Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Nyirib, Tradisi Urang Sunda yang Mulai Punah
AKI Ucup masih ingat rutinitas mengasyikan itu. Selalu tiap tahun, bertempat di Sungai Cimandiri, Sukabumi, dirinya bersama-sama orang-orang sekampung melaksanakan nyirib (sering juga disebut marak ). Itu nama sejenis tradisi orang Pasundan untuk kegiatan menangkap ikan secara bergotong royong. “Dari kecil hingga dewasa, nyirib itu adalah kegiatan yang sering kami tunggu-tunggu karena selain untuk hiburan, kami pun bisa bertukar kabar tentang kondisi masing-masing dengan sesama penghuni kampung,” ujar lelaki berusia 91 tahun itu. Menurut Aan Merdeka Permana, tradisi nyirib atau marak sejatinya sudah ada sejak era kerajaan-kerajaan Sunda berjaya. Selain untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari, nyirib juga dilaksanakan sebagai bentuk upaya penguatan sosial dan solidaritas di kalangan masyarakat Sunda. “Saya pikir, aktivitas itu sesungguhnya lebih kental nuansa kegotongroyongannya,” ujar sejarawan cum sastrawan Sunda itu kepada Historia . Aktivitas nyirib biasanya dilakukan pada setiap tutup tahun. Kala agama Islam menjadi anutan sebagian besar orang Sunda, kegiatan ini dijalankan kala menjelang datangnya bulan puasa. Pelaksanaan kegiatan ini pun termasuk merata. Artinya hampir sebagian besar masyarakat Sunda melakukannya, terutama mereka yang lingkungannya dekat dengan aliran sungai besar dan sedang. Persiapan nyirib , umumnya dilakukan sejak pagi hari buta. Dimulai dengan ritual-ritual doa, para lelaki lantas mengondisikan leuwi (bagian terdalam sungai yang banyak ikannya). Caranya adalah dengan mengepung wilayah leuwi dengan batu-batu dan dedaunan serta mengalirkan air dari hulu ke hilir terjauh dengan metode dipekong (membuat beberapa saluran sungai kecil juga dengan menggunakan batu, tanah liat dan dedaunan). Setelah pembuatan bendungan kelar dan arus air dari hulu berhasil dialihkan ke hilir terjauh, air yang tersisa di dalam bendungan lantas ditawu (dikuras dengan menggunakan wadah sejenis ember) dengan melibatkan ratusan manusia. Begitu ribuan galon air sudah dikeluarkan dan keadaan leuwi sudah dianggap aman, maka pimpinan kegiatan (biasanya kepala dusun atau kepala desa) menyilakan orang-orang (termasuk anak-anak dan kaum perempuan) untuk terjun mencari ikan dengan berbagai cara. Agus Thosin, berusia 65 tahun, termasuk orang yang masih mengalami masa-masa nyirib di wilayah Cianjur. Ia melukiskan betapa orang-orang kampungnya bersuka cita saat melaksanakan kegiatan itu, terutama anak-anak kecil. Dengan menggunakan berbagai jenis perangkat tradisonal untuk menangkap ikan, seperti sirib, lambit, keucrik, ayakan dan bubu) dalam tawa dan canda mereka berlomba-lomba menangkap ikan yang sudah tidak bisa lagi lari kemana-mana. Hasil dari kegiatan nyirib ini biasanya memuaskan. Berbagai jenis ikan yang saat ini mungkin jarang ditemukan lagi, seperti senggal, tawes, udang, mujaer, gengehek, gabus, lele, kancra dan nama-nama ikan jadul lainnya berhasil mereka ambil dari sungai. “Jumlahnya banyak sekali, sampai berkwintal-kwintal,” ujar Agus. Alih-alih dimiliki sendiri, ikan-ikan itu lalu ditampung dalam suatu wadah yang sangat besar dan kemudian dibagi secara merata kepada semua orang kampung tak terkecuali para orang tua yang sudah tak mampu lagi terjun dalam aksi itu. Biasanya, ikan-ikan itu dibungkus dengan daun pisang atau daun jati. Sayangnya, tradisi sosial tersebut hanya bisa disaksikan sampai akhir sekitar tahun 1970-an. Bahkan Ucup dan Agus sangat yakin saat ini nyirib sudah tinggal nama semata. Seiring merajalelanya pabrik-pabrik hingga menjadikan air sungai tercemar dan “ditumbuhinya” bantaran-bantaran sungai oleh hunian manusia hingga menjadi sempit dan dangkal, tradisi nyirib pun bergerak ke pintu kematiannya. “Mau di mana lagi nyirib dilakukan? Paling-paling kalau mau nyirib sekarang mah ke pasar saja,” ujar Ucup sambil tertawa pahit. Kini, menjelang tutup tahun atau datangnya bulan puasa, di kampung-kampung yang dilewati aliran sungai, tak ada lagi anak-anak yang dengan hati penuh suka cita mempersiapkan alat-alat menangkap ikan. Mereka sekarang lebih suka mempersiapkan terompet dan petasan untuk menyambut tahun penghabisan.
- Suku Biak, Suku Vikingnya Papua
DALAM berbagai catatan sejarah Indonesia timur, selama ini hanya orang Bugis yang diakui sebagai pelaut-pelaut tanggguh. Selain pernah ke Madagaskar, mereka pun dikisahkan kerap bolak-balik Makassar-Australia untuk menjalin hubungan dagang dengan Suku Aborigin. Namun tak banyak orang tahu jika suku Biak (yang mendiami Pulau Biak dan Numfor) dari Papua, juga telah di kenal lama sebagai para penjelajah lautan yang tangguh. Demikian pernyataan sejarawan A.B. Lapian dalam buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. “Suku Biak menjelajah lautan hingga Maluku, Sulawesi, Jawa bahkan konon antara 1400-1800, mereka pernah sampai di semenanjung Malaka…,” tulis A.B. Lapian. Sejatinya, masih kata Lapian, pelayaran orang Biak dan Numfor terdorong oleh beberapa hal, yaitu motif persaingan atau korfandi , lingkungan georafis Biak yang tandus dan kurang menghasilkan secara ekonomis, perang antar suku, dan adat budaya. Namun menurut Albert Rumbekwan, ada aktor lain yang menyebabkan terjadinya penjelajahan laut yang dilakukan oleh Suku Biak Numfor. “Pada sekitar tahun 1400-an terjadi kemarau panjang di daerah mereka, sehingga untuk memperoleh bahan makanan, Suku Biak berlayar keluar kawasan mereka,” ujar sejarawan yang mengajar di FKIP Universitas Cendrawasih, Papua itu. Pasca kemarau panjang itu, orang Biak dan Numfor lebih memfokuskan pelayarannya pada aktivitas perdagangan barter, dan merompak masyarakat suku-suku di sekitar Teluk Cenderawasih, hingga ke sekitar kepulauan Raja Ampat. Dampak dari aktifitas melaut orang Biak dan Numfor adalah mereka mendominasi aspek perdagangan dan politik di wilayah tersebut. “Jejak-jejak mereka bisa kita dapat hari ini dari penamaan sejumlah tempat di Papua yang memakai istilah bahasa mereka seperti Manokwari (berasal dari kata mnuk war artinya kampung tua), Sorong ( soren ),” ujar Albert. Dalam proses aktivitas penjelajahan itu, Suku Biak pada akhirnya harus berhubungan dengan dengan orang-orang di luar Papua seperti para pelaut Ternate, Tidore, Halmahera-Flores-Gebe, Sulawesi, Buton, pelaut Tiongkok dan Eropa. Soal ini dibenarkan oleh A.B. Lapian saat mengisahka kiprah Suku Biak sebagai bajak laut yang menguasai sekitar kepulauan Raja Ampat, Maluku hingga ke Sulawesi. “Sumber-sumber Belanda menyebut mereka sebagai Papoesche Zeerovers yang berarti para bajak laut Papua,” tulis Lapian. Muridan Widjojo, dalam buku Pemberontakan Nuku , menyatakan hubungan antara Suku Biak dengan orang-orang di luar mereka bahkan sudah pada tahap persekutuan politik. Itu terjadi pada sekitar tahun 1780-1810 saat para bajak laut Papua memihak Sultan Nuku dalam menghadapi Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Ternate. “Para bajak laut Papua dari Teluk Cenderawasih, mengambil bagian dalam peristiwa itu dan memberikan kemenangan bagi Sultan Nuku,” tulis sejarawan asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu dalam bukunya. Albert Rumbekwan meyakini orang-orang Papua sejak ratusan tahun lalu sudah memiliki kemampuan maritim yang kuat. Selain itu dalam bidang ekonomi, sistem dagang Suku Biak terbentuk melalui kongsi dagang antar sahabat yang disebut; Manibobi, dengan berlayar dan berdagang keliling. “Mereka menjajakan berbagai komoditas ke beberapa gugusan kepulauan Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Teluk Doreri-Manokwari, Amberbaken, antara lainsagu, kulit kayu massoi, burung cenderawasih, dan budak” ujar Albert. Dari kongsi dagang itu, orang Biak memperoleh jenis-jenis komoditi dagang baru yang diperolehnya dari para pelaut dari Ternate-Tidore, Buton, Makassar, Tiongkok dan Eropa. Komoditi dagang tersebut antara lain; porselin Tiongkok, manik-manik, parang, tombak besi, gelang dari besi atau logam, serta berbagai jenis kain. Aktivitas pelayaran ini dipimpin oleh Manseren Mnu atau Suprimanggun, dan “ Mambri ” sebagai pemimpin perang. Mereka berlayar menggunakan perahu layar tradisional; Wairon, Waimansusu dan Waipapan/Karures dan telah menguasai ilmu navigasi yang mengandalkan bintang, seperti bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio ( Romanggwandi ). Kemampuan berlayar dan berdagang sampai ke Ternate-Tidore, menyebabkan orang Biak diberi gelar-gelar seperti Mambri, Sangaji, Korano , dan Dimara . Interaksi itu melahirkan akulturasi budaya antara orang Biak-Numfor dengan suku-suku di daerah Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Manokwari melalui perkawinan dan perdagangan. Menurut Albert, suku-suku di Teluk Cenderawasih adalah suku di Papua yang pertama kali melangsungkan pelayaran maritim. Suku-suku tersebut berasal dari kepulauan Biak-Numfor, Yapen-Waropen, Teluk Umar, Kepuluaun Haarlem, dan Teluk Wondama. Menurut catatan tertulis, sejarah maritim orang Papua dari Teluk Cenderawasih ini sudah berlangsung lebih awal dari Abad ke-8, sebelum kehadiran para pelaut Nusantara, Tiongkok dan Eropa di Nieuw Guinea.
- Legenda Buaya di Kalangan Masyarakat Sulawesi Selatan
BEBERAPA tahun lalu, di Murante Kabupaten Luwu, seorang ibu yang baru saja berduka karena anak lelakinya meninggal dunia. Dikejutkan dengan kemunculan seekor anak buaya di tangga depan rumahnya. Buaya kecil itu, seukuran kaki jempol orang dewasa. Berjalannya agak lunglai. Seperti anak lelakinya yang difabel semasa hidup. Buaya itu dipercaya sebagai kembaran si anak lelaki. Tak hanya itu, di desa Suli, Kabupaten Luwu, seekor buaya hitam buntung dipercaya sebagai kembaran dari seorang warga. Bahkan sampai hari ini sebagian warga kampung Cerekang, Kabupaten Luwu Timur, yang masih menggunakan sungai untuk mandi, selalu percaya ditemani buaya. Di sungai itu, buaya selalu hilir mudik. Anak-anak dan orang tua di Cerekang tak pernah takut untuk berenang bersama. Muchsin Daeng Manakka, salah seorang penduduk di desa Cerekang mengatakan, buaya adalah jelmaan dari dunia bawah. Dia adalah leluhur dari manusia. Di Pinrang, beberapa orang juga menjadikan buaya bagian dari keluarga. Bahkan menurut Muhammad Ikbal, salah seorang warga Pinrang, setiap tahun bersama keluarganya memberi sesajen pada buaya yang ada di sungai. “Biasanya diberikan telur dua buah. Itu dilakukan kalau nenek saya sudah mimpi bertemu dengan kembaran buaya-nya itu,” katanya. Bagaimana kisah ini bermula? Dalam epik I La Galigo , ketika dunia akan diisi oleh manusia, seorang anak dewa dari langit bernama Batara Guru diturunkan ke bumi. Dan untuk menemaninya maka diangkatlah sepupunya dari penguasa dunia bawah bernama We Nyili Timong. Sejarawan Universitas Negeri Makassar, Taufik Ahmad mengatakan, di masyarakat Bugis dan Makassar buaya menjadi bagian dari kehidupan manusia adalah lumrah. Di Bone, buaya dikenal dengan nama To ri Salo (terjemahannya secara umum adalah orang yang menghuni sungai). Di Luwu disebut ampu salu (yang menguasai sungai) dan bahkan dalam menyebutnya harus mengunakan kata nenek –merujuk pada buaya. “Saya kira ini cara pandang manusia dalam hubungannya dengan alam,” katanya. Pandangan inilah, kata Taufik, sebagai cara dalam memproteksi sungai. Pada masa lalu, masyarakat tidak dibenarkan membuang hajat di sungai, menangkap ikan dengan racun. Bahkan rumah-rumah masyarakat yang berada di pinggiran sungai, menjadikannya sebagai halaman depan. Namun, sejak 1905 penghormatan pada buaya mulai berkurang. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, berdasarkan catatan pergantian pegawai tinggi Belanda yang diperoleh Taufik, menjelaskan adanya kegiatan yang disebut hunting crocodile . “Tahun 1907, kegiatan hunting crocodile ini dilakukan. Ada ribuan buaya yang ditangkap,” kata Taufik. “Tapi saya tak menemukan catatan, apakah itu dilakukan untuk kebutuhan pasar Eropa, untuk kulit buaya.” Pada masa itu, pegawai Belanda yang bermukim di Sulawesi Selatan merekrut dan menggaji orang-orang pribumi untuk menangkap buaya. “Apa yang terjadi? Pelan-pelan hubungan manusia dan buaya (alam) mulai luntur dan orang mulai mengotori sungai,” katanya. Fenomena ini bisa ditemui di hampir semua wilayah di Sulawesi Selatan, baik yang pedalaman maupun kota kabupaten. Sungai menjadi tempat sampah. Bahkan rumah-rumah menjadikan sungai sebagai halaman belakang. “Ingat, di kebudayaan kita halaman belakang itu adalah kotor. Itulah yang terjadi pada keberadaan sungai atau juga laut saat ini,” kata Taufik. Peneliti Biomedik Universitas Hasanuddin, Arfan Sabran mengatakan, hubungan manusia dengan buaya adalah salah satu cara menciptakan kelas ataupun pembentukan relasi kuasa di masyarakat pesisir sungai. “Selama amatan saya, di pesisir sungai, masyarakat yang hidup lebih majemuk. Jadi untuk menciptakan kelas sosial tertentu muncullah mitologi semacam ini,” katanya. “Dan sebagai cara menjaga alam khususnya air, ini salah satu cara terbaik.” Namun, dari sisi biologi, kembar antara manusia dan buaya tidak mungkin terjadi. Menurut Arfan, hubungan DNA antara reptil dan manusia sangat jauh berbeda. Jika manusia memiliki 23 pasang kromosom, maka buaya jauh lebih sedikit dan sangat sederhana. Tidak serumit manusia. Tidak hanya itu, jenis kelamin buaya itu ditentukan oleh suhu telur. Dan sperma atau sel telur dari manusia dan buaya tidak akan bisa menyatu. "Jika kemudian ada yang mengatakan buaya itu keluar dari rahim, saya kira tidak ada yang dapat membuktikan. Jika pun buaya itu hidup dipencernaan maka itu juga sesuatu yang tidak mungkin, karena tingkat keasaman lambung akan membunuhnya,” kata Arfan.
- Kisah Nyai dan Para Lelaki Kolonial yang Kesepian
SETIAWATI masih hapal riwayat hidup leluhurnya itu. Secara diam-diam, kisah tersebut selalu tersampaikan dari generasi ke generasi di kalangan keluarga besarnya, sebagai “kenangan pahit” yang tidak boleh terulang lagi. “Mungkin saat itu situasinya memang tak terelakan, takdir Tuhan harus berlaku demikian kepada nenek buyut saya,” ujar perempuan kelahiran Jakarta 55 tahun lalu tersebut. Sarima, nama nenek buyut Setiawati, adalah seorang nyai. Itu adalah istilah yang ditujukan kepada seorang perempuan pribumi yang dijadikan pasangan hidup seorang lelaki kulit putih tanpa suatu ikatan pernikahan. “Sekalipun di Eropa moral Kristen menuntut penahanan nafsu seksual di luar pernikahan, ideologi di Hindia Belanda membolehkan seorang lelaki mencari jalan keluar bagi kebutuhan-kebutuhan seksnya…” tulis Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Terlebih, lanjut Tineke, anggapan umum saat itu menyebut bahwa iklim tropis serta makanan kaya bumbu pedas mendorong munculnya libido para lelaki Eropa yang bermukim di tanah Hindia Belanda. “Pendapat-pendapat tersebut seolah menjadi pembenar terjadinya praktek pergundikan dan pelacuran yang dilakukan mereka…” ujar doktor sastra Indonesia dari Universiteit Leiden, Belanda itu. Hampir senada dengan penilaian Setiawati dan Tineke, penulis sejarah kolonial asal Belanda Reggie Baay, menyebut kuputusan seorang lelaki kolonial “mengambil” seorang nyai, merupakan gejala umum dan seolah sesuatu hal yang bisa diterima oleh banyak orang kala itu. Jika pada awal-awal kolonialisme terpancangkan di tanah Hindia Belanda sistem perbudakan adalah suatu keniscayaan, maka selanjutnya sistem pergundikan dengan seorang perempuan pribumi merupakan pemecahan masalah dari “rasa kesepian” para lelaki kulit putih lajang. “Terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19,” ungkap Reggie dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Terciptanya “konsep nyai” juga tidak terlepas dari perbedaan kelas: superioritas kulit putih atas kulit coklat, dominasi penjajah terhadap pihak terjajah. Situasi tersebut berkelindan dengan sikap nrimo yang dipelihara dengan setia oleh sebagian besar para bumiputera. Tidak usah jauh-jauh, sebagai contoh adalah kasus yang dialami oleh Sarima sendiri sekitar era 1920-an. Sebagai seorang buruh pemetik teh yang miskin di Garut, ia harus “pasrah” saat tuan adminsitratur “menginginkan dirinya”. Kendati saat itu, Sarima telah memiliki seorang suami. “Dalam hal ini, pemberian sejumlah uang (kepada pihak keluarga perempuan atau suami perempuan tersebut) kerap dilakukan,” ujar Reggie. Bahkan, pada kasus lain, seorang Njai juga bisa “dialihkan” kepada lelaki Eropa lain. Kasus-kasus seperti itu biasanya terjadi di tangsi-tangsi tentara. Seperti dialami oleh Marie (nyai yang berasal dari Purworejo) dan Enjtih (nyai yang berasal dari Cimahi). Pengalihan itu biasanya terjadi karena pihak lelaki sudah mulai jenuh atau akan dipindahtugaskan ke tempat lain. Lantas bagaimana status hukum anak-anak yang lahir dari hubungan sejenis itu? Menurut Tineke Hellwig, sejatinya seorang nyai tidak memiliki hak apa pun, baik terhadap dirinya maupun atas anak-anak yang dilahirkannya. Karena itu, ia harus siap dicampakan oleh “pasangannya” termasuk tidak diberi imbalan apapun. “ Kadang-kadang sebelum mencampakan para nyai tersebut, para lelaki itu menyerahkan anak-anak mereka ke rumah yatim piatu,” ujar lektor kepala di University of British Columbia, Kanada tersebut. Tentunya tidak semua nyai bernasib buruk. Ada juga di antara mereka yang dicintai betul-betul oleh pasangannya hingga (setelah mendapatkan beberapa anak) dinikahi dan didaftarkan sebagai istri yang sah secara hukum. Itu dialami oleh dua orang nyai bernama Gouw Pe Nio dan Djoemiha. Alih-alih diperlakukan sewenang-wenang, mereka malah hidup bahagia sampai mati bersama para lelaki Eropa tersebut.
- Presiden Sukarno Kembali dari Pengasingan
FOTO lama yang terpampang di buku IPPHOS, Remastered Edition itu berbicara banyak. Dalam nuansa hitam putih, nampak masyarakat Jakarta tumpah ruah. Sepanjang Bandara Kemayoran-Istana Negara Jakarta, ratusan ribu manusia menyemut. Mereka memekik, tertawa dan ada pula yang menangis. Teriakan “merdeka” bercampur baur dengan pekikan “Hidup Bung Karno”, membentuk suara bergemuruh dalam lautan massa. Demikian deskripsi yang dilukiskan oleh Presiden Sukarno dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya penulis Amerika Serikat, Cindy Adams. Pada 28 Desember 1949, Presiden Sukarno kembali menginjakkan kaki di Jakarta. Itu terjadi setelah pada 1946, demi keamanan, ia terpaksa menyingkir dari ibu kota Republik Indonesia (RI) yang sudah mulai dikuasai tentara Belanda. Setelah dua tahun berkantor di Istana Negara Yogyakarta, pada 19 Desember 1948, militer Belanda menangkap sekaligus mengasingkan Presiden Sukarno beserta pejabat-pejabat RI lainnya ke Pulau Sumatra. Namun, diakuinya kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949, otomatis membebaskan Sukarno cum suis sekaligus mewajibkan Belanda untuk mengembalikan mereka ke Yogyakarta. Setelah beberapa jam singgah di Yogyakarta, dengan menumpang pesawat KLM (maskapai penerbangan Kerajaan Belanda) yang secara terburu-buru dicat simbol Garuda Indonesia Airways (GIA), Sukarno terbang menuju Jakarta. “Pesawat itu adalah satu-satunya pesawat dari Garuda Indonesia Airways yang berumur satu hari,” ujar Sukarno. Dalam Kronik Revolusi Indonesia , Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan melukiskan kedatangan Presiden Sukarno di Jakarta sebagai sebuah pesta rakyat. Sejak subuh, rakyat Jakarta dan sekitarnya telah datang dari berbagai pelosok. Terlebih rencana kedatangan rombongan Presiden Sukarno telah diumumkan sebelumnya lewat Radio Republik Indonesia (RRI). “Riuh rendah sorak ribuan rakyat yang sejak pagi berjejal-jejal menunggu di Kemayoran,” ujar Pram yang menulis buku tersebut bersama Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil. Tepat pukul 11.40, pesawat yang ditumpangi Presiden Sukarno beserta rombongan mendarat secara mulus di Bandara Kemayoran, Jakarta. Begitu turun dari pesawat, ia dijemput dengan mobil terbuka (pinjaman dari pengusaha Dasaad) dan dikawal secara ketat oleh sepasukan tentara dan polisi. Sambil berdiri tegak, sepanjang jalan menuju Istana Negara, Sukarno tak henti-hentinya memberikan salam dan melambaikan tangannya kepada ratusan ribu massa yang meneriakan namanya secara bersemangat. “Rakyat berlari ke depan kendaraan kami. Yang lain terlanggar. Ada lagi yang terdorong. Beberapa diantaranya pingsan. Kami diserbu rakyat. Aku tidak bisa maju setapak pun. Rakyat bergelantungan di sisi kendaraan, kap mobil, di tangga. Rakyat menggapai-gapai kepadaku untuk mencium jariku,” demikian Sukarno menuturkan. Melalui kerja keras para prajurit dan polisi yang berupaya membukakan jalan, Sukarno akhirnya bisa tiba di tangga Istana Negara. Sesampai di puncak tangga, ia lantas mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya. Lautan manusia yang tadinya bergemuruh pun sontak terdiam. Sama sekali tak ada yang bergerak. “Alhamdulillah! Kita merdeka!” Suara bergemuruh kembali membahana. Kota Jakarta kembali tenggelam dalam suka cita dan pesta.*
- Berabad Riwayat Umat Kristen di Cianjur
GUNUNG Halu, Cianjur, 25 Desember 2015. Suara lonceng yang berdentang dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon tiba-tiba berhenti di tengah hari itu. Sebagai gantinya, dari berbagai arah kampung tersebut berkumandanglah suara adzan. Situasi di hari Natal itu terkesan memang kontras, tapi bagi warga wilayah Gunung Halu hal tersebut memang sudah biasa. “Sengaja genta gereja kami hentikan, supaya saudara-saudara Muslim kami bisa fokus menjalankan shalat Jumat,” ujar Yudi Setiawan (43), koster (pembantu) di GKP Palalangon. Tak banyak orang tahu, di Kabupaten Cianjur terdapat sebuah komunitas Kristiani. Keberadaan mereka bahkan sudah berlangsung ratusan tahun dan setidaknya menurut Yudi, hingga kini sudah mencapai generasi ke-5. Lantas bagaimana ceritanya agama Kristen bisa berkembang di kota yang kerap disebut sebagai gudang pesantren tersebut? Menurut Dadan (73), salah satu sesepuh Cianjur, kedatangan agama Kristen ke Cianjur terkait dengan tibanya serombongan pedagang Portugis ke kota tersebut di era Dalem Aria Wiratanu II (1691-1707). Sebagai bentuk penghargaan dan toleransi, Dalem Wiratanu II lantas mempersilakan para tamunya untuk tinggal di satu wilayah dekat pinggiran Sungai Citarum. “ Sekarang namanya jadi kawasan Gunung Halu, kampungnya orang-orang Nasrani (Kristen) di Cianjur,”ujar Dadan yang mengaku mendapat cerita tersebut dari kakeknya. Tetapi cerita Dadan berbeda dengan versi resmi pihak GKP Palalangon. Disebutkan Yudi, keberadaan orang-orang Kristen di wilayah Cianjur bermula dari adanya permintaan pemerintah Hindia Belanda kepada Bupati Cianjur Raden Prawiradireja II (1862-1910) pada 1901. Mereka meminta bupati Cianjur ke-10 itu, menyediakan lahan yang masih kosong untuk komunitas Kristen pribumi yang ada dalam bimbingan NZV ( Nederlandsche Zendings Vereeniging ), sebuah pekabaran misi Injil dari Belanda. Sebagai catatan, orang-orang Sunda yang memutuskan untuk memeluk agama Kristen saat itu mengalami situasi yang sangat memprihatinkan. Selain mengalami intimidasi, penganiayaan dan bahkan pembunuhan, mereka pun tak diakui oleh keluarganya masing-masing. “Saat itu orang-orang Sunda mengidentikan Kristen sebagai agama orang Belanda. Jadi sangat dimengerti jika keberadaan mereka tak diterima oleh keluarga besarnya masing-masing,” ujar Raistiwar Pratama, peneliti dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang pernah melakukan riset mengenai komunitas Kristen Sunda itu. Setelah berhasil mengumpulkan 7 pengikut Kristen pribumi, salah seorang anggota NZV bernama B.M. Alkema kemudian menghadap Bupati Cianjur dan meminta sang bupati memberi petunjuk kira-kira lahan mana di Cianjur yang bisa mereka tempati. Bupati Raden Prawiradireja II lantas memberi wewenang kepada salah seorang wedananya yang bernama Sabri. Sabri kemudian mengajak B.M. Alkema dengan ketujuh pengikutnya bergerak ke arah timur Cianjur. Mereka menyusuri aliran sungai Cisokan dan kemudian aliran sungai Citarum. Saat mendekati kawasan yang disebut sebagai Leuwi Kuya (Lubuk Kura-Kura), tiba-tiba salah seorang dari rombongan itu terperosok masuk ke sebuah jurang. Untunglah ia masih bisa diselamatkan. Usai menolong kawannya yang terperosok itu, rombongan tidak berbalik lagi ke tempat asal. Mereka justru menaiki bagian lain dari tebing tersebut dan menemukan sebuah hutan belantara yang tanahnya agak datar. Alkema merasa cocok dengan kawasan itu. Setelah memeriksa beberapa sudut di kawasan itu, ia kemudian menancapkan tongkatnya di salah satu tempat tersebut dan berikrar: “Di tempat inilah saya tetapkan sebagai tempat pemukiman bagi orang-orang Kristen Sunda…” Begitu selesai pembabatan hutan, dibuatlah beberapa pemukiman sederhana di kawasan itu. Ketujuh orang Kristen Sunda itu kemudian menjemput keluarganya masing-masing untuk tinggal di sana. Guna memenuhi kebutuhan ibadah kebaktian, dibangunlah sebuah “gereja darurat” yang terbuat dari bahan dasar “eurih” alias ilalang. Kebaktian pertama sendiri terjadi pada 17 Agustus 1902 dan secara resmi para anggota jemaat memberi nama kampung tersebut dengan istilah Sunda ‘palalangon” yang artinya “menara”. Kendati menganut Kristen, tidak serta merta menjadikan mereka sebagai masyarakat yang eksklusif. Aliha-alih berjarak, dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949) keberpihakan orang-orang Kristiani Palalangon kepada pihak republik nampak nyata. Itu dibuktikan dengan pernah dijadikannya Palalangon sebagai markas oleh sebuah kesatuan tentara republik. “ Kesatuan itu dipimpin oleh Sersan Kentjong, komandan saya,” ujar Atma (85), salah seorang mantan petarung republik di Cianjur. Menurut Wijaya, salah seorang peneliti sejarah, di era Perang Kemerdekaan, orang-orang Kristen Palalangon pun mendapat jaminan perlindungan dari Lasykar Hizbullah. Bahkan saat pertama kali mendirikan Lasykar Hizbullah Ciranjang pada 3 Februari 1946, orang-orang Kristen Palalangon pimpinan Pendeta Empi menyumbangkan dua ekor kuda tunggangan dan seperangkat mesin tik untuk staf administrasi lasykar kaum Muslim tersebut. “Barang-barang yang disumbangkan kaum Kristiani Palalangon itu bermanfaat besar bagi mobilitas dan penyelesaian soal-soal administrasi kesatuan Lasykar Hizbullah cabang Ciranjang tersebut,” tulis Wijaya dalam Lasykar Hizbullah: Antara Jihad dan Nasionalisme Mempertahankan Kemerdekaan RI (1945-1949) .
- Achmad Chaerun, Bapak Rakyat Tangerang
MEDIO Oktober 1945, ribuan massa dari Karawaci dan Sepatan bergerak ke kediaman bupati Tangerang Agus Padmanegara di Tangerang. Tujuan mereka satu: melengserkan sang bupati. Namun Agus sudah terlebih dahulu pergi menyelamatkan diri dan keluarganya ketika massa yang terbakar semangat revolusi itu datang mengepung rumahnya.
- Balada Ikan Asin
DAPUNTA Kosiki, penduduk kabikuan (desa otonom) Pamehangan, memimpin upacara penetapan sima bagi desa Panggumulan, wilayah Puluwati (kini Kabupaten Sleman). Panggumulan beroleh anugerah status tanah perdikan berkat jasa penduduknya
- Akar Sejarah Singkong
SINGKONG tiba-tiba naik kelas. Pada 2004, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat edaran agar semua instansi pemerintah menyediakan makanan lokal, termasuk singkong. Namun tampaknya kebijakan ini tak berjalan, mengingat Yudi sendiri kena reshuffle .
- Misteri Fredy S
PEMBACA novel populer era 1980 hingga 1990-an tentu tak asing lagi dengan nama Fredy Siswanto atau kerap ditulis Fredy S. Dia penulis produktif di masanya. Novel-novelnya laku keras. Bahkan masih beredar hingga kini. Namun sosoknya dianggap misterius. Siapa dia sebenarnya? Nama aslinya Bambang Eko Siswanto. Lahir di Semarang pada 5 Mei 1954. Sebelum menjadi novelis, dia lebih dikenal sebagai komikus. Beberapa komiknya, umumnya bergenre roman percintaan, terbit. Antara lain Gema Tangismu , Karang Tajam , Segaris Harapan , Kepergian Seorang Kekasih , Lagu Sendu , Selembut Sutra , dan Pengorbanan Ibu . Komik tak mengangkat namanya. Maka, dia mencari penghasilan lain sebagai pelukis poster film. Dia juga sempat menulis beberapa cerita silat seperti serial Retno Wulan dan Pendekar Gagak Rimang dan jadi wartawan sebelum berkiprah sebagai penulis novel populer. Fredy S penulis produktif. Karyanya ratusan judul, diterbitkan di Indonesia maupun di Malaysia dan Singapura. Sebulan dia bisa menghasilkan dua hingga tiga judul novel. Fredy S menyebut dirinya sebagai “sastrawan kaki lima”. Saking tenar, namanya kerap dicatut, atas seizinnya maupun tidak, untuk novel-novel lainnya. Namun namanya tenggelam oleh ratusan karyanya. Bahkan tak diakui dalam dunia kesusastraan Indonesia. Apresiasi terhadap karya-karya Fredy S pernah coba dituangkan Muhidin M. Dahlan, pegiat radiobuku.com . Dia bersama teman-temannya menerbitkan buku setebal bantal bertajuk Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikubur . Karya-karya yang terpilih diresensi, biografi pengarangnya diulas. Bila jeli, tak ada nomor urut 32 di buku setebal 1001 halaman itu. “Ini sebetulnya template yang disiapkan buat Fredy S.,” kata Muhidin M. Dahlan. Namun, karena tak berhasil menelisik sosok Fredy S, ruang itu dibiarkan kosong. Fredy S tak tergantikan. Bagi Muhidin dkk, Fredy S dan novel-novelnya adalah bintang di masa keemasan kedua “sastra picisan” pada 1980-an. Fredy S adalah penanda zaman. Debut Fredy S sebagai novelis mendapat sambutan hangat. Novel pertamanya Senyummu Adalah Tangisku (terbit 1978) diangkat ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung lakon yang membintanginya sederet artis papan atas: Soekarno M. Noor, Rano Karno, Anita Carolina, dan Farida Pasha. Setahun kemudian, novelnya Sejuta Serat Sutera juga difilmkan. Bintangnya Rudi Salam dan Tanty Josepha. Dari sinilah, Fredy S terjun ke dunia sinematografi, dari penulis skenario hingga jadi asisten sutradara. Ketika televisi swasta mulai berkecambah dan produksi sinema elektronik (sinetron) mendapat tempat, Fredy S tak mau ketinggalan. Dia menyutradarai beberapa sinetron melalui berbagai rumah produksi. Antara lain Fatamorgana (1995) dan Bukan Sekedar Sandiwara (1997). “Bila di film kurang menonjol, Fredy S mencetak prestasi lumayan waktu pindah ke layar kaca,” tulis Apa Siapa Orang Film Indonesia , yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan. Karya terakhirnya adalah sinetron Jelangkung 2 produksi PT Virgo Putra Film, yang tayang di RCTI tahun 2002. Karena terserang stroke, dia terpaksa meninggalkan dunia film dan sinetron. Bahkan, sekalipun sempat kembali menulis novel, Fredy S akhirnya tutup buku dengan novel populer. Fredy S menghabiskan hari tuanya di rumah istri pertamanya di Bintara, Bekasi, sampai meninggal dunia pada 24 Januari 2015.*
- Komitmen Kebangsaan Seorang Komponis
Alfred Simanjuntak (1920-2014). ( pgi.or.id ). ALFRED Simanjuntak, komponis dan pencipta lagu “Bangun Pemudi-Pemuda”, meninggal kemarin pagi (25/6/2014) di Rumahsakit Siloam, Tangerang, Banten. Semasa hidup, dia menempatkan lagu dan musik sebagai pembangkit semangat kebangsaan kaum muda. Lagu-lagunya pun kerap mengangkat rasa nasionalisme. Antara lain “Dimanakah Tanah Airku”, “Tanah Airku Indonesia”, dan “Indonesia Bersatulah”. Alfred lahir di desa Parlombuan, Sumatra Utara, pada 8 September 1920. Kedua orangtuanya bekerja sebagai guru jemaat gereja. Gaji mereka tak besar sehingga kehidupan mereka bersahaja. Tapi mereka masih bisa menyekolahkan Alfred hingga ke Hollandsce Inlandsche Kweek School (HKS), sejenis sekolah guru, di Sala, Jawa Tengah. Alfred unggul dalam urusan musik di sekolahnya. Padahal dia tak pernah mendapat pendidikan musik secara khusus. Dia mempelajari musik dan berlatih memainkan alat musik seperti organ, piano, dan biola di luar jam sekolah. Setamat HKS pada 1941, Alfred pindah ke Kutoarjo, Jawa Tengah, untuk bekerja sebagai guru musik di sebuah sekolah. Dia menikmati pekerjaan itu dan mencintai murid-muridnya yang berlatarbelakang beragam. “Murid saya datang dari Purworejo, Wates, Gombong, Prembun, dsb,” kata Alfred, dikutip Kompas , 28 Oktober 1986. Tapi kemudian Jepang datang mengambil-alih sekolah. Ketimbang bekerja kepada Jepang, Alfred memilih balik ke Sala. Dia luntang-lantung di Sala selama dua tahun bersama sembilan temannya. Dia beberapa kali melihat kekejaman tentara Jepang. Lalu dia pindah ke Semarang. Di sini dia beroleh tawaran bekerja sebagai guru musik di Sekolah Rakyat Sempoerna Indonesia. Pendiri sekolah itu antara lain Parada Harahap (tokoh pers), Bahder Djohan (tokoh Jong Sumatranen Bond), dan Wongsonegoro (tokoh pergerakan). Mengetahui latarbelakang para pendiri sekolah, Alfred menerima tawaran itu. Dia senang bisa kembali mengajar anak-anak. Dia berencana menggunakan kesempatan ini untuk memupuk semangat kebangsaan anak-anak. Tapi tak mudah mewujudkannya. Dia terbentur dua tantangan: kekejaman tentara Jepang dan kurangnya lagu berbahasa Indonesia untuk anak-anak. Alfred menggunakan lagu dan musik untuk menghindari kekerasan tentara Jepang. “Kepada anak-anak tersebut, kami mengajarkan semangat keindonesiaan secara halus karena kalau secara terang-terangan kepala saya bisa hilang,” kata Alfred, dikutip majalah Bahana, 1 Juni 2000. Sedangkan untuk mengatasi kekurangan lagu, Alfred menciptakan lagu baru. Antara lain “Dimanakah Tanah Airku”, “Tanah Airku Indonesia”, dan “Bangun Pemudi-Pemuda”. Alfred selalu berkonsultasi dengan Parada Harahap dan Bahder Djohan usai menciptakan lagu. Kalau Parada dan Bahder berpendapat lagu Alfred terlalu berbahaya, dia tak akan mengumumkannya secara luas. Sebaliknya, kalau mereka menilai lagu dia cukup halus, dia baru berani menyanyikannya di depan umum. Ini terbukti saat lagu “Indonesia Bersatulah” berkumandang di depan orang Jepang: Indonesia Indonesia marilah bersatulah Jangan pikir macam bangsa Rasa daerah hilanglah Bersahabat bersaudara sama-sama bekerja Indonesia Indonesia hidup hiduplah “Saya yang waktu itu memimpin menyanyi jadi berdiri bulu roma saya, takut dan kecut, bagaimana nasib saya besok. Jangan-jangan kepala saya hilang. Untunglah tidak terjadi apa-apa,” kata Alfred dikutip Kompas . Lagu itu kelak mendapat porsi siaran istimewa di RRI saat peristiwa PRRI/Permesta. “…Lagu itu berbicara soal menghilangkan rasa kedaerahan,” kata Alfred dikutip Bahana . RRI memutarnya selama tiga tahun dan menghentikan pemutarannya ketika PRRI/Permesta tumbang. Alfred berubah 30 tahun kemudian. Dia malah agak menyepakati negara federal. “Sebab apa yang dibuat selama 30 tahun ini terhadap Sumatera, Ambon, tidak masuk akal… Ya ampun, ternyata gubuk yang ada tahun 30-an, sekarang pun masih tetap sama,” kata Alfred. Maka dia mengubah lirik “Indonesia Bersatulah”. Lebih berbicara soal perpaduan kerja antarsuku, ragam bangsa, dan wilayah ketimbang menghilangkan rasa kedaerahan. Gus Dur pun kepincut melihat pergulatan pemikiran Alfred dalam lagu dan musik. Dia menilai Alfred punya komitmen kebangsaan. Sehingga dia meminta Alfred menciptakan mars untuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjelang Pemilu 1999. Alfred memasukkan pekik “Allahuakbar” dalam mars PKB. Dia sempat bertanya kepada Gus Dur dan para pendeta apakah boleh memasukkan pekik itu. Mereka semua menjawab boleh. Gus Dur sendiri sangat gembira dengan mars ciptaan Alfred itu. Hingga akhir hayatnya, Alfred tak banyak mendapat perhatian pemerintah. Tapi itu tak mengurangi sedikitpun dedikasi dan jasa Alfred. Dia sendiri sudah jauh-jauh hari bilang, “Terserahlah. Saya hanya merasa tergugah menciptakan dan menyumbangkan sesuatu untuk negeri tercinta ini.”*
- Lagu-lagu Kampanye
Album Golkar-ku Golkar-mu! Lagu-lagu Pop Golkar untuk kampanye Pemilu 1971. BUKAN saja kena kritik keras karena mengenakan pakaian mirip petinggi Nazi-Jerman, Ahmad Dhani juga melanggar hak cipta karena menggunakan lagu “We Will Rock You” tanpa izin pemiliknya, grup band Queen. Lagu menjadi bagian penting dari alat kampanye dalam setiap pemilihan umum, baik sekarang maupun dulu. Lagu-lagu itu bisanya sederhana; yang penting menggugah orang untuk memilih partai tertentu. Pada pemilihan umum 1955, partai-partai menciptakan berbagai slogan dan nyanyian untuk mengingatkan para pendukung agar memilih. Sayangnya, belum ada data lengkap mengenai lagu-lagu tersebut dan apakah partai-partai politik memakai jasa artis musik. Dalam Mengislamkan Jawa , M.C. Ricklefs merekam beberapa lirik lagu yang dijadikan alat kampanye partai-partai peserta pemilu 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI) punya sebuah lagu yang liriknya unik: berupa tanya-jawab dan dalam bahasa Jawa. Berikut liriknya: Pilihanmu apa, aku kandhanana (Pilihanmu apa, beritahukan aku) Pilihanku mung siji, ora liya mung PNI (Pilihanku hanyalah satu, tak lain adalah PNI) Aku apa kena melu milih kuwi (Apakah aku boleh ikut pilih itu?) Ya luwih utama yen kok pilih siji iki (Ya, lebih baik jika engkau memilih yang satu ini) Tengarane apa, aku durung ngerti (Tandanya apa, aku belum tahu) Banteng segi tiga, Ngunjung drajad bangsa (Banteng di dalam segi tiga, menjunjung derajat bangsa) Partai kang sejati, pembela Ibu Pertiwi (Partai sejati, pembela Ibu Pertiwi) Sementara Masyumi, dalam slogan dan lagu kampanyenya, menekankan karakter Islaminya, dan ditulis dalam bahasa Indonesia. Ini mencerminkan modernisme Masyumi, basis urbannya, dan daya tariknya bagi pemilih non-Jawa. Bismillah sudah mari memilih Gambar bulan bintang putih Atas dasar hitam nan bersih Tanda gambar Masyumi Partai berjasa nusa dan bangsa Demi setia agama Berbeda dari Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan frasa-frasa Islami dalam versi yang mereka Jawakan. “Tak lupa, memakai sistem penanggalan Jawa untuk menarik simpati dari khalayak tradisionalisnya,” tulis Ricklefs. Allah huma sali salim alla, sayidinia wa maulana Muhammadin (Ya Allah, berilah berkat dan keselamatan bagi Nabi dan junjungan kami Muhammad) Tanggal 13 Sapar tahun ngajeng (Tanggal 13 Sapar tahun depan) Kemis legi aja lali nyoblos Jagad-gad (Hari Kamis Legi, janganlah lupa mencoblos bola dunia) Penggunaan jasa artis untuk kali pertama dilakukan pada Pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru. Terutama oleh Golkar, partai penguasa. Sebagai partai baru, Golkar harus menyosialisasikan lambang beringin. Maka, mereka mengajak para artis musik untuk ikut berkampanye. “Kami berhasil dalam pengerahan massa, menyertakan bintang film, penyanyi, dan model,” kata Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru . “Hiburan musik menarik orang-orang untuk datang, sementara pidato dari pimpinan Golkar diselipkan di antaranya.” Selama kampanye pemilihan umum 1971, Golkar mengedarkan kaset bertajuk Souvenir Pemilu 1971 . Antara lain berisi lagu “Pohon Beringin” karya Yan Suwandi,yang dibawakan Bing Slamet. Berikut penggalan liriknya: Di bawah pohon beringin Riwayatnya yang termasyhur Tempat yang suci Untuk para siapapun Liriknya memang tak berisi ajakan mencoblos Golkar, tapi setidaknya mengingatkan orang akan keberadaan partai baru ini. Terbukti, lagu itu juga muncul dalam album Golkar-ku Golkar-mu! Lagu-lagu Pop Golkar yang merupakan persembahan Artis Safari dengan koordinator Edy Sud pada 1980-an. Di album ini, sejumlah penyanyi papan atas terlibat dan membawakan lagu-lagu bertema Golkar maupun ajakan memilihnya.






















