Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jalan Panjang Sofia
Usai diberlakukannya Perjanjian Renville pada Januari 1948, Bandung yang ada dalam kontrol Negara Pasundan, situasinya agak tenang. Kondisi seperti itu membuat penduduknya bisa melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari, termasuk Sofia yang fokus mengelola restoran kecil milik sang mertua. Menjelang keluar dari dinas ketentaraan, Sofia sejatinya pernah dekat dengan seorang anggota FP Yogyakarta yang tengah ditugaskan di palagan Karawang-Bekasi. Namanya Wagino Dachrin Mochtar. Namun karena Sofia belum bisa lepas dari bayangan kematian Edi dan kondisi revolusi yang serba tak menentu, hubungan itu pun tak berlanjut. “Tak ada pikiran untuk menikah lagi saat itu,”ungkap Sofia kepada jurnalis Yoyo Dasrio. Masuk Dunia Film Suatu hari restoran Sofia kedatangan rombongan kru Fifi Young Taneelkunst, perusahaan pementasan sandiwara milik aktris kenamaan saat itu. Usai menikmati hidangan masakan di restoran Sofia, para kru rupanya cocok dan memutuskan untuk menjadikan tempat makan mereka selama mengadakan pentas di Bandung. Tak disangka Sofia, Nyoo Sheong Seng, suami dari Fifi Young, ternyata mengenal dirinya dan mengajak perempuan Bandung itu untuk ikut terlibat lagi dalam dunia akting bersama Fifi Young Taneelkunst. Gayung bersambut. Sofia mengamini permintaan Nyoo Sheong. Maka berangkatlah dia mengadu peruntungan ke Jakarta. Selama di Jakarta, dua kali Sofia ikut menjadi pemain sandiwara dan aktingnya banyak menuai pujian dari penonton. Saat merasa rindu kepada anak-anaknya dan berniat kembali ke Bandung, tetiba aktor kenamaan Ramli Rasjid mengajaknya untuk ikut bermain dalam Air Mata Mengalir di Tjitarum , sebuah film yang diproduksi oleh Tan Wong Bross dan Java Industrial Pictures. “Melihat penampilan Sofia selama bersama Fifi Young Taneelkunst, kedua perusahaan film itu sangat yakin dia bakal mampu menggantikan peran Miss Rukiah yang keburu meninggal dunia,” ujar Yoyo Dasrio. Desember 1948, Sofia mulai ikut syuting. Dalam film karya Roestam Palindih tersebut, dia beradu akting dengan Raden Endang, sang pemeran utama. Saat Air Mata Mengalir di Tjitarum edar tayang, kawan-kawan seperjuangan Sofia selama di Garut banyak yang kaget bercampur bangga. Termasuk salah satu sahabat almarhum suami pertamanya, H.E. Rustama. “Pak Rustama kaget waktu tahu Bu Sofia jadi bintang film dan merasa ikut terharu karena jalan cerita Air Mata Mengalir di Tjitarum mirip sekali dengan kisah hidup Bu Sofia dan Pak Edi,” kata Yoyo. Jadi Sutradara Air Mata Mengalir di Tjitarum melejitkan nama Sofia. Namanya semakin meroket saat dia diperistri oleh S. Waldy, lelaki Indo Jerman yang berprofesi sebagai sutradara sekaligus pelawak. Sejak itulah dia menambah namanya menjadi Sofia Waldy dan malang melintang di jagad perfilman nasional. Tercatat ratusan film yang sudah dibintanginya, di antaranya: Dendang Sajang, Mutiara Dalam Lumpur dan Badai Selatan . Tidak puas dengan hanya memiliki kemampuan berakting, Sofia merambah ke dunia penulisan skenario, tata kamera, proses dubbing, editing film dan penyutradaraan. Itu semua dilakukannya secara otodidak dan berhasil. Kali pertama menjadi sutradara dijalani oleh Sofia saat dipercaya menggarap film Badai Selatan pada 1960. Hasilnya, tiga tahun kemudian Badai Selatan berhasil menyabet penghargaan khusus bidang ketelitian penyutradaraan di Festival Film Berlin, Jerman dan menjadikan Sofia Waldy sebagai sutradara perempuan kedua Indonesia setelah Ratna Asmara yang membuat film Sedap Malam pada 1950. Badai Selatan pun ikut mempertemukan kembali Sofia dengan Wagino Dachrin Mochtar yang ternyata terjun pula ke dunia film. Namun karena posisi Sofia yang masih memiliki suami, hubungan mereka tak lebih sebagai sahabat dan mitra kerja semata. Tahun 1962, S.Waldy mangkat. Setahun kemudian, Wagino yang lebih dikenal sebagai W.D. Mochtar, melamar mantan pacarnya tersebut dan diterima. Sejak itulah Sofia yang memiliki dua anak menabalkan dirinya sebagai Nyonya W.D. Mochtar atau lebih dikenal sebagai Sofia W.D. Bersama W.D. Mochtar, Sofia lantas mendirikan Libra Musical Show (promotor pertunjukan para penyanyi kondang ke seluruh Indonesia) dan PT. Libra Film yang memproduksi film-film laga. Tercatat film-film yang pernah lahir dari Rahim PT. Libra Film adalah Si Bego Dari Muara Tjondet, Singa Betina Dari Marunda dan Si Bego Menumpas Kutjing Hitam . Tahun 1974, Libra Film berubah nama menjadi PT. Dirgahayu Film. Dari perusahaan ini diproduksi film-film seperti Menerjang Badai yang pernah menyabet gelar aktor harapan di perhelatan The Best Actor/Actrees yang diadakan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jakarta Raya Seksi Film. Dimakamkan di Kalibata Kiprah Sofia sebagai sutradara dan aktris kian bersinar dari waktu ke waktu. Ibarat kelapa, semakin tua santannya malah semakin baik. Banyak film yang dibintanginya diganjar dengan penghargaan, salah satunya Mutiara Dalam Lumpur yang mendapat penghargaan pemain watak terbaik bagi Sofia dalam Piala Citra 1973. Kendati sudah malang melintang di dunia film, tidak menjadikan Sofia melupakan masa-masa perjuangan revolusi yang pernah dilaluinya. Bahkan pada 1986, dia pernah berencana membuat film Gong Tengah Malam yang berkisah tentang masa-masa perjuangannya dahulu selama di Garut. Sayangnya, seniman pejuang itu keburu menghembuskan nafas terakhirnya akibat serangan jantung pada 22 Juli 1986. Dunia perfilman Indonesia pun berduka. Banyak yang kaget sekaligus bersedih saat mendengar bahwa Sofia W.D. telah mangkat. Buana Minggu edisi 27 Juli 1986 melukiskan bagaimana para handai tolan, rekan dan orang-orang yang bersimpati kepada Sofia berduyun-duyun mengantarkan jenazah sang seniman pejuang itu menuju persemayaman terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. “Tante Sofia harus dicatat sebagai tokoh perempuan yang memberikan andil besar dalam perkembangan perfilman nasional,” ujar aktor sekaligus pelawak Benyamin Sueb kepada Buana Minggu .
- Syarat Perempuan Bertahta
SIAPAPUN, baik perempuan maupun laki-laki bisa jadi raja, asalkan dia anak pertama dari seorang permaisuri. Sebaliknya, biarpun seorang raja memiliki anak laki-laki, jika bukan putra permaisuri, dia bukan pilihan pertama untuk menggantikan posisi raja. Begitulah sistem suksesi yang tak banyak berubah pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit. Hal ini berakar pada budaya yang tidak membedakan hak waris bagi laki-laki maupun perempuan di semua kalangan. “Sistem ini pun kemudian mempengaruhi konsep domestik dan publik di dalam masyarakat kala itu,” kata Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Puslit Arkenas saat diskusi yang diselenggarakan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) di Perpusnas, Jakarta. Sejak era Mataram Kuno sekira abad abad 8 M hingga Majapahit berakhir pada abad 16 M, tercatat ada 52 raja yang bertahta. Hanya tiga di antaranya yang merupakan perempuan. “Kita jangan bicara jumlah ya, tapi ada (perempuan yang menjadi raja, red. ),” lanjutnya. Dalam Perempuan Jawa, Titi menulis keberadaan ratu di Jawa sudah tercatat dalam berita Tiongkok. Sumber Dinasti Tang (618-906 M) mencatat pada 674 M rakyat Kerajaan Ho-ling (Jawa) menobatkan seorang perempuan bernama Hsi-mo (Sima) menjadi ratu. Sayangnya, kisah lebih lanjut mengenainya belum banyak diketahui. Berita lebih jelas muncul ketika masa Mataram Kuno. Sri Isanatunggawijaya adalah perempuan pertama yang menduduki singgasana raja. Sebelum menjadi ratu, dia merupakan putri mahkota. Isanatunggawijaya diketahui dari dua prasasti, Silet (1019 M) dan Pucangan (1041 M), dari masa pemerintahan Airlangga. Dia sendiri tak pernah mengeluarkan prasasti. Dalam dua prasasti itu, dia disebut sebagai putri Pu Sindok. Setelah Isanatunggawijaya, tak dijumpai lagi data tekstual soal raja perempuan. Hal ini terjadi sampai masa Majapahit. Pada masa Majapahit ada dua perempuan yang menjadi ratu. Mereka adalah Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddhani dan Dewi Suhita. Tribhuwanattunggadewi merupakan putri Kertarajasa dan Gayatri, putri bungsu Krtanagara. Dia menjadi ratu Majapahit pada 1328 M. Sang putri menggantikan kakaknya, Jayanegara yang meninggal tanpa keturunan. Sebelum menjadi ratu, dia dipercayai lungguh di Kahuripan. Karenanya dia dikenal pula sebagai Bhre Kahuripan. Adapun Dewi Suhita terkenal dengan sebutan Prabhu Stri atau raja perempuan. Keterangan mengenai dirinya hanya didapatkan dari teks Pararaton. Dewi Suhita bukanlah anak sulung, melainkan anak kedua dari Wikramawarddhana. Sebagai anak kedua sebenarnya dia tak berhak atas takhta. Namun kakaknya, Bhra Hyang Weka Sing Sukha atau Bhre Tumapel meninggal ketika masih kecil. Suhita pun menggantikannya menjadi ratu Majapahit pada 1429 hingga 1447 M. Ada juga kisah di mana putri mahkota tak naik takhta menjadi ratu. Namun, ini bukan terjadi hanya pada putri mahkota. Berdasarkan data tekstual, dari 16 orang yang diketahui pernah menjabat sebagai putra dan putri mahkota hanya delapan yang lanjut naik takhta. Enam yang batal adalah Uttejana, Pramodhawarddhani, Dyah Sahasra, Sanggramawijaya, Sri Kusumawarddhani, dan Dyah Sawitri Mahamisi. Alasannya macam-macam. Nama Uttejana muncul dalam Prasasti Kanjuruhan (760 M). Dia merupakan anak perempuan Gajayana yang memerintah Kerajaan Kanjuruhan di Malang sekarang. Namun, kerajaan ini tak bertahan lama karena menjadi bawahan Mataram Kuno. Adapun Pramodawarddhani tak menjadi ratu setelah menikah dengan Rakai Pikatan. Dia menyerahkan kekuasaannya pada sang suami. Hal ini nampak dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan sejak itu. Alih-alih olehnya, prasasti justru dikeluarkan oleh Rakai Pikatan sebagai Raja Mataram. Pada kasus Isanatunggawijaya, sebelum sang putri lahir sebenarnya Dyah Sahasra yang menjadi putra mahkota pada masa Pu Sindok. Awalnya, Dyah Sahasra disebut sebagai rakryan mapatih I hino . Kemudian, jabatannya turun menjadi rakryan mapatih I halu. “Mungkin jabatan putra mahkota disandang ketika Pu Sindok masih belum memiliki anak dari permaisuri,” kata Titi. Adapula kisah putri mahkota Dharmmawangsa Tguh yang menikah dengan Raja Airlangga, penguasa Kahuripan. Namun, bukan karena ini dia tak naik singgasana raja. Sebelum bertakhta, dia diperkirakan keburu tewas akibat peristiwa pralaya, yaitu penyerbuan Wurawari ke istana Dharwammawangsa pada awal abad 11 M . “Inilah salah satu sebab mengapa Airlangga hanya bergelar sebagai rakryan Mahamantri I halu meski telah dinobatkan menjadi raja, karena yang menyandang rakryan mahamantri I hino adalah putri Dharmmawangsa Tguh,” jelas Titi. Gagalnya seorang putri mahkota naik tahta ini terjadi juga pada Sanggramawijaya, putri sulung Raja Airlangga. Padahal jabatan putri mahkota telah dia genggam selama 16 tahun, sejak 1021-1037 M. Namun, pada 1037 M sang putri mengundurkan diri dan menyerahkan kedudukannya pada Samarawijaya. Samarawijaya diduga merupakan putra Dharmmawangsa Tguh. Dia adalah adik putri mahkota Dharmmawangsa yang tewas dari peristiwa pralaya. Sepertinya, ketika peristiwa itu terjadi dia masih kecil. Samarawijaya kemudian menuntut haknya setelah dewasa. Ini kemudian berbuntut pada pembagian kerajaan menjadi dua oleh Airlangga. Pangjalu untuk keturunan Samarawijaya. Janggala untuk putra-putra Airlangga. “Pada kenyataannya perang saudara tetap terjadi, seperti yang dikatakan dalam Prasasti Garaman (1052 M),” ujar Titi. Selanjutnya Kusumawarddhani, putri mahkota pada masa Kerajaan Majapahit. Dia bukan putri sulung Hayam Wuruk sebagaimana dibilang Prasasti Bunur B (1367 M). Namun, dia lahir dari permaisuri. Karenanya dia diangkat sebagai putri mahkota. Kendati demikian setelah menikah dengan sepupunya, Wikramawarddhana, dia tak lanjut menjadi ratu, melainkan suaminya yang dimahkotai. Soal alasannya, sama dengan yang terjadi pada Pramodhawarddhani, tidak diketahui dengan pasti. Apakah mereka menganggap dirinya tidak mampu, sehingga memberikan haknya kepada suami mereka. Ataukah di bawah tekanan suami, mereka merelakan takhta yang menjadi haknya. “Sayangnya, sejauh ini data tekstual belum bisa menjawab pertanyaan itu,” jawab Titi. Sementara Dyah Sawitri Mahamisi yang disebut dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M) tak menjadi ratu meski anak sulung. Alih-alih dirinya, Singhawikramawarddhana yang kemudian meneruskan tampuk pemerintahan Bhre Wengker. Padahal, menurut Prasasti Trowulan III Singhawikramawarddhana adalah putra bungsu Bhre Wengker. “Diperkirakan Dyah Sawitri Mahamisi telah meninggal sebelum ditahbiskan menjadi ratu,” lanjut Titi. Titi pun lalu menilai, kenyataannya selama berabad-abad yang lalu sebenarnya tak ada batasan khusus yang bisa mencegah perempuan untuk duduk di singgasana sebagai penguasa kerajaan. Kalaupun kemudian terlihat kalau Majapahit lebih banyak memunculkan raja perempuan, itu karena kebetulan nama mereka yang ada di urutan suksesi pemerintahan. “Perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang sama, yang penting dia anak pertama permaisuri. Sudah itu saja, dan tentunya juga tergantung pada kemauan,” tegasnya.
- Demo Rusuh Tolak Malaysia
Di depan kantor Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, massa-rakyat meneriakkan “Hidup Sukarno!”. Aksi pada paruh pertama 1960-an itu merupakan bentuk dukungan kepada sikap Presiden Sukarno yang menolak pendirian Federasi Malaysia oleh Inggris dan Malaya. Aksi itu merupakan puncak penolakan terhadap pendirian federasi Malaysia. Sebelumnya, 23 September 1963, di Yogyakarta Sukarno menyatakan “Ganyang Malaysia” untuk pertama kali. Aksi protes di Jakarta itu tapi tak mendapat respons baik. Duta Besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist tidak mau menerima para demonstran. Dia bahkan menunjukkan sikap tak mau kalah. Dia ingin menunjukkan Inggris tetap kukuh pada pendiriannya untuk mendukung Federasi Malaysia. Gilchrist meneriakkan nama Sekretaris Jenderal PBB, “Hidup U Thant!” sebagai balasan teriakan para demonstran. Tak hanya berhenti di situ, dia memerintahkan bawahannya Mayor Roderick Walker untuk memainkan alat musik tradisional Skotlandia bagpipe . Baskara T Wardaya dalam Indonesia melawan Amerika: Konflik PD 1953-1963 menjelaskan tujuan Gilchrist memerintahkan Walker untuk meniup bagpipe . Gilchrist ingin menunjukkan semangat Inggris lewat permainan alat musik itu juga menunjukkan selera humornya kepada massa demonstran. Mematuhi perintah atasannya, Wakler mondar-mandir di halaman kedutaan sambil meniup bagpipe seraya tak memedulikan para demonstran. Lengkingan suara bagpipe membakar amarah para demonstran. Mereka merasa diledek oleh cara Gilchrist menanggapi protes. Para demonstran lalu membakar mobil Rolls Royce milik Gilchrist. Mereka juga menerobos masuk kedutaan lalu menurunkan bendera Inggris. Sikap Gilchrist disesalkan Duta Besar AS Howard Jones sebagai ketua korps diplomatik di Jakarta. “Saya yakin Sir Andrew Gilchrist sekadar bercanda. Tetapi, rakyat Indonesia sama sekali tidak bisa menerima rasa humor Skotlandia,” katanya seperti dikutip Julious Pour dalam Benny: Tragedi SeorangLoyalis . Dua hari berselang, demonstrasi kembali dilaksanakan di depan Keduataan Inggris. Sekira 5000 massa yang terdiri atas pemuda, pelajar, dan massa rakyat, turut serta dalam demonstrasi. Massa membakar Gedung Kedutaan Besar Inggris sekaligus dua puluh satu perumahan stafnya. Polisi kewalahan menangani amukan massa. Staf Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris yang kala itu masih berada di kantor lari tunggang-langgang menyelamatkan diri dengan bersembunyi di tempat sementara. “Banyak dari staf Kedubes Inggris yang lari menyelamatkan diri dari amukan massa. Tetapi sepertinya Inggris menolak untuk diintimidasi. Di hadapan para wartawan, Gilchrist bahkan mengatakan, ‘ Please kill me before you bury me ’,” kata Baskara ketika dihubungi Historia . Tidak terima kantor kedutaan negara induknya diserang, massa di Kuala Lumpur juga melakukan demonstrasi. Mereka membalas perbuatan massa di Jakarta dengan menyerang kantor Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Rosihan Awar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 menulis pernyataan Presiden Sukarno terkait demo di Kantor Kedutaan Besar Inggris. Mengetahui ada tindakan kekerasan yang menyerang Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, pemerintah melalui Wakil Perdana Menteri Indonesia Dr. Johannes Leimena mengeluarkan pernyataan tidak dapat membenarkan demonstrasi, perusakan, dan pembakaran yang dilakukan para demonstran.
- Kartu Merah Bagi Kaum Hippies
Bali kerap disebut sebagai sorga terakhir di bumi. Di sana Anda bisa mereguk kedamaian, kebebasan, dan cinta. Hal itu pula yang mendorong kaum hippies dari Amerika, Eropa, dan Australia menyerbu Bali. Para hippies itu mengarus ke Bali sejak 1969. Sejak itu, kawasan Pantai Kuta yang tadinya sepi berubah jadi ramai. Orang berjemur di sepanjang pantai tanpa sehelai benang alias bugil. “Akibatnya, kawasan ini pun ‘dijajakan ke investor’ untuk dijadikan kawasan wisata pantai. Wisata kaum hippies,” tulis Putu Sastra Wingarta dalam Bali-ajeg . Bali kemudian menjadi destinasi wisata unggulan. Jumlah wisatawan meningkat. Pemerintah, yang tengah mengenjot sektor pariwisata, tentu senang melihat peningkatan jumlah wisatawan ke Bali. Namun, pemerintah juga kuatir terhadap dampak buruk dari kedatangan para hippies , yang mengganggu turis asing betulan dan meresahkan masyarakat. Ekspres edisi 25 Januari 1971 menulis, para hippies perempuan kerap membuat masalah. Mereka, bila memerlukan uang, dengan gampangnya meminta ditiduri siapapun, demi mengisi kocek. Kaum hippies juga dianggap membawa penyakit kelamin. Pemerintah pantas cemas. Terlebih, saat itu, pemerintah sedang gencar-gencarnya menata anak-anak muda untuk berpenampilan baik, tidak gondrong dan tidak mengikuti gaya hidup yang kebarat-baratan. Pemerintah daerah di Bali akhirnya ambil tindakan, mengeluarkan kebijakan mengusir hippies pada 1971. Kantor Dirjen Imigrasi di Jakarta jadi sibuk. Mereka kelimpungan mengurus laporan dan pemulangan para kaum hippies dari Bali. “Selain uang yang mereka bawa sedikit, sehingga tidak bisa membeli apa-apa di sini. Kadang-kadang mereka menjual tiketnya sehingga menyulitkan pemerintah yang harus mengurus pemulangannya,” kata Soebyakto, kepala Humas Dirjen Imigrasi, kepada Ekspres edisi 25 Februari 1972. Alih-alih pulang kampung, bule-bule asing tak bermodal itu hijrah ke Jawa. Pemerintah pusat pun meradang. Pada Agustus 1971 keluar instruksi bersama antara Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan/Ketua Sektor Laut Pariwisata, dan Kepala Kepolisian RI. Isinya, menolak masuknya dan keberadaan orang-orang yang disebut hippies ke dalam wilayah Indonesia. Di dalam instruksi bersama dinyatakan, yang disebut hippies adalah laki-laki atau perempuan yang berpakaian dan berdandan tak teratur dan tak sopan, kebiasaan hidup tak teratur, mengganggu perasaan susila, tak mempunyai penginapan yang pasti, serta mempergunakan dan membawa obat bius. Setelah itu, keluar instruksi kawat dari Dirjen Imigrasi kepada perwakilan-perwakilan mereka di dalam dan luar negeri untuk tak memperpanjang visa yang sudah diberikan , serta tak mengeluarkan visa baru kepada terduga kaum hippies yang mau masuk ke Indonesia. Namun, bila hanya dilihat dari ciri berpakaian, pemerintah mengalami kesulitan untuk mengenali mana kaum hippies asing atau yang betulan turis. Sebelum masuk ke Indonesia, mereka terkadang berpakaian rapi dan di pasport tertulis sebagai mahasiswa. “Tetapi setelah masuk ke Indonesia, ternyata mereka melakukan kegiatan seperti yang dilakukan hippies pada umumnya,” kata Soebyakto. Pihak imigrasi pernah teledor . Suatu hari, mereka menindak orang asing berambut gondrong di dekat lapangan Monas, Jakarta, mencabut pasportnya, dan memerintahkannya menghadap ke kantor imigrasi. “Yang disangka hippies itu, sebenarnya adalah seorang ahli musik dari Amerika,” kata Soebyakto, geleng-geleng kepala. Namun, dengan segala kebijakan pemerintah tadi, kaum hippies asing perlahan bisa ditangkal dan dideportasi.
- Sersan Mayor Bernama Sofia
Di Garut, Otang (88) masih ingat peristiwa itu. Sekira tahun 1947, sebuah pertunjukan drama berjudul Nantikan Aku di Seberang Jembatan Emas (karya Mayor Mohamad Rivai, seorang perwira Divisi Siliwangi) telah digelar. Rakyat pun menyambut secara antusias drama yang dimainkan oleh para prajurit tersebut. Itu terbukti dengan adanya permintaan waktu pertunjukan: dari hanya dua hari menjadi empat hari. “Orang berbondong-bondong datang ke lapangan Talun (yang menjadi tempat pertunjukan itu diadakan) hanya untuk cari hiburan di tengah perang,”ungkap eks anggota lasykar BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) Bandung itu. Salah satu pemain drama yang memukau dan menjadi buah bibir para penonton adalah seorang prajurit perempuan. Namanya Sersan Sofia, istri dari Kapten Edi Endang, seorang perwira di lingkungan Divisi Siliwangi wilayah Garut. Dalam pertunjukan tersebut, Sofia berperan sebagai ibu dari seorang pejuang. “Dia memang sudah memiliki watak sebagai seorang pemain pentas,” ujar Mohammad Rivai dalam biografinya Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tak aneh, karena penampilannya yang mengesankan itu, Sofia kemudian banyak dilirik para produser pementasan sandiwara. Bahkan pada Desember 1948, aktor Ramli Rasjid mengajaknya bergabung dengan Tan Wong Bros Film untuk ikut bermain dalam film yang berjudul Air Mata Mengalir di Tjitarum . Menurut majalah Varia edisi 7 November 1974, Sofia didapuk sebagai pengganti Miss Rukiah (aktris terkenal saat itu), yang keburu meninggal dunia. Seniman Pejuang Sofia dilahirkan di Bandung pada 12 Oktober 1924 dari pasangan Apandi dan Sumirah. Dalam wawancaranya dengan Buana Minggu pada 1982 (kemudian dikutip dalam obituarinya pada Buana Minggu edisi 27 Juli 1986), dia sendiri tak menyebut secara detail bagaimana masa kecilnya di kota kembang tersebut. Yang jelas, pada usia 14 tahun Sofia sudah menikah dengan seorang pemuda Bandung bernama Edi Endang. Walaupun sudah menikah di usia belia, itu tidak menjadikannya terhalang mewujudkan impiannya menjadi seorang seniman. Bakat seninya semakin terasah ketika era pendudukan militer Jepang, dia aktif di Irama Masa. Karirnya di kelompok seni Jakarta itu berawal dari hanya sebagai pembawa iklan hingga menjadi pemeran utama . 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka. Api revolusi pun menggelegak dalam setiap dada anak muda. Tak terkecuali di dalam dada Sofia dan Edi. Mereka coba mencari cara untuk bergabung dengan kelompok-kelompok pejuang. Sofia sendiri lantas memilih aktif bergerak dalam barisan propaganda di Bandung. Sembilan bulan setelah proklamasi, tokoh intel Indonesia Kolonel Zulkifli Lubis mendirikan Field Preparation (Persiapan Lapangan). Tanpa banyak pertimbangan, Sofia dan Edi langsung mendaftarkan diri sebagai anggota. Mereka diterima: Sofia diberi pangkat sersan mayor sedang Edi diberikan pangkat kapten. Field Preparation (FP) adalah salah satu unit khusus intelijen yang dibentuk oleh Zulkifli Lubis. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia , FP memiliki fungsi melaksanakan pengamatan dan mempersiapkan situasi lapangan dengan menggalang dukungan bagi kepentingan Republik di seluruh Indonesia. Anggotanya terdiri dari berbagai macam latar belakang profesi: dari alumni PETA (Pembela Tanah Air) hingga seniman. Bahkan FP pun menampung para eks narapidana “alumni” Nusakambangan. Kehilangan Suami Sebagai anggota FP, Sofia dan Edi ditempatkan di Purwakarta. Belum lama mereka tinggal di sana, Belanda keburu melakukan agresinya yang pertama pada 21 Juli 1947. Kedua sejoli itu kemudian menyingkir ke Garut. Namun sesampainya di sana,mereka harus berpisah: Edi bergerilya di hutan sedangkan Sofia tetap bertahan di kota. Kendati mereka berada di dua tempat yang berbeda, kontak tetap terjaga. Hingga suatu hari, Sofia mendapat kabar suaminya diculik lalu dibunuh secara kejam oleh Lasykar Sabilillah, sebuah unit yang menjadi bagian kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Peristiwa itu terjadi di Kampung Bungur, Desa Samida pada 23 Oktober 1947. “Berdasarkan hasil penelusuran saya, almarhum suami Bu Sofi itu katanya dimasukan ke dalam keranjang bambu lalu ditusuk-tusuk bambu runcing. Dalam kondisi sekarat, ia kemudian dihanyutkan ke Sungai Cimanuk,”ungkap Yoyo Dasriyo, jurnalis cum seniman Garut yang pernah saya wawancarai pada 2013. Merasa bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, Sofia lantas mengundurkan diri dari dunia ketentaraan. Dia kemudian nekad balik ke kota Bandung yang sudah diduduki oleh Belanda dengan menyamar sebagai istri tukang minyak. Sesampai di sana, Sofia tinggal bersama mertuanya dan membuka usaha warung nasi.
- Pemulung Sampah dalam Sejarah
SEBUAH beko di puncak bukit sampah. Lengan seroknya merasuk ke timbunan sampah, lalu mengangkat timbunan itu dalam satu serokan, kemudian membuangnya ke arah lain. Belasan pemulung lekas menghampiri buangan sampah itu, mencari-cari sampah yang punya nilai ekonomis. Begitulah pemandangan keseharian di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
- Kolonialisme Hancurkan Kedudukan Perempuan
PEREMPUAN Jawa cuma jadi konco wingking . Istilah yang dikenal dalam budaya Jawa ini seakan menggambarkan perempuan hanya sebagai teman di dapur dan kasur. Namun, bukti prasasti dan artefaktual memperlihatkan bahwa perempuan punya kesempatan menjadi pemimpin, mulai dari tingkat desa hingga kerajaan. Sejak kapan konsep gender yang menimpa perempuan di Nusantara berubah? “Kita punya akar budaya yang tidak membedakan perempuan dan laki-laki. Tapi berkembang kemudian perempuan Jawa harus dipingit. Ini pengaruh darimana?” kata Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Puslit Arkenas, dalam diskusi yang diadakan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta. Memang, dalam budaya Jawa Kuno pun perempuan tak selalu bisa dianggap setara dengan laki-laki. Contohnya, mereka mengenal kebiasaan bela atau sati. Kebiasaan ini mengharuskan sang istri ikut mati ketika sang suami mati. Mereka biasanya menerjunkan diri ke dalam kobaran api untuk menunjukkan kesetiaannya. Kendati demikian, budaya ini bukanlah budaya Jawa, melainkan diadopsi dari India. Pada praktiknya, perempuan tidak langsung menerjunkan diri ke dalam kobaran api, sebagaimana kebiasaan di India. Di Jawa, perempuan yang melakukan bela akan menikam jantungnya dengan pisau terlebih dahulu. “Kalo di Jawa lebih manusiawi, menusuk diri dulu baru masuk ke api, jadi mati dulu sebelum merasakan panasnya api,” kata Titi. Kebiasaan ini juga bukan hanya untuk perempuan. Laki-laki juga melakukannya untuk menunjukkan kesetiaannya pada raja yang meninggal dunia. Dalam masalah hukum pun, sanksi yang dijatuhkan kepada peleceh seksual ( paradara ) lebih berat daripada aturan di India. Walaupun perundang-undangan Jawa Kuno bersumber dari kitab-kitab India. Bedanya, kata Titi, seperti disebutkan dalam Prasasti Bendosari dan Parung, masyarakat Jawa Kuno telah mempunyai hukum adat yang dijadikan dasar pertimbangan. “Pernah menjadi pertanyaan saya, setelah saya pelajari. Mungkin masa Islam ya (konsep gender berubah, red. )? Ternyata tidak juga,” kata Titi. Dia pun mengingatkan soal sultanah, raja-raja perempuan yang pernah bertahta di Kerajaan Aceh. Peter Carey, sejarawan Inggris, pernah mengemukakan bukti-bukti kalau perempuan Jawa, setelah Islam masuk masih terus memiliki peran penting. Dalam bukunya, Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX yang ditulis bersama Vincent Houben, sejarawan Jerman, Cerey menyebutkan sebelum meletusnya Perang Jawa (1825-1830), peran perempuan elite sangat menentukan di berbagai bidang. Termasuk dalam politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial istana Jawa tengah selatan. Pada era Perang Giyanti misalnya, ada laskar perempuan bernama Korps Srikandi. Mereka berperang bersama Mangkunegara I (1757-1795). Lalu ada Nyi Angeng Serang yang kemasyhurannya dikenal selain sebagai anggota keluarga Sunan Kalijaga juga sebagai pejuang. Dia disebut sebagai perempuan pertapa yang punya pengaruh penting bagi penduduk daerah asalnya, Serang, Demak, sampai Perang Jawa berakhir pada 28 Maret 1830. “Jika menoleh ke belakang dengan pengaruh Polinesia yang sangat kuat, kita akan mendapatkan banyak petunjuk kalau sebelum masa kolonial perempuan Jawa pernah mengambil peran signifikan dalam urusan politik dan masyarakat,” catat Carey. Carey berkesimpulan, setidaknya sampai akhir Perang Jawa, priayi dan perempuan kelahiran keluarga kerajaan di Jawa tengah selatan, menikmati kebebasan dan kesempatan yang jauh lebih luas. Ini dibandingkan dengan perempuan yang lahir pada akhir abad 19. “Kita hanya perlu membandingkan kisah Raden Ayu Serang pada bagian awal abad 19 dengan Raden Ajeng Kartini,” tulis Carey. Katanya, pasca Perang Jawa, kebudayaan Jawa seakan dijinakkan menjadi semacam kebudayaan museum.
- Kisah Muslim Komunis Jadi Pahlawan Nasional Cina
BIARPUN “selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam,” Gus Dur dalam esainya, “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme” yang dimuat Persepsi No.1, 1982, “menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.”
- Dari Tiongkok ke Deli
Kebijakan Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi sorotan belakangan ini. Bagi pemerintah, perizinan TKA perlu dipermudah guna memperlancar dan meningkatkan investasi. Sebaliknya, kubu oposisi menganggap kebijakan ini kontraproduktif. Pemerintah dinilai terlalu longgar membuka ruang bagi pihak asing sehingga mempersempit daya saing tenaga kerja dalam negeri. Tenaga kerja asing dari Tiongkok disebut-sebut sebagai ancaman terbesar. Sebabnya, mayoritas pekerja asing di Indonesia berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Namun jika menilik sejarah, ekspansi orang-orang Tionghoa ke Nusantara sudah berlangsung sedari lama. Setidaknya, kedatangan mereka untuk mencari kerja secara masif terjejaki pada zaman kolonial di Perkebunan Tembakau Deli, Sumatera Timur. “Pujian yang sering diberikan orang, terutama mengenai kerajinan kuli Tiongkok, sebetulnya berlaku untuk para penanam tembakau ini. Mereka bekerja dengan sistem kontrak (borongan),” ujar Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 . Buruh Impor Boleh jadi, tembakau Deli yang kesohor seantero Eropa itu menjadi komoditas utama berkat tangan-tangan pekerja Tionghoa. Adalah Jacobus Nienhuys, pengusaha Belanda yang menjadikan tanah Deli perkebunan tembakau. Semula Nienhuys mempekerjakan orang-orang lokal dari etnis Batak dan Melayu. Dalam praktiknya, orang Batak suka membangkang dan yang Melayu kurang terampil bercocok tanam. Nienhuys kemudian pergi ke Singapura dan mengupah 120 buruh Tionghoa. Mereka sama sekali tak mengerti tentang penanaman tembakau tetapi mau bekerja. Pada akhir musim, Nienhuys dapat mengirim 189 bal tembakau sebagai hasil panen tahun 1865. “Tembakau itu bermutu tinggi dan memperlihatkan perawatan yang cermat dan penanganan yang ahli,” tulis Karl Pelzer dalam Toean Kebun Toean Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria . Kesuksesan Nienhuys mendorong tuan-tuan kebun Belanda lainnya menggunakan jasa buruh Tionghoa. Para pekerja Tionghoa diimpor dari Penang dan Singapura melalui calo yang disebut kheh-tau . Rekrutmen bisa juga melalui laukeh yaitu buruh senior yang dikirim tuan kebun ke negeri asalnya mencari buruh baru. Keberangkatan para perantau Tionghoa ini dipermudah dengan penalangan ongkos keberangkatan terlebih dahulu oleh perantaranya maupun perusahaan tembakau. Maraknya tenaga kerja yang berdatangan ke Deli menciptakan lahan bisnis baru di semenanjung Malaya: perdagangan kuli. Keadaan yang terjadi di negeri Tiongkok mendorong rakyatnya merantau ke Deli. Pada waktu itu keadaan politik dan perekonomian di Tiongkok merosot akibat pemerintahan penguasa Dinasti Manchu. Perang-perang lokal dan wabah kelaparan mendorong ribuan petani untuk mengadu nasib di luar negeri. Tawaran bekerja di kebun tembakau Deli menjadi harapan hidup yang lebih baik bagi mereka yang memilih bermigrasi. Orang Tionghoa kebanyakan memandang Sumatera Timur yang mereka kenal sebagai Nan Yang atau Negeri Selatan adalah suatu daerah surga dan kaya. “Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Sumatera Timur itu berkelompok dan dikepalai oleh seorang kepala suku melalui tokoh-tokoh Tionghoa yang berada di Penang,” tulis Yasmis dalam tesisnya di Universitas Indonesia “Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli - Sumatera Timur 1880-1915”. Pekerja Andal Dalam penelitiannya tentang buruh di perkebunan tembakau Deli, Jan Breman mengurai sebab maskapai perkebunan Deli memilih orang Tionghoa. Buruh kebun Tionghoa dikenal pekerja keras yang tekun. Sebelum matahari terbit mereka sudah berada di ladang untuk merawat tanaman tembakau yang masih muda, menyiram persemaian, mencari ulat daun tembakau, atau menyiapkan lahan untuk ditanami. Mereka terbiasa bekerja sampai matahari terbenam dan hanya beristirahat satu-dua jam di siang hari. Tak jarang pada malam terang bulan lama sesudah bekerja keras pada hari biasa, mereka masih sibuk dengan tembakaunya. “Orang Tionghoa bisa saja merupakan pekerja yang tak simpatik karena kesukaannya berteriak dan ribut, tetapi setiap tuan kebun harus menghormati mereka karena ia memiliki tenaga dan prestasi kerja yang luar biasa,” tulis Breman mengutip kesaksian asisten perkebunan Belanda C.J. Dixon tahun 1913. Para buruh Tionghoa ini juga punya karakteristik tertentu sesuai suku bangsanya. Orang Hailokhong suka bising dan pemarah. Orang Keh dan Macau lebih tenang dan sabar tapi cenderung pendendam. Dari semua suku, orang Hailokhong adalah petani terbaik, lebih kuat, dan lebih mampu melakukan kerja berat. Pada 1883, sebanyak 21.000 buruh Tionghoa sudah bekerja di Sumatera Timur. Imigrasi pekerja Tionghoa mencapai puncaknya pada periode 1886-1889. Lebih dari 16.000 orang masuk setiap tahun. Angka-angka ini terus naik sampai 1890. Memasuki abad 20, tingginya permintaan terhadap buruh Tionghoa terkendala dengan kian diperketatnya regulasi. Pada 1930, perusahaan perkebunan Deli mengalami penyusutan signifikan terhadap buruh Tionghoa. Ketika itu terjadi depresi ekonomi yang mengakibatkan pengangguran besar-besaran. Menurut sejarawan Anthony Reid, pejabat pemerintah Tionghoa yang progresif menentang emigrasi warganya ke Sumatera Timur. Hal ini berkaitan dengan merebaknya berita-berita eksploitasi yang dialami buruh Tionghoa di Deli. Imbasnya, premi dan ongkos pengangkutan buruh Tionghoa jadi semakin tinggi. Pilihan pun beralih kepada buruh Jawa yang bersedia dibayar lebih murah. Meskipun jumlahnya di perkebunan berangsur-angsur menurun, jumlah orang Tionghoa di Sumatera Timur terus naik. Setelah menyelesaikan kontrak kerja, mereka lebih suka suka tinggal menetap ketimbang kembali ke negeri leluhur. Hingga 1930, orang Tionghoa menjadi pendatang asing terbanyak dengan menempati sepuluh persen dari komposisi penduduk Sumatera Timur. “Sebuah komunitas yang lebih berimbang muncul, terdiri dari pedagang, pemilik warung, petani kecil, nelayan, dan penebang kayu,” tulis Reid dalam Menuju Sejarah Sumatera. “Namun kelompok-kelompok ini tetap merupakan minoritas kecil.”
- Kala Ibu Bersatu
SEMENTARA para anggota Suara Ibu Peduli (SIP) lain berdiri di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Karlina (Leksono) Supelli dan dua rekannya membagikan bunga kepada prajurit-prajurit ABRI yang berjaga. Aksi pada 23 Februari 1998 itu merupakan aksi protes terhadap tingginya harga kebutuhan pokok, terutama susu. SIP memprotes pemerintah yang tak memperhatikan rakyat kecil. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, desak SIP, mestinya jadi perhatian utama pemerintah. “Dulu itu yang menginisiasi perempuan kelas menengah, bikin Suara Ibu Peduli untuk demo di Bundaran HI. Waktu itu ada teman-teman dari Jurnal Perempuan, Kalyanamitra, Karlina Leksono, Gadis Arivia, dan saya,” kata Julia Suryakusuma, juru bicara aksi, kepada Historia . Bermula dari Latihan Aerobik Ide untuk melakukan demonstrasi dimulai sejak November 1997. Menurut Gadis Arivia dalam makalah “Politik Representasi Suara Ibu Peduli”, ide awal muncul ketika dia berdiskusi dengan Nur Iman Subono, Karlina, dan seorang rekan asal Korea Eun Sook. Untuk merealisasikan ide itu, mereka mengundang rekan-rekan aktivis perempuan ke Kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Gedung BOR Megaria, 13 Februari 1998. Sekira 15 perempuan ikut dalam pertemuan itu. Antara lain, Myra Diarsi, Julia Suryakusuma, Tati Krisnawaty, Salma Safitri, Umi Lasminah, dan Robin Bush, mahasiswa asal Amerika Serikat. Mereka menggunakan kode aerobik untuk menghindari endusan aparat keamanan; kode terus digunakan setiap mereka akan mengadakan pertemuan. Pertemuan pertama itu membahas tentang keinginan berdemonstrasi untuk melawan rezim Orde Baru, menjatuhkan Soeharto. Untuk mengelabui penguasa, yang cenderung simpatik kepada kegiatan ibu-ibu seperti Dharma Wanita, mereka menggunakan istilah ibu. Segala hal menyangkut rencana demonstrasi mendapat pembahasan detil dalam rapat “aerobik” itu. Meski SIP tak punya masalah dengan kenaikan harga susu bayi, menurut Gadis, isu susu bayi dipilih untuk menarik simpati publik karena masalah itu dirasakan semua orang. Susu bayi merupakan kamuflase terbaik karna berkaitan langsung dengan perempuan sebagai ibu. Bundaran HI dipilih karena merupakan tempat strategis di mana para kelas pekerja lalu-lalang. “Puncaknya, perempuan bisa bersuara meski harus dengan cara-cara politis, seperti turunkan harga susu. Jadi seolah-olah itu ibu-ibu yang demo, mencerminkan ibuisme juga. Jadi strategi demonya begitu,” kata Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan, pada Historia. Meski sempat ada kemungkinan siaga satu, tembak di tempat, para perempuan tak gentar. Demonstrasi tetap berjalan. Para perempuan melakukan orasi dan membagikan bunga kepada prajurit ABRI dan orang-orang yang lewat selama aksi damai itu. Aksi itu terjadi beberapa bulan sebelum demonstrasi mahasiswa pecah. “Ada penyelewengan sejarah kalau dikatakan bahwa reformasi dimulai oleh mahasiswa. Sebetulnya, yang pertama demo itu SIP. Demo mahasiswa kan baru Mei 1998,” kata Julia. Meski aksi berlangsung hanya 30 menit, aparat tak tinggal diam. Karlina Supelli, Gadis Arivia, dan Wilasih asal Salatiga langsung diangkut ke truk aparat usai aksi. Aparat, yang mencurigai mereka ditunggangi kaum oposisi, menanyakan ada-tidaknya keterlibatan ideologi komunis dalam aksi tersebut. Setelah ditahan selama 23 jam, ketiga aktivis itu dimejahijaukan meski kasusnya kemudian berhenti akibat Reformasi. Toh, represi penguasa tak menciutkan nyali mereka. Aksi mahasiswa yang muncul kemudian, mereka dukung. SIP kembali menggunakan kamuflase ibu “peduli” untuk mendukung aksi mahasiswa dari 19 Mei hingga 23 Mei. “Para perempuan yang ikut dalam SIP mendukung aksi demo mahasiswa dengan membagikan nasi bungkus. Melakukan taktik dengan menunjukkan peran sebagai ibu,” kata Mariana.
- Virus Kaum Hippies
Demonstrasi antiperang marak di Amerika Serikat medio 1960-an. Kaum muda turun ke jalan, memprotes invasi Amerika Serikat ke Vietnam. Simbol mereka adalah bunga sehingga kerap disebut sebagai generasi bunga ( flower generation ). Mereka kemudian memimpikan sebuah tatanan kebudayaan baru, yang disebut hippies. Ciri-ciri mereka berambut gondrong, berpakaian urakan, hidup nomaden, kerap melakukan seks bebas, dan menggunakan obat bius. Pandangan kebebasan yang mereka impikan seolah ingin meruntuhkan tembok mapan peradaban Barat yang dianggap munafik. Menurut W.J. Rorabaugh dalam American Hippies, tahun 1967 menandai puncak gerakan hippie. Saat itu terjadi sebuah fenomena sosial The Summer of Love, di mana ribuan hippies, mayoritas remaja putus sekolah, menyemut di Haight Ashbury, San Fransisco, Amerika Serikat. Di sana mereka berkumpul untuk mendengarkan musik, berhubungan seks, dan menggunakan narkotik. Festival musik akbar Woodstock di Middlefield, Connecticut, Amerika Serikat, pada 1969 menjadi puncak perayaan budaya kaum hippies . Budaya hippies lalu mengular ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Anak-anak muda, yang mengalami depolitisasi sejak awal Orde Baru, menyerap mentah-mentah budaya hippies kendati hanya kulitnya. Menurut Ekspres, 7 Juni 1971, mulanya anak-anak muda di negeri ini meniru hanya sebatas mode. Lama-lama mereka menyaplok habis budaya dan kehidupan hippies, seperti rambut gondrong, dandanan eksentrik, suka pesta, dansa telanjang, dan seks bebas. Yang paling membuat keadaan menggawat adalah penggunaan narkotika, ganja, dan morfin. Kota besar di Indonesia yang paling cepat menyerap gaya hippies adalah Bandung. Japi Tambajong dalam Ensiklopedi Musik menulis, di sana gadis-gadis sekolah ikut-ikutan melakukan seks bebas namun ujung-ujungnya menjadi pelacur-pelacur tanggung. Sebutan populer bagi mereka adalah gongli , singkatan dari bagong lieur , bahasa Sunda babi hutan yang pening . Pengaruh hippies pun menular ke dunia musik tanah air. Bandung pula yang berada di barisan terdepan. Dalam buku otobiografinya, Living in Harmony, Fariz RM menyebut The Prophecy yang anggotanya campuran multibangsa sebagai grup musik hippies asal Bandung. Grup musik ini hanya berdiri selama setahun, 1973-1974. Sementara Japi Tambajong menyebut Flower Power sebagai propagandis hippies pada awal 1970-an. Semangat Flower Power bahkan sempat membuat resah orang-orang tua. “Bandung di kalangan anak muda waktu itu tidak lagi disebut Parijs van Java , tapi San Fransisco of Java ,” tulis Japi. Di Jakarta, kaum muda berharap bisa menikmati konser ala Woodstock. Keinginan itu terpenuhi melalui konser musik besar bertajuk Summer 28– akronim dari Suasana Menjelang Kemerdekaan ke-28 – yang digelar di Ragunan, Pasar Minggu, pada 16 Agustus 1973. Konser ini rencananya berlangsung selama 12 jam, dari pukul 17.00 hingga 05.00, dan menampilkan sekira 20 grup band dari berbagai genre dan subgenre musik, dari Koes Plus hingga God Bless. Dalam artikel berjudul “40 Tahun Summer’28”, pengamat musik Denny Sakrie menyebut Summer’28 sebagai pesta euforia kebebasan bermusik anak muda Indonesia yang sebelumnya dibelenggu aturan-aturan pemerintah. “Inspirasi dari gerakan generasi bunga Summer of Love kemudian dicampurbaurkan dengan semangat kebebasan dalam bermain musik,” tulis Sakrie. Sayangnya, konser harus berakhir lebih cepat. Sekira pukul tiga dini hari terjadi kerusuhan. Konon, karena band rock AKA dari Surabaya batal tampil. Pemerintah pun resah dengan pengaruh hippies pada generasi muda, menganggapnya sebagai ancaman bagi keamanan dan ketertiban. Beberapa upaya pun dilakukan, salah satunya melalui aturan dilarang gondrong.
- Dari Daur Ulang ke Bantar Gebang
JALAN Thamrin di Jakarta pernah tak elok dilihat pada dekade 1960-an. Sampah berhamburan di atas tanah merah pembatas jalan itu. “Tidak jauh dari kemegahan Hotel Indonesia, tidak jauh pula dari kehebatan Bank Indonesia di Jalan Thamrin merajalelalah gunung-gunung sampah di tengah-tengah perumahan manusia,” catat F. Bodmer dan Moh. Ali dalam Djakarta Djaja Sepandjang Masa untuk menggambarkan keadaan Jalan Thamrin pada dekade 1960-an.





















