Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ma Changqing dan Islamofobia di Cina
RUPANYA, esai Profesor Beijing Foreign Studies University Xue Qingguo berjudul “ Ta’ammalāt haul al-Taṭarruf al-Dīnī wa al-Islāmūfūbiyā fī al-Ṣīn ” (Refleksi tentang Ekstremisme Agama dan Islamophobia di Cina) di harian Al-Hayat terbitan 30 Agustus 2017 yang menyatakan “beberapa tahun belakangan Islamophobia tengah mempunyai pangsa pasar yang cukup signifikan di Cina,” adalah benar adanya.
- Pesan Bung Karno dan Rujak Diponegoro
KENDATI upacara pembukaan Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018 baru akan diresmikan 18 Agustus 2018 mendatang, beberapa cabang yang mengikutsertakan para atlet kita sudah digulirkan. Antara lain, sepakbola putra sejak 10 Agustus, bola tangan sejak 13 Agustus, dan basket 5x5. Mereka berlaga dengan semangat penuh dengan diiringi pesan dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sepekan lalu, 8 Agustus 2018. Harapan terbesarnya, 938 atlet yang akan turun di 40 cabang mampu merealisasikan target minimal posisi 10 besar di klasemen akhir. "Perolehan 16 medali emas adalah minimal, artinya kalau tambah banyak boleh, kurang satu pun tidak boleh, jelas itu," tegas Jokowi di halaman Istana Negara, Jakarta sebagaimana dikutip laman Kementerian Pemuda dan Olahraga, Rabu 8 Agustus 2018. Selain prestasi, mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu juga berpesan, para atlet agar selalu menjaga nama baik Indonesia sebagai tuan rumah. “Saya titip, kebanggaan negeri ini ada di saudara-saudara seluruh atlet yang akan berlaga dan yakinlah 263 juta masyarakat Indonesia berada di belakang dan mendoakan saudara-saudara semuanya untuk berkumandangnya lagu Indonesia Raya dan berkibarnya Merah-Putih setelah adanya kemenangan setelah saudara bertanding. Jagalah nama baik negara bertandinglah secara sehat dan fair . Selamat berjuang," tutup Jokowi sekaligus secara resmi melepas Kontingen Indonesia. Pesan presiden senada dengan yang disampaikan Presiden Sukarno kala melepas para atlet nasional jelang Asian Games II 1954 di Manila, 30 April 1954. Presiden Joko Widodo di tengah-tengah para atlet kontingen Indonesia di Asian Games 2018. (kemenpora.go.id) Pesan Bung Karno Meneladani Diponegoro Bung Karno berharap para atlet yang diberangkatkan bisa menjaga nama baik negara dengan sikap sportif dan kesederhanaan. Mengingat, di tahun itu republik belum lama lepas dari rongrongan Belanda namun masih direcoki Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di beberapa daerah. Bung Karno tak ingin ada sikap dari para atlet yang menimbulkan kecemburuan di tengah rakyat yang tengah susah. Terlebih, mereka diberi sejumlah fasilitas khusus demi menunjang prestasi. “Agar kamu di Manila nanti dapat memberi prestasimu sebaik-baiknya. Baik individueel , maupun team , ya bahkan prestasi sebagai putera Indonesia. Jangan lupa, bahwa keberangkatanmu ke Manila itu oleh rakyat Indonesia dicantumkan pengharapan sebesar-besarnya kepadamu akan hasilnya pertandingan. Hendaknyalah nanti kamu dalam berjuang di Manila dengan bekal batin perjuangan,” cetus Bung Karno, dikutip majalah Aneka Nomor 7 Tahun V, 1 Mei 1954. Bung Karno menyampaikan pesan itu di hadapan kontingen di Training Centre, Jakarta. Bung Besar menggarisbawahi sikap kesederhanaan yang dianalogikannya dengan sikap sederhana Pangeran Diponegoro sebelum berperang. “Bahwa kita harus menjadi bangsa yang ekonomis weerbaar, militair weerbaar, dan geestelijk weerbaar . Saya tekankan, bahwa bangsa Indoensia mencapai kebesarannya justru di dalam kesederhanaan. Suatu contoh, Pangeran Diponegoro tidak pernah makan bestik. Tiap-tiap hari pagi beliau hanya minum kopi dicampur air santan kelapa. Dan jika Pangeran Diponegoro hendak ke medan peperangan, lebih dulu makan rujak. Dengan suam-suam ‘ kepedesan ’, Diponegoro menyerbu kubu-kubu pertahanan Belanda,” imbuhnya lagi. Presiden Sukarno (kanan) memberi pesan dan wejangan kepada kontingen Indonesia jelang Asian Games 1954 di Training Centre, Jakarta. (MajalahAneka, Nomor 7 Tahun V) Kemunduran Prestasi Sayang, meski sudah dihujani pesan nan menggebu-gebu sampai mengungkit-ungkit kebiasaan Pangeran Diponegoro, para atlet Indonesia gagal memberi hasil lebih baik sebelumnya, di Asian Games I New Delhi 1951. Di New Delhi, tulis buku Olahraga dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 terbitan Ditjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2004, para pejuang olahraga Indonesia mampu membawa pulang lima medali perunggu. Masing-masing dari Sudarmojo pada nomor lompat tinggi putra, Hendarsin pada lompat jangkit, Bram Matulessy pada lempar lembing, Annie Salamun pada lempar cakram putri, dan tim relay 400 meter putri (Darwati, Lie Djing Nio, Triwulan, Surjowati). Di Asian Games II 1954 Manila, perolehan medali Indonesia justru menukik. Salah satu ofisial kontingen kala itu, Mangomban Ferdinand Siregar dalam biografinya, M. F. Siregar: Matahari Olahraga Indonesia, berkisah nahwa Indonesia hanya mampu pulang dengan tiga medali perunggu. Ketiganya dipetik Lukman Saketi dari cabang menembak nomor rapid fire pistol putra, Tio Ging Hwie dari angkat besi kelas ringan putra, dan tim polo air putra. Posisi Indonesia di klasemen medali akhir kian terpuruk karena jumlah negara peserta bertambah. Di Asian Games I dengan sembilan negara kontestan, Indonesia bercokol di posisi tujuh, di bawah Ceylon (kini Sri Lanka), Filipina, Iran, tuan rumah India, dan Jepang sebagai juara umum. Sementara di Asian Games II, Indonesia berkubang di posisi 12 dari 13 negara peserta.*
- Bermula dari Institusi sampai Tumbuhnya Kesadaran Sehat Jiwa
DALAM perjalanannya ke Bogor pada 1894, psikiater Belanda, JW Hofmann terkejut mendapati seorang pribumi penderita gangguan jiwa dipasung. Merasa iba dan tergugah, Hoffmann menulis artikel protes berjudul “Krankzinnigenverpleging in Neerlandsch-Indie” (Perawatan jiwa di Hindia Belanda) yang dimuat De Indische Gids. Hoffmann memprotes pemerintah Hindia Belanda yang tidak menyediakan layanan kesehatan mental untuk pribumi. Tulisan Hoffmann membuka perdebatan di kalangan psikiater Belanda. Hoffmann mendesak pemerintah Hindia menyedikan layanan kesehatan mental untuk pribumi. “Saya mohon untuk melakukan sesuatu pada situasi menyedihkan yang dialami pribumi yang menderita gangguan jiwa…. Tetapi lakukan dengan cara yang murah dan praktis,” tulis Hoffmann. Bermula di Belanda Reformasi perawatan penyakit mental di Belanda dimulai pada 1830-an. Hal itu bermula dari perkembangan perawatan kesehatan jiwa di Eropa. Ahli medis Perancis Philippe Pinel menulis tentang kemungkinan-kemungkinan menyembuhkan pasien gangguan jiwa di rumahsakit jiwa (RSJ) dan berupaya mengembalikannya ke masyarakat pada 1801. Sebelumnya, perawatan kesehatan jiwa Eropa pada akhir abad ke-18 memperlakukan pasien dengan cara dirantai. Pinel berhasil mengubah cara itu di RSJ Bicêtre dan RSJ Salpêtrière. Ia mengganti rantai dengan jaket pengikat. Sementara di Eropa perawatan kesehatan jiwa terus dibahas lebih serius, di negeri jajahan perawatan pasien kesehatan jiwa masih diserahkan pada rumahsakit militer. Kebijakan untuk merawat pasien gangguan jiwa di RS militer tak lepas dari cara Profesor Brugman dari Universitas Leiden yang menjalankan layanan medis militer di Belanda pada 1795. Gubernur Jenderal HW Daendels meniru cara Profesor Brugman dengan menyerahkan semua urusan pengobatan, termasuk kesehatan mental, pada RS militer. Rumahsakit militer yang dibangun tahun 1832 menampung penderita gangguan jiwa dalam satu departemen kecil. Mayoritas pasien merupakan mantan prajurit Belanda, mereka kemungkinan terserang Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang banyak diderita tentara. Namun, makin hari makin banyak pasien yang berdatangan. Pada 1862, pemerintah kolonial mengadakan survei untuk mengetahui kondisi dan jumlah penderita gangguan jiwa di negeri jajahan. FH Bauer dan WM Smit, dua dokter yang dipasrahi tugas ini, menemukan 586 penderita gangguan jiwa parah sering mangamuk dan berpotensi membahayakan masyarakat. Dari jumlah itu, 252 di antaranya sudah dimasukkan ke rumahsakit militer di kota-kota besar. Laporan mereka tentang kondisi dan perlakuan orang-orang yang menderita gangguan jiwa di Hindia Belanda terbit pada 1862 dan membuat heboh di Belanda. Selain mengadakan survei, Bauer dan Smit juga berkunjung ke beberapa negara untuk melihat cara penanganan pasien gangguan jiwa. Keduanya menyarankan agar pemerintah Belanda bertanggung jawab atas penderita gangguan jiwa yang berbahaya. Namun, penderita gangguan jiwa yang tidak berbahaya tidak perlu ditanpung di layanan kesehatan jiwa. Hasil laporan Bauer dan Smit itu memuluskan keinginan para dokter untuk membangun layanan kesehatan mental khusus untuk orang Eropa yang tujuan utamanya menyediakan institusi lebih manusiawi dengan lebih banyak tempat tidur dan dipan. “Sesungguhnya, proyek memperbaiki layanan kesehatan jiwa di Hindia Belanda sejak mula memang untuk merestrukturisasinya sesuai kriteria internasional di zamannya. Dalam laporan Bauer dan Smit ini kita melihat fondasi kelahiran psikiatri modern di Indonesia,” tulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”. Pada 1881, pemerintah membuka layanan kesehatan jiwa pertama di Bogor dengan nama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg (kini Rumah Sakit dr. H Marzoeki Mahdi). Selaku penggagas, Bauer dan Smit memilih Bogor karena dianggap paling sesuai prinsip terapi rawat-inap penderita gangguan jiwa yang mesti diisolasi dari masyarakat: dekat dengan pusat kota, Batavia, tapi masih cukup asri dan terpencil. Meski tujuan utama pembentukan RSJ Bogor untuk merawat orang Eropa, pemerintah kolonial terpaksa mengubahnya setelah Hoffmann memprotes kebijakan tersebut lewat tulisan pada 1894. Tulisan Hoffman kembali membuat geger sebagaimana laporan Bauer dan Smit. Sejak tulisan Hoffmann itulah RSJ Bogor menerima pasien pribumi. Orang-orang pribumi yang sudah sadar akan kesehatan jiwa tak lagi mengira kelinglungan kerabat mereka disebabkan kesambet atau kesurupan. Mereka bisa memasrahkan kesehatan jiwa keluarga mereka pada pihak yang lebih ahli. Selain itu, pemerintah Belanda juga menampung secara cuma-cuma pribumi penderita gangguan jiwa yang membahayakan lingkungan. “Layanan kesehatan mental pertama kali dibangun pada 1881 dan terus berkembang setelahnya. Pada 1900-an, dengan Politik Etis, pembahasan tentang kesehatan jiwa menjadi jauh lebih vokal,” kata Sebastiaan Broere yang meneliti sejarah RSJ Magelang untuk tesisnya. Pada awal abad ke-20, dokter-dokter mengeluhkan makin banyaknya pasien gangguan jiwa baru sementara RSJ yang tersedia baru di Bogor. Bertambahnya jumlah pasien membuktikan bahwa kesadaran akan kesehatan jiwa makin meningkat di Hindia Belanda. Pemerintah lalu membangun beberapa RSJ baru, seperti di Malang (1902), Magelang (1912), dan Sabang (1922). Pada 1930-an, Belanda sudah memiliki empat layanan kesehatan jiwa di negeri jajahan. Seluruh RSJ ini, tulis Hans Pols dalam “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies”, bisa menampung sekira 9000 pasien. Sementara, di kota-kota besar lusinan klinik psikiatris berdiri, mempermudah akses orang-orang yang ingin berobat. Dekatnya akses pada layanan kesehatan mental berpengaruh besar pada tingkat kesadaran masyarakat sekitar. Hal ini juga menjelaskan data yang dihimpun Broere bahwa sebagian besar pasien RSJ Magelang datang dari kota-kota besar, seperti Surakarta, Yogyakarta, Magelang, dan Semarang. Sementara para penduduk kota sudah sadar kesehatan jiwa, mereka yang hidup di desa dan jauh dari layanan kesehatan mental masih harus merana dalam kurungan, juga pasung. “Penderita gangguan jiwa akan tetap dikurung atau dipasung di desanya kecuali institusi kesehatan mental berada di dekat situ,” tulis Broere dalam In and Out of Magelang Asylum.
- Merebut Kekuasaan Bersama Agamawan
RAJA Daha, Dandang Gendis memaksa para rohaniawan untuk menyembah padanya. Dia berkata pada para rohaniawan yang ada di seluruh Daha: “Wahai para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha. Apakah sebabnya tuan tidak menyembah kepadaku? Bukankah saya ini semata-mata Batara Guru?” katanya. “Tuanku, semenjak zaman dahulu tidak ada bujangga yang menyembah raja,” jawab para bujangga. Mereka lalu menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel. Kepada Ken Angrok, mereka menghamba. Itulah asal mulanya Tumapel tidak mau tunduk ke Daha berdasarkan pemberitaan di . Tak lama kemudian, Ken Angrok menjadi raja di Tumapel. Negaranya bernama Singhasari. Dinobatkan dengan nama Sri Rajasa sang Amurwabumi. Pentahbisannya disaksikan para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe. “Dia (Dandang Gendis, ) berkonflik dengan rohaniawan, sehingga mereka dirangkul oleh Angrok,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang. Dwi beranggapan Angrok cukup bisa membaca situasi dengan mencari sokongan dari para rohaniawan. Rohaniawan dinilai punya kekuatan. Pengikutnya loyal. “Padahal dirinya ada latar preman, tapi bisa masuk ke pemerintahan Tumapel menggulingkan Tunggul Ametung, dan menentang Daha dengan bantuan Brahmana, terutama Lohgawe,” lanjutnya. Angrok menikahi Ken Dedes juga bukan cuma perkara cinta. Dia mempertimbangkan kedudukan Mpu Purwa, agamawan dari Panawijen, yang sangat disegani. Kitab yang ditulis pada 1613 M itu juga berkisah soal rapat dewa di Gunung Lejar. Mereka kemudian sepakat kalau Angrok pantas dinobatkan sebagai raja di Jawa. Suwardono, sejarawan Malang, menjelaskan, hal ini bisa dimaknai sebagai pertemuan tokoh yang memiliki kedudukan luhur pada masa itu. Sejumlah brahmana, terutama Mpu Purwa dan Dang Hyang Lohgawe, bersatu untuk menggulingkan Tunggul Ametung. Dia adalah (setara camat sekarang) di Tumapel, salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. “Melalui ini, Ken Angrok mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya,” ujarnya. Agaknya yang dilakukan Angrok tak jauh berbeda dengan perpolitikan era sekarang. Menggandeng tokoh agamawan menjadi pilihan untuk mendapat dukungan. “Ini berulang. Polanya sama, walaupun detilnya beda,” kata Dwi. Pada masa Hindu-Buddha, kelas sosial agamawan berbeda dengan politisi. Agamawan menempati kelas tertinggi, Sementara pelaku pemerintahan dan militer berada di kelas Para Brahmana juga lebih banyak ditemui di luar keraton, yaitu di atau . Namun, bukan berarti mereka tak ada di dalam birokrasi pemerintahan. Posisi mereka sebagai penasihat raja. Mereka menjadi bagian dari “Sebenarnya bukan hanya kaum agamawan, keluarga raja yang bersangkutan, terutama yang senior juga tergabung dalam institusi itu,” kata Dwi. Para agamawan juga seringkali menjadi pembimbing calon raja. Contohnya, Airlangga yang melarikan diri dari keraton ke bukit Pucangan. Kini bukit itu ada di antara Lamongan dan Jombang. “Di situ, antara 1017-1019 M, Airlangga berada di lingkungan rohaniawan. Dalam Prasasti Pucangan dikatakan, di tempat itu hidup tiga penganut agamawan yang berbeda,” kata Dwi. Di sana, Airlangga mendapat perlindungan dan memperoleh pelajaran lahir dan batin. Para brahmana menyiapkannya menjadi penguasa yang tangguh. Dalam dia diibaratkan Arjuna yang menjadi pertapa. “Ini persis Lohgawe kepada Angrok. Dia juga berperan sebagai fasilitator, mediator, pemberi restu bagi Angrok agar bisa masuk ke lingkungan Akuwu Tumapel,” jelas Dwi. Airlangga pun kemudian dinobatkan sebagai Raja Kahuripan. Dia meneruskan kekuasaan Mataram Kuno yang melemah di era kekuasaan mertuanya, Dharmawangsa Teguh. Ketika itu, kekuasaan Mataram pecah menjadi kerajaan kecil. Airlangga dinobatkan oleh para brahmana. Menurut Dwi, kondisi itu menunjukkan, rohaniawan punya kekuatan tak sepele. Mereka mampu menyiapkan dan menobatkan seseorang menjadi penguasa. Bahkan di era konflik. “Ini menarik, melihat bagaimana komunitas agama mentahbiskan raja sekaligus menjadi legitimator, pengabsah kekuasaan Airlangga. Otomatis ini di awal,” kata Dwi. Dukungan kaum agamawan di era konflik juga ditemukan pada masa Islam. Pada 1742, terjadi pemberontakan oleh orang-orang Tionghoa. Pakubuwono II pun tersingkir dari keratonnya di Kartasura. Sang susuhunan kemudian melarikan diri ke Pondok Tegalsari. Di sana dia mendapat perlindungan dari Kyai Hasan besari. “Bekas santri di sana yang sudah jadi kyai di daerah lain kemudian dikerahkan ke Tegalsari. Mereka ikut mem- posisi PB II, mengembalikannya ke takhta yang pindah ke Surakarta," jelas Dwi. Kisah-kisah dari masa lalu itu menunjukkan, jika mendapat dukungan rohaniawan yang disegani, otomatis didapatkan pula dukungan pengikutnya. Kekuataannya sangat besar, karena didasari keyakinan. Kayakinan ini kemudian membentuk jejaring yang saling mendukung. Bukan cuma pesantren, kata Dwi, pada masa Hindu Buddha pun punya jaringan kuat. Contoh nyatanya, di Malang pada masa lalu terdapat sebuah bernama kasturi. Pada perkembangannya, mandala ini berjejaring menjadi lima mandala kasturi. "Ada jejaring. Ini yang secara politik diperhitungkan," ujar Dwi. Para rohaniawan di masa lalu dipercaya pula punya kedudukan yang netral. Terutama rohaniawan yang tinggal di luar keraton. “Karenanya tak mudah mendapat dukungan rohaniawan. Mereka bukan tanpa pertimbangan, mengkalkulasi dulu apakah orang-orang itu amanah atau tidak,” ujar Dwi. Dukungan dari kaum agamawan sejak masa lalu selalu dianggap penting. Terutama pada saat konflik juga perebutan takhta. “Siapa yang dapat dari agamawan, mendapat semacam kemudahan untuk menang,” tegas Dwi.
- Para Penyemir Cilik
Siang terik di Masjid Bank Indonesia, Jakarta Pusat. Jemaah baru saja kelar tunaikan salat Jumat. Sebagian besar beranjak mengambil sepatunya dari penitipan. Tapi ada segelintir orang masih duduk di sekitar penitipan. Mereka menunggu sepatunya kelar disemir agar lebih mengilap. Semua penyemir sepatu berusia dewasa. Tak ada anak-anak. Berbeda sekali jika membandingkan awal kehadiran penyemir sepatu di Indonesia. Tukang semir sepatu telah merentangi pelbagai zaman. Bukti awal keberadaan pekerjaan ini berasal dari sebuah foto lawas karya Louis Daguerre, penemu kamera, pada 1838. Foto tersebut menangkap suasana Boulevard du Temple, Paris, Prancis. Di pojok kiri foto, dua orang kelihatan melakukan aktivitas. Orang pertama berdiri mengangkat salah satu kakinya ke sebuah meja pendek, sedangkan orang kedua terlihat menggosok sepatu orang pertama. Di belahan dunia lain, penyemir sepatu terekam dalam lukisan koleksi Connecticut Historical Society (CHS), Amerika Serikat. Lukisan memuat dua orang lelaki: kulit putih dan kulit hitam. Lelaki kulit putih berdiri memperhatikan lelaki kulit hitam yang duduk di sebuah kursi sembari memegang sikat dan sepatu bot. Menurut laman chs.org , lukisan itu peninggalan dekade 1850-an. Kerjaan Anak-Anak Penyemir sepatu tidak akan muncul tanpa perubahan pada cara orang membuat sepatu. Orang telah mengenal sepatu sejak 800 tahun sebelum masehi. Bahannya terbuat dari kulit hewan atau jaringan tanaman. Teknik pembuatannya masih sederhana. Hanya memotong bahan-bahan itu sesuai dengan anatomi kaki, lalu mengikatnya satu sama lain. Sepatu masa kuno ini tidak menutup seluruh punggung kaki. Pengetahuan mengenai kulit hewan dan jaringan pohon telah mengubah bentuk dan cara orang membuat sepatu. Orang mulai mengenal kulit hewan terbaik untuk pembuatan sepatu. Berikut pula dengan cara mengolahnya. Antara lain dengan penyamakan. Teknik penyamakan berkembang hingga abad ke-19 dan melahirkan berbagai jenis sepatu. Sepatu abad ke-19 mempunyai bentuk tertutup, dari kaki hingga betis. Tapi sepatu ini akan mempunyai bobot lebih berat jika terkena air. Maka orang membuat semir sepatu untuk menghambat air meresap ke sepatu. Muncullah kebiasaan menyemir dan jasa semir sepatu. Inilah gelombang pertama kehadiran tukang semir sepatu. Fungsi semir sepatu berubah setelah Perang Dunia I (1914-1919) di Eropa. Ia tak lagi sekadar menahan air, melainkan juga untuk mengilapkan sepatu. Para serdadu gemar menggunakan semir untuk sepatu botnya. Mereka tampak lebih berwibawa dengan bot yang mengilap. Ketika mereka berbaris masuk kota dengan bot yang mengilap, warga kota melihatnya dengan takzim. Semir pun menjembar ke kalangan sipil. Para pekerja kantoran di kota-kota besar Eropa tak mau ketinggalan tampil berwibawa. Jas dan kemeja dipadupadankan dengan celana pantalon hitam dan sepatu pantofel. Tapi kesibukan kerap mengambil waktu mereka untuk menyemir sendiri sepatu pantofelnya. Solusi termudah ialah menggunakan jasa tukang semir sepatu di jalanan. Gelandangan cilik di kota-kota besar Eropa dan Amerika Serikat memenuhi jalanan. Mereka turut membantu keluarganya untuk melewati masa-masa sulit selama resesi ekonomi melanda dunia pada 1920-an, dari Amerika Serikat sampai Eropa. Untuk mengais picis, mereka menawarkan jasa semir sepatu kepada para pekerja. Inilah gelombang kedua kemunculan tukang semir sepatu. Desakan Ekonomi Di Indonesia kehadiran tukang semir sepatu belum dapat dilacak secara pasti. Tapi penggunaan sepatu pantofel di kalangan penduduk Hindia Belanda 1930-an dan resesi ekonomi telah memungkinkan adanya jejak kehadiran tukang semir sepatu. Rudolf Mrazek menyebut masa itu sebagai masa ‘kenecisan berpakaian’. Banyak kaum pergerakan nasional berpakaian selayaknya orang Eropa. “Memakai celana dan sepatu, jas dan dasi, dan idealnya sebuah topi serta kumis,” tulis Mrazek dalam “Kenecisan Indonesia: Politik Pakaian pada Akhir Masa Kolonial 1893-1942” termuat di Outward Appearances . Saat bersamaan, resesi ekonomi turut melanda Hindia Belanda. John Ingleson dalam Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial menyatakan bahwa resesi telah menambah jumlah gelandangan dari segala rentang usia di kota-kota Hindia Belanda. Tak hanya gelandangan tempatan, tetapi juga gelandangan berbangsa Eropa. Gelandangan anak-anak biasanya akan mencoba kerja apa saja untuk bertahan hidup, seperti menjadi loper koran atau penyemir sepatu. Hal ini jamak terjadi pada gelandangan anak-anak di negeri Barat. Ini berarti anak-anak gelandangan di Hindia Belanda berpeluang menjadi serupa dengan anak-anak gelandangan di negeri Barat. Kehadiran tukang semir sepatu pada masa Indonesia modern mempunyai jejak lebih terang. Misalnya, kisah penyemir sepatu di kota terungkap dalam Selecta¸ No. 39, tahun 1960. Anak-anak gelandangan menjual jasa menyemir sepatu di seputaran Pasar Senen, Jakarta. Usianya beragam, dari sembilan sampai belasan tahun. “Bila pagi telah tiba, tanpa mandi dan cuci muka, mereka mulai mencari uang pembeli sesuap nasi, menyandang peti kecil berisi semir sepatu dari berbagai warna, serta sikat dan kain lapnya,” tulis Selecta . Penyemir cilik mengawasi setiap sepatu lelaki dewasa pengunjung warung makan. Jika melihat sepatu pengunjung ada debu atau kotoran, mereka lekas bertanya. “Semir, Pak?” Mereka pasang tarif cukup murah untuk sekali semir. Antara 2 sampai 3 rupiah, setara 2.000 rupiah pada masa sekarang. Tapi kadang kala pengguna jasa semir sepatu memberi mereka lebihan. Kebanyakan penyemir cilik itu berasal dari desa di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebagian besar mereka masih punya orangtua, tapi jarang berkontak. Beberapa anak malah sudah tak punya orangtua lagi. Kedatangan penyemir cilik ini berawal dari ajakan keluarga atau orang dekat. “Mulanya untuk berjualan kecil-kecilan, tapi karena mereka tidak tahu caranya berdagang, lebih suka membelanjakan uang tak menentu, akhirnya rugi, dan menjadilah penggosok sepatu,” lanjut Selecta . Usai bekerja menyemir sepatu, penyemir cilik mengisi waktu dengan bercengkerama, menonton bioskop, merokok, dan mengunjungi kompleks pelacuran. Mereka enggan mengisi waktu dengan bersekolah. “Malas, Pak!” kata mereka. Cari uang lebih enak. Kehidupan bebas para penyemir cilik mengejutkan pemerintah daerah. Apalagi Jakarta akan menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Apa jadinya kalau atlet dan turis asing melihat dan mengetahui kehidupan mereka? Maka pemerintah daerah merazia para penyemir cilik dan mengirimnya ke penampungan-penampungan sementara, sebab penampungan anak telantar di Pulau Edam telah penuh. Tapi razia-razia itu tak pernah menghapus kehadiran penyemir cilik. Mereka terus ada dan berlipat ganda. Bahkan menjadi lebih terorganisasi. Pada dekade 1990-an, orang dewasa meminjamkan kotak semir dan perlengkapannya kepada anak-anak gelandangan di Pasar Senen. Orang dewasa juga melindungi mereka dari gangguan petugas keamanan pasar atau anak-anak gelandangan lainnya. “Sebagai imbalan mereka harus membayar sewa sebesar 600 rupiah per hari,” tulis Prisma , No 5, Mei 1992. Jumlah penyemir cilik di Pasar Senen mencapai 30-40. “Tubuh mereka rata-rata kurus, tidak terpelihara serta badan mereka tampak jarang tersentuh air sehingga kelihatan dekil,” lanjut Prisma . Mereka khawatir kena razia petugas, tapi seringkali mereka kabur dari penampungan dan bekerja lagi sebagai penyemir sepatu. Sekarang kehadiran anak-anak penyemir sepatu mulai jarang. Orang-orang dewasa telah menggantikan kerja mereka.
- Persekutuan Jenderal dan Pengusaha
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno resmi masuk dalam bursa Pilpres 2019 mendatang. Keduanya berasal dari latar belakang berbeda. Prabowo, pendiri Partai Gerindra mantan perwira tinggi TNI AD berpangkat Letnan Jenderal. Dia pernah menjabat Danjen Kopassus dan Panglima Kostrad. Sementara Sandiaga Uno, merintis kariernya dari jalur wira usaha dan tersohor sebagai salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Sandi dikabarkan mengucurkan dana besar sebagai mahar mendampingi Prabowo menjadi wakil presiden. Relasi demikian memang lazim. Jenderal dan pengusaha kerap bersekutu. Sebelumnya mantan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo pun disebut-sebut punya kedekatan dengan pengusaha kawakan Tommy Winata. Di masa lalu, perkoncoan antara jenderal dan pengusaha juga jamak terjadi. Ada semacam ketergantungan di antara mereka. Saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Motifnya pun bermacam-macam. Mulai dari sekedar pergaulan pribadi yang terintis sedari lama, urusan kocek, hingga lobi-lobi politik. Masih aktif ataupun purnawirawan, di mata pengusaha, jenderal tetap punya daya jual. Yang penting ada embel-embel “jenderal”. Sahabat Lekat Jenderal Abdul Haris Nasution punya sahabat lekat dari kalangan pengusaha bernama Ujeng Suwargana. Hubungan antara keduanya terbina sejak sama-sama merintis karier militer di Divisi Siliwangi. Memasuki zaman Republik, Nasution dan Ujeng bersimpang jalan. Ujeng yang bernama asli Oey Eng Soe beralih profesi menjadi pengusaha percetakan di Bandung. Nasution sendiri tetap pada dinas ketentaraan. Keduanya bersua lagi tatkala Nasution telah menjadi orang nomor satu TNI AD. Memasuki tahun 1960, gelombang nasionalisasi melanda perusahaan Belanda yang beroperasi Indonesia. Nasution yang menjabat kepala staf AD berperan penting mengerahkan tentara dalam aksi nasionalisasi. Sang jenderal tak lupa pada kawan lama. Ujeng ikut meraup untung karena berkesempatan mengakuisisi saham beberapa perusahaan penerbitan Belanda yang ada di Bandung. Nama Ujeng pun melejit sebagai juragan penerbitan. Jenderal Nasution dan Ujeng Suwargana. Nasution kerap pula menggunakan jasa Ujeng untuk misi yang disebutnya “Diplomasi TNI”. Dalam operasi pembebasan Irian Barat misalnya. Ujeng yang punya jaringan mancanegara diutus Nasution untuk melobi tokoh berpengaruh di negeri Belanda. Tujuannya menggiring opini yang berujung kritik terhadap kebijakan pemerintah Belanda atas Irian Barat. Keterlibatan Ujeng untuk operasi rahasia semacam ini menjadikan dirinya sebagai duta tentara di luar negeri. Tak heran bila Ujeng oleh sebagian kalangan mendapat cap khusus: agen intelijen kelas kakap. “Sampai ia meninggal,” kata Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, “belum pernah pemerintah dapat memberikan tanda penghargaan kepadanya atas jasa-jasa ini yang sepenuhnya atas biaya sendiri.” Keluh-kesah itu diutarakan Nasution di depan jenazah Ujeng Suwargana yang wafat pada 7 Mei 1979. Jenderal Pedagang Soeharto yang kelak menjadi presiden Indonesia kedua pun cukup akrab dengan pengusaha. Bila hubungan Nasution didasarkan tali pertemanan, maka Soeharto murni kepentingan ekonomi. Persinggungan dengan cukong bermula ketika Soeharto menjabat Panglima Divisi Diponegoro. Di Semarang, Soeharto beserta para perwiranya menjalankan pabrik, melakukan perdagangan barter, hingga penyelundupan. Soeharto mengelola sendiri keuntungan yang diperoleh untuk komandonya tanpa izin atau sepengetahuan pemerintah pusat. Aktivitas gelap ini santer terdengar sampai ke Mabes TNI di Jakarta. “Akhirnya, kegiatan bisnis Soeharto mulai menuai tuduhan korupsi,” tulis sejarawan Robert Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik . Pada 1959, Soeharto dicopot dari kedudukan sebagai panglima. Masih beruntung Soeharto terhindar dari pengadilan mahkamah militer. Sebagai hukuman, dia “disekolahkan” ke Seskoad di Bandung. Di kalangan perwira tinggi saat itu, nama Soeharto lekat dengan predikat buruk: jenderal pedagang. Bob Hasan, Liem Sioe Liong, dan Jenderal Soeharto. Dalam kasus Soeharto tersebutlah dua orang pengusaha: Liem Sioe Liong alias Sudono Salim dan Bob Hasan. “Mereka memasok apa saja yang diperlukan oleh Komandan Diponegoro untuk tentaranya, dari beras, seragam, hingga obat-obatan,” tulis George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan. Selanjutnya diantara mereka terjalin kesepakatan khusus pembagian hasil yang sama-sama menguntungkan. Perkoncoan dengan Liem dan Bob Hasan bahkan berlanjut di masa kepresiden Soeharto. Keduanya merupakan sosok andalan Soeharto untuk memberikan saran dan masukan, termasuk soal duit. Imbalannya, Liem Sioe Liong mendapat hak istimewa memonopoli penggilingan terigu dan cengkeh. Lambat laun, bisnis Liem merambah ke berbagai industri, mulai dari pangan, otomotif, media, hingga perbankan. “Sahabat karib Presiden Soeharto, bankir Liem Sioe Liong, adalah cukongnya para cukong,” tulis sejarawan Amerika spesialis kajian Asia Stearling Seagrave dalam Sepak Terjang Para Taipan . Sementara Bob Hasan menjadi satu-satunya menteri keturunan Tionghoa yang diangkat Soeharto ketika berada di penghujung kepemimpinannya. “Bob Hasan adalah kroni juga mitra golf, bisnis, dan teman sejak Soeharto menjabat Gubernur Militer di Jawa Tengah,” ungkap Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998. Nilai Jual Jenderal Soeharto piawai menjalin koneksi dengan para taipan. Namun dia resah juga bila mengetahui anak buahnya ada yang ikutan kompak bersama pengusaha. Orang itu adalah Jenderal Benny Moerdani, tangan kanan Soeharto yang menjabat Panglima ABRI. Mantan jurnalis senior dan pakar politik-militer Salim Said mencatat, Soeharto mengungkapkan kejengkelannya kepada kolega lama Jenderal Soemitro tentang kegiatan bisnis orang-orang di sekitar Benny. Sang presiden menyebut nama Setiawan Djody dan Robby Sumampow alias Robby Kethek. Ketika Soemitro mengonfirmasi keluhan Soeharto, Benny membela diri. Menurut Benny, dia tak bisa mencegah pengusaha berbisnis. “Mereka bukan pejabat,” kata Benny. Jenderal Benny Moerdani dan Robby Sumampouw alias Robby Kethek. Kendati bukan pejabat, Soeharto dan lingkaran dalamnya tahu Robby Kethek berbisnis lewat fasilitas dari Benny, terutama di Timor Timur. Robby dan Benny memang sohib. Keduanya telah kenal lama dan sama-sama berasal dari Solo. “Adalah Benny yang meminta Robby berbisnis di Timor Timur agar kehidupan perekonomian di wilayah yang baru diakuisisi itu bisa digerakkan. Begitu konon alasan Benny melibatkan Robby berbisnis di Timor Timur,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto . Benny hanyalah segelintir jenderal yang dijadikan alat pendongkrak kepentingan bisnis pengusaha. Di era Orde Baru, tercatat cukup banyak jenderal yang bekerja sama dalam korporasi milik taipan. Kebanyakan dari mereka adalah jenderal pensiunan. Posisi empuk diberikan seperti presiden komisaris, presiden direktur, atau sebatas pemegang saham. Menurut laporan khusus majalah Tiara No. 48, 15—28 Maret 1992 dalam artikel bertajuk “Kesibukan Para Jenderal Purnawirawan” ditariknya para jenderal purnabakti itu ke berbagai perusahaan lantaran keunggulan mereka yang tak bisa ditandingi orang sipil. Keunggulan yang dimaksud misalnya, ketegasan mengambil keputusan, kemampuan akses, hingga kekayaan relasi baik di kalangan birokrat maupun militer. Kualifikasi itu jelas dibutuhkan perusahaan dan diapresiasi dengan harga tinggi. “Dengan demikian, meski tak lagi mengenakan seragam militer lengkap dengan tanda pangkat, mereka tetap merasa tak pernah kehilangan kebanggaan,” tulis Tiara . “Karena setiap hari – meski tak ada keharusan – mereka tetap bisa ngantor , punya salary dan fasilitas lumayan, yang membuatnya berpenampilan parlente dengan dasi yang selalu mencekik di lehernya.”
- Penelitian tentang Kejahatan Perang Belanda di Indonesia
PADA 1 Agustus lalu, Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas menyelenggarakan sebuah seminar di Jakarta yang membahas keabsahan riset tentang Perang Kemerdekaan 1945-1950 oleh pemerintah Belanda. Dalam sebuah surat pernyataan, para pembahas di seminar itu mengutarakan kekhawatiran mereka perihal dukungan pemerintah Belanda yang sejatinya diberikan sebagai sebuah upaya untuk menutup-nutupi kejahatan perang yang dilakukan Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Mereka juga mencurigai bahwa kerja sama yang terjalin dengan para peneliti sejarah dari Universitas Gadjah Mada dalam proyek ini akan dimanfaatkan sebagai cara untuk melegitimasi upaya pemerintah Belanda tersebut. Hal ini bukan hanya menimbulkan penafsiran yang sangat keliru, namun juga mengancam integritas para rekan peneliti kami dari Indonesia. Pada 2016 pemerintah Belanda memutuskan untuk membiayai sebuah proyek penelitian tentang kekerasan militer selama Perang Kemerdekaan (1945-1950) dan meminta tiga lembaga penelitian, yakni KITLV, NIOD, dan NIMH, untuk menyusun sebuah usulan penelitian. Usulan penelitian yang didesain oleh ketiga lembaga tersebut kemudian disetujui Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, sebelum menerima usulan tersebut, telah terlebih dahulu meminta pertimbangan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang menyatakan bahwa beliau tidak berkeberatan dengan diselenggarakannya penelitian tersebut. Pemerintah Belanda menegaskan bahwa ketiga lembaga yang disebut di atas akan menyelenggarakan penelitian ini secara mandiri, tanpa campur tangan apapun dari pemerintah. KITLV dan NIOD adalah dua lembaga yang bernaung di bawah KNAW, Akademi Ilmu Pengetahuan Belanda. Sementara NIMH adalah bagian dari Kementerian Pertahanan Belanda. Namun, NIMH adalah lembaga yang independen yang dalam setiap penyelenggaraan penelitiannya selalu menerbitkan temuan-temuannya sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku. Kemandirian ini berarti bahwa NIMH tidak dibayangi oleh ketentuan-ketentuan kementerian. Selain daripada itu, sebuah dewan penasihat ilmiah dibentuk dan ditugasi untuk mengukur keilmiahan usulan-usulan penelitian serta hasil-hasil yang dibuahkan dari proyek ini. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh sejarawan Remy Limpach dan Gert Oostindie menemukan bahwa personel militer Belanda menggunakan kekerasan yang berlebihan, dalam skala yang sangat besar selama perang kemerdekaan Indonesia berlangsung. Pada saat yang bersamaan, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab berkait dengan sifat, cakupan, dan penyebab kekerasan tersebut. Dengan penelitian ini mungkin saja kasus-kasus baru bisa turut terungkap. Kami memandang penting juga untuk mengkaji secara sistematis perihal jalannya pengadilan militer, badan-badan intelijen, juga periode Bersiap mengingat kajian terhadap ketiga hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan menggunakan sumber-sumber lintas negara dan beragam kesaksian serta dengan bekerja sama dengan para peneliti dari Indonesia, kami berharap dapat memperoleh temuan baru yang lebih menyegarkan. Termasuk berkenaan dengan pertanyaan mengapa terlalu banyak waktu terlewatkan tanpa pernah dilakukan penelitian mendalam tentang ledakan kekerasan ini. KITLV memimpin langsung sub-penelitian Bersiap dan Studi Regional. Bersiap adalah masa yang singkat namun penuh dengan kekerasan di awal Perang Kemerdekaan. Oleh sebab itu, hal ini menjadi bagian integral dalam proyek penelitian ini. Bersiap juga penting dalam konteks sejarah Belanda, khususnya dalam pertaliannya dengan tuntutan kejelasan tentang periode ini dari kalangan masyarakat Hindia di Belanda. Lebih jauh lagi, Bersiap adalah sebuah periode yang rumit yang dipenuhi dengan ketaksaan dan mitos. Riset ini akan menempatkan periode ini dalam konteks yang lebih luas tentang kekosongan kekuasaan dan kekerasan yang dilakukan di masa-masa awal Revolusi di Indonesia, dan dalam konteks perkembangan politik yang telah mulai tumbuh di masyarakat kolonial sebelum kedatangan Jepang. Studi Regional melibatkan kerjasama dengan beberapa sejarawan dari Indonesia dan Belanda dengan fokus kewilayahan. Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada memainkan peran yang paling penting dalam sub-proyek penelitian ini. Universitas Gadjah Mada telah membentuk kelompok peneliti Indonesia yang terdiri dari peneliti yang berasal dari beberapa universitas yang ada di Indonesia dari berbagai daerah. Kelompok peneliti ini akan bekerja sama dengan peneliti dari Belanda. Para peneliti Indonesia akan membangun skema penelitian mereka sendiri. Mereka akan menerbitkan secara mandiri temuan-temuan penelitian mereka dan juga akan menyumbang beragam artikel yang akan dikumpulkan bersama tulisan-tulisan rekan peneliti Belanda mereka. Hasil dari penelitian ini utamanya ditujukan bagi masyarakat Belanda, tapi juga terbuka untuk masyarakat keilmuan dan para pembaca yang tertarik dengan penelitian ini. Nilai tambah dari kerja sama antara peneliti Belanda dan Indonesia ini adalah bahwa sumber dan sudut pandang dapat diperbandingkan, serta dialog tentang periode 1945 sampai 1950 dapat diperbincangkan. Lagipula, Perang Kemerdekaan Indonesia tidak lain tidak bukan adalah bagian dari sejarah Belanda, dan kami memandangnya sebagai sebuah tanggung jawab kami untuk menyelidiki kekerasan yang dilakukan militer Belanda terhadap rakyat Indonesia selama periode itu. Bertukar pikiran secara intensif antara sejarawan Indonesia dan Belanda sangatlah penting guna membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang periode ini. Saling bertukar dan membandingkan sumber rujukan (semacam arsip, publikasi, dan kesaksian) diharapkan dapat membuahkan sebuah materi empiris terbaru. Ini sangat penting guna terciptanya analisis yang berimbang tentang periode dekolonisasi yang sangat rumit. Informasi tentang proyek Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950: https://www.ind45-50.org/id dan https://www.ind45-50.org/id/faqpertanyaan-yang-sering-diajukan Penulis adalah kepala peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), juga profesor sejarah Indonesia di Universitas Leiden. Artikel ini telah diterbitkan di Jakarta Post, 7 Agustus 2018.
- Medali yang Dirindukan
EUFORIA puluhan ribu suporter timnas Indonesia U-23 di Stadion Patriot Candrabaga, Kota Bekasi, 12 Agustus 2018 itu sangat terasa. Harapan munculnya prestasi tinggi dari cabang sepakbola putra melesat ke angkasa. Meski pembukaan resminya baru akan bergulir 18 Agustus, cabang sepakbola Asian Games XVIII Jakarta-Palembang sudah dimulai sejak 10 Agustus. Tuan rumah yang dibesut pelatih asal Spanyol, Luis Milla, memulai laga perdana di Grup A dengan kemenangan 4-0 atas Taiwan (China Taipei). Stefano Lilipaly yang mencetak dua gol, muncul jadi pahlawan baru. Namanya begitu dipuja sampai dijadikan chant-chant para suporter. Pemain blasteran Belanda-Indonesia itu bersama rekan-rekannya tentu bisa tampil menggebu lagi di laga kedua kontra Palestina, Rabu (15/8/2018) di venue yang sama. Pun di laga-laga berikutnya kontra Laos dan Hong Kong, untuk meneruskan mimpi lolos grup agar bisa berbicara banyak di fase 16 besar. Kalaupun mimpi merebut medali emas dianggap terlalu tinggi, target mencapai babak empat besar (semifinal) sebagaimana di Asian Games 1954 dan 1986 jadi target yang cukup logis. Pelatih Luis Milla pun, seperti dimuat laman resmi AFC, 24 Juli 2018, punya harapan dan target demikian: minimal sampai empat besar. Jelas, langkah timnas takkan mudah. Masih ada macan-macan Asia macam Jepang dan Korea Selatan di grup lain dan bukan tidak mungkin akan jadi batu sandungan di 16 besar seandainya timnas lolos dari fase grup. “Dulu juga Jepang dan Korea levelnya sudah kelas dunia. Sementara kita tidak diperhitungkan,” kenang Robby Darwis, eks pemain timnas Asian Games 1986, kepada Historia. Robby Darwis, Legenda Persib Bandung & Timnas Indonesia di Asian Games 1986 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Tampil di rumah sendiri diharapkan jadi ekstra stimulan bagi tim Garuda Muda. “Saya pribadi optimis karena memang kita sekarang sebagai tuan rumah. Support penonton juga pasti besar. Lihat materi pemain sekarang juga lebih bagus. Walau di beberapa laga ujicoba kurang bagus, tapi saya optimis. Minimal bisa masuk empat besar-lah, seperti yang kita dulu pernah capai. Kalau lebih ya syukur, kalau enggak ya minimal empat besar,” imbuhnya. Medali Berharga dan Skandal Senayan Bicara prestasi di lapangan hijau Asian Games, timnas pernah membawa pulang sekeping medali perunggu di Asian Games III Tokyo 1958. Prestasi itu meningkat pesat. Di Asian Games I di New Delhi 1951, Indonesia hanya sampai perempatfinal dan Asian Games II Manila 1954 hanya semifinal. Di Asian Games I, sistemnya masih sistem gugur, Indonesia hanya tampil sekali dan langsung kalah oleh tuan rumah tiga gol tanpa balas, 5 Maret 1951. Tapi Maulwi Saelan dkk. pulang dengan kemenangan di laga hiburan kontra Birma (kini Myanmar), 9 Maret 1951 di Delhi. “Tim Indonesia berhasil mengalahkan Birma dengan kedudukan 4-1. Meskipun pertandingan bukan dalam rangka Asian Games I, hanya pertandingan persahabatan, itu jadi hiburan dari kegetiran tersingkir dari pesta olahraga bangsa-bangsa Asia itu,” ungkap catatan Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 terbitan Ditjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004. Adapun di Asian Games II di Manila, Indonesia sempat jadi juara Grup C dengan dua kemenangan atas Jepang dan India. Sialnya, Ramang cs. justru kalah 2-4 dari Republic of China (kini Taiwan) di Rizal Memorial Stadium, 7 Mei 1954. Di laga perebutan perunggu pun Indonesia keok 5-4 dari Birma. Indonesia baru bisa merebut medali (perunggu) pertama di Asian Games III. Di penyisihan Grup B, Indonesia jadi juara grup dengan dua kemenangan atas India dan Birma. Di perempatfinal pun Indonesia mengandaskan Filipina 5-2. Namun, di semifinal Indonesia kalah 0-1 dari Republic of China. Untung mereka pulang dari Negeri Sakura dengan medali perunggu setelah sukses menekuk India 4-1 di laga perebutan juara tiga. Hasil yang sampai kini masih jadi medali satu-satunya dari cabang sepakbola itu jadi tonggak harapan untuk meraih prestasi lebih di Asian Games berikutnya di negeri sendiri. Di Asian Games IV 1962 di Jakarta, Wowo Sunaryo dkk. di bawah asuhan pelatih Antun ‘Toni’ Pogačnik digembleng sejak 1961 dengan menjalani sejumlah tur dan laga ujicoba. Timnas antara lain menjamu Yugoslavia Selection (kalah 2-3), Malmö FF dari Swedia (kalah 0-2), Petrolul dari Rumania (kalah 3-4), dan Thailand (menang 7-1). Sayang, menjelang sebelum Asian Games 1962 skandal pengaturan skor mencuat. Sepuluh pemain yang terlibat dicoret. Toni Pogačnik terpukul. “Kalau saja tidak terjadi suap-suapan, tim itu dapat mencapai standar internasional,” ujarnya, dimuat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982 . Dengan pemain “tambal-sulam” untuk menggantikan 10 pilar utama yang dipecat, timnas gagal lolos fase grup. Selebihnya, timnas melulu tanpa prestasi. Di Asian Games 1966 dan 1970, hanya mencapai perempatfinal. Pada edisi 1974, 1978, dan 1982 bahkan tak mengirimkan tim. Baru pada 1986 timnas ikut lagi. Robby Darwis dkk. mencapai semifinal. Di babak empat besar itu, Indonesia dibekuk tuan rumah Korea Selatan 0-4. Sementara di laga perebutan perunggu, digilas Kuwait 0-5. Di tiga Asian Games berikutnya (1990, 1994, 1998) Indonesia kembali tak ikut. Sejak aturan tim yang diperbolehkan tampil adalah tim U-23 diterapkan tahun 2002, Indonesia baru ikut cabang sepakbola lagi pada Asian Games 2006 di Doha. Lagi-lagi, Indonesia gagal menembus grup. Sementara di 2014, terhenti di babak 16 besar. Tahun ini, Indonesia kembali jadi tuan rumah dan ada harapan besar dari publik terhadap Stefano Lilipaly dkk. Mereka butuh doa dan dukungan ratusan juta rakyat Indonesia untuk mencapai target semifinal, atau mungkin medali yang dirindukan sejak 1958. “Kita mulai mimpi kita di Asian Games. Selalu berpikir positif. Selangkah demi selangkah. Yakinlah Indonesia!” kata Luis Milla membakar semangat via akun Twitter pribadinya, @Luismillacoach.
- Pertanda dari Gempa
PADA tahun saka memanah surya, dia lahir untuk menjadi narapati . Telah nampak tanda keluhurannya, bahkan selama dia ada dalam kandungan di Kahuripan. Saat dia lahir terjadilah gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh, dan halilintar yang menyambar-nyambar. Gunung Kampud pun bergemuruh, membunuh para durjana. Penjahat musnah dari negara. Itulah tanda Batara Girinata menjelma bagai raja besar. Terbukti selama dia bertakhta, seluruh Jawa tunduk pada perintahnya. Di balik kisah mitologis dalam Nagarakrtagama itu, Jawa memang berulang kali ditimpa gempa. Namun, bagi orang Jawa Kuno, bencana itu memiliki makna. Slamet Muljana dalam Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya menerjemahkan peristiwa yang dicatat Mpu Prapanca dalam karya monumentalnya itu sebagai kisah kelahiran Raja Hayam Wuruk. Peristiwa alam yang terjadi ditafsirkan sebagai isyarat keluhuran sang bayi. Seperti gempa bumi di Banupindah, hujan abu diikuti guruh dan halilintar. Segala isyarat kebesaran itu terlaksana setelah baginda dewasa dan memegang tampuk kepemimpinan. Kerajaan aman dan tenteram, bebas dari kejahatan. Slamet menerjemahkan kalimat tahun saka memanah surya sebagai petunjuk tahun terjadinya peristiwa yaitu pada 1256. Serat Pararaton juga memberitakan, setelah peristiwa Sadeng, terjadi gempa bumi di Banupindah pada 1256 Saka. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, mengatakan dari dua sumber tadi bisa dibilang pada masa lalu gempa dimaknai sebagai pertanda alam. Dalam hal ini, gempa bumi di Banupindah bisa jadi akibat dari meletusnya Gunung Kampud, nama kuno dari Gunung Kelud. Peristiwa vulkanik Gunung Kelud itu dikaitkan dengan lahirnya dan prestasi yang akan dicapai Hayam Wuruk. “Peristiwa vulkanis ini dimaknai sebagai ‘pertanda alam’ mengenai lahirnya seorang anak yang kelak menjadi narpati , nara (orang), pati (pemimpin). Artinya sang pemimpin,” ujar Dwi. Gempa juga ditafsirkan sebagai pertanda turunnya takdir dewata. Pararaton mencatat gempa terjadi ketika Ken Angrok mendatangi Gunung Lejar. Di sana para dewa tengah berdiskusi. “Lalu berbunyilah guntur disertai gempa bumi dan taufan serta hujan lebat terus menerus. Tampak pelangi di sebelah timur dan barat,” catat Pararaton. Angrok mendengar suara ribut, ramai gemuruh. Para dewa itu membicarakan siapa yang pantas memimpin Pulau Jawa. “Ketahuilah para dewa semua, adalah anakku, seorang manusia keturunan orang pangkur. Dialah yang akan memperkokoh Pulau Jawa,” kata Batara Guru. Mitologi Gempa Sementara itu, dalam mitologi Hindu, gempa terjadi akibat hewan-hewan penompang bumi berubah posisinya. Dwi berkisah, bumi dipercaya disangga oleh beberapa binatang mitologis: delapan ekor gajah raksasa yang berdiri di atas termpurung kura-kura, ular dengan tujuh kepalanya, babi hutan dengan gadingnya, dan lembu dengan tanduknya. Apabila di antara binatang mitologis itu berganti posisi, bumi yang ditopangnya akan bergoncang. Sementara budaya Jawa sangat terpengaruh budaya India. Kestabilan dunia amat tergantung pada dua ekor naga yang menjadi penjaga dan penyangga bumi. Naga Ananta (Anantaboga) yang berada di dalam perut bumi, bertugas sebagai penjaga bumi. Naga Sesa (Ananta Sesa atau Adi Sessa) yang menyelam ke dasar laut (patala), bertugas menyangga pertiwi. “Kedua naga inilah oleh orang Jawa acap disebut dengan nogo bumi ,” kata Dwi. Sekarang, orang Jawa menyebut gempa dengan lindu. Istilah ini sudah dipakai dalam bahasa Jawa Kuno maupun Jawa Tengahan, artinya bergetar, gempa bumi, lindu. Kata itu dijumpai dalam berbagai sumber kesusastraan masa Hindu-Buddha. Misalnya Adiparwa,kakawin Arjunawiwaha , Bharatayuddha , Bhomakawya, Sumanasantaka dan Kidung Sunda. Berdasarkan waktu penulisan naskah itu, kata lindu paling tidak telah dipakai sejak abad ke-11 M. “Kata kalindwan menunjuk pada kondisi tergoncang, terlanda gempa bumi. Istilah lindu dari bahasa Jawa ini pun diserap ke bahasa Indonesia, juga berarti gempa bumi. Bahasa Sunda kenal istilah lindu dan lindu gempa,” jelas Dwi. Kata lindu juga digunakan sebagai perumpamaan untuk menggambarkan kondisi yang berguncang. Ia bersinonim dengan kata reg . Akar kata reg menunjuk kepada gerakan menghentak, atau getaran bahkan goncangan hebat. “Mengingatkan pada istilah paregrek, perang besar yang terjadi pada akhir Majapahit antara Bhra Hyang Wisesa dan Bhra (Brhe) Wirabhumi yang diberitakan dalam Pararaton, ”kata Dwi. Gempa Pada Masa Lalu Meski mitologis, penggambaran peristiwa ini bisa jadi petunjuk bahwa gempa vulkanis akibat aktivitas Gunung Kelud mungkin saja pernah benar-benar terjadi. Menurut Dwi kerajaan-kerajaan yang beribukota di daerah Jawa Timur, seperti Kanjuruhan, Mataram setelah 929-1049 M, Pangjalu (Kadiri) dan Jenggala, Singhasari dan Majapahit, bukanlah tidak mungkin pernah terpapar gempa bumi. Paling tidak gempa vulkanis karena lokasinya tak jauh dari gunung berapi aktif seperti Semeru, Bromo, Kelud (Kampud), Welirang (Kumukus), dan Penanggungan (Pawitra). Serat Pararaton memberitakan meletusnya gunung pada 1233 Saka (1311 M), gemuruh lahar dingin ( guntur banyu pindah ) pada 1256 Saka (1334 M), munculnya gunung anyar (baru) pada 1307 Saka (1385 M), gunung meletus pada 1317 Saka (1395 M), gunung meletus pada 1343 Saka (1421 M) disusul kekurangan pangan pada 1348 Saka (1426 Masehi), gempa bumi ( palindu) pada 1372 Saka (1450 Masehi) disusul gunung meletus setahun kemudian, 1373 Saka (1451 M), gunung meletus pada 1384 Saka (1462 M), gunung lainnya meletus pada 1403 Saka (1481 M). “Rentetan peristiwa vulkanik, baik berupa gunung meletus, lahar dingin, muncul gunung baru, dan gempa bumi yang diberitakan dalam Pararaton tersebut sangat mungkin berlangsung pada Gunung Kampud (Kelud),” ujar Dwi. Nyatanya, gempa bumi yang tercatat dalam sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan Masa Hindu-Buddha kebanyakkan merupakan gempa vulkanik karena sebagian besar warga Jawa tinggal di pedalaman, bukan pesisiran. “Bukan artinya gempa tektonik tak pernah terjadi pada masa lalu,” lanjut Dwi. Pasca era Hindu-Buddha, peristiwa gempa di Jawa masih muncul dalam teks sastra. Jilid III Babad Betawi koleksi Pura Pakualaman mengisahkan gempa lantaran erupsi Gunung Merapi di Yogyakata. Gunung Merapi menyemburkan api yang dahsyat. Siang-malam bumi berguncang dan dihujani api. Kilat tak henti-hentinya menyambar. Seluruh warga lereng Merapi berusaha menyelamatkan diri. Gempa berikutnya terjadi pada 1867 sebagaimana diberitakan Babad Pakualaman karya permaisuri Paku Alam VI, Gusti Kanjeng Raden Ayu Adipati Paku Alam atau Siti Jaleka. Gempa berlangsung sekitar dua menit, menyebabkan tanah berjungkat, bagai diayun-ayun, bergetar bergoyang bagai hendak dicabut. Bumi dan langit seperti hendak menelungkup. Suara gemuruh di puncak gunung amat mengerikan. Ombak laut pun menjadi besar “kocak-kocak” hingga air dan ikannya terangkat ke daratan. Akibatnya, Kotagede dan Makam Imogiri mengalami kerusakan parah. Pendapa Pakualaman roboh. Beberapa bangunan dalam Beteng Keraton Yogyakarta juga runtuh. “Peritiwa kegempaan yang dicatat dalam Babad Pakualaman itu memberitakan dengan cukup rinci jalannya peristiwa beserta paparan dampak gempa yang terjadi di Yogyakarta pada waktu subuh,” kata Dwi. Karya itu juga menyebut gempa di Bantul yang mirip dengan gempa di Yogyakarta pada 2006. Bedanya, dalam babad korban tewas sebanyak 1.000 jiwa. Gubernur Jenderal Belanda di Semarang mengirimkan bantuan. Rakyat kemudian dianjurkan membangun rumahnya menggunakan atap daun tebu yang sudah kering atau alang-alang. “Tak terbantahkan bahwa catatan kuno itu merupakan catatan sejarah yang sangat berharga, bukan khayalan, bukan mitos,” tegas Dwi.
- Seputar Maskot-Maskot Asian Games (Bagian II – Habis)
UNTUK melengkapi Asian Games XVIII 2018 Jakarta-Palembang, panitia menghadirkan tiga karakter fauna khas dari tiga wilayah Indonesia: burung cendrawasih bernama Bhin Bhin, rusa Bawean bernama Atung, dan badak bercula satu bernama Kaka . Ketiganya merupakan hasil sayembara yang digulirkan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI sejak 2016. Sebelum ketiganya eksis,sebetulnya Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI Imam Nahrawi bersama Wakil Presiden RI Jusuf Kalla sudah pernah meluncurkan maskot bernama Drawa , 27 Desember 2015. Nama Drawa diambil dari kepanjangan “Cen-drawa-sih” karena desainnya terinspirasi dari burung cendrawasih merah ( Paradisaea Rubra ). Namun, penampakan Drawa, cendrawasih yang mengenakan kostum pencak silat, justru menuai kritik. Tak hanya dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan Kemenpora tapi juga dari para netizen Indonesia yang maha benar dengan segala postingan mereka. Akhirnya, Bekraf menawarkan kerjasama dengan Kemenpora untuk merevisi maskot. Bekraf lalu menggelar sayembara. Mengutip laman Bekraf, 29 Juli 2016, lantas muncullah desain tiga serangkai Bhin Bhin, Atung, dan Kaka. Ketiganya hasil karya Jefferson Edri dan rekan-rekannya dari Feat Studio. Bhin Bhin menggambarkan burung cendrawasih merah khas Papua, Atung berupa rusa Bawean ( Axis Kuhlii ), dan Kaka berupa badak Jawa ( Rhinoceros Sondaicus ). Ketiganya didesain untuk menggambarkan kemajemukan Indonesia dengan sentuhan yang lebih milenial. Tiga serangkai maskot Asian Games 2018 itu meneruskan “tradisi” maskot di Asian Games yang masing-masing punya kisah unik. Sebelumnya, sudah diulas beberapa kisah di balik maskot-maskot Asian Games dari 1982 hingga 1994. Berikut kisah-kisah maskot dari Asian Games 1998 hingga 2014: Asian Games 1998: Chai-yo Figur gajah kembali dimunculkan sebagai maskot Asian Games saat Bangkok, ibukota Thailand, jadi tuan rumah Asian Games ke-13 tahun 1998. Laiknya India, masyarakat Thailand juga mengkramatkan gajah. Namun dipilihnya gajah untuk maskot bukan semata karena keramatnya hewan itu. Pada 1998, sebagian besar kawasan Asia masih terkena krisis moneter yang bermula dari Thailand pada 1997. “Pengalaman Thailand terkait krisis disalurkan pada simbol populer berupa gajah. Setelah krisis berlalu, figur-figur gajah selalu diberitakan, bahkan jadi inspirasi beberapa pihak untuk digunakan sebagai tema pameran seni. Oleh karena itu maskot yang dipilIh untuk Asian Games 1998 adalah seekor gajah yang kemudian dinamai Chai-yo,” ungkap Phasuk Phongphaichit dan Christopher John Baker dalam Thailand’s Crisis . Nama Chai-yo sendiri merupakan bahasa lokal yang berarti kegembiraan, kesuksesan, persatuan, dan kebahagiaan. Kata itu sesuai harapan mereka dalam upayanya untuk bangkit dan jadi tuan rumah yang sukses. Karakter Chai-yoyang dibuat oleh tim BAGOC (Panitia Pelaksana Asian Games Bangkok) digambarkan mengenakan kaus berlogo resmi Asian Games 1998 dan selalu tersenyum dengan gestur menyambut para partisipan Asian Games. Asian Games 2002: Duria Sebagai ikon kebanggaan Busan, burung camar dipilih sebagai maskot ketika Busan menjadi tuan rumah Asian Games XIV 2002. Burung camar maskot itu diberi nama Duria. “Nama Duria artinya ‘Anda dan Kita Bersama-sama’ dalam bahasa Korea dan mengekspresikan gagasan Asian Games yang mempromosikan persatuan kemitraan antarbangsa-bangsa Asia,” tulis Suratkabar Korea Herald , 13 Januari 2001. Duria digambarkan bukan sedang terbang, melainkan sedang berlari. Dua warna yang mempercantik figur Duria, putih dan hitam juga punya makna tersendiri. Situs BAGOC (panitia penyelenggara Asian Games Busan) memaparkan, warna hitam di sayapnya menyimbolkan kebudayaan tradisional Korea dan warna putih di tubuhnya merepresentasikan citra semangat yang kuat dan harapan besar terhadap Asia di awal abad ke-21. Asian Games 2006: Orry Doha sebagai tuan rumah Asian Games XV 2006 mempromosikan maskot berupa fauna yang menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) terancam punah: Oryx atau kiang Arab ( Oryx Leucoryx ). Mengutip laman resmi Dewan Olimpiade Asia (OCA), maskot yang dinamai Orry ini menyimbolkan semangat Asian Games berupa komitmen, antusiasme, respek, perdamaian, dan kegembiraan. “Maskot ini turut mempromosikan kebudayaan (Qatar) sekaligus merayakan perbedaan,” cetus Dirjen DAGOC (panitia Asian Games) Abdulla Khalid al-Qahtani, dikutip Tamra Orr dalam Cultures of the World: Qatar . Asian Games 2010: A Xiang, A He, A Ru, A Yi dan Le Yangyang “Kota Para Kambing”. Begitulah Guangzhou, kota penyelenggara Asian Games XVI 2010, dijuluki. Tak heran bila maskot yang dipromosikan GAGOC (panitia Asian Games Guangzhou) berupa kambing berjumlah lima ekor (empat kambing kecil dan seekor kambing dewasa). Laman resmi GAGOC menyebutkan, kelimanya diberi nama A Xiang, A He, A Ru, A Yi, dan Le Yangyang. Bila semuanya dirangkaikan, mengandung pesan perdamaian dan semangat Asian Games berupa harmoni, keberuntungan, dan kebahagiaan. Inspirasi desain kelima kambing itu tak lepas dari cerita rakyat seribu tahun lalu, “Legenda Lima Kambing”, yang mengisahkan petualangan dewa-dewa khayangan menjelajah dengan menunggangi lima kambing berlainan warna. Asian Games 2014: Barame, Chumuro, dan Vichuon. Asian Games 2014: Barame, Chumuro, dan Vichuon. Mengingat perhelatannya digulirkan di kota pelabuhan, Incheon, penyelenggara menghadirkan maskot berupa anjing laut tutul ( Phoca Largha ). Bukan satu, melainkan tiga anjing laut yang digambarkan sebagai tiga bersaudara bernama Barame, Chumuro, dan Vichuon. Ketiga maskot ini sebelumnya sudah digunakan pada Asian Indoor-Martial Arts Games 2013 yang juga dihelat di Incheon. Mengutip korea.net , 2 September 2014, masing-masing karakter namanya dari bahasa Korea yang berarti pencerahan, angin, dan tarian. Panitia penyelenggara (IAGOC) berharap dengan ketiga maskot ini pesan-pesan perdamaian dan harmoni. “Memilih satwa ini sebagai maskot diharapkan jadi upaya signifikan untuk membawa pesan perdamaian dengan menurunkan tensi di Semenanjung Korea dan konflik-konflik di area-area yang jadi sengketa,” tulis pernyataan IAGOC.
- Kebaya Encim, Busana Tradisional Betawi yang Melintasi Zaman
SIAPA bilang busana tradisional ketinggalan zaman dan kaku? Dengan pemaknaan ulang dan kreativitas, busana tradisional selalu aktual dan luwes. Begitu menurut Dyah Wara, antropolog jebolan Universitas Indonesia, dan Intan Soekotjo, perempuan muda penyanyi keroncong, pada diskusi seputar “Sejarah Kebaya Encim” dalam Festival Betawi Hari Ini di Art:1 New Museum, Jakarta Pusat (11/08/2018). Dyah mengatakan busana tradisional tidak selalu ajeg. Ia mengalami ubah-suai motif dan penggunaan seiring kondisi zaman. Hal demikian terjadi pada perkembangan kebaya encim, busana tradisional Betawi. Kebaya encim muncul sebagai bentuk akulturasi kebudayaan Betawi, Melayu, Tionghoa, dan Belanda pada abad ke-19 . “Sebutan aslinya adalah kebaya nyonya,” kata Dyah. Sebutan nyonya mengacu pada kebanyakan penggunanya, yaitu para nyonya pembesar dari kalangan atas, baik penduduk tempatan maupun Belanda. Kebaya nyonya memiliki bentuk khas. Blus dengan sudut melancip dari bagian pinggang sampai ke paha, tetapi agak sedikit landai pada bagian belakang. Kerahnya menyerupai huruf V. Terdapat renda-renda pada sejumlah bagian kebaya untuk menambah kesan elegan. Harga kebaya nyonya cukup mahal bagi sebagian besar perempuan tempatan. “Pemakaian kebaya nyonya semula juga terbatas pada peristiwa penting atau hari raya,” lanjut Dyah. Perempuan Tionghoa kemudian berperan memassalkan penggunaan kebaya nyonya. Penggunaan massal telah mengubah harga kebaya menjadi lebih terjangkau oleh banyak perempuan. Nama kebaya nyonya pun menjelma kebaya encim. “Kata encim berasal dari bahasa Hokkian, suku Tionghoa paling dominan di Batavia. Dan kemudian istilah itu langgeng dipakai untuk menyebut kebaya jenis ini,” kata Dyah. Perempuan Tionghoa mengkreasi ulang warna dan motif kebaya. Mereka menghindari warna putih. Sebab dalam pandangan orang Tionghoa, warna putih bermakna duka. Mereka menggantinya dengan warna merah dan emas, lambang keberuntungan dan kejayaan. Motif khas Tionghoa seperti burung Phoenix dan Merak mulai hadir memperkaya kebaya. “Burung Phoenix melambangkan keagungan dan kejayaan, sedangkan merak berarti kemakmuran dan kebahagiaan,” terang Dyah. Perubahan kebaya encim menyentuh pula waktu penggunaannya. Ia tak lagi sebatas muncul dalam acara resmi dan hari raya, tetapi juga hadir dalam keseharian sampai sekarang. Salah satu penggunanya ialah Intan Soekotjo. Intan gemar memakai kebaya encim untuk aktivitas sehari-hari. Dia memilih kebaya berukuran agak longgar demi memudahkan gerak. Motifnya berupa bunga dan warnanya tidak terlalu mencolok. Intan memadupadankan kebaya dengan kain berwarna terang sebatas lutut. Alas kakinya berupa sepatu sneakers model terbaru. Dia tampak tetap anggun dan cantik dengan kombinasi busana tradisional dengan modern. Intan mengaku modifikasi kebaya ala generasi milenial sempat membuat risih ibunya, Sundari Soekotjo, penyanyi keroncong legendaris. Namun, dia berhasil meyakinkan ibunya bahwa anak muda perlu sesuatu yang segar pada busana tradisional tanpa meninggalkan makna filosofisnya. “Saya ingin kebaya dapat dimengerti dan dinikmati oleh kalangan anak-anak muda milenial,” kata Intan. Dan karena itu, anak muda harus memperoleh kesempatan untuk memaknai dan mengkreasi ulang kebaya sesuai dengan tren kekinian. Untuk mengatasi ketegangan antara kaum muda dan orang tua terhadap perubahan busana tradisional, Intan berbagi jurus ampuh. “Komunikasi antara kaum tua dengan kaum muda menjadi kunci dalam pelestarian khazanah tradisional kita. Khususnya kepada generasi muda, hal ini menjadi penting,” ungkap Intan. Intan menyarankan generasi muda agar berpikir agak tinggi untuk menggapai cara pikir generasi tua. Sebaliknya, dia juga meminta generasi tua untuk turut sedikit rendah hati memahami cara pikir generasi muda. “Dari situ nanti akan ketemu pemaknaan kedua generasi, akan tercipta harmoni,” tutur Intan. Festival Betawi Hari Ini berupaya menggapai maksud tersebut. Chaka Priambudi, anggota panitia festival dan founder Lantun Orchestra, mengatakan bahwa festival ini menjadi salah satu cara bagi generasi muda mengenal kebudayaan Betawi. Didukung oleh Djarum Foundation, Festival Betawi Hari Ini juga menghadirkan pementasan tari lenggang nyai dan pertunjukan musik tradisi oleh Lantun Orchestra. Semuanya kental dengan sentuhan modernitas dan selera anak muda, namun tetap berusaha mempertahankan makna hakiki kebudayaan tradisi.
- Cerita di Balik Pasangan SBY-JK di Pilpres 2004
PASANGAN capres-cawapres telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum pada 10 Agustus 2018. Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin berhadapan dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Penentuan cawapres ini cukup mengejutkan. Tentu menarik bila kita mengetahui cerita di balik penentuan pasangan itu. Seperti halnya dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) pada Pilpres 2004. Dalam biografi terbaru, Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden karya Robert Adhi Ksp, terungkap bagaimana SBY diusulkan menjadi capres dan JK sebagai cawapres. Suatu ketika di tahun 2003, Sofjan Wanandi selaku ketua Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menjadi pembicara dalam Musyawarah Nasional Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) di Hotel Hard Rock, Bali. Pembicara lain adalah SBY yang menjabat menteri koordinator politik dan keamanan (menkopolkam). Sofjan mengenalnya sejak menjabat menteri pertambangan dan energi pada 1999. “Bagaimana saudara-saudara kalau kita jadikan SBY presiden?” tanya Sofjan. Banyak anggota HKI berteriak, “Setujuuu.” SBY tersenyum. Dia kemudian menulis di secarik kertas kecil: “Sdr. Sofjan, apakah Anda serius?” Sofjan menulis jawabannya juga pada kertas kecil: “Serius, Pak.” Setelah kembali ke Jakarta, Sofjan menemui SBY di kantor Menkopolkam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. SBY kembali bertanya, “Sdr. Sofjan, saudara mengusulkan saya menjadi presiden. Apakah saudara serius? Bukankah saya tidak punya apa-apa.” “Saya serius, tapi dengan syarat wakil presiden harus berasal dari kalangan pengusaha,” kata Sofjan. Sofjan menawarkan dua nama pengusaha: Ketua Kadin Aburizal Bakrie (Ical) atau Menko Kesra Jusuf Kalla. “Kalau Pak SBY mau pilih pengusaha,” kata Sofjan, “saya akan galang dana dari pengusaha untuk mendukung Pak SBY.” Sofjan kemudian mengatur pertemuan SBY dengan Ical. Setelah tiga kali pertemuan, Ical menolak menjadi cawapres karena merasa partainya, Golkar lebih besar dari Demokrat, partai baru yang didirikan SBY. Ical juga akan maju menjadi capres. Namun, dalam konvensi Partai Golkar, dia kalah oleh Wiranto. Kandidat lain yang kalah, Prabowo Subianto mendirikan partai baru, Gerindra, dan Surya Paloh mendirikan Partai NasDem. Wiranto berpasangan dengan Salahuddin Wahid di Pilpres 2004. Setelah Ical menolak, Sofjan beralih ke JK. Ternyata, JK juga menolak menjadi cawapres. Alasannya, JK mengatakan, “Pak Sofjan, saya tidak mau. Dia susah ambil keputusan.” “Kalla tidak ingin berpasangan dengan SBY yang dinilainya lemah dan tidak mampu mengambil keputusan segera,” kata Sofjan. Belakangan, Sofjan tahu kalau JK ingin menjadi cawapres Megawati Sukarnoputri. Namun, pertemuan JK dan Mega tak membuahkan hasil. “Jusuf Kalla berpikir, Megawati sebagai calon presiden harus lebih dulu memintanya menjadi wakil presiden. Namun, sesuai kultur Jawa, Megawati sebagai perempuan menunggu dipinang,” kata Sofjan. Megawati memilih Ketua PBNU K.H. Hasyim Muzadi di Pilpres 2004. JK akhirnya bersedia menjadi cawapres SBY dengan perjanjian tertulis tentang pembagian tugas dengan SBY. Karena mendukung SBY-JK, Sofjan “berkelahi” dengan abangnya, Jusuf Wanandi, yang mendukung Megawati-Hasyim Muzadi. Mereka tak berbicara selama tiga bulan sampai didamaikan oleh ibunya, Katrina, ketika liburan keluarga ke Tiongkok. Pilpres 2004 diikuti lima pasang. Karena tak ada yang memperoleh suara lebih dari 50%, putaran kedua mempertemukan SBY-JK dan Megawati-Hasyim Muzadi. SBY-JK terpilih menjadi presiden dan wakil presiden dengan raihan suara 60,62%. SBY dan JK berpisah pada Pilpres 2009. SBY berpasangan dengan Boediono sedangkan JK sebagai capres berpasangan dengan Wiranto. SBY-Boediono keluar sebagai pemenang dengan suara 60,80%. Pada Pilpres 2014, Sofjan kembali memainkan peran memasangkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dengan JK. Jokowi-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. “Sofjan tidak hanya mengusulkan, tetapi juga mengajak teman-temannya di Apindo untuk mendukung kami,” kata JK. Sebelumnya, Sofjan dan JK yang mengusulkan Jokowi kepada Megawati agar walikota Solo itu menjadi calon gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Jokowi-Ahok terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Menurut Sofjan, kepentingan Apindo sebenarnya hanya berkaitan dengan soal upah pekerja. Pengusaha meminta agar kenaikan upah lebih reasonable agar tidak memberatkan dunia usaha. Soal itu, Jokowi meminta Ahok untuk menerima para pengusaha Apindo. Namun, Ahok mengatakan, “Saya tidak mau diatur.” “Itu menjadi pertemuan pertama saya sekaligus terakir dengan Ahok sebagai pejabat,” kata Sofjan. Pada Pilpres 2019, peluang JK menjadi cawapres tertutup. Hingga batas akhir pendaftaran capres-cawapres pada 10 Agustus 2018, Mahkamah Konstitusi belum menyidangkan uji materi Pasal 169 huruf N UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan Partai Perindo pada 10 Juli 2018. Perindo menganggap pasal ini membatasi jabatan cawapres sebanyak dua periode baik berturut-turut maupun tidak. Gugatan ini menjadi sorotan karena JK menjadi pihak terkait dalam uji materi tersebut.





















