Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Bisnis Haram Kaum Republik
Tahun 1948, Letnan Muda Sho Bun Seng adalah anggota telik sandi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari unit Singa Pasar Usang di Padang, Sumatera Barat. Selain memata-matai posisi musuh, Sho juga dikenal sebagai piawai dalam urusan penyelundupan, terutama menyelundupkan candu. “ Barang-barang haram itu kami jual dengan harga tinggi di Singapura lalu hasilnya dibelikan senjata dan amunisi…” kenangnya. Selama berlangsung Agresi Militer Belanda II di Sumatera Barat, Sho mengaku aktif ”berniaga” candu. Barang-barang itu didapat rata-rata dari rekan-rekannya sesama gerilyawan seperti Letnan Kolonel Abdul Halim melalui Kompi Bakapak dan Letnan Samik Ibrahim dari Kesatuan Hizbullah. “ Jumlahnya bisa mencapai puluhan kilogram setiap penjualan,” ujar lelaki yang menapaki masa tuanya di utara Jakarta tersebut. Pemanfaatan candu dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949) memang suatu keniscayaan. Menurut Robert B. Cribb dalam tulisannya berjudul Opium and the Indonesian Revolution, saat menghadapi milter Belanda, para pejuang republik sangat membutuhkan dana yang banyak. Sebagai jalan keluarnya, mereka lantas melelang habis stok candu, sisa-sisa peninggalan pemerintah Hindia Belanda. “ Itu ternyata sangat membantu pembiayaan revolusi mereka,” ungkap Cribb dalam tulisan yang dimuat oleh jurnal Modern Asia Studies edisi 22 (April 1988) . Kendati dijalankan tanpa gembar-gembor, bisnis candu di era Perang Kemerdekaan sejatinya direstui pemerintah Republik Indonesia (RI). Dalam Djogdja Documenten no.230 milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), ada beberapa surat resmi yang menyebutkan soal perniagaan barang haram itu. Salah satunya, surat Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis kepada Kepala Kepolisian Negara RI R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo yang meminta kepolisian membantu bisnis candu yang akan digunakan untuk membiayai delegasi Indonesia ke luar negeri, membiayai para pejabat Indonesia dan menggaji pegawai-pegawai RI. Untuk melancarkan pengelolaan dan transaksi candu, pemerintah mendirikan kantor-kantor regi candu di beberapa kota yang dianggap strategis. Sebut saja yang terbesar adalah Kantor Regi Candu dan Garam Kediri, Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta dan Kantor Depot Regi Canda serta Obat Yogyakarta. Namun dari sekian pihak yang menerima manfaat dari bisnis candu tersebut, pihak tentaralah yang mendapat porsi paling besar. Hampir setiap waktu, mereka mengajukan permintaan seperti yang dilakukan oleh Menteri Muda Pertahanan Aroedji Kartawinata pada 22 Januari 1948. Kepada Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta, Aroedji meminta pasokan candu untuk kepentingan para pejuang di Jawa Timur. “ Mayor Jenderal drg. Moestopo sebagai Komandan Teritorial Komando Jawa Timur diberi kewenangan penuh untuk mengambil sejumlah candu itu langsung di Surakarta,” tulis Julianto Ibrahim dalam Opium dan Revolusi; Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950). Divisi Siliwangi pun termasuk kesatuan yang mendapat jatah barang haram itu dari pemerintah republik. Tercatat mereka mendapat izin untuk menukarkan atau menyelundupkan candu sebanyak 15.000 cepuk/tube untuk dibelikan beberapa jenis bahan pakaian. “ Pihak yang bersedia menyediakan dan mengusahakan bahan pakaian itu adalah Bank Negara Indonesia (BNI), P.T. Margono dan beberapa pedagang lainnya,” ungkap Julianto. Tidak hanya TNI, kesatuan lasykar yang dekat dengan pemerintah juga bisa jadi kecipratan uang candu tersebut. Sebagai contoh, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), pernah mengirim surat permohonan kepada Kantor Wakil Presiden agar mendapat izin memperoleh candu dari Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta sebanyak 3000 cepuk/tube.
- Memaknai Ulang Tari Jawa
BAGI masyarakat Jawa, terutama di kalangan bangsawan dan kerabat keraton, tari bukan hanya salah satu bentuk ekspresi kebudayaan, melainkan juga sebuah cara pewarisan pengetahuan dan nilai-nilai. Tari dengan segala aspeknya adalah pengejawantahan pengetahuan dan nilai-nilai yang berkembang sepanjang peradaban. Saat belajar tari, komunikasi antara penari yang sudah mahir dan yang pemula, antara yang status sosialnya tinggi maupun lebih rendah terjadi. Dalam interaksi itu, terjadi pewarisan nilai saling menghormati dan tenggang rasa. Bagaimana yang senior dan junior bisa saling belajar skill dan cara bersikap, itu ada dalam praktik menari di Jawa. “Tarian pun pada dasarnya juga mengandung makna tertentu yang mesti dipahami oleh seorang penari,” ujar Anastasia Melati, seniman tari Yogyakarta, dalam diskusi bertema “Membingkai Ulang Tari Jawa” di Griya Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, Jakarta Pusat,18 April 2017. Dalam diskusi itu, Anastasia memaparkan bagaimana nilai-nilai kejawaan mengejawantah dalam seni tari. Dia juga menyoroti pergeseran nilai-nilai itu dalam perjalanan sejarah masyarakat Jawa. Pemaparan itu ia sarikan dari penelitiannya tentang beberapa tarian Jawa. Anastasia menerangkan, pengejawantahan nilai bisa dilihat misalnya dalam tari bed h aya yang berkembang di Yogyakarta. Meskipun berkembang semasa Islam telah mapan di Jawa, khususnya Mataram, tari bed h aya memiliki nilai sakral yang berakar dari tradisi Hindu. Itu terlihat misalnya dari jumlah penari yang harus sembilan orang. “Itu merupakan simbolisasi sembilan mata angin dan dewa-dewa Hindu yang menjaganya. Kesakralan juga terlihat dari penari yang harus dalam keadaan suci saat menari. Mereka tidak boleh berlatih atau menari dalam keadaan haid,” terang Anastasia. Nilai sakral itu tetap berlaku hingga kini. Namun, Anastasia juga mencatat adanya pergeseran dalam perkembangan tari bedhaya . Kini tari bedhaya tidak seeksklusif dulu, karena bisa dipelajari oleh orang-orang di luar kalangan kraton. “Sejak masa Hamengku Buwana VII, tari bedhaya mulai keluar dari kraton. Siapa pun yang mau, bisa mempelajarinya,” ujarnya. Keluarnya bedhaya dari keraton berangkat dari keinginan para tokoh seni tari dan karawitan yang menjadi abdi dalem keraton untuk memajukan seni tari dan karawitan. Setelah mendapat restu Hamengku Buwono VII, mereka mendirikan perkumpulan Krida Beksa Wirama (KBW) pada 17 Agustus 1918. Hamengku Buwono VIII lalu memberi bantuan moril maupun materiil. “Pada tahun 1922 itu pula KBW menerima sebagai murid putri dan putra Sri Paku Alam VII,” tulis Moeljono dalam RWY Larassumbogo, Karya dan Pengabdiannya . Bagi orang Jawa, tari juga merupakan wadah ekspresi kesetaraan gender. Itu terlihat dalam tarian yang berkembang di luar Mataram, seperti di Banyumas dengan tari ronggeng-nya dan Jawa Timur lewat tari remo-nya. Anastasia menyebut bahwa di Banyumas wanita penari ronggeng selalu menempati posisi istimewa dalam masyarakat. “Penari ronggeng adalah sakti atau pusaka bagi suatu desa. Penari ronggeng adalah orang terpilih. Bahkan, di Banyumas menari bersama ronggeng bisa menunjukkan prestis dan status sosial seseorang. Karena orang yang pertama kali diajak menari oleh penari ronggeng adalah orang terpandang,” ujar Anastasia. Nilai kesetaraan gender juga bisa dilihat dalam tari remo yang berkembang di Jawa Timur. Seperti halnya bedhaya dan ronggeng, remo juga ditarikan oleh perempuan. Bedanya, gerak tari remo sangat maskulin, sehingga meruntuhkan segala stereotipe atas perempuan. “Remo ini menggambarkan praktik perempuan mempertahankan kuasanya melalui tarian,” kata Anastasia. Kini, sebagian orang luput dalam memahami nilai-nilai dalam tarian Jawa. Hal itu, kata Anastasia, sudah terjadi sejak agama-agama Abrahamik masuk ke Indonesia. Ronggeng, misalnya, selalu diasosiasikan sebagai tarian yang mempertontonkan sensualitas. “Padahal ronggeng awalnya adalah sebuah ekspresi syukur kepada Tuhan atas panen yang melimpah. Ronggeng memang mengajak orang yang menontonnya gembira dan merasakan kenikmatan sebagai wujud syukur. Ketika agama-agama Abrahamik masuk, hal semacam itu bergeser menjadi negatif,” ujarnya. Meski kondisi seperti ini perlu disikapi, tari pada dasarnya selalu berkembang mengikuti zaman. Karena itu, nilai-nilai dan praktiknya bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman.*
- Pungli Tak Pernah Pergi
PUNGUTAN liar atau pungli menjadi sorotan publik setelah tim gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya, yang dipimpin Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, melakukan operasi tangkap tangan di kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub), 11 Oktober 2016. Beberapa pegawai yang kedapatan melakukan pungli untuk pengurusan buku pelaut dan surat kapal ditangkap.
- Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik
MEDAN, 15 Maret 1958, aktivitas di ibu kota Sumatera Utara itu tak setenang biasanya. Sejak siang hari hingga malam, situasi Ksatrian Batalion 131 di Jalan Jakarta (kini Jalan Imam Bonjol) sudah nampak sibuk luar biasa. Pasukan dikumpulkan dan disiagakan. Semua perlengkapan, persenjataan dan amunisi, termasuk juga 25 kendaraan lapis baja, dipersiapkan. Dalam waktu singkat, sendi-sendi penting kota Medan dikuasai. Lapangan udara AURI Polonia direbut pasukan lapis baja. Kecuali satu yang berhasil lolos, semua pesawat terbang di landasan porak-poranda. Stasiun RRI turut diambilalih. Operasi bersandi “Sabang-Merauke” itu merupakan operasi militer pertama yang mendukung PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Gerakan tersebut dipimpin oleh Mayor Boyke Nainggolan, Wakil Kepala Staf Teritorium I Bukit Barisan. “Boyke Nainggolan seorang perwira Batak Toba dan dianggap sebagai salah seorang perwira tempur Angkatan Darat terbaik,” tulis Audrey Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversi sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia . Sejatinya, Boyke adalah seorang perwira yang lurus. Sikap itu diperlihatkannya pada suatu hari dalam tahun 1950, saat mobil yang dikendalikannya menabrak seorang anak yang tengah bersepeda di tengah kota Medan. Usai membawa anak itu ke rumah sakit, ia lantas mengontak kantor CPT (Corps Polisi Tentara) setempat dan meminta para petugas CPT datang untuk menangkapnya. “ Padahal anak itu cuma lecet-lecet biasa saja, “kenang almarhum Sukotjo Tjokroatmodjo, eks perwira CPT yang ditugaskan “menangkap” Boyke. Mengawali karir militer sebagai opsir PETA (Pembela Tanah Air), di masa revolusi, Boyke bergabung ke dalam tentara sukarela Korps Pasukan Kelima dengan pangkat letnan dua. Pasukan Kelima adalah cabang khusus lasykar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) – yang kemudian memisahkan diri –terdiri dari sekumpulan orang-orang Batak. Ayah Boyke, dr. Nainggolan seorang dokter merangkap Wakil Komandan I Pasukan Kelima. “Ia seorang yang amat berdarah panas seperti sebuah bola api,” tulis Takao Fusayama dalam A Japanese Memoir of Sumatra, 1945--1946: Love and Hatred in the Liberation War . Sikap mudah naik darah itu, bisa jadi dipengaruhi oleh situasi psikologis yang melatarbelakangi kisah pribadi Boyke. Dikisahkan Fusayama, ibu dan adik perempuan Boyke telah menjadi korban revolusi sosial tahun 1946 di Brastagi karena dianggap menjadi bagian dari bangsawan feodal. Ironisnya, mereka berdua diperkirakan terbunuh oleh laskar Pesindo, kelompok bersenjata yang justru menjadi tempat awal karir militer Boyke di masa Indonesia merdeka. Selepas pengakuan kedaulatan, Boyke diangkat sebagai opsir TNI (Tentara Nasional Indonesia) berpangkat mayor. Komandan Teritorium I Bukit Barisan, Kolonel Maludin Simbolon mempercayakannya sebagai Komandan Batalyon Pengawal untuk kota Medan. Di jajaran TNI, Boyke dikenal sebagai perwira brilian. Itu dibuktikan dengan dipilihnya Boyke menjadi salah satu dari dua perwira yang direkomendasikan Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) mengikuti pendidikan General Staff and Command College, sekolah staf dan komando di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat (AS) pada awal 1956. “Mayor Nainggolan merupakan perwira dari Sumatera Utara yang cerdas luar biasa! Kecerdasannya sudah diakui oleh banyak pimpinan AD,” ungkap Ventje Sumual dalam Memoar Ventje Sumual . Justru sekembali dari AS, Boyke yang “apolitis” terprovokasi sejumlah seniornya untuk membelot dan terlibat dalam gerakan PRRI. Ia lantas ditugaskan untuk memimpin Operasi Sabang Merauke, sebagai respon dari tindakan pemerintah pusat yang menyerang Dewan Banteng di Sumatera Barat dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. “ Saya yakin, sebenarnya Boyke tak bermaksud untuk berontak kepada pemerintah…” ujar Sukotjo kepada Historia . Dan memang dalam buku Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa karya Payung Bangun, Maludin Simbolon yang terlebih dahulu bergabung dengan PRRI, sempat menjalin korespondensi dengan Boyke. Secara gamblang, ia menjelaskan perjuangan PRRI adalah untuk membangun daerah dan melawan pengaruh komunisme yang semakin melilit pemerintah pusat. Sejak pergolakan yang diawali di Padang pada 15 Februari 1958, pemerintah pusat di Jakarta memutuskan untuk menghadapi gerakan PRRI dengan aksi militer. Situasi tersebut menjadikan Boyke berstatus sebagai musuh pemerintah dan secara otomatis menjadi buruan TNI hingga ia menyingkir ke rimba pegunungan Tapanuli, Sumatera Utara. Karena kurangnya dukungan rakyat, pada 1961 PRRI menyerah total terhadap pemerintah. Sebagai bentuk kompromi, pimpinan militernya direhabilitasi oleh rezim Sukarno. Nainggolan termasuk salah satu perwira menengah – bersama Simbolon dan Mayor Sahala Hutabarat - yang dipertimbangkan untuk dimaafkan namun dengan syarat diberhentikan dari TNI. Mereka lantas dikaryakan ke beberapa perusahaan milik pemerintah. Boyke sendiri memilih untuk menetap di Medan. Ia diangkat menjadi Wakil Direktur Pertamina cabang Sumatera Timur. Nahas, Boyke gagal mengembangkan hubungan baik dengan direkturnya. Suatu hari, mayat Boyke ditemukan di bawah menara radio dekat perumahan dinas Pertamina. Kematiannya didesas-desuskan sebagai bunuh diri. Ayahnya dr. Nainggolan, mengusulkan untuk memeriksa jenazah Boyke tetapi tidak diizinkan pemerintah. Boyke Nainggolan lantas dimakamkan di Brastagi. Berakhirlah kisah hidup perwira lurus nan brilian tersebut
- Jatuh Bangun Lembaga Pemberantasan Korupsi
SEJUMLAH lembaga didirikan untuk memberantas korupsi. Beberapa kasus korupsi yang melibatkan petinggi berhasil diungkap. Sebagian diseret ke pengadilan. Namun, tidak jarang usaha itu gagal justru karena dijegal oleh penguasa sendiri. Berikut ini lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang pernah didirikan meski kemudian dibubarkan. Bapekan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) berdiri pada awal 1959 dengan ketua Sultan Hamengku Buwono IX dan anggota Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Sudirgo. Tugasnya mengawasi, meneliti, dan mengajukan usul kepada presiden berkaitan dengan kegiatan aparatur negara. Lingkup tugas Bapekan mencakup aparat sipil maupun militer dalam badan-badan usaha milik negara, yayasan, perusahaan, dan lembaga negara. Bapekan menerima segala macam pengaduan dari masyarakat terkait kinerja atau dugaan korupsi aparatur negara. Mereka bisa mengirimkan pengaduannya ke alamat pos Bapekan, Tromol No. 8 Jakarta. Melalui alamat pos itu, Bapekan menerima beragam aduan mulai dari serdadu hingga sastrawan. Di Jawa Timur, kerjasama Bapekan dengan Gubernur Soewondo Ranoewidjojo amat efektif. Koordinasi keduanya berhasil membongkar praktik korupsi di jajaran pemerintahan hingga tingkat kecamatan. Di Jakarta, Bapekan antara lain berhasil membongkar korupsi di Jawatan Bea Cukai sejak 1950-1960 senilai Rp40 juta. Namun, pendirian Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) oleh Jenderal Nasution mengurangi ruang gerak Bapekan, keduanya bahkan hampir berkonflik. Riwayat Bapekan tamat saat menangani dugaan-dugaan korupsi terkat pembangunan sarana olahraga untuk Asian Games 1962. Belum sempat menyelesaikan penyelidikan atas dugaan korupsi itu, pada 5 Mei 1962 presiden membubarkan Bapekan dengan alasan tidak diperlukan lagi. Paran Banyaknya korupsi yang dilakukan militer selepas nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda membuat sejumlah perwira Angkatan Darat jengah. Upaya pemberantasan oleh Jenderal AH Nasution (menteri keamanan nasional sekaligus KSAD) gagal karena hanya bermodalkan UU Keadaan Darurat Perang. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Nasution mengusulkan kepada Presiden Sukarno perlunya pembentukan sebuah lembaga untuk membenahi birokrasi dan memberantas korupsi. Presiden setuju dan menunjuk Nasution untuk mengonsepnya. Maka, lahirlah Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada 1959. AH Nasution duduk sebagai pimpinannya serta dibantu oleh Muhammad Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu tugas Paran, mendata kekayaan para pejabat negara. Dari laporan kekayaan itu Paran mengetahui banyaknya salah urus dan korupsi. Temuan-temuan itu lalu diteruskan ke kejaksaan, pengadilan, atau kepolisian. Meski tak diketahui berapa jumlah pasti korupsi yang dibongkar Paran, kinerja badan tersebut cukup memuaskan. Namun, langkah Paran mendapat banyak rintangan. Banyak pejabat membangkang dengan tak melaporkan kekayaan. Tak sedikit dari mereka yang langsung menyerahkan daftar kekayaan kepada presiden. Dalih mereka, mereka bawahan presiden. “Siapa yang bisa melawan Presiden Sukarno?” kata mantan anggota Paran Priyatna Abdurrasyid kepada Historia . Paran akhirnya mengalami mengalami deadlock saat posisi AH Nasution sebagai pimpinan AD digantikan oleh Ahmad Yani pada 1962. Sejak itu Paran semakin terkucil. Operasi Budhi Sebagai respons terhadap radiogram KSAD Nasution tentang perintah kepada Kodam untuk membentuk dan melaksanakan program Paran, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie langsung membentuk Panitia Pelaksana Pendaftaran Kekayaan Para Perwira Tinggi dan Menengah. Program terbatas itu diberi nama Operasi Budhi. Selain menelusuri kekayaan para perwiranya, Siliwangi juga menarik perwira-perwiranya yang gagal menjalankan jabatan-jabatan sipil. “Adjie tak mau berkompromi dalam soal ini,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 . “Operasi Budhi bukan semata untuk meningkatkan efisiensi administrasi, tapi juga memberikan jawaban yang memadai atas tuduhan korupsi yang dilancarkan PKI terhadap para perwira Siliwangi.” Keberhasilan Operasi Budhi lalu diambil-oper Nasution dan dijadikan program nasional oleh Paran, yang kala sedang lesu. Melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digeber dengan membentuk Operasi Budhi. Nasution menjadi komandannya, dibantu Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikusumo. Operasi Budhi bergerak menyasar perusahaan-perusahaan plat merah serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan korupsi. Selain berhasil memejahijaukan banyak pejabat sipil maupun militer, dengan ganjaran paling maksimal pemecatan dan pemenjaraan. Dalam kurun tiga bulan sejak dijalankan, Operasi Budhi menyelamatkan sekira Rp.11 milyar uang negara. Jumlah itu setara dengan 3000 lebih sedan Mercedes Benz. “Dulu Mercedes 3,5 juta lho harganya,” kata mantan anggota Operasi Budhi Mohamad Achadi (menteri Transmigrasi dan Koperasi di Kabinet Dwikora I) kepada Historia . Namun, ketika Operasi Budhi hendak memeriksa Pertamina, Dirut Pertamina Ibnu Sutowo dan para anggota direksinya menolak. Mereka beralasan pelaksanaan operasi belum dilengkapi surat tugas. Operasi Budhi juga tersendat karena banyak pejabat atau perwira yang berlindung di balik kuasa Sukarno –dengan membisikkan bahwa Nasution dengan Operasi Budhi-nya sedang menggalang kekuatan untuk melawan presiden– atau Ahmad Yani. Akhirnya Operasi Budhi dibubarkan pada Mei 1964. Kotrar Sebagai ganti dari pembubaran Paran/Operasi Budhi, Presiden Sukarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur (Kotrar) pada 1964. Presiden menunjuk Soebandrio sebagai ketuanya dan Letjen Ahmad Yani sebagai kepala staf. Namun, alih-alih bekerja cepat sesuai tujuan pendiriannya, Kotrar justru menjadi kendaraan politik Soebandrio. Perbaikan administrasi pemerintahan dan pemberantasan korupsi hampir tak tersentuh. Kotrar mengalami stagnasi hingga jatuhnya Presiden Sukarno. TPK Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menegaskan komitmen pemerintahannya dalam pemberantasan korupsi yang selama itu terbengkalai. Sebagai wujudnya, dia kemudian membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tim ini diketuai Jaksa Agung Sugih Arto. Anggotanya tak hanya orang-orang Kejaksaan, tapi ada yang dari kepolisian, militer, pers, dan lain-lain. Kasus terbesar yang ditangani TPK adalah dugaan korupsi di Pertamina, yang melibatkan pucuk pimpinan perusahaan plat merah itu. Menurut mantan anggota Operasi Budhi yang juga menjadi anggota TPK Priyatna Abdurrasyid, yang sempat memeriksa Ibnu Sutowo dan Haji Taher, hambatan pemeriksaan Pertamina amat besar. Teror kerap menghampiri anggota pemeriksa. Suatu hari, Priyatna dicaci-maki oleh asisten pribadi Presiden Soeharto yang mengatakan padanya bahwa presiden marah karena menilai Priyatna lancang memeriksa Pertamina. “Ancaman fisik pun pernah saya dapatkan. Suatu hari seorang pejabat teras Pertamina yang saya kenal datang ke kantor saya. Di kamar kerja saya, dia membanting pistol di atas meja saya. Ditantang begitu, darah saya naik,” ujar Priyatna kepada Historia . Intervensi penguasa membuat TPK gagal. Hingga tiga tahun berjalan, pengusutan terhadap perusahaan-perusahaan negara atau institusi negara yang ditengarai menjadi sarang korupsi seperti Bulog, Pertamina, dan Departemen Kehutanan, tidak tuntas. Masyarakat pun mempertanyakan keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Mahasiswa lalu berdemonstrasi. “Ini merupakan gerakan anti korupsi paling besar dalam 25 tahun sejarah Republik Indonesia.,” tulis Akhiar Salmi dalam “Kebijakan Politik dalam Pemberantasan Korupsi Dari Masa ke Masa”, dimuat di Korupsi Yang Memiskinkan . Presiden akhirnya membubarkan TPK. Komisi Empat Selain membubarkan TPK, Presiden Soeharto merespon protes mahasiswa dengan membentuk Komisi Empat, 31 Januari 1970. Presiden menunjuk Moh. Hatta sebagai penasehat komisi itu dan mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketua. Tiga tokoh senior yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes (mantan rektor UGM), I.J. Kasimo (Partai Katolik), dan A. Tjokroaminoto (PSII), dipercaya menjadi anggotanya. Mayoritas kasus-kasus yang ditangani Komisi Empat merupakan kasus-kasus korupsi yang terbengkalai penanganannya, seperti dugaan korupsi di Pertamina. “Komisi Empat mengemukakan bahwa PN Pertamina tidak berpegang teguh pada pasal 33 UUD 1945. Komisi Empat juga menunjukkan beberapa penyelewengan yang dilakukan oleh PN Pertamina. Di antara “kelalaian” PN Pertamina yang utama ialah kelemahannya dalam mengadakan budget control ,” tulis JB Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi IJ Kasimo . Temuan paling fenomenal Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo. Dia dicurigai memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik dan pribadi. Namun, hasil temuan itu tak mendapat respon pemerintah. “Ibnu Sutowo tidak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana; kasusnya hanya dinyatakan (sebagai) hasil ‘salah manajemen’ atau salah urus,” tulis Sudarmanto. Alih-alih memperdalam penyelidikan, tanpa alasan jelas pemerintah malah membubarkan Komisi Empat pada 16 Juli 1970. KPKPN Meski singkat, pemerintahan Presiden BJ Habibie berusaha menangani pemberantasan korupsi dengan serius melalui pembentukan Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara. KPKPN dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara. “Fungsi utama KPKPN adalah mengeluarkan formulir kekayaan yang harus diisi oleh pejabat publik,” tulis Simon Butt dalam Corruption and Law in Indonesia . Dinahkodai Jusuf Syakir, KPKPN beranggotakan 35 orang dari beragam latar belakang profesi. Mereka menyasar semua pejabat publik, mulai anggota MPR/DPR hingga perwira militer. “Khusus untuk pemeriksaan kekayaan anggota KPKPN sendiri akan dikerjakan oleh auditor independen,” kata Jusuf, dimuat Panji Masyarakat , 2001. Untuk menyiasati kekurangan man power dan kekuatan yang dimilikinya, KPKPN membuat pernyataan publik di media massa mengenai nama-nama pejabat yang tidak atau belum melaporkan kekayaannya. “KPKPN menjadi salah satu lembaga anti korupsi yang lebih efektif. Melalui publikasi tahunan pengumuman kekayaan (pejabat – red .), KPKPN berhasil mengembangkan satu embrio budaya tanggung jawab terkait kekayaan dan konflik kepentingan,” tulis buku Indonesia: Selected Issues. Meski sempat tak jelas nasibnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, KPKPN akhirnya melebur ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi. TGPTPK Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dengan ketuanya Hakim Agung Andi Andojo. Badan ini dibentuk dengan Keppres No. 19/2000. “Tim ini bertugas untuk berburu para koruptor yang diduga bersembunyi di luar Indonesia,” tulis Diana Ria dalam KPK in Action . Namun, legalitas tim ini dipermasalahkan karena dasar pembentukannya berbenturan dengan UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi akhirnya membubarkan lembaga tersebut. KPK KPK didirikan berdasarkan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Taufiequrachman Ruki didapuk menjadi ketua KPK pertama. Sejak kepemimpinannya hingga pimpinan sekarang, KPK terus bergerak cepat membongkar kasus-kasus korupsi hingga ke pemerintah daerah. Sepak terjang KPK mendapat perlawanan, mulai serangan personal hingga institusional. Terakhir, penyidik senior KPK Novel Baswedan menjadi korban penyiraman air keras lantaran sedang mengusut korupsi besar KTP elektronik yang menyebut banyak anggota DPR.
- Kebebasan Beragama Masa Kesultanan Islam di Nusantara
Persoalan pluralisme yang terkait kebebasan beragama selalu dikaitkan dengan pengalaman negara-negara di Eropa atau Amerika. Padahal, dalam sejarah Indonesia dapat dijumpai kebebasan beragama dan saling menghormati antarpemeluk agama. Hal itu dicatat pelancong asing yang berkunjung ke Banten dan Makassar. Vincent Le Blanc (1553-1633), seorang pengembara asal Perancis pada abad 17 mengunjungi Kesultanan Banten masa Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651). Vincent menyaksikan Sultan Banten itu memberikan izin kepada warga Tionghoa yang tinggal di Banten untuk mendirikan klenteng. “ Les Chinois ont un temple où ils adorent (Orang-orang Cina mempunyai klenteng tempat di mana mereka beribadah),” catat Vincent. Selain untuk penganut agama Konghucu, Sultan Banten juga memberikan izin kepada umat Katolik menjalankan ibadahnya. Saat itu, ada beberapa pendeta Katolik di Banten. Mereka meminta izin kepada sultan untuk mengadakan ritual keagamaan. Sultan memenuhi permintaan mereka dengan hangat. Bahkan, Sultan menyatakan dengan senang hati untuk membantu jika diperlukan. Menurut Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, sikap bijak penguasa Banten itu mungkin untuk memberikan keamanan bagi pedagang asing. Maka, tak heran bila Banten menjadi salah satu pusat dagang besar di Nusantara. “Kalau sekarang ada orang menolak Tionghoa karena agama mereka, ini bukan saja kita kalah dengan nenek moyang abad 17, tapi kita balik ke abad primitif karena tidak ada dasarnya di Indonesia,” kata Ayang dalam bedah bukunya, Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer, di Masjid Bayt Al-Qur’an, Pondok Cabe, Tanggerang, Senin (17/4). Selain Sultan Banten, Sultan Alauddin (1591-1638), raja Gowa pertama yang memeluk Islam, juga menjamin umat Katolik dari Portugis untuk menjalankan agamanya. Hal itu dicatat oleh Nicolas Gervaise (1663-1729), pendeta Katolik Prancis pada paruh kedua abad 17 yang berdiam di Thailand, berdasarkan kesaksian orang-orang yang berkunjung ke Makassar. Bahkan, sultan dan para penggantinya seperti Sultan Muhammad Said (1639-1653) memberi kebebasan kepada umat Katolik untuk mendirikan gereja. “Raja Makassar mendirikan sebuah gereja yang menakjubkan di dalam Kota Makassar yang dia berikan kepada para pedagang dari Portugis untuk melancarkan perdagangan mereka,” tulis Gervaise sebagaimana dikutip Ayang. Gereja Katedral Makassar atau nama resminya Gereja Hati Kudus Yesus Yang Mahakudus itu menjadi gereja tertua di Makassar dan di seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Kesaksian dari pelancong asing itu menunjukkan bahwa toleransi dan pluralisme telah dilaksanakan oleh para penguasa kesultanan Islam di Nusantara. “Sehingga pluralisme tidak lagi dianggap sebagai barang impor baru dari Eropa dan Amerika,” kata Ayang.
- Ulama Pertama yang Mengeluarkan Fatwa Haram Rokok
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram rokok sejak awal tahun 2009. Ternyata, fatwa haram rokok dan opium telah dikeluarkan oleh Ahmad Rifai Kalisalak (1786-1872), seorang ulama dari Kendal, untuk melawan Belanda yang membuat masyarakat kecanduan. “Dialah ulama pertama yang mengeluarkan fatwa haram pada dua hal, rokok dan narkoba, dulunya opium,” ungkap Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, kepada Historia . Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis. Ayang menjelaskan, perdagangan opium telah ada pada paruh pertama abad 17, sebelum Nusantara dikuasai Belanda. Akhir abad 16, bangsa Arab adalah pemasok opium pertama ke Asia, termasuk ke Nusantara, dan khususnya ke Jawa. Pedagang Inggris, Prancis, Denmark, dan Arab saling bersaing memperebutkan pasar opium. Namun, sejak tahun 1677, Kompeni Belanda menjadi pemain utama setelah menandatangani perjanjian dengan Amangkurat II, penguasa Kerajaan Mataram. Kompeni Belanda pun mendapatkan monopoli perdagangan opium untuk mengimpor dan menjualnya ke seluruh Jawa. Sejak itu, perdagangan opium menanjak pesat. “Perdagangan opium menjadi sumber pedapatan besar bagi Kompeni pada abad ke-18 dan bagi pemerintahan kolonial pada abad 19 di Jawa,” kata Ayang. Menariknya, kata Ayang, keuntungan terbesar penjualan opium berasal dari orang Jawa. Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi kawasan pengisap opium terbesar di Jawa. Rifai menentang keras budaya masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai Islam, seperti mengisap opium. Dia juga menentang Belanda yang menumpuk keuntungan dari menjual opium. Akibatnya, dia diasingkan ke Ambon. Di tempat pembuangan, Rifai terus melawan dengan mengeluarkan fatwa haram mengisap opium dan merokok tembakau. Fatwa itu juga berlaku pada orang yang membantu menyiapkannya. Jika seseorang tetap melakukan perbuatan itu, maka akan membawa kepada kefasikan. Jika seseorang fasik, hilang dua haknya, yaitu hak sebagai saksi nikah dan wali nikah. Fatwa tersebut tercantum dalam Bahsul Ifta yang ditulis dalam bahasa Jawa dan aksara Arab atau pegon. Naskah ini tidak ditulis langsung oleh Rifai, tetapi diriwayatkan oleh Muhammad Busyra bin Abdul Hamid. Di dalamnya terdapat penjelasan dan surat Rifai dari Ambon. Di dalam naskah, banyak rujukan kepada karya Rifai yang lain. Walaupun tertulis tahun 1269 H (tahun 1852), naskah ini bukanlah naskah asli, tetapi salinan. “Dari sini jelas naskah ini adalah kumpulan dari tulisan dan pemikiran Rifai dalam berbagai masalah yang disalin oleh para muridnya,” tulis Ayang dalam bukunya, Sejarah Hukum Islam di Nusantara. Secara umum, Bahsul Ifta banyak membahas ushuluddin yaitu rukun iman, dosa, dan kafir; syariat yaitu taharah, salat, puasa, zakat, dan haji; serta tasawuf yaitu ikhlas, tawakal, riya, dan taubat. Menariknya adalah sumber fatwa itu. Ayang mencatat bahwa Rifai melakukan ketidakjujuran intelektual dalam mengeluarkan fatwanya. Dia menggunakan dua sumber sebagai landasan mengeluarkan fatwa. Pertama, tiga hadis terkait haram mengisap opium, merokok tembakau, dan akibat bagi mereka yang meragukan hadis Nabi. Kedua, dia merujuk pada karya Kiayi Muhammad Saleh Darat untuk memperkuat pendapatnya. Menurut Ayang, Rifai tidak menyebutkan kitab hadis yang dirujuknya dan siapa perawinya. Apalagi, dari segi struktur bahasa Arab dan ilmu hadis, hadis yang dia rujuk tampak sangat sederhana dan terkesan bukan hadis tapi seperti pendapat Rifai. Opium memang sudah ada sejak masa Nabi lahir pada abad ke-6. Namun, Ayang mempertanyakan apakah opium ada di Mekkah dan Madinah pada abad ke-6 dan ke-7? Daerah mana yang memproduksi opium? Apakah sudah ada jual beli opium di Tanah Suci? Padahal, opium bukan hasil alam di Semenanjung Arab, baik di Mekkah maupun Madinah. Opium juga bukan barang dagangan utama bangsa Arab. “Apakah Rasulullah hanya mendengar perihal opium dari para kafilah dagang yang berbahaya dan memabukkan seperti khamar , lalu mengharamkannya? Saya tidak tahu,” papar Ayang. Tembakau juga tidak ada di Semenanjung Arab. Tembakau berasal dari pohon yang tumbuh di negara dengan iklim khusus, seperti Indonesia atau negara di Amerika Latin. “Tembakau menjadi rokok adalah fenomena belakangan, terutama setelah kedatangan bangsa Eropa di Amerika pada abad ke-16 dan di Nusantara pada abad ke-17,” lanjutnya. Soal rujukan pada karya Saleh Darat, Ayang meneliti dan menegaskan bahwa yang digunakan Rifai sebenarnya tidak pernah dikatakan Saleh Darat. “Ternyata main asal kutip. Saleh Darat tidak pernah menulis tentang keharaman rokok dan opium. Tidak pernah. Saya tidak habis pikir kenapa ulama sebesar dia (Rifai, red ) mengeluarkan ini?” tanya Ayang. Namun, Ayang menilai bahwa Rifai mengeluarkan fatwa itu untuk merespons keadaan masyarakat yang menjadi pecandu opium dan rokok sekaligus melawan Belanda. Dia berharap fatwa itu ditaati sehingga konsumsi menurun dan ekonomi kolonialis jatuh. Sayangnya, fatwa itu tidak diikuti oleh masyarakat. Sampai abad ke-19, konsumsi rokok dan opium di Jawa luar biasa besar. Rifai meninggal di tempat pengasingan, Ambon, di usia 86 tahun pada 1872.
- Sebuah Usaha Mengenal Sultan Hamengku Buwono IX
KENDATI memainkan peran penting, penampilan Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) di dalam buku sejarah tak sesering tokoh republik lainnya. Soal tentangnya paling dikaitkan dengan posisinya sebagai wakil presiden RI kedua atau Wapres pertama semasa Presiden Soeharto. Selebihnya hanya terdengar sayup-sayup dalam berbagai perbincangan soal sejarah dan sesekali politik di negeri ini. Buku yang lumayan memberikan informasi tentang HB IX adalah Tahta Untuk Rakyat terbit pertama kali pada 1982. Buku yang disusun oleh para sahabat dekat HB IX seperti Mohammad Roem dan Mochtar Lubis itu memuat tulisan-tulisan mereka yang mengenal dekat HB IX dan juga kisah-kisah seputar kehidupan HB IX. Namun sebagaimana buku “festschrift” yang ditulis oleh kalangan dekat HB IX, buku tersebut tak berjarak sama sekali alias kehilangan daya kritiknya. Maka penampilan HB IX pada buku tersebut tak lebih sebagai seorang yang menerima puja dan puji, nyaris tanpa cela sebagai manusia biasa. Padahal biografi, kata Gerry van Klinken dalam “Aku yang Berjuang: Sebuah Sejarah Penulisan Tentang Diri Sendiri pada Masa Orde Baru” yang dimuat dalam Henk Schulte, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia , harus menyentuh aspek pribadi tokoh yang ditulis dan tidak melulu menonjolkan hal-hal positif dari si tokoh. Dalam soal itu, John Monfries, penulis buku A Prince in a Republic mencoba untuk menelaah HB IX secara lebih kritis. Dia menyadari Sultan Yogyakarta itu bukanlah seorang yang terbuka dan tak termasuk tokoh publik yang banyak dikaji oleh para sarjana. “Hamengku Buwono” kata Monfries, “kurang berkharisma dan tak jago berpidato seperti Sukarno, lincah seperti Adam Malik, bukan administrator yang ulet seperti Hatta, intelek seperti Sjahrir dan tak bergaya komandan seperti Nasution.” (Hlm. 3). Menurut Monfries, HB IX memainkan peran penting dalam sejarah di republik ini. Ketika Jakarta semakin berbahaya bagi pemimpin republik, HB IX membuka pintu istananya di Yogyakarta untuk dijadikan pusat pemerintahan Republik Indonesia. Bahkan dia menyumbangkan sebagian besar hartanya untuk menghidupi pemerintahan yang masih jabang bayi. Saat pemerintah Soeharto membutuhkan seorang lihai mengatasi krisis ekonomi, HB IX diundang untuk mengatasinya. Penjaga Gawang Karena banyaknya peran yang dimainkan oleh HB IX, banyak orang menjuluki HB IX sebagai “penjaga gawang” yang baik. Karena berkat dialah republik berhasil diselamatkan dari serangan luar dan dalam. Pada titik ini Monfries melontarkan kritik terhadap pemujaan peran HB IX yang terlampau berlebihan. Tak mudah menulis HB IX terlebih karena kepribadiannya yang cenderung agak tertutup dan tidak termasuk kategori pencari ketenaran. Hal tersebut berpengaruh pada sumber penulisan yang juga cenderung tak banyak menyediakan informasi tertulis tentangnya. Khususnya mengenai peran penting dia di dalam berbagai peristiwa sejarah. Pada bagian awal buku ini Monfries menyebutkan tentang dokumen sejarah yang menyebutkan kehadiran HB IX dalam beberapa peristiwa. Namun tidak pernah ada penjelasan peran penting apa yang dimainkannya. Dari sembilan dokumen notulensi rapat kabinet pada 1948 yang pernah disita Belanda, hanya satu yang memuat isi pembicaraan HB IX. Untuk seorang yang berpendidikan tinggi, naskah pidato HB IX sejak masa kolonial sampai era kemerdekaan dipandang Monfries terlalu ortodoks. “Bahkan di antaranya cukup mengejutkan karena sama sekali kurang ilmiah atau tak merujuk pada referensi sejarah,” ujar Monfries dalam pengantarnya. Karier HB IX yang panjang dan beragam menampilkan beberapa paradoks dan kontradiksi: dia seorang “pangeran di republik”; seseorang yang penting baik di tingkat daerah, nasional bahkan regional; seorang sultan yang tampak peragu namun berperan sebagai tuan ningrat di istananya; dia bergerak secara mudah antara dunia tradisi Jawa dan alam pergaulan barat yang modern. Selama 40 tahun lebih terlibat di dalam politik praktis namun tetap terlihat apolitis. Monfries menyebutkan HB IX kerap ada di tengah-tengah peristiwa bersejarah tapi entah bagaimana ia mampu mengatur kesan kalau dirinya tak pernah ada kaitannya dengan peristiwa tersebut. Pada bab ketujuh, Monfries menjelaskan perihal tersebut. Dia mengambil contoh keterlibatan HB IX dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Bagi Monfries, peran HB IX dalam peristiwa semikudeta itu cukup penting. Karena sebagai menteri pertahanan menurutnya HB IX melakukan berbagai upaya serius untuk mendamaikan tentara dengan para politikus parlemen. HB IX justru merasa dikhianati Presiden Sukarno yang menurut dia tidak berupaya serius dalam membangun demokrasi dengan mengangkat Bambang Supeno sebagai KSAD menggantikan Nasution (Hlm. 230). Peran HB IX inilah yang yang luput dari pengamatan para sarjana pengaji peristiwa 17 Oktober 1952. “Cerita mengenai affair itu (yang pernah dibahas oleh Herbert Feith, Ulf Sundhaussen, Buyung Nasution, Harold Crouch dan Salim Said) pada umumnya merujuk kepada aktivitas para perwira senior Angkatan Darat dan hanya memberikan sedikit pembahasan mengenai peran HB IX. Ini bisa dimengerti karena TB Simatupang dan Nasution lebih nyata terlihat ketimbang HB IX,” ujar Monfries dalam buku ini. Serangan Umum 1 Maret 1949 Bukan hanya itu, peran penting HB IX yang sempat jadi pembicaraan publik di Indonesia adalah seputar perannya di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Perbincangan mengenai hal ini mengemuka pascakejatuhan Soeharto sebagai presiden. Versi sejarah yang mengkultuskan perannya mendadak dipertanyakan, termasuk tentang siapa pencetus serangan umum itu. Pada masa Orde Baru, peran Soeharto sebagai penggagas serangan umum ditonjolkan bahkan sampai dibuat sebuah film untuk mengabadikan peran historisnya. Belakangan muncul keraguan tentang otentisitas idenya dalam serangan umum tersebut. Tersiar kabar bahwa penggagas serangan umum terhadap pihak Belanda di Yogyakarta justru datang dari HB IX sendiri. Monfries menyinggung soal ini pada halaman 183–184. Menurutnya, pada pertengahan Februari 1949 HB IX langsung memanggil Jenderal Soedirman begitu mendengar pengumuman radio tentang sidang Dewan Keamanan PBB yang dijadwalkan berlangsung pada awal Maret. HB IX berencana menyampaikan idenya kepada Sudirman agar pasukannya menyerang Yogyakarta yang diduduki Belanda pada siang hari. Namun Sudirman berhalangan hadir. Sebagai gantinya dia meminta HB IX untuk mengundang Soeharto, komandan wilayah Yogyakarta. “Mereka membicarakan serangan balik yang besar dan Soeharto menggenapi rencana operasi serangan itu agar cepat dan efisien, sebuah rencana yang mengundang kekaguman HB IX,” tulis Monfries. Menurut Monfries pertemuan itulah untuk pertama kalinya HB IX bermuka-muka dengan Soeharto. Ide yang didiskusikan itu dilakukan pada 1 Maret 1949, tepat pukul 06:00 pagi hari. Serangan umum tentara itu ternyata memiliki dampak baik pada diplomasi delegasi Indonesia di sidang umum Dewan Keamanan PBB. Satu tanda bahwa Indonesia masih eksis dan pemerintahan berjalan sebagaimana adanya. Selama puluhan tahun HB IX diam menyimpan kisah bahwa dia adalah bagian utama dari penyerangan bersejarah itu. Akibatnya pengajaran sejarah diberikan secara sepihak dengan mengkultuskan peran Soeharto. Lebih dari dua generasi menerima informasi sejarah yang sepotong-sepotong tentang serangan umum itu. Melobi Negara Donor Sebagai politikus yang menghindari konflik politik frontal, HB IX memilih untuk berada di pinggiran arena pertarungan. Monfries menyebut posisi HB IX sebagai ketua BPK di pengujung tahun 1963 adalah cara dia untuk tidak masuk ke dalam kabinet Sukarno di era Demokrasi Terpimpin. “Dia lebih memilih berada di luar kabinet dan menerima pengangkatannya sebagai ketua BPK kendati dia harus kecewa saat pemerintah tak mengindahkan laporan penyelewengan keuangan di banyak lembaga pemerintah,”ujar Monfries pada halaman 241. Monfries juga membahas peran penting HB IX sebagai pelobi ke negara-negara donor pascakejatuhan Sukarno. Sebagai menteri koordinator ekonomi dan keuangan di era awal Orde Baru, HB IX bertugas mempromosikan Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Tugasnya terbilang sukses. Pada 1967, Undang-Undang Penanaman Modal Asing diberlakukan untuk mendukung kebijakan investasi Orde Baru. Sebuah iklan dibuat untuk mengundang negara pemodal tanamkan uangnya di Indonesia. “ 5 years from now you could be sorry you didn’t read this ad ” kata iklan berfoto dan bertandatangan HB IX yang dimuat New York Times, 17 Januari 1969 itu. Dampak iklan tersebut baru terasa berpuluh tahun kemudian: selain menghasilkan pertumbuhan ekonomi, juga membawa Indonesia menjadi negeri “taklukan” modal asing. Buku ini berhasil memperkenalkan sosok HB IX yang selama ini tak banyak dibuka ke publik. Satu saja yang amat disayangkan tidak dibahas dalam buku ini adalah kehidupan pribadi HB IX dari dalam keratonnya: tentang bagaimana hubungan dengan istri-istrinya; anak-anaknya dan bagaimana seorang raja di dalam istana, pejabat tinggi sebuah negeri menghadapi persoalan di dalam rumah tangganya.
- D.I. Pandjaitan, Balada Jenderal Pendeta
Setelah dipilih menjadi orang nomor satu di TNI AD, Letjen TNI Ahmad Yani dipanggil Presiden Sukarno. Pembicaraan seputar siapa saja perwira yang akan membantu Yani sebagai asisten. Yani menyodorkan satu nama sebagai Asisten I bidang intelijen: Donald Isaac Pandjaitan. Pandjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925. Karier militernya dimulai pada masa pendudukan Jepang ketika menjabat Shodanco (setara mayor) Peta (Pembela Tanah Air) di Pekanbaru, Riau. Dibesarkan dalam pendidikan misi Zending dari Jerman, Rheinische Mission Geselchaft (RMG), Pandjaitan terampil berbahasa Jerman. Dia menjadi atase militer RI di Bonn, Jerman Barat antara 1956-1962. “Apakah Pandjaitan ini yang pernah menjadi atase militer di Jerman?” tanya Sukarno. “Benar,” jawab Yani. “Sesuai laporan dari Chaerul Saleh dan Iwa Kusumasumatri, orang ini tidak baik,” ujar Sukarno. “Kolonel Pandjaitan ini baik. Sebenarnya dia lebih cocok jadi pendeta. Selama bertugas di Jerman dia sering berkhotbah di gereja dalam bahasa Jerman,” kata Yani. “Kamu saja yang mengatakan begitu,” balas Sukarno tak percaya. “Kalau Bapak tidak percaya, panggilah langsung yang bersangkutan. Nanti dia saya hadapkan,” Yani mengusulkan. Yani lantas menelepon Pandjaitan, menginstruksikannya agar menghadap Sukarno. “Semalaman suami saya gelisah sehingga sulit tidur memikirkan masalah yang hendak dibicarakan di Istana esok pagi,” kenang istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran. Pukul 7 pagi, Sukarno menerima Pandjaitan. “Saya mendapat laporan, bahwa jij ada berhubungan dengan tokoh-tokoh PRRI?” Sukarno membuka percakapan. Kepada Sukarno, Pandjaitan tidak menampik dirinya dekat dengan tokoh PRRI. Tatkala di Bonn, Alex Kawilarang, atase militer RI di Washington pernah menghubungi Pandjaitan lewat saluran telepon. Kawilarang memberi tahu akan meninggalkan posnya dan bergabung dengan Permesta di Sulawesi Utara. Menurut Marieke, Pandjaitan menasihati Kawilarang agar tetap bertugas di Washington. Begitu pula ketika Pandjaitan menerima Achmad Sukendro di kediamannya di Bonn. Hal ini diketahui oleh menteri loyalis Sukarno, Iwa Kusumasumatri. Kolonel Sukendro adalah perwira TNI yang dikenal antikomunis –kelak menjadi salah satu jenderal yang masuk daftar target operasi G30S. “Saya mendapat laporan dari Chaerul Saleh tentang hal itu, dan juga katanya jij tidak loyal kepada saya sebagai Presiden/Panglima Tertinggi,” lanjut Sukarno. “Saya sudah disumpah sebagai perwira, Pak, bahwa saya tetap setia kepada Pancasila, Presiden, Panglima Tertinggi, dan Pemerintah. Sekian,” pungkas Pandjaitan. “Kalau demikian,” kata Sukarno, “kembalilah dan melapor pada Yani.” Seraya menghormat, Pandjaitan melapor kemudian minta diri. Yani kemudian dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat pada 21 Juli 1962. Beberapa hari sesudah pelantikan, Pandjaitan ditetapkan sebagai Asisten IV yang membidangi logisitik, bukan Asisten I sebagaimana rencana semula. Pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Pandjaitan menjadi pembantu Yani yang berperan dalam menghalau pengaruh komunis. Pada pertengahan 1965, Pandjaitan membongkar aksi penyelundupan dari kapal berbendara Republik Rakyat Tiongkok di pelabuhan Tanjung Priok. Kapal-kapal itu diduga mengangkut senjata yang digunakan dalam G30S bersama dengan peralatan untuk Conefo (Conference of New Emerging Forces). Menurut Horst Henry Geerken, orang Jerman yang pernah mengenal Pandjaitan di Bonn, Pandjaitan bukanlah seorang antikomunis yang fanatik. “Dia mencoba untuk melakukan upaya apapun supaya Soekarno tidak bergerak lebih lanjut ke kiri,” tutur ekspatriat asal Jerman yang pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun dalam A Magic Gecko: CIA’s Role Behind the Fall of Soekarno . Pada saat terakhir hidupnya, Pandjaitan mencurahkan perhatiannya pada buku-buku keagaamaan. Dari dua belas jilid seri buku Church Dogmatics karya teolog Karl Barth, enam jilid telah rampung dibacanya. “Hasratnya untuk memahami dogma-dogma tersebut bukan karena dia seorang yang taat beragama, tetapi juga karena keinginannya untuk membantu para pendeta memberi khotbah-khotbah di daerah gerilya selama masa perang kemerdekaan,” tulis Mardanas Safwan dalam Mayor Jenderal Anumerta DI Panjaitan . Pada dini hari 1 Oktober 1965, Pandjaitan menjadi salah satu dari enam jenderal yang gugur dalam G30S. Di depan rumahnya, dia mendapat berondongan tembakan sepasukan Tjakrabirawa setelah menghaturkan doa.
- Dasar Patung Pancoran Bertekstur Kasar
Media sosial kembali hangat dengan ramainya perbincangan mengenai wajah Patung Dirgantara atau Patung Pancoran karya Edhi Sunarso. Fotografer Rudy Sunandar memotretnya menggunakan drone lalu mengunggahnya di instagram pada 8 April 2017. Foto itu memperlihatkan Patung Pancoran yang berotot, dengan mimik keras, dan sorot mata yang tajam memandang ke angkasa. Edhi Sunarso (1932-2016) dikenal lewat karyanya berupa patung-patung besar di Jakarta, seperti Patung Pancoran di Jakarta Selatan; Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat; dan Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Mengapa ketiga patung tersebut bertekstur kasa? Kepada pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta Mikke Susanto, Edhi Sunarso mengungkapkan alasannya bahwa “tekstur adalah sarana mendekatkan tujuan untuk membentuk maskulinitas, gerak dan berkarakter keras pada patung.” Pada 1965, Sukarno meminta Edhi untuk membuat patung untuk mengenang jasa para penerbang Indonesia. Patung tersebut akan diletakkan di dekat markas besar AURI kala itu (sekarang Wisma Aldiron). Edhi merealisasikan pesanan Bung Besar dengan membuat patung berbahan perunggu setinggi 11 meter dan seberat 11 ton yang ditempatkan pada dudukan berbentuk angka tujuh setinggi 27 meter. Sayangnya, Sukarno tak sempat meresmikannya karena dijatuhkan dari kekuasaannya. “Selain harus menggetarkan dan mencatat dinamika gerak, patung itu dibuat dengan mempertimbangkan selera Bung Karno. Sedangkan patung-patung pribadi Edhi sendiri justru dibentuknya dengan pola tekstur yang halus,” ujar Mikke. Mikke mengungkapkan bahwa pola tekstur kasar karya Edhi dipengaruhi oleh dosennya di India, Ramkinkar Baij (1906-1980). Banyak patung bikinan Baij yang bertekstur kasar seperti patung penyair Rabindranath Tagore di danau Balaton, Hongaria. Baij sendiri salah satu perintis perkembangan seni patung modern India. Dia adalah figur kunci aliran Contextual Modernism India dan pengajar penting di Santiniketan University. Pada 1957, Edhi menerima medali emas untuk The Best Exhibit dalam All India Fine Art & Craft Exhibition yang digelar di Santiniketan. Saat ini, Victoria Memorial Hall India menggelar eksebisi senirupa bertajuk “Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse” yang diselenggarakan pada 10-30 April 2017. Pameran yang dikuratori Amitava Bhattacharya ini akan menampilkan pula karya beberapa maestro Indonesia seperti Sutan Harahap, Rusli, Affandi, Kartika, dan Edhi Sunarso. “Bahkan dalam pameran ini akan diterbitkan sebuah buku berjudul Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse yang di dalamnya membahas peran dan eksistensi Edhi Sunarso secara khusus,” pungkas Mikke.
- Habis Antar Surat Terbitlah Cinta
TAK sampai hati melihat tawaran cerita Dian (Melayu Nicole), guru baru, ditolak murid-muridnya, Rangga mengambil alih kelas. Dia enggan menawarkan cerita yang sudah umum, seperti tentang Kartini yang ditawarkan Dian. Rangga memilih cerita yang belum pernah didengar para murid, tentang seorang tukang pos yang setia mengantarkan surat-surat Kartini.
- Mereka yang Dihabisi Karena Memberantas Korupsi
PENYIDIK senior KPK, Novel Baswedan, beberapa kali mendapatkan teror, mulai dari ditabrak sampai dipidanakan. Kali ini, dia disiram air keras setelah salat subuh di masjid sekitar rumahnya. Teror terhadap penegak hukum juga terjadi di masa lalu. Berikut ini empat penegak hukum yang diteror karena membongkar korupsi besar. Gatot Tarunamihardja Gatot adalah jaksa agung pertama Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945. Namun, pada 24 Oktober 1945, atas permintaan sendiri, dia diberhentikan dengan hormat oleh presiden. Pada 1 April 1959, dia terpilih kembali menjadi jaksa agung menggantikan Mr. R. Soeprapto. Dia menjadi orang pertama yang dua kali memegang jabatan jaksa agung. Selama kariernya dia berusaha membongkar kasus korupsi penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara di bawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan barter di Tanjung Priok yang diduga melibatkan Kolonel Ibnu Sutowo. Hasil dari penyelundupan dan barter itu digunakan untuk kepentingan tentara. Ketika Gatot akan memeriksa beberapa perwira seperti Kolonel Ibnu Sutowo dan Letkol Sukendro, KSAD Mayjen TNI AH Nasution menggagalkannya bahkan memerintahkan Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya Kolonel Umar Wirahadikusuma untuk menangkap Gatot saat presiden di luar negeri. Tak habis di situ, Gotot juga mengalami percobaan pembunuhan oleh tentara dengan cara ditabrak hingga kakinya buntung. Sukarton Marmosudjono Laksamana Muda TNI Sukarton Marmosudjono adalah jaksa agung pada Kabinet Pembangunan V. Mulai menjabat pada Maret 1988, dia menggagas kegiatan bernama Pos Penyuluhan/Penerangan Hukum Terpadu (Poskumdu) yang bekerjasama dengan lembaga lain macam Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Kantor Dinas Agama. Menurut Sukarton, dengan Poskumdu, Kejaksaan mampu membongkar beberapa perkara di masyarakat. “Melalui partisipasi masyarakat, kejaksaan mampu mengungkap penyelundupan rotan senilai satu miliar di Ujung Pandang dan manipulasi di Perumtel Bandung,” tulis Sukarton dalam bukunya Penegakan Hukum di Negara Pancasila. Selain itu, Sukarton membuat kebijakan yang menghebohkan, yaitu menayangkan wajah koruptor di televisi. Setelah menghadap Presiden Soeharto pada 4 Desember 1989, Sukarton mengatakan bahwa presiden telah memberikan persetujuannya atas rencana Kejaksaan Agung untuk menayangkan wajah koruptor di televisi. Penayangan ini dimaksudkan sebagai bagian dari sanksi moral dan sosial untuk membuat jera para koruptor. Penayangan perdana wajah koruptor di stasiun TVRI melalui program “Dunia Dalam Berita” pada 14 Desember 1989. Namun, program ini terhenti karena Sukarton meninggal mendadak pada 29 Juni 1990. Padahal, seperti biasa, dia masih sempat lari pagi di sekitar kediamannya di Jalan 9 Ampera Raya, Jakarta Selatan. Baharudin Lopa Baharuddin Lopa adalah menteri kehakiman kemudian jaksa agung semasa Presiden Abdurrahman Wahid. Dia juga pernah menjadi anggota Komnas HAM. Sebelumnya, Lopa menjabat kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara. Sebagai penegak hukum, dia dikenal berani, jujur, tegas, dan berintegritas tinggi. Saat menjadi kepala Kejaksaan Tinggi Makassar pada 1982, Lopa menyeret pengusaha Tony Gozal atas kasus manipulasi dana reboisasi. Tony dikenal punya hubungan dengan pejabat negara dan karenanya nyaris kebal hukum. Hakim memvonis bebas Tony. Lopa menelusuri latar belakang kejanggalan vonis itu dan menemukan adanya dugaan suap kepada hakim. Sebelum menuntaskan kasus ini, pada Januari 1986 dia mendadak dimutasi ke Jakarta menjadi staf ahli menteri kehakiman. Ketika menjabat jaksa agung, Lopa berencana mengusut tujuh korupsi besar, di antaranya Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, dan kasus dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Sekali lagi langkahnya membongkar korupsi terjegal di tengah jalan. Lopa meninggal mendadak pada 3 Juli 2001 ketika akan serah terima jabatan duta besar untuk Arab Saudi sekaligus umroh. Dia dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Namun, banyak pihak menyangsikannya. Ada dugaan kematiannya bersangkut paut dengan kasus-kasus korupsi besar yang sedang diusutnya. Syafiuddin Kartasasmita Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita menangani kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog yang merugikan negara sebesar Rp95,6 miliar. Kasus ini menyeret Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Syafiuddin memvonis Tommy 18 bulan penjara dan denda Rp30,6 miliar. Syafiuddin ditembak empat orang tak dikenal saat hendak berangkat ke kantornya pada 26 Juli 2001. Dua orang tersangka pelaku pembunuhan tertangkap sebulan kemudian. Keduanya mengaku disuruh Tommy untuk menghabisi Syafiuddin.*






















