Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Akar Perusahaan Daerah Milik DKI Jakarta
PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mulai melepas saham di perusahaan bir PT Delta Jakarta bertepatan malam pertama Ramadan 1439 H/2018 M. Jumlah sahamnya sebesar 26,25 persen dengan nilai jual mencapai satu triliun rupiah. Kepemilikan saham di perusahaan bir itu berakar dari upaya Pemprov DKI Jakarta mencari sumber dana pembangunan di luar dana dari pemerintah pusat. Salahsatu upaya mencari sumber alternatif adalah melalui pembentukan perusahaan daerah. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Jakarta belum mampu merumuskan secara jelas bagaimana cara memperoleh dana untuk pembangunan kota. Jakarta masih bergolak oleh api revolusi. Soewirjo, walikota Jakarta 1945-1951, berkutat pada ikhtiar menciptakan keamanan dan ketertiban kota. Tentara Sekutu dan Belanda hadir di Jakarta dan memantik perlawanan dari pejuang Republik. Jakarta juga sempat punya dualisme pemerintahan: Soewirjo dan Administrasi Sipil Belanda. “Pemerintah kota, karena ada dua macam, tidak dapat berjalan dengan lancar,” kenang Soewirjo dalam Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966 . Sehingga urusan mencari sumber dana jadi terbengkalai. Sjamsuridjal, walikota Jakarta 1951-1953, bertekad menyejajarkan Jakarta yang berangsur tenteram dengan kota-kota metropolitan di luar negeri. Dia punya banyak program untuk mewujudkan tekadnya. Tapi sumber dana pembiayaannya masih gelap. Tekadnya pun gagal maujud. Konsep pencarian sumber dana pembangunan Jakarta mulai agak terang pada masa Sudiro, walikota Jakarta 1953-1959. Dia punya prinsip, “mengadakan pemerintahan yang baik, dengan tersedianya biaya yang cukup, diperoleh dari dan diusahakan dengan kekuatan sendiri.” Sudiro tak ingin bergantung pada satu sumber dana pembangunan. Dia berupaya mencari sumber dana selain subsidi dari pemerintah pusat. Antara lain dari pajak bandara, jalan berbayar, dan penaikan harga bensin di Jakarta. Tapi dia kesulitan menjalankan rencananya. “Menggali sumber-sumber baru biasanya tidak direstui oleh pemerintah pusat,” catat Sudiro dalam Karya Jaya. Soemarno, gubernur Jakarta 1960-1964, mengalami hal serupa Sudiro. Gagasannya untuk mencari alternatif sumber dana pembangunan sempat beroleh penolakan dari Departemen Keuangan. Soemarno berencana membentuk Bank Pembangunan Daerah untuk mengelola dana dari masyarakat dan perusahaan swasta. Dana bank itu terpisah dari dana pemerintah pusat. Soemarno mengupayakan sebagian besar modal bank tersebut berasal dari pemerintah Jakarta. Sisanya dari perusahaan swasta. “Dua juta rupiah di antaranya dari pemerintah daerah dan setengah juta rupiah dari Maskapai Asuransi Bumi Putera 1912,” terang Soemarno dalam Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya . Dengan kepemilikan lebih besar keuntungan dari suka bunga pinjaman pun bisa berpulang lebih besar ke pemerintah daerah. Tapi gagasan Bank Pembangunan Daerah terbentur oleh ketiadaan dasar hukum. Maka, Departemen Keuangan menolaknya. Soemarno lapor kepada Presiden Sukarno. Departemen Keuangan pun berubah sikap mengiyakan pembentukan Bank Pembangunan Daerah pada 1961. Inilah Perusahaan Daerah pertama milik pemerintah Jakarta. Gagasan Soemarno mulai kelihatan hasilnya. Bank Pembangunan Daerah menyalurkan pinjaman untuk biaya pembangunan Pasar Cikini, peremajaan Pasar Senen, peternakan Babi, dan jalan. Selain membentuk bank, Soemarno juga mengadakan perusahaan patungan antara pemerintah daerah dengan swasta seperti PT Pembangunan Jaya dalam bidang konstruksi dan rekreasi; PT Surya Jaya dan PT Sinar Jaya dalam bidang penerbitan dan pemberitaan; PT Terigu Jaya dan Yayasan Kebutuhan Pokok Jakarta dalam bidang pangan. Dari inisiatif Soemarno muncul pula badan-badan khusus untuk mengelola kebijaksanaan dalam wilayah atau proyek tertentu seperti Otorita Pluit, Otorita Cempaka Putih, Yayasan Perumahan Pulo Mas, Otorita Pembangunan Proyek Senen, Otorita Krekot Dalam, dan banyak lagi sepanjang 1962-1964. Kepemilikan modal dan kendalinya berasal dan berada lebih besar pada pemerintah Jakarta, seperti dalam Perusahaan Daerah. Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, menjelaskan dalam Gita Jaya bahwa Perusahaan Daerah terbagi atas beberapa golongan. Pertama , Perusahaan Daerah eks Gemeente Bedrifen Verondering yang bertujuan pelayanan publik semata. Kedua , Perusahaan Daerah yang bermula dari penyerahan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk tujuan mencari laba dengan penyertaan modal swasta nasional atau asing. Ketiga, perusahaan bentukan pemerintah Jakarta berstatus perseroan terbatas. Keempat , badan usaha yang diadakan oleh pemerintah Jakarta dalam lingkup wilayah, proyek, promosi usaha, jasa, dan rekreasi tertentu. Perusahaan Daerah bertambah lebih banyak pada masa Ali Sadikin. Penyebabnya dia berupaya menggenjot pendapatan daerah dari Perusahaan Daerah setelah melihat sulitnya memperoleh pendapatan dari pajak masyarakat. “Kesadaran, kemauan, dan kemampuan membayar pajak menurun,” kata Ali Sadikin dalam Prisma , No 5, Mei 1977. Menurut Albert Widjaja dalam “Pengembangan Pemerintah DKI Jakarta dari Segi Operasionalnya”, tercatat ada 159 Perusahaan Daerah sepanjang masa Ali Sadikin. Tapi semua bermasalah dari pijakan hukumnya. “Semua Perusahaan Daerah tersebut bergerak tanpa landasan hukum yang kuat, karena satu-satunya UU yang ada tentang Perusahaan Daerah dalam bentuk UU No. 5 Tahun 1962 telah dihapus dan belum ada penggantinya. Di samping itu, Perusahaan Daerah tersebut didirikan tidak berdasarkan peraturan daerah melainkan hanya SK (Surat Keputusan, red .) gubernur,” tulis Albert termuat di Kotapraja , No. 5 Tahun 1979. Tak aneh ketika Ali Sadikin hendak menaruh modal pemerintah Jakarta di perusahaan bir Anker pada 1971, tantangannya bukan hanya berangkat dari sudut agama dan moralitas, melainkan juga sudut legalitas. Mengabaikan keberatan orang soal legalitas, Ali Sadikin tetap menaruh modal di perusahaan bir tersebut. Dia mengatakan pemerintah Jakarta telah memperoleh izin dari menteri kehakiman untuk menjalankan kerja sama dengan swasta asing dan nasional sejak 1969. Selain sorotan sisi hukum, Perusahaan Daerah menerima kritik lantaran kontribusi untuk kas daerah jauh dari harapan. “Penerimaan dari Perusahaan Daerah sangat kecil sekali, yaitu di bawah 1%,” tulis Albert. Ali Sadikin akur dengan keadaan tersebut. Dia bilang, “iklim ekonomi pada waktu itu tidak menguntungkan dan kurang memberikan tempat bagi pertumbuhan dan perkembangan Perusahaan-Perusahaan Daerah sebagai suatu unit ekonomi.” Satu demi satu Perusahaan Daerah tumbang atau merger. Jumlahnya hanya ada 27 buah pada zaman Wiyogo Atmodarminto, gubernur Jakarta 1987-1992. Tapi pada masa Wiyogo, kedudukan hukum Perusahaan Daerah lebih solid dan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) mulai nyata. Keadaan ini bertahan hingga sekarang.
- Darah dan Air Mata Palestina
SEOLAH tak mempedulikan nyawa manusia, militer Israel meladeni demonstrasi “Great March Return” rakyat Palestina dengan tembakan. Akibatnya, lebih dari 100 orang tewas dan 1000 lainnya terluka. Israel mengklaim para serdadunya menjaga kedaulatan. Insiden berdarah itu menambah panjang deretan insiden berdarah yang sejak lama terjadi. Suasana makin dikeruhkan oleh peresmian Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Yerussalem pada Selasa (15/5/2018). Meski banyak pemimpin dunia mengutuk dan mengecam keputusan itu, Presiden Donald Trump bergeming. AS bahkan mematahkan sejumlah resolusi yang dikeluarkan Dewan Kemanan (DK) PBB. “Apapun resolusinya akan di-veto AS. Mereka kan pegang hak veto,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana kepada Historia . Eksodus Penduduk Palestina Great March Return dihelat untuk memperingati eksodus besar-besaran orang Palestina. Dalam Perang Palestina 1948, sekira 700 ribu warga Palestina mengungsi dari tempat tinggal mereka akibat pendudukan Israel. Menurut Benny Morris dalam The Birth of Palestinian Refugee Problem Revisited , hingga kini para penyintas dan keturunan mereka tersebar di Yordania (dua juta), Lebanon (428 ribu), Suriah (478 ribu), Tepi Barat (788 ribu), dan Jalur Gaza (satu juta). Ratusan Ribu warga Palestina mesti terusir dari tanahnya akibat Perang Palestina 1948 hingga kini dikenal Hari Nakba (Foto: cojs.org ) Hari pengungsian itu dikenal sebagai Nakba atau Yawm an-Nakba, yang berarti Hari Bencana. Pada 1950-an, Liga Arab menyebutnya sebagai Hari Palestina. Oleh Yasser Arafat Hari Nakba ditetapkan secara resmi pada 1998. “Orang-orang Arab di Israel-lah yang awalnya mengajarkan para penduduk di wilayah Israel untuk memperingati Hari Nakba,” cetus mantan Wakil Walikota Yerusalem Meron Benvenisti dalam Son of Cypresses. Mempertanyakan Legalitas Kedubes Amerika Dalam peringatan 70 tahun Hari Nakba yang jatuh tahun ini, rakyat Palestina menggelar Gerakan 40 ribu warga Palestina di berbagai wilayah Gaza. Berbarengan dengan gerakan itu, AS meresmikan perpindahan kedubesnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keputusan itu ibarat menyiram bensin ke bara api hubungan Palestina-Israel. “Besar dugaan, motifnya Trump ingin mewujudkan janji kampanyenya,” ujar Hikmahanto. Trump berpijak pada undang-undang (UU) bernama Jerusalem Embassy Act (JEA) yang RUU-nya dicetuskan kali pertama oleh Senator Bob Dole di Komite Senat Bidang Luar Negeri dan Komite Kongres Bidang Hubungan Internasional Senat, 13 Oktober 1995. Setelah diluluskan Senat dan Kongres pada 24 Oktober 1995, JEA resmi jadi UU pada 8 November 1995. JEA berangkat dari prinsip AS bahwa Yerusalem berdasarkan sejarahnya merupakan bagian dari pemerintahan di bawah Inggris (Mandatory Palestine). Untuk memperkuat prinsip itu, AS menggunakan UU Yerusalem Israel yang –mengklaim Yerusalem sebagai ibukota Israel– diterbitkan Knesset (badan legislatif Israel) pada 30 Juli 1980. Kebijakan Trump meruntuhkan fondasi toleransi yang dibangun para pendahulunya. Meski ayat 3 JEA menyatakan bahwa Kedubes AS harus sudah dipindah dari Tel Aviv pada 31 Mei 1999, pemerintahan Clinton hingga Barack Obama senantiasa menunda pelaksanaannya. Mereka berpijak pada ayat 7, di mana presiden berhak menunda proses pemindahan kedubes selama enam bulan. Trump sebetulnya sempat mengikuti para pendahulunya, namun pada Desember 2017 dia mengakui Yerusalem adalah ibukota Israel meski kembali menandatangani penundaan pemindahan kedubes. Pada 15 Mei 2018, berbarengan dengan 70 tahun deklarasi kemerdekaan Israel, Trump meresmikan pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem yang kemudian diikuti Guatemala. Kedubes AS di Yerusalem (Foto: wikimedia.org) Keputusan Trump yang menggugurkan sejumlah resolusi DK PBB itu menuai kecaman keras dari berbagai pihak. Keputusan itu melanggar banyak hukum internasional sekaligus mencederai legitimasi AS sebagai penengah konflik Israel-Palestina. “Dunia harus terus menunjukkan penentangannya. Termasuk mengingatkan Trump, rakyat AS, dan kepentingan AS di luar negeri bisa jadi korban kebijakannya. Ditambah, dunia juga mesti mendorong Rusia atau negara-negara pemilik hak veto lainnya di DK PBB untuk melakukan tindakan unilateral yang bisa membuat Trump berpikir ulang,” lanjut Hikmahanto. Tindakan unilateral mesti diambil mengingat jika persoalan itu dibawa ke DK PBB, hasil resolusinya bisa kembali di-veto AS. “Atau masyarakat dunia hendaknya merangkul warga AS dengan harapan bisa dihentikan (atau dibatalkan) melalui lembaga peradilan di AS, atau bahkan mendorong agar Presiden Trump di- impeach (dimakzulkan),” tutup Hikmahanto.
- Gelar Juara di Tengah Prahara
MEI 1998. Huru-hara melanda ibukota dan beberapa kota lain Indonesia. Periode 13-14 Mei menjadi puncak chaos bernuansa rasialis. Rumah dan pertokoan milik orang Tionghoa nyaris tak ada yang luput jadi sasaran penjarahan dan pembakaran. Puluhan bahkan ratusan orang Tionghoa jadi korban pelecehan, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Namun di tengah gejolak itu, setitik embun penyejuk datang dari para pendekar bulutangkis yang bertarung di Thomas dan Uber Cup di Hong Kong. Ironisnya, embun itu datang justru dari mereka yang mayoritas keturunan Tionghoa. Sumbangan untuk Tim Thomas & Uber Cup Krisis moneter, pemantik kerusuhan rasialis itu, berimbas besar kepada PBSI. Induk bulutangkis Indonesia itu kekurangan dana untuk mengirim Yap Seng Wan alias Hendrawan dkk. ke Hong Kong. Dana operasional PBSI tak mencukupi. Ketua PBSI cum KSAD Jenderal TNI Subagyo H.S. lalu mencari dana di luar dana abadi PBSI. Upayanya berhasil menghimpun bantuan dari pengusaha. “Malam ini (Selasa, 21 April 1998), tercatat seluruhnya 35 pengusaha yang dengan sukarela memberikan sumbangan yang terkumpul Rp74 miliar,” ujar Subagyo, dimuat Kompas 22 April 1998. Dana itu cukup untuk memberangkatkan tim Thomas dan Uber ke Hong Kong. Pemberian bantuan itu, kata Subagyo, dilakukan secara transparan, melalui bagian keuangan. Dia menolak yang lain dari pada itu (tidak transparan tanpa melalui bagian keuangan), seperti yang coba dilakukan Pengusaha Aburizal Bakrie dengan berupaya melayangkan bantuan langsung kepada Subagyo. “Dari awal sudah selalu saya ingatkan, semua dana harus transparan. Jangan lupa, saya juga yang nanti akan mempertanggungjawabkannya,” lanjut perwira tinggi matra darat kelahiran Piyungan, Yogyakarta, 12 Juni 1946 itu. Perjuangan di Tengah Gejolak Selesai masalah pendanaan tak berarti masalah yang membelit PBSI kelar. Gejolak batin tetap menghambat, terutama bagi para anggota tim berdarah Tionghoa seperti Hendrawan, Chandra dan Indra Wijaya, Haryanto Arbi, Susi Susanti, dan Mia Audina. Mereka risau akan sanak-famili di tanah air. Namun, gejolak batin itu akhirnya bisa mereka atasi. Bahkan ketika PBSI menargetkan tim Indonesia agar mempertahankan dwigelar Thomas dan Uber Cup, mereka tak keberatan. Toh, suasana tak umum itu memicu PBSI melonggarkan aturan kepada para anggota tim. “Pengurus pun mengambil kebijakan bagi para atlet bisa bebas bertelefon ke Jakarta. Tujuannya agar pemain bisa tahu keadaan keluarganya di Tanah Air,” tulis Carmelia Sukmawati dalam biografi berjudul Subagyo HS: KASAD dari Piyungan . Meski diliputi kekhawatiran, para atlet berupaya tetap fokus pada tugas utama. Tim Uber berhasil mencapai final. Sayang, di partai puncak mereka dikalahkan RRC 1-4. “Kerusuhan yang cenderung bersifat rasial itu sedikit banyak berpengaruh pada anggota tim,” tulis Carmelia. Berbeda dari tim Uber, tim Thomas berhasil mengatasi gejolak batin lebih baik. Lawan demi lawan mereka libas hingga mereka tiba laga final. Batalnya Subagyo datang ke Hong Kong –lantaran keadaan tanah air tak memungkinkannya sebagai orang nomor satu di angkatan darat meninggalkan gelanggang– sebagaimana dia janjikan sebelumnya, tak menyurutkan spirit tim Thomas Indonesia. Di partai puncak yang dimainkan di Stadion Queen Elizabeth, 24 Mei, Hendrawan berhasil memenangkan nomor tunggal putra. Di dua nomor ganda putra, pasangan Chandra Wijaya/Sigit Budiarto dan Ricky Subagdja/Rexy Mainaky juga memenangkan keduanya. Indonesia sukses menundukkan Malaysia 3-2, Thomas berhasil dipertahankan. Gelar Thomas Cup ke-11 itu menjadi hadiah menyejukkan bagi publik tanah air. Kedatangan tim langsung disambut suasana gembira sekaligus haru. “Pak Bagyo menangis haru dan menyampaikan rasa terima kasih atas perjuangan di Hong Kong,” cetus manajer tim dikutip Kompas 24 Mei 1998.
- Ambisi Gajah Mada di Perang Bubat
KOTA Bandung kini punya Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk. Penamaan jalan ini disebut sebagai rekonsiliasi hubungan antara suku Jawa-Sunda. Penyebabnya adalah peperangan antara Majapahit dan Sunda di lapangan Bubat pada 1357. Tanah lapang itu diperkirakan terletak di utara Kota Majapahit. Di sana raja Sunda, permaisuri, putri, para pengiring dan pengawalnya beristirahat seraya menunggu diterima Hayam Wuruk, raja Majapahit. Nahas, di tempat itu pula mereka menemui ajal. Menurut arkeolog Agus Aris Mundandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik , Peristiwa Bubat bisa dianggap sebagai titik balik kesuksesan karier Mahapatih Gajah Mada. Ketika Sumpah Palapanya hampir sempurna dibuktikan, Gajah Mada justru menggagalkannya sendiri. Kejadian ini berawal dari rencana pernikahan putri Sunda, Dyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk. Untuk maksud itu, sebagaimana dikisahkan Pararaton dan Kidung Sunda, Raja Sunda dan rombongannya mendatangi Majapahit . Agus menyatakan hal itu dapat dianggap berbeda dalam perspektif politik Gajah Mada. Kedatangan rombongan Kerajaan Sunda bisa saja dinilai sebagai kelemahan pihak mereka, yaitu seorang penguasa Sunda bersedia datang menghampiri Kerajaan Majapahit untuk mengantarkan putrinya. Apalagi, pada masa itu, Kerajaan Sunda menjadi wilayah yang tersisa setelah wilayah lain di Pulau Jawa berhasil dikuasai Majapahit. Namun, pernikahan itu gagal. Dua naskah kuno itu menyebut kegagalan pernikahan itu akibat ambisi Gajah Mada yang bernafsu menaklukkan Kerajaan Sunda di bawah panji-panji Majapahit. “Kebetulan orang nomor satu dari Kerajaan Sunda hadir di wilayah Majapahit, lalu tinggal ditekan saja agar mau menuruti keinginan sang patih,” ujar Agus. Rencana Gajah Mada itu tak berjalan mulus. Orang Sunda menolak perintahnya. Mereka tak ingin sang putri dibawa sendiri ke istana Majapahit untuk diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai wujud takluk. Sedari awal, kedatangan mereka mengantar sang putri semata-mata untuk menikahkannya dengan raja Majapahit. Puncaknya, ketegangan berkembang menjadi pertempuran. Perang berdarah tak terhindarkan di lapangan Bubat. Hampir semua orang Sunda yang ikut rombongan tewas, tak terkecuali raja, patih, para menteri dan bangsawan. Sementara, permaisuri, istri-istri pejabat, dan sang putri bunuh diri. Agus menilai, Peristiwa Bubat memperlihatkan bahwa untuk mencapai ambisinya, Gajah Mada tak ragu memanfaatkan perasaan Hayam Wuruk. Dia memancing raja Sunda untuk datang ke Majapahit karena merasa tak mampu jika harus mengalahkannya langsung di wilayah asalnya. Kerajaan Sunda yang lahir dari peradaban lebih kuno membuatnya segan. Di sisi lain, Gajah Mada juga memanfaatkan emosi raja Sunda. Sang raja tak punya pilihan selain mengantarkan putrinya sebagai tanda tunduk atau berperang sampai mati membela kehormatannya. Raja Sunda itu merasa jika dia pulang tanpa melawan, akan menjadi aib sepanjang hidup di hadapan rakyatnya. Dia akan dicap sebagai raja yang gagal melangsungkan perkawinan putrinya. “Sunda pasti mudah dikalahkan karena berada jauh dari daerahnya dengan tentara yang terbatas pula,” ujar Agus. Pada akhirnya, hubungan dengan Sunda yang awalnya akan diperteguh melalui ikatan perkawinan menjadi sirna. Padahal, jika berhasil, Kerajaan Sunda bisa dirangkul sebagai negara mitra stata Kerajaan Majapahit. Itu sebagaimana yang disebutkan oleh Nagarakrtagama terhadap sejumlah negara lain yang menjalin hubungan persahabatan dengan Majapahit. Perang Bubat mungkin membuat Gajah Mada tak dipercaya lagi oleh keluarga kerajaan. Dia membuat Hayam Wuruk kehilangan cintanya. Hubungan Majapahit dengan Kerajaan Sunda pun memburuk. Maka, kata Agus, demi membersihkan namanya Sang Patih kemudian merancang serangan ke Dompo. Dia sendiri yang memimpin ekspedisi itu. “Pertama, untuk menghindari cercaan terhadap dirinya. Kedua, ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan keluarga kerajaan terhadap dirinya. Ketiga, sebagai bentuk hukuman kepada dirinya sendiri,” jelas Agus. Adapun bagi Kerajaan Sunda, peristiwa Bubat nampaknya tak cukup besar hingga bisa meruntuhkannya. Kerajaan Sunda baru runtuh akibat serangan tentara Banten pada 1579. Ini 60 tahun lebih lama dari tahun keruntuhan Majapahit, sebagaimana yang diperkirakan arkeolog Hasan Djafar, yaitu tahun 1519. Terlepas dari itu, kata Agus, kendati dipaparkan gamblang dalam Pararaton, banyak ahli sejarah kuno yang tak percaya Perang Bubat pernah ada. Mereka menilai Perang Bubat tak lebih dari tuturan yang disisipkan oleh penyalin Pararaton. “Atau malah tambahan orang Belanda pertama yang meneliti Pararaton serta berbagai alasan lainnya,” ujar Agus. Sebaliknya, ada pula yang menganggap mengingkari kisah Perang Bubat adalah hal yang aneh. Jika kisah Ken Angrok dalam Pararaton yang mistis saja bisa dipercaya, seharusnya kisah Perang Bubat pun sepatutnya diyakini.*
- Pulau untuk Anak Terlantar
MERCUSUAR di atas hamparan pasir. Di sekelilingnya banyak pohon damar tumbuh. Orang pun menyebut pulau itu sebagai Pulau Damar Besar. Zaman kompeni VOC dulu namanya Pulau Edam. “Salah satu tempat paling menyenangkan di dunia,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta . Pulau Edam hanya berjarak 30 menit perjalanan dengan menggunakan kapal motor dari Teluk Jakarta. Pulau ini sekarang lebih sering sunyi, tapi dulu punya banyak cerita tentang anak-anak terlantar di ibukota. Anak-anak terlantar adalah anak-anak yang luntang-lantung tak tentu. Scott Merrillees menangkap gejala ini telah muncul di Jakarta sejak masa Perang Kemerdekaan. Dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 , Scott menampilkan foto seorang anak terlantar yang tertidur di tepi kali. “Pemandangan tragis dan menyayat hati dari seorang bocah lelaki berpakaian compang-camping di Jalan Juanda pada akhir dekade 1940-an,” tulis Scott. Beberapa anak terlantar tadinya masih punya orangtua dan kadang berhubungan dengannya. Tapi orangtua mereka berada dalam lingkaran kemiskinan: tak punya pendidikan mumpuni, tak ada pekerjaan tetap, dan tak menghuni rumah permanen. Aktivitas keseharian orangtua mereka ialah menggelandang di kota. Keadaan begitu berpengaruh terhadap anak. Mereka turut jejak orangtuanya jadi gelandangan. Dan lama-lama mereka kurang beroleh perhatian dari orangtua. Anak-anak itu tumbuh liar dan dewasa sebelum waktunya. Mereka bekerja sejak dini sebagai penyemir sepatu. Lainnya berupaya mencuri kecil-kecilan. Mereka tak punya agenda pergi ke sekolah. Waktu mereka habis bersama jalanan ketimbang bersama orangtuanya. Hubungan dengan orangtua pun jadi renggang. Jadilah mereka anak-anak terlantar. Sebagian anak-anak terlantar itu masih mendingan punya orangtua. Tapi lebih banyak anak terlantar tak bernasib seperti itu. “Pada umumnya hubungan mereka dengan orangtuanya telah tidak ada lagi, bahkan banyak yang tidak mempunyai keluarga sama sekali (yatim-piatu),” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raya , terbitan 1952. Anak-anak terlantar mudah tersua di pasar dan jalan-jalan umum ibukota pada dekade 1950-an. “Masih ada lebih kurang 5.000 anak yang masih bergelandangan di Jakarta,” tulis Sjamsuridjal, walikota Jakarta 1951-1953, dalam Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Ibukota 1945-1966 . Anak-anak itu menjadi urusan Djawatan Sosial. Negara bertanggung jawab merawat mereka sesuai dengan amanat Pasal 34 ayat 1 UUD 1945: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Wujud pemeliharaan itu berupa penangkapan anak-anak terlantar berusia di bawah 16 tahun di jalan-jalan oleh aparat pemerintah. Mereka dibawa ke penampungan di seberang pulau Jakarta, yaitu Pulau Edam. “Di sanalah dididik, agar menjadi orang yang baik-baik. Rombongan pertama datang pada tanggal 12 Juni 1950 yang terdiri dari 50 anak-anak, kemudian disusul pula pada tanggal 4 Juli 1950 oleh 25 anak-anak, sedangkan rombongan ketiga ialah tanggal 18 Juli ditamvah pula 42 anak. Di antara anak-anak itu terdapat juga 3 orang anak Tionghoa,” tulis Ipphos Report , 15 Agustus 1950. Di Pulau Edam, anak-anak terlantar itu mendapat pakaian layak, makanan bergizi, dan kamar lapang. Badan mereka lebih bersih dan tubuh jadi berisi. Tiap hari mereka ceria. Anak-anak terlantar di Pulau Edam punya aktivitas teratur, dari pagi sampai malam. Mereka juga mengenal lagi kehidupan sekolah. Jam sekolah mereka antara pukul 10.00 sampai 12.00, 14.00 sampai 16.00, dan 16.30 sampai 17.30. Di sesela bersekolah ada jadwal makan, olahraga, bermain, cuci piring, dan bersih-bersih penampungan. Hasil penerapan jam sekolah itu cukup lumayan bagi anak-anak terlantar. “Dari antara mereka telah ada yang dapat terus melanjutkan pelajarannya di sekolah menengah dan sekolah teknik radio/elektro teknik,” tulis Kementerian Penerangan. Empat anak mampu menjadi siswa sekolah Angkatan Laut di Surabaya. Tapi di sebalik upaya pendidikan kembali anak terlantar ini, anggaran pemerintah terus menciut. Perekonomian negeri terjerembab pada dekade 1960-an, sedangkan gejala menggelandang kian menonjol. Dua ribu anak terlantar memenuhi penampungan di Pulau Edam, sesuai kapasitasnya. Kemudian jumlah mereka terus bertambah sehingga pemerintah tak sanggup lagi menampung anak terlantar. Pemerintah memindahkan anak-anak terlantar itu ke penampungan lain di luar Pulau Edam. Penampungan anak terlantar pun tak berpusat di Pulau Edam lagi, melainkan juga di dalam kota. Kebanyakan dibentuk oleh organisasi masyarakat. Pulau Edam perlahan jadi pulau terlantar. Tak ada aktivitas anak-anak terlantar lagi di sana.
- Ada Karena Desakan PBB
USAI melengserkan Sukarno, Soeharto langsung membenahi ekonomi Indonesia yang hampir bangkrut dengan membentuk tim ekonomi. Tim itu keliling ke negara-negara maju untuk mencari bantuan finansial. Demi dana bantuan, Indonesia mesti menerima persyaratan yang diberikan calon-calon pendonor. Salah satu hasil dari pemenuhan persyaratan itu, Indonesia punya kementerian Urusan Peranan Wanita (UPW). “UPW pembentukannya karena PBB punya program Dekade Perempuan. Jadi semua negara anggota PBB harus punya kementerian perempuan,” kata Wardah Hafidz, aktivis sosial perkotaan, kepada Historia . Dekade Perempuan bermula dari munculnya konsep perempuan dalam pembangunan (Woman in Development, WID) yang mulai dikenalkan pada 1970-an di Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS lalu membuat Undang-Undang tentang Bantuan Luar Negeri (The Percy Amandement to the 1973 Foreign Assistance) yang di dalamnya memuat syarat adanya peningkatan peran perempuan dalam pembangunan negara penerima bantuan. UU tersebut membuat Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) hanya mau memberi bantuan pada negara-negara yang serius menangani masalah perempuan. Ritu Sharma dalam Woman and Development Aid menulis, Departemen Luar Negeri Amerika juga harus mempertimbangkan kemajuan isu perempuan ketika hendak memberi pendanaan pada organisasi internasional seperti PBB dan Bank Dunia. Aturan itu diikuti PBB, yang pendanaannya banyak berasal dari AS, yang lalu menetapkan Tahun 1975 sebagai Tahun Wanita Internasional. Program itu berlanjut hingga 1985 dan dinyatakan sebagai dekade perempuan (International Decade of Woman). PBB mendesak negara anggotanya membentuk departemen yang khusus mengurusi masalah perempuan. Soeharto menyepakatinya dengan membentuk Kementerian Urusan Peranan Wanita (UPW) pada 1978 dan memberlakukan program-program yang disyaratkan PBB, seperti Keluarga Berencana (KB). Lasiyah Sutanto, ketua umum Kowani yang –mendukung pemerintahan Soeharto lewat Kongres Luar Biasa pada 30 Mei-1 Juni 1966– juga anggota MPR/DPR-RI dari Golkar, ditunjuk sebagai Menteri Urusan Peranan Wanita pertama. Dipenuhinya persyaratan itu membuat bantuan untuk Indonesia pun mengalir. Kementrian UPW aktif dalam agenda-agenda perempuan PBB. Bersama perwakilan dari Kowani, anggota Kementerian UPW ikut dalam Kongres Perempuan Sedunia yang dihelat PBB tiap lima tahun sekali. Kongres tersebut antara lain membahas ketidakberhasilan konsep Perempuan dalam Pembangunan mengatasi ketimpangan gender karena sistem patriarki. Untuk mengatasinya, United Nation Development Program (UNDP) memperkenalkan konsep kesetaraan gender. Konsep itu diikuti dengan pembentukan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (Cedaw). Pada 1981, tulis Ap Murniarti dalam Getar Gender, Indonesia ikut menandatangani konvensi itu. Indonesia lalu mengeluarkan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan negara, termasuk partisipasi politik, secara berkala dievaluasi Komite Cedaw. Soeharto, yang sebetulnya anti-gerakan perempuan, memberi ruang pada perempuan untuk berpolitik lantaran Indonesia masih terjerat utang. Jabatan menteri untuk perempuan disediakannya di Kementerian UPW dan Kementerian Sosial. Pemberian kedua jabatan ini, menurut Murniarti, diberikan karena perempuan “dianggap” pantas mengurusi masalah sosial. Namun, UU dan partisipasi politik perempuan realitanya hanya manis di permukaan. Rezim Soeharto yang otoriter mengontrol politik peremapun dengan menerapkan “ibuisme” sebagai ideologi gender negara: perempuan yang baik adalah perempuan yang patuh, pendamping suami, dan ibu yang baik. “UPW oleh pemerintahan memang dibuat sebagai mesin politik untuk memperkuat arah gerak atau aktivitas perempuan. Nah, tapi dari kalangan kelas menengah berpendidikan tinggi membuat arus balik,” kata Wardah.
- Selamat Jalan Gogon, Si Rambut Jambul
Kabar duka datang dari salah seorang pelawak anggota Srimulat yang memiliki ciri khas berambut jambul dan berkumis ala Adolf Hitler. Jhoni Margono, atau dikenal dengan Gogon Srimulat, meninggal dunia dalam usia 59 tahun, di sebuah rumah sakit di Kotabumi, Lampung, 15 Mei 2018 pagi. Lika-liku Gogon di panggung komedi terbilang singkat. Dia bergabung ke Srimulat pada 1982. Srimulat melambungkan namanya di dunia lawak tanah air. Gogon lahir di Boyolali, Jawa Tengah, pada 31 Januari 1959. Gogon muda sebenarnya tertarik seni lukis. Dia bahkan bertekad menjadi seorang pelukis. Selepas SMA, Gogon merantau ke Yogyakarta. Dia masuk Perguruan Tinggi Senirupa Yogyakarta demi mewujudkan cita-citanya. Menurut majalah Hai edisi 24-30 September 1985, Gogon tak melanjutkan kuliahnya di sana. Dia memutuskan berhenti di tingkat tiga. Arah angin malah membawanya untuk menekuni dunia lawak. Pada 1980, Gogon dan beberapa temannya membentuk grup lawak. Mereka lantas manggung di sejumlah kota di Jawa Tengah. Hasrat dan bakat melawaknya kian tumbuh. Pada 1982, Gogon bergabung dengan grup lawak besar dan legendaris, Srimulat. Srimulat bisa dikatakan grup lawak dengan anggota paling banyak di Indonesia. Grup lawak ini dibentuk Teguh Slamet Rahardjo dan Srimulat di Surakarta pada 1950. Dalam perkembangannya, Srimulat memiliki cabang-cabang di Surabaya, Surakarta, Semarang, dan Jakarta. Bergabungnya Gogon ke Srimulat atas anjuran sahabatnya yang juga seorang pelawak, Basuki. Basuki bergabung ke Srimulat pada 1979. Sebelumnya, Basuki ikut grup wayang orang Sri Wanito dari 1974 hingga 1978. Sebelum mendapatkan tempat di Srimulat, Gogon harus melewati ujian. “Tesnya cukup main bersama anggota Srimulat senior. Margono lulus, soalnya ia bisa berperan apa saja seperti kebanyakan pemain Srimulat,” tulis Hai, 24-30 September 1985 . Menurut Agus Dermawan T dalam Antologi Seni 2003: Panorama dan Isu Dominan Seni Indonesia, 1960-2003 , Gogon dan Mamik Prakoso termasuk pelawak muda yang dipasang pentolan Srimulat, Teguh Slamet Rahadjo, ketika grup Srimulat mulai goncang. Penyebabnya, anggota Srimulat senior kerap menerima pekerjaan sampingan. Basuki, Timbul, Kadir, dan Rohana bahkan sempat meninggalkan Srimulat dan membentuk grup lawak baru bernama Merdeka. Gogon terkenal dengan lawakan bahasa tubuhnya. Aksinya mendekapkan kedua tangan di dada, lantas duduk kemudian jatuh dari kursi, kerap membuat penonton terbahak. Gogon juga sering menjadi “objek penderita” kawan-kawannya, seperti dikeplak kepalanya. Gogon pernah bermain dalam film Finding Srimulat (2013) arahan sutradara Charles Gozali bersama Kadir, Mamik, Nunung, Tarsan, Tessy, Reza Rahadian, dan Rianti Cartwrigt. Film ini terinspirasi grup lawak Srimulat. Di dunia hiburan, karier Gogon pasang-surut. Bahkan Gogon sempat menghebohkan publik, karena kasus penggunaan dan kepemilikan narkotika jenis sabu pada 2007. Akibat perbuatannya, dia mendapat hukuman kurungan selama empat tahun dan denda Rp150 juta. Gogon memiliki riwayat penyakit jantung dua tahun terakhir. Bahkan dokter sempat memintanya untuk memasang ring jantung. Sebelum meninggal dunia, sehari sebelumnya Gogon sempat mengisi acara kampanye salah seorang calon bupati di Lampung. Selamat jalan, Gogon.
- Jakmania Setia Mengawal Persija
KEPRIHATINAN terhadap tak adanya organisasi suporter Persija membuat Tauhid Ferry Indrasjarief dan puluhan penggemar lain klub ibukota itu duduk bareng mencari pemecahan. “Kita diskusi tentang keinginan jadi member buat pendukung Persija,” ujar Ferry kepada Historia . Diskusi intens mereka lalu membuahkan hasil dengan berdirinya The Jakmania yang bertahan hingga kini. Keberadaan The Jak melanjutkan organisasi-organisasi suporter Persija yang pernah ada. Berbeda dari Persib yang sejak 1937 selalu diiringi Bobotoh, suporter terorganisir Persija timbul-tenggelam dan tak pernah lama. Pada 1930-an, Persija yang masih bernama Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ) punya VIJers. Kelompok suporter ini tak hanya rajin menyambangi pertandingan-pertandingan kandang VIJ, di Pulo Piun, tapi juga tandang. Menurut Ario Yosia dkk. dalam Gue Persija , VIJers turut hadir kala Persija bertandang ke Lapangan Kebon Pala, markas tim Persatoean Perkoempoelan Voetbal Indonesia Meester Cornelis (PPVIM), atau ke markas Persitas Tasikmalaya pada 1934. Namun, VIJers mandek seiring terhentinya aktivitas Persija pada masa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan, VIJers benar-benar hilang lantaran bergantinya nama VIJ menjadi Persija. Setelah itu, Persija selalu main tanpa suporter “resmi”. Stadion Menteng atau Senayan tempat Persija memainkan laga memang acap penuh penonton, tapi mereka hanya pribadi-pribadi penggemar Persija, bukan fans yang tergabung dalam sebuah organisasi. Keadaan seperti itu berakhir pada 7 Desember 1994 kala Persija menjamu Bandung Raya di edisi perdana Liga Indonesia. Di laga itu, kelompok suporter Persija terorganisir bernama Persija Fans Club (PFC) muncul. “Iya dulu saya dukung Persija zaman kuliah, itu ada Persija Fans Club. Banyak artis-artisnya yang ikut dukung. Ketuanya malah pernah juga Dicky Zulkarnaen, Oddie Agam. Artis-artis lain yang ikut PFC itu juga ada Nia Zulkarnaen, Ari Sihasale, Reni Jayusman, Jelly Tobing, Chintami (Atmanegara),” ujar Ferry. Di pertandingan-pertindangan Persija, mereka kerap menggunakan atribut, mulai syal hingga kaos, berwarna merah atau perpaduan merah-putih. Keanggotaan mereka ditandai dengan kepemilikan kartu anggota. Tauhid Ferry Indrasjarief, Ketum The Jakmania Periode 2017-2020 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Ketua pertama PFC dijabat manajer Persija U-21 Zulfikar Utama. PFC membawa Persija lebih dekat dengan kultur Betawi. Alhasil, julukan “Macan Kemayoran” diganti jadi “Si Jampang”. Sayang, laiknya VIJers, eksistensi PFC tak bertahan lama. “Kemudian hilang begitu saja,” kata Ferry. Gelora Jakmania Buruknya prestasi Persija di Liga Indonesia II (peringkat 13 wilayah Barat) dan III (peringkat 14 wilayah Barat) menyebabkan PFC tinggal nama. Ketiadaan organisasi suporter itu membuat prihatin banyak fans Persija. Sekira 40 fans Persija, termasuk Ferry, lalu merintis organisasi suporter baru pada 1997. “Ya berawal dari obrolan gue dengan beberapa teman dari Commandos (suporter Pelita Jaya). Kita diskusi tentang keinginan jadi member buat pendukung Persija. Lalu kita omongin ke manajer Persija saat itu, Diza Rasyid Ali. Dia lalu mengarahkan ke humas Persija Edi Supatmo. Dari situ kita ditantang sama mereka untuk bikin sendiri fans club,” kata Ferry kala menerima Historia di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Rapat berikutnya mereka lepas dari tangan manajemen klub. Pada pertemuan di Graha Wisata Kuningan, Jakarta Selatan, 19 Desember 1997, mereka sepakat membentuk fans club dengan 40 anggota pertama. Markas pertama mereka di Stadion Menteng. Meski sudah berdiri, organisasi suporter mereka belum punya nama. “Waktu di Menteng, sempat lihat spanduk, tulisannya: ‘Welcome The Jak’. Dijelaskan manajemen, ternyata itu julukan baru Persija. Oh, kalau gitu suporternya biar kayak (band legendaris) The Beatles yang pendukungnya Beatlesmania, kita The Jakmania aja. Nama itupun disepakatin,” sambung pria kelahiran Bandung, 18 Februari 1965 itu. Para pionir Jakmania lalu mendapuk Muhammad Gunawan Hendromartono alias Gugun Gondrong jadi ketua umum pertama. “Ya dulu milihnya aklamasi aja. Kalau Gugun karena dia public figure. Terus gue ketua 1, sementara posisi yang lain juga main tunjuk aja yang ada di situ,” imbuh Ferry. Mereka lalu menetapkan logo jemari membentuk huruf “J” sebagai logo Jakmania. Ide logo datang dari Edi Supatmo, humas Persija. “Awalnya logo kita sudah sempat dibikin kawan kita, Heri. Logonya berupa pantulan bola berbentuk huruf ‘J’ dan titiknya itu gambar bola. Sudah kita pakai selama tiga bulan, tapi mas Edi bilang, dia ada logo baru, ya yang seperti sekarang ini dan kita setuju semua,” tuturnya. Logo itulah yang menginspirasi Ketua Gugun mencetuskan salam Jakmania berupa acungan tangan kiri di mana jemari membentuk huruf “J”. The Jakmania senantiasa mengawal Persija di manapun berlaga (Foto: persija.id) Seiring bergantinya jersey Persija jadi berwarna oranye, atribut Jakmania ikut serba oranye. “Warna oranye itu memang baru zaman Bang Yos (Gubernur DKI Sutiyoso) muncul. Kenapa oranye, belum terjawab. Banyak versi. Salah satu versinya, karena Bang Yos nggak pengin (menyamai) warna partai. Waktu itu kan partai masih cuma tiga: hijau (PPP), kuning (Golkar), merah (PDI). Makanya yang ditampilin oranye (untuk Persija dan Jakmania),” ujar Ferry. Hingga kini, kata Ferry, jumlah anggota Jakmania berkartu anggota mencapai 48 ribu. Jumlah itu terus bertambah dengan bermunculannya fans club anyar macam Jak Angel, Curva Nord Persija, Ultras Persija, Jak Kampus, dan lain-lain di berbagai kota. “ Alhamdulillah semua masih satu atap. Walau dia alirannya Ultras, Hooligans atau yang lain, ya silakan saja selama masih dalam satu komando (Jakmania). Mayoritas dari mereka juga semua anggota kita. Di Curva Nord misalnya. Para leader- nya itu anggota kita zaman gue ketua dulu (1999-2005). Beda dengan kota-kota lain, di Jakarta harus tetap ada satu payung yang mengayomi mereka semua,” tandas Ferry yang kembali jadi “panglima” Jakmania untuk periode 2017-2020.
- Orang Jawa yang Bertakhta di Sumatra
SEKIRA pertengahan abad 10, Dewapaladewa, Raja Benggala di India, menerbitkan Prasasti Nalanda. Isinya tentang permintaan Raja Sriwijaya Balaputradewa dari Suwarnadwipa , nama kuno Sumatra, kepada Dewapaladewa untuk mendirikan vihara di Nalanda. Menurut Prasasti Nalanda, ayah Balaputradewa adalah raja Jawa dari trah Sailendra bernama Samaragawira, putra dari tokoh yang berjuluk Wirawairimathana (Pembunuh Musuh Perwira). Ibunya adalah Putri Tara dari trah Somawangsa, putri Dharmasetu. “Soma ini wangsa di Sumatra, kalau di Jawa ada Sailendra,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas, kepada . Karenanya, kata Bambang, tak heran kalau Balaputradewa punya hak bertakhta di Sumatra. Dia hanya kembali ke asal ibunya yang memang orang Sumatra. Pernyataan dalam Prasasti Nalanda seakan menjelaskan hubungan antara Jawa dan Sumatra. Namun, sebenarnya silsilah Balaputradewa, baik dari pihak ibu maupun ayah masih memunculkan beragam teori. Beberapa ahli, seperti N.J. Krom, F.D.K. Bosch, dan De Casparis, meyakini bahwa sebelum Balaputradewa, kakeknya, Dharmasetu, juga raja Sriwijaya. Namun, filolog dan sejarawan Slamet Muljana tak sependapat. “De Casparis masih beranggapan Dharmasetu, kakek Balaputradewa adalah raja Sriwijaya, tapi tak ada buktinya,” tegas Slamet dalam Sriwijaya. Slamet lebih yakin kalau Dharmasetu adalah tokoh yang diberikan tugas untuk menjaga bangunan suci di Jawa. Artinya, Dharmasetu berasal dari Jawa. Pasalnya, namanya muncul dalam Prasasti Kelurak (782) yang ditemukan di Desa Kelurak, dekat Pecandian Prambanan. Prasasti itu mengisahkan pendirian bangunan suci bagi arca Manjusri atas daulat Sri Sanggrama Dhananjaya. “Karena kedua nama ini ada bersama-sama dalam Prasasti Kelurak, maka saya menolak anggapan kalau Dharmasetu adalah raja Sriwijaya,” kata Slamet. Slamet menerangkan bahwa Dharmasetu dan Sri Sanggrama Dhananjaya atau Rakai Panunggalan, raja ketiga Mataram, akhirnya besanan. Ini dilihat dari kesamaan julukan, Pembunuh Musuh Perwira, yang muncul dalam Prasasti Kelurak dan Ligor B yang sezaman, serta dalam Prasasti Nalanda. Dengan begitu, kira-kira terjawab soal asal-usul ayah dan ibu Balaputradewa. Namun, pertanyaan bagaimana Balaputradewa bisa jadi raja di Sumatra, belum sepenuhnya jelas. Di Jawa, Bambang menerangkan, nama Balaputradewa muncul pula dalam Prasasti Karang Tengah (824). Dari sini ada petunjuk kalau sebelum ke Sumatra, dia sempat berebut takhta dan kalah dari iparnya, Rakai Pikatan yang membela hak takhta istrinya, Pramodawardhani, sang putri mahkota. Namun, lagi-lagi Slamet Muljana berbeda pandangan. Menurutnya, Balaputradewa lebih mungkin merupakan paman dari Pramodawardhani. Dia adalah putra bungsu Samaragawira atau adik Raja Samarattungga. Nama Balaputradewa menunjukkan itu: wala (ekor) dan putra (anak). Slamet mengatakan berdasarkan petunjuk di Prasasti Karang Tengah, Pramodawardhani adalah putri satu-satunya Raja Samarattungga. Maka, tak mungkin Balaputradewa menjadi saudaranya atau ipar Rakai Pikatan. Kendati demikian, Slamet tak menampik kemungkinan terjadinya peperangan antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa. Pemicunya karena Balaputradewa tahu Samarattungga tak berputra, maka dia sebagai adik laki-lakinya merasa lebih berhak sebagai penerus. Sementara itu, Sriwijaya sudah menjadi daerah bawahan Jawa berkat Rakai Panunggalan, kakek mereka. Nama sang kakek muncul dalam Prasasti Ligor B yang ditemukan di Ligor (kini, Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan), salah satu daerah kekuasaan Sriwijaya. Karenanya setelah kalah dari Rakai Pikatan, Balaputradewa pun menyingkir ke Sumatra. “Negeri yang harus diwarisinya dari kakeknya, Dharmasetu dan dari ayahnya, Samaragawira terampas semua oleh Rakai Pikatan, yang menurut adat tak berhak untuk menguasainya,” kata Slamet. Dengan begitu, menurut Slamet, melalui Prasasti Nalanda sesungguhnya Balaputradewa tengah menyerukan haknya sebagai penerus trah Sailendra atas takhta Mataram. Menurut George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu Buddha, Balaputradewa kemungkinan besar adalah raja Sailendra pertama di Sriwijaya. Setelah naik takhta, dia dan keturunannya terus memperkuat negeri barunya itu hingga dikenal oleh negara-negara di kawasan regional hingga Tiongkok dan India. “Jadi, ya akhirnya Sumatra dan Jawa itu masih satu keluarga, tapi beda kerajaan, tak bisa dibilang kemudian Jawa bagian Sriwijaya dan Sriwijaya bagian Jawa,” tegas Bambang.
- Riwayat Tempat Penitipan Anak
DAYCARE atau Tempat Penitipan Anak (TPA) ramai tumbuh di antero kota-kota besar Indonesia belakangan ini. Para orangtua menitipkan anak balita mereka di TPA sejak pagi hingga jelang sore pada hari-hari tertentu. Mereka ambil keputusan ini lantaran rutinitas kerja dan tak ada sanak keluarga di sekitar rumah. Mereka sudi membayar sekian rupiah supaya bisa memperoleh layanan terbaik dari TPA untuk anak-anak mereka. Sejarah TPA berakar di Prancis pada 1840-an. “Berkelindan dengan peningkatan jumlah perempuan pekerja pabrik pada pertengahan abad ke-19,” tulis Dorena Caroli dalam Day Nurseries & Childcare in Europe 1800-1930. Orang Prancis menyebut TPA sebagai crèches . Banyak anak balita mati terlalu dini dan tumbuh telantar lantaran kurang perawatan dari orangtua. Sekelompok perempuan perawat di Prancis berupaya mengubah keadaan tersebut. Para orangtua bukan tak ingin merawat dan membesarkan anak balita mereka. Mereka tergencet kemiskinan akut di kota. Upah bekerja seorang ayah tak cukup untuk menyambung hidup satu keluarga. Butuh ibu yang juga turut bekerja untuk menjamin keberlangsungan hidup keluarga. Tapi cara ini menghapus waktu luang mereka untuk anak-anaknya. Lalu bagaimana cara meninggalkan anak balita di rumah tanpa perlu membuat mereka telantar dan mati terkapar? Maka bertemulah prakarsa para perawat dengan kebutuhan orangtua terhadap keberlangsungan tumbuh-kembang anak balita mereka pada sebuah tempat bernama crèches . Kemudian konsep crèches berkembang ke kota-kota industri lain di Eropa. Di mana kelas pekerja berpijak, di situlah pula lahan tumbuh crèches . Gejala serupa juga hampir tampak di Indonesia. Kemerdekaan Indonesia mengubah peran perempuan. Urusan mereka tak lagi seukuran dapur dan senyaman kasur. Mereka turut giat dalam menggerakkan ekonomi negeri. Lowongan-lowongan kerja untuk beragam posisi tersedia bagi mereka. Satu dekade setelah kemerdekaan, perempuan Indonesia menyemarakkan pabrik-pabrik dan kantor dagang atau pemerintahan di kota-kota besar. “Di mana kita lihat berduyun-duyun wanita-wanita yang bekerja di waktu pagi berangkat ke kantor dan di waktu siang jam dua pulang ke rumah masing-masing,” tulis SK Trimurti dalam “Wanita dan Masalah Kerdja” termuat di Wanita , 10 Agustus 1957. Ketika perempuan pekerja mempunyai anak, tanggung jawab mereka bertambah. Mereka berkewajiban merawat dan membesarkan anak-anak. Tapi seringkali tanggung jawab ini berbenturan dengan tanggung jawab pada pekerjaan. Para pekerja perempuan yang mempunyai anak balita berhak memperoleh cuti selama tiga bulan. Hanya selama inilah waktu mereka untuk kasih perhatian penuh ke anak balita. Selepas tiga bulan, para ibu pekerja harus masuk kantor atau pabrik lagi. Dan anak balita tak mungkin ikut ke tempat kerja mereka. Maka menguarlah pikiran tempat penitipan anak balita selaik di negeri Barat. “Dalam keadaan demikian ternyatalah bahwa sebetulnya untuk anak-anak yang ditinggalkan harus disediakan suatu tempat penitipan di mana mereka dapat dijaga, soal makanan dan kesehatannya, dan untuk ibunya merupakan suatu keringanan sehingga dia dapat bekerja dengan tenang dan sempurna,” tulis Sunday Courier , No 5, Januari 1955. Gagasan tempat penitipan anak maujud di kota-kota besar. “Di sana-sini terutama di kota-kota besar mulai didirikan tempat penitipan kanak-kanak, baik yang diselenggarakan oleh majikan partikelir atau pemerintah,” tulis Wanita , 20 Oktober 1955. Tapi kebanyakan tempat penitipan anak tak bertahan lama. Ada beda kondisi kultural dan sosial antara Indonesia dan negeri Barat. Meski Indonesia punya banyak perempuan pekerja, kebanyakan orangtua masih lebih percaya menitipkan anaknya pada lingkungan sekitar. Entah tetangga atau keluarga. “Di negeri kita belum laku, sebab di rumah masih ada saudara atau pembantu yang momong anak,” tulis Wanita . “Untuk memperkenalkan tempat ini dibutuhkan waktu yang agak lama sebelum masyarakat terutama wanitanya membutuhkan dan mempergunakan tempat semacam tersebut,” lanjut Wanita . Enam puluh tahun kemudian, perkiraan tersebut menjelma kenyataan. Warga kota kian hari, kian sibuk. Ayah dan ibu bekerja sepanjang hari. Sanak keluarga dan tetangga juga padat kegiatan. Waktu senggang menjadi barang langka. Maka Tempat Penitipan Anak menjadi kebutuhan tak terelakkan bagi keluarga muda pekerja di kota-kota besar Indonesia. Bisnis Tempat Penitipan Anak pun mulai jadi lahan subur tumbuh-kembangnya uang bagi usahawan.*
- Pengeboman Gereja di Jawa Timur
TERORIS melakukan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, pada pagi, 13 Mei 2018. Korban tewas 14 orang enam di antaranya pelaku satu keluarga; dan 43 orang luka-luka. Pada malam harinya, sebuah bom meledak di lantai lima rusunawa di Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur. Pelakunya satu keluarga: tiga tewas dan tiga terluka. Paginya, 14 Mei 2018, bom bunuh diri terjadi lagi di Polrestabes Surabaya. Semoga saja pengeboman itu tidak mengulang peristiwa serangan bom pada malam Natal tahun 2000. Saat itu, teroris Jamaah Islamiyah meledakkan bom di 15 gereja di sebelas kota: Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Ciamis, Mojokerto, Mataram, Pematang Siantar, Medan, Batam, dan Pekanbaru. Total 20 orang tewas dan 120 orang terluka. Untuk wilayah Jawa Timur, sasaran pengeboman adalah gereja di Mojokerto. Pelaku pengeboman, Ali Imron, mengungkap mengapa tidak memilih gereja di Surabaya. Dalam memoarnya, Sang Pengebom, Ali Imron mengatakan alasan mengebom gereja untuk membalas penyerangan terhadap umat Islam di Ambon dan Poso. Dia dan Amrozi bertemu dengan Hambali, koordinator serangan daerah Jawa, di sebuah hotel di Surabaya. Hambali menyampaikan, jika orang-orang Kristen di Ambon bisa menyerang umat Islam pada hari raya Idulfitri, mengapa tidak menyerang pada hari raya mereka, Natal. “Oleh karena itu, kita akan memulai jihad untuk membalas mereka dengan melakukan pengeboman terhadap gereja-gereja di malam Natal,” kata Ali Imron. Hambali menyerahkan pengeboman di Jawa Timur kepada Amrozi dan Ali Imron. Dia menanggung pembiayaannya. Menurut Ken Conboy dalam Intel II: Medan Tempur Kedua , Hambali memperkirakan biaya untuk serangan Natal mencapai US$50.000 untuk transportasi, rumah aman, bahan-bahan peledak, dan masing-masing pelaku. Dana itu berhasil diperoleh dari Masran bin Arshad, anggota Jamaah Islamiyah asal Malaysia, yang baru pulang dari Pakistan membawa sumbangan dari al-Qaeda. Yazid bin Sufaat, anggota Jamaah Islamiyah asal Malaysia, juga menyerahkan US$10.000 dari dana pribadinya. Sisanya dikumpulkan dari para anggota Jamaah Islamiyah Mantiqi 1 (cabang regional mencakup Malaysia dan Singapura). Mantiqi 1 menginginkan serangan malam Natal dilakukan di sepuluh –belakangan ditambah menjadi sebelas– kota. “Sebagai koordinator daerah Jawa, Hambali menyediakan dana dan memilih pemimpin di setiap kota sasaran,” tulis Conboy. Para pemimpin diberi kebebasan memilih tempat di mana bom diletakan di setiap kota sasaran. Mereka juga diberi kebebasan memilih jenis bom; beberapa memilih bom waktu sederhana; yang lain menyukai peledak lebih canggih yang dipicu oleh telepon atau pager. Ukuran bom bervariasi antara tiga hingga 14 kilogram. Hambali bertanya kepada Amrozi dan Ali Imron kira-kira gereja mana di Jawa Timur yang akan dijadikan sasaran bom. Mereka mengisyaratkan sasaran bom adalah gereja-gereja di Mojokerto. “Alasan kami saat itu karena Mojokerto kota kecil tetapi banyak gerejanya. Dan kami tidak memilih gereja-gereja di Surabaya karena kami khawatir, jangan-jangan setelah pengeboman nanti kami kesulitan membeli pupuk dan bahan-bahan bom lainnya di toko kimia di Surabaya,” kata Ali Imron. Ken Conboy menambahkan, sejak Jamaah Islamiyah mengirim anggotanya ke Ambon pada awal tahun 2000, Amrozi telah mengumpulkan bahan-bahan kimia untuk digunakan di Maluku. Dia membelinya di toko Tidar Kimia, penyalur bahan kimia di Surabaya. Karena sebagian besar komponen yang dia cari tidak berbahaya –contohnya potasium klorat adalah pupuk– maka pembeliannya tidak menimbulkan kecurigaan. Amrozi dan Ali Imron sempat menyurvei gereja di Jombang, Bojonegoro, dan Tuban. Namun, mereka akhirnya menetapkan tiga gereja di Mojokerto. Pelaksana pengeboman adalah Ali Imron, Mubarok, Sawad, Salman, dan Muhajir. Amrozi tidak ikut karena sakit. “Saya dan Mubarok mulai mencampur bubuk pupuk, bubuk belerang, dan bubuk aluminium. Dengan selesainya pencampuran tersebut maka jadilah bubuk peledak seberat 15 kg yang biasanya kami sebut black powder . Selanjutnya kami berdua mulai membuat Bom Kado dan Bom Tas,” kata Ali Imron. Mereka kemudian membagi pengeboman. Ali Imron dan Sawad membawa bom ke Gereja Pantekosta Allah Baik; Salman membawa bom ke Gereja Santo Yosef; Muhajir dan Mubarok membawa bom ke Gereja Eben Haezar. “Rencana kami meledakkan gereja di Mojokerto sudah tercapai dan berhasil,” kata Ali Imron. Ledakan itu menewaskan dua orang dan lima luka parah. Salah satu korban meninggal adalah Riyanto, anggota Banser NU, yang berjaga di Gereja Eben Haezar. Ali Imron ditangkap setelah terlibat dalam Bom Bali I pada 2002. Dia terhindar dari hukuman mati dan dihukum penjara seumur hidup karena mengaku bersalah, menyesal dan meminta maaf kepada semua orang terutama korban dan keluarganya, serta bersedia bekerja sama dengan polisi. Pada serangan bom malam Natal tahun 2000, teroris Jamaah Islamiyah tak memilih sasaran gereja di Surabaya tapi di Mojokerto. Kini, 18 tahun kemudian, tiga gereja di Surabaya jadi sasaran pengeboman. Kali ini, pelakunya adalah teroris Jamaah Ansharut Daulah/Jamaah Ansharut Tauhid yang mendukung gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).





















