top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Rencana Menghabisi Westerling

    SETELAH melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan, Kapten Raymond Westerling dengan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) menyerang TNI di Bandung, Jawa Barat, pada 23 Januari 1950. TNI mengejar komandan pasukan khusus Belanda itu, namun marinir Belanda melarikannya ke Malaya (kini, Singapura). Setelah singgah di beberapa negara, dia kemudian kembali ke Belanda. Dalam persembunyiannya, dia hidup pas-pasan, terlilit utang, sampai menawarkan diri jadi tentara bayaran. Uniknya, dia sempat menjadi penyanyi opera. Pada 1979, Panda Nababan, wartawan Sinar Harapan , berhasil mewawancarai Westerling di rumahnya di Amsterdam, Belanda. Saat itu, dia berusia 60 tahun dan tinggal bersama istri ketiga dan putrinya. Untuk mencari nafkah, dia menjual buku-buku baru dan bekas serta punya percetakan kecil dengan mesin handpress . Toko bukunya kemudian dijual kepada penerbit Nabrink, toko buku antik andalan pengkaji Indonesia dan Asia. Selama wawancara Westerling tak menunjukkan rasa bersalah dan tetap bangga dengan sepak terjangnya di Indonesia. Dia membantah telah membantai 40 ribu orang Sulawesi Selatan. Dia memperkirakan paling 3-4 ribu orang pada waktu operasi militer. “Itu pun tidak dari peluru yang saya muntahkan sendiri, tapi juga dari prajurit-prajurit Belanda lain,” kata Westerling. Menurut Panda, saat itu ada yang mengusulkan kepada Duta Besar Indonesia di Belanda, Soepomo Bayuaji dan atase militernya, seorang kolonel Angkatan Laut, untuk menculik Westerling. Saat itu, ramai berita tentang kisah sukses satuan intel Israel, Mossad, yang berhasil menculik penjahat perang Jerman, Karl Adolf Eichmann, dan dibawa ke Israel untuk diadili. “Kenapa kita tidak melakukan itu?” tanya Panda kepada sang duta besar yang perwira tinggi Angkatan Darat dan sang kolonel. “Wah, itu berbahaya, bisa merusak hubungan internasional. Apalagi, Belanda adalah ketua IGGI. Risikonya tinggi,” kata sang duta besar. Didirikan di Amsterdam pada Februari 1967, IGGI (Inter Governmental Group of Indonesia) merupakan konsorsium negara-negara donor yang memberikan pinjaman kepada Indonesia. IGGI dibubarkan pada 1992 digantikan CGI (Consultativc Group on Indonesia) di bawah Bank Dunia. Usulan lain menyewa pembunuh bayaran. Bayarannya sekitar US$10 ribu coba dikumpulkan dari saudagar-saudagar Bugis karena korban paling besar pembantaian oleh Westerling ada di Sulawesi Selatan. “Tetapi, kedua upaya itu tidak pernah dirancang oleh Satgas Intelijen Kopkamtib yang terkenal hebat di Indonesia itu,” kata Panda dalam otobiografinya, Menembus Fakta. Menurut Laksamana Madya Udara Boediardjo, menteri penerangan (1968-1973), orang yang punya usul menculik Westerling adalah Achmadi, tokoh Tentara Pelajar yang kemudian menjadi menteri penerangan (1964-1966). “Waktu itu dia sedang tugas belajar di Belanda. Dia punya rencana menculik Westerling yang telah banyak membunuh rakyat Indonesia. Ketika ‘misi rahasia’ ini bocor, dia diusir. Kemudian dipindahkan ke London,” kata Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi . Delapan tahun kemudian, 28 November 1987, Westerling meninggal dunia di kota kecil Purmerend, 20 kilometer dari Kota Amsterdam.*

  • Riwayat Ulama Wahabi Nasionalis di Cina

    DI Indonesia, kita kerap menjumpai pemuka agama yang disinyalir berhaluan Wahabi, mempersoalkan keabsahan nasionalisme dalam Islam. Sebaliknya, laiknya kiai-kiai NU (Nahdlatul Ulama), seorang imam Wahabi kondang di Cina ini malah berpandangan bahwa ḥubbu al-waṭan mina al-īmān : cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

  • Howard Jones, Duta Besar AS Karib Sukarno

    DALAM otobiografinya, Sukarno menyebut beberapa pemuka asing namun punya peran penting. Misalnya, Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, termasuk dua presiden AS: Dwight Eisenhower dan John F. Kennedy. Dari sekian nama, hanya seorang dari kelompok duta besar (dubes) yang paling berkesan bagi Bung Besar. “Seorang asing yang mengerti kepadaku adalah Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones,” kata Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Kami sering terlibat dalam perdebatan-perdebatan sengit dan pahit, akan tetapi aku semakin memandangnya sebagai seorang kawan tercinta.” Jones memang piawai mengambil hati Sukarno yang senang sanjungan. Kepada Sukarno, Jones menggambarkan sosok sang presiden sebagai perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt, presiden Amerika ke-32 dan Clark Gable, aktor tampan Hollywood. Sebagai lobi-lobi diplomatik, pujian Jones berhasil. Namun Jones bisa jadi tak membual atas ucapannya. Dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream, Jones menguraikan pengalamannya semasa menjadi dubes di Indonesia. Secara gamblang, Jones mengungkap kesannya terhadap Sukarno. “Kesan saya dia adalah seorang lelaki bermata cokelat cemerlang yang luar biasa dengan senyuman berkedip yang membawa kehangatan yang menyejukkan,” ujar Jones. “Dia (Sukarno) tidak mudah terganggu kecuali kesombongannya yang terlalu kuat disentuh atau emosinya terangsang; maka dia bisa menjadi eksplosif.” Dari Perang Dunia ke Jakarta Sebelum menjadi dubes, Jones yang kelahiran 2 Januari 1899 adalah veteran Perang Dunia II untuk Angkatan Darat Amerika. Pangkat terakhirnya kolonel. Selepas perang, Jones bekerja di lembaga donor Amerika (USAID).    Pada 1954, untuk kali pertama Jones berkunjung ke Indonesia dalam kedudukannya sebagai direktur USAID di Indonesia merangkap konselor ekonomi kedutaan. Jones bersua dengan Sukarno. Semula, mereka membicarakan tentang program bantuan ekonomi untuk Indonesia. Sebagaimana dituturkan Jones, percakapan dengan Sukarno malah beralih ke beragam soal: dunia, daging, bintang film, filsafat, hingga keluarga. Jones mengatakan bahwa dia memiliki seorang putri yang cantik dan dua orang cucu. Sukarno tertawa mendengarnya. “Kau tentu bukan orang Indonesia,” kata Sukarno. “Orang Indonesia berkembang biak seperti kelinci. Sepuluh, dua belas, empat belas anak. Ini adalah biasa dan kami memiliki negara yang besar.” Menurut Jones, Sukarno adalah orang yang bergairah; mengungkapkan kegembiraan dan antusias dalam semua yang dia lakukan meski kadangkala memiliki sisi kekanak-kanakan yang luar biasa. Ketika hubungan Amerika-Indonesia memburuk terkait pemberontakan PRRI Permesta, Jones segera ditunjuk pemerintahnya sebagai dubes di Jakarta pada 1958. Misinya di Indonesia tak gampang. Jones harus bisa meyakinkan Sukarno bahwa Amerika tak berniat mengintervensi urusan internal Indonesia. Paul F. Gardner, mantan diplomat Amerika cum sejarawan dalam Fifty Years of U.S.-Indonesian Relations mengatakan, Jones sukses dalam misinya menyembunyikan keterlibatan Amerika dalam gerakan pembangkangan di sejumlah daerah Indonesia. Doyan Nasi Goreng Di Jakarta, Jones menempati rumah dinas yang terletak di kawasan elite di Taman Surapati. Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia mencatat, Jones kadang-kadang mengenakan peci ala Indonesia di kepalanya. Setelah beberapa lama tinggal di Jakarta, Jones dan istrinya Marylou mengadakan jamuan mewah untuk Presiden Sukarno dan Nyonya Hartini. “Ini adalah suatu kemenangan diplomatik bagi Jones karena sampai waktu itu belum ada duta besar asing yang berhasil mengundang presiden untuk jamuan makan malam,” ujar Ganis dalam Cakrawala Politik Era Sukarno . Dan sebaliknya, Sukarno mengadakan jamuan balasan. Sukarno mengisahkan momen kebersamaan dirinya dengan Jones. Pada suatu hari minggu, Jones dan istrinya makan bersama Sukarno ditemani Hartini di salah satu paviliun Istana Bogor. Bagi Sukarno, pertemuan itu penuh nuansa kekeluargaan. Dalam menyambut Jones, Sukarno tak mengenakan sepatu dan hanya mengenakan kaos sport. “Hartini membuat nasi goreng karena, karena dia tahu bahwa keluarga Jones sangat doyan pada nasi goreng ayam,” ujar Sukarno. Saling sowan diantara keduanya tak sampai disitu. Rumah kediaman Jones kerap menjadi pusat pesta-pesta Lenso selain di Istana Bogor dan Istana Cipanas. Selama bertahun-tahun Jones selalu menjadi orang pertama yang memulai dansa karena presiden meminta berdansa dengan isterinya. Selama delapan tahun menjalankan misi diplomatik, Jones telah dengan baik menjembatani hubungan Indonesia dengan Amerika. Sebagaimana diungkap jurnalis kawakan Belanda Willem Oltmans dalam memoarnya Bung Karno Sahabatku, meskipun persekongkolan CIA di Indonesia urung berhenti, “tetapi hubungan dengan Amerika mengalami fase yang relatif tenang, juga dengan adanya Howard Jones sebagai dutabesar di Indonesia.” (Bersambung) .

  • Diusir di Pengujung Karier

    SETIAP perkataan adalah doa. Sayang, kiper Juventus Gianluigi Buffon tak meahami itu. Pada Maret 2016, dia mengatakan kepada Sky Sport Italia bahwa mungkin saja dia mengakhiri karier sepahit Zinedine Zidane –menutup pertandingan terakhir dengan kartu merah. “Mungkin saya bisa mengakhiri karier dengan tandukan kepala seperti yang dilakukan Zidane. Saya bisa menanduk seseorang – siapa tahu,” cetus Buffon setengah bercanda kala itu. Nahas, kata-kata itu seakan terkabul di Santiago Bernabeu, markas Real Madrid, Kamis (12/4/2018) dini hari WIB. Portiere  berusia 40 tahun yang menyatakan musim ini akan jadi Liga Champions terakhirnya itu, diusir wasit Michael Oliver asal Inggris di babak injury time. Buffon diganjar kartu merah setelah memprotes keras wasit. Dia merasa keputusan wasit menghadiahkan penalti buat Madrid, telah “merampok” kans timnya untuk lolos ke semifinal. Itu jadi kartu merah pertama Buffon sepanjang 117 penampilannya di Liga Champions. Alhasil, meski menang 3-1, Juve gagal lolos akibat kalah agregat 3-4. Buffon menambah panjang daftar pesepakbola profesional yang mendapat kartu merah di pengujung karier. Berikut empat pesepakbola lain yang mendahului Buffon: Jurgen Kohler Jurgen Kohler menjadi andalan lini pertahanan timnas Jerman pada medio 1980 hingga 1990-an. Dia ikut mengantar Der Panzer menjuarai Piala Dunia 1990 dan Euro 1996. Di level klub bersama Bayern Munich, Juventus, dan Borussia Dortmund, Kohler mengoleksi tak kurang dari delapan gelar. Jurgen Kohler Namun, Kohler mesti menutup kariernya dengan noda kartu merah. Momen itu terjadi di final Piala UEFA (kini Europa League), 8 Mei 2002, kala Dortmund menghadapi Feyenoord Rotterdam. Menurut situs resmi UEFA, 9 Mei 2002, Kohler dikartumerah langsung oleh wasit setelah menjatuhkan pemain Feyenoord di kotak penalti pada menit 31. Selepas laga yang berakhir 3-2 untuk Feyenoord itu, Kohler resmi pensiun setelah 19 tahun menjalani karier profesional.  Edgar Davids Setelah melanglang buana ke berbagai liga top Eropa, karier Edgar Davids sempat terkatung-katung di usia senja. Beruntung, klub semenjana Inggris Barnet FC mau menampung pemain berkacamata akibat glaucoma itu. Davids memperkuat Barnet sebagai pelatih sekaligus pemain. Edgar Davids Davids memainkan laga terakhirnya pada 28 Desember 2013 kala Barnet menghadapi Salisbury City di Divisi National League atau kompetisi kasta kelima di Inggris. Davids menerima kartu kuning kedua setelah adu mulut dengan wasit. Per Januari 2014, Davids angkat kaki dan pensiun. “Barnet FC malam ini mengumumkan Edgar Davids resign dari posisinya sebagai pelatih kepala,” tulis situs barnetfc.com , 18 Januari 2014. Mark van Bommel Di masa jayanya, legenda bernama lengkap Mark Peter Gertruda Andreas van Bommel ini merupakan gelandang jangkar andalan Barcelona, Bayern Munich, dan AC Milan. Mantan kapten timnas Belanda ini juga berhasil membawa negerinya menjadi runner up Piala Dunia 2010. Mark van Bommel Van Bommel kembali klub yang membesarkan namanya, PSV Eindhoven, di senja kariernya. Namun, nahas menghampirinya di pertandingan terakhir, 12 Mei 2013, kala PSV menghadapi Twente Enschede. Dia diusir wasit dengan kartu kuning kedua akibat tekel brutalnya. Sehari berselang, Van Bommel menyatakan gantung sepatu. “Kartu merah yang saya terima mungkin cerminan keseluruhan musim ini,” cetusnya kepada De Telegraaf , 13 Mei 2013. Zinedine Zidane Zidane Yazid Zidane menjalani laga terakhir profesionalnya bersama timnas Prancis di final Piala Dunia 2006 melawan Italia, yang gawangnya dijaga Buffon. Nahas di pengujung laga, provokasi bek Italia Marco Materazzi dengan komentar miring terhadap ibu dan adik Zidane membuat Zidane emosi. Dia langsung menanduk “Matrix”. Zinedine Zidane Wasit langsung mengkartu merah Zidane. FIFA juga memvonisnya larangan tiga kali bermain –yang ditebus Zidane dengan melakukan pelayanan sosial proyek kemanusiaan FIFA selama tiga hari. Zidane pilih pensiun usai laga itu. Dalam noda di ujung karier Zidane itu, ada tawa Buffon yang menang Piala Dunia. Kini, roda berputar. Zidane nyengir saat Buffon dikartumerah seiring Madrid yang dilatihnya lolos ke semifinal Liga Champions.

  • Pelopor Modeling Indonesia

    BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa itu tak berlaku bagi Rahadian Yamin. Alih-alih mengikuti jejak ayahnya sebagai politisi, ia justru berkecimpung di dunia mode. Dang Rahadian Sinayangish Yamin atau lebih dikenal dengan nama Rahadian Yamin adalah anak tunggal dari Mohammad Yamin, salah satu “bapak bangsa” yang juga seorang pahlawan nasional asal Minangkabau. Oleh ayahnya, dia sebenarnya diproyeksikan jadi politisi. Dia dikuliahkan ke Universitas Filipina, bidang Ilmu Politik. Di Filipina inilah Rahadian bersentuhan dengan dunia mode. Kendati demikian, dia berhasil menggondol gelar bachelor of art lalu melanjutkan pendidikan master di University of California, Berkeley. Ketika ayahnya wafat pada 1962, Rahadian pulang ke tanah air. Dia lantas melanjutkan karier di Indonesia, yang membuatnya dikenal sebagai pelopor mode di Indonesia pada 1970-an. Batik di Filipina Perkenalan pertama Rahadian dengan dunia mode terjadi saat masih tinggal di Filipina. Di sana, dia bersahabat dengan seorang wartawan bernama Josef Ramoz. Dia kerap diminta jadi fotomodel untuk keperluan majalah dan suratkabar dengan mengenakan busana batik. Menurut Rahadian dalam majalah SFF, Februari 1973, tadinya orang-orang Filipina terbiasa memakai kain asal Madras (kini Chennai), India, yang coraknya mirip batik. Batik merupakan variasi baru dari selera busana mereka sebelumnya. Dengan busana batik, Rahadian merintis karier sebagai peragawan di Filipina. Bisa jadi, Rahadian adalah orang yang mempopulerkan batik di Filipina. Rahadian mengatakan, sebenarnya ayahnya memiliki bakat soal mode. “Dia (Mohammad Yamin) senang pakaian yang bagus dan mahal-mahal,” kata Rahadian. Rahadian mengenal dunia model lebih jauh melalui perancang busana Iwan Tirta dan peragawati-aktris Rima Melati. Tak hanya sebagai peragawan, juga bintang iklan, dia menekuni dunia rancang busana. Pelopor Bahan Tekstil dalam Negeri Rahadian tertarik batik, terutama yang bercorak konvensional. Warna cokelat dan coraknya kuno.  Buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 menyebut, Rahadian merupakan perancang busana pelopor yang menggunakan bahan-bahan tekstil dalam negeri, termasuk untuk batik. Dalam buku itu, Rahadian mengatakan bahwa pekerjaannya memiliki misi luhur, yakni mendidik masyarakat agar berbusana dengan rapi dan menarik. Rahadian menikah dengan Gusti Raden Ajeng Retno Satuti, anak Mangkunegara VIII, pada 1975. Dia mendapatkan gelar bangsawan, Kanjeng Pangeran Haryo Soerjahadiningrat. Selain konsentrasi di bidang mode, Rahadian punya ketertarikan di bidang film. Pada 1977, dia mendirikan perusahaan film PT Raya Film. Dia kemudian menjadi produser, penulis, sekaligus pemeran utama film Bulu-bulu Cendrawasih (1978). Sutradaranya Nurhadie Irawan. Penulis skenarionya sastrawan Umar Kayam. Pada 21 Agustus 1979, petaka terjadi. Mobil yang ditumpangi Rahadian dalam perjalanan di Lampung bertabrakan dengan sebuah truk. Saat itu, dia ingin ke pabrik gula PR Gunung Madu, bertugas sebagai pemandu acara peresmian pabrik itu. Kecelakaan itu merenggut nyawa Rahadian. Dunia mode Indonesia berduka. Untuk mengenang sumbangsih bagi dunia model Indonesia, Johny A Ganda, pemimpin redaksi majalah Model , memprakarsai ajang Rahadian Yamin Memorial Cup lewat Yayasan Pembina Mode Indonesia (Yapmi). Ajang itu kali pertama digelar tahun 1980 sebelum ganti nama jadi Top Model Indonesia. Banyak pemenang dan finalisnya menjadi artis dan bintang iklan. Sebut saja Soraya Haque, Rico Tampatty, Sandy Harun, Titi DJ, Dian Nitami, Cornelia Agatha, Arzet Bilbina, dan masih banyak lagi.

  • Alasan Cola Serang Sriwijaya

    SERANGAN Kerajaan Cola, sebuah dinasti Tamil di India Selatan, konon turut mengantar Kerajaan Sriwijaya ke akhir masa keemasannya. Padahal, sebelumnya Sriwijaya dan India Selatan berhubungan baik sejak abad ke-9 M. Prasasti Nalanda (860 M) menyebut Raja Sriwijaya, Balaputradewa, pernah mendirikan vihara di Nalanda. Hal itu ditiru penerusnya. Pada 1005 M, Raja Cudamaniwarman mendirikan kuil di Nagipattana (Nagapattinam, Pantai Koromandel). Pembangunan candi ini tak selesai kemudian dilanjutkan putranya, Marawijayatunggawarman. Saat itu, Kerajaan Cola sudah berdiri dan dipimpin oleh Rajaraja (985-1014). Namun, ketika Rajendracola I naik takhta pada 1012 menggantikan ayahnya, Rajaraja, sikapnya terhadap Sriwijaya berubah. Dia menyerang Sriwijaya pada 1025 M dan 1068/1069 M. Penyebabnya tak begitu jelas. Namun, menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog senior di Puslit Arkenas, alasannya mungkin karena faktor ekonomi. Kala itu, pedagang Tamil telah menguasai sekitar Teluk Benggala. Mereka menyebar hingga ke Myanmar, Thailand, hingga ujung utara barat laut Sumatra, yaitu Barus, Banda Aceh, dan Medan. Para pedagang itu kemudian membentuk persatuan pedagang bernama “Yang Ke Lima Ratus dari Seribu Arah” (Ayyavole-500). “Ini disebutkan dalam sebuah prasasti Tamil yang ditemukan di Lobu Tua, Barus. Prasasti ini memperkuat dugaan adanya komunitas Tamil di Sumatra,” kata Bambang ketika ditemui di kantornya. Prasasti itu menyebut para pedagang Tamil harus membayar pajak kepada raja Cola, bukan kepada Sriwijaya sebagai penguasa setempat. “Untuk apa? Melindungi kepentingan orang Tamil. Istilahnya kalau sekarang 'jatah preman'; si preman melindungi pedagang dari gusuran,” ujar Bambang. Sebagai balasannya, Bambang menduga, ketika pedagang Tamil merasa dirugikan Sriwijaya, mereka mengadu kepada Cola. Sudah menjadi tugas Cola untuk melindungi para pedagang itu. “Ini interpretasi saya. Mungkin pajak (ke Sriwijaya, red. ) terlalu berat, diseranglah Sriwijaya,” katanya.  Menurut Claude Guillot dkk. dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu , penguasa Cola pada masa itu menjalin hubungan erat dengan perkumpulan pedangang, khususnya dengan Ayyavole-500 yang ada di Lobu Tua. Menurutnya, ini terkait dengan misi politik kerajaan. Pemerintahan Rajendra adalah puncak ketika Kerajaan Cola ingin memperluas kekuasaannya. Cola berkeinginan menjalin hubungan dengan wilayah timur, seperti Tiongkok dan Kamboja. Meski sebenarnya orang India sudah ada di Barus sejak pertengahan abad ke-9 M. Dinasti Cola waktu itu belum menonjol dan hanya menguasai satu daerah kecil di delta Sungai Kaveri. “Dengan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti Cola memungkinkan para pedagang Tamil, yang merupakan anggota perkumpulan yang didukung pemerintah, berhasil menguasai jaringan perdagangan yang lama, seperti jaringan perdagangan kamper yang menuju Barus,” catat Guillot. Bambang tak setuju. Menurutnya, kerajaan-kerajaan yang pernah ada di India hanya berkuasa di Asia Selatan. Pengaruhnya saja yang sampai ke banyak wilayah, seperti gaya seni dan aliran filsafat. Sementara orang Tamil tak begitu membawa pengaruh di wilayah Sriwijaya, terutama dalam hal seni, misalnya arca. Pedagang Tamil yang datang ke wilayah Sriwijaya membawa arcanya dari India. Misalnya, arca bergaya Tamil yang ditemukan di Kota Cina, Medan. Batu yang dijadikan bahan membuat arca tak ditemukan di Sumatra atau Nusantara, tapi hanya ada di India. “Artinya apa? Itu barang dibuat di India oleh komunitas Tamil, dibawa ke Kota Cina untuk diletakkan di vihara yang dibangun oleh Komunitas Tamil untuk pemujaannya,” terang Bambang. Hasilnya, gaya seni Tamil tak berkembang di Indonesia. Tak ada seniman Nusantara yang mengadopsi gaya itu. “Serangannya bisa jadi karena Sriwijaya yang salah memberikan pajak terlalu tinggi. Tapi ini belum terbukti,” lanjut Bambang. Yang jelas, Bambang menambahkan, serangan itu bukan bermotif untuk menguasai wilayah Sriwijaya. Tak ada sumber tertulis soal itu, baik prasasti maupun naskah Nusantara dan India. Alih-alih menduduki, Cola hanya datang mengubrak-abrik Sriwijaya, menawan rajanya pada serangan kedua, dan kembali ke negaranya. “Cola itu hanya mengingatkan: nggak usah macam-macam,” jelas Bambang. Buktinya, kata Bambang, Sriwijaya dengan raja penggantinya, masih sempat membantu pembangunan kuil Tao di Kanton. Kuil ini kemudian dihancurkan tentara Khubilai Khan ketika Mongol menghajar Dinasti Song.   “Artinya, kekuasaan Sriwijaya masih eksis. Meski raja ditawan Cola, tapi tetap berlanjut, karena Tamil tidak menduduki, mereka cuma menyerang dan pergi lagi,” tambah Bambang.

  • Putih Jelita Era Belanda

    KEMOLEKAN wajah aktris Hollywood Jean Arthur menghiasi salah satu halaman majalah Pandji Poestaka tahun 1940. Jean tak sedang menjadi pemberitaan tapi menjadi model iklan salah satu produk sabun mandi. Kulit putih Jean merupakan daya tarik luar biasa. Hal itu yang dijadikan dagangan oleh produsen sebagaimana dimuat teks di iklan, produk tersebut bisa menghaluskan kulit. Untuk memperkuat brand , produsen mengklaim produknya dipakai sembilan dari 10 bintang film dunia. Tentu saja, sembilan bintang film itu dari ras Kaukasia. Di tahun 1900-an, hanya perempuan-perempuan Eropa yang bisa tampil di media massa sebagai model iklan. Berbagai media yang memampang iklan produk-produk kecantikan selalu menampilkan perempuan Eropa meski iklan-iklan itu menggunakan bahasa Melayu. Selain iklan yang dibintangi Jean tadi, ada iklan dari produk pesaing yang dimuat Bintang Hindia pada 1928. Teks iklan itu menyebut produknya bisa membuat wajah bercahaya dan bersih. Selain mempromosikan produknya, iklan itu mengkampanyekan bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang mirip model iklannya. “Jadi dari zaman Belanda sudah ada produk dan wacana kecantikan. Tiap zaman itu membawa gagasan yang berbeda dan produk yang berbeda,” kata Luh Ayu Saraswati, dosen Kajian Perempuan Universitas Hawaii. Gagasan tentang perempuan Kaukasia lebih cantik dibanding ras lain sejalan dengan watak rasis kolonialis Inggris dan Belanda. Keduanya mengaggap orang kulit putih lebih superior sehingga konsep kecantikan ideal pun diwakili perempuan Eropa. Hannah Aidinal Al Rashid menulis dalam disertasinya, “Putih Cantik: Persepsi Kecantikan dan Obsesi Orang Indonesia untuk Memiliki Kulit Putih”, superioritas itu berpengaruh besar pada persepsi kecantikan orang Indonesia. Pada masa kolonial, perempuan Kaukasia berkulit teranglah yang dianggap sebagai simbol kecantikan. Belanda juga berpendapat bahwa orang kulit putih adalah ras yang lebih berkuasa, dan orang pribumi dengan kulitnya lebih gelap statusnya lebih rendah. “Kolonialisasi juga masuk di ruang afek, masuk ke ranah emosi. Jadi kita selalu melihat perempuan dan laki-laki yang berkulit terang (putih) berarti mereka superior. Itu sebenarnya sesuatu yang dikampanyekan, bukan secara alamiah atau naluri orang kulit putih lebih pintar atau superior,” kata Luh Ayu. Semakin banyak perempuan Eropa yang datang ke negeri jajahan pasca-dibukanya Terusan Suez makin mendukung wacana kecantikan Kaukasia. Hal itu makin diperkuat dengan  pelaksanaan Politik Etis, yang memungkinkan kalangan terpandang, termasuk perempuan, mengenyam pendidikan. Beberapa perempuan yang sudah bisa baca-tulis itu mengoleksi majalah perempuan. Tanpa mereka sadari, majalah perempuan menjadi agen yang membentuk persepsi mereka akan kecantikan. Berbagai iklan produk kecantikan dengan pesan putih sebagai warna kulit dambaan terus mengisi memori mereka, yang kemudian ikut menyebarluaskan kepada lingkungan sekitar. Alhasil, cantik yang melekat di memori masyarakat adalah yang berkulit putih ala perempuan Eropa (ras). Itu berbeda dari konsep cantik masa prakolonial, di mana putih berarti kulit terang, tidak melekat pada ras Kaukasia. “Sebenarnya pemutih itu mulanya buat orang-orang Kaukasia di masa kolonial. Kalau di Amerika, pemutih kulit itu dulu dilarang banget buat budak. Mereka nggak mau para budak memutihkan kulit mereka,” kata Luh Ayu. Di masa tersebut, terang Ayu, sudah ada persaingan wacana kecantikan perempuan. Namun, perempuan Kaukasialah yang dijadikan simbol cantik idaman karena mereka sedang memantapkan dominasi di bidang politik, ekonomi, dan budaya. “Ketika zaman Belanda, masuk gagasan kecantikan bahwa perempuan Kaukasia yang kulitnya putih, dia yang lebih cantik,” kata Luh Ayu.*

  • Solusi Perkara Pengeras Suara di Masjid

    WAKTU salat subuh belum tiba. Masih satu jam lagi. Tapi seorang pengurus Masjid Anyer, Jakarta, telah berada di masjid. Dia memutar kaset bersuara orang baca Alquran dan menghubungkannya dengan pengeras suara masjid. Suara kasetnya lantang dan menjangkau wilayah jauh. Lalu orang-orang di sekitar masjid bangun. Seseorang menggerutu lantaran terganggu pengeras suara. Jauh sebelum waktu salat subuh. Gerutuannya merembet dari satu orang ke orang lainnya. Hingga sampai ke Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta. Ali menyuruh stafnya datang ke Masjid Anyer dan menegur pengurus masjid. “Agar mereka mengikuti petunjuk Musyawarah Alim Ulama DKI pada 22-23 September 1973,” kata KH Djamil Latif, kepala wantor wilayah Departemen Agama DKI Jakarta, dikutip Kompas , 4 September 1976. Sejak ramai penggunaan pengeras suara di masjid pada 1970-an, alim ulama telah lumayan tanggap. Mereka menyaring beragam pendapat masyarakat dari dua sisi, yang pro dan kontra. Juga mencari dalil-dalil agama untuk mengeluarkan rekomendasi seputar penggunaan pengeras suara di masjid kepada warga. Musyawarah Alim Ulama DKI 22-23 September 1973 tak menolak penggunaan pengeras suara ketika azan dan untuk informasi penting bersifat darurat ke seluruh masyarakat. Tapi lain soal jika penggunaan pengeras suara melebihi batas. Misalnya untuk pidato, doa, dan zikir dari kaset pada dinihari sebelum subuh. Mereka nilai itu berlebihan. Musyawarah Alim Ulama DKI mendasarkan pendapatnya pada empat hal. Pertama , doa, zikir, dan ibadah perlu tempat sunyi dan hening. Kedua , cerita Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi dan hidup pada abad ke-8 Masehi, melembutkan bacaan salat ketika Imam Syafi’i menginap tidur di rumahnya. Ketiga , kitab Sunan wal Mubtada’at  karya Syekh Muhammad bin Abdul Khadir al-Syaqairi. Di dalamnya termaktub peristiwa Nabi Muhammad menegur Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupunya, ketika membaca doa keras-keras. Keempat , Surat al-Israa ayat 110. Terjemahannya berbunyi, “Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu." Empat dasar ini berujung kepada rekomendasi penggunaan pengeras suara di masjid. Bahwa warga hendaknya arif. Tahu saat dan tempat ketika menggunakan pengeras suara. Misalnya, jangan gunakan pengeras suara jauh sebelum subuh. Kalau warga ingin menggunakan pengeras suara sebelum subuh, Musyawarah Alim Ulama DKI usul lima belas menit sebelum subuh pada hari biasa dan tiga puluh menit sebelumnya pada bulan puasa. Dan sebaiknya orang benar-benar yang membaca. Fasih lagi merdu, sehingga menyentuh hati warga untuk pergi ke masjid atau musala. Tapi rekomendasi ini tak mengena ke warga. Tak ada konsekuensi apapun bagi warga jika mengabaikan atau menjalankannya. Maka penggunaan pengeras suara tak terkendali. Lebih lagi pertumbuhan masjid di Jakarta terus meningkat. Sidi Gazalba dalam Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam mencatat hanya ada 275 masjid di Jakarta pada 1957, kemudian meningkat jadi 904 masjid pada 1974. Ini belum termasuk surau atau musala. Satu sama lain saling berdekatan. Rapat dengan permukiman. Dan masing-masing mulai memasang pengeras suara. Kafrawi M.A, ketua Dirjen Bimas Islam, menyambut baik penggunaan pengeras suara untuk sarana dakwah Islam. “Boleh lantang saat azan untuk masjid-masjid di kota, tapi setelah itu cukup didengar jamaah dalam masjid,” kata Kafrawi dalam Kompas , 30 Mei 1978. Kafrawi membedakan penggunaan pengeras suara di kota dan desa. Kota sudah terlalu sumuk oleh kebisingan. Warga kota mendambakan kesuwungan. Di desa justru sebaliknya. Desa itu sepi. Maka pengeras suara bikin kehidupan agama desa lebih hidup. Kafrawi bersama lembaganya kemudian menggelar lokakarya ketentuan penggunaan pengeras suara. Hasil lokakarya ini merupakan embrio Instruksi Dirjen Bimas Islam Depag bernomor KEP/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di tempat ibadah. Isi Instruksi Dirjen Bimas Islam Depag hampir mirip dengan rekomendasi Musyawarah Alim Ulama DKI 1973, yaitu menekankan penggunaan pengeras suara hanya untuk azan. Kegiatan lain harus menggunakan salon di dalam masjid. Suaranya tidak perlu keluar. Tujuannya untuk menutup potensi antipati masyarakat terhadap dakwah. Kafrawi berpesan jika masyarakat mematuhi anjuran ulama, buahnya adalah simpati. Pesan Islam pun sampai di hati. Dan Masjid bisa terisi penuh oleh jamaah.

  • Pemimpin Ideal ala Jawa

    Kadipaten Pakualaman mempunyai beberapa model kepemimpinan yang menjadi acuan para adipatinya. Itu terkandung dalam naskah koleksi Perpustakaan Pakualaman yang merangkum masa pemerintahan Paku Alam I hingga Paku Alam IX. Dari beberapa model kepemimpinan, ajaran asthabrata mendapat perhatian khusus dari para pujangganya. Ada 12 teks yang diciptakan untuk menjelaskan konsep asthabarata, yaitu Baratayuda, Pawukon saha Serat Piwulang, Sestra Ageng Adidarma, Kempalan Serat Piwulang, Sestradisuhul, Piwulang Warna-warni, Slawatan Langen, Pradapa, Dasanama saha Pepali, Kyai Adidamastra, Asthabrata Panca Candra saha Dongeng Kancil, Slawatan Melayu, Asthabrata Panca Candra saha Narpa Candra. Ajaran asthabrata terinspirasi dari Kakawin Ramayana. Meski ide cerita datang dari India, penulisannya di Jawa sudah ada paling tidak sejak masa Kerajaan Kadiri. Isinya mengenai teladan kepemimpinan yang disampaikan Rama kepada adiknya, Barata. Model kepemimpinan dalam ajaran itu didasarkan pada sifat delapan dewa penjaga mata angin ( Lokapala ). “Mereka adalah Batara Indra yang bijak bestari, Yama yang adil dan cerdas menegakkan hukum, Surya yang cermat dalam keuangan, Candra yang memesona dan berkepribadian memikat, Bayu yang tak mudah terhasut, Kuwera yang demawan, Baruna yang bersahaja, dan Brama yang pintar bersiasat,” kata BRAy. Atika Purnomowati Suryodilogo, peramaisuri Paku Alam X, dalam diskusi buku Ajaran Kepemimpinan Asthabrata Kadipaten Pakualaman, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (12/4). Meski terinspirasi dari karya yang sudah ada, versi Pakualaman berbeda. Istri Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu mengatakan, asthabrata Pakualaman menempatkan Batara Wisnu sebagai pertapa untuk menggantikan Batara Kuwera. Wisnu sengaja dihadirkan untuk memberikan keseimbangan karakter keduniawian sang raja. “Raja harus punya keunggulan sifat dunia dan rohani,” lanjutnya. Karena perpaduan itu, membuat idealisasi seorang pemimpin versi Pakualaman lebih rumit. Alasan ini pula yang membuat para adipati di Pakualaman memprakarsai penciptaan teks dengan gambar artistik para dewa yang sudah dikenal luas. Lukisan artistik ini dinilai akan lebih menguatkan pesan. Dampaknya, pembaca akan menerima pesan itu secara reaktif.  “Tampaknya ini berkaitan dengan etos sestradi. Artinya, rasa yang tinggi merupakan sarana yang nyata menggapai makna kehidupan sempurna,” kata Atika. Di Pakualaman, ajaran asthabrata dalam bentuk teks, telah disalin terus-menerus dari aksara Jawa ke aksara Jawa sejak masa Paku Alam II sampai Paku Alam V. Sementara itu, menurut Sri Ratna Saktimulya, pada periode Paku Alam VI hingga Paku Alam VIII, tak diketahui apakah teks itu ada atau tidak. “Kami belum menemukan. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kami,” kata kepala jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada itu. Selanjutnya, pada periode Paku Alam IX, teks mulai dialihaksarakan dari huruf Jawa ke huruf latin. Karya itu pun diterjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Pada masa ini pula, K.B.P.H Prabu Suryodilogo, Paku Alam X yang ketika itu masih menjadi putra mahkota, bersama timnya memaknai teks dan menerbitkannya dalam sebuah buku. “Sejak dulu putra mahkota diwajibkan tahu tentang asthabrata,” jelas Sri Ratna. Kendati begitu, seorang pemimpin tak mudah menerapkan delapan watak dewata itu. Menurut Sudibyo, dosen Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, delapan watak itu bisa saja diterapkan secara situasional. “Separuh saja terwujud sangat bagus. Mungkin seperti Sukarno. Dia menarik, karismatik, karena pesonanya dikagumi banyak orang,” kata Sudibyo. Lebih lanjut, Sudibyo menekankan, ajaran ini lebih untuk mengatur pribadi sang raja. Karenanya di tengah budaya Islam tak ada penolakan meski asthabrata memakai dewa-dewa Hindu sebagai teladan. “Selama ini dalam empat kerajaan Jawa tidak pernah terdengar penolakan. Karena ini hanya untuk mengatur moralitas sang raja. Rakyat hanya akan merasakan imbasnya,” ujar Sudibyo. Di masa sekarang, ajaran ini sepatutnya diterima ketika rakyat tengah menyambut Pilkada dan Pilpres. “Indonesia bakal menggelar 171 Pilkada langsung tahun ini. Tahun berikutnya, berlanjut kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden. Konteksnya tepat untuk mengkaji kembali hasil pemikiran para pujangga Jawa ini,” pungkas Sudibyo.

  • Pemburu Gambar di Era Perang

    SUKANAGARA, awal Februari 1948. Masyitoh masih ingat kehadiran seorang tukang foto Republik di tengah-tengah pasukannya. Kala itu Divisi Siliwangi tengah bersiap untuk berangkat hijrah ke Jawa Tengah, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville. “Orangnya enggak begitu besar, wajahnya mirip orang Tionghoa. Dia kemana-kemana bawa kamera dan kerap mengambil gambar kami…” kenang perempuan tua yang dulu pernah menjadi bagian dari Brigade Soerjakantjana itu. Masyitoh tidak paham siapa nama sang fotografer tersebut. Namun jika mengikuti ciri-ciri yang dikemukakan dan berdasarkan data-data sejarah yang ada, bisa jadi dia adalah Alex Mendoer. Itu nama jurnalis foto legendaris dari IPPHOS (Indonesia Pers Photo Service), biro foto pertama yang dikelola oleh orang-orang Indonesia. Namun dalam Alexius Impurung Mendoer karya Wiwi Kuswiah dikisahkan jauh sebelum mendirikan IPPHOS (bersama Frans Mendoer, Alex Mamusung, J.K.Oembas dan F.F.Oembas) pada 2 Oktober 1946, sejatinya lelaki kelahiran Kawangkoan pada 7 November 1907 itu sudah malang melintang di berbagai palagan. “Ia kerap berkeliling ke berbagai pelosok Jawa guna memburu foto-foto impresif sekitar Perang Kemerdekaan,” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein. Salah satu kunjungan yang pernah direkam dalam suatu artikel panjang di koran Merdeka adalah saat Alex bersama jurnalis Rosihan Anwar menyambangi garis depan di sekitar wilayah Kali Cakung, Bekasi. Bersama Komandan Resimen 5 Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Moefreni Moe’min, mereka memeriksa kesiapan pasukan TRI  (Tentara Repoeblik Indonesia) secara langsung. “Sementara itu sebuah pesawat pengintai Belanda melayang-layang di atas kami, tapi kami tak peduli,”ujar Rosihan dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 7: Kisah-Kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan. Alex termasuk jurnalis foto yang sangat sergap dalam memburu peristiwa. Sebagai contoh, pada awal 1946 ia mendengar telah terjadinya kles antara pasukan Sekutu/Belanda dengan kekuatan pejuang Indonesia di daerah Maseng (masuk dalam wilayah Bogor selatan). Tanpa banyak berpikir, Alex lantas berangkat ke sana, dengan menggunakan kereta api dari Stasiun Manggarai, Jakarta. Sayangnya sesampai di sana, pertempuran usai. Alih-alih mendapatkan gambar pertempuran, para prajurit Indonesia justru mencurigai Alex sebagai mata-mata musuh yang tertinggal. Sang jurnalis terntunya menyangkal, namun tak ada satu pun yang mempercayainya. Dalam situasi kritis dan para pejuang sudah mengepungnya, tiba-tiba terdengar teriakan akrab dari seseorang: “Alex! Alex!” Rupanya suara tersebut milik Mayor Alex Kawilarang, salah satu pimpinan pejuang Republik di Bogor dan Sukabumi yang sudah lama dikenal Alex Mendoer. Sang komandan lantas menghampirinya dan berbincang-bincang akrab. Melihat situasi tersebut, para pengepung (yang tak lain adalah anak buah Alex Kawilarang) satu persatu bubar. Alex pun selamat dari kekonyolan revolusi. Akhir Januari 1948 terjadi gencatan senjata akibat kesepakatan Perjanian Renville. Alex termasuk jurnalis foto yang mengabadikan proses-proses itu berlangsung di wilayah Cianjur dan Sukabumi. Ketika didapatinya kabar akan adanya pertemuan antara Kolonel Thompson (Komandan Resimen I Divisi 7 Desember) dengan Alex Kawilarang (yang sudah naik pangkatnya menjadi letnan kolonel) di Cianjur, ia bergegas ke sana dengan mengikuti rombongan peninjau militer dari Prancis pimpinan Kapten Dhoste. Di dalam mobil yang berjalan menuju Cianjur itulah, Kapten Dhoste memuji-muji Alex Kawilarang sebagai tentara tulen. Pujian itu terus berlangsung sehingga menyebabkan seorang letnan Belanda yang duduk di sebelah sopir kegerahan. “Iya Kapten, tapi sayang Alex Kawilarang sudah tewas oleh tentara kami di Bogor,”ujar sang letnan. “Oh ya? Sayang sekali…” ujar Kapten Dhoste. Begitu tiba di Cianjur, Alex Mendoer melihat Letnan Kolonel Alex Kawilarang sudah berdiri di depan gedung pertemuan. Dengan wajah sumringah, Alex Mendoer pun berkata kepada si letnan Belanda: “Tuan, orang yang anda bilang sudah tewas itu sekarang ada di depan kita…” ujarnya sambal tersenyum. Perwira  Belanda itu langsung terdiam. Wajahnya pucat. Nampak sekali ia merasa malu.

  • Konflik Valentino Rossi, Dulu dan Kini

    Valentino Rossi marah bukan main terhadap Marc Marquez. Pembalap gaek pengoleksi gelar juara dunia tujuh kali itu merasa dirugikan oleh manuver Marquez di balapan MotoGP Argentina, Senin (9//4/18) dini hari WIB. Manuver itu terjadi di lap ke-20. Kala berusaha meng- overtake dari sisi dalam, ban depan Marquez menyenggol motor Rossi. Sontak Rossi terjungkal. Marquez mengaku bersalah. Usai balapan, dia ditemani tim Repsol Honda langsung mendatangi paddock Rossi untuk meminta maaf. Pembalap Spanyol itu menyatakan bahwa ban depannya tak sengaja menabrak motor Rossi karena sedikit tergelincir akibat genangan air di trek. Namun, tim Movistar Yamaha menolak memberi maaf. Rossi sendiri masih gondok. “Dia menghancurkan olahraga ini. Dia sengaja menabrak kaki saya. Saya sempat tertawa karena itu keterlaluan. Jika dia tak menghormati saya, buat apa saya menghormatinya! Manuvernya bukan agresif, melainkan manuver yang jorok,” ketus Rossi, disitat MotoGP.com , Senin (9/4/2018). Ini menjadi babak baru titik didih rivalitas dua racer top tersebut. Keduanya musuh bebuyutan sejak 2015. Sebelum dengan Marquez, Rossi punya pengalaman berseteru sengit dengan pembalap Italia lain, Max Biaggi. Valentino Rossi meradang setelah disenggol Marc Marquez di MotoGP Argentina 2018. (motogp.com) Perkara Suzuka Perseteruan Rossi-Biaggi acap terjadi di luar arena. Titik terendah hubungan keduanya berlangsung pada April 2001 di Sirkuit Suzuka saat MotoGP Jepang. Perseteruan bermula dari insiden “jurus sikut” Biaggi terhadap Rossi yang berusaha menyalip dari sisi luar. Rossi selamat. Satu lap berikutnya, Rossi sukses menyalip Biaggi dan sebagai balasan, Rossi mengacungkan jari tengah ke arah Biaggi yang sudah dilewatinya. Selepas balapan, Rossi protes. Namun Biaggi cuek. Keduanya lalu saling sindir, nyinyir, sampai saling hina. FIM (otoritas MotoGP) terusik ulah keduanya. Rick Broadbent dalam Ring of Fire mengungkapkan, Presiden FIM Francesco Zerbi sampai mengirim surat peringatan untuk Rossi dan Biaggi. Bila peringatan itu tak dipatuhi, FIM mengancam akan memberi sanksi berat kepada keduanya. Max Biaggi (kanan) muncul di konferensi pers dengan memar di pipi kirinya. “Intervensi saya adalah teguran kepada Anda berdua, juga berupa ajakan agar bisa lebih mengendalikan aksi dan reaksi Anda, tanpa mengurangi insting bertarung dan gairah terhadap kemenangan (di sirkuit),” begitu bunyi sepotong petikan surat Zerbi yang dikutip Broadbent. Tapi peringatan keras itu tak mampu meredakan konflik Rossi-Biaggi. Di MotoGP Katalunya, medio Juni 2001, Rossi dan Biaggi terlibat perang verbal sampai terjadi saling dorong. Anehnya, saat Biaggi muncul di sesi konferensi pers, luka memar nampak di wajahnya. Menurut Biaggi, memar itu disebabkan oleh sengatan serangga. Namun, pengakuan seorang steward (anggota panitia balapan) yang tak disebutkan namanya menepis pengakuan Biaggi. Steward itu mengaku melihat perseteruan Rossi dan Biaggi. "Kejadiannya lebih dari sekadar adu mulut. Rossi mendaratkan pukulan telak ke wajah Biaggi saat emosi mereka memuncak, sampai-sampai mereka harus dipisahkan secara paksa," aku steward tersebut, dilansir The Telegraph 18 Juni 2001.

bottom of page