapid Transit (LRT). Itulah kenapa orang menganggapnya kemempelaian antara BRT dan LRT. O-Bahn atau Omnibus Bahnhoff kali pertama berkembang di kota Essen, Jerman, pada 1980. Panjang jalur sebermula 3 kilometer. Lalu bertambah menjadi 5 kilometer dan melewati terowongan. Bus racikan Daimler Benz itu berjalan menggunakan tenaga listrik dan mampu bergerak secara otomatis berkat teknologi terbaru. Tersemat ban khusus di samping ban utama. Ban khusus itu memandu bus tetap berada di jalurnya ketika berjalan di atas rel. Maka sering pula O-Bahn disebut sebagai bus terpandu ( guided bus ). O-Bahn memiliki keunggulan dibandingkan moda transportasi massal berbasis rel. Utamanya segi finansial dan keluwesan gerak. “Para insinyur Daimler Benz mengatakan biaya pengembangan O-Bahn tidak akan lebih mahal daripada moda kereta api,” tulis New Scientist , 12 Mei 1983.  Kepincut O-Bahn Maka O-Bahn segera menarik minat pemerintah kota lain seperti Birmingham, Inggris, pada 1984, dan Adelaide, Australia, pada 1986. Setahun berselang, Jakarta pun ikut-ikutan kepincut moda O-Bahn. Kala itu masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987—1992). Masanya penuh oleh diskusi rencana pembangunan beragam moda transportasi massal untuk Jakarta. Semua berbasis rel. Dari Mass Rapid Transit (MRT), LRT, sampai Kereta Rel Listrik. Diskusi itu melibatkan Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi, Bank Dunia, Japan International Cooperation Agency, Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta, dan Pemda Jawa Barat. Mereka merasa perlu cepat memecahkan petaka lalu lintas Jakarta demi keberlanjutan pembangunan. Selain transportasi massal berbasis rel, Wiyogo menginginkan moda transportasi lainnya. Pilihannya tersemat pada Bus Terpandu (BT). “Kami juga sedang memprogramkan bus terpandu dari Kebayoran menuju Kota, yang jalurnya sudah mulai direncanakan,” kata Wiyogo dalam Catatan Seorang Gubernur . Dia meminta investor swasta untuk mewujudkannya. Menteri Perhubungan Azwar Anas dan Menristek B.J. Habibie menyatakan setuju terhadap rencana Wiyogo membangun O-Bahn di Jakarta. Menurut Azwar dan Habibie, pembangunan O-Bahn sejalan dengan prinsip dan arahan pengembangan transportasi dari pemerintah pusat. Salah satu prinsipnya ialah penyediaan jasa transportasi berdasarkan permintaan dari penumpang. “Pendekatan ini diterapkan untuk daerah-daerah yang lebih maju dan berkembang serta secara komersial layak dioperasikan,” kata Azwar Anas dalam Clayperon , No. 31 Tahun 1992. Jakarta tergolong daerah maju dan berkembang. Para penumpang membutuhkan moda transportasi cepat dan luwes seperti O-Bahn. Dilihat dari pilihan masyarakat di kota-kota besar negara maju terhadap transportasi massal, O-Bahn menduduki peringkat ketiga di bawah LRT dan KRL. Ini menjadi dasar kuat keinginan pemerintah menghadirkan O-Bahn. Tetapi masalahnya, pemerintah belum bisa mewujudkan pembangunan O-Bahn tersebab cekak dana. “Sebenarnya merupakan permasalahan klasik,” kata Azwar Anas. Karena itulah Menhub dan Menristek sepemikiran dengan Wiyogo bahwa swasta harus memegang peran penting dalam menyediakan transportasi tersebut. Masalah Dana Kemudian pihak swasta menyongsong tantangan pemerintah. PT. Citra Summa, konsorsium patungan grup Bimantara dan Summa, menggelar seminar pada 26—27 Juni 1991 tentang peluang swasta dalam pengembangan sistem transportasi kota metropolitan di Indonesia. Ir. Sri Bintang Pamungkas mewakili PT Citra Summa tampil membawakan makalah tentang rencana pembangunan O-Bahn. Tajuknya “Rencana Angkutan Bus Cepat Massal Terpandu Pada Jalan Layang Sepanjang Blok M-Kota”. Makalah termaksud menjabarkan masalah kemacetan di Jakarta seperti perbandingan jumlah pengguna kendaraan pribadi dan angkutan umum, jalur-jalur padat, laju pertumbuhan jalan dan populasi kendaraan bermotor, perkiraan kenaikan jumlah penduduk, dan kerugian akibat lalu-lintas yang semrawut, solusi untuk petaka itu: Angkutan Cepat Massal Bus Terpandu (ACM BT). Bintang menjelaskan seperti apa wujud Bus Terpandu. “BT jelas memerlukan track khusus yang bisa dipilih pada permukaan tanah ( on ground ), di atas permukaan tanah (elevated, atau layang) ataupun di bawah tanah ( under ground ). Alternatif yang amat memungkinkan adalah kombinasi on ground dengan elevated ,” tulis Clayperon , mengutip makalah Bintang. Bintang memaparkan pula prinsip pembangunan BT. “Harus diperhatikan kepentingan umum yang di atas segalanya, tidak membongkar bangunan monumental yang ada, konstruksi estetis, memperhatikan instalasi yang ada di bawah serta di atas tanah.” Bintang meyakinkan bahwa tarif BT terjangkau oleh berbagai kalangan. Moda ini juga akan memberi pekerja kelas bawah beragam manfaat. “Bagi kelompok dengan status sosial menengah ke bawah, yang hampir bekerja selalu di tempat, ACM BT merupakan tawaran yang menarik.” Pemerintah antusias menanggapi makalah tersebut. Azwar Anas kemudian melapor kepada Presiden Soeharto. Dia memperoleh lampu hijau untuk memulai pembangunan O-Bahn. Pengerjaannya berada di pihak swasta sepenuhnya. Serupa dengan proyek MRT. Keduanya akan saling mendukung. “Sistem O-bahn direncanakan untuk mobilitas 10.800 penumpang per jam, dianggap sebagai transisi sebelum membangun KA bawah tanah,” tulis Kompas , 7 November 1991. Tetapi rencana pembangunan O-Bahn buyar. Tak pernah ada cukup dana untuk sekadar memulainya. Studi kelayakannya pun mandeg sehingga izin pembangunan O-Bahn tak kunjung keluar. Soerjadi Soedjirdja, pengganti Wiyogo, tak pernah lagi menyinggung O-Bahn. Sejak itu, rencana membangun O-Bahn pun terkubur.   Perlu menunggu 27 tahun agar rencana membangun O-Bahn bangkit kembali. Akankah kali ini rencana O-Bahn terwujud?

  • Polusi Jenderal

    PADA 17 Juni 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia. Melalui peraturan tersebut, personil aktif TNI kembali diperbolehkan menduduki jabatan sipil.  Pejabat fungsional TNI, yang meliputi pejabat fungsional keahlian dan pejabatan fungsional keterampilan, menurut peraturan tersebut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala unit kerja atau organisasi di mana yang bersangkutan ditugaskan. Prajurit yang menduduki jabatan fungsional dipindahkan dalam jabatan struktural, maka jabatan fungsionalnya diberhentikan. Namun, setelah prajurit itu diberhentikan dari jabatan fungsional TNI, dapat diangkat kembali sesuai dengan jenjang jabatan fungsonal TNI terakhirnya berdasarkan perundang-undangan, apabila tersedia formasi jabatan. Penandatanganan perpres tersebut menimbulkan pro-kontra di masyarakat yang memang sudah khawatir sejak perpres masih jadi wacana. “Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI (fungsi sosial-politik) yang sudah dihapus sejak reformasi,” ujar Direktur Imparsial Al Araf, dikutip kompas . com , 13/2/19. Terlepas dari pro-kontra yang ada, perpres tersebut merupakan langkah pemerintah dalam mengatasi kelebihan perwira di tubuh TNI yang ada sejak 2010. “Ini softlanding , bagian dari rencana yang dulu kita tolak, bagaimana tentara masuk wilayah sipil. Secara halus sih baik, tapi semangat di belakangnya, semangatnya bagi-bagi jatah, bagi-bagi jabatan karena banyak jenderal yang nganggur; surplus perwira,” kata Muhammad Isnur, ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dikutip cnnindonesia . com , 2 Juli 2019. Masalah kelebihan perwira bukan fenomena baru di Indonesia. Pada 1999, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sampai menggulirkan rencana pemensiunan 4000 militer aktif yang dikaryakan di berbagai jabatan sipil. “Tentara yang dikaryakan itu diberi dua pilihan. Mereka dipersilakan untuk mengambil pensiun dengan tetap menjadi pejabat sipil atau kembali ke ABRI, tetapi kehilangan jabatan sipilnya,” tulis PanjiMasyarakat No. 48, 17 Maret 1999. Langkah tersebut diambil Wiranto sebagai upaya perlahan penghapusan dwifungsi ABRI sebagaimana diamanatkan Reformasi sekaligus mengatasi kelebihan jumlah perwira yang tak sebanding dengan ketersediaan jabatan di tubuh ABRI. “Mereka yang kembali ke Mabes ABRI tak dapat jabatan karena sudah berada di luar struktur. Dia harus ngantri lagi dan tidak tahu jabatannya apa. Mungkin dia juga kalah bersaing dengan rekan-rekan seangkatan yang masih berada di dalam struktur,” kata Wiranto, dikutip PanjiMasyarakat . Akibat kebijakan itu, banyak perwira lebih memilih pensiun dari militer. Letjen Sutiyoso, yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, salah satunya. “ Wong saya sudah di sini. Saya juga mulai mencintai pekerjaan atau tugas ini. Kalau memang harus memilih, saya akan memilih sebagai sipil saja,” kata Sutiyoso. Namun, masalah kelebihan perwira itu jelas belum separah pada masa revousi. Kelindan antara keterlambatan pemerintah membentuk institusi militer, kondisi institusi militer yang dibentuk masih jauh dari ideal, dan suasana revolusi menjadi pangkal persoalan itu. Siapapun orang bisa jadi jenderal, entah lewat penunjukan dari kelompoknya atau penunjukan diri sendiri. “Bayangkan saja, ada anak muda yang dapat pangkat jenderal, lalu bikin pasukan sendiri yang bisa diindoktrinasinya,” ujar panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dalam memoarnya, Pengabdian Bagi Kemerdekaan . Akibatnya, jenderal-jenderal bermunculan. Di ibukota Yogyakarta bahkan sampai muncul gurauan “Tidak mungkin kita kalah oleh tentara Belanda, sebab jumlah jenderal kita lebih banyak!” Didi yang ikut diminta membantu pengorganisasian militer secara profesional sampai heran bercampur kesal melihat realitas tersebut. “Ya, pada waktu itu di Yogya sudah polusi jenderal,” ujarnya.

  • Bantuan Paman Sam untuk Polri

    PERTENGAHAN Januari 1950. Said Soekanto, kepala Djawatan Kepolisian Nasional (DKN), menemui Merle Cochran, duta besar Amerika untuk Indonesia. Selain menyinggung peralatan-peralatan yang akan diajukan ke pemerintah Amerika sebagai bagian dari bantuan $5 juta bagi kepolisian Indonesia, Soekanto menanyakan kemungkinan pengembangan pelatihan serta beberapa isu lainnya.

  • Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata

    PERINTAH datang dari Mohammad Hatta, wakil presiden yang juga perdana menteri. Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo selaku kepala Djawatan Kepolisian Negara (DKN) diberi kuasa untuk meninjau dan mempelajari bentuk, susunan, dan perlengkapan kepolisian di luar negeri. “Tidak ada agenda lain. Tidak ada by design . Dari sisi surat perintah, ya cuma untuk mempelajari polisi di negara lain,” ujar sejarawan Ambar Wulan. Bersama Awaloedin Djamin, Ambar menulis biografi Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo .

bottom of page