top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Berlatih Ala Bruce Lee

    BULUTANGKIS bukanlah olahraga yang digemari Lius Pongoh, pebulutangkis era 1980-an, ketika kanak-kanak. Lius kecil yang bercita-cita menjadi tentara, justru menggemari kungfu, karate, hingga taekwondo. “Tapi enggak kesampaian. Jadinya paling hanya bisa nonton film (kungfu) saja. Saya paling senang film-filmnya Bruce Lee dan Chen Lung (Jackie Chan),” ujarnya kepada Historia . Sayang, ayahnya, Darius Pongoh, kurang mendukung cita-cita Lius menjadi atlet olahraga beladiri. Darius kekeuh ingin menyalurkan energi masa muda Lius di olahraga tepok bulu. Lius pun masuk PB Tangkas sejak usia delapan tahun hingga akhirnya masuk Pelatnas PBSI pada 1979. Postur Lius yang tak terlalu tinggi untuk ukuran pemain bulutangkis membuatnya berlatih lebih keras dari para kompatriotnya. Namun, kegemarannya pada Bruce Lee dan Chen Lung menginspirasi Lius untuk mengadaptasi gerakan-gerakan kungfu Lee dan Lung ke ke dalam latihan-latihannya saban hari. Salah satu latihan fisik Bruce Lee (Foto: breakingmuscle.com) “Sering saya ikuti. Kalau pinggangnya mau kuat, sit up -nya digantung di pohon nangka. Itu saya masih ingat betul. Situp digantung di pohon dengan tambahan beban kantong berisi pasir yang dibikinkan papa saya,” kenang Lius. Untuk urusan penguatan bagian kaki, Lius menggenjot fisiknya dengan membantu ibunya, Kartin Pongoh, berdagang di pasar. “Saya kan anak lelaki, harus bisa bantuin bawa ember yang lebih besar dari badan saya. Harus bisa saya angkat biar kuat kaki saya,” sambungnya. Dampak Meniru Bruce Lee Sial bagi Lius, latihan-latihan ala Bruce Lee ternyata lebih banyak negatifnya ketimbang manfaatnya. “Jadi rontok pinggang dan lutut saya,” kata Lius. Akibatnya, Lius terpaksa absen dua tahun dari Pelatnas PBSI lantaran terkena cedera pinggang. “Ya karena itu. Latihan saya kurang pintar, modalnya hard (latihan keras), harusnya kan smart (latihan cerdas).” Cedera itu membuat Lius mencoba beragam pengobatan, medis hingga pengobatan alternatif seperti akupunktur atau urut Cimande. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) juga membantu dengan mengirim Lius memeriksakan cederanya ke Jerman. “Sampai dua minggu saya diobservasi di Jerman, lalu dikasih dua pilihan. Mau operasi dengan dipakaikan metal di pinggang saya tapi dampaknya jadi pergerakan tidak lentur. Atau tidak operasi dan pengobatan biasa. Tapi konsekuensinya sewaktu-waktu bisa kambuh,” lanjutnya. Lius pilih opsi kedua. Ketika sudah sedikit pulih, dia mulai latihan pelan-pelan dengan ayahnya. Lius comeback ke Pelatnas pada 1984. Meski mengurangi porsi latihan keras sebagaimana sebelumnya, Lius tetap mampu tampil ciamik di Indonesia Open 1984. Cedera pinggang dan lutut memaksa Lius Pongoh gantung raket pada 1988 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Lius juara setelah di final mengalahkan rival yang dikenal tak kalah ulet darinya – Hastomo Arbi. “Suatu kebanggaan juga mengalahkan dia, salah satu pahlawan Thomas Cup 1984. Hastomo juga pemain yang gigih. Punya footwork yang enteng. Pukulan yang bagus,” tutur Lius. Sejatinya bukan hanya Hastomo yang tersingkir gara-gara keuletan Lius. Selain Liem Swie King di perempatfinal, jagoan Denmark Morten Frost Hansen juga disisihkannya di semifinal. Keuletan Lius di turnamen itu membuatnya dijuluki “Si Bola Karet”. “Julukan yang menggambarkan bagaimana ringan langkah kaki Lius yang terus bergerak layaknya bola yang melenting ke sana kemari. Bola-bola yang di mata orang lain akan sulit dikembalikan, di tangan Lius, sesulit apapun ternyata biasa diatasi,” tulis Broto Happy Wondimisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia . Namun, Lius akhirnya harus mengaku kalah pada cedera lutut. Meski mengaku masih bisa bermain, ayahnya menganjurkannya untuk pensiun. Lius gantung raket pada 1988. “Ya ayah saya juga bilang bahwa kasih saja kesempatan orang lain di Pelatnas. Sampai sekarang cedera di pinggang juga tidak sembuh. Berdiri kelamaan tidak enak, duduk kelamaan juga tidak enak. Ya konsekuensi jadi atlet,” tutupnya.

  • Sukaptinah Berjuang Agar Bangsa dan Kaumnya tak Dijajah

    LAGU “Kinanthi Sekar Gendhing Srikastawa” mengiringi pembukaan Kongres Perempuan Indonesia (KPI) Pertama, 22 Desember 1928. Lagu itu dibawakan Siti Sukaptinah atau dikenal sebagai Nyonya Sunaryo Mangunpuspito, salah seorang panitia KPI, bersama murid-muridnya di Perguruan Taman Siswa. Lagu itu merupakan ciptaan Sukaptinah sendiri. Usai panembrama, Sukaptinah maju membacakan asas kongres. Peran Sukaptinah di KPI cukup banyak. Sejak kongres pertama ia ikut menjadi panitia, sebagai sekretaris. Ketika kongres sepakat untuk membentuk federasi organisasi perempuan bernama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), Sukaptinah duduk sebagai sekretaris I. Sukaptinah aktif di gerakan perempuan juga gerakan nasionalis. Lahir di Yogyakarta pada 28 Desember 1907, Sukaptinah merupakan anak seorang abdi dalem bernama R Sastrawecana. Semasa sekolah di HIS Keputran yang didirikan Sultan Hamengkubuwono VII, Sukaptinah aktif di Siswapraja Wanita Muhammadiyah, cikal-bakal Nasiyatul Aisyiyah. Kala itu usianya masih 13 tahun. Setelah tujuh tahun menempuh pendidikan itu, Sukaptinah lulus dan melanjutkan ke MULO Ngupasan sembari aktif di Jong Java. Pada 1924, dia pindah ke Taman Guru Taman Siswa hingga lulus pada 1926. Sukaptinah diajar langsung oleh Nyi dan Ki Hajar Dewantara. Merekalah yang mengajari Sukaptinah nembang hingga bisa menggubah lagu sendiri. Setelah lulus, Sukaptinah menjadi guru Taman Siswa. Di sini, dia berkenalan dengan tokoh-tokoh gerakan peremuan yang juga menjadi guru di Taman Siswa, seperti Sri Wulandari (kemudian dikenal Nyonya Mangunsarkoro) dan Sunaryati (kemudian dikenal Nyonya Sukemi). Selain mengajar, Sukaptinah aktif di Jong Islaminten Bond (JIB) dan menjadi ketua Jong Islaminten Bond Dames Afdeling (JIBDA) cabang Yogykarta. Dari JIBDA inilah Sukaptinah bisa menjadi pengurus KPI mewakili organisasinya. Pada 1929, Sukaptinah menikah dengan Sunaryo Mangunpuspito, pria yang dikenalnya ketika sama-sama aktif di Jong Java. Sunaryo lelaki progresif sehingga pernikahan mereka tak menghambat Sukaptinah aktif dalam gerakan. Istri Indonesia Setahun setelah beberapa organisasi perempuan berfusi menjadi Istri Indonesia pada 1932, Sukaptinah diangkat menjadi ketuanya. Anggotanya sebagaimana dicatat dalam SejarahSetengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, antara lain Maria Ullfah, Siti Danilah, dan Lasmidjah Hardi. Organisasi ini mengeluarkan mingguan bernama Istri Indonesia. Di sanalah, tulisan dan pidato Sukaptinah tentang pernikahan dalam hukum Islam, kemandirian perempuan, dan hak pilih kerap dimuat. Ketika isu tentang hak pilih dan keterwakilan perempuan Indonesia dalam Dewan Rakyat sedang menjadi perdebatan, Istri Indonesia getol mengawal isu tersebut. Maria Ullfah mendedah masalah hak pilih lewat ilmu hukumnya. Sukaptinah yang pada 1938 dilantik menjadi anggota Dewan Kota Semarang lewat Parindra, juga bersuara. Lewat pidatonya yang dimuat Istri Indonesia November 1939, Sukaptinah memprotes pemerintah kolonial yang lagi-lagi memilih perempuan Belanda di Dewan Rakyat. Menurutnya, pemerintah tidak membuka kesempatan pada perempuan Indonesia untuk duduk di Dewan Rakyat. “Kita sudah hidup di masyarakat yang tidak membedakan satu bangsa dan bangsa lain, juga tidak membedakan lelaki dan perempuan… bangsa kita membutuhkan tenaga perempuan baik di dalam maupun di luar raad (Dewan Rakyat, red .),” kata Sukaptinah. Ketika Komisi Visman yang dibentuk pemerintah mengadakan penelitian tentang keinginan bangsa Indonesia dalam perubahan ketatanegaraan pada 1941, Sukaptinah dan Sri Wulandari menjadi dua orang yang dimintai pendapat. “Saya ingin Indonesia berparlemen,” kata Sukaptinah. Pendapatnya itu didasarkan pada perjuangan Istri Indonesia agar perempuan punya akses untuk berpolitik dan duduk di Dewan Rakyat. Usaha Jelang Kemerdekaan Kedatangan Jepang mengubah Kota Semarang menjadi morat-marit. Sukaptinah dan keluarga pindah ke Yogyakarta lantaran ia sedang hamil tua. Menurutnya, pindah ke Yogyakarta adalah hal yang tepat supaya bisa melahirkan dengan selamat. Tak lama setelah melahirkan, Sukaptinah dipanggil Sukarno ke Jakarta untuk mengepalai seksi perempuan Putera juga Fujinkai. “Ibu Sunaryo Mangunpuspito dijadikan ketua Fujinkai. Pusatnya ada di Jawa Hokokai yang dipimpin Bung Karno…. Ketika pembentukan BPUPKI yang ketuanya dr. Radjiman Wediodiningrat, Ibu Sunaryo Mangunpuspito diikutkan karena ketua Fujinkai di Jakarta,” kata Maria Ullfah, rekan seperjuangan Sukaptinah, dalam rekaman Arsip Sejarah Lisan ANRI. Dalam BPUPKI, Soekaptinah duduk di Pantia Ketiga, membahas pembelaan tanah air. Sementara Maria Ullfah di Pantia Pertama yang membahas UUD dan Undang-Undang. Setelah kemerdekaan, tulis Sri Sjamsiar Issom dalam tesis berjudul “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito Sosok Wanita Pergerakan Indonesia (1928-1956)”, Sukaptinah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ketika Sekutu datang untuk kembali berkuasa, Sukaptinah bersama keluarga pindah ke Yogyakarta menumpang kereta malam yang memberangkatkan rombongan presiden. Keluarganya kemudian menumpang di rumah orangtua Sukaptinah di Namburan. Sunaryo dan Sukaptinah meleburkan diri ke dalam gerakan nasionalis. Sementara Sukaptinah sibuk di KNIP dan kemudian Badan Pekerja KNIP (1949-1950), Sunaryo aktif membuat selebaran dan mengikuti rapat-rapat politik di samping mengumpulkan informasi untuk kepentingan Republik berbekal bahasa Belandanya yang baik. Keaktifan Sunaryo membuat rumah Raden Sastrawecana digerebek pasukan Belanda pimpinan Kolonel Van Langen di suatu malam. Setelah mengobrak-abrik isi rumah, menyita selebaran dan surat-surat, pasukan yang terdiri dari orang Belanda dan Ambon itu menangkap Sunaryo. Bukan hanya itu, mereka juga menyita batik dagangan Nyonya Sastrawecana, persediaan beras keluarga. Saking dongkolnya barang yang tak punya sangkut-paut dengan gerakan nasionalis disita, Sukaptinah marah. “ Londo opo kok gelem beras (Belanda macam apa yang doyan beras, red. )” kata Sukaptinah. Sunaryo ditahan di Penjara Wirogunan lalu dipindahkan ke Ambarawa. Dia baru dibebaskan setelah Konferensi Meja Bundar (KMB, 1949). Perjuangan Sukaptinah dan Sunaryo terus berlanjut setelah pengakuan kedaulatan.

  • Kisah Jenderal yang Berniaga

    USAI melepas seragam tentara, Herman Sarens Sudiro ditugaskan ke Madagaskar sebagai duta besar. Di sana, Herman tak sekadar mengurusi lobi-lobi diplomatis. Di waktu senggang, dia doyan berburu babi hutan. Jenderal bintang satu yang gemar tampil necis ini juga nyambi berdagang. “Saya bawa cengkeh Zanzibar dari Madagaskar ke Indonesia sebanyak 30-40 ton setahunnya. Dan keuntungannya lumayan. Lalu apakah salah seorang duta besar berdagang?” ujar Herman Sarens dalam otobiografinya Ancemon Gula Pasir: Budak Angon Jadi Opsir . Pengalaman di Madagaskar jadi bekal Herman Sarens ketika meninggakan dinas aktif kemiliteran. Memasuki masa pensiun pada awal dekade 1980-an, Herman mantap menekuni dunia bisnis. Ketimbang bertumpu pada uang pensiun yang tidak seberapa, Herman lebih memilih berwirausaha. Bidang usaha yang dilakoninya pun cukup unik dan belum lazim saat itu. Herman merambah bisnis hiburan. “Meskipun saya haji, saya juga punya usaha diskotik,” kata Herman. “Maklumlah, zaman saya kecil belum ada hiburan semacam itu. Jadi apa saya salah kalau sekali waktu saya berdisko dengan teman-teman? Terkadang sambil berdisko itulah saya berbisnis sambil mencari kawan.” Dari bisnis diskotik itulah grup usaha Herman melebar ke mana-mana. Mulai dari usaha perhotelan, pacuan kuda, hingga sasana tinju. Namanya pun kian beken sebagai jenderal pebisnis.   Uang pensiun kecil Herman Sarens harnyalah segelintir jenderal yang menggeluti arena niaga setelah purnabakti. Ketika telah menjadi orang sipil, sejumlah “serdadu tua” TNI angkatan 45 memilih menjajal peruntungan baru untuk mendulang uang. Majalah Tiara No. 48, 15-28 Maret 1992, mencatat beberapa nama jenderal yang mengeluti bisnis pascapensiun. Mereka antara lain Pangkopkamtib Jenderal TNI Soemitro (1971-74), Gubernur Jakarta Letjen KKO AL Ali Sadikin (1966-77), Panglima Kostrad Letjen TNI Kemal Idris (1967-1969), Panglima Kodam Cenderawasih Brigjen Acub Zaenal (1970-73), Gubernur Jakarta Letjen TNI Tjokropranolo (1977-82), dan KSAD Jenderal TNI Widodo (1978-80). Kemal Idris, mantan Panglima Kostrad yang bisnis hoteldi masa senjanya. (Matra, Oktober 1986) Para purnawirawan ini menyadari gaji pensiun mereka kurang memadai. Kecilnya uang pensiunan mengharuskan mereka untuk tidak bertumpu dari dana pensiun belaka. Faktor inilah yang menjadi alasan mereka untuk terjun berbisnis atau bekerja sama dengan pihak swasta. “Saya memang harus hidup. Kalau hanya dari uang pensiun yang besarnya Rp. 255 ribu, dari mana saya bisa hidup?” kata Kemal Idris dikutip Tiara . Pernyataan senada juga dilontarkan Acub Zaenal. Mengandalkan hidup pada uang pensiun pun rupanya tidak memadai bagi Acub yang juga pernah menjadi gubernur Irian Jaya ini. “Uang pensiun saya hanya cukup untuk membayar rekening air dan listrik,” kata Acub Zaenal dalam Matra No.3, Oktober 1986. “Kalau digunakan juga untuk kebutuhan sehari-hari, paling kuat bisa bertahan seminggu,” kata Acub.   Purnwirawan dan Bisnisnya Meski bergaji pensiun kecil, purnawirawan berbintang ini boleh dibilang beruntung. Para konglomerat maupun taipan industri kerap menggandeng jenderal gaek yang baru pensiun ke dalam perusahannya. Paling banter mereka diplot jadi presiden komisaris tanpa portofolio atau pemegang saham kosong di akta. Kemal Idris misalnya. Pada 1976, Kemal terjun ke dunia bisnis setelah menyelesaikan tugas terakhirnya sebagai duta besar untuk Yugoslavia dan Yunani. Dua bulan menjalani masa pensiun, tawaran untuk duduk di perusahaan datang. Dalam suatu rapat pemegang saham, Kemal dipercaya untuk memegang PT Griya Wisata Hotel Corporation yang bergerak dalam perhotelan dan wisata. Modal awal Kemal hanyalah saham lima persen dalam bentuk utang yang baru dilunasi dua tahun kemudian.   “Sejak ditunjuk sebagai direktur utama perusahaan itu, saya mulai berkecimpung dalam perhotelan pariwisata. Ini pengalaman pertama yang membawa saya ke bidang bisnis. Selanjutnya saya terlibat dengan kegiatan menangani perusahaan,” kata Kemal dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi yang disusun Rosihan Anwar dkk.    Jenderal Soemitro juga nama beken yang digandeng pengusaha. Setelah enam tahun menjalani masa pensiun dini sejak Peristiwa Malari 1974, Soemitro kemudian bermain bisnis. Soemitro tercatat sebagai Presiden Komisaris PT Suma Corporation dan PT Cakra Sudarma yang mengelola konsesi lahan perhutanan. Sementara Tjokropranolo yang akrab disapa Bang Nolly, melakoni bisnis ekspor kayu. Selepas pensiun sebagai gubernur Jakarta, Bang Nolly menjabat Direktur Utama PT Agodha Wayhitam, yang mengeskpor lebih dari lima puluh ribu meter kubik kayu lapis yang dirambah dari hutan di Kalimantan Selatan ke Jepang setiap bulan.   Beberapa jenderal ada yang merintis usaha dari koceknya sendiri. Acub Zaenal mendirikan PT Alpha-Zenit - sebagaimana inisial namanya - di Jakarta. Bidang usahanya meliputi kegiatan ekspor-impor, perfilman (PT Dewi Sendang Film), pertokoan (Tunjungan Plaza, Surabaya), dan berbagai bisnis jasa. Acub Zainal, mantan Panglima Kodam dan gubernur Irian Jaya. Kawasan perbelanjaan Tunjungan Plaza di Surabaya, Jawa Timur salah satu pilar usaha Acub Zaenal selepas pensiun. ( Tiara , Maret 1992). Letjen Suhardiman, perwira AD yang mendirikan Serikat Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI) yang menjadi cikal bakal Golkar, menjadi pengusaha jasa rekreasi. Suhardiman membangun PT Evergreen Hotel, kompleks peristirahatan di kawanan Puncak, Bogor untuk mengisi masa pensiunnya. Suhardiman memodali sendiri bisnisnya meski tidak menampik memperoleh kemudahan karena latar belakangnya sebagai mantan perwira tentara. “Ya, untuk memulai bisnis, saya menjual arloji, mobil, rumah, bahkan bangunan yang pernah digunakan sebagai kantor Dewan Nasional SOKSI di Tanah Abang,” tutur Suhardiman dikutip Matra . Di kalangan Angkatan Udara terdapat nama Sri Mulyono Herlambang. Marsekal Muda yang pernah menjadi pilot pesawat kepresidenan dan Menteri Panglima AU ini pensiun dini pada 1966 . Sri Mulyono kemudian merintis usahanya lewat PT Daria Poultry, peternakan ayam bibit dari Amerika dan Jepang. Dari sepuluh ribu ekor ayam ternaknya, Sri Mulyono mengembangkan sayap bisnisnya ke bidang dirgantara. Beberapa usaha penerbangan yang dimilikinya antara lain PT Konavi Aviation Consultan, PT Desa Air Cargo, dan Biro Perjalanan Umum Desa Tour Royal Travel. Menurut pengamat politik militer Salim Said dalam laporan Tiara , kebanyakan dari para jenderal ini sudah diincar pengusaha swasta dan dipesan dari jauh-jauh hari sebelum mereka pensiun. Meski tidak lagi punya wewenang di ketentaraan, mantan jenderal dianggap tetap punya wibawa dalam memimpin organisasi, apalagi yang punya pengalaman memimpin komando pasukan dan teritorial. Membubuhkan embel-embel nama jenderal dalam jajaran direksi pun kerap dijadikan jaminan untuk keamanan dan kelancaran usaha. “ Power inilah yang seringkali menjadi incaran banyak pihak, khususnya non-militer,” kata Salim Said.

  • Penduduk Indonesia Sudah Padat Sejak Dulu

    Indonesia salah satu negara berpenduduk terpadat di dunia bukanlah hal yang baru terjadi. Nyatanya pulau-pulau di Nusantara dulunya sudah menjadi tempat yang ramai, bahkan salah satu teramai di dunia.   Uka Tjandrasasmita dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia menulis pada masa perkembangan Islam beberapa kota di Nusantara memiliki jumlah penduduk lebih besar dibandingkan beberapa kota di Eropa dan Amerika. London pada abad ke-14 berpenduduk antara 30.000 sampai 40.000 jiwa. New York dan Bristol kurang dari 10.000 jiwa. Pada pertengahan abad ke-15, Frankfurt berpenduduk 8.700 jiwa, Nurenberg 20.000, Strassburg 20.000 jiwa. Kota-kota itu pada masanya sudah termasuk kota besar. Pada pertengahan abad ke-16 penduduk Bristol masih 10.000 orang, Swedia lebih kurang 5.000 orang. Padahal ukuran sebuah kota minimal berpenduduk 2.000-5.000 orang. Di Eropa pada waktu itu hanya Paris dan Napoli yang berpenduduk lebih dari 100.000. Dua kota lainnya, Istambul dan Kairo, juga memiliki beberapa ratus ribu penduduk. Lalu seperti kata sejarawan Prancis F. Braudel, kota yang betul-betul raksasa dalam hal jumlah penduduk adalah Peking dan Edo (Tokyo). Pada abad ke-16 keduanya telah memiliki sejuta penduduk. Sementara itu, menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam artikelnya “Dulu Indonesia Punya Kota-Kota Besar," Tempo 20 Juni 1981, pada abad ke-16 dan 17 seluruh penduduk Indonesia diperkirakan telah mencapai jumlah 8.000.000 jiwa. Mengutip ceramah sejarawan Anthony Reid setahun sebelumnya, Ong menyebutkan kota-kota pelabuhan terbesar di Nusantara kala itu berpenduduk antara 50.000 dan 100.000 jiwa. Misalnya Malaka dan Demak pada abad ke-16. Aceh, Makassar, Banten, dan Surabaya pada abad ke-17. “Maka Indonesia atau Asia Tenggara pada abad-abad itu agaknya merupakan salah satu bagian dunia yang paling urban, atau bagian terbesar penduduk tinggal di kota seperti Australia sekarang,” tulis Ong. Sensus penduduk Kesultanan Banten Pada kenyataaannya data soal jumlah penduduk yang menempati kepulauan di Nusantara pada masa lalu sulit dipastikan. Pada masa kerajaan-kerajaan khususnya, sensus penduduk belum menjadi perhatian. Menurut Uka, satu-satunya kerajaan, khususnya pada akhir abad ke-17 M, yang pernah punya perhatian terhadap sensus penduduk adalah Kerajaan Banten. Tepatnya sensus itu dilakukan pada 1694. Ketika itu, yang memerintah Banten adalah Sultan Abdul Mahasin Zainul Abidin, di bawah pengawasan Pangeran Natawijaya. Sensus penduduk dilakukan terhadap penduduk di Kota Surosowan. Ibu kota Kesultanan Banten itu tumbuh menjadi kerajaan muslim sejak tahun 1526. Di sana didirikan keraton, masjid agung, pasar, pelabuhan, dan perkampungan asing. Hasilnya, pada sensus yang pertama itu, penduduk Kota Surosowan berjumlah 31.848 orang. Sensus kedua dilakukan pada 1708. Hasilnya penduduk Surosowan bertambah menjadi 36.302 orang. Artinya penambahan penduduk selama 12 tahun hanya 4.454 orang. “Suatu penambahan yang ralatif tak menonjol,” kata Uka. Selain itu, data penduduk kota lainnya lebih bersifat relatif. Jumlahnya hanya perkiraan berdasarkan sumber berita asing, babad dan hikayat. Pelawat asal Portugis, Tome Pires, salah satu yang mencatat data penduduk di tempat-tempat yang dia kunjungi. Dalam Suma Oriental , Pires mencatat kunjungannya ke Pasai, Palembang, Cirebon, Tegal, Demak, Tuban, dan Ternate pada abad ke-16. Menurut Uka, sebelum Islam datang, Samudera hanyalah merupakan sebuah kampung (Gampong) dengan dikepalai oleh kepala suku. Pada abad ke-13 wilayah itu menjadi kota besar, bahkan ibukota kerajaan Islam. Menurut catatan Tome Pires, penduduk kota di pusat Kerajaan Pasai tak kurang dari 20.000 orang. Palembang, yang juga berada di Sumatra, berpenduduk lebih kurang 10.000 orang. Waktu itu Palembang telah ada di bawah pengaruh Demak. Kota Demak sendiri, pada awal abad ke-16 adalah pusat kerajaan bercorak Islam terbesar di Jawa. Penduduknya berjumlah antara 8.000-10.000 keluarga. Asumsinya, jika satu keluarga terdiri dari 4-5 orang, kira-kira di kota itu sudah ada 40.000 atau 50.000 orang yang tinggal. Kendati sudah ramai, corak kehidupan masyarakat di Nusantara berbeda dengan di Eropa dan Amerika. Kota di Eropa Barat, misalnya, secara fisik dikelilingi oleh dinding-dinding pertahanan. Di Indonesia hanya ada beberapa kota yang memiliki dinding, misalnya Surabaya, Tuban, dan Aceh. “Kota berdinding di Indonesia lebih bersifat kampung daripada gedongan seperti di Barat,” tulis Ong. Artinya, perbedaan fisik antara daerah kota dan pedalaman tidak demikian nyata. Sebab, rumah di perkotaan Indonesia dikelilingi pekarangan luas dengan pepohonan.

  • Hadiah Juara untuk Mama

    WAJAH Lius Pongoh, pebulutangkis era 1980-an, seketika berubah. Senyum yang menghiasi wajahnya menghilang berganti kesedihan ketika mengenang keikutsertaannya dalam Indonesia Open 1984. Sambil bercerita, mata Lius berkaca-kaca. “Ya, di ajang Indonesia Open (17-22 Juli 1984) itu momen manis-pahit buat saya. Di bulan yang sama, mama saya meninggal,” ujar Lius lirih saat ditemui Historia di PB Djarum, Kamis, 3 Januari 2019. “Mama saya namanya mirip pahlawan perempuan, Kartini, tapi enggak ada (huruf) ‘i’-nya, jadi namanya Kartin,” lanjut pria yang sejak 2011 bernaung di bawah PB Djarum sebagai Administration and Support Coordinator. Lius lahir dari pasangan Kartin dan Darius Pongoh di Jakarta 3 Desember 58 tahun lampau. Meski ayahnya pelatih bulutangkis klub PB 56, bukan berarti serta-merta Lius doyan olahraga tepok bulu. Lius kecil justru bercita-cita jadi tentara atau jadi praktisi beladiri. “Kebetulan sepupu dari ayah saya ada yang (tentara) Marinir, ada juga yang di Angkatan Udara (TNI AU). Kalau Marinir kan jago berenang di laut. Kalau AU kan bisa menerbangkan pesawat sampai ke luar negeri. Nah, kalau olahraga beladiri senang karakte, kungfu, taekwondo. Tapi impian masa kecil itu tidak ada yang kesampaian,” ujar ayah empat putra tersebut. Karena tak didukung orangtua, Lius lamat-lamat melupakan cita-cita itu. Bulutangkis jadi satu-satunya opsi untuk menyalurkan energi masa kecil. Pada usia enam tahun Lius masuk ke PB Anggara, klub naungan Bidang Anggaran Departemen Keuangan, sebelum pindah ke klub PB Garuda Jaya dua tahun kemudian. Di usia sembilan tahun, Lius akhirnya menetap di PB Tangkas tempat ayahnya melatih. Lius Pongoh meniti karier di PB Tangkas dan berlabuh di PB Djarum di masa pensiunnya (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Mengutip Broto Happy Wondomisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia , Lius tak hanya mengasah kemampuan di klub tapi juga menimba ilmu olahraga di SMP, kemudian SMA Ragunan. Sejak itu Lius berkembang pesat. Prestasinya diawali dari juara tunggal putra Kejurnas Junior 1978. Setahun berselang, Lius ditarik ke Pelatnas PBSI di Senayan meski masih sekolah di SMA Ragunan. Di pelatnas, Lius tak hanya bermain di nomor tunggal tapi juga ganda. Sempat jadi semifinalis Kejuaraan Dunia 1980, Lius berhasil merengkuh gelar internasional pertamanya, Swedish Open 1981. Di nomor ganda, Lius yang berpasangan dengan Christian Hadinata sukses menjuarai Japan Open 1981 dan Swedish Open 1982. Sayangnya di pertengahan tahun 1982 Lius mengalami cedera pinggang dan harus absen dari pelatnas cukup lama. Baru pada 1984 Lius turun gunung lagi. Tapi Lius langsung juara di Indonesia Open, momen yang membuatnya sedih karena hampir dalam waktu bersamaan juga mesti berduka. Sukacita Disambung Dukacita Lius tak pernah menyangka bisa menang. Di babak penyisihan, dia satu grup dengan raksasa Malaysia Misbun Sidek. “Saya enggak pernah bisa menang lawan Misbun. Tapi saya beruntung, Misbun lebih dulu dikalahkan Richard (Mainaky), lalu berikutnya saya mengalahkan Richard,” sambung Lius. Beban Lius tak hanya datang dari lapangan. Saat Lius mengikuti ajang itu, Kartin ibunya dirawat di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) karena sakit kanker pankreas. Maka setiap Lius habis bertanding selalu kembali menemani ibunya. “Richard (Mainaky) yang tiap malam menemani saya tiap malam ke rumah sakit. Paginya baru pulang lagi,” kenangnya. Lius dan Richard sudah karib semenjak ayah Lius melatih Richard di PB 56. Kondisi ibunya yang sakit keras membuat konsentrasi Lius nyaris berantakan. Tapi Lius berhasil mengatasinya. “Kuncinya sih jangan terlalu memikirkan pertandingan. Biar tidak tegang sebelum main. Saya mikirnya, ya sudahlah, main saja. Mau bagaimana lagi? Tidur dan makan saja sudah enggak jelas, apalagi mikir untuk bisa menang,” tambah Lius. Tak dinyana, “jurus” itu justru membuat Lius melaju. Di perempatfinal, Lius mesti berhadapan dengan maestro Liem Swie King. Sebelum pertandingan, ibunya sudah punya firasat bahwa putranya akan menang dengan susah payah dari sang maestro. “Waktu itu mama kondisinya sudah enggak terlalu bagus. Tapi beliau pernah bilang, ‘Nyong (panggilan kecil Lius), nanti kamu akan mengambil batu tapi susah ambilnya. Ambilnya memang susah sekali tapi nanti pasti dapat’. Saya bilang, ya saya kan mau main bulutangkis, bukan ambil batu,” kenangnya dengan mata kian berkaca-kaca. Lius baru insyaf akan kata-kata ibunya saat bikin gempar Istora Senayan, menghadapi King. Sempat kalah di set pertama, Lius yang juga hampir kalah di set kedua justru mampu membalikkan keadaan hingga menang lewat tiga set. “Padahal di gim kedua saya sudah ketinggalan 1-14. Enggak mungkin menang sebenarnya. Saya ingat-ingat, mungkin itu maksud kata-kata mama saya tentang mengambil batu yang susah. Saya harus main tiga gim untuk kalahkan Koh Swie King,” imbuh Lius. “Motivasi saya waktu itu, ya enggak mau kalah saja sebelum benar-benar berakhir.” Di semifinal, Lius membekap raksasa Denmark Morten Frost Hansen. Lius akhirnya menjuarai turnamen setelah di final menjungkalkan Hastomo Arbi. “Saya ingin kasih hadiah buat mama yang sedang sakit keras bahwa ini, ini lho, Ma, saya bisa juara,” kata Lius. Ironis, keinginan Lius tak bisa terwujud. Tuhan berkehendak lain. “Waktu saya jadi juara, besoknya mama meninggal. Enggak sempat bisa kasih tahu saya juara,” tandas Lius.

  • Djamin Gintings Nyaris Dibunuh

    HARI pelantikan Djamin Gintings sebagai panglima Bukit Barisan harusnya jadi momen berbahagia. Namun sukacita sama sekali tak dirasakan sang istri, Likas Tarigan. Raut wajahnya tegang. Sakit meliputi sekujur tubuh calon nyonya panglima itu. “Intelijen melaporkan akan ada usaha sabotase dan percobaan pembunuhan terhadap suamiku. Ketakutan menyelimuti hatiku. Kami akan dibunuh, itulah suara hati yang merajaiku,” kenang Likas sebagaimana dituturkan kepada Hilda Unu Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit . Pelantikan berlangsung di kediaman residen – kini menjadi Hotel Danau Toba –, Medan pada akhir Desember 1956. Voojrider dan sirene mengawali kedatangan Letkol Djamin Gintings. Tamu-tamu penting telah hadir untuk menyambut panglima baru. Mulai dari pembesar kota Medan hingga wartawan asing yang meliput. Betapa gugupnya Likas hingga hampir pingsan. “Hampir jatuh aku di samping suamiku tatkala memasuki ruangan upacara, melewati para tamu yang berdiri dan menyambut kedatangan kami. Pujian berlimpah untuk suamiku tidak kurasakan,” ujar Likas. Diadu Domba Teror terhadap Djamin berawal dari pembangkangan yang dilakukan panglima sebelumnya, Kolonel Maludin Simbolon. Pada 22 Desember 1956, Simbolon memaklumatkan pemutusan hubungan sementara dengan pemerintah pusat. Kritik Simbolon atas kesenjangan pembangunan di daerah memicu pergolakan di kota Medan. Simbolon sendiri melarikan diri ke Tapanuli, menghindari penangkapan dan membentuk basis perjuangan.   Pemerintah pusat menanggapi gerakan oposisi di Medan dengan cepat. Simbolon diberhentikan dari kedudukan panglima. Pasukan pusat diterjunkan ke Tapanuli untuk menangkapnya. Pimpinan Bukit Barisan diserahkan kepada Djamin Gintings yang menjabat kepala staf. Apabila Djamin gagal menjalankan tanggung jawabnya, komando diserahkan kepada komandan Resimen II Letkol Abdul Wahab Makmur. Demikianlah keputusan hasil Sidang Istimewa Kabinet Ali II pada hari yang sama.     “Penunjukan Letkol A. Wahab Makmur sebagai alternatif kedua menduduki jabatan di Teritorium-I merupakan ‘cambuk pelecut’ bagi Letkol Djamin Gintings untuk menerima tawaran,” tulis Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa . Pendaulatan pemerintah atas dirinya menempatkan Djamin pada dilema. Sebelumnya, Djamin telah mengikat ikrar bersama untuk mendukung gagasan Simbolon menyangkut otonomi daerah. Di sisi lain, pemerintah juga mempersiapkan Letkol Abdul Wahab Makmur sebagai opsi alternatif. Di kalangan perwira Bukit Barisan, reputasi Abdul Wahab Makmur kurang mendapat simpati karena afiliasinya dengan kubu PKI. Menurut Robert Sitinjak, segitiga pertentangan antara Simbolon, Djamin Gintings, dan Abdul Wahab Makmur merupakan politik adu domba ciamik yang dirancang pemerintah. Ketiganya punya pendukung dan basis massa yang besar. Penunjukan Abdul Wahab Makmur adalah untuk memecah kekompakan dan pertalian “marga” antara Maludin Simbolon dan Djamin Gintings. Secara adat, marga Simbolon dan Ginting tergabung dalam ikatan persaudaraan yang berasal dari Raja Nai Ambaton atau disebut “Parna”. “Artinya, penunjukan Letkol A. Wahab Makmur itu dilakukan untuk memaksa Letkol Djamin Gintings agar bersedia menerima jabatan Panglima. Tetapi, di sisi lain, Letkol A. Wahab Makmur tentu memiliki kepentingan,” tulis Robert Sitinjak dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Keterlibatan Orang-orang Batak Toba dalam Pemberontakan PRRI di Sumatera Utara 1958-1961”. Panglima yang Dipaksa? Pukul tujuh pagi, 27 Desember 1956, Djamin memberikan jawaban. Melalui siaran RRI Medan, dia menyatakan bahwa keadaan di Sumatera Utara telah normal kembali. Djamin juga mengumumkan telah mengambil alih Bukit Barisan dalam tanggung jawabnya. Suasana di balik pidato radio Djamin Gintings diungkapkan oleh Letkol Soegih Arto yang saat itu menjabat komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan. Dalam memoarnya, Sanul Daca, Soegih Arto menyebut Djamin Gintings dalam keadaan terpaksa dan di bawah tekanan. Keterangan ini diperolehnya dari Kepala Staf Umum-IV Mayor Lahir Raja Munthe.   “Pada mulanya Djamin Gintings tidak bersedia melakukan proklamasi ke pangkuan Pusat, karena ia loyal kepada Simbolon, tetapi dengan todongan pistol ia dipaksa ke studio RRI Medan dan membaca teks siaran yang telah dipersiapkan,” tulis Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Purn.) Soegih Arto. Menurut Payung Bangun, Djamin Gintings pernah menjelaskan bahwa tindakan dirinya mengambil alih komando bukan karena mengkhianati ikrar bersama Simbolon. Dia mendukung ikrar bersama asalkan itu untuk memperjuangkan pembangunan daerah dan kesejahteraan prajurit. Dengan kata lain, ikrar itu bukan termasuk pemutusan hubungan dengan pemerintah sebagaimana langkah yang ditempuh Simbolon. Hingga menjelang pelantikannya sebagai panglima, Djamin melalui jalan terjal. Beberapa kelompok perwira menolaknya. Di antaranya, komandan Resimen II, komandan Resimen III, dan komandan KMKB beserta batalion komandonya. Apalagi di kalangan perwira Batak Toba, Djamin Gintings kurang begitu disukai. Sebagaimana dituturkan sesepuh TNI AD Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia , Djamin Gintings punya keinginan untuk memajukan masyarakat Karo yang ketinggalan bila dibandingkan sub-etnis lainnya di Sumatera Utara.  “Ini ia bilang kepada saya ketika saya pimpin batalion 309 di Tapanuli,” kata Sayidiman. Toh, Djamin tidak punya pilihan lain. Dalam keadaan darurat demikian, bila menolak, akan dicap desersi. Menerima jabatan panglima pun punya resiko tersendiri, termasuk percobaan pembunuhan. “Syukurlah, tidak ada kejadian yang menakutkan dalam upacara pelantikan itu,” kenang Likas Tarigan.

  • Habis Sudah Sang Antagonis

    PADA 2004, lembaga Frontier Consultant & Riset Jakarta mengadakan survei marketing celebrity image di enam kota besar dengan tiga ribu responden. Juara untuk kategori image antagonis jatuh kepada Torro Margens, aktor senior yang meninggal dunia pada 4 Januari 2019. Ya, karakternya sebagai penjahat yang melekat di benak banyak orang. Torro Margens, bernama asli Sutoro Margono, lahir di Pemalang, Jawa Tengah pada 5 Juli 1950. Sejak kecil dia bercita-cita menjadi aktor dan sutradara. “Saya mulai tertarik dengan dunia seni peran karena kecintaan saya pada fim India, pada waktu kecil. Setiap pulang nonton filmnya, selalu saya menirukan gerak akting pemain India di kaca. Lho kok beda? Kenapa tubuh saya yang kelihatan cuma sebagian? Kenapa nggak seperti di film, seluruh tubuh bisa kelihatan. Berangkat dari keinginan tubuh saya kelihatan di film seperti artis India, akhirnya saya menekuni seni teater,” kata Torro dalam wawancara dengan majalah Film tahun 1993. Dalam Festival Film Indonesia 1988 disebutTorro yang hanya lulus SLTA kemudian kursus seni peran di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, workshop acting di Dir. Kes. Dirjen Kebudayaan, dan lokakarya penyutradaraan Dewan Kesenian Jakarta bidang teater. Dia cukup dikenal sebagai pemain teater muda potensial, dan pernah terpilih sebagai aktor terbaik pada festival teater se-DKI Jakarta. Sanggar Prakarya, wadah teater anak-anak muda yang dipimpinnya, berulang kali muncul sebagai yang terbaik dalam festival teater. “Di bidang teater, nama Torro tidak bisa dipandang sebelah mata, permainannya memikat dan mengundang decak kagum penonton pertunjukannya,” demikian komentar majalah Film . Torro juga pernah menjadi seorang dubber film luar. Menurut majalah Film , dia termasuk pen- dubber kelas satu dan cukup mahal setiap suaranya untuk menggantikan suara orang lain. Torro mulai main film pada 1974 dalam Neraka Perempuan . Sepuluh tahun kemudian, dia menyutradarai film perdananya, Bercinta dalam Badai . Dia mengaku cukup puas karena hasil penyutradaraan itu untuk memenuhi syarat menjadi sutradara yang telah ditetapkan organisasi KFT (Karyawan Film dan Televisi). Waktu itu, untuk menjadi sutradara film atau televisi harus lulus sertifikasi dari KFT. “Ketika hasil penyutradaraan pertama saya serahkan ke KFT. KFT langsung mengakui hasil garapan saya bagus. Saya tanpa harus menunggu film kedua dan ketiga, langsung dikukuhkan sebagai sutradara resmi. Itu kebanggaan saya,” kata Torro. Sejak itu, Torro aktif menjadi sutradara sampai tahun 1984. Film yang cukup berhasil dia sutradarai di antaranya Anglingdarma II (1990) dan Saur Sepuh V (1992) .Anglingdarma II punya karakteristik tersendiri dan bertahan hampir dua minggu di bioskop-bioskop kelas B di Jakarta. Saur Sepuh V episode Istana Atap Langit, tidak kalah menariknya dengan garapan sutradara sebelumnya, Imam Tantowi. Apa konsep dan resepnya? “Konsep saya pembaharuan, artinya setiap film yang saya garap selalu harus ada pembaharuannya. Baik artistiknya, kostum maupun trik laga. Jadi penonton tidak bosan,” kata Torro. Film garapannya yang berhasil menjadi nominator dalam Festival Film Indonesia 1987 adalah Pernikahan Berdarah produksi PT Garuda Film. Kendati tak menjadi film terbaik yang direbut Nagabonar , film yang dibintangi Willy Dozan dan Raja Ema (aktris Malaysia) itu sukses di Negeri Jiran. Sehingga Torro pun mendapat tawaran menyutradarai dua film di Malaysia, yaitu Lukisan Berlumuran Darah (1988) dan Cinta Berdarah (1989). “Waktu itu PT Kanta Indah Film tengah menjalin kerja sama dengan PT Cipta Swa Film dari Malaysia. Pihak Cipta Swa, melihat keberhasilan film saya, Pernikahan Berdarah yang dibintangi Raja Ema sukses di Malaysia,” kata Torro. “Ada kebanggaan apalagi di sana saya diminta tidak sekadar sebagai sutradara dan penulis skenario. Tapi juga sebagai produser pelaksana.” Selain sebagai sutradara, Torro juga aktor yang produktif sejak 1970-an hingga jelang akhir hayatnya. Film terakhir yang dia bintangi adalah Love for Sale (2018). Film ini meraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2018 untuk kategori aktor terbaik (Gading Martin), sedangkan Della Dartyan sebagai nominasi aktris terbaik, dan nominasi skenario asli terbaik. Tak hanya film, Torro juga main sinetron, FTV, dan presenter uji nyali Gentayangan di TPI . Suaranya yang serak dan menakutkan membuatnya akan selalu dikenang.

  • Romantisme Keluarga Cemara

    BERSAMA Abah (diperankan Ringgo Agus Rahman), Emak (Nirina Zubir), dan kakaknya, Euis (Adhisty Zara), Ara (Widuri Puteri) harus memulai kehidupan baru di kampung. Rumah mereka di Jakarta disita debt collector. Rumah itu dijadikan jaminan oleh Abah dan Uwak (Ariyo Wahab) untuk modal usaha properti. Nahas, usaha tersebut bangkrut. Setelah seluruh harta mereka disita untuk melunasi utang, Ara sekeluarga jatuh miskin. Abah terpaksa mencari pekerjaan baru. Mulanya dia mencari kerja di Jakarta tapi ditolak. Akhirnya, abah kerja serabutan, termasuk menjadi kuli bangunan. Sekuat tenaga abah berusaha memperbaiki kondisi keuangan keluarga, sampai kelelahan. Nahas kembali menghampirinya, abah mengalami kecelakaan kerja sehingga kakinya patah. Saat Abah masih kesulitan berjalan, emak menggantikan posisinya dengan berjualan opak. Emak dibantu rekan bisnisnya Ceu Salmah (Asri Welas) dan Euis yang berjualan opak di sekolah. Setelah pindah ke kampung, Euis punya kesempatan untuk lepas rindu dengan teman-temannya yang hendak berkunjung ke kota dekat kampungnya. Emak langsung memberinya izin, tapi abah tak setuju dan malah memarahi Euis. Nekat, Euis pergi ke kota menemui teman-temannya selepas pulang sekolah. Namun, ternyata teman-temannya sudah menemukan pengganti dirinya. Perasaan terombang-ambing di tengah perubahan drastis hidupnya, plus kemarahan abah, membuat Euis melulu menahan kesedihannya. Euis tak tahan dengan sikap abah yang berubah galak dan selalu menutup-nutupi krisis dalam keluarga dengan janji-janji. Bara di dadanya akhirnya terbakar dan meledak. Euis memuntahkan segala kekesalannya. Kerjasama Keluarga Tak ada keluarga yang bebas masalah. Namun masalah tak akan berhasil memecah-belah keluarga bila tiap anggota keluarga bekerjasama menghadapinya. Pesan inilah yang ingin disampaikan film Keluarga Cemara (2019). Garis besar ceritanya tak jauh beda dengan versi serial televisi. Namun fokus cerita bukan pada hidup yang kekurangan uang, melainkan usaha seluruh anggota keluarga mengatasi shock akibat perubahan hidup. Semula, keluarga Cemara (Ara) merupakan kelas menengah atas yang bisa menjangkau fasilitas lengkap. Hal itu seketika berubah menjadi serba kekurangan. Usaha-usaha untuk bisa nrimo ing pandum inilah yang menjadi titik berat cerita. Abah merasa harus memikul tanggung jawab atas segala petaka yang diterima keluarganya. Dengan memikul beban sosial sebagai kepala keluarga, ia mengaggap emak, Euis, dan Ara adalah taggungannya. Rasa bersalah dan tanggung jawab yang dirasakan abah sebetulnya tak pernah digugat oleh emak, Euis, ataupun Ara. Hal ini muncul dari dalam dirinya berkaitan dengan nilai-nilai patriarkis yang ia internalisasi, bahwa lelaki adalah kepala keluarga. Sementara dengan kondisi kaki patah dan tak bisa memberi nafkah pada keluarga, abah mengalami puncak rasa ketidakbergunaannya. Kondisi psikologis abah yang tertekan membuatnya berubah menjadi sosok galak dan suka memarahi Euis. Sosok abah seperti ini tak ditemui dalam Keluarga Cemara versi serial televisi. Kegalakan abah sampai membuat Ara tak ingin tumbuh dewasa.  “Kalau Ara udah umur 13 tahun, abah pasti marah-marahin Ara kayak ke Teteh Euis sekarang,” kata Ara. Euis, anak pertama, juga mengalami pergulatan psikis. Sebagai remaja yang sedang mencari identitas, ia begitu kaget ketika seluruh kesenangan remajanya hilang begitu saja. Pahitnya hidup ia telan pelan-pelan sambil mencoba tegar. Hal ini sangat kontras dengan Ara yang baru masuk SD. Ara belum tahu banyak hal, bahkan tak mengerti arti kata bangkrut. Ia juga digambarkan selalu ceria dan mengaggap tidak ada masalah berarti dalam keluarga. Sementara, emak dalam film Keluarga Cemara (2019) menjadi sumber kebijaksanaan keluarga. Dengan ketenangan dan kesabarannya, emak menemani tiap anggota keluarga melewati momen krisis. Dari emaklah Euis belajar untuk menerima keadaan. Dari emak pula abah belajar bahwa kesulitan keluarga harus dihadapi bersama, bukan ditanggung sendiri oleh kepala keluarga. Pelajaran dari emak membuat abah akhirnya sadar untuk lebih mendengarkan pendapat anak dan istrinya, bukan menjadi sosok yang mau menanggung dan memutuskan semua sendiri. Perubahan abah sesuai dengan motto Keluarga Cemara, harta yang paling berharga adalah keluarga. Tiap anggota keluarga semestinya saling mendukung, bekerjasama dalam segala kondisi, dan menjadi keluarga yang lebih demokratis. Seiring dengan kemauan abah mendengarkan pendapat anak dan istrinya, kebahagiaan kembali tumbuh dalam keluarga Cemara. Versi Baru Film panjang pertama Yandy Laurens ini mengadaptasi serial televisi populer berjudul sama yang tayang perdana pada 1996 di RCTI (ditayangkan ulang tahun 2004-2005 di TV7 ). Rumah produksi Visinema berhasil mendaur ulang kisah keluarga yang akarnya dari cerita bersambung karya Arswendo Atmowiloto di Majalah Hai. Film ini digarap dengan cukup baik tanpa kehilangan pesan awalnya: masalah keluarga seperti apapun, kalau dihadapi bersama tak akan terasa sulit. Bersama sang produser Gina S Noer, Yandy yang juga duduk sebagai penulis naskah menyajikan konflik psikologis para tokoh untuk menerima perubahan hidup. Yandy berhasil menampilkan kisah Keluarga Cemara yang baru, keluarga yang bangkrut, tanpa terjebak nostalgia manja dan klise tentang kehidupan serba ada sebelum jatuh miskin. Seluruh keluarga selalu berusaha tegar dan menerima meski batin mereka pahit. Konsepsi keluarga Cemara baru itu membuat seluruh pemain berwajah masam, tak lagi ceria seperti di serial televisi. Tawa hanya selingan, kesedihan di wajah pemain mendominasi. Adhisty Zara bermain apik memerankan Euis yang dirundung kesedihan namun tetap tegar hingga mengubahnya menjadi remaja pendiam. Ringgo Agus Rahman juga bermain cukup baik. Jarang-jarang penonton menyaksikan adegan Ringgo marah dan wajah putus asanya. Perubahan konsepsi Keluarga Cemara ini juga menghasilkan beberapa pembaruan. Antara lain, tokoh abah yang dalam serial televisi bekerja sebagai tukang becak, di film merupakan pengemudi ojek online. Abah dalam serial televisi merupakan sosok bijaksana, selalu sabar, dan tidak pernah marah; di film ini abah merupakan sosok pemarah. Simbol kebijaksanaan dan kesabaran dalam film ada pada tokoh emak. Abah dan emak dalam film ditampilkan lebih muda dibanding versi serial televisi. Ini membuat film Keluarga Cemara (2019) makin relevan dengan sasaran tonton mereka: keluarga muda yang masa kecilnya menikmati serial Keluarga Cemara (1990-an). Penggambaran Euis juga laiknya remaja kelas menengah kota besar yang punya hobi dan didukung oleh orang tuanya. Sementara tokoh Agil absen sepanjang film dan baru lahir di akhir cerita. Meski tentang drama keluarga, selipan humor yang dibawakan Ceu Salmah dan Ara di KeluargaCemara (2019) cukup menggelitik. Ia menjadi aksentuasi dari kisah-kisah yang ada dan membuat film lebih kaya warna sekaligus yang terpenting, sukses membuat seluruh penonton bioskop terharu dan menangis berjamaah. Theme song “Harta Berharga ” yang menjadi pembuka serial Keluarga Cemara juga mengalami aransemen ulang di film ini. Bunga Citra Lestari yang menyanyikannya berhasil membawakan dengan nuansa baru tanpa kehilangan roh lagu. “Harta Berharga” mengiringi adegan-adegan romantis, dalam jalinan cerita tentang keluarga sederhana, dengan alur sederhana, namun pendalaman psikis tokoh yang kuat di Keluarga Cemara (2019). Film yang dirilis bersamaan dengan waktu liburan sekolah ini, 3 Januari 2019, recommended untuk dinikmati keluarga di masa liburan awal tahun. Selamat pagi, Emak. Selamat pagi, Abah.

  • Benteng Pertahanan Zaman Kerajaan

    Nambi dilantik sebagai patih amangkubhumi oleh Raden Wijaya ketika mendirikan Kerajaan Majapahit. Sang patih difitnah Mahapati tengah membangun benteng pertahanan dan menyiapkan pasukan untuk melawan Raja Jayanagara, putra Wijaya. Prabu Jayanagara yang percaya bualan itu pun pergi ke Lumajang. Nambi dan sanak saudaranya dibinasakan. Benteng di Pajarakan diduduki. Begitulah pemberontakan Nambi diberitakan dalam Nagarakrtagama, SeratPararaton dan  Kidung Sorandaka. Selain soal pemberontakan, kisah itu juga menggambarkan adanya benteng sebagai sistem pertahanan militer. Dosen sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono menjelaskan sistem benteng telah dikenal masyarakat Nusantara sejak terbentuknya sistem sosial pertama kali. Itu dalam bentuk tanggul tanah berpola melingkar tanpa atau dengan disertai tatanan batu-batu kerakal guna melindungi permukiman atau tempat yang dianggap penting. Bagian luar dari benteng dapat dilengkapi ataupun tanpa disertai parit keliling. Benteng purba yang berbentuk tanggul tanah antara lain dijumpai di Way Sekampung, daerah Lampung dan di Lahat. Benteng semacam itu lazim disebut benteng alam. Ada pula benteng Keraton Buton, yang meski dibuat dari batu, denahnya mengikuti benteng alam yang telah ada. “Tidaklah benar bila dikatakan arsitektur banteng di Nusantara baru ada pada masa kolonial, sebagai buah dari difusi budaya Eropa yang mengenal arsitektur benteng dengan sebutan castile ,” kata Dwi. Penghancur Benteng Pada masa kerajaan Hindu-Buddha bentuk benteng menjadi makin kompleks. Fungsinya kian beragam dan bentuknya mungkin mendapat pengaruh dari perbentengan India, yang telah berkembang lebih awal dan lebih maju. Di India, benteng dikenal sejak masa Pra-Aria. Terbukti dengan ditemukannya jejak benteng purba di beberapa situs tua, seperti Mohenjodaro, Harappa, dan Chanhudaro. Benteng-benteng itu lantas dihancurkan oleh kawanan komunitas semi-nomaden, yang dikenal dengan sebutan bangsa Aria. “Dalam pustaka suci Veddha, sebutan untuk bangsa Aria adalah Puramdhara , yang artinya penghancur benteng,” kata Dwi. Istilah pura dan puri dijumpai dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan. Serapan dari bahasa Sanskreta ini secara harafiah berarti “benteng, istana, kerajaan, kota, ibu kota, tempat tinggal raja, atau apartemen perempuan.” Dalam Catatan Sejarah Dinati Tang dari abad ke-7 M terdapat informasi tentang penduduk Kerajaan Kalingga di Jawa yang membuat pertahanan dari Kayu. Di Situs Ratuboko dari abad ke-9 M dengan jelas memperlihatkan model pertahanan yang dilengkapi tanggul terjal berlapis balok-balok batu, pagar keliling dua lapis, parit, pos jaga dan pemantauan gerak lawan maupun lorong penyelamatan. Ratuboko adalah kompleks vihara ( abhayagirivihara ). Bangunan itu merupakan keraton sekaligus benteng di atas bukit yang dipakai Balaputradewa untuk mempertahankan kedudukannya dalam menghadapi serangan dari kakak tirinya, Pramodhawarddhani, dan iparnya, Rakai Pikatan. “Dalam prasasti Siwagrha (778 S = 896 M) Ratuboko digambarkan sebagi tempat pengungsian, yang dimaksud adalah pengungsian Balaputradewa,” kata Dwi. Benteng Berbagai Kerajaan Berdasarkan catatan I-Tsing, Kerajaan Sriwijaya dikelilingi oleh benteng. Sayangnya, catatan pelawat Tiongkok itu tak mendeskripsikan dengan lengkap bentuk dan bahan bangunan yang digunakan. “Kemungkinan berupa balok-balok kayu atau bambu yang ditutupi semak-semak,” ujar Dwi. Sedangkan Ma Huan dalam Yingya Shenglan yang ditulis pada abad ke-15 M, mendeskripsikan tembok yang mengelilingi kediaman raja di Majapahit. Temboknya berupa bata setinggi lebih dari 9 m dan panjangnya lebih dari 90 m. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara. Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 m di atas tanah.  Penggunaan teknologi benteng juga disebutkan dalam data epigrafi. Prasasti Cane (1021 M) dari masa Raja Airlangga, memberitakan penduduk Desa Cane yang memperoleh anugerah sima berkat jasanya menjadi “benteng” di sebelah barat kerajaan. Mereka memperlihatkan ketulusan hati dalam mempersembahkan bakti kepada raja, tak gentar pertaruhkan jiwa raga dalam peperangan agar Sri Maharaja memperoleh kemenangan. “Bisa jadi di Desa Cane terdapat benteng, dalam posisi sebagai ujung tombak untuk menghadapi serangan dari arah barat, mengingat lawan utama yaitu Wurawari, berlokasi di sebelah barat kerajaan,” kata Dwi. Sedangkan keraton Airlangga berada di Wwatan Mas, lereng utara Gunung Penanggungan. Jejak arkeologisnya didapati di situs Jedong, Dusun Wotanmas, Desa Jedong, Ngoro, Mojokerto. “Menilik dua pintu gerbang menghadap ke barat berserta pagar batu berukuran tinggi serta tebal, tanggul terjal berlapis bolok-balok batu, kolam depan di sisi barat situs maupun posisi topografisnya yang lebih tinggi daripada tanah di sekitarnya, hal itu menggambarkan arsitektur benteng-keraton,” kata Dwi. Pada 1032 M, Wwatan Mas ditinggalkan lantaran serangan musuh. Selanjutnya dibangun kedatuan baru di Kahuripan. Kendati begitu, bekas kedatuan Airlangga itu terus dimanfaatkan hingga masa keemasan Majapahit. Buktinya, ada kronogram bertarik 1307 saka (1385 M) pada ambang pintu bagian atas gapura I. Kadatawan Wwatan Mas didukung oleh benteng, yang ditempatkan di bagian baratnya, yakni benteng Kuto Giring. Pada masa yang lebh muda (1271 M), berdasarkan kitab Pararaton, Wisnuwarddhana memerintahkan pendirian benteng di tempat stategis, Canggu Lor. Letaknya di jelang percabangan bangawan Brantas, yang memecah menjadi tiga sungai: Kali Mas, Porong dan sebuah kali lainnya yang telah mati. Pembangunan benteng Canggu Lor bagian dari serangan ke Mahibit yang diperkirakan berlokasi di tepi Brantas, dekat Terung. Benteng ini juga kemungkinan besar dibuat untuk melengkapi, melindungi, dan mendukung otoritas operasional pelabuhan transit pada aliran Brantas di Canggu Lor. “Jika benar begitu, artinya telah ada konsep paduan pelabuhan dan benteng sejak masa Hindu-Buddha, yang nantinya pada Islam marak dilakukan,” kata Dwi.  Pada masa Majapahit, selain kota benteng di Pajarakan milik Arya Nambi, juga terdapat di kawasan Nagari Lamajang. Ini dijumpai di situs Biting, Kelurahan Kutorenon, Kecamatan Sukadana, Lumajang. Bentuknya mengikuti empat aliran sungai: Bondoyudo di sisi utara, Winong di sisi timur, Cangkring di sisi selatan, dan Peloso di sisi barat. “Sungai-sungai itu dimanfaatkan sebagai barier alam, semacam parit keliling pelindung benteng,” kata Dwi. Benteng Kutorenon pun dilengkapi dengan enam buah menara intai yang mengingatkan kepada bastion dari benteng bergaya Eropa atau pada baluarti benteng Kraton Yogyakarta. “Boleh jadi benteng ini adalah benteng purba masa Majapahit yang mengalami renovasi pada Masa Perkembangan Islam,” kata Dwi.

  • Kolase Hidup Manusia dalam Perang Dunia

    GELAP. Warna hitam yang ditemani suara beberapa veteran Perang Dunia I (PD I) menjadi scene pembuka film dokumenter besutan sutradara Peter Jackson berjudul They Shall Not Grow Old ini. Satu per satu veteran PD I bertutur secara bergiliran. “Saya menjalani segenap muda saya melakukan sebuah tugas dan melewati sebuah peperangan yang ganas,” tutur seorang veteran dalam rekaman suara itu. “Jika waktu bisa kembali, tentu saya akan mengulangnya lagi karena saya menikmati masa-masa itu,” timpal seorang veteran lain. Menjelang menit pertama, scene berubah. Kesaksian-kesaksian para veteran sudah diiringi rangkaian footage asli hitam-putih. Kolase arsip video, foto maupun pampflet yang bergantian muncul itu baru berubah menjadi berwarna saat menginjak menit ke-25. Sutradara membuka filmnya dengan penggambaran PD I dari “meminjam mulut” ratusan veteran. Tuturan dari 120 veteran itu mengisahkan mengenai apa yang tersisa dari pengalaman mereka dalam perang yang berlangsung selama 1914-1918 itu, bagaimana antusiasme mereka saat bergabung ke kemiliteran, horor dalam perang, hingga apa yang mereka rasakan setelah perang itu usai. Kesaksian mereka juga menjangkau hal yang lebih makro, mulai dari bagaimana Inggris menyatakan perang terhadap Jerman, ajakan dan himbauan kepada para pemuda wajib militer berusia 19-35 tahun, hingga antusiasme mengikuti pendidikan dasar militer. Meski usia wajib militer 19 tahun, banyak yang bergabung justru berusia di bawah antara 15-18 tahun. Salah satu gambar tangkap dari footage arsip asli IWM yang direstorasi Peter Jackson (IWM/Warner Bros. Pictures) Para pemuda yang bergabung ke dalam militer bukan hanya pelajar tapi pemuda dengan beragam latar belakang profesi, mulai dari juru tulis, penjaga toko hingga petani. Mereka rela mengubah gaya hidup mereka dengan rutinitas kemiliteran yang sangat ketat dan kaku demi apa lagi kalau bukan nasionalisme. Antusiasme mereka bertambah saat diberangkatkan ke front Barat, tempat di mana jutaan pemuda Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Wales, Irlandia, Australia, Selandia Baru) belajar menjadi dewasa dengan cara yang keras. Mereka belajar tentang bagaimana bertahan hidup di parit-parit berkondisi buruk yang mengancam kesehatan dan dalam keadaan dihujani tembakan senapan maupun kanon musuh, tentang bagaimana bisa makan seadanya, hingga jatah libur paling lama seminggu di garis belakang. “Setiap habis kembali dari front terdepan, kami diberi (diupah) lima franc. Satu franc setara 10 sen (poundsterling). Jadi kami mendapatkan 50 sen (poundsterling) selama berminggu-minggu di garis depan,” aku seorang veteran. Beberapa veteran juga berkisah tentang bagaimana mereka melakukan sebuah raid yang berhasil di satu kubu pertahanan Jerman. Banyak tawanan yang mereka ciduk. Mereka mulai insyaf bahwa para serdadu Jerman ternyata tak seburuk yang dipropagandakan para perwira mereka. “Aslinya mereka orang-orang baik yang juga sama seperti kami. Orang-orang yang awalnya hanya pekerja biasa dan harus wajib militer,” ujar seorang veteran. “Para tawanan (etnis) Saxon dan Bavaria paling baik dan bisa berbaur dengan kami. Mereka justru membenci para perwira (etnis) Prussia mereka,” timpal veteran lainnya. Kisah perang makin seru saat para veteran mengisahkan sebuah operasi ofensif besar. Dramanya makin terasa karena Peter Jackson mengiringinya dengan tata suara yang pas. Satu per satu veteran kembali mengisahkan tentang bagaimana kegugupan mereka jelang serangan ke parit musuh dengan bayonet terhunus hingga kepedihan mereka saat menceritakan rekan-rekan yang kehilangan nyawa. “Ada seorang teman yang terkena pecahan peluru meriam. Tangan dan kaki kirinya putus. Matanya mengeluarkan darah. Saya harus menembaknya. Saya harus. Dia tetap akan mati perlahan jika saya tidak melakukannya. Saya harus mengakhiri penderitaannya, walaupun melukai hati saya,” tutur seorang veteran seraya menangis. Peter Jackson juga turut memberi peringatan akan penayangan beberapa foto dan footage yang mengerikan (IWM/Warner Bros. Pictures) Jackson melanjutkan narasi filmnya dengan scene pengumuman gencatan senjata 11 November 1918. Momen itu tak disambut gelak tawa, pesta, atau sekadar raut muka ceria para serdadu Inggris. “Suasananya hening. Banyak dari kami justru bingung mau apa setelah perang ini selesai,” ungkap seorang veteran anonim lainnya. Kebingungan para veteran menjadi pilihan Jackson untuk menutup dokumenter berdurasi 99 menit ini. Alih-alih disambut bak pahlawan, para veteran justru mendapati para keluarga mereka minim kepedulian terhadap pengalaman mereka. Mayoritas veteran kesulitan mencari kerja setelah demobilisasi. “Ketika saya berada di sebuah bar, seseorang yang kenal saya sejak lama bertanya pada saya, ‘Ke mana saja selama ini begitu lama menghilang?’,” kata seorang veteran mengenang. Kolase manusia dalam Perang Dunia Dalam kolase foto di film ini, Jackson tidak lupa menyelipkan foto dua kakeknya, Sersan William Jackson dan Sersan Sidney Ruck, serta Letda Thomas Walsh yang merupakan kakek dari istrinya, Fran Walsh. Ketiganya veteran PD I yang bertugas di Angkatan Darat Inggris (Jackson dan Ruck) dan Selandia Baru (Walsh). Bagi penonton awam, film ini akan sangat membosankan dan bikin ngantuk. Selain ketiadaan action laiknya film-film perang box office , hampir seluruh film juga tak diselipi narasi. Semua hanya sekadar penuturan dari 120 veteran. Penonton juga takkan menemukan protagonis atau antagonis dari 120 veteran yang bertutur. Bahkan tak satu veteran pun yang namanya disebutkan. Pun dengan nama lokasi dan waktu. Menurut sineas yang sohor dengan trilogi Lord of the Rings dan The Hobbit itu, dokumenter ini bukan penggambaran satu kisah tentang PD I, juga bukan kisah bersejarah. Jackson juga tak menjanjikan keakuratan sejarah. “Kami memutuskan tidak mengidentifikasi para serdadu (veteran). Karena akan ada sangat banyak nama yang harus dimunculkan setiap kali terdengar rekaman suara mereka. Kami juga membuang referensi tanggal dan tempat karena kami tak ingin film ini hanya berpusar pada momen di satu hari atau di satu tempat. Ada banyak buku yang bisa menjelaskan itu semua. Saya ingin film ini berkisah tentang pengalaman humanis dan agnostik,” kata Jackson dikutip flicks.com.au , 10 November 2018. Proyek cuma-cuma They Shall Not Grow Old sedianya sudah direncanakan dan lantas dieksekusi sejak 2015, di mana Jackson ditawari langsung oleh Imperial War Museum (IWM) yang bekerjasama dengan BBC dalam kerangka program 14-18 NOW. Kendati tak diupah alias cuma-cuma, Jackson tertarik dan lantas memproduksinya di bawah rumah produksi WingNut Films. Menggarap They Shall Not Grow Old memberi keuntungan tersendiri buat Jackson. Dia yang sejak kecil acap didongengi ayahnya tentang kisah kakeknya, William Jackson, yang bertugas di Resimen South Wales Broderers, mendapat gambaran lebih jelas tentang apa yang dialami serdadu Sekutu dalam PD I. Peter Jackson tak lupa memberi gambaran jelas tentang para korban serangan gas yang lazimnya mengalami kebutaan (IWM/Warner Bros. Pictures) Keuntungan lain yang diperoleh Jackson, disuplai oleh IWM footage berdurasi 100 jam dan rekaman suara wawancara 200 veteran (Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat). Maka dengan senang hati Jackson dan timnya merestorasi semua arsip itu kendati hanya 99 menit footage dan 120 rekaman yang dipakai dalam They Shall Not Grow Old. Tim tak hanya merestorasi tapi juga mengedit dan memberi warna footage - footage yang dipilih agar lebih hidup dan bisa dihayati generasi kekinian. Selain tidak menyisipkan suara narasi, Jackson juga tidak menambahkan efek suara senapan, meriam hingga percakapan-percakapan untuk menyesuaikan situasi adegan. “Saya hanya ingin ada suara-suara orang yang mengalami pengalaman itu. Dari rekaman 120 veteran, semua punya cerita yang serupa,” tambah Jackson. Judul They Shall Not Grow Old diambil Jackson dari potongan puisi karya Laurence Binyon tahun 1914, “For the Fallen”. Bait puisi lengkapnya berbunyi: “They shall grow not old, as we are left grow old.” Penayangan premier They Shall Not Grow Old pada 16 Oktober 2018 di British Film Institute London Film Festival turut disaksikan Pangeran William. Dokumenter ini hanya disiarkan luas BBC Two pada 11 November 2018, bertepatan dengan Peringatan Gencatan Senjata 11 November 1918. Di Amerika Serikat, film ini baru ditayangkan secara terbatas pada 17 Desember 2018. Namun respons positif dan kesuksesannya membuat distributor Warner Bros akan menayangkan They Shall Not Grow Old di bioskop-bioskop mulai 11 Januari 2019.

  • Catatan Kasus Hukum di Kesultanan Banten

    PADA 1192 H (1778 M), kadi di Kesultanan Banten mencatat telah memutus dua kasus perceraian: Karibah dan Urip serta Qariyah dan Bayudin. Urip dan Bayudin mengabaikan istrinya selama setahun. Menurut sumber kesaksian Belanda, kadi mengurus masalah hukum di Kesultanan Banten paling tidak sejak 1596 M. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1695) kadi mendapatkan gelar khusus: Kiyahi Peqih Najamuddin. Gelar Kiyahi Peqih Najamuddin, kata Ayang Utriza Yakin,pertama kali diberikan kepada Enthol Kawista pada 1651. Gelar itu baru dipakai ketika seorang kadi berkuasa. Gelar itu dipakai sampai 1855-1856 saat kadi terakhir, Haji Muhammad Adian, wafat.  “Selama 200 tahun institusi hukum di bawah kadi dilestarikan Kesultanan Banten. Ada 13 orang bertanggung jawab dengan gelar kadi agung atau yang menyandang Kiyahi Peqih Najamuddin” kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu, dalam seri diskusi naskah Nusantara ke-9 di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Jumat (28/12). Dalam praktiknya, kadi tak hanya mengurus perceraian atau masalah perdata lainnya seperti nikah dan waris. Kadi juga menanggapi masalah hukum pidana dan hukum publik.  “Dulu pengadilan kadi meliputi semua kasus hukum. Kalau sekarang pengadilan agama hanya mengurusi hukum keluarga muslim, seperti talak, rujuk, warisan, dan seterusnya,” kata Ayang.  Ayang menyebutkan, kasus utang piutang misalnya, cukup banyak terjadi di Banten, ada 600-an kasus. Lalu talak 90-an kasus, budak 80-an kasus, kesaksian 40-an kasus, dan 40-an lebih kasus lainnya yang ditangani oleh kadi Kiyahi Peqih Najamuddin. Di antara tindak pidana itu, kata Ayang, terdapat kasus penyekapan dan pemerkosaan perempuan. Siku, abdi Ngabehi Jaya Suraga, mengurung seorang perempuan. “Bumi” menjatuhkan hukuman denda 30 reyal kepada Siku pada Senin, 5 Muharam, tahun Wawu 1193 H. "Bumi" juga menjatuhkan hukuman denda 30 reyal kepada Ki Ngarif asal daerah Terate, pada Selasa 10 Jumadilawal, tahun Wawu 1193 H, karena memperkosa seorang perempuan. Denda ini boleh dibayar utang. Menurut Ayang, "Bumi" merujuk pada pejabat bergelar mangkubumi. Dalam struktur politik di Kesultanan Banten, pejabat hukum, selain kadi, dipegang oleh mangkubumi. Mangkubumi ada dua: dalam dan luar. Mangkubumi dalam mengurus kasus-kasus terkait keluarga kerajaan yang tinggal di dalam kawasan keraton. Sementara mangkubumi luar mendampingi kasus hukum bagi keluarga kerajaan yang ada di luar tembok keraton.  “Bumi selalu dikaitkan dengan pengadilan untuk keluarga kerajaan. Di kasus itu pelakunya abdi ngabehi, pembesar kerajaan. Maka dia diadili bumi walaupun kasusnya masih dicatat Kiyahi Peqih Najamuddin”kata Ayang yang tengah menempuh pendidikan posdoktoral di Institut de Recherche-religions, spiritualités, Cultures, Sociétés (RSCS), Université Catholique de Louvain (UCLouvain), Belgia. Sanksi denda paling sering ditemukan dalam menindak terpidana. Hukuman lain yang sering dipakai adalah kerja sosial. “Paling banyak kerja sosial mengambil batu karang satu sampai 20-an perahu. Ambilnya harus masuk ke laut. Batu karang ini untuk membangun kota, istana dan lain-lain. Ini yang paling lazim,” kata Ayang. Sepanjang data yang ada, selama tiga abad Kesultanan Banten berdiri hanya sekali hukuman kejam: potong tangan bagi pencuri perhiasan permaisuri Sultan Ageng Tirtayasa. “Ini berdasarkan laporan utusan diplomatik asing yang ke Banten. Hati-hati tapi mencerna laporan ini, karena pencuri menyentuh milik permaisuri sultan. Ini umum dilakukan penguasa saat itu. Ini hukum sultan. Semau-maunya dia saja,” kata Ayang.  Kasus-kasus yang tercatat Berdasarkan catatan yang ada, pada 1192 H (1778 M) hanya berhasil ditemukan pencatatan kasus selama tiga bulan: Syawal, Zulkakdah, dan Zulhijjah. Masing-masing 26 kasus, 55 kasus, dan 47 kasus.  “Itu tercatat tiap hari senin sampai minggu. Saya membayangkan Kiyahi Peqih Najamuddinitu kaya ustad, kiayi dan ulama sekarang bekerja tiap hari tidak bisa tidak menerima orang yang datang,” kata Ayang.   Sementara pada 1193 H (1779 M) terkumpul catatan selama 12 bulan. Dari Muharram sampai Zulhijjah sebanyak 565 kasus. Rata-rata 40-an kasus perbulan. Kasus juga dicatat setiap hari Minggu hingga Sabtu. Kasus terbanyak terjadi pada hari Sabtu. “Ini mungkin menarik diteliti kenapa catatan terbanyak terjadi pada hari Sabtu,” lanjut Ayang. Pada 1194 H (1780 M) yang diperoleh adalah catatan selama 5 bulan, yaitu Muharram, Safar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, dan Jumadil Tsani. Totalnya ada sebanyak 871 kasus yang bertanggal dan bertahun.  Kasus-kasus hukum yang terjadi di Kesultanan Banten, kata Ayang, melibatkan 400-an penduduk laki-laki dan perempuan 250 orang. “Yang banyak masalah berarti laki-laki. Dan apa? Rupanya banyak laki-laki tak bertanggung jawab yang membuat istri minta cerai,” selorohnya. Sejauh ini, Ayang mengatakan, selain Kesultanan Banten, yang memiliki lembaga pengadilan kadi adalah Kesultanan Aceh. Namun hanya Kesultanan Banten yang meninggalkan catatan hukum secara tertulis. Dokumen ini pun menjadi penting sebagai warisan bagi bangsa Indonesia bahkan Asia Tenggara.   “Di Asia Tenggara tidak ada soalnya, kekurangannya seluruh kesultanan di Indonesia tidak ada yang meninggalkan arsip tertulis. Terutama catatan pengadilan,” kata Ayang.

  • Harimau-Harimau Garut

    DUA BELAS pusara tua itu terpuruk dimakan zaman. Nisan-nisan mereka yang bentuknya serupa nampak sudah agak berlumut. Sementara sisi kanan dan kiri, depan-belakang, ratusan ilalang berdiri tegak lengkap dengan bulu-bulunya yang berwarna putih kecoklat-coklatan. Sedikit orang yang paham asal muasal pusara-pusara itu berada di Kompleks Pemakaman Umum Cinunukan (masuk dalam wilayah Kecamatan Wanaraja, Garut). Salah satunya adalah Dadang Koswara. Menurut lelaki berusia setengah abad tersebut, sejatinya 12 pusara itu diisi oleh jasad-jasad para pejuang dari Pasukan Pangeran Papak (PPP) yang gugur dalam berbagai pertempuran melawan militer Belanda di Garut. “PPP adalah nama kesatuan lasykar rakyat yang dibentuk oleh para pemuda Garut untuk menghadapi kembalinya terntara Belanda ke tanah air kita,” ungkapnya. Dadang mengerti sejarah keberadaan PPP karena para sepuhnya dulu banyak terlibat dalam kesatuan itu. Bahkan nama Pangeran Papak sendiri itu mengacu kepada nama seorang kakek moyangnya yang hidup pada era abad ke-19 dan dikenal sebagai seorang gagah berani dalam melawan penjajah Belanda. “Karena keteladanan eyang Pangeran Papak inilah, para pemuda pejuang di Garut memakainya jadi nama pasukan yang kelak juga berjuang melawan (tentara) Belanda,” kata Dadang. Berjuang di Bandung Garut, Oktober 1945. Seperti di belahan Indonesia lainnya zaman itu, para pemuda Garut di wilayah Wanaraja tengah terganja oleh semangat proklamasi dan terbakar api revolusi. Barisan milisi menjamur bak di musim hujan. Bahkan bukan hanya di kota-kota, kampung-kampung pun memiliki milisi-milisi sendiri yang lebih dikenal dengan istilah “lasykar”. “Para pemuda kampung ramai-ramai membentuk kelompok lasykar, walau persenjataan mereka kurang”ujar Ojo Soepardjo Wigena, berusia 91 tahun. Tersebutlah dua kelompok lasykar ternama di Wanaraja. Pertama, Pasukan Djiwanagara pimpinan M.Wibatma dari Desa Cinunuk dan yang kedua adalah Pasukan Embah Angsana pimpinan M. Salim dari Desa Samangen. Dari keterangan yang terdapat dalam tugu peringatan tentang berdirinya PPP di Taman Pahlawan Cinunuk, dikisahkan pada 27 Oktober 1945, kedua pasukan itu meleburkan diri menjadi Pasukan Pangeran Papak. “Sebagai komandan diangkatlah Saoed Moestofa Kosasih, yang tak lain adalah anak didik cucu Pangeran Papak yakni Raden Djajadiwangsa, yang dalam struktur tak resmi PPP berlaku sebagai penasehat spiritual,” ujar Dadang. Seiring terbentuknya PPP, datanglah pasukan Sekutu di Bandung. Kedatangan mereka disinyalir juga mengikutsertakan para serdadu Belanda yang rencananya akan menerima pengalihan kekuasaan dari militer Inggris. Tentu saja, para pemuda Jawa Barat merasa geram dengan rencana tersebut. Maka berduyun-duyunlah mereka membanjiri Bandung untuk menentang kembalinya orang-orang Belanda. PPP termasuk kekuatan lasykar Republik yang ikut berjihad di Bandung. Selain melawan tentara Inggris, mereka pun terbilang aktif bertempur melawan serdadu Belanda dan serdadu Jepang yang saat itu sudah menjadi alat kekuasaan Sekutu, menyusul menyerahnya Kekaisaran Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Menurut Kolonel Mohammad Rivai dalam biografinya Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 , PPP di palagan Bandung ada di bawah koordinasi BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia), suatu lasykar skala nasional yang dipimpin oleh Soetomo alias Bung Tomo, bintang dalam Pertempuran Surabaya. “BPRI Pangeran Papak pimpinan Achmad malah ikut andil dalam peledakan gudang amunisi Belanda di Dayehkolot oleh Mohammad Toha pada 10 Juli 1946,” ungkap Rivai. Pulang Kandang Menurut Basroni Kosasih, berusia 64, usai mundurnya kekuatan Republik ke luar Bandung pada 23 Maret 1946, PPP memutuskan untuk kembali pulang ke Garut. Menjelang gerakan mundur ini, di wilayah Ciparay mereka terlibat pertempuran sengit dengan sekelompok serdadu Jepang. PPP berhasil mengatasi pasukan yang sudah tidak memiliki moril untuk bertempur itu. “Bahkan pasukan ayah saya berhasil menawan beberapa di antaranya dan membawa orang-orang Jepang itu ke Garut,” ungkap lelaki yang tak lain adalah putra dari Saoed Moestofa Kosasih itu. Singkat cerita, orang-orang Jepang tersebut menyatakan tunduk dan keinginannya untuk bergabung dengan PPP. Mengingat pengalaman tempur mereka yang sudah banyak, Kosasih tentu saja menyambut permohonan itu dan menjadikan eks serdadu Jepang tersebut sebagai komandan sekaligus instruktur di pasukannya. Dengan tambahan kekuatan berpengalaman, PPP menjadi harimau-harimau menakutkan bagi serdadu Belanda di Garut. Berbagai sabotase jembatan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap pro Belanda, semakin merajalela. Menurut Roland Nayoan dari Historika Indonesia, salah satu insiden yang membuat mereka murka adalah penghancuran jembatan Cinunuk dan jembatan Cimanuk di pusat kota pada Juli 1947. “Yang Chil Sung alias Komaroedin, Masharo Aoki alias Aboe Bakar dan Hasegawa Katsuo alias Oesman yang dianggap sebagai pimpinan-pimpinan utama para penyabotase itu lantas menjadi buronan nomor satu,” ungkap aktivis komunitas sejarah yang tengah menelusuri keberadaan para eks serdadu Jepang di Garut tersebut. Dalam suatu operasi militer di Hutan Gunung Dora, militer Belanda pada 25 Oktober 1948 berhasil membekuk para eks serdadu Jepang itu. Bersama mereka ikut pula ditawan salah satu perwira PPP bernama Djoehana alias Djoewana. Beberapa bulan kemudian, ketiga eks serdadu Jepang itu dieksekusi mati, sedangkan Djoehana dipenjarakan di Penjara Cipinang Jakarta. Menurut A.H. Nasoetion dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid ke-7 , pada awal 1949, PPP sendiri pada akhirnya secara resmi melebur dalam MBGG (Markas Besar Gerilja Galoenggoeng), yang merupakan unit operasi Divisi Siliwangi. “Bersama lasykar-lasykar lainnya seperti Pasukan Dipati Ukur, Pasukan Banteng, Pasukan Tarunajaya, Pasukan Pangeran Papak membentuk gabungan komando untuk wilayah Tasikmalaya-Garut,” ungkap Nasution.

bottom of page