top of page

Hasil pencarian

9600 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mereka Ingin Sukarno Mati

    YOGYAKARTA pasca dibom pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Kerajaan Belanda pagi itu. Jalan-jalan menjadi lengang. Beberapa mobil terbakar menjadi puing. Sementara arus pengungsi mengalir ke luar kota, sepasukan para komando Belanda bergerak perlahan menuju Gedung Agung di dekat Stasiun Yogyakarta. Sempat terjadi perlawanan kecil dari beberapa unit TNI, namun itu tak jua sanggup membendung pergerakan para penyerbu. “Desember 1948, Belanda menjatuhkan hadiah Natal tepat di atas cerobong asap dapurku: Jam 5.30 pagi hari Minggu, tanggal 19,” ujar Sukarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adam dalam Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia . Sejarah mencatat, Sukarno beserta 150 orang lainnya lantas resmi menjadi tawanan Belanda. Bersama tokoh-tokoh Republik lainnya, dia kemudian diasingkan ke Bangka. Puaskah Belanda? Sejatinya tidak. Menurut Sukotjo Tjokroatmodjo, dalam skenario Jenderal S.H. Spoor, Panglima Militer Tertinggi Belanda di Indonesia, Belanda sesungguhnya menginginkan Sukarno dilenyapkan dari muka bumi. “Mereka ingin Presiden Sukarno mati,” ujar eks komandan salah satu unit pasukan pengawal Presiden Sukarno tersebut. Pendapat Sukotjo berkelindan dengan uraian yang pernah dituliskan oleh Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66 . Menurut Maulwi, kendati mendapat kemenangan besar dengan menguasai Ibu Kota Republik Indonesia Yogyakarta, namun Spoor sangat kecewa ketika mendapat laporan bahwa Sukarno berhasil ditawan. Begitu kecewanya, hingga menurut Sukotjo, dia sempat berteriak: Kita kalah! Berdasarkan laporan intelijen militer Belanda, Spoor sangat yakin bahwa ketika Yogyakarta diserang maka Sukarno berserta jajarannya akan langsung mengadakan perjuangan gerilya. Bahkan oleh tim intelijen Belanda disebutkan: Sukarno-Hatta akan memimpin langsung perang gerilya dari suatu Markas Besar Komando Gerilya di Dungus, sebuah tempat yang terletak di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur. Maka dibuatlah skenario cermat, Markas Besar Komando Gerilya itu nantinya akan diserbu oleh Brigade Marinir Kerajaan Belanda dan Brigade Irene (suatu unit yang memiliki pengalaman dalam pertempuran di Normandia semasa Perang Dunia II). “Rencana Spoor, Bung Karno dan Bung Hatta akan dieliminasi (dilenyapkan) dengan dalih mereka terbunuh dalam kontak senjata,” ujar Maulwi. Alih-alih memimpin perang gerilya, Sukarno-Hatta malah membiarkan diri mereka menjadi tawanan. Itu jelas membuat jengkel Jenderal Spoor hingga menurut Roeslan Abdulgani dalam surat kabar Merdeka , 30 Desember 1989, Spoor memerintahkan secara khusus kepada Kapten Vosfeldt dari IVG (Dinas Rahasia Militer Belanda) yang megemudikan jip dan membawa Sukarno ke Lapangan Maguwo untuk “memberi peluang” sebesar-besarnya kepada Presiden RI itu untuk melarikan diri. Nyatanya kendati tidak dikawal secara ketat dan mobil jip secara sengaja dilarikan secara perlahan oleh Vosfeldt, Sukarno tak jua melompat untuk lari. Maka lenyaplah dalih tentara Belanda untuk menembak mati Sukarno dalam perjalanan dari Gedung Agung-Lapangan Maguwo. Sebagai catatan, Roeslan mendapatkan informasi tersebut dari sebuah dokumen laporan seorang perwira Belanda yang mengungkap rencana pembunuhan tersebut. Dokumen itu, kata Roeslan, tersimpan di sebuah museum Belanda. Rencana A gagal, sempat pula terbit rencana B. Dalam Zwolse Courant , 12 Mei 1998, Mr. J.M.A. Hubert Luns, eks Menteri Luar Negeri Belanda, membuat suatu pengakuan yang mengejutkan: mereka akan membunuh Sukarno di dalam pesawat Dakota yang menerbangkan para tawanan ke Medan. “Saya sempat berpikir untuk menyuruh orang melemparkan Sukarno dari pesawat terbang…Namun rasanya perbuatan itu tidak beradab,” demikian kata Hubert. Apakah rencana brutal itu memang serius? Hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.*

  • Peta Sebagai Sumber Sejarah

    SEKALI waktu, Alfonso de Albuquerque -pemimpin armada Portugis yang menyerang Malaka pada 1511- mengirim sebuah peta yang bertuliskan huruf Jawa kepada raja Portugal. Namun sayang, tulis Adrian B Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke -16 dan 17 , kapal yang membawa peta itu tenggelam di tengah jalan. Dalam catatan bangsa Portugis, peta sudah dikenal pelaut dari Nusantara untuk berlayar pada awal abad ke- 16. Penyataan Lapian itu menunjukkan masyarakat Nusantara sudah lama mengenal konsep ‘ruang’ dalam kerangka kekuasaan. “Sebenarnya kita sudah memiliki gagasan mengenai space sendiri, yang saya sebut sebagai pengetahuan geografi Nusantara. Dulu, kita memiliki konsep ruangan tradisional, sak pandelengan (satu sapuan mata - red ). Apa itu konsep sak pandelengan ? Jadi wajar ketika mengklaim wilayahnya tidak harus membuat demarkasi, didelineasi dengan alat sextan. Namun sejauh raja bisa memandang, itu milik dia,” ujar Uji Nugroho Winardi, sejarawan Universitas Gajah Mada yang khusus mendalami sejarah kartografi. Teknik pembuatan peta terus berkembang. Hal itu berujung dengan munculnya kartografi, ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang peta, mulai dari sejarah, perkembangan, pembuatan, pengetahuan, penyimpanan, hingga pengawetan serta cara-cara penggunaan peta.“Kartografi itu kata yang genuine muncul di abad ke-19,” ujar Uji dalam Seminar Sejarah Nasional di Universitas Gajah Mada, 14-16 Desember 2017. Sejak menguatnya dunia pelayaran orang Eropa ke Asia, peta memiliki posisi penting. Ia dipandang sebagai pemantik munculnya kapitalisme. “Peta laut bikinan Petrus Pancius, diberi judul Insulae Moluccae Celeberrimae , dibuat tahun 1594. Ini digunakan kongsi dagang Belanda untuk iklan. Jadi berdasarkan peta ini, mereka mencari siapa yang mau tanam saham untuk mendanai pelayaran. Peta ini kemudian memacu munculnya kapitalisme. Peta ini diproduksi secara massal dan untuk pewarnaan, menggunakan tenaga perempuan dan anak-anak untuk mewarnai di rumah. Ini memutar roda ekonomi,” ujar Uji. Dalam penulisan sejarah, tidak banyak orang menggunakan peta sebagai sumber sejarah atau sumber kajian. Uji membagi dua penulisan sejarah yang memfokuskan pada peta, yaitu karya sejarah yang menelaah mengenai peta dan karya sejarah yang menggunakan peta sebagai kekuatan pada kajiannya. Karya paling awal adalah Boegineesche Zeekarten van den Indische Archipel dari Le Roux yang, terbit pada 1935. Le Roux menelaah peta laut orang Bugis. “Dia melakukan overview beberapa peta indigenous yang diproduksi orang Bugis. Peta ini disimpan di Utrecht, yang kemudian disebut peta bajak laut. Kemudian ada nama Jan O Broek, dia melakukan penamaan geografis, yang sekarang berkembang pesat menjadi toponimi. Toponimi adalah anak asli dari produk kartografi yang kawin-mawin dengan pengetahuan lain,” ujar Uji. Selain kedua nama tersebut, ada Ferjan Ommeling. Dia menyusun buku Colonial Cartography of the Netherland Indies 1816-1942 . Ferjan adalah anak Ferjan Ommeling Senior, orang yang berjasa bagi Indonesia karena mentransformasikan Indische Topografische Dienst menjadi Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Mengkaji peta atau menggunakan peta sebagai sumber sejarah menjadi nilai khusus bagi seorang sejarawan. Dengan mempelajari atau menguasai pembacaan peta, ia akan dapat “memanfaatkan peta untuk menulis berbagai jenis karya sejarah seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya; memahami sejarah keruangan suatu tempat; dan tema mengenai state formation , baik kolonial maupun nasional dan empire creation menjadi salah satu isu penting. Dalam hal ini, periode kolonial –terutama untuk kasus Indonesia– menjadi sangat penting dalam pembentukan teritori negara,” ujar sejarawan muda berkumis tebal itu. Pemahaman mengenai peta atau penggunaannya sebagai sumber kajian, dalam konteks Indonesia menjadi penting sebab hingga hari ini penghitungan pulau-pulau di seluruh Indonesia pun belum selesai.*

  • Kesadaran Sejarah Tumbuhkan Kepedulian pada Kota

    DALAM kurun 30 tahun terakhir, komunitas sejarah berkembang ke arah interaksi publik dengan masa lampau. Beriringan dengan perkembangan akses informasi kesejarahan, maka semakin luas pula komunitas sejarah yang dilakukan masyarakat atau kelompok yang terorganisir. Persoalan komunitas sejarah menjadi salah satu bahasan menarik dalam seminar nasional sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 15 Desember 2017. “Potensi kemunculan komunitas kota harus direspons oleh sejarawan. Karena identitas kota dibentuk atas cerita yang dibangun dari sejarah kota itu sendiri. Jika cerita yang muncul tidak mendukung kemunculan kota yang inklusif atau multikultur maka akan mematikan ruang kota buat banyak orang. Jadi, tugas moral sejarawan ada di situ. Jika kita sudah bersepakat untuk engage dengan orang untuk membangun civic culture , harus yang bersifat inklusif,” ujar Farabi Fakih, sejarawan UGM, kepada Historia . Beberapa tahun belakangan, Farabi mengakrabi beberapa komunitas yang ada di Indonesia, di antaranya adalah komunitas Kota Toea Magelang di Jawa Tengah dan komunitas Aluet di Bandung, Jawa Barat. Dia menilai komunitas-komunitas ini sudah berupaya merespons kota dengan segala ceritanya. Frasa “komunitas sejarah”, menurut Faye Sayer dalam Sejarah Publik , digunakan untuk menjelaskan proyek warisan budaya di Hungate, York, Inggris Raya. Ini adalah satu situs yang tidak memiliki komunitas menetap sejak 1930-an. Namun, terletak di jantung kota yang padat penduduk, dalam lingkungan huni yang memiliki warisan kesejarahan dan arkeologis yang kaya. Pada dekade 1960 hingga 1970-an, di Inggris muncul gerakan sejarah publik seperti history workshop . Kemudian pada 1983, Bradford Heritage Recording Unit terbentuk atas usaha dewan kota dan pemerintah kota Bradford didanai komisi pemerintah yang menyediakan kerja sementara bagi penganggur. Komunitas ini merekam kisah-kisah penduduk yang multikultural dan memberikan kesempatan bagi komunitas lokal untuk terlibat dalam komunitas sejarah. Ujung dari gerakan yang luas ini, yang didukung pendanaan dari pemerintah dan riset akademik dalam komunitas sejarah, adalah bertumbuhnya perkumpulan lokal baru, dan menjadi bagian dari 654 perkumpulan sejarah lokal di Inggris hingga saat ini. Jika komunitas sejarah sudah begitu subur di Inggris, bagaimana dengan di Indonesia? “Pasca runtuhnya negara kolonial, penulisan sejarah di Indonesia tertarik sepenuhnya ke universitas. Jadi, bukan lagi dilakukan oleh masyarakat. Sementara kalau kita lihat dari sejarah kota sebelumnya, ditulis oleh orang-orang biasa, seperti guru, dokter, bagian dari kemunculan masyarakat sipil kolonial,” ujar Farabi yang membawakan makalah “Sejarah Kota sebagai Public History : Komunitas Menulis Sejarahnya Sendiri.” Di Amerika dan Eropa, sejarah publik sudah berkembang sedemikan rupa. Sejarah publik merupakan gerakan metodologi dan pendekatan yang mempromosikan studi dan praktik kolaboratif dari ilmu sejarah, yang praktisnya merangkum misi untuk membuat masyarakat paham dan berwawasan sejarah. Jadi, kalangan sejarawan ingin menarik masyarakat atau komunitas menjadi partisipan dalam produksi sejarah. “Penciptaan public history di Indonesia itu mulai tampak dalam konteks kemunculan komunitas pelaku sejarah. Pasca Orde Baru, mulai bermunculan kan beberapa komunitas, seperti komunitas tur sejarah,” ujar Farabi. Beberapa komunitas sejarah, dalam penelitian Farabi, sudah bergerak secara massif dengan menggelar kelas-kelas literasi seperti menggelar diskusi, menulis dan jalan-jalan. Kesadaran sejarah ini mahal. Banyak kota di Indonesia tidak memiliki masyarakat sipil yang kuat. Mereka abai dengan lingkungannya, seperti membiarkan jalanan hancur dan trotoar kotor. Sikap abai ini karena masyarakat setempat tak memiliki perasaan memiliki sebuah kota tempat dia bernaung. Pemunculan sikap peduli terhadap kota bisa dimulai dengan menghadirkan sejarah publik sebagai hasil kolaborasi sejarawan dan komunitas sejarah. “Sebagai contoh, bisa antara sejarawan dan orang-orang yang aktif di komunitas bisa menulis sejarah bareng. Mereka bisa saling melengkapi. Sejarawan bisa membantu mengenai masalah metodologi lalu akses sumber, dan komunitas bisa melengkapi perspektif. Komunitas ini kan sudah memiliki sudut pandang menciptakan masyarakat sipil yang kuat atau lingkungan yang inklusif,” ujar Farabi.

  • Lenong Menembus Lorong (Zaman)

    SAMBIL membawa kaleng kerupuk, Beny (diperankan Benyamin Sueb) buru-buru keluar rumah. Dia bingung. Mimin (Aminah Cendrakasih), gadis tetangga yang “bertamu”, datang sambil membawa sapu dan marah-marah. “Biar lu lelaki, gue kaga takut,” kata Mimin. “Sabar..sabar! I kan lagi latian lenong,” timpal Beny sambil senyum. “Gue kaga peduli. Lo mau jungkir balik, kek, bukan urusan gue. Lo udeh bikin brengsek begini.” “Kita kan bertetangga, udah pantesnya saling tolong-menolong. Betul nggak?” “Iye kalo tetangga bener. Ini tetangga sarap, kaga punya otak, sedeng.” Adegan pertengkaran pemuda Benny dan gadis Mimin yang bertetangga itu merupakan cuplikan film Raja Lenong (1975) yang dibintangi antara lain oleh Benyamin Sueb, Aminah Cendrakasih, Hamid Arif, dan Wolly Sutinah (Mak Wok). Film besutan Syamsul Fuad itu mengisahkan kehidupan Beny yang berprofesi sebagai pemain lenong kerap harus menelan pahit-getir kehidupan lantaran pandangan miring masyarakat terhadap profesi itu. Namun dalam kehidupan riil, lenong justru betahan sebagai salah satu kesenian Betawi yang paling populer hari ini. Kemunculan lenong sebagai teater rakyat betawi diawali oleh beberapa pertunjukan lain di era kolonial seperti Komedie Stambul, gambang kromong, dan tontonan wayang baru seperti Wayang Sumendar, Wayang Senggol, dan Wayang Dermuluk. Kelompok sandiwara Dardanella yang populer kemunculannya juga terjadi pada masa itu. “Lenong baru tumbuh dan berkembang sekira tahun 1920-an. Itu teater yang dipengaruhi oleh Komedie Bangsawan dan Dardanella. Orang-orang Tionghoa tidak mau kalah. Mereka membuat teater yang seperti itu,” kata peneliti budaya Betawi Rachmat Ruchiyat. Sejalan dengan pernyataan Rachmat, penulis buku Seni Pertunjukan Kebetawian Julianti Parani mengatakan pada Historia, perkembangan Lenong di era kolonial didukung oleh kondisi Batavia yang multikultur. Selain orang Betawi, berbagai suku-bangsa mulai orang Eropa, Asia Timur, hingga budak-budak dari beberapa wilayah Nusantara mendiami Batavia. “Perkumpulan yang multikultural itu benar-benar bisa mendorong orang untuk berkesenian,” kata Julianti. Dalam kehidupan kolonial, sambung Julianti, selain terdapat penderitaan kaum terjajah, di lain sisi juga memberi ruang kepada pendidikan dan kesenian untuk berkembang. “Betawi itu semacam muncul karena ada hubungan dalam kehidupan perkotaan. Saya nggak mau bilang seni urban karena itu konotasinya lain. Tapi memang perkotaan yang membentuk kesenian Betawi. Meskipun ada cerita rakyat seperti Si Pitung, itu adalah wujud kesenian dari hububungan masyarakat dengan kolonial. Jadi ada satu tantangan dalam kehidupan kolonial yang membuat orang bergairah untuk berekspresi.” ujarnya. Lenong sebagai produk dari kondisi multikultural menampilkan cerita dari berbagai daerah. Dalam setiap penampilan lenong, terselip pantun-pantun dalam dialognya dengan musik gambang kromong sebagai pengiring. Penggunaan gambang kromong sebagai pengiring pertunjukan lenong diprakarsai oleh pemimpin penduduk Tionghoa di Batavia Nie Hoe Kong. Nie menggunakan peralatan gambang, soekong, hosiang, tehian, gihian, kongahian, suling, kecrek, dan ningnong –sebagian dari peralatan ini masih digunakan untuk mengiringi lenong Betawi hari ini– dalam pertunjukan musiknya. Bunyi “nong, nong, nong” yang dihasilkan gambang kromong inilah yang membuat masyarakat menyebut pertunjukan drama itu sebagai lenong. Namun, itu bukan-bukan satu-satunya versi kelahiran lenong. Menurut Ary Setyaningrum dalam skripsi berjudul “Dinamika Keseniang Lenong Betawi 1970-1990”, lenong berasal dari nama seorang saudagar Tionghoa, Li En Ong. Karena dia kerap menggelar pertunjukan untuk menghibur masyarakat, orang lalu menyebut pertunjukan itu dengan lenong. Dalam perkembangannya, lenong terbagi menjadi dua: lenong dines dan lenong preman. Lenong dines muncul lebih dulu, menceritakan kehidupan raja-raja zaman dulu. Disebut dines karena pertunjukannya lebih resmi dibanding lenong preman. Pertunjukannya pun menggunakan Bahasa melayu tinggi dalam dialognya. Sementara, lenong preman muncul pada 1960-an. lenong preman lebih banyak menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat dengan bahasa Melayu dan pakaian sederhana. Kemunculan lenong preman menggusur kepopuleran lenong dines meski tetap tak mematikannya. Pada 1968, lenong sebagai teater rakyat saban bulan diangkat ke panggung Taman Ismail Marzuki. Penontonnya selalu penuh. Popularitas lenong meroket hingga akhirnya diangkat ke layar lebar. Bukan hanya itu, popularitas lenong juga melahirkan seniman-seniman terkenal seperti Mak Nori, Nasir, dan Bokir, yang kerap main dalam film horor Suzanna. “Kejayaan ini betahan hingga satu dekade,” kata Julianti.

  • Para Sultanah di Kesultanan Aceh

    KITAB Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari menyatakan seorang raja haruslah laki-laki. Namun, justru di Acehlah tempat kitab itu disusun pada awal abad ke-17 M, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut naik takhta sesudah tahun 1641. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia menulis masa itu perempuan tak bisa naik takhta karena dinilai kurang arif. Rakyat memerlukan imam untuk tampil di depan umum. Sementara perempuan tidak mungkin mengimami salat. Tidak pula dapat meninggalkan tempat tinggalnya yang terpencil di dalam istana. Namun, bila diperlukan, misalnya untuk menghindari perang saudara, seorang putri raja dapat menggantikan ayahnya. Ia tak boleh tampil dan harus tetap tersembunyi di belakang tirai apabila hendak berbicara dengan menteri-menterinya. Itu seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Tajul Alam Safiyatuddin, sultanah pertama Kesultanan Aceh yang memerintah sejak 1641-1675 M. Dia menggantikan suaminya, Iskandar Thani yang wafat. Putri Iskandar Muda ini, tulis Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia , menjalankan pemerintahan yang lebih lunak. Perubahan-perubahan mendasar terjadi dalam kekuasannya. Ini akhirnya melahirkan struktur kerajaan yang sangat berbeda. Misalnya, dia memerintahkan untuk membuka semua pusat pendidikan tak cuma untuk laki-laki. “Ratu menganjurkan, bahkan kadangkala mewajibkan kaum perempuan belajar,” tulis A. Hasjmy dalam 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Menurut Reid, sumber dari dalam maupun dari luar mengatakan Aceh di bawah pemerintahannya sangat tertib dan makmur. Dia pun berhasil menciptakan iklim yang sangat menguntungkan bagi pedagang luar negeri. Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan bahwa sultanah menerapkan hukum yang keras, seperti hukuman mati kepada orang yang mencuri milik kesultanan. Pieter Willemsz, pegawai Belanda yang berada di Aceh pada 1642, menyaksikan seorang penduduk Aceh dihukum mati karena mencuri seekor kuda kerajaan. Berdasarkan kesaksian Caspar Schmalkalden, seorang Jerman yang berkunjung ke Aceh pada 1647, hukum pencurian umum dibagi menjadi pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil biasanya diganjar dengan potong hidung atau kuping. Sedangkan pencurian besar dihukum dengan potong tangan dan kaki. Oleh karena itu, di jalanan Aceh, dia melihat banyak orang Aceh tak punya tangan dan kaki karena mencuri. Meski begitu mereka bisa berdiri, berjalan, bahkan berjoget dengan bantuan tongkat bambu. Sultanah ke-14 itu juga menerapkan hukum yang ketat bagi para pemabuk. Menurut catatan Jacob Compostel, seorang utusan Belanda di Aceh, seorang Eropa dipotong tangannya karena ketahuan mabuk-mabukan di Kota Aceh. Bahkan, sultanah menghukum dua orang Aceh yang mabuk-mabukan dengan menyuruh mereka menelan timah panas. Setelah Safiyatuddin mangkat, dia digantikan Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin yang memerintah sejak 1675-1678. Menurut Hasjmy dia mendapat tekanan kaum wujudiyah yang diperalat golongan politik tertentu yang ingin menduduki kursi kesultanan. Kaum wujudiyah menghanguskan istana dan Masjid Baitur Rahman serta sebagian besar Kota Banda Aceh. Sabotase ini membuat pemerintahannya lumpuh. Untuk memperkuat kedudukannya, Nakiyatuddin merombak beberapa pasal dalam Kanun Meukuta Alam atau Undang-Undang Dasar Kerajaan. Dia juga menerapkan hukum yang tak jauh berbeda, khususnya pada kasus pencurian. Hukuman mati, potong tangan dan kaki tetap berlaku. Sultanan Zakiyatuddin dan Sultanah Kamal Shah. (Repro 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu ). Setelah Nakiyatuddin mangkat, Inayat Syah Zakiyatuddin menggantikannya sejak 1678-1688. Menurut Hasjmy sebagaimana Sultanah Safiatuddin mempersiapkan Nakiatuddin untuk menggantikannya, Nakiatuddin juga mempersiapkan Zakiyatuddin menjadi sultanah. Mereka semua dididik dalam keraton dengan berbagai ilmu termasuk ilmu hukum, sejarah, filsafat, kesusastraan, agama Islam, Bahasa Arab, Persia, dan Spanyol. Ketika memerintah, Zakiyatuddin mengikat perjanjian persahabatan dengan negara tetangga untuk saling bantu melumpuhkan kekuasaan VOC. Dia juga bertindak cepat memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan. William Dampier, orang Inggris yang datang ke Aceh pada 1688, mencatat Zakiyatuddin menerapkan hukuman yang berbeda. Jika seseorang mencuri untuk pertama kalinya dan tanpa kekerasan, dia hanya dihukum cambuk. Sementara jika dengan kekerasan dan nilai curiannya besar, hukumannya potong anggota badan sampai diasingkan seumur hidup. Sultanah ke-16 ini meniadakan hukum kisas. Ia memilih menjalankan hukum adat, yaitu hukum sula (mati). Zakiyatuddin meninggal pada 1688 kemudian digantikan Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699. Tak seperti pendahulunya yang bisa diterima baik oleh masyarakat, pemerintahan Kamalat Shah mendapat perlawanan dari golongan Orang Kaya. “Empat Orang Kaya yang tinggal jauh dari istana mengangkat senjata menantang ratu yang baru dan para Orang Kaya yang lain dan membawa pasukan sekira 5000 atau 6000 menyerang ibu kota,” tulis Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, mengutip William Dampier. Opisisi itu menuntut agar kepemimpinan kerajaan dikembalikan kepada laki-laki. Namun, sang ratu mengundurkan diri pada 1699 bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala. “Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan setelah berlangsung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Reid. Menurut Amirul Hadi, tak ada aturan baku yang jadi pedoman perihal apakah perempuan boleh naik takhta atau tidak. Kekaburan aturan ini justru memberi ruang yang fleksibel dalam suksesi raja-raja Aceh. Dari sejarahnya, Reid menekankan, peran perempuan di kawasan ini memang sangat besar. Ini menjadi modal utama dalam membentuk watak masyarakat yang toleran terhadap pemerintahan ratu. “Masyarakat Austronesia, termasuk Polinesia, Madagaskar, sebagaimana juga Indonesia dan Filipina barangkali lebih cenderung menempatkan perempuan dari keluarga bangsawan di singgasana daripada masyarakat di tempat lain,” tulisnya. Pendapat Reid itu ada buktinya. Antara paruh kedua abad ke-14 dan paruh pertama abad ke-15, Samudra Pasai diperintah oleh dua ratu: Nur Ilah yang wafat pada 1380 M dan Nahrasiyyah yang wafat pada 1428 M. Sejak abad ke-14, Kerajaan Bone di Sulawesi juga diperintah oleh enam ratu. Sementara Kesultanan Malaka tidak pernah menempatkan perempuan pada pemerintahan tertinggi. “Bukti-bukti historis ini juga yang akhirnya menjadi dasar kuat mengklaim, pemerintahan perempuan di kawasan ini merupakan fenomena biasa,” lanjut Amirul Hadi.*

  • Membangkitkan Kasti yang Mati Suri

    Semasa kanak-kanak, Mohammad Ismail selalu menyempatkan bermain dengan teman-temannya meski tugas rutin yang diberikan orangtuanya tak pernah alpa dia kerjakan. Pria yang di kemudian hari menjadi pejuang kemerdekaan lalu gubernur Jawa Tengah itu menyukai segala macam permainan anak seperti kelereng dan petak umpet, serta permainan olahraga seperti badminton dan kasti. “Bahkan waktu sekolah di MULO saya dibilang jagonya kasti,” ujarnya dalam biografi yang ditulis bersama Bambang Sadono, Haji Mohammad Menggali Emas Jawa Tengah . Kasti merupakan permainan olahraga yang populer hingga awal 1990-an. Di lingkungan rumah maupun sekolah, anak-anak usia sekolah dasar banyak yang memainkannnya. Di sekolah, permainan itu bahkan termasuk jenis olahraga yang dijadikan mata pelajaran. Namun, hingga kini asal-usul dan siapa pencipta permainan kolektif yang biasa dimainkan pagi dan sore hari itu masih gelap. “Kapan awalnya permainan (kasti) ini ada di Indonesia, memang masih kabur. Banyak permainan yang berasal dari negara lain kemudian dibawa ke Indonesia, lalu berkembang yang akhirnya dilakukan orang-orang Indonesia secara turun-temurun,” tutur pemerhati dan pelestari permainan tradisional, Endi Aras Agus Riyono kepada Historia.id . Spekulasi paling diyakini, kasti adalah permainan yang diadaptasi dari permainan bisbol dan sofbol. Bisbol, yang diduga kuat menjadi “inspirasi” lahirnya kasti, sendiri punya beragam versi asal usul. Versi Prancis, misalnya, berangkat dari sebuah manuskrip dari tahun 1344 yang menunjukkan sebuah ilustrasi permainan mirip bisbol atau kasti bernama La Soule. Sementara itu, menurut David Block dalam Baseball Before We Knew It: A Search for the Roots of the Game , permainan yang identik dengan bisbol adalah permainan kuno Prancis lain seperti Theque, La Balle au Baton, dan La Balle Empoisonne. Pencarian Block terkait riwayat bisbol juga makin “bercabang” setelah mendapati referensi sebuah buku anak-anak dari Zaman Tudor. John Newberry punya pendapat lain lagi. Dalam bukunya yang ditulis pada 1744, A Little Pretty Pocket-Book , dia menerangkan bahwa permainan tersebut terinspirasi dari rounders . Permainan kolektif itu merupakan permainan anak-anak di Inggris yang dasar-dasar permainannya sangat mirip bisbol dan kasti saat ini. Kedua permainan itu, bisbol dan sofbol, kemudian masuk ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20. “Awal abad ke-20 itu sport sedang bertumbuh-kembang di Barat,” ujar sejarawan Didi Kwartanada kepada Historia.id . Orang-orang kulit putih, dan kemudian Tionghoa yang belajar di Barat, membawa dan memainkan beragam permainan sport itu ke Hindia Belanda. Novel Para Priyayi karya Omar Kayam merupakan salah satu pendokumentasi kasti di era kolonial. Lantip, tokoh utama novel itu, seorang bumiputra generasi awal yang mendapat pendidikan Barat, mengggunakan kasti dan permainanan lain untuk mendekatkan diri kepada murid-muridnya. “Mereka saya ajak bermain sepakbola, kasti, bertamasya ke Gunung Gandul dan Alas Ketu, dan kadang-kadang juga ke pantai selatan,” demikian Khayam menulis salah satu kisah dalam novel itu. Kasti terus meluas cakupannya, ia dimainkan hampir di seluruh kepulauan. Tak ada aturan resmi permainan itu membuat banyak daerah punya aturan dan cara tersendiri dalam memainkannya kendati secara garis besar tetap sama. Yang pasti, kasti tak memiliki aturan jumlah pemain, tempat, dan waktu permainan. Kasti bisa dimainkan hanya oleh enam, delapan, bahkan belasan orang. Tempat memainkannya pun tak hanya di lapangan sepakbola tapi juga bisa di kebun atau tanah lapang di tepian sawah. Soal waktu, biasanya anak-anak baru berhenti memainkan kasti di sore hari ketika suara adzan magrib sudah berkumandang atau suara ibu-ibu dari para pemain sudah terdengar memerintah pulang. Perkembangan zaman membuat kasti dan permainan tradisional lainnya semakin ditinggalkan dan dilupakan. Kemunculan permainan elektronik, mulai game watch , dingdong, hingga yang terakhir gadget, menjadi pemicunya. Ditambah dengan didikan orangtua yang lebih mementingkan keselamatan dan ketenangan anak, mereka pun akhirnya lebih memilih permainan-permainan elektronik ketimbang harus berpanas-panasan atau hujan-hujanan memainkan kasti dan permainan tradisional lain. “ Gadget itu salah satu (faktor). Munculnya permainan modern, terbatasnya lahan, terputusnya informasi dari generasi ke generasi dan munculnya kehidupan yang individualis menjadi penghambat (pelestarian kasti),” ujar Endi. Toh, kasti belum punah. Beberapa lomba kasti masih bermunculan di beberapa daerah. Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrempulu (HPMM) Cabang Anggeraja, misalnya, pada Juli hingga Agustus lalu menghelat perlombaan kasti untuk memperingati HUT kemerdekaan. Namun, itu sifatnya hanya sesaat. Setelah itu kasti kembali “mati suri”. Pemerintah tak bisa berbuat banyak menyelamatkannya karena kasti belum dianggap sebagai olahraga kompetitif. Hal itulah yang membuat “pejuang” permainan tradisional seperti Endi terus berupaya melestarikannya. “Pameran bersama (di luar Jabodetabek) atas bantuan Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) juga pernah kami adakan di Semarang, Salatiga, Batang, Manado, Aceh, serta Pontianak. Dibarengi dengan pemberian informasi tentang permainannya. Memang tidak mudah, harus dilakukan terus-menerus dan secara berkesinambungan,” ujarnya. Bersama rekan-rekannya, sejak 2005 Endi aktif menggelar kegiatan pameran, gelar dolanan, hingga workshop di sekolah-sekolah, mal-mal, kampus, taman atau kantong-kantong kebudayaan lainnya untuk melestarikan kasti dan beragam permainan tradisional lain. Permainan tersebut sarat filosofi dan manfaat ketimbang main gadget. “Pemerintah juga tidak bisa fokus ke satu atau dua permainan. Makanya dibutuhkan sekali munculnya para penggiat (dari elemen masyarakat). Pentingnya dilestarikan karena permainan ini mengutamakan unsur kekompakan, ketangkasan dan kegembiraan. Melatih kedisiplinan dan meningkatkan kerjasama antar-pemain,” tandasnya.

  • Penulisan Sejarah dalam Mode 2.0

    SEKIRA 165 ahli sejarah berbagai umur, berasal dari berbagai daerah di Indonesia, selama tiga hari, 14-16 Desember 2017, saling bertukar paparan. Masing-masing akan menyampaikan makalah yang sudah disusun, kemudian berdiskusi. Keseluruhan acara tersebut bertajuk "Peringatan 60 Tahun Seminar Sejarah 1957-2017" dengan Universitas Gajah Mada sebagai tuan rumah. “Seminar ini adalah inisiasi dari dua lembaga, MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) dan PPSI (Perkumpulan Prodi Sejarah Seluruh Indonesia). Kemudian disusun panitia, dan UGM ditunjuk sebagai tuan rumah. Persiapannya sekitar enam bulan jadi mulai dari call of paper ,” ujar Sri Margana, ketua panitia seminar sejarah, kepada Historia . Semula, seminar ini hanya akan membatasi pada 60 pemakalah dan hanya diselenggarakan selama dua hari saja. Namun, banyaknya abstraksi makalah yang masuk, maka jumlah pemakalah yang diundang membengkak menjadi 165 orang dan waktu pun bertambah satu hari. “Saya berharap ini bisa reguler, kalau bisa dibikin tahunan. Karena ini kesempatan bagi teman-teman S-2, S-3 atau teman-teman yang mempunyai skripsi bagus, bisa tampil di sini. Itu sangat membantu teman-teman yang lebih muda untuk mulai mengenal dunia riil dalam penulisan sejarah. Kalau di sini terbuka ruang. Saya senang, di sini tidak memandang umur, pangkat, jabatan, semua datang sebagai orang yang punya perhatian terhadap sejarah kita,” ujar Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, kepada Historia . Seminar nasional kali ini mengambil tema khusus, yaitu Sejarah untuk Kebinekaan dan Keindonesiaan: Refleksi 60 tahun Seminar Sejarah Indonesia. “Ya, karena sudah 60 tahun, sejarawan Indonesia perlu berefleksi bahwa seminar 1957 itu masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Seminar ini berusaha untuk menjawab masalah yang belum tuntas, seperti masalah filsafat sejarah nasional, periodisasi dan sebagainya,” ujar penulis buku Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan ini. Seminar ini, selain merefleksikan seminar tahun 1957, juga ingin merespons keadaan sekarang. Tantangan yang dihadapi sejarawan tahun 1957, benar-benar berbeda dengan sejarawan masa kini. Jika tahun 1957, ujar Margana, tantangannya mungkin seputar dekolonialisasi, lalu upaya mengubah persepsi historiografi kolonial ke historiografi nasional, kemudian masalah sejarah nasional yang ditulis bangsa sendiri. “Nah, sekarang ini mungkin tantangannya berbeda. Sejarawan dihadapkan tantangan kekinian yang semakin rumit seperti belakangan ini menguatnya politik identitas, melemahnya rasa pluralisme. Di sinilah kita perlu merespons itu. Sejarawan barangkali perlu melihat dari peristiwa masa lampau yang bisa menunjukkan bahwa kebinekaan dan pluralisme itu adalah bagian dari proses sejarah yang sudah lama dan menjadi bagian dari kesepakatan bangsa,” ujar Margana. Dan oleh sebab itu, “sejarawan ditantang untuk menunjukan kajian sejarah dari sisi itu, untuk kembali menguatkan rasa kebinekaan,” imbuhnya. Sejarah yang Meluas Seminar sejarah kali ini mengambil empat subtema pokok yaitu (1) Menemukan Historiografi Indonesia, (2) Pluralisme dan Identitas: Pengalaman dan Pandangan Berkebangsaan, (3) Agama dan Negara: Pergulatan Pemikiran dan Ketokohan, (4) Kapita Selekta Pendidikan Sejarah Indonesia. “Banyak pertanyaan politik yang dibahas secara akademik dalam seminar ini. Soal agama, keragaman, soal dalam masyarakat. Soal-soal ini memicu para sejarawan, para profesional untuk bekerja secara metodik memikirkan persoalan ini. Bagaimana cara kita merumuskan, bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang tepat. Sehingga nanti tidak keluar solusi-solusi instan,” ujar Hilmar Farid, ketua MSI, semalam (14/12). Suatu ketika, cerita Hilmar, sejarawan Sartono Kartodirdjo pernah menulis mengenai susahnya menulis macro history . Menurut Sartono, menulis macro history membutuhkan energi besar dan sumber daya manusia yang banyak. “Persoalan teknis ini sebenarnya sekarang kita sudah punya. Jumlah orang yang belajar sejarah sudah begitu banyak, akses kepada informasi dan arsip yang sudah didigitalkan sudah ada. Jadi apa yang dulu Pak Sartono berkata tidak mungkin dilakukan, sekarang menjadi mungkin. Dan itu sudah tercermin dari makalah-makalah yang masuk dalam seminar sejarah sekarang ini,” ujarnya. Hilmar juga menyoroti bagaimana penulisan sejarah dalam merespons situasi zaman saat ini, saat segala informasi dengan mudah dipilih sesuai selera dengan cepat. Generasi zaman sekarang, jarang membaca buku secara analog, yang membaca dari halaman depan ke halaman terakhir. Anak sekarang mencari informasi yang sesuai dengan dirinya sendiri. “Kita ini perlu memproduksi sejarah Indonesia sentris dalam model 2.0. Mode ini mengkombinasi banyak hal dan membantu mencari apa yang kita cari. Kalo web jaman dulu, sebelum 2.0, ya kita perlu men- download untuk mencari sesuatu. Tapi dengan mode 2.0, mereka bisa bekerja sendiri, penganalisanya bukan manusia atau sejarawan, namun algoritma. Inilah ranah produksi pengetahuan sejarah hari ini,” ujar Hilmar.

  • Cerita Sebuah Pengkhianatan

    Enam lembar foto milik Gahetna (Arsip Nasional Belanda) itu berbicara banyak. Di foto-foto usang itu nampak seorang perwira TNI (Tentara Nasional Indonesia) berpangkat mayor tengah bergaul akrab dengan para serdadu Belanda: merokok bareng dan tertawa-tawa gembira. Di bagian lain, terlihat lelaki bertubuh kecil itu berbicara di depan sekumpulan warga. “Seorang mayor TNI sedang memberikan penjelasan kepada penduduk Purwakarta,” tulis keterangan yang dilansir oleh Gahetna. Achmad Sachdi, nama lelaki itu, sejatinya adalah seorang perwira kharismatik yang sangat populer di wilayah Purwakarta dan Karawang pada 1946-1949. Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa cetakan 1968, disebutkan Sachdi saat berpangkat kapten (1946) adalah Komandan Batalyon Banteng, di bawah Letnan Kolonel Umar Bachsan, Komandan Resimen Purwakarta (bagian dari Brigade III Kian Santang Divisi Siliwangi). “Dia membawahi wilayah Plered-Cikalong Kulon,” ungkap Hengky Firman, peneliti sejarah dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Menurut Firman, ketika militer Belanda melakukan Agresi ke-1 pada Juli 1947, Plered termasuk wilayah yang diserang dan berhasil dikuasai oleh mereka. Guna melanjutkan perlawanan, Sachdi dan pasukannya menyingkir ke hutan-hutan sekitar Plered. Mereka membangun basis perlawanan di sebuah kawasan bernama Palinggian. Duapuluh hari setelah penyerangan militer Belanda ke Plered, pada 14 Agustus 1947, Sachdi yang sudah diangkat menjadi seorang mayor lantas mengadakan sebuah pertemuan dengan lasykar-lasykar rakyat di Palinggian. Mereka sepakat bahwa perlawanan terhadap militer Belanda harus dijalankan lewat aksi bersama, tidak sendiri-sendiri. Sebagai pusat koordinasi dipilih markas Batalyon Sachdi di Palinggian. Maka dari tempat itulah, gabungan tentara-lasykar kerap menjalankan aksi gerilya dengan melakukan penyangongan (penghadangan) patrol-patroli tentara Belanda yang lewat. Usai Perjanjian Renville disepakati Indonesia dan Belanda pada Desember 1947, Divisi Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Batalyon Sachdi termasuk pasukan yang harus meninggalkan basisnya di Palinggian. Singkat cerita, mereka kemudian ditempatkan di wilayah Muntilan, Magelang dan belakangan aktif terlibat dalam operasi penumpasan gerakan FDR (Front Demokrasi Rakjat) pimpinan Musso pada September-November 1948. Minggu, 19 Desember 1948, militer Belanda menjalankan aksi Agresi ke-2 secara tiba-tiba. Sesuai perintah Panglima Besar TNI Jenderal Soedirma, Divisi Siliwangi lantas melakukan aksi long march (perjalanan panjang) kembali ke Jawa Barat. Batalyon V pimpinan Sachdi berangkat dari Muntilan pada 19 Desember 1948 menuju ke Palinggian. Mereka bergerak dengan melalui rute Muntilan-Gunung Slamet-Kuningan-Sumedang-Taringgul (Purwakarta). Malangnya, pada 19 Februari 1949 ketika mereka sampai wilayah Bantarujeg, suatu pasukan besar Belanda menyergap pergerakan Sachdi dan anak buahnya. Setelah melalui pertempuran hebat, akhirnya sebagian besar pasukan berhasil ditawan militer Belanda termasuk Mayor Sachdi. Namun soal menyerahnya Mayor Sachdi usai melakukan perlawanan hebat dibantah oleh Gar Soepangat (89), eks perwira dari Satoean Pemberontak 88 (SP 88). Itu nama suatu kesatuan khusus yang dirancang untuk mengadakan perlawanan selama Jawa Barat ditinggalkan oleh Divisi Siliwangi. Menurut Gar, sepulang long march , Sachdi merasa patah harapan untuk mengalahkan militer Belanda yang menurutnya serba kuat dalam segala hal. Dengan dalih, anak buahnya sudah lelah berperang, Mayor Sachdi lantas menyerahkan diri ke militer Belanda dan menjalankan perjanjian gencatan senjata sepihak. “Sebagian besar anak buahnya tidak terima dan lebih memilih balik ke hutan untuk melakukan perlawanan,”ujar eks anggota intelijen SP 88 untuk wilayah Purwakarta itu. Sachdi kemudian “direkrut” oleh pihak militer Belanda untuk mensosialisasikan “gencatan senjata” sepihak tersebut kepada para anak buahnya yang masih memilih bertahan di hutan-hutan. Gar masih ingat, bagaimana sang mayor berkeliling ke pelosok-pelosok dengan membawa pengeras suara seraya berseru agar para pejuang Indonesia menyudahi permusuhannya dengan tentara Belanda. “Dia berkeliling kayak tukang obat dan hidup enak, sementara kami bertahan di hutan-hutan. Saya dan kawan-kawan tentunya tak akan pernah melupakan pengkhianatannya itu,” ujar Gar. Usai perang berakhir, Sachdi tetap eksis. Ia berhasil “lolos” karena kemampuan piawainya sebagai seorang politikus. Menurut Gar, sebelum meninggal pada tahun 1970-an, Sachdi dia ketahui aktif sebagai fungsionaris sebuah partai politik di era Orde Baru.

  • Palagan Bagi Sejarah Lisan

    FX Harsono adalah seorang seniman. Dia mengaku sejak 1985 sudah membuat karya seni berbasis penelitian, namun baru pada 2000-an dia sadar telah melakukan proses kreatif seni berdasarkan penelitian sejarah, khususnya persoalan orang Tionghoa. Harsono menjadi intens dengan masalah sejarah setelah melihat foto-foto yang dimiliki mendiang ayahnya, mengenai penggalian kuburan massal warga Tionghoa pada kurun 1950. Sejak itulah, dia mulai giat berkeliling ke beberapa kota di Jawa dan meneliti lokasi-lokasi kuburan massal warga Tionghoa tersebut. “Saya sudah menemukan 13 kuburan massal pembunuhan Tionghoa di Jateng, Jatim dan Jabar. Hampir 2000 orang yang dibunuh pada kurun paska 1945,” ujar seniman asli Blitar ini. Selain berhasil menemukan lokasi kuburan massal warga Tionghoa (biasanya ditandai dengan nisan yang berisi nama-nama orang yang dikubur), Harsono juga berhasil memetakan bahwa pembunuhan massal tersebut cenderung terjadi di pedalaman. “Kota-kota di pantai utara tidak ada pembantaian warga Tionghoa, karena tentara kuat. Di Tegal, di Jakarta dan Surabaya tidak ada pembantaian. Kota di mana tentara posisinya kuat, tidak ada pembunuhan. Di Kertosono, yang hanya beberapa kilometer dari Nganjuk, tidak ada pembunuhan. Nah di Nganjuk itu pembunuhunan terbesar di pulau Jawa, 788 jiwa yang tercatat di nisan,” ujarnya. Harsono pun rajin menjalin komunikasi dengan orang-orang yang selamat atau mengetahui peristiwa pembantaian dalam kurun 1947 hingga 1948. Sadar tidak sadar, sang seniman sudah melakukan metode sejarah lisan dalam penelitiannya. Sejarah Lisan Memeriksa peristiwa macam pembantaian Tionghoa yang terjadi paska kemerdekaan 1945 menjadi menarik jika disertai keterangan-keterangan dari para saksi mata atau bahkan penyintas. “Saat melakukan penelitian di Blitar, saya bertemu dengan penyintas yang sudah berusia 93 tahun. Pada saat revolusi, ia sebenarnya sudah ditangkap laskar untuk dieksekusi, namun dibatalkan karena ayahnya sudah lebih dulu ditangkap, maka penyintas yang masih berusia belasan itu kemudian dilepaskan,” tulis FX Harsono dan Ravando dalam sebuah artikel berjudul Dari Nisan ke Informan: Penggunaan Sumber Alternatif dalam Penulisan Sejarah Indonesia , yang disajikan dalam Peringatan 60 Tahun Seminar Sejarah Nasional 1957-2017 di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, hari ini (14/12). Melakukan penelitian sejarah dengan basis sejarah lisan bukan hal mudah. Masih banyak yang memandang bahwa menulis sejarah haruslah berbasis dari dokumen, kemudian juga munculnya bias dari narasumber. Mensejajarkan sumber sejarah lisan dengan sumber sejarah konvensional berupa dokumen atau arsip adalah sebuah tantangan tersendiri. “Sumber lisan dapat direkam sebagai kisah sejarah. Nugroho Notosusanto memberikan pernyataan bahwa sejarah lisan lebih dekat ke sejarah kontemporer, sebab sejarah kontemporer itu paling dekat dengan pelaku sejarah, dengan saksi mata. Sejarah kontemporer sendiri dijadikan sejarah dari generasi ke generasi yang sejaman dalam sebuah peristiwa,” ujar Amurwani Dwi Lestariningsih, Kepala Subdirektorat Pemahaman Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, yang hadir juga sebagai pemakalah pada sesi I panel B. Penggalian keterangan dari para pelaku atau saksi sejarah memungkinkan adanya subyektivitas, selain itu juga jarak waktu antara peristiwa dengan pelaku sejarah. Pun demikian, subyektivitas itu akan bisa ditekan jika menggunakan metodologi sejarah secara benar. “Tentu saja untuk mengukur kadar subyektivitas maka perlu melakukan kroscek dengan sumber lain. Terkadang penutur juga tidak bertanggungjawab dengan kisah yang diceritakannya. Disitu pula kita harus mencermati budaya tradisi lisan dengan sumber lisan,” ujar Amurwani. Budaya tradisi lisan menurutnya dikisahkan secara turun temurun; penutur tidak ada sangkut paut dengan kisah yang dikisahkan, penutur juga tidak terlibat dengan peristiwa dan penutur tidak bertanggungjawab dengan kisah yang dituturkannya. Kehati-hatian dalam mencari sumber sejarah lisan, hampir sama beratnya dengan menelisik dokumen. “Seperti arsip-arsip yang dibuat pejabat kolonial, bukan tidak mungkin mereka membuat laporan yang sesuai dengan yag diinginkan atasannya, perlu sikap hati-hati dengan melakukan pembanding dengan sumber lainnya,” ujarnya.

  • Ujeng Suwargana, Jejak Spion Melayu

    Selama tinggal di wilayah Menteng, Jakarta Pusat, rumah Rosihan Anwar bertetangga dengan rumah Jenderal A.H. Nasution. Disitulah Rosihan - saat itu wartawan senior pendiri suratkabar Pedoman - berkenalan dengan Ujeng Suwargana. Bahkan usai bertemu Nasution, Ujeng kerap mampir di kediaman Rosihan. “Dia bercerita mengenai kunjungannya ke pelbagai negara di Eropa, diantaranya negeri Belanda dan Amerika Serikat. Ceritanya menimbulkan kesan pada saya bagaikan hasil pekerjaan dan imajinasi seorang ‘spion Melayu’,” kenang Rosihan dalam Sejarah Kecil: Petite Historia Indonesia Jilid 1. Rosihan sendiri sudah lama tahu sang pengusaha. Nama Ujeng Suwargana pada awal dekade 1960 dikenal sebagai juragan penerbit buku-buku pendidikan di Bandung. Sebagai mantan anggota Divisi Siliwangi dan sama-sama mendirikan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Ujeng juga dekat dengan Jenderal Nasution. Saat yang sama, Nasution telah menjabat sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat. Rosihan tak terlalu serius menanggapi kisah “spionase” Ujeng. Namun, menurut Rosihan tidak semua cerita Ujeng omong kosong belaka. Bahkan Willem Oltmans, wartawan kawakan Belanda yang akrab dengan Presiden Sukarno, meyakini dia sebagai seorang yang memiliki peran penting dalam sejumlah kegiatan politik melawan Sukarno. “Saya telah banyak mendengar desas-desus tentang dirinya (Ujeng) bahwa ia bepergian ke Eropa Barat dan ke Amerika Serikat untuk menggulingkan kekuasaan di Jakarta,” tutur Oltmans dalam memoarnya Mijn Vriend Sukarno yang yang dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia berjudul Bung Karno Sahabatku . Agen Intelijen? Pada 14 Juni 1961 di Amsterdam, Oltmans untuk kali pertama bertemu dengan Ujeng Suwargana. Meski tampil sebagai orang sipil namun Ujeng tampak fasih memahami kondisi internal TNI AD. Tak heran memang, karena Ujeng merupakan teman akrab Jenderal Nasution. Namun Oltmans kadung menaruh kesan mencurigakan terhadap Ujeng. Di Belanda Oltmans dikenal sebagai wartawan investigasi. Menurut Oltmans, beberapa laporan rekan-rekannya di Belanda menyebutkan Ujeng kerap wara-wiri mendatangi parlemen Belanda dan lingkungan wartawan. Dia mengumumkan sesuatu yang mencengangkan bahwa tak lama lagi akan ada pengalihan kekuasan militer oleh Jenderal Nasution dan kawan-kawannya di Jakarta. Tak diketahui persis apa motif Ujeng menyampaikan hal tersebut. Setahun berselang, keduanya bersua lagi di Amerika Serikat. Oltmans saat itu dicekal negaranya sendiri karna vokal mengkritik kebijakan pemerintah Belanda atas Irian Barat. Mereka bertemu di restoran Greenwich Village, kota Manhattan. Ujeng tetap konsisten dengan ucapannya. Pertemuan itu, menurut Oltmans, menyiratkan telah dibentuknya Dewan Jenderal dengan tujuan khusus: menjatuhkan Bung Karno. Sementara itu, Jenderal Nasution direncanakan akan melenggang naik kursi kepresidenan menggantikan Sukarno. “Atas pertanyaan saya, kapan coup -tentara itu akan dilaksanakan di Jakarta, jawabnya hanyalah: wait and see! ” tutur Oltmans. Asumsi Oltmans agak terpatahkan ketika gejolak politik yang terjadi adalah Gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu menjadi tonggak runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno. Namun aksi yang dilancarkan komandan pasukan pengawal presiden, Letkol Untung itu juga menyasar Nasution – sosok yang digadang-gadang Ujeng mendongkel posisi Sukarno – sebagai korban. Beruntung, Nasution luput dari operasi penangkapan dan hanya mengalami luka ringan. Berbeda halnya dengan Jenderal Ahmad Yani dan rekan-rekan perwiranya yang gugur secara tragis. Beberapa penelitian memperkuat dugaan Oltmans bila Ujeng punya jaringan kuat di Amerika Serikat. Pada 1967 Elliot Haynes, ketua Business International Corporation (BIC) yang hendak menjumpai Nasution mendiskusikan kemungkinan investasi modal asing di Indonesia harus melalui perantaraan Ujeng terlebih dahulu. Saat itu Ujeng telah menjadi dosen di keempat lembaga pendidikan angkatan bersenjata TNI: Seskoad, Seskowal, Seskoau, dan Seskopol. Dia juga pengajar di Pusdiklat Kejaksaan Agung. “Mempelajari komunisme adalah hobinya. (Ujeng) seorang muslim yang saleh, dia berpuasa sekarang karena kita berada di (bulan) Ramadhan,” ujar Haynes dalam laporannya bertajuk “Elliott Haynes ‘Indonesian Diary’” termuat di dokumen State Department 1964—1968 . Sejarawan Amerika Anthony C.A Dake dalam disertasinya yang dibukukan The Sukarno Files, 1965--1967: Chronology of a Defeat melampirkan laporan Ujeng kepada Sudjatmoko, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Catatan yang tidak dipublikasikan berjudul “Persoalan ‘Dewan Jenderal’ dan perentjana ‘Gerakan 30 September’” tertanggal 27 Juni 1971. Sebagai orang dekat Nasution, Ujeng mengetahui banyak seluk dalam Angkatan Darat. Pakar politik militer Universitas National Australia, Harold Crouch pernah mewawancarai Ujeng pada 15 Agustus 1973 untuk studi disertasinya. Kepada Crouch, Ujeng menuturkan tentang konflik di tingkat elite Angkatan Darat seperti, perseteruan antara Nasution dengan suksesornya, Jenderal Yani; adanya segelintir perwira senior yang tak menyenangi gaya hidup mewah Yani; beberapa tipikal para jenderal TNI AD. “Ujeng adalah seorang warga sipil yang bekerja di dinas intelijen angkatan bersenjata,” tulis Harold Crouch dalam disertasinya yang dibukukan berjudul The Army and Politics in Indonesia ( Militer dan Politik di Indonesia ). Sejauh apa kebenaran aktivitas intelijen Ujeng? “Anggap sajalah cerita mengenai Ujeng Suwargana ini sebagai sejarah kecil, petite histori . Habis cerita,” demikian kata Rosihan Anwar.

  • Mengucilkan Israel di Arena Olahraga (Bagian II – Habis)

    DENGAN sokongan Amerika Serikat, Israel bisa berbangga diri dan tak kesulitan menindas Palestina. Tapi, negeri itu harus membayar mahal dengan pengucilan. Di dunia olahraga, Israel mengalami pengucilan tak hanya di arena sepakbola tapi juga di Asian Games hingga Olimpiade. Kontroversi besar terjadi ketika Israel ditolak berpartisipasi dalam Asian Games IV di Jakarta, 1962. Pemerintah Indonesia, yang gencar mendukung kemerdekaan Palestina, menolak memberi visa kepada kontingen Israel meski Indonesia harus membayanya dengan skorsing dari IOC (Komite Olimpiade Internasional) pasca-perhelatan Asian Games 1962. Penolakan itu menjadi pengucilan pertama terhadap Israel setelah merdeka pada 1948. Sebelumnya, Israel sama sekali tak mengalami boikot ketika mengikuti Asian Games II Manila 1954 maupun Asian Games III Tokyo 1958. Setelah Asian Games IV pun Israel tetap bebas berpartisipasi dalam Asian Games 1966 dan 1970 Bangkok, Thailand. Pada Asian Games 1974 di Teheran, Israel mengalami semi-boikot. Kontingen negara itu tetap diperbolehkan mengikuti gelaran oleh tuan rumah, tapi beberapa atletnya mengalami boikot. Para pemboikot menolak bertanding melawan atlet-atlet Israel dengan mengatasnamakan solidaritas terhadap Palestina yang sejak 1948 dirongrong Israel. “Terlepas dari protes negara-negara Arab, Iran mengizinkan Israel berpartisipasi. Namun negara-negara Arab dan beberapa atlet dari negara-negara lain menolak partisipasi di sejumlah cabang yang diikuti atlet-atlet Israel,” tulis George H Sage dalam Globalizing Sport: How Organizations, Corporations, Media and Politics are Changing Sports. Pengucilan terhadap Israel kian nyata setelah Asian Games 1974. Jelang Asian Games 1978, yang kembali dihelat di Bangkok, Israel benar-benar diboikot. Pemboikotan bukan berasal dari tuan rumah, sebagaimana di Asian Games 1962 di Jakarta, tapi langsung dari Asian Games Federation (AGF). AGF mengganjar sanksi sementara buat Israel untuk tampil di Asian Games dengan alasan keamanan. Alasan itu membuat dongkol Presiden Komite Olimpiade Israel Joseph Inbar. “Alasan utamanya karena federasi (AGF) memiliki (dewan) tujuh negara Arab serta China dan mereka ingin mendepak kami,” ujarnya seperti dilansir suratkabar St Petersburg Times , 26 Juli 1976. Persekusi terhadap Israel makin parah dengan keluarnya keputusan rapat Dewan AGF, 26-27 November 1981. Keputusan itu mengeluarkan Israel dari Dewan Olimpiade Asia yang hendak dibentuk. “AGF akan direorganisasi menjadi Dewan Olimpiade Asia jelang Asian Games 1982 di New Delhi, India, di mana mereka tidak akan melibatkan Israel di dalamnya,” tulis koran Ottawa Citizen , 10 Desember 1981. Kebijakan penolakan Israel itu makin kuat dengan keluarnya kebijakan IAAF (Federasi Atletik Amatir Internasional) yang dihasilkan dari kongresnya pada 4 September 1983. “Voting Kongres menghasilkan 374-10 untuk keputusan mendukung Asian Games melarang Israel tampil di Asian Games 1982,” tulis New York Time s, 5 September 1982. Akibatnya, atlet- atlet Israel kian kesulitan tampil di Asia. Sebelumnya, mereka ditolak ikut dalam beberapa ajang regional semisal Mediterranean Games (sejak 1951) dan Arab Games (sejak 1974). Mereka hanya bisa tampil dalam Olimpiade. Itu pun masih “diselipkan” sebuah insiden yang menewaskan 11 atlet Israel di Olimpiade 1972 Munich, Jerman. “BSO (Organisasi September Hitam), sebuah organisasi militan Palestina, menyandera para atlet Israel di Kampung Atlet (Olimpiade Munich). Mereka menuntut pembebasan 234 tahanan Palestina di Israel. Sebelas atlet Israel akhirnya tewas dalam upaya pembebasan,” ujar M Amara dalam Sport, Politcs and Society in the Arab World. Hingga kini, beragam pemboikotan masih terus menghampiri Israel. Mayoritas boikot datang dari negara partisipan meski ada juga dari atlet secara individu. Boikot terjadi tak hanya di Olimpiade, tapi terus meluas ke beragam kejuaraan dunia dan Asia sampai sekarang. Kejuaran-kejuaraan judo, taekwondo, karate, tinju, basket, tenis, tenis meja, gulat, anggar, renang, voli, voli pantai, biliar, hingga bulutangkis menjadi ajang boikot itu. Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2015 di Jakarta mungkin menjadi satu-satunya ajang yang memperbolehkan atlet Israel tampil. Lewat campur tangan BWF (Federasi Bulutangkis Dunia), pebulutangkis tunggal putra Israel Misha Zilberman akhirnya mendapatkan visa untuk bisa datang ke Indonesia.

  • Samar-Samar Siti Jenar

    Tanggal 5 bulan Ramadhan, hari jumat, tahun Wawu, berlangsung sebuah sarasehan di Giri Kedhaton, kediaman Sunan Giri I. Delapan orang wali utama -minus sunan Kudus yang absen tanpa kabar- datang dalam sarasehan yang membahas mulai dari masalah makrifat hingga etika hidup itu. Kedelapan wali itu antara lain seperti Sunan Mbonang, Sunan Gunungjati, Pangeran Mojoagung, Sunan Kalijaga, Syekh Bentong, Maulana Maghribi, Syekh Lemah Abang, dan Pangeran Giri Gajah, Sarasehan yang semula tenang, berubah gaduh. “Aku inilah Tuhan. Mana yang lain. Ya tidak ada yang lain selain aku ini,” ujar Syekh Lemah Abang. “He..apakah yang Anda maksud jasmani Anda ini?,” tanya Maulana Maghribi. “Jangan ikuti pikiran itu. Nanti kamu dihukum mati,” terang Sunan Gunungjati. Syekh Lemah Abang pun angkat kaki meninggalkan majelis itu sembari berkata,”Nah, mana lagi yang lain, jangan kira ada duanya!”. Cuplikan sarasehan tersebut tersua dalam kropak Ferrara, sebuah naskah dari abad 16, yang kemudian diterjemahkan oleh G.W.J Drewes menjadi An Early Javanese Code of Muslim Ethics , oleh GJH Drewes lalu dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia oleh Wahyudi dengan judul Perdebatan Wali Songo: Seputar Makrifatullah . “Siti Jenar adalah nama yang disematkan oleh Walisongo ketika drama eksekusi,” ujar Ki Herman Sinung Janutama, penulis buku Pisowanan Alit , kepada Historia . Dalam kropak Ferrara itulah nama Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar atau Syekh Siti Brit dituliskan namun tak mencantumkan siapa Syekh Siti Jenar itu sebenarnya. Asal-usulnya masih gelap. M.B. Rahimsyah dalam Biografi & legenda Wali Sanga dan para ulama penerus perjuangannya , terbit 1997, secara tegas menuliskan bahwa Syekh Siti Jenar bernama asli Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta. Leluhur Syekh Jabaranta ini adalah Syekh Abdul Malik yang menikahi seorang anak penguasa dan bergelar Asamat Khan. Dari perkawinan itu, ia mendapat putra Maulana Abdullah. Maulana Abdullah memiliki beberapa anak, diantaranya Syekh Kadir Kaelani. Ia pun menurunkan putra lagi yang bernama Syekh Datuk Isa dan mukim di Malaka. Datuk Isa memiliki dua anak, salahsatunya Syekh Datuk Soleh. Datuk Soleh inilah, menurut Rahimsyah, merupakan bapak Syekh Siti Jenar. “Namun penulis ini tidak mencantumkan daftar pustaka dalam bukunya, dan barangkali sumber yang banyak disitir adalah buku karangan Sosrowidjoyo,” tulis Hasanu Simon dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa . Lain lagi pendapat Abdul Munir Mulkhan dalam Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa . Menurutnya, Syekh Siti Jenar berasal dari Cirebon dan bernama asli Ali Hasan atau Syekh Abdul Jalil. Ia berayah seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Satu waktu, Resi Bungsu marah kepada si anak dan mengutuknya menjadi cacing. Dari situ, pengembaraannya dimulai, salahsatunya dengan menguping wejangan Sunan Mbonang kepada Sunan Kalijaga tentang ‘ilmu luhur’. “Jadi perkara eyang Kajenar atau eyang Siti Jenar atau Jene, nama-namnya itu digunakan untuk tempat tinggal raja-raja Jawa,” ujar Sinung. Gedhong Jene, tulis Sabdacarakatama dalam Sejarah Keraton Yogyakarta , terletak di sebelah utara bangsal Prabasuyasa, dinamakan Gedhong Jene karena pagar batu batanya dicat kuning dan atap bentuk limasan membujur ke utara, serambi luar sebelah timur susun dan pintu dahulunya warna putih yang sekarang berwarna kuning muda. Sekira permulaan abad 20, Panji Notoroto atau Sosrowijoyo, membuat tulisan berjudul Siti Jenar . Ia, catat Hasanu Simon, adalah bekas penewu atau kepala distrik di Ngijon, Yogyakarta. Diceritakan, selepas menjadi penewu , ia berguru ke beberapa orang saleh, mulai dari Pacitan hingga Betawi. Setelah pengembaraan, ia kembali ke Yogyakarta, dan menulis beberapa buku, selain Siti Jenar , seperti Serat Bajanullah dan Kancil Kridamartana . Karya Sosrowijoyo ini kemudian semakin terkenal sejak perguruan kebatinan yang ia dirikan, Nataratan, mendapat banyak murid. Murid-muridnya antara lain Ki Padmosusastro, lalu ada ahli sastra Jawa yang bernama Ki Wignyohardjo dan pemimpin redaksi Ari Warti Djawi Kanda yaitu Martodarsono. Ki Wignyohardjo, murid Notoroto juga mengeluarkan buku Serat Siti Jenar namun memuat nama R. Sosrowijoyo sebagai penulis. Buku ini semakin populer setelah kawannya, Harjosumitro -pemimpin redaksi Ari Warti Sedya Tama di Yogyakarta- turut mempopulerkannya. Isi buku ini, catat Hasanu Simon, jauh lebih panjang dari kropak ferrara sehingga isinya menjadi aneh-aneh termasuk perdebatan murid Syekh Siti Jenar dengan utusan Demak, perilaku murid-muridnya, dan di seputar kematiannya. “Sunan Drajad malah bikin gamelan yang diberi nama Singomengkok yang berarti anjing. Sunan Drajad sendiri adalah murid eyang Jenar. Gamelan ini dibuatnya untuk memuliakan beliau,” ujar Sinung. “Selamanya (Siti Jenar,  red. ) akan terus tersembunyi,” tambahnya. Asal-usul Syekh Siti Jenar tak pernah jelas. Publikasi yang pernah terbit pun seperti tidak dibuat tuntas. Tetap menjadi misteri yang digemari.

bottom of page