Hasil pencarian
9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Gerinda Suka Diejek PKI
Kampanye PKI. SETELAH vakum selama masa pendudukan Jepang, Pakempalan Kawula Ngayogyakarta (PKN) muncul kembali pada 1951 sebagai partai politik dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda). Ketuanya dipegang Pangeran Suryodiningrat, pendiri PKN. Meski tak punya cabang-cabang di daerah, kecuali wakil-wakil penerangan partai di tiap kabupaten, Gerinda mendapat sambutan hangat. Mereka meraih kursi lumayan dalam pemilihan DPRD Yogyakarta tahun 1957. Pesaing utamanya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang belum sembuh benar akibat pukulan telak militer karena Peristiwa Madiun 1948. Dari total 57 kursi, PKI meraih 14 kursi. Diikuti oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8 kursi dan Gerinda 6 kursi. Dari seluruh perwakilan DPR provinsi, kota dan kabupaten di seluruh Yogyakarta, PKI menduduki tempat pertama dengan 65 kursi, disusul PNI 37 kursi, Masyumi 29 kursi, dan Gerinda 28 kursi. Jumlah kursi seluruhnya adalah 207 kursi. Kendati tak punya perangkat ideologi eksplisit, Gerinda bisa diterima masyarakat pedesaan Yogyakarta yang buta huruf karena ketertarikan atas cara-cara mistik yang disampaikan anggota-anggota Gerinda. Sebaliknya, meski tak sepenuhnya dimengerti masyarakat pedesaan, PKI menarik hati kaum proletar miskin yang berharap akan masa depan yang lebih baik. Seperti pada Gerinda, pengkultusan pemimpin juga terjadi di PKI. Semua keputusan dan perintah DN Aidit, ketua PKI, merupakan pedoman untuk kegiatan-kegiatan anggotanya di seluruh Indonesia. “Gambarnya terpajang di rumah anggota-anggota PKI. Pimpinan dan anggota biasa adalah saudara tua yang senantiasa ada dalam partai,” tulis Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta . Para anggota Gerinda dan PKI mempunyai perasaan kelompok yang kuat. Namun, bagaimana cara perasaan kelompok itu terbentuk berbeda-beda. Perasaan kelompok di PKI dibentuk dengan ceramah dan indoktrinasi oleh pimpinan. Mereka biasa menggunakan kata-kata asing: kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, kolektivisme, dan Marxisme. Ini dilakukan agar terkesan intelektual bagi masyarakat tak berpendidikan dan buta huruf. Menurut Soemardjan, untuk membuat kaum komunis sadar akan rasa perbedaan, dengan sengaja mereka menerapkan metode “menonjolkan perbedaan”. Di tingkat pusat, PKI menetapkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai lawan politik. Sedangkan di Yogyakarta, Gerinda dipilih sebagai sasaran. Pemuda Rakyat dan ormas pemuda PKI begitu agresif mengejek anggota Gerinda yang dianggap kuno, konservatif, feodal, tak terpelajar, dan bodoh. “Sebagian besar anggota PKI yang aktif di Yogyakarta adalah generasi muda yang bergerak menjauh dari generasi tua,” tulis Soemardjan. Selain itu, tak ada partai lain di Yogyakarta yang memiliki kesiagaan, keterampilan berorganisasi dan taktik-taktik militan yang menyamai PKI. Anggota Gerinda hampir tak pernah bereaksi secara progresif terhadap PKI atau Pemuda Rakyat, kecuali kalau ada penghinaan pribadi. Seperti keluhan seorang anggota Gerinda: “Kami telah dipesan oleh pangeran (Suryodiningrat, pemimpin Gerinda) untuk mengurus urusan kami sendiri dan tidak mencampuri urusan partai-partai lain. Kami tak tahu kenapa kaum komunis itu demikian agresif terhadap kami, tapi kami tetap diam saja.” Gerinda adalah produk kebudayaan khas masyarakat Jawa di Yogyakarta. Seluruh aspeknya menggambarkan struktur sosial di Yogyakarta lama. Gerinda berakar pada kebudayaan masyarakat sebelum perang yang masih diteruskan generasi tua. Tak heran jika perubahan sosial, sejak kemerdekaan dan berkembangnya pendidikan, berdampak pada mereka. Banyak anggota Gerinda yang penuh dedikasi dan membeli kartu-kartu partai untuk keturunan harus kecewa karena anak-anak mereka menolak kartu-kartu itu. Anak-anak mereka lebih suka tidak terlibat dalam politik atau memasuki partai politik yang dipilih sendiri. Baca juga: Ratu Adil Memimpin Gerinda Golkar Perubahan dari Gerinda
- Peran Tionghoa dalam Kemiliteran
SEJARAH Indonesia dibentuk oleh berbagai tokoh dari berbagai latarbelakang, termasuk warga Tionghoa. Namun, penulisan sejarah oleh orang atau kelompok dengan tujuan tertentu telah menenggelamkan sumbangsih mereka kepada bangsa dan negara. “Tiga dekade Orde Baru berkuasa telah menyembunyikan peran-peran Tionghoa kepada negara,” kata pengamat militer, Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran karya Iwan “Ong” Santosa, di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (4/12). Oleh karena itu, kata Jaleswari, sejarah harus dikritisi karena banyak yang direduksi. Buktinya, buku ini menguak peran-peran Tionghoa dalam kemiliteran yang tidak dimuat dalam buku-buku sejarah. Buku ini menapaktilasi peran Tionghoa, mulai dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, kolonial Belanda, revolusi Indonesia, hingga awal Orde Baru (1966-1967), dan sekilas era reformasi. Tionghoa yang melegenda dalam militer adalah Laksamana Muda John Lie. Dia menjadi Pahlawan Nasional pertama dari etnis Tionghoa. Selain dia, masih banyak Tionghoa lainnya yang berkiprah dalam kemiliteran yang termuat dalam buku ini. Sonny Adrianto, Asintel Kodam Jayakarta, mengatakan bahwa selama Orde Baru, khususnya pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, peran Tionghoa dalam kemiliteran berkurang. “Mungkin akibat stigma negatif bahwa golongan Tionghoa dekat dengan golongan komunis saat peristiwa 1965,” kata Sonny. Kendati demikian, Sonny, menunjukkan beberapa Tionghoa yang justru memegang posisi strategis di kemiliteran: Teguh Santosa (Tan Tiong Hiem) mantan wakil asisten perencanaan Kasad (1993-1995); Iskandar Kamil (Liem Key Ho) mantan kepala badan pembinaan hukum (1998); Teddy Yusuf (Him Tek Ji) komandan resort militer 131 Manado (1995); dan Bambang Soembodo, asisten logistik kepala staf umum (1996-1999). Mayjen Gede Sumertha, kepala satuan pengawas Universitas Pertahanan, menyebut nama Surya Margono, seorang muslim Tionghoa asal Kalimantan Barat yang pernah menjadi atase udara di kantor atase pertahanan Indonesia di Tiongkok, yang kemudian berdinas di Kementerian Pertahanan. Gede sendiri menceritakan pengalamanya ketika masuk Akademi Militer Negara, diasuh oleh dua pengasuh bernama, Hendra dan Totok. “Hendra, seorang Tionghoa dipanggil Acong. Dia pengasuh paling galak dan cerewet. Tetapi anak didiknya berhasil semua,” kenang Gede. Dalam acara ini, hadir juga seorang tentara Tionghoa, Hendra K. (30 tahun), yang bertugas di Bravo 90 Penanggulangan Teror. Orangtuanya terpaksa menyingkat namanya menjadi Hendra K., karena kalau “Hendra Kho” akan menimbulkan masalah pada masa Orde Baru. “Saat masa pendidikan dulu, oleh pelatih, saya sering dipanggil Dji Sam Soe. Sebab nomor helm saya 234,” ujar Hendra. Dia masuk tentara karena terispirasi kakeknya yang datang dari Tiongkok sekira tahun 1912-an. “Dan ketika disini, dia juga mengangkat senjata,” kata pria asal Jambi ini. Dalam sambutannya, Iwan Ong menyatakan, buku yang ditulisnya selama tiga tahun ini bukan tentang kelompok etnis tertentu, dalam hal ini Tionghoa. “Tapi, ini tentang kita. Tentang ke-Indonesia-an,” ujar Iwan. Hal senada dikemukakan Jaleswari, bahwa buku ini bukan tentang statistik berapa banyak orang Tionghoa berperan dalam kemiliteran. Tetapi yang terpenting, buku ini memberikan pesan akan pentingnya kesetaraan dan kebhinekaan.*
- Skandal Perbudakan Raffles di Hindia Belanda
KALA ditugaskan sebagai letnan gubernur di Jawa pada 1811, Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) harus mengatasi perbudakan yang merajalela. Ia menentang perbudakan atas dasar Slave Trade Act 1807, peraturan yang disahkan parlemen Inggris pada 25 Maret 1807 untuk menghapus perdagangan budak di wilayah koloni Inggris. Pada masa itu, memiliki budak merupakan lambang kekayaan dan status sosial. Para budak biasanya diperjualbelikan di pasar-pasar dengan harga yang beragam. “Harga seorang budak laki-laki berkisar antara 10 sampai 30 dollar Spanyol, dan budak wanitanya antara 50 sampai 100,” tulis Raffles, mengomentari perbudakan di Bali, dalam The History of Java, Volume 2 . Pada masa Raffles berkuasa, jumlah penduduk di Batavia dan sekitarnya berkisar 300.000 orang, 18.972 di antaranya budak, yang kebanyakan datang dari Sulawesi dan Bali. Mereka yang terlibat dalam perdagangan budak tidak hanya orang Eropa, namun juga orang Tionghoa, Arab, dan pribumi. Raffles melakukan tiga langkah untuk menghapus perbudakan di Batavia pada 1812. Ia mengharuskan pemilik budak mendaftarkan budak-budaknya, mengenakan pajak khusus sebesar satu dollar Spanyol kepada pemilik budak untuk setiap budak berusia di atas delapan tahun, meneken aturan larangan mengimpor budak ke Pulau Jawa sejak 1813. Kerajaan-kerajaan di luar Jawa yang biasa memasok budak ke Batavia sejak masa VOC, protes. Armada Inggris juga kerap bentrok dengan pelaut-pelaut Makassar yang menyetor budak melalui perompakan. Ironisnya, menurut Tim Hannigan dalam Raffles and The British Invasion of Java, Raffles sendiri memiliki delapan budak di rumah peristirahatannya di Buitenzorg (Bogor). Sikap pragmatis Raffles lainnya adalah ketika ia tak bisa menolak pengiriman ribuan budak dari Jawa ke Banjarmasin atas permintaan koleganya, Alexander Hare, yang baru menerima tanah luas dari Sultan Banjarmasin. Hare mendirikan kerajaan kecil di tanah itu yang ia namakan Maluka (lengkap dengan haremnya) dan budak-budak kiriman Raffles sebagai tenaga kerja. Di Inggris, skandal ini terkenal sebagai The Banjarmasin Enormity (Kekejian di Banjarmasin). Upaya menghapus perbudakan jauh dari kata berhasil. Tapi gagasan Raffles menjelma menjadi titik awal menuju ke arah sana. Beberapa saat sebelum lengser pada 1816, ia mendirikan The Java Benevolent Society (Perkumpulan Kebajikan Jawa) pada 8 Januari 1816. Dalam laporannya, Statement of the Services of Sir Stamford Raffles (terbit 1824), Raffles mencatat, “Koloni-koloni Belanda akan dikembalikan tanpa syarat (kepada Belanda, red ), dan tanpa adanya kondisi yang menguntungkan kelas sosial yang tidak beruntung ini, yang bisa saya lakukan hanyalah mendirikan komunitas, the Java Benevolent Society, dengan harapan akan menarik perhatian penerus kita terhadap masalah (perbudakan) ini.” Java Benevolent Society berpusat di Batavia. Ia menjadi corong kaum antiperbudakan di Hindia Belanda, yang akhirnya baru resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda per 1 Januari 1860.*
- Pejuang Parapat Ingin Culik Bung Karno Secara Terhormat
BELANDA menduduki Yogyakarta pada agresi militer kedua akhir tahun 1948. Belanda kemudian mengasingkan para tokoh Republik Indonesia, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan para menteri, ke Brastagi, Karo, Sumatera Utara, dan Pulau Banda. Setelah sepuluh hari dalam tahanan militer Belanda di Brastagi, Sukarno, Sjahrir, dan Agus Salim, dipindahkan ke Parapat, di tepi Danau Toba, pada 1 Januari 1949. Sukarno melukiskan rumah pengasingannya di Parapat sebagai tempat peristirahatan yang indah tapi tidak mudah dijangkau. “Rumah itu di tiga sisinya dikelilingi air. Bagian belakang rumah berupa tanah darat, yang dapat dicapai melalui jalan berkelok-kelok,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Tidak sembarang orang dapat menemui mereka di rumah pengasingan itu. Namun, Josef Sitindaon, penghulu Negara Sumatera Timur, telah dikenal oleh tentara Belanda. Sebagian pengawal rumah pengasingan itu adalah kenalan baik dan sanak keluarganya. Dia diperbolehkan berkunjung untuk mengantarkan majalah. Dalam Memori Sejarah Gerilla, C. Marbun, mantan wakil komandan/kepala staf daerah militer Sumatera Timur-Tengah, mencatat bahwa menurut Josef, Sutan Sjahrir-lah yang sering bebas bergerak, berjalan-jalan di pekarangan memandangi indahnya Danau Toba. Pengawasan di malam hari juga tidak begitu ketat karena yang berjaga hanya barisan pengawal sedangkan pasukan Belanda pergi minum-minum di tepi Danau Toba. Pada 5 April 1949, Josef melaporkan kepada Seksi Keamanan dan Penertiban Batalion IV Sumatera yang berkedudukan di Parapat, bahwa pemimpin Negara Republik Indonesia (NRI) yang ditawan adalah Sukarno, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Laporan tersebut diteruskan kepada Komandan Batalion IV, Kapten Bunga Simanungkalit. “ Josef meminta agar TNI mempertimbangkan untuk merencanakan penculikan terhormat, membebaskan pemimpin Negara RI tersebut,” tulis Marbun. Operasi penculikan dipercayakan kepada Peltu Walter Sirait dibantu Josef sebagai pembawa pesan. Selama tiga hari tiga malam pasukan Walter Sirait mengintai rumah pengasingan itu. Di kemudian hari, Sukarno mengatakan, “pada suatu malam yang gelap sekelompok pemuda mencoba membebaskan Bung Karno. Para pemuda yang tidak kukenal itu dengan sembunyi-sembunyi menyebrangi danau dengan perahu kecil yang di dayung. Di tengah malam yang hening itu kudengar tembakan di dekat dinding kamarku. Jendela-jendela di kamarku menghadap ke danau tetapi malam itu sangat gelap.” Pada 10 April 1949, Josef berhasil menemui Sutan Sjahrir dan mengantarkan majalah. Setelah kondisi aman dari pantauan penjaga, dia menyampaikan surat rahasia. Sjahrir dan Sukarno membaca surat rahasia itu yang bunyinya: “Salam perjuangan Merdeka! TNI merencanakan penculikan terhormat untuk menyelamatkan bapak-bapak pemimpin NRI dari gedong tawanan. Melalui Danau Toba dan darat, pembesar negara dapat diselamatkan ke markas gerilla TNI, dengan taktik dan gerak cepat yang jitu. Mohon pendapat kapan waktu yang tepat buat melakukannya. Apabila diperoleh keputusan, bahwa rencana tersebut dapat dilaksanakan maka operasi gerak cepat dengan pelaku-pelaku yang tangguh akan dipersiapkan. Salam hangat dari TNI.” Dengan haru, Sjahrir berbisik kepada Josef, “jangan dipikirkan usaha untuk menculik atau membebaskan kami, karena Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mengetahui pemimpin-pemimpin besar Negara RI berada dalam tawanan Belanda. Politik perjuangan kita di luar negeri telah menerobos puncak penentuan, untuk mana perjuangan gerilla harus ditingkatkan, yakinlah, kita akan menang. Sdr. Josef Sitindaon tak usah datang-datang lagi kemari karena kami tidak lama lagi akan dipindahkan dari Parapat. Sampaikan salam hangat kami kepada TNI dan rekan-rekan pejuang gerilla.” Dengan demikian, “penculikan terhormat” urung dilakukan. Para pemimpin Republik yang diasingkan ke Parapat dan Banda, dikembalikan ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949 setelah perundingan Roem-Royen.
- Pemberontakan
CHEN Seng hanyalah anak seorang buruh miskin dari Yangcheng, Provinsi Henan, Tiongkok. Seperti juga ayahnya, Chen bekerja sebagai buruh tani yang menggarap ladang milik seorang tuan tanah. Tapi Chen bukan pemuda biasa. Dia buruh yang berlawan dan menentang. Dari buku Kisah-Kisah dari 5000 Tahun Sejarah China karya Liu Handa dan Cao Yuzhang diperoleh kisah bahwa Chen hidup pada masa kekaisaran Qin Er Shi (Hu Hai). Qin bertakhta sejak 210 sampai dengan 207 Sebelum Masehi. Di bawah Qin, ratusan ribu rakyat Tiongkok mengalami penindasan, dikerahkan di dalam berbagai proyek megah ambisi kaisar, mulai dari pembangunan istana sampai mausoleum. Bagi Qin, seorang kaisar tak perlu melakukan apa-apa kecuali menikmati hidup. Chen satu dari ratusan ribu orang rakyat yang dikerahkan di dalam proyek kekaisaran itu. Suatu hari, Chen bersama ribuan pekerja paksa lainnya dikirim ke wilayah utara Tiongkok. Di tengah perjalanan, hujan badai datang menghumbalang. Banjir menghadang misi mereka. Tak ada jalan lain kecuali mendirikan kemah dan bermalam menunggu air surut. Tapi ternyata banjir tak kunjung mereda sementara tengat waktu semakin mendesak. Para pekerja semakin resah, terlebih ancaman hukuman mati di bawah titah kaisar menunggu di depan apabila mereka telat tiba di lokasi pekerjaan. Chen yang gelisah bertemu dengan Wu Gung, pemuda pekerja lain yang juga bernasib sama dengannya. Mereka berdua menggalang solidaritas pekerja dan merencanakan sebuah perlawanan. Semula banyak pekerja menolak rencana nekatnya. Semua dilanda ketakutan atas hukuman mati dari kaisar apabila rencana pembangkangan gagal. “Jika kita kabur dan tertangkap, kita pasti dibunuh. Kita juga akan dibunuh jika memberontak gagal. Memberontak lebih menarik daripada menyerahkan diri kepada penjagal. Orang-orang sudah cukup menderita di bawah Qin,” kata Chen Sheng. Tak lama kemudian, pecahlah pemberontakan petani terbesar pertama di negeri Tiongkok itu. Chen Sheng dan Wu Gung berhasil menguasai beberapa wilayah dan dinobatkan sebagai raja sebelum akhirnya tewas di tangan seorang pengkhianat. Wu Guang pun bernasib sama dengan sekondannya. Dia mati dibunuh oleh pengawalnya sendiri di Xinyang. Berabad setelah Chen Sheng dan Wu Gung mengobarkan pembangkangan di Tiongkok, Haji Hasan dari Cimareme, Garut menolak untuk membayar pajak panen padi kepada pemerintah kolonial. Hasan menganggap kewajiban setor padi sebanyak empat pikul padi untuk setiap pemilik lahan sawah 5 bau lebih (1 bau = 7.096 M2) terlalu memberatkan. Apalagi dengan harga beli 4,5 gulden untuk tiap pikulnya, jauh di bawah harga pasaran saat itu. Tak ada jalan lain bagi Hasan kecuali menolak menyerahkan padinya kepada pemerintah kolonial. Tak cukup hanya menolak, Hasan mengajak seluruh keluarganya mengangkat kelewang melawan pemerintah. Nyali Hasan memang jauh lebih besar ketimbang seluruh nyali polisi kolonial yang mengepung rumahnya. Namun senjata yang polisi gunakan jauh lebih digdaya ketimbang sebilah golok miliknya. Setelah berbutir pelor melesat menembus tembok bilik anyaman bambu rumah Haji Hasan, dzikir dan takbir lambat laun berubah menjadi jeritan dan isak tangis. Hasan dan beberapa anggota keluarganya tewas seketika pada 7 Juli 1919. Kisah perlawanan selalu muncul dalam setiap zaman dipenuhi penindasan. Ia hadir dalam berbagai bentuknya. Pada masa Orde Baru, Wiji Thukul tak lagi mengangkat kelewang. Dia menggenggam pena, mengungkai kata, seperti dalam Sajak Suara ini: Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu : pemberontakan! Seperti Chen Sheng, Wu Gung dan Haji Hasan, riwayat Thukul dituntaskan lewat sebuah penculikan. Dan dari setiap pemberontakan orang-orang tertindas, lahir perubahan di dalam sejarah. Kepada mereka kita patut menaruh hormat.*
- Ben Anderson, Pakar Asia Tenggara Penutur Banyak Bahasa
SAYA mengenal Ben Anderson secara pribadi. Dengannya, saya biasa ngobrol tentang banyak hal, misalnya bahasa, politik, masak memasak dan terutama musik klasik. Ben Anderson paling suka karya Richard Strauss berjudul Vier Letzte Lieder dinyanyikan oleh Lisa della Casa, tapi paling benci Beethoven. Berikut kenangan saya tentang seorang sobat yang ditulis cepat-cepat. Benedict Richard O’Gorman Anderson (1936-2015) kita kenal sebagai seorang Indonesianis, pakar Indonesia yang pertama mempertanyakan versi Soeharto dalam peristiwa G30S. Tulisan yang dimuat di dalam Cornell Paper itu menyebabkannya dilarang masuk ke Indonesia selama seperempat abad lebih oleh rezim Orde Baru. Lantaran, atau lebih tepat lagi berkat pencekalan itu, Ben Anderson melebarkan sayap, beralih menekuni Thailand dan Filipina. Kepakarannya atas tiga negara Asia Tenggara itu terbukti dengan bukunya yang terbit tahun 1998, berjudul The Spectre of Comparisons . Dalam buku itu Ben membentangkan betapa dia benar-benar teliti dan ahli dalam tiga negara Asia Tenggara, masing-masing Indonesia, Thailand, dan Filipina. Bab-bab dalam buku itu menguraikan hal-hal yang belum pernah dipikirkan dengan matang oleh pakar Indonesia (tentang berakhirnya pendudukan Orde Baru atas Timor Leste), pakar Filipina (tentang bagaimana bapak bangsa Jose Rizal memperoleh gagasan dalam menulis dua novelnya) dan pakar Thailand (tentang lemahnya borjuasi negeri itu walaupun Thailand tidak pernah mengalami penjajahan). Tidak ketinggalan dalam buku itu Ben Anderson tentunya juga berkisah tentang nasionalisme, topik lain yang begitu ditekuninya. Dan memang dia menjadi terkenal di seluruh dunia karena kajian nasionalisme yang sangat berpengaruh, bukunya Imagined Communities sudah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, terakhir pemimpin Kurdi Abdullah Öçalan konon sangat tertarik pada buku ini. Kemudian Ben Anderson secara khusus juga menulis buku tentang tiga negara yang dipelajarinya itu. Tentang Indonesia, kita tahu dia menulis Revoloesi Pemuda , buku pertamanya yang terbit pada tahun 1972 (terjemahan Indonesia terbit 1988). Tentang Thailand dia menulis The Fate of Rural Hell (2012) dan tentang Filipina Anderson menulis Under Three Flags (terbitan 2005) yang tahun ini terbit terjemahan bahasa Indonesianya berjudul Di Bawah Tiga Bendera. Sebagai orang yang pernah mendesak Ben Anderson supaya segera menerbitkan buku itu, saya punya cerita khusus yang mudah-mudahan menarik untuk diungkapkan. Tetapi sebelum itu ada satu hal yang menurut saya merupakan dasar penting bagi Ben Anderson untuk bisa benar-benar menjadi pakar Indonesia, Thailand dan Filipina secara bersamaan. Apalagi karena tidak ada satupun ilmuwan di mana-mana yang bisa memiliki kepakaran dobel-dobel seperti itu. Menurut saya dasar bagi kepakaran Ben Anderson yang tak tertandingi oleh siapapun ini adalah kefasihannya dalam berbahasa Indonesia, Thai dan Tagalog. Dalam hal ini Ben memang seorang polyglot tulen, apalagi kalau mengingat bahwa selain tiga bahasa itu dia juga masih fasih berbahasa Inggris (bahasa ibu), bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Prancis dan terakhir yang dipelajarinya sendiri, bahasa Spanyol. Dia juga mengaku pernah belajar bahasa Rusia. Di Bangkok, kalau keluar makan berdua (atau bertiga tapi yang Asia cuma saya), maka pelayan restoran selalu mendekati saya, tanya mau pesan apa. Tentu saja karena mereka menganggap bahwa saya bisa berbahasa Thai. Pada saat itu Ben akan nyeletuk dalam bahasa Thai yang lucu bahwa pelayan rumah makan harus datang ke dia, karena saya yang didekati oleh sang pelayan adalah Thai gadungan, begitu guraunya. Tentu saja si pelayan terpingkal-pingkal. Dari sini saya paham betapa fasih Ben berbahasa Thai. Satu ketika saya pernah bertemu dengannya di Bangkok (kami tidak pernah bertemu di Indonesia) ketika dia baru tiba dari Manila. Pada saat itu dia berkata kepada saya bahwa dia harus hati-hati berbicara bahasa Indonesia, karena banyak miripnya dengan bahasa Tagalog. Setelah beberapa saat di Manila tentu saja dia sudah terbiasa dengan bahasa ini. Tapi hanya sekali dia salah omong, dan segera dikoreksinya dengan berujar “ wrong language ”, salah bahasa. Sejak itu tak sekalipun dia salah dalam berbahasa Indonesia dengan saya. Kami paling sedikit menggunakan tiga bahasa, selain bahasa-bahasa Inggris dan Indonesia, dia selalu minta disegarkan bahasa Belandanya. Nah, kefasihan Ben akan bahasa-bahasa Thai, Indonesia dan Tagalog itu merupakan dasar yang kokoh baginya untuk menekuni tiga negara itu lebih lanjut. Dan selalu dalam penekunannya Ben Anderson menemukan topik-topik baru yang belum pernah ditekuni oleh ilmuwan-ilmuwan setempat. Yang istimewa adalah bahasa Spanyol, ini tampaknya merupakan salah satu bahasa terakhir yang ditekuninya. Istimewa karena dia belajar sendiri, tanpa guru resmi dan kalaupun ada gurunya maka dia belajar berbicara dengan para penutur asli Spanyol, dari Eropa maupun Amerika Latin. Ben mengaku belajar bahasa Spanyol untuk membaca dua novel karya José Rizal, Noli me tangere dan El filibusterismo . Maklum Rizal menulis kedua novelnya dalam bahasa penjajah awal Filipina, yaitu Spanyol. Yang lebih penting lagi dia tidak puas dengan terjemahan bahasa Inggris kedua karya bapak bangsa Filipina itu. Beberapa kali Ben mengirim artikel-artikelnya tentang Filipina kepada saya sebelum dipublikasikan. Saya hanya bisa membacanya dan bertanya sana sini, bukan berkomentar karena apalah yang saya ketahui tentang negara tetangga sebelah utara ini. Tapi saya memberanikan diri untuk menulis kepadanya bahwa artikel-artikelnya tentang Filipina itu layak dihimpun dijadikan buku. Tentu saja harus dipikirkan satu kerangka teori tertentu yang bisa merupakan payung untuk mencakupkan beberapa artikel itu dalam satu buku. Saya memahami pokok pembahasan Ben Anderson dalam masalah Filipina itu sebagai bagaimana orang terjajah di Asia Tenggara belajar teori kiri di negeri induk Eropa. Kalau mulai abad 16 orang Eropa sudah berangkat ke Asia Tenggara untuk menjajahnya, maka pada abad 19 sebaliknyalah yang terjadi: orang Asia Tenggara (dalam hal ini Rizal) berangkat ke Eropa untuk belajar teori-teori anti kolonialisme yang kebanyakan adalah teori-teori kiri, baik itu marxisme, anarkhisme maupun lainnya. Tapi di sini ada perkecualian yang menarik, karena ternyata ada orang kiri Eropa yang ke Asia Tenggara pada abad 19 itu. Tokoh itu tidak lain adalah penyair Prancis Arthur Rimbaud (1854-1891) yang sempat menjadi penghuni komune Paris yang terkenal itu. Sebagai prajurit bayaran yang harus menaklukkan Aceh, Rimbaud pernah menjalani latihan militer di Salatiga hanya untuk akhirnya melakukan desersi. Di sinilah terjadi adu pendapat yang cukup seru antara saya dengan Ben Anderson. Pertama karena dia tidak percaya Rimbaud pernah ke Hindia Belanda. Jadi saya harus terlebih dahulu membuktikan kepadanya bahwa memang ada tulisan tentang Rimbaud ke Salatiga. Waktu itu saya tidak punya tulisan tentang ini, saya tahu dari sebuah acara Radio Nederland seksi bahasa Prancis tentang perjalanan Rimbaud ke Batavia dan terus ke Semarang akhirnya ke Salatiga. Waktu itu hampir saja saya merasa harus merekam dalam kaset siaran itu untuk dikirim kepada Ben Anderson, kalau seorang teman Belanda tidak menunjukkan biografi Arthur Rimbaud yang dalam bahasa Inggris, karya Graham Robb. Untung di situ ada satu bab khusus yang membahas perlawatan Rimbaud ke Salatiga. Segera bab itu saya fotokopi dan kirim melalui fax kepada Ben yang waktu itu ada di Bangkok. Sejak itu pembicaraan kami tentang rencana bukunya makin asyik. Yang jelas kalau Revoloesi Pemoeda ditujukan kepada pembaca Indonesia, maka Di Bawah Tiga Bendera ditulis khusus untuk pembaca Filipina. Maka sempurnalah kepakaran Ben Anderson, paling sedikit tiga buku sudah ditulisnya untuk khalayak pembaca Indonesia, Filipina dan Thailand. Sayang perlawatan Arthur Rimbaud ke Salatiga tidak begitu cocok dengan kerangka umum Di Bawah Tiga Bendera . Tapi Ben menyediakan satu catatan kaki tentangnya dan di situ dengan murah hati dia berterima kasih kepada saya. Terima kasih yang abadi karena tertera dalam tulisan, apalagi karena dia sekarang sudah menghadap sang khalik. Terima kasih Ben Anderson atas semuanya, mulai dari perkenalan di Freeville tahun 1991 sampai persahabatan selama hampir seperempat abad ini.
- Mengapa Manusia Prasejarah Menggambar di Gua?
DI salah satu situs kompleks prasejarah Leang-leang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, terdapat tangga berbahan besi yang menghubungkannya menuju mulut gua. Namanya Leang Pettakere. Leang dalam bahasa setempat berarti gua. Di dinding dan langit-langit ada beberapa lukisan cap tangan dan gambar binatang. Pettakere memiliki dua mulut gua. Udara dalam gua cukup baik, tidak pengap dan cukup sejuk. Inilah yang dikatakan peneliti gambar gua dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Pindi Setiawan, sebagai pemilihan lokasi tempat tinggal yang tepat. “Masyarakat pada masa lalu tidak memilih gua secara acak. Mereka melihat sirkulasi udara, atau pun faktor kenyamanan,” katanya. Bagi Pindi, masyarakat penghuni gua yang diperkirakan menjejak Sulawesi sejak 40.000 tahun lalu sesuai hasil penanggalan, adalah masyarakat yang sama saja dengan manusia saat ini. Mereka hidup dengan relasi sosial, antara hubungan satu sama lain hingga spiritual. “Saya kira gambar-gambar yang tertera di langit-langit gua menunjukkan unsur spiritual,” katanya. Di situs-situs gua prasejarah Maros dan Pangkep, ada tiga periode yang terlihat dalam penggambaran lukisan. Pertama gambar cap tangan biasa berwarna merah. Kedua gambar cap tangan merah dengan ujung-ujung jari yang runcing. Ketiga adalah gambar yang berwarna hitam. Dalam skala waktu, gambar gua yang berwarna merah usianya lebih tua. Dibanding dengan gambar berwarna hitam yang diperkirakan dari masyarakat Austronesia sekitar 2500-4000 tahun lalu. Perbandingan ini diperoleh Pindi, melalui hasil analisis bersama kelompok peneliti gambar gua yang tersebar di 400 buah situs seluruh dunia. Di Maros dan Pangkep, manusia penghuni gua awal adalah masyarakat pemburu tua. Penggunaan alat batu masih sedikit, mereka membidik mangsa buruan dengan menjepit di tebing-tebing karst, lalu menimpuknya. Gambar-gambar binatang yang diletakkan di dinding gua, adalah untuk makanan. Sementara yang berada di langit-langit gua untuk persembahan ataupun yang disembah. “Di Kalimantan ada gambar binatang Cicak. Di Afrika ada gambar Singa. Di Eropa ada gambar Bison, namun ketika dilakukan penggalian di situs ditemukan malah tulang binatang Beri-beri. Artinya, biantang-binatang yang memiliki posisi atas itu tidak untuk dikonsumsi,” kata Pindi. Tak hanya itu, bagi Pindi, masyarakat gua menggambar dan memilih objek adalah tentang apa yang paling menggugah hati. Maka, untuk meletakkan gambar diperlukan tempat yang tepat. “Mereka menggambar cap tangan, karena mencapai tahap sosial tertentu. Kelahiran mereka melakukannya, ataupun mencapai tahap kemahiran memburu mereka mencap. Jadi ini, adalah perayaan dalam sebuah tingkatan. Seperti orang modern, dari lajang menjadi pasangan. Kan, kalau cerai tidak dirayakan,” katanya. Literatur lain menuliskan, jika gambar-gambar dalam gua adalah sebuah karya seni. “Oh itu saya tidak setuju,” kata Pindi. Menurut dia, perbincangan mengenai gambar gua ( rock art ) bermula ketika seni modern di Eropa mencapai tahap puncak. Beragam aliran mulai muncul, dari abstrak, realis, hingga surealis. Lalu beberapa orang Eropa memunculkan beberapa gambar dari gua. “Mereka (orang Eropa) memilih gambar-gambar yang bagus. Gambar yang kurang baik menurut selera seni pada masa itu tidak ditampilkan,” katanya. Namun, pada awal 1980-an, setelah beberapa peneliti melakukan pengujian dan melakukan penanggalan pada gambar-gambar gua, Eropa kembali mendata ulang dan meluruskan beberapa kekeliruan mengenai gambar. Tapi apa yang terjadi, puluhan tahun pengaruh Eropa ke Indonesia, rupanya cukup kuat. “Ketika orang-orang Eropa mulai menata ulang pemikiran tentang gua, kita masih menggunakan teori lama. Jadi tak heran masih banyak orang yang mengatakan gambar gua itu adalah karya seni masyarakat prasejarah,” katanya. Hal yang sama diungkapkan arkeolog Universitas Hasanuddin Makassar, Iwan Sumantri. Menurutnya gambar-gambar dalam gua menunjukkan aktivitas masyarakat. “Gambar cap tangan memperlihatkan jika pada masa itu sudah ada tradisi ritual,” katanya.
- Misteri Kerajaan Jampang Manggung di Cianjur
PAHATAN tapak kaki kiri tergambar pada batu hitam berukuran sekitar 30x14 cm. Kehadiran batu bergambar tersebut hampir tak kentara, tertutupi semak belukar dan rerumputan, serta pohon tumbang dan ranting-ranting berserakan. "Orang-orang sini mengenalnya sebagai Sanghyang Tapak,” kata Hendrawan (37), penduduk Cianjur. Sanghyang Tapak terletak tepat di puncak Gunung Mananggel, bukit berketinggian sekitar 800 meter dpl (dari permukaan laut). Kendati populer, tetapi penduduk kota tauco itu jarang mengetahui asal-usul Sanghyang Tapak. Yana (59), menyatakan bahwa kaki kiri itu dahulu kala konon milik seorang sakti yang menguji ilmu kanuragannya. “Ia meloncat-loncat dari satu gunung ke gunung lainnya, bahkan konon tapak kaki kanannya ada di Gunung Geulis,” ujarnya seraya menunjuk bukit besar lain, tetangganya Gunung Mananggel. Penjelasan masuk akal baru didapatkan dari K.H. Djalaluddin Isaputra (49), tokoh masyarakat setempat. Menurut lelaki yang akrab dipanggil Ustadz Jalal tersebut, Sanghyang Tapak merupakan tapak kaki Resi Pananggel alias Pangeran Laganastasoma, salah satu keturunan raja-raja Jampang Manggung, kerajaan yang didirikan Prabu Kujang Pilawa pada tahun 330 saka (sekitar tahun 406-407 M). Jadi, keberadaannya jauh mendahului Kabupaten Cianjur yang baru didirikan pada 1677. Tetapi, dalam catatan sejarah resmi tentang kota Cianjur, nama Jampang Manggung tak pernah disebut. Bahkan, dalam Sajarah Cianjur Sareng Raden Jayasasana Dalem Cukundul karya Bayu Surianingrat dituliskan bahwa saat Dalem Cikundul baru datang ke Cianjur, situasi kawasan itu sama sekali belum diatur oleh suatu pemerintahan resmi dan masih berupa hutan rimba yang hanya dihuni sekelompok jawara. Lantas dari mana datangnya nama Jampang Manggung tersebut? Dalam Lalakon ti Cianjur , pegiat sejarah Cianjur, Luki Muharam menyebut informasi-informasi tersebut didapatnya dari Wawacan Jampang Manggung , sebuah kitab tua yang saat ini berada di tangan Ustadz Jalal dan diwariskan oleh karuhunnya secara turun-temurun. “Dalam Wawacan Jampang disebutkan bahwa saat Raden Jayasana datang ke kawasan yang sekarang disebut Cianjur, sejatinya telah terdapat suatu pemerintahan yang sudah berdiri sejak ratusan tahun, namanya Kerajaan Jampang Manggung,” tulis Luki. Bahkan disebutkan juga, saat Raden Jayasana alias Dalem Cikundul datang, Kerajaan Jampang Manggung tengah dipimpin Prabu Laksajaya. Karena sang raja lumpuh dan tidak memiliki putera, pemerintahan dijalankan oleh wakilnya, Patih Hibar Palimping. “Saat Raden Jayasana datang, rakyat Jampang Manggung sudah menganut agama Islam dan memiliki mata pencaharian sebagai petani huma,” kata Ustadz Jalal. Patih Hibar menikahkan puterinya, Dewi Amitri dengan Raden Jayasana karena tertarik dengan kedalaman ilmu agama Islam dan keahliannya mengembangkan ilmu pertanian baru bernama “huma banjir” (penanaman padi khas Mataram yang menggunakan air). “Karena Hibar Palimping tidak memiliki seorang putera maka saat dia memutuskan menjadi seorang ulama, pemerintahan lantas diserahkan kepada menantunya tersebut,” ungkap sesepuh Pesantren Bina Akhlak Cianjur itu. Begitu menerima limpahan kekuasaan dari Patih Hibar, Raden Jayasana (kemudian menyebut dirinya sebagai Aria Wiratanu) memindahkan pusat pemerintahan dari kaki Gunung Mananggel ke kawasan yang hari ini disebut sebagai Cibalagung. Dia lantas meresmikan nama baru dari daerah yang dia pimpin itu menjadi Kadaleman Cikundul, cikal bakal Kabupaten Cianjur. Hingga kini belum ditemukan sumber lain, seperti penelitian para sejarawan Belanda, mengenai Kerajaan Jampang Manggung. Selain Sanghyang Tapak yang mengindikasikan keberadaan kerajaan tersebut, juga terdapat makam tua di kaki Gunung Mananggel dan sekitarnya. Selebihnya, Kerajaan Jampang Manggung masih menjadi misteri sejarah yang harus dieksplorasi oleh para sejarawan dan arkeolog.
- Tentara Jerman dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
SELAMA penggojlokan di Sarangan, kadet Sayidiman Suryohadiprojo mengenal lelaki berkulit putih sebagai pelatih jasmani terbaik: disiplin dan ulet. Dengan gayanya, dia berhasil menjadikan anak-anak Akademi Militer Yogyakarta menguasai gerakan-gerakan senam yang sebelumnya hanya bisa dikuasi orang-orang Belanda. Adalah Her Hufper, seorang Jerman yang mengajar senam dan atletik bagi para kadet Akademi Militer Yogyakarta. “Hufper bukan pelatih sembarangan, dia adalah pelatih senam tim Jepang dalam Olympiade tahun 1940 yang kemudian gagal diadakan,” ujar Sayidiman, terakhir pangkat Letnan Jenderal. Menurut lulusan terbaik Akademi Militer Yogyakarta angkatan pertama tersebut, Hufper bukanlah satu-satunya orang Jerman yang terlibat dalam pendidikan calon-calon perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di Sarangan terdapat para instruktur Jerman yang mengajarkan bahasa asing (Jerman, Inggris, Prancis) dan keterampilan morse. Untuk materi yang terakhir ini, para kadet Akademi Militer Yogyakarta dididik secara khusus oleh bekas markonis Jerman yang memiliki kemampuan mengirimkan dan menangkap tanda morse dalam kecepatan tinggi. Sejarawan militer Nino Oktorino menyebutkan bahwa sejak menginjakan kaki di tanah Nusantara pada awal-awal balatentara Jepang datang ke Jawa, sudah banyak perwira Jerman menyimpan simpati terhadap rakyat Indonesia. “Saat berkumpul, mereka kerap mendiskusikan tentang kemerdekaan Indonesia…” tulis Nino dalam Nazi di Indonesia, Sebuah Sejarah yang Terlupakan. Soal ini juga diakui oleh sejarawan Jerman Herwig Zahorka. Dia bahkan menyebut, pasca berakhirnya Perang Dunia II, setidaknya ada dua prajurit Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) dari Kapal Selam U-219 yang bergabung dengan gerilyawan Indonesia untuk memerangi militer Belanda. “Nama mereka adalah Warner dan Losche…” ungkap ahli sejarah militer Jerman di Indonesia tersebut. Lantas bagaimana nasib mereka berdua? Zahorka hanya mengatakan bahwa begitu lolos dari kamp konsentrasi Sekutu di Pulau Onrust (masuk wilayah Kepulauan Seribu), Warner dan Losche menjadi pelatih militer pada sebuah kesatuan tentara Indonesia di pulau Jawa. “Salah seorang dari mereka yakni Losche malah gugur dalam suatu kecelakan saat melatih para gerilayawan republik membuat sejenis pelontar api,” kata Zahorka. Menurut Nino, Warner dan Losche, serta satu Jerman lain yang tidak diketahui namanya, memang ditugaskan untuk melatih suatu kesatuan tentara Indonesia di perkebunan kopi di Ambarawa, Jawa Tengah. Sumber NEFIS (Dinas Intelijen Militer Belanda) membenarkan adanya puluhan orang Jerman yang memihak Indonesia dalam perang kemerdekaan (1945-1949). Hal ini diungkapkan oleh Jenderal Simon Hendrik Spoor dalam biografinya, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, karya sejarawan militer Belanda J.A. de Moor. Spoor menceritakan adanya orang-orang Jerman dalam suatu pertempuran: “…Sepuluhan orang Jerman katanya memperdengarkan diri dengan keras dan jelas di dalam semak, tanpa pernah secara fisik menampakan diri.”
- Indonesianis Ben Anderson Berpulang
BENEDICT Richard O’Gorman Anderson atau biasa disapa Ben Anderson meninggal dunia di Batu, Malang, 13 Desember 2015. Dia yang lahir di Kunming, Tiongkok, 26 Agustus 1936, meninggal di usia 79 tahun. Dua hari sebelumnya, Ben masih sempat memberikan kuliah umum bertajuk “Anarkisme dan Nasionalisme” di Universitas Indonesia. Kuliah umum ini terkait dengan bukunya yang belum lama terbit, Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial, diterbitkan oleh Marjin Kiri. Ronny Agustinus, editor Marjin Kiri, menulis dalam akun facebook -nya, bahwa pada 2007, Ben Anderson ingin mengunjungi Marjin Kiri. Sewaktu Ronny menjemputnya dari bandara Sukarno-Hatta menuju daerah Serpong, dia melihat iklan lapangan golf. “Ini lapangan golf?” tanya Ben Anderson. “Iya, Oom,” jawab Ronny. “Terus, kenapa nggak kau ledakkan?” Ronny tertawa sekaligus takjub mendengar celetukannya itu. “Selama bertahun-tahun kemudian saat menggarap terjemahan Di Bawah Tiga Bendera dan berdiskusi dengannya, dua hal itulah yang selalu saya alami dari Pak Ben: ketakjuban dan tertawa. Takjub oleh keluasan pengetahuannya, kemampuan poliglotnya, dan daya analisisnya; juga tertawa oleh keusilan-keusilannya,” kenang Ronny. Ya, bangsa Indonesia sudah sepantasnya merasa kehilangan dan menghaturkan penghormatan. Ben Anderson adalah sejarawan ahli Indonesia dan Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang karya-karyanya menjadi rujukan untuk mengetahui sejarah Indonesia. Bukunya yang menjadi pegangan para peneliti sejarah di antaranya Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988); Komunitas-komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme (1999), edisi revisinya berjudul Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang (2001). Melalui sosial media, orang-orang yang pernah menjadi murid, berkenalan, atau sekadar mencerap ilmunya melalui karya-karyanya, mengenang Ben Anderson dengan penuh penghargaan. Sastrawan Eka Budianta menulis, “RIP Benedict Anderson (1936-2015). Cita-citanya untuk wafat di Indonesia terkabul. Jenasah disemayamkan di Rumah Duka Adi Jasa, Jl. Demak 90-92 Surabaya. Selamat jalan Indonesianis sejati.” Ben Anderson mulai menekuni Indonesia sebagai obyek studinya pada awal era 1960-an dan sempat dilarang masuk ke Indonesia semasa Orde Baru karena tulisannya tentang peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dinilai bertentangan dengan versi yang ditulis oleh Orde Baru.
- Sniper Kopassus Stres, Menembaki Orang di Lapangan Terbang Timika Papua
PADA 3 November 2015, Serda Y.H, anggota Divisi I Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menembak seorang pengendara ojek di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Penyebabnya, ojek yang menyerempet mobilnya tidak berhenti untuk meminta maaf. Penembakan oleh oknum tentara sering terjadi. Korbannya, bisa sipil maupun militer, seperti terjadi pada 1996. Pada 15 April 1996, Letnan Sanurip, seorang sniper atau penembak jitu Kopassus, menembaki orang-orang di lapangan terbang Timika, Papua. Sepuluh tentara tewas, empat warga sipil dan satu orang pilot maskapai Twin Otter Airfast, berpaspor Selandia Baru. Sepuluh tentara dan tiga warga sipil luka-luka. Brigadir Jenderal Amir Syarifudin, Kepala Pusat Penerangan ABRI, menceritakan kejadian itu bahwa Letnan Sanurip bangun pagi hari di dalam hanggar. Karena berisik (mungkin karena gangguan kejiwaan), dia ditegur oleh rekannya. Tidak terima ditegur, dia langsung memberondong rekan-rekannya dengan senapan yang dibawanya. “Setelah menembaki rekan-rekanya, dia berlari keluar dari hanggar dan menembaki siapa saja yang ada di situ,” kata Amir, dikutip Kompas , 16 April 1996. Pihak ABRI mengindikasikan Letnan Sanurip melakukan aksi koboi itu karena mengalami gangguan kejiwaan akibat malaria yang merusak sistem saraf. Namun, keterangan berbeda dikemukakan mantan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI, Letnan Jenderal Soeyono. Menurutnya, Letnan Sanurip adalah penembak jitu ( sniper ) dan pelatih tembak tempur yang diterjunkan di daerah operasi untuk membantu pembebasan sandera oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM menyandera selama 130 hari Tim Lorentz ’95, terdiri dari sebelas peneliti dari Indonesia dan Inggris, serta dua orang dari WWF (World Wildlife Fund) dan seorang dari Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). “Karena stres dan kecewa tidak diikutkan dalam beberapa gerakan operasi, pada suatu subuh dia nekat menembaki siapa saja yang dilihatnya di kawasan landasan lapangan terbang Timika. Sekitar lima belas orang menjadi korban penembak jitu pelatih tembak tempur itu. Yang menjadi korban antara lain Komandan Satgas, yakni seorang pewira menengah Kopassus yang sedang naik daun,” kata Soeyono dalam biografinya, Bukan Puntung Rokok, karya Benny S. Butarbutar. Theo Syafei, mantan Pangdam Udayana (1993-1994) menyatakan seharusnya Sanurip bisa mengendalikan diri karena dia seorang Letnan. “Kalau memang dia seorang Letnan, benar-benar kejutan. Seharusnya dia sudah mempu menahan tekanan psikis yang dihadapinya,” kata Theo, dikutip Kompas , 16 April 1996. Sanurip berhasil ditangkap dan dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Kopassus terkesan menutupi kasus tersebut. Tim dari Pusat Polisi Militer (Puspom) ABRI, tidak bisa leluasa memeriksa Sanurip. Komandan Puspom ABRI, Mayor Jenderal Syamsu Djalal, kemudian melapor ke Kasum ABRI, Soeyono. Baru setelah diperintahkan langsung oleh Soeyono, Kopassus akan menyerahkan Sanurip ke Puspom. Namun kenyataannya, Syamsu Djalal dan tim tetap mendapat hambatan dalam memerika Sanurip. Mereka dilarang masuk ke Ksatrian Kopasus untuk memeriksa Sanurip. “Nampaknya Prabowo khawatir Sanurip akan mengungkapkan hal-hal yang dapat membuka aibnya,” kata Syamsu dalam biografi Soeyono. Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus, Brigadir Jenderal Prabowo Subianto, mengambil kesimpulan sendiri bahwa “Sanurip merupakan personel yang keadaan mental ideologinya harus dicurigai karena berasal dari keluarga yang tidak bersih lingkungan (istilah yang diciptakan Orde Baru kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan komunis, red ).” Prabowo memimpin langsung pembebasan sandera. Kepada Soeyono yang mengizinkan operasi, Prabowo meyakinkan bahwa 80-90 persen operasi akan berhasil. Secara keseluruhan, operasi pembebasan sandera Mependuma ini memang berakhir dengan sukses. Namun, pada menit-menit pertama, Soeyono memperoleh laporan bahwa sebuah helikopter mengalami kecelakaan fatal pada saat mendaratkan pasukan dengan tali dan menimpa sedikitnya satu regu pasukan. “Laporan keberhasilan 80-90 persen itu omong kosong belaka dan ini tidak lebih dari suatu kecerobohan,” tukas Soeyono. Sementara itu, Soeyono tidak bisa mengikuti kelanjutan penyelidikan kasus Sanurip karena dinonaktifkan dari dinas. “Yang saya dengar berikutnya adalah Sanurip mengalami keadaan yang mengenaskan karena bunuh diri di selnya,” pungkas Soeyono.
- Kampung Sindangbarang Menghadirkan Sejarah dan Budaya Sunda
ANDA ingin berkunjung ke masa lalu? Datanglah ke Kampung Sindangbarang Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Selain menghadirkan suasana rumah adat Sunda, di kampung yang terletak dalam wilayah kaki Gunung Salak tersebut, anda akan mendapatkan makanan khas Sunda zaman baheula dan kesenian Sunda yang sekarang nyaris punah. Adalah Maki, panggilan akrab Achmad Mikami Sumawijaya, yang membangun kampung sejarah dan budaya itu di lahan seluas 8600 meter persegi. Hampir delapan tahun dia merintis upaya itu. Langkah pertamanya membangun beberapa jenis rumah adat khas Sunda Bogor: imah gede, girang serat, saung taluh, saung lisung, leuit, pasanggrahan, imah kokolot, bale pangriungan, tampian dan saung sajen . Di juga menghidupkan tradisi lokal setempat, seperti seren taun, parebut seeng, malem opatwelasan,rebo kasan dan angklung gubrag . “Upaya revitalisasi budaya ini takan terjadi tanpa bantuan dari para sesepuh Bogor dan para inohong (pejabat) Jawa Barat,” ujar lelaki kelahiran Jakarta, 11 Mei 1970 itu. Asal muasal ide tersebut muncul kali pertama saat Maki melakukan kunjungan kerja ke Manado, Sulawesi Utara pada 2004. Dia tak sengaja menyaksikan sekelompok bule dari New York bermain gamelan Sunda di televisi. Dia merasa malu. “Ketika bangsa lain mencintai budaya Sunda, lalu di mana orang-orang Sunda?” ujar pengusaha di bidang teknologi informasi tersebut. Pulang dari Manado, Maki langsung beraksi. Dengan memanfaatkan lahan miliknya di Kampung Sindangbarang, dia mendirikan Giri Sundapura. Di padepokan itu, dia mengadakan latihan gratis bagi anak-anak muda Sindangbarang yang ingin belajar tari Sunda Bogor. Dalam waktu yang tidak lama, Giri Sundapura dikenal sebagai sanggar tari yang disegani di Bogor dan sekitarnya. Bersama Giri Sundapura, Maki dibantu Anis Djatisunda, sesepuh Sunda Bogor, berhasil menyelenggarakan lagi upacara seren taun pada 2006. Setelah 36 tahun upacara penghormatan untuk Dewi Sri Pohaci (dewi padi) ini raib dari bumi Bogor. Terakhir dilakukan di Sindangbarang pada 1970 oleh kepala desa Etong Sumawidjaya, kakek Maki. “Pada saat itu kami melakukannya belum di Kampung Sindangbarang tapi di lapangan depan SDN Pasireurih,” kata Maki. Pada 2004, Maki berhasil menampilkan kembali sebagian kegiatan tradisi lama Sunda Bogor. Namun, satu hal yang masih mengganggu pikirannya, yakni belum adanya kampung budaya. “Padahal menurut ketentuannya, kehadiran kampung budaya adalah salah satu prasyarat utama untuk mengadakan berbagai kegiatan tersebut,” kata suami dari Aulia Dewi Hardjakusuma tersebut. Lantas, Maki menghubungi para sesepuh Bogor. Di antaranya Anis Djatisunda dan Eman Sulaeman. Lewat mereka, Maki bisa terhubung dengan para inohong Kabupaten Bogor dan Provinsi Jawa Barat. Usai berembuk mereka sepakat membangun kampung budaya di Sindangbarang. Total jenderal dana yang diperlukan Rp1,3 milyar. “Kami setuju untuk patungan, pemerintah provinsi Jawa Barat 750 juta rupiah, Pemkab Bogor 25 juta rupiah dan sisanya dari saya,” kata Maki. Di Kampung Sindangbarang, kini berdiri sekitar 10 bangunan adat Sunda Bogor yang mengelilingi sebidang tanah seluas lapangan sepakbola yang disebut alun-alun. Pembuatan bangunan tidak sembarangan, harus mengikuti petunjuk karuhun (nenek moyang) dan melalui upacara khusus. “Posisi, bahan, bentuk dan arah disesuaikan dengan petunjuk yang kami dapat dari Pantun Bogor ,” ujar Maki. Pantun Bogor adalah naskah tua yang berfungsi sebagai rujukan sejarah bagi orang-orang Sunda Bogor. Proses pembangunan kampung budaya dan penyelenggaraan kegiatan tradisi lama berjalan mulus. Di Sindangbarang ada sebagian pihak masyarakat menolak upaya revitalisasi tersebut. Alasannya macam-macam. Salah satunya yang paling gencar adalah alasan agama. Maki dan kawan-kawan cukup sabar menghadapinya. Setelah melalui pendekatan persuasif dan diskusi, pihak yang menolak akhirnya bisa menerima. Siapun bisa datang ke kampung budaya Sindangbarang, termasuk para peneliti. “Sudah banyak yang datang meneliti ke sini, untuk mereka kami menyediakan fasilitas tempat tinggal dan makan secara gratis. Ya, tentunya dengan kondisi seadanya,” ujarnya. Apa sebenarnya harapkan Maki menghadirkan kembali budaya Sunda Bogor? Sambil tersenyum dia menyatakan sekadar memenuhi bakti kepada para karuhun . Sebagai bentuk rasa hormat anak kepada orangtuanya. “Banyak orang bilang saya buang-buang duit, tapi ini bukan soal duit atau kekayaan materi. Ini sesuatu yang tak bisa dihargai dengan uang,” katanya.





















