Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Alam Semesta Menjemput Stephen Hawking
ENTAH dari mana masyarakat dunia bisa lebih mendalami ilmu alam semesta modern jika Stephen Hawking tak lahir atas kehendak Yang Kuasa. Namun pada Rabu (14/3/2018) dini hari waktu setempat, ilmuwan cemerlang berkursi roda itu dijemput “alam semesta” di usia 76 tahun di kediamannya, Cambridge, Inggris. Hawking meninggal akibat komplikasi syaraf tubuh. “Mendiang adalah ilmuwan besar dan pria yang luar biasa, di mana hasil pekerjaan dan warisannya akan bertahan bertahun-tahun mendatang. Keberanian, kegigihan, kecerdasan dan humornya menginspirasi orang-orang di seluruh dunia. Kami akan selalu merindukannya,” ucap ketiga anak Hawking, Lucy, Robert dan Tim, disitat BBC , Rabu (14/3/2018). Stephen William Hawking lahir di Oxford, Inggris dari pasutri Frank Hawking dan Isobel Walker pada 8 Januari 1942. Ada keterkaitan angka antara momen lahir dan kematian Hawking dengan dua ilmuwan terdahulu, Galileo Galilei dan Albert Einstein. Hawking lahir 8 Januari 1942, bertepatan dengan 300 tahun kematian Galileo. Sementara 14 Maret adalah hari lahir Einstein. “Kematian Stephen (Hawking) terjadi pada hari ulang tahun ke-139 Albert Einstein,” cuit astronom Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics Jonathan McDowell di akun Twitter -nya @planet4589 , Rabu (14/3/2018). Keenceran otak Hawking sudah terlihat di usia sekolah dasar. Kitty Ferguson dalam Stephen Hawking: His Life and Work menyebutkan, di sekolahnya Hawking sudah dijuluki “Einstein Kecil”. Nahas, pada 1963 sebuah musibah menerpanya. Tak lama setelah merayakan ulang tahun ke-21, Hawking dinyatakan mengidap penyakit syaraf motorik atau Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Tim dokter memvonis Hawking hanya bisa bertahan hidup dua tahun. “Semua harapan saya langsung jatuh ke titik nol saat saya berusia 21 tahun. Sejak itu, semuanya merupakan bonus,” ujar Hawking menjawab pertanyaan The New York Times Magazine . Hawking pun memuaskan hasrat sainsnya sekadar untuk mengisi hari-hari yang ujungnya sudah terperi. Namun, prediksi tim dokter ternyata meleset. Hawking bertahan sampai usia 76 tahun. Dalam rentang waktu nan panjang itu, Hawking menghasilkan banyak temuan. Alhasil, musibah yang menimpanya justru menjadikannya dikenal seperti sekarang: ilmuwan besar berkursi roda dan bersuara dengan bantuan sistem komputer sejak usia muda. Ilmu Alam Semesta Modern dan Warisannya Penyakit tak menghambat antusiasme Hawking pada ilmu alam. Dia tetap bisa menyelesaikan pendidikan di University College di Oxford, kemudian di Trinity Hall, Cambridge. Berkat sejumlah riset dan karyanya, Hawking bahkan menjadi ilmuwan paling dikenal sejak era Einstein. Tidak hanya di bidang fisika, Hawking juga dikenal sebagai kosmolog, astronom, dan pakar matematika ternama. “Karyanya, A Brief History of Time , terjual lebih dari 10 juta copy,” tulis CNN , Rabu (14/3/2018). Bersama fisikawan Roger Penrose, pada 1970 Hawking memadukan Teori Relativitas (karya Einstein) dengan Teori Mekanis Kuantum. Inti karyanya itu bermuara pada gagasan bahwa alam semesta tercipta dari sebuah dentuman besar ( Big Bang Theory) dan akan berakhir akibat Lubang Hitam. Hawking amat vokal –walau mesti dengan alat bantu– terhadap sejumlah isu dunia, terutama menyangkut perdebatan ilmu pengetahuan vs filosofi, agama, politik, dan masa depan umat manusia. Hawking berulangkali memaparkan bahwa manusia sulit untuk bertahan hidup di bumi dalam jangka waktu 100 tahun ke depan, mengingat ancaman perang nuklir hingga invasi alien. “Jika alien mengunjungi kita, hasilnya takkan jauh dari saat (Christopher) Colombus mendarat di Amerika, di mana pribumi Amerika nasibnya tak begitu baik,” cetusnya kepada BBC , 25 April 2010. Dari sederetan karyanya, Hawking menuai segudang gelar dan anugerah penghormatan. Selain gelar CBE pada 1982 dari Kerajaan Inggris atas kontribusinya dalam ilmu pengetahuan, Hawking juga menerima Presidential Medal of Freedom, penghargaan tertinggi untuk sipil di Amerika Serikat, dari Presiden Barack Obama pada 2009. Maka, meninggalnya Hawking menjadi sebuah kehilangan besar bagi dunia. “Sebuah bintang telah pergi ke alam semesta. Kita telah kehilangan seorang manusia yang luar biasa. Hawking menaklukkan alam semesta dengan berani selama 76 tahun dan mengajari kita bahwa kita patut berbangga sebagai umat manusia,” cetus fisikawan dan kosmolog Lawrence M. Krauss di Twitter -nya, @LKrauss1 , Rabu (14/3/2018).
- Perang Dua Pangeran Banten
MAULANA Yusuf, sultan Banten kedua, wafat pada 1580, meninggalkan putra mahkota, Pangeran Muhammad yang baru berusia sembilan tahun. Pangeran Jepara juga mengincar takhta yang ditinggalkan kakaknya itu. Pangeran Jepara merupakan sebutan untuk Pangeran Arya, putra bungsu Maulana Hasanuddin, sultan Banten pertama. Ketika kecil, dia diangkat anak oleh bibinya dari pihak ibu, yaitu Ratu Kalinyamat, yang tak memiliki anak. Setelah meninggal, dia menggantikannya sebagai penguasa Jepara sehingga disebut Pangeran Jepara. Kendati demikian, dia tetap menginginkan takhta Kesultanan Banten. Untuk itu, dia datang ke Banten bersama pasukan bersenjata termasuk di antaranya Kiai Demang Laksamana yang memimpin pertempuran melawan Portugis di Malaka pada 1574. Penggantian Maulana Yusuf, menurut sejarawan Claude Guillot, juga mengakibatkan terbaginya kelompok terkemuka dalam masyarakat menjadi kaum bangsawan dan kaum pedagang. Kaum bangsawan mendukung Pangeran Jepara yang telah dewasa dan berharap mampu mengembalikan hak istimewa para bangsawan dan membatasi pengaruh kaum pedagang dalam pemerintahan Banten. Sedangkan kaum pedagang mendukung Pangeran Muhammad agar dapat mempertahankan kendali politik atas pemerintahan Banten. Javanolog H.J. De Graaf mencatat bahwa dalam usaha merampas takhta dari kemenakannya, Pangeran Jepara mendapat bantuan rahasia dari patih Kesultanan Banten –tak disebut namanya. Usaha itu hampir berhasil. Namun, patih pengkhianat itu, setelah menerima isyarat tertulis dari salah seorang wali raja, merasa menyesal akan perbuatannya, dan selanjutnya justru mengkhianati Pangeran Jepara. Setelah itu, pecahlah pertempuran yang hebat. “Kiai Demang Laksamana tewas . Karena kehilangan abdinya yang terpenting, Pangeran Jepara memutuskan kembali ke Jepara,” tulis De Graaf dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Di pihak kaum pedagang, tokoh utamanya adalah Kiai Wijamanggala. Pedagang asal Mailapore, Tamil ini, bertahan sebagai syahbandar selama lebih dari 20 tahun dan memegang peran besar dalam berbagai peristiwa politik di Kesultanan Banten. “Kiai Wijamanggala bersama empat tokoh penting dari kalangan pedagang berhasil mengusir Pangeran Jepara, dan membentuk dewan kewalirajaan. Tujuan mereka yang bersekutu dengan para pejabat tinggi pemerintahan ( ponggawa ) untuk menguasai kewalirajaan yang tak lain adalah pimpinan negara sampai Muhammad mencapai dewasa,” tulis Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Tak lama setelah naik takhta, Pangeran Muhammad meninggal dunia dalam penyerangan ke Palembang pada 1596. Dia meninggalkan putranya, Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir, yang berusia beberapa bulan sebagai pewaris takhta. Kewalirajaan yang kedua ini ditandai dengan banyak pertikaian antara kaum pedagang dan ponggawa melawan kaum bangsawan yang berusaha merebut kembali pengaruh atas Kesultanan Banten. Puncaknya pada 1609 terjadi perang saudara selama beberapa bulan. Kaum pedagang di bawah tiga orang Tamil berkubu di sekitar pelabuhan. Kaum bangsawan menang mudah karena terbiasa menggunakan senjata dan memiliki banyak pendukung. Syahbandar Wijamanggala terbunuh dan sekitar 7000 orang, terutama para pedagang, meninggalkan Banten menuju Batavia. Akhirnya, kaum bangsawan di bawah Pangeran Ranamanggala mengambilalih pimpinan kewalirajaan. Namun, dia ditentang pedagang Belanda dan Inggris karena memutuskan untuk menghentikan seluruh perdagangan internasional dan melarang penanaman lada. “Kejadian ini berdampak besar,” tulis Guillot. “Kekalahan para pedagang mengakhiri setengah abad kebijakan perdagangan bebas yang berhasil dilaksanakan oleh Banten.”
- Kematian Stalin dalam Banyolan
KUNTSEVO, Uni Soviet, suatu malam di awal Maret 1953. Di ruang kerjanya di dacha (rumah peristirahatan), Joseph Stalin (Adrian McLoughlin) terbahak-bahak begitu membaca sebuah pesan yang terselip di sesela kiriman rekaman piringan hitam. Pesan itu pesan sarkasme dari pianis cantik Maria Yudina (Olga Kurylenko). Saking tergelitiknya membaca pesan itu, Stalin sampai tak bisa menguasai dirinya. Sekejap kemudian, dia ambruk ke lantai. Adegan itu membuka The Death of Stalin besutan Armando Iannucci. Meski mengisahkan detik-detik terakhir Stalin dan beragam intrik yang mengitarinya, Ianucci tak mengisahkannya dengan penuh adegan ketegangan tapi justru mengemasnya sebagai sebuah slapstick . Adegan berganti. Lavrenty Beria (Simon Russel Beale), kepala Polisi Rahasia Uni Soviet NKVD, mengunjungi Stalin yang tersungkur dengan air kencing membasahi karpet akibat pendarahan otak. Beria langsung memanfaatkan momen sepi itu dengan mengutil sejumlah dokumen penting yang ada di ruang Stalin. Beria “menang”. Aksinya selesai sebelum para kamerad Stalin seperti Georgy Malenkov (Jeffrey Tambor), deputi Sekjen Central Committee (CC) Partai Komunis Uni Soviet; Nikita Khrushchev (Steve Buscemi), ketua PK Moskow; dan Nikolai Bulganin (Paul Chahidi), menteri pertahanan, tiba. Stalin, yang sempat siuman pada 5 Maret 1953, kembali tumbang. Tim dokter menyatakan dia meninggal. Kematiannya membuat konflik dan intrik yang mengitari kekuasaannya, terutama antara Beria dan Khrushchev, mengemuka. Adegan-adegan konflik keduanya langsung mendominasi film. Baik Beria maupun Khrushchev sama-sama berupaya menarik kamerad-kamerad lain untuk berkubu di belakangnya. Beria, yang mengklaim punya semua dokumen yang bisa merugikan citra para politisi, berada di atas angin. Dia memerintahkan NKVD mengawasi markas-markas tentara di Moscow dan sekitarnya. Namun, keputusan Beria mengizinkan para uskup Kristen Ortodoks memberi penghormatan pada jenazah Stalian sebelum dikuburkan pada 9 Maret 1953 menjadi titik balik bagi langkah politiknya. Khrushchev memanfaatkan betul momen itu setelah sebelumnya berhasil menggaet panglima tentara Marsekal Georgy Zhukov (Jason Isaacs) ke dalam kubunya. Zhukov kecewa terhadap Beria lantaran serdadunya dilarang secara sepihak oleh NKVD memasuki Moscow. Bersama Zhukov, Khrushchev merancang kudeta. Dalam sebuah rapat CC partai yang dipimpin Malenkov (Michael Palin) dan Beria, Zhukov dan serdadunya berhasil menangkap Beria. Moscow direbut Tentara Merah. Khrushchev-Zhukov menang. Kemenangan itu langsung diikuti aksi eksekusi Tentara Merah terhadap para loyalis Beria. Beria sendiri menjalani sidang darurat di sebuah gudang. Khrushchev membacakan sejumlah tuduhan terhadapnya, termasuk pemerkosaan Beria terhadap sejumlah gadis, bahkan anak di bawah umur. Dan, sutradara menutup film dengan ending klimaks yang tak terlalu baik. Adegan-adegannya mudah ditebak. Semuanya bermuara pada kemudahan Khruschchev, yang anti-Stalin, dan kubunya; di sisi lain, kubu lawan politik, termasuk keturunan Stalin, memasuki masa kegelapan. Kontroversi, Akurasi, dan Militansi Meski baru tayang di Amerika Serikat pada 9 Maret 2018 lalu, premier drama-satir ini berlangsung pada 8 September 2017 di Inggris. Film berdurasi 107 menit ini menimbulkan kontroversi di kalangan pemerintah Rusia sehingga tak mendapat izin tayang. “Saya tak pernah melihat film yang lebih menjijikkan dari ini. Filmnya mengandung elemen-elemen ekstrimis,” ujar Yelena Drapeko, anggota Komite Kebudayaan Parlemen Rusia, sebagaimana dilansir RBK , 24 Januari 2018. Kemarahan pemerintah Rusia bersumber dari sejumlah adegan komedi-fiktif yang sengaja dihadirkan Iannucci. Adegan ketika Malenkov menyiapkan fotonya yang berpose meniru Stalin –berfoto dengan seorang gadis cilik, misalnya, amat mengolok bagi pemerintah Rusia. Sebagai film sejarah pun, Iannucci acap terpeleset dalam hal fakta. Sebagai contoh, adegan penyidangan Beria, digambarkan dilakukan secara darurat di sebuah gudang. Faktanya, Beria menjalani persidangan secara formal beberapakali, terakhir di Mahkamah Agung Luar Biasa, 23 Desember 1953. Dakwaan yang dituduhkan kepada Beria pun bukan sebagaimana disajikan dalam film, pemerkosaan dan pedofilia. Beria faktanya didakwa dengan pasal pengkhianatan, terorisme, dan kontra-revolusioner –tak ada sama sekali catatan dakwaan pemerkosaan atau pedofilia. Toh, film sejarah bukanlah buku sejarah yang melulu berisi fakta dan analisa. Terlepas dari biasanya plot dan alur plus pandangan miring “kacamata” Rusia, Iannucci berhasil menghadirkan sebuah drama apik dari sebuah masa di mana intrik amat kuat di berbagai tempat. Hebatnya, Iannucci berani mendobrak. Dengan kemasan slapstick -nya, dia berhasil menampilkan fakta mengerikan yang lama “gelap” dari sebuah periode historis sekaligus mengolok-olok pihak yang di masanya amat ditakuti banyak orang. Kritikus film Masha Gessen sampai memuji film ini di artikelnya yang dimuat The New Yorker , 6 Maret 2018. “Dalam 15 menit pertama, mungkin Ianucci menggambarkan suasana kehidupan yang paling akurat di bawah rezim teror Soviet,” ujar Gessen.
- Makna Daerah-daerah dalam Sumpah Palapa
GAJAH Mada menyebut beberapa daerah dalam Sumpah Palapa karena memiliki makna tersendiri bagi Majapahit. Daerah-daerah itu antara lain Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), Tumasik (Singapura). Sebenarnya, daerah-daerah itu pernah menjadi negara rekanan Kerajaan Singhasari pada masa Kertanagara. Namun, hubungan dengan negara-negara itu longgar setelah Singhasari runtuh akibat kematian Kertanagara. Ditambah lagi rentetan pemberontakan dalam negeri pada masa Kertarajasa (Raden Wijaya) dan putranya, Jayanagara. Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, berpendapat dorongan timbulnya gagasan Nusantara terutama muncul karena adanya stabilitas kehidupan kenegaraan di dalam negeri. Apalagi jika di negara itu terdapat orang yang punya pandangan politik luas. Rentetan pemberontakan yang terjadi sebelum era Gajah Mada tentunya tidak mendukung gagasan Nusantara. “Gagasan Nusantara yang telah bangkit sejak pemerintahan Raja Kertanagara malah padam. Hal yang demikian itu dapat dipahami sepenuhnya,” tulis Slamet. Pada masa Kertanagara dikenal doktrin politik cakrawala mandala dwipantara . Waktu itu, Kertanagara berhasil menjalin hubungan dengan Malayu lewat ekspedisi Pamalayu. Kemudian dengan Pahang di Malaysia, Gurun (pulau di wilayah timur Nusantara), Bakulapura atau Tanjungpura di barat daya Kalimantan. Selanjutnya dengan Sunda dan Madura. Itu praktis membuat seluruh Pulau Jawa mendapat pengaruh dari Singhasari. Kertanegara pun mengadakan hubungan dengan Champa. Para penguasa Champa menerima ajakan raja Jawa itu untuk membendung serangan Tartar (Mongol). Adapun gagasan Gajah Mada yang terinsipirasi Kertanagara disebut-sebut lebih luas lagi. Menurut Slamet program politik Gajah Mada dilakukan selama 21 tahun dari 1258 saka (1336) hingga 1279 saka (1357), saat Gajah Mada mengangkat sumpah hingga amukti palapa, atau sewaktu dia berhenti dari pekerjaannya. Dari Nagarakrtagama diketahui kalau pelaksanaan program politik Nusantara dimulai kembali dengan serangan terhadap Bali pada 1265 saka (1343). Setelah Bali, kemudian Gurun (Lombok). Adapun Catatan Sejarah Dinasti Ming mencatat pada 1377 tentara Jawa menyerbu Suwarnabhumi (Sumatra). Penyerbuan itu karena rajanya pada 1373 mengirim utusan ke Tiongkok tanpa seizin raja Jawa. “Yang dimaksud adalah penyerangan tentara Majapahit terhadap kerajaan tua Sriwijaya yang waktu itu telah lemah dan banyak berkiblat ke Tiongkok,” tulis Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada, Biografi Politik. Sejarah Melayu juga merekam ekspedisi tentara Majapahit ke daerah luar Jawa. Tentara Majapahit mengalahkan Tumasik karena seorang pembesar Tumasik, Rajuna Tapa berkhianat. Berdasarkan cerita penduduk, Majapahit juga menyerang Pasai di Aceh. Menurut Agus dongeng yang beredar di penduduk setempat menyatakan ada sebuah bukit di dekat kota Langsa bernama Manjak Pahit. Katanya nama itu berasal dari kata Majapahit. Adapula rawa yang membentang antara Perlak dan Peudadawa, namanya Rawa Gajah. Konon, nama itu berasal dari nama Gajah Mada. “Ada kemungkinan penaklukkan Pasai oleh tentara Majapahit pada 1350 dipimpin langsung oleh Mahapatih Gajah Mada,” jelas arkeolog Universitas Indonesia itu. Mencari Tuah Rupanya beberapa daerah yang dibidik Gajah Mada dulunya sempat menjadi tempat berkembangnya kerajaan lama. Misalnya Bali, sebelum era Majapahit, di pulau itu pernah berdiri Kerajaan Balidwipamandala dengan ibukota Singhadwala milik Dinasti Warmadewa (abad 8-10). Begitu pula Sunda yang terletak di Jawa bagian barat. Dulu wilayah itu pernah berdiri kerajaan tertua di Jawa, Tarumanegara (abad 4-6). Menyusul Tanjungpura di Kalimantan. Di pulau itu pernah berdiri Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman (abad 4-5). Sementara Palembang di Sumatra selatan adalah bekas kedudukan Kerajaan Sriwijaya yang berkembang pada abad 8-12. “Gajah Mada seakan hendak mencari tuah dan kekuatan sakti dari kerajaan-kerajaan yang mendahului Majapahit. Gajah Mada juga sepertinya hendak meneguhkan Majapahit sebagai pewaris dari kerajaan terdahulu di Nusantara,” jelas Agus. Sementara Pahang dan Tumasik adalah daerah penting dalam hal perhubungan laut. Haru di Sumatra Utara, merupakan daerah di barat Nusantara. Letaknya membuat hubungan dengan kerajaan di benua Jambhudwipa (India) menjadi lebih mudah. Adapun Dompo harus dikuasai karena menjadi daerah pusat kayu cendana yang bermutu tinggi. Selain untuk dijual, kayu cendana sangat diperlukan dalam berbagai ritus keagamaan. Sementara Seram dan pulau-pulau di sekitarnya, seperti Maluku, adalah penghasil rempah-rempah. Pada abad 14, rempah-rempah sudah mulai dicari dan diminati para pedagang Jambhudwipa untuk dijual lagi ke Timur Tengah dengan harga tinggi. “Jika Majapahit ingin berkembang menguasai Nusantara, maka daerah-daerah itulah yang harus dikuasai lebih dulu, demikian maksud Gajah Mada,” lanjut Agus.*
- Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
EMPAT bulan terakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekuni olahraga tinju. Alasannya, demi menjaga stamina untuk meladeni berbagai jadwal padatnya. Yang pasti, Jokowi bukan pemimpin negara pertama yang getol bertinju untuk cari keringat. Jauh sebelum Jokowi, Presiden ke-26 Amerika Serikat Theodore “Teddy” Roosevelt Jr sudah melakoninya. Dia dikenal sebagai presiden yang doyan olahraga tinju selain sejumlah olahraga kontak fisik lainnya. Roosevelt menggeluti beragam olahraga itu tak lepas dari pengalaman masa kecilnya yang kurang baik. Selain sakit-sakitan, terutama asma, Roosevelt memiliki postur tubuh yang “kurang baik”. Teman-temannya kerap mem- bully dia. Maka ketika bertemu John Long, mantan petinju yang menjadi pelatih, Roosevelt langsung tertarik begitu disarankan mencoba tinju yang bermanfaat untuk memperkuat daya tahan tubuh dan melawan penyakit plus orang-orang jahat. Berbekal izin dari ayahnya, Roosevelt yang masih berusia 14 tahun mulai berlatih tinju. Keseriusan Roosevelt bertinju meningkat ketika kuliah. Dia, menurut Philip M. Boffey dalam artikelnya di The Harvard Crimson , dikenal banyak orang di kampusnya karena sering ikut turnamen tinju kelas ringan-berat antarkampus. “Saya menganggap tinju, baik profesional maupun amatir, sebagai olahraga kelas satu dan saya tidak menganggapnya olahraga brutal,” cetus Roosevelt dalam An Autobiography of Theodore Roosevelt . Kecintaannya pada tinju tak lekang ketika dia sudah menjadi Komisaris Polisi Kota New York. “Saat saya menjadi komisaris polisi, saya mendirikan sebuah klub tinju (bersama jurnalis Jacob Riis) di sebuah lingkungan yang keras,” sambung Roosevelt . New York di akhir abad ke-19 itu merupakan kota keras tempat penusukan dan penembakan sering terjadi. Roosevelt berharap, klub tinjunya bisa menyalurkan sifat-sifat kekerasan pada generasi muda di ring tinju. Di saat hampir bersamaan, Roosevelt juga menekuni gulat. Tapi dia meninggalkannya begitu menjabat gubernur Negara Bagian New York (1899-1900). “Tinju dan gulat membuat saya bisa menjaga fisik dengan bentuk yang atraktif. Walau kemudian saya meninggalkan gulat lebih dulu. Gulat olahraga yang lebih keras dari tinju,” ungkapnya di Theodore Roosevelt: Memoirs of the 26th President of the United States. Saat sudah menjadi presiden, Roosevelt masih hobi latihan tinju di Gedung Putih. Mantan jawara tinju kelas menengah Mike Donovan acap jadi sparringpartner buat Roosevelt. Namun, Roosevelt benar-benar harus meninggalkan tinju lantaran suatu ketika matanya terluka parah. “Saat melakukan sparring dengan seorang kapten artileri pada 1904, Roosevelt terkena pukulan keras dan membuat retina mata kirinya buta,” tulis J. M. Carlisle dalam The Cowboy and the Canal: How Theodore Roosevelt Cheated Colombia, Stole Panama & Bamboozled America. Roosevelt awalnya tak ingin memberi tahu istrinya, Edith, namun ketahuan juga ketika kesulitan membaca tulisan kecil. Hal itu kemudian dikonfirmasi lagi oleh dokter William Holland Wilmer yang dipanggil istrinya. Kendati begitu, Roosevelt bersyukur yang buta mata kirinya, bukan mata kanan. “Kalau saja yang buta mata kanan, mungkin saya sudah tak lagi bisa menembak (untuk berburu),” ujar Roosevelt dikutip Carlisle. Toh, Roosevelt tak kapok untuk tetap menekuni olahraga kontak fisik. Dia kemudian malah getol mempelajari dua olahraga beladiri Jepang, Judo dan Jiu-Jitsu, selama dua tahun. Perkenalan Roosevelt dengan judo berawal dari sebuah pertarungan eksebisi antara seorang pegulat Amerika melawan praktisi judo dan jiu-jitsu asal Jepang, Profesor Yoshiaki Yamashita, di Gedung Putih – berdasarkan suratnya kepada putranya, Kermit Roosevelt tertanggal 24 Februari 1905. “…Kemarin sore kami melihat Profesor Yamashita bergulat dengan Grant. Seni jiu-jitsu lebih bernilai dalam berbagai aspek ketimbang semua kombinasi olahraga,” tandas Roosevelt dalam suratnya, dikutip Paul Jeffers dalam Roosevelt the Explorer: Teddy Roosevelt’s Amazing Adventures as a Naturalist, Conservationist and Explorer.
- Raja yang Menginspirasi Gajah Mada
ANGAN-angan menyatukan Nusantara, cakrawala mandala dwipantara, sudah dimiliki Raja Kertanagara (1268-1292), hampir seabad sebelum Gajah Mada menyatakan Sumpah Palapa. Gagasan politik raja Singhasari itulah yang menginspirasi Sang Mahapatih untuk bersumpah menyatukan Nusantara di bawah Majapahit. “Gajah Mada meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh dwipantara atau Nusantara yang awalnya telah dirintis Kertanagara,” tulis Agus Aris Mundandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Gajah Mada Biografi Politik . Menurut Agus, Sumpah Palapa dapat dianggap sebagai pernyataan politik. Apa yang dinyatakan Gajah Mada itu adalah tujuan pemerintahan yang harus dicapai agar Majapahit disegani di seluruh Nusantara. Spirit Kejayaan Di antara raja-raja Singhasari, Kertanagara yang pertama memiliki pandangan politik ke luar Jawa. Raja terakhir dan terbesar Singhasari itu tergerak untuk menjadikan Singhasari sebagai kerajaan besar. Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, semangat Kertanagara ini bisa dimengerti karena setiap raja memiliki impian menjadikan kerajaannya yang terbesar. “ Glory itu menjadi spirit,” kata Dwi ketika dihubungi Historia . Pandangan luas Kertanagara itu didukung basis politik dan militer yang dibangun sejak masa ayahnya, Raja Wisnuwardhana. Prasasti Mulamalurung (1255) menyebut saat itu administrasi pemerintahan dibagi ke dalam delapan nagari. Masing-masing anggota keluarga mendapat kekuasaan sebagai vasal. “Dikokohkan secara birokrasi militer. Ini politik berbagi kekuasaan agar benturan politik di lingkungan keluarga bisa diminimalkan,” jelas Dwi. Kertanagara kemudian meluaskan wawasan politik itu. Cita-citanya ditingkatkan dari menyatukan Jawa menjadi Nusantara. “Sehingga sebutan politiknya dari cakrawala mandala Jawa era pemerintahan bersama Wisnuwardhana dan Narasinghamurti, menjadi cakrawala mandala dwipantara, ” lanjut Dwi. Kertanagara dinobatkan menjadi raja muda ketika ayahnya masih memerintah Singhasari pada 1254. Baru pada 1269, dia mengeluarkan prasasti tanpa menyebut makamangalya ayahnya , yang artinya “di bawah pengawasan.” Enam tahun kemudian, dia mengirim tentaranya untuk ekspedisi ke Malayu ( Pamalayu ). Untuk mempererat hubungan dengan kerajaan di Sumatera itu, pada 1286 dia mengirim hadiah arca Buddha Amoghapasa. Empat orang pejabat tinggi dari Jawa memimpin penempatannya di Dharmasraya. Pada arca itu, Buddha Amoghapasa terpahat bersama 14 pengiringnya dan tujuh permata ( saptaratna ). Semuanya dilukiskan pada alas arca, berupa kuda, cakra, permaisuri, ratna, menteri, hulubalang, dan gajah. Saptaratna merupakan lambang seorang cakrawartin, merujuk pada sosok penguasa jagad yang ideal. Kemungkinan Kertanagara pun benar-benar mengirimkan seorang putri, dua orang pejabat, seekor gajah, seekor kuda, senjata cakra, dan permata kepada Raja Mauliwarmadewa. Arca itu kemudian ditemukan kembali di daerah Sungai Langsat dekat Sijunjung di daerah hulu Sungai Batanghari. “Semoga hadiah ini membuat gembira segenap rakyat di Bhumi Malayu, termasuk brahmana, ksatrya, waisya, sudra dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa,” ungkap tulisan dalam Prasasti Padang Roco pada bagian alas arca itu. Prasasti Padang Roco ditulis dengan aksara Jawa Kuno memakai Bahasa Melayu Kuno dan Sanskerta. Lewat prasasti itu juga diketahui, kedudukan Kertanagara lebih tinggi dibanding Raja Malayu. Kertanagara memakai gelar Maharajadhiraja. Sementara Mauliwarmadewa memakai Maharaja. “Walaupun dalam Nagarakrtagama disebut ekspedisi itu menundukkan, menurut saya ini semacam MoU sebagai mitra sejajar,” jelas Dwi. Pada 1284, pergerakan Kertanagara makin meluas dengan menaklukkan Bali. Rajanya ditawan dan dibawa ke Singhasari. Setelah itu, sebagaimana tertulis dalam Negarakrtagama , Kertanagara menundukkan Pahang di Malaysia, Gurun (pulau di wilayah timur Nusantara), Bakulapura atau Tanjungpura di barat daya Kalimantan. “Tidak perlu disebutkan lagi Sunda dan Madura, karena seluruh Pulau Jawa tunduk di bawah kekuasaan Kertanagara,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama. Bisa dibilang, Prapanca ingin mengatakan, seluruh wilayah Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Nusantara bagian timur, dan seluruh Pulau Jawa kala itu sudah dikuasai Kertanagara. Ungkapan ini juga muncul dalam prasasti yang ada di belakang arca Camundi dari Desa Ardimulyo, Malang. Prasasti dari tahun 1292 itu mengatakan arca Bhattari Camundi ditahbiskan sewaktu Sri Maharaja menang di seluruh wilayah dan menundukkan semua pulau lainnya. “Entah benar atau secara simbolis,” tulis Sejarah Nasional Indonesia II. Setelahnya Kertanagara mengadakan hubungan dengan Champa. Petunjuk adanya hubungan itu terdapat dalam Prasasti Po Sah di dekat Phanrang dari tahun 1306. Disebutkan di sana seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi. Dia adalah adik Kertanagara yang menikah dengan Raja Jaya Simhawarman III (1287-1307). Gajah Mada Ngalap Berkah Setelah jatuhnya Singhasari, hubungan dengan berbagai wilayah luar Jawa tidak lagi berkembang. Majapahit pada awalnya belum memperhatikan wilayah lain di Nusantara. Raden Wijaya terlalu sibuk dengan berbagai pemberontakan dan intrik politik internal Majapahit. Begitu pula pada masa pemerintahan raja kedua, Jayanagara. Sebagai langkah awal setelah mengucapkan Sumpah Palapa, Gajah Mada mendirikan bangunan suci keagamaan ( caitya ) bagi Kertanagara yang dikaguminya. Baru kemudian dia mengembangkan pemikiran tentang dwipantara mandala . Prasasti Gajah Mada (1351) memberikan petunjuk bahwa Gajah Mada mendirikan catya bagi Kertanagara. Sebagai Sang Mahamantrimukya atau Mahamantri yang terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri. Dia juga berhak memberi titah untuk membangun catya bagi tokoh yang telah meninggal. Kertanagara gugur di istananya beserta patihnya Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang. Candi Jawi banyak dikaitkan sebagai pendharmaan Kertanagara. Candi ini diperkirakan dibangun setelah upacara Sraddha, 12 tahun setelah Kertanagara meninggal pada 1292. Menurut Agus, cantya yang dibangun atas perintah Gajah Mada sangat mungkin adalah Candi Singhasari. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman candi itu. Ada dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara di Candi Singhasari. Pertama, dia ingin mencari acuan legitimasi pembuktian Sumpah Palapa. Kedua, dengan membangun catya , seakan Gajah Mada sedang ngalap berkah atau minta restu kepada Kertanagara yang telah bersatu dengan dewa-dewa. “Baginya, tokoh Kertanagara adalah raja besar yang patut dijadikan teladan, layak mendapatkan pemujaan dan pemuliaan walaupun dia telah tiada,” kata Agus. Dalam Prasasti Gajah Mada juga terdapat julukan lain bagi Sang Mahapatih, yaitu Rakryan Mapatih Jirnnodhara. Nama itu mungkin sekadar gelar, namun bisa juga dipandang sebagai nama resminya. Jirnnodhara artinya pembangun sesuatu yang baru atau pemugar sesuatu yang telah runtuh atau rusak. Dalam arti harfiah, Gajah Mada adalah pembangun Candi Singhasari. Namun, dia juga pemugar dan penerus gagasan Kertanagara dalam dwipantara mandala . “Gagasan itu seakan lenyap setelah kematian Kertanagara, tertutup oleh berbagai peristiwa susul-menyusul di Tanah Jawa bagian timur,” ujar Agus. Tak hanya oleh Gajah Mada, Kertanagara pun dikenang dalam Nagarakrtagama sebagai raja yang termasyur namanya. “Di antara para raja lampau tak ada yang setara dengannya,” kata Prapanca. “Paham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama, adil, teguh, dan Jinabrata dan tawakal kepada laku utama, itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung.”*
- Hoegeng Iman Santoso Dipercaya Soemitro Djojohadikusumo tapi Ditolak Soeharto
SUATU hari, mantan kapolri Jenderal (Purn.) Hoegeng Iman Santoso senang. Sahabatnya, Soemitro Djojohadikusumo (menteri di beberapa kabinet semasa Demokrasi Liberal), mengabarkan ingin menikahkan putranya, Prabowo Subianto. Pak Cum, sapaan Soemitro, juga mengutarakan keinginannya agar Hoegeng bersedia menjadi saksi dari pihaknya dalam pernikahan Prabowo dengan Siti Hediati Harijadi (Titiek) itu. Hoegeng langsung menyatakan kesediaannya.
- Hari Perempuan Tak Diperingati di Era Suharto
SEJAK awal, Hari Perempuan Sedunia tak pernah mendapat sambutan antusias di Indonesia. Meski sudah sejak 1950-an, hanya sedikit kalangan yang memperingatinnya. “Hari Perempuan Sedunia secara khusus dirayakan oleh gerakan perempuan sosialis,” tulis Elisabeth Martyn dalam The Women's Movement in Postcolonial Indonesia. Gerwani mempelopori peringatan itu. Hal itu tak lepas dari kebijakan Gerwani yang menjadikan tulisan-tulisan Clara Zetkin, feminis Partai Sosialis Jerman yang mengusulkan ditetapkannya tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia, sebagai bacaan wajib bagi kader-kadernya. Ketidakpopuleran perayaan 8 Maret di kalangan organiasi perempuan membuat Gerwani mengajak banyak organisasi perempuan untuk merayakan Hari Perempuan Sedunia. Upaya tersebut berbuah ketika pada 1953 pimpinan PKI untuk pertamakalinya membahas tentang masalah perempuan pada Hari Perempuan Sedunia. Di tahun berikutnya, para perempuan menekankan tuntutan pada hak dalam perkawinan, moralitas, serta masalah lain yang dihadapi perempuan. Pada perayaan tahun 1961, Wanita Komunis (Wankom), kelompok perempuan anggota PKI (mulai disebut demikian sejak 1957), mengeluarkan pernyataan untuk memperkuat persatuan perempuan, khususnya buruh, tani, dan anti-feodal. Meski kebanyakan organisasi perempuan yang memperingati 8 Maret adalah organisasi sosialis, Perwari tercatat pernah merayakan Hari Perempuan walaupun gaungnya tak besar. Federasi perempuan, Kowani, mulai merayakan Hari Perempuan Sedunia pada dekade 1960-an. Kowani bahkan membentuk panitia persiapan peringatan Hari Perempuan Sedunia. Keikutsertaan Kowani dalam peringatan 8 Maret tak lepas dari pengaruh Gerwani yang semakin kuat. Sejak Kongres 1961, struktur pimpinan Kowani berubah dari Sekretariat menjadi Dewan Pimpinan, yang terdiri dari sembilan orang perwakilan organisasi anggota. Gerwani, diwakili Nyonya Mudigdo, duduk di dewan itu. Sejak itu, perhatian terhadap Hari Perempuan Sedunia meningkat pesat. Presiden Sukarno ikut menaruh perhatian terhadapnya. Pada 1965, Sukarno menghelat peringatannya di Istana Negara sekaligus menyampaikan amanat dengan judul “Tidak ada Kompromi dengan Nekolim”. Namun, bergantinya rezim ikut mengubah nasib peringatan 8 Maret. “Waktu era Sukarno itu ada Gerwani. Itu mungkin satu-satunya gerakan perempuan yang sangat politis. Ketika Soeharto naik, (peringatan – red .) diberangus. Masuk dalam genosida 1965 dan saat itu juga generasi feminis banyak yang hilang oleh tuduhan PKI dll.,” kata Dewi Candraningrum, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), kepada Historia . Meski pada peringatan 8 Maret 1966 Kowani dan beberapa organisasi perempuan lain masih merayakanya, dua bulan kemudian Kowani mengadakan konsolidasi internal untuk melaksanakan Tritura. Akibatnya, semua anggota yang dianggap dekat dengan PKI, termasuk Gerwani, langsung didepak. Sejak itulah Kowani dan organisasi perempuan lain tidak merayakan 8 Maret karena dianggap berbau komunis. Posisi Kowani sebagai federasi perempuan pun melemah. “Suharto pada 1970-an membikin Dharma Wanita, nah itu definisi wanita direduksi habis-habisan. Beda dari zaman Sukarno. Jadi ada reduksi definisi perempuan di era Suharto yang maksudnya adalah memangkas hak-hak politik perempuan. Jadi ada kemunduran yang sangat signifikan di era Suharto,” kata Dewi. Perayaan Hari Perempuan Sedunia baru terdengar lagi ketika Seruan Perempuan Indonesia (SERUNI) mengadakan Doa antar-Iman sebagai upaya peringatan Hari Perempuan Sedunia pada 1998. “(Seruni, red.) menandai awal gerakan non-kekerasan perempuan untuk menyebarluaskan perdamaian dan toleransi sebagai respons terhadap pemilah-milahan sosial dan politik serta berbagai konflik yang merebak pada 1998-1999,” tulis Ariel Heryanto dalam Menggugat otoriterisme di Asia Tenggara.
- Loyalis yang Disingkirkan
RIA Moerdani tak pernah melupakan kejadian itu. Suatu hari, di jalanan Jakarta ia menemukan selebaran dan surat kaleng yang isinya mendiskreditkan Leonardus Benyamin Moerdani (akrab dipanggil Benny Moerdani). Segera ia membawa selebaran-selebaran itu ke rumahnya. Maksud hati ingin memberitahu sang ayah, namun sampai di rumah Ria justru mendapatkan Benny tengah membaca selebaran-selebaran yang sama. Seperti disampaikan kepada penulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan , Ria menyatakan rasa khawatirnya terhadap isi selebaran-selebaran tersebut. Namun sejak awal sang ayah memang kerap mengingatkan dia dan ibunya untuk selalu siap menghadapi kenyataan terburuk. “…Pekerjaan saya ini banyak resikonya, jadi kamu sama Mama harus selalu bersiap-siap…” ungkap jenderal kelahiran Surakarta itu. Penjaga Soeharto Kala diwawancara oleh jurnalis Far Eastern Economic Review David Jenkins, Benny mengaku hubungannya dengan Soeharto layaknya hubungan antara anak dan ayah. Sang jenderal sendiri mengenal Soeharto secara akrab saat mereka berdua terlibat dalam Operasi Trikora dan Operasi Naga, dua aksi militer Indonesia untuk menguasai Irian Barat pada awal 1960-an. Kepada Historia , pengamat militer Salim Haji Said menyebut sejak awal Benny sudah “cocok” dengan Soeharto, begitu juga sebaliknya. Ketika Soeharto sudah menjadi presiden, sementara Benny menjadi intel di Kuala Lumpur dan kemudian Seoul. Namun setiap sang presiden melawat ke luar negeri, Benny selalu didatangkan secara khusus untuk menjaga keselamatan Soeharto. “Artinya Soeharto sudah lama percaya kepada Benny dan mengakui keandalannya sebagai security officer …” ujar Said. Hal senada juga diungkapkan oleh kolega dekat Benny yakni Marsekal Muda TNI (Purn) Teddy Rusdy. Menurut anak buah Benny semasa di badan intelijen tersebut, loyalitas atasannya itu kepada Soeharto tak perlu diragukan lagi. Begitu loyalnya, hingga hal-hal terburuk tentang Soeharto dan keluarganya yang mengancam masa depan pemerintahannya pun selalu dia sampaikan kepada sang presiden sendiri. “Dia itu seorang loyalis beneran, tidak pernah dia melaporkan sesuatu hal yang sifatnya ABS (Asal Bapak Senang) saja kepada Pak Harto,” ujar Teddy Rusdy. Pamor Benny sebagai penjaga setia Soeharto itu memunculkan ketidaksenangan di sebagian pihak yang merupakan lingkaran terdekat dari Soeharto. Sebagai contoh, pada saat Benny akan diangkat sebagai Panglima ABRI, muncul selentingan isu yang menyebut dia akan melakukan kudeta terhadap Soeharto. Isu yang bertiup kencang tersebut sempat membuat menantu Soeharto yakni Kapten Prabowo Soebianto nyaris melakukan gerakan. Menurut Sintong Panjaitan dalam Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya jurnalis Hendro Subroto, Prabowo bahkan sempat mendatangi Mayor Luhut Panjaitan untuk mengajak atasannya tersebut menyelamatkan negara dari kudeta Letnan Jenderal L.B. Moerdani. Teddy sendiri menyebut isu itu sebagai omong kosong. Ketika selentingan tersebut bertiup, Teddy mengaku langsung meminta pendapat kepada sejumlah jenderal seperti Try Soetrisno dan Eddi Soedradjat dan Brigadir Jenderal Jasmin selaku atasan Prabowo di Kopassandha (sekarang Kopassus). Mereka kompak menyatakan ketidakpercayaannya akan isu tersebut. “Pernyataan Pak Benny Moerdani mau kudeta adalah fitnah tanpa fakta,” ujar Teddy dalam biografinya: 70 Tahun Teddy Rusdy: Think Ahead karya Servas Pandur. Lalu apakah Presiden Soeharto sendiri mempercayai isu tersebut? Sejarah membuktikan Soeharto tetap mendapuk Benny sebagai Panglima ABRI menggantikan Jenderal M. Yusuf. Disingkirkan Pada Februari 1988, suhu politik Indonesia mulai menghangat. Berbagai kalangan menyebut nama Benny sebagai calon Wakil Presiden selain Sudharmono dan H.J. Naro. Kendati sempat mengencang, isu itu ditepis langsung oleh Benny. Alih-alih menyatakan keinginannya untuk menjadi Wakil Presiden, ia justru memberi jalan kepada koleganya Try Soetrisno dengan “mengorbankan” jabatannya sebagai Panglima ABRI. “…Kalau saya masih menjadi Ketua “Partai ABRI”. Tetapi sejak dua jam lalu, ketua partai sudah bukan di tangan saya lagi, melainkan Try…” ungkap Benny dalam biografinya. Nyatanya harapan Benny kandas. Soeharto justru “memilih” Sudharmono sebagai pendampingnya hingga 1993. Meski Try tidak terpilih, Benny tetap duduk di Kabinet Pembangunan V sebagai Menteri Pertahanan. Walaupun demikian, upaya Benny untuk memuluskan jalan Try ke posisi Wakil Presiden dengan berbagai manuver politik membuat sikap Soeharto berubah. Dia mulai “mencurigai” Benny. Puncaknya terjadi ketika anak-anak Soeharto beserta sebagian mantu-mantunya terlibat berbagai bisnis besar di Republik ini. Banyak kalangan yang gerah melihat situasi tersebut. Teddy masih ingat, saat menjadi Panglima ABRI, dia bersama Benny sempat membuat analisa bahwa kondisi itu akan menjadi faktor tidak menguntungkan secara politis bagi Presiden Soeharto. Soal ini sempat disampaikan langsung oleh Benny kepada Soeharto. Alkisah suatu hari dia datang ke jalan Cendana lantas diajak bermain biliar oleh Soeharto. Di tengah permainan itulah secara hat-hati Benny menyampaikan kritiknya terhadap tingkah laku anak-anak dan mantu-mantu Soeharto yang dinilainya sudah “keluar jalur” dalam melakukan bisnis. Menurut Julius Pour, Benny menyebut kondisi tersebut membahayakan bagi Soeharto. Namun secara tegas, dia menyatakan ABRI masih berada di belakang sang presiden. “Tapi saya tidak bisa menjamin mereka juga bakal mendukung putra-putri Bapak…” ujar Benny. Usai Benny bicara, tetiba Soeharto meletakan tongkat biliar, lalu meninggalkan Benny begitu saja. Sang jenderal tadinya mengira, Soeharto pergi ke toilet. “Ternyata dia meninggalkan saya untuk tidur. Maka saya sadar dia marah atas kata-kata yang baru saja saya ucapkan…” demikian pengakuan Benny kepada penulis Julius Pour. Sejak itulah, Soeharto seolah tak lagi membutuhkan Benny. Baginya, sedekat apapun hubungan Benny dengan dirinya, sang loyalis tersebut tidak berhak mengurusi urusan pribadinya, termasuk soal bisnis anak-anak dan para mantunya. Hal ini pula yang disampaikan Soeharto kepada Try Soetrisno saat suatu hari sang wapres menyampaikan keprihatinan para jenderal senior terhadap kegiatan bisnis putra-putrinya. “Try, apakah ada aturannya atau undang-undang yang melarang anak pejabat berbisnis? Kalau ada, saya tidak mau jadi Presiden…” kata Soeharto seperti dilansir Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintah Otoriter Soeharto . Karier Benny lambat laun tenggelam. Pada saat Presiden Soeharto melantik para menteri yang duduk di Kabinet Pembangunan VI, sosoknya tak lagi nampak.
- Kiper Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
SEPANJANG sejarahnya, Manchester United (MU) telah melahirkan banyak pemain hebat mulai penyerang hingga kiper. Kiper-kiper utama klub berjuluk “Setan merah” itu acap jadi incaran klub-klub besar. Terakhir, Real Madrid menggoda kiper utama MU David de Gea agar tak memperpanjang kontrak senilai 14 juta poundsterling dan hengkang ke Santiago Bernabeu, markas Madrid. Sebelum De Gea, deretan kiper hebat MU itu antara lain Tim Howard, Fabien Barthez, Edwin van der Sar, Peter Schmeichel, Alex Stepney, dan Harry Gregg. Kecuali Gregg, semua kiper itu pernah menorehkan gelar dan mengalungi medali. Gregg tak sempat menorehkan prestasi dan justru mengalami sebuah tragedi. Tapi tragedi itu justru membuatnya menjadi satu-satunya kiper MU yang memiliki prestasi yang tak dimiliki kiper-kiper lain. Gregg, pria kelahiran Magherafelt, Irlandia Utara pada 27 Oktober 1932, meniti karier di Windsor Park Swifts, Coleraine. Dari klub itu dia kemudian memperkuat klub Doncaster Rovers sebelum akhirnya menerima pinangan MU pada Desember 1957. “Kepribadian yang kuat dan fisik yang tangguh membuat (pelatih Matt) Busby membelinya 23 ribu pounds –saat itu menjadi rekor dunia untuk transfer kiper,” tulis laman resmi MU, manutd.com . Namun, belum lama berseragam United, Gregg mengalami peristiwa horor Tragedi Munich 6 Februari 1958. Pesawat British European Airways 609 yang mengangkut pemain dan ofisial tim, usai menjalani laga Piala Champions melawan Red Star Belgrade, gagal take-off di Bandara Munich-Riem, Jerman Barat. Gregg salah satu yang selamat. “Awalnya Gregg mengira sudah meninggal. Dengan kepala yang masih pening dan hidung berdarah, dia berusaha keluar dari puing-puing pesawat. Mencoba memahami apa yang telah terjadi,” urai Stephen Morrin dalam The Munich Air Disaster: The True Story Behind the Fatal 1958 Crash. Begitu kondisinya membaik, Gregg langsung keluar dari kabin yang sudah porak-poranda. Dia melihat kru pesawat George Rodgers, Peter Howard, Ted Ellyard, dan pilot James Thain lari menjauh dari lokasi kecelakaan. Gregg sempat ingin menyusul mereka. Namun, suara tangis dari dalam kabin pesawat seketika menghentikan langkahnya. “Kembalilah, berengsek! Masih ada yang hidup di dalam sana,” kata Gregg mengumpat para kru kabin yang kabur, sebagaimana dikenang dalam otobiografinya, Harry’s Game . Meski ajakannya tak dipedulikan, Gregg nekat kembali ke puing-puing pesawat. Penumpang pertama yang mesti diselamatkannya adalah bayi perempuan bernama Vesna. Sebelum kecelakaan, bayi itu duduk di sebelah Gregg bersama ibunya, Vera Lukic, istri diplomat Yugoslavia yang tengah mengandung. Gregg menemukan bayi Vesna tertimbun beberapa puing pesawat namun masih hidup. Gregg langsung menggendongnya dan menyerahkan pada Rodgers sebelum kembali ke puing-puing untuk menyelamatkan penumpang-penumpang lain yang masih hidup, mirip adegan prajurit medis Desmond Doss ketika menyelamatkan satu per satu rekan-rekannya dalam Pertempuran Okinawa di film Hacksaw Ridge . Selain pelatih Matt Busby, Bobby Charlton, Jackie Blanchflower, dan Dennis Viollet merupakan rekan-rekan setim yang berhasil diselamatkan Gregg. “Keberanian sudah menjadi sebuah tindakan yang luar biasa. Namun apa yang Harry (Gregg) lakukan, lebih dari sekadar berani. Tindakannya sangat mulia,” sanjung George Best, salah satu legenda Manchester yang di masa belia sering menyemir sepatunya Gregg, dilansir Daily Mail , 15 Mei 2012. Gregg sendiri, yang diperiksa medis selepas musibah itu, dinyatakan dokter mengalami sedikit retak tulang tengkorak. Cedera itu menyebabkannya terus-menerus merasa pusing. Tetapi 13 hari setelah tragedi, Gregg jadi satu di antara dua penyintas yang masih sanggup tampil di ajang FA Cup kontra Sheffield Wednesday. Ketika itu Bobby Charlton yang juga tak luka parah, masih dilanda trauma. Pemain berjuluk “ The Hero of Munich ” atau Pahlawan Munich itu kemudian diberikan gelar Order of the British Empire oleh Kerajaan Inggris pada 1995 dan gelar honoris causa dari Universitas Ulster atas kontribusinya dalam sepakbola. Sebagaimana Bobby Charlotn, setiap tahun dalam peringatan Munich Air Disaster di Old Trafford, Gregg selalu jadi tamu kehormatan, termasuk di peringatan terakhir 6 Februari lalu.
- Fosko TNI-AD, Markas Para Jenderal Oposan
MESKI berbicara dalam nada tenang, nampak sekali Soeharto naik pitam saat berpidato dalam HUT Kopasaandha (kini Kopassus) di markas Cijantung pada 16 April 1980. Kata sang presiden, tersiar kabar bila istrinya, Tien Soeharto menentukan pemenang tender pemerintah dengan pihak swasta dan menerima komisi 10 persen dari transasksi kekuasaan itu. Ada lagi gosip beredar yang menyatakan kalau Soeharto memiliki wanita simpanan seorang artis bernama Rahayu Effendi. Menurut Soeharto, isu itu dihembuskan karena dirinya dianggap sebagai penghalang utama kegiatan politik para pembuat rumor tersebut. Untuk menekan lawan politiknya, Soeharto menebar ancaman. Dia memperingatkan, andaikata dirinya ditiadakan, maka akan muncul lebih banyak kekuatan yang akan memukul balik. “Bahwasanya, toh akhirnya akan timbul mungkin lebih daripada saya, warga negara, prajurit-prajurit anggota ABRI termasuk pula korps Koppasandha baret merah akan tetap menghalangi kehendak politik mereka itu,” tegas Soeharto. Dalam pidatonya, Soeharto sama sekali tidak menyebut nama-nama yang disebutnya sebagai “mereka”. “Tetapi siapapun maklum bahwa yang dimaksud pasti adalah perwira senior yang tidak senang dengannya,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit . Lantas, siapa kah para perwira senior itu? Jalan Petarung Pensiunan Kelompok oposan yang dimaksud Soeharto bermula dari niatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal Raden Widodo. Pada 12 April 1978, Widodo mengumumkan pembentukan badan resmi Forum Studi dan Komunikasi TNI. Forum ini lebih ternama sebagai Fosko TNI-AD karena semua anggotanya berasal dari perwira tinggi purnawirawan AD. Widodo membentuk Fosko untuk mewadahi para purnawirawan dalam memberi masukan kepada pemerintah melalui Kasad. Sebanyak 18 tokoh perwira terkemuka mantan petinggi militer tergabung dalam Fosko. Presidium Fosko terdiri dari Letjen Djatikusumo, Letjen R. Sudirman, dan Mayjen Achmad Sukendro dengan Letjen H.R. Dharsono sebagai sekretaris jenderal. Bidang politik dipegang oleh Letjen A.Y. Mokoginta dan Brigjen Daan Jahja; bidang ekonomi oleh Letjen M. Jasin; bidang hukum oleh Letjen Sugih Arto. Turut pula Kolonel Alex Kawilarang, perwira yang begitu disegani sejak zaman revolusi sebagai anggota. Jurnalis Australia, David Jenkins dalam penelitiannya untuk Far Eastern Economic Review mencatat reputasi para jenderal Fosko. Mereka pada umumnya telah berkecimpung di militer selama lebih dari 30 tahun. Namun, tak semuanya “bersih”. Beberapa diantaranya populer sebagai perwira berperangai keras dan pernah berkolaborasi dengan Soeharto di masa awal Orde Baru. Dharsono dan Jasin merupakan penyokong kuat Soeharto tatkala menjadi Panglima Kodam di Jawa Barat dan Jawa Timur. Keduanya menindas kekuatan politik yang pro-Sukarno di wilayah kekuasaan masing-masing. “Mokoginta dikenal sebagai polisi militer yang keras, bahkan brutal. Ia sangat represif ketika menjadi komandan inter-regional di Sumatra pada awal rezim Orde Baru,” tulis Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983. “Sukendro sebagaimana telah diketahui, terkenal dengan reputasinya sebagai manusia licik dan konspiratif dengan kualitas moral diragukan.” Meski dengan latar belakang beragam, semua jenderal Fosko tiba pada satu suara senada: hendak meluruskan kepemimpinan Soeharto yang mulai melenceng. Secara berkala mereka berkumpul di kantor Kasad ataupun di Gedung Veteran Graha Purna Yudha. Dalam berbagai diskusinya, para jenderal Fosko selalu mengantarkan rekomendasi dalam bentuk makalah kepada Widodo untuk diteruskan ke atas. Secara garis besar, Jenkins mencatat tiga pokok utama yang menjadi tuntutan Fosko: menyesuaikan dwifungsi ABRI dengan perkembangan rakyat, menegakkan prinsip dasar demokrasi bagi semua golongan, dan membebaskan TNI dari kepentingan kekuasaan. Dalam otobiografinya “Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto“: Sebuah Memoar yang disunting Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, M. Jasin salah seorang jenderal Fosko menuturkan bermacam persoalan yang dikritisi dalam kelompoknya. Mulai dari gaya diktator kepemimpinan Soeharto, soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, dominasi Golkar sebagai kekuatan politik, carut-marut dwifungsi ABRI, hingga kendala dalam pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. “Dan tentu saja, banyak kasus yang sifatnya ‘panas dan rahasia’,”ujar Jasin. Perihal rahasia yang dimaksud Jasin antara lain keterlibatan ABRI dalam pemenangan Golkar jelang pelaksanaan pemilihan umum. Termasuk pula kasus proses verbal Kolonel Latief tentang Gerakan 30 September yang menyeret nama Soeharto sebagai Panglima Kostrad yang telah “mengetahui” adanya rencana gerakan waktu itu. Menurut Jasin, Sukendro –yang mantan perwira intelijen– adalah jagonya mengorek data dan informasi penting terkait “jejak hitam” Soeharto. Berbagai usulan Fosko kepada pemerintah yang telah disampaikan kepada Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf berkali-kali dimentahkan. Belakangan, kelompok Fosko menyadari bahwa Jusuf memang cukup sulit menerima mereka. Apalagi karena mengetahui bila Soeharto pasti akan keberatan. “Forum tersebut dikenal menjadi tempat untuk melontarkan kritik terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal itu lama-lama sampai ke telinga Presiden juga,” tulis Atmadji. Pecah Kongsi kubu Jenderal Tua Menurut Jusuf, Soeharto mulai tak nyaman dengan sikap kritis para jenderal purnawirawan. Jusuf kemudian menginstruksikan Jenderal Widodo untuk membubarkan forum itu. Pada 26 Februari 1979, dikeluarkan siaran pers yang menyebutkan bahwa Fosko TNI-AD dibekukan kegiatannya karena “adanya oknum Fosko yang mempergunakannya untuk kepentingan pribadi”. Pembekuan Fosko berimbas pula terhadap Widodo yang selanjutnya dicopot dari kedudukan Kasad. Kendati dibekukan, para jenderal oposan masih belum mengendurkan serangan. Mereka mengubah nama Fosko TNI AD menjadi Forum Komunikasi dan Studi (FKS) Purna Yudha pada Desember 1979. Gejala polarisasi mulai terlihat dalam gerakan Fosko. Ada yang tetap maju dan ada yang mundur teratur. Beberapa pentolan mulai memperlihatkan perlawanan terbuka. Mokoginta dan Jasin terlibat dalam Petisi 50 yang akhirnya dibunuh secara perdata oleh pemerintah Soeharto. Dharsono menderita dalam jeruji penjara sementara Sukendro dijegal tanpa ampun dari semua bisnisnya sebagai pengusaha. Pun niat Sukendro untuk bisa menyelesaikan pendidikan doktoralnya yang hanya tinggal uji disertasi, terpaksa kandas karena dipersulit sedemikian rupa. Beberapa jenderal goyah dan memutuskan menyerah. Alih-alih tetap konsisten meneruskan kritiknya, sebagian justru menerima tawaran berkompromi. David Jenkins menyebut distribusi patronase alias bagi-bagi rezeki sebagai cara picik dan keji yang ditawarkan pemerintah Orde Baru. Djatikusumo menarik diri dari kelompok eks Fosko yang disusul Ishak Djuarsa, Harun Sohar, dan Daan Jahja. Yang masih kritis melawan terpaksa kalah akibat menua dimakan usia. Puncaknya ketika Sukendro dan Mokoginta wafat pada 1984. Kelompok eks Fosko kehilangan dua orang tokoh kawakan yang paling dinamis. Para jenderal tua yang tersisa hanya bisa menepi, bersuara dalam sunyi menanti runtuhnya kekuasaan sang penguasa Orde Baru, Soeharto.*
- Setelah Pesta Usai
AWAL 1966. Malam belum sepenuhnya selesai, ketika lima anggota Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh (KAP Gestapu) mendatangi rumah S. Herman di bilangan Sukabumi. Sebagai bekas serdadu yang memilih aktif di NU (Nahdlatul Ulama), dini hari itu, Herman “terpilih” untuk pergi ke Jampang Kulon, suatu wilayah yang terletak di pelosok Sukabumi, Jawa Barat. “Saya diajak ke sana guna 'mengamankan' orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar lelaki 90 tahun tersebut. Di Jampang Kulon, Herman dan kawan-kawan memburu para anggota PKI hingga ke hutan-hutan. Namun, berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Jawa Barat perburuan itu tidak lantas menjadi ajang pembantaian massal. Pendekatan persuasif sangat diutamakan oleh aparat di sana. “Sesuai arahan Pak Adjie (Panglima Kodam Siliwangi), mereka yang tertangkap kami perlakukan secara baik-baik, untuk kemudian kami serahkan ke aparat,” kenang Herman. Operasi perburuan tersebut berlangsung hingga sekitar empat bulan dalam tahun 1966. Herman tidak ingat berapa ratus orang komunis yang berhasil ditangkap. Dia juga tidak tahu bagaimana nasib mereka usai diserahkan kepada aparat. “Katanya mereka dibuang ke Pulau Buru sama pemerintah,” ungkap kakek dari lima cucu itu. Aliansi Simbiotik Pasca insiden Gerakan 30 September 1965, pihak tentara (baca: Angkatan Darat) mencari celah untuk menghantam langsung rival utamanya: PKI. Menurut Ulf Sundhaussen dalam Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967 , salah satu cara yang dilakukan oleh mereka adalah merangkul kekuatan-kekuatan Islam yang di era rezim Sukarno ternafikan secara politis. Gayung bersambut. Sebagai pihak yang kerap bermasalah dengan PKI dan menunggu waktu tepat untuk menghajar musuh bebuyutannya tersebut, kelompok-kelompok Islam menyambut baik rangkulan tentara. Pada 5 Oktober 1965, secara resmi Pengurus Besar NU mengeluarkan pernyataan sikap untuk melawan Gestapu. “PBNU menyerukan kepada seluruh umat Islam dan segenap kekuatan revolusiener lainnya untuk memberikan bantuan sepenuhnya kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),” demikian seperti dikutip oleh H. Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI 1948-1965. Aliansi simbiotik antara tentara dengan kelompok-kelompok Islam menghasilkan gerakan sporadis pengganyangan PKI di seluruh Indonesia. Bahkan bukan hanya sebagai “pendamping”, bersama grup-grup antikomunis lainnya dari kalangan Hindu (di Bali) dan Katolik serta sayap kanan di kubu kaum nasionalis, mereka terlibat aktif secara langsung menjadi “tangan tentara” untuk menghancurkan PKI. “Anasir-anasir KAP Gestapu, terutama organisasi massa berorientasi kepada Masyumi, serta aktivis muda dari NU, harus dianggap termasuk kelompok ini,” tulis Ulf, pengamat sejarah militer Indonesia asal Australia tersebut. Selain KAP Gestapu (salah satu pendirinya adalah Subchan ZE, tokoh muda NU), tentara juga mendukung keberadaan KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) dan Kesatuan Komando Jihad Ummat Islam pimpinan Abdul Qadir Djaelani, tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII). “Kesatuan-kesatuan aksi ini menghimpun hampir semua potensi politik antikomunis di Indonesia,” tulis Arief Mudatsir Mandan dalam Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid . Untuk mengganyang PKI, kekuatan-kekuatan Islam betul-betul tertumpu kepada dukungan militer. Bukan hanya dukungan perlindungan, namun juga penyediaan senjata dan pelatihan militer seperti yang mereka lakukan kepada sejumlah tokoh KAP Gestapu dan sejumlah koordinator lapangan aktivis mahasiswa-mahasiswa Islam. Menurut Busyro Moqqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen , sejumlah aksi umat Islam di Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Banten juga mendapat sokongan AD. “Buktinya, waktu Kesatuan Komando Jihad Ummat Islam mengadakan apel akbar di Jakarta pada 12 Februari 1967, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sawo Edhie Wibowo datang dan membuat pidato dukungan,” ujar Busyro. Singkat cerita, “pesta pengganyangan” kaum komunis oleh militer yang bekerjasama dengan kelompok agama dan nasionalis sayap kanan berlangsung sukses. Bukan saja berhasil melenyapkan eksistensi partai komunis terbesar ketiga di dunia itu, tapi juga menerbitkan Orde Baru, sebuah rezim militer yang didukung oleh Amerika Serikat dan dunia Barat pada 12 Maret 1967. “Dan tak ada seorang pun yang bisa menafikan bahwa umat Islam memerankan peranan yang sangat besar sebagai salah satu komponen penegak Orde Baru yang utama,” ungkap Afan Gaffar dalam sebuah artikel berjudul “Islam dan Politik dalam Era Orde Baru," Jurnal Ulumul Qur’an, edisi Mei 1993. Dibalas Air Tuba Usai Presiden Sukarno lengser, kekuatan-kekuatan Islam politik mulai menggeliat kembali. Anasir-anasir Masyumi yang di era Demokrasi Terpimpin sempat tiarap, aktif melakukan konsolidasi politik. Rehabilitasi Masyumi diajukan oleh Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum Masyumi saat dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1960) kepada pemerintah Orde Baru. Alih-alih mengabulkan, jasa-jasa kalangan Islam politik seolah dibalas dengan air tuba: pengajuan ditolak Presiden Soeharto. “Jalan menuju pewujudan kembali Masyumi sebagai partai politik mengalami situasi berliku dan berujung kepada ditolaknya upaya rehabilitasi itu,” ungkap Abdul Qadir Djaelani, salah satu aktivis Islam saat itu. Siasat baru lantas dilancarkan. Pada akhir 1967, eks onderbouw Masyumi membentuk partai baru bernama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan mengajukan izinnya kepada pemerintah. Kali ini pemerintah Orde Baru merestui dengan mengeluarkan Surat Keputusan No. 7 tahun 1968 tertanggal 20 Februari 1968. “Djarnawi Hadikusomo dari Muhammadiyah diangkat sebagai ketua umumnya,” tulis Solihin Salam dalam Sejarah Parmusi. Masalah muncul kembali usai Parmusi melangsungkan muktamarnya yang pertama pada 2-7 November 1968: Muhammad Roem ditolak oleh pemerintah sebagai ketua umum terpilih. “Soeharto tak mau mensahkannya,” tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan di Indonesia. Parmusi tidak bisa berbuat banyak. Jalan kompromi pun ditempuh: jabatan ketua tetap dipegang Djarnawi Hadikusumo dengan harapan roda politik partai tetap berjalan. Namun, lagi-lagi tawaran kompromi itu tak diindahkan. Justru pada Februari 1970, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud membuat keputusan melarang sekitar 2500 eks anggota Masyumi untuk ikut andil dalam Pemilihan Umum 1971. Alasannya, iktikad baik mereka kepada pemerintah sangat diragukan. Demikian menurut berita yang dilansir Kantor Berita Antara pada 16 Februari 1970. Di tengah situasi panas tersebut, pemerintah tetiba “memecat” Djarnawi dan menggantinya dengan MHS. Mintarja lewat suatu rekayasa yang melibatkan grup Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo (via duet John Naro-Imran Kadir). Menurut Afan Gaffar, pemerintah kesulitan untuk menerima Djarnawi karena dia dianggap memiliki pendirian politik yang “keras” dan tidak akomodatif terhadap kepentingan pemerintah. Bukan hanya kepada Masyumi, kebijakan tentara (baca: pemerintah Orde Baru) pun mulai “keras” terhadap NU. Sejak dilangsungkannya Seminar Angkatan Darat pada 1966 di Bandung, tentara memiliki pandangan tegas bahwa sebuah organisasi keagamaan dengan basis massa besar akan menjadi suatu ancaman politis. “NU dipandang sebagai hal yang membahayakan apabila dibiarkan tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik,” tulis Arief Mudatsir Mandan. Nasib buruk juga melanda partai Islam tua yang peran politiknya sebenarnya sudah mulai mengecil: Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Laiknya Parmusi, kepemimpinan PSII pun tak lepas “diobok-obok” grup Opsus via Syarifuddin Harahap yang berhasil menyingkirkan kepemimpinan H. Ch. Ibrahim. Pemilihan Umum 1971 semakin memperlebar jurang pemisah antara pemerintah Orde Baru dengan kelompok-kelompok Islam. Upaya-upaya sistematis dari pemerintah dan tentara untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar) menjadikan peran politik kelompok Islam dan nasionalis terpinggirkan secara prima. Keculasan politik yang terpapar dalam Pemilu 1971 menjadikan kalangan Islam kecewa. Bahkan, Subchan ZE pernah mempunyai gagasan akan mengadukan pelaksanaan Pemilu 1971 dengan korban-korban yang dialami oleh warga NU kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amnesti Internasional. Namun niat tersebut diurungkan. Sebagai gantinya: “Rois Aam NU KH A. Wahab Chasbullah di depan Muktamar NU ke-25 pada Desember 1971 mengisyaratkan bahwa tak ada gunanya lagi NU menjadi partai politik,” ujar Arief. Rival Negara Babak belur di Pemilu 1971 menjadikan kekuatan Islam politik tak bisa mengkoordinasikan diri secara maksimal. Menjelang Pemilu 1977, mereka harus kembali “menyerah” ketika pada 5 Januari 1973, pemerintah Orde Baru memaksa Parmusi, NU, PSII dan Partai Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) berfusi dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Menurut Abdul Qadir Djailani, fusi itu dilaksanakan atas nama kestabilan politik. “Padahal tujuan sebenarnya adalah untuk mempermudah kontrol politik terhadap kekuatan Islam,” ujar Abdul Qadir. Penyederhanaan partai-partai politik Islam dalam PPP diikuti oleh upaya deislamisasi. Sebagai contoh pemerintah memerintahkan partai politik hasil fusi itu untuk tidak lagi menggunakan lambang Ka’bah, nama “Partai Persatuan Islam” dan Islam sebagai asas ideologi partai. Soal ini sempat membuat KH. Bisri Syansuri (Rois Aam PPP) berang dan menyampaikan protes langsung kepada Presiden Soeharto. “Tetapi tak berhasil karena Soeharto tetap pada kebijakannya untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik mana pun,” tulis Arief Mudatsir. Pemilihan Umum 1977 berlangsung lancar. Seperti sudah diprediksi semua kalangan, Golkar sebagai representasi pemerintah memperoleh kemenangan mutlak di parlemen: 238 kursi ditambah dengan 100 kursi dari fraksi ABRI yang diangkat secara sepihak oleh pemerintah sendiri. PPP sendiri hanya mendapat 99 kursi lebih besar dibanding kursi yang didapat PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yakni 29 kursi. Namun, kemenangan itu tidak menjadikan posisi Islam politik sebagai rival negara jadi berhenti. Sidang Umum MPR 1978, pemerintah Orde Baru memasukan Aliran Kepercayaan dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Secara tegas, dinyatakan dalam P4 ini bahwa “Pancasila adalah jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang sakti.” Ketetapan MPR No. 11/1978 diprotes oleh kalangan Islam sebagai upaya mengkerdilkan peran politik mereka. Pada 20 Maret 1978, di Jakarta terjadi demonstrasi menentang ketetapan itu dan berakhir dengan ditangkapnya ratusan aktivis Islam oleh pihak militer. Sementara itu, seiring upaya deislamisasi di tingkat kehidupan politik formil, pemerintah (lagi-lagi lewat kekuatan intelijen) terus berusaha melukiskan citra Islam sebagai kekuatan teror lewat berbagai gerakan-gerakan radikal seperti Komando Jihad dan gerakan Jamaah Imran. Kebijakan represif ini bahkan berimbas kepada kehidupan berislam di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Salah satunya adalah pelarangan mengenakan jilbab bagi siswi-siswi Islam di berbagai sekolah.





















