Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mengintip Masa Lalu dari Mangkunegaran
DUA set gamelan di pendopo Pura Mangkunegaran itu sedang “menganggur”. Kecuali alat musik-alat musik lain seperti kendang, dua set gamelan tadi ditutupi kain hijau siang itu, 18 Maret 2019. “Kalau Rabu malam sama Jumat malam dimainkan,” ujar Doni Irawan, tour guide Pura Mangkunegaran, kepada Historia . Di depan seperangkat gamelan yang berada di utara, berdiri papan keterangan bertuliskan: Kyai Kanyut Mesem. Usia gamelan itu lebih dari 200 tahun. Saat Raden Mas Said naik takhta menjadi Mangkunegara I, gamelan itu sudah ada. “Nah, (gamelan, red .) itu yang dipakai untuk siaran langsung dengan peralatan radio,” kata Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia . Siaran langsung yang dimaksud Supriyanto adalah live radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1937 yang menyiarkan Kyai Kanyut Mesem dimainkan untuk mengiringi Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII dan Gusti Kanjeng Ratu Timur, menari di hadapan Ratu Wilhelmina saat pernikahan Putri Juliana dengan Pangerang Bernhard. “Pas Hari-H, putrinya (Gusti Nurul) nari (di Belanda) diiringi siaran radio langsung dari pendopo ini gamelannya. Gamelannya dari sini, diiringi dari sini,” sambung Supriyanto. Kendala koneksi gelombang sempat melanda pertunjukan itu. "Sambungan terputus selama beberapa menit. Namun, penari melanjutkan dengan tarian anggunnya dan orkestra gamelan dengan permainannya. Ketika koneksi nirkabel dipulihkan, penari dan orkestra bertemu tepat pada iramayang sama," kata Rudolf Mrazek menuliskan pengakuan Gusti Nurul di Engineers of Happy Land: Techlonogy and Nationalism in a Colony . Pentas tari dengan iringan gamelan lintas benua itu mungkin yang pertama di dunia. Ratu Wilhelmina amat terkesan dengan keindahan tari dan keanggunan penarinya. Sejumlah media, termasuk Majalah Life edisi 25 Januari 1937, mengabadikannya. Kini, 82 tahun setelah pentas itu, kondisi gamelan Kyai Kanyut Mesem masih terawat dan berfungsi baik. Namun, ia bukan satu-satunya barang antik milik Mangkunegaran. Di Dalem Ageng yang kini jadi Museum Pura Mangkunegaran, ratusan barang lain terpajang rapi dengan kondisi baik. Beragam perhiasan emas maupun berlian raja dan ratu terpajang dalam beberapa lemari kaca. Di dekatnya, sebuah lemari kaca memuat beberapa replika mini meja-kursi berlapis emas. Dalam keterangan di papan petunjuknya, replika lucu berukuran amat kecil itu merupakan mainan Gusti Nurul semasa kanak-kanak. “Ini hadiah dari Ratu Belanda,” kata Doni. Beragam senjata, mulai dari tombak sepanjang lebih dari dua meter hingga keris sepanjang puluhan sentimeter, juga terpajang dalam lemari-lemari kaca di beberapa sudut ruangan. Beberapa di antaranya sudah berkarat. “Ini masih ada khodam -nya,” kata Doni sambil menunjuk lemari tempat keris-keris itu disimpan. Berseberangan jauh dari keris-keris itu, pedang-pedang hadiah dari kerajaan-kerajaan lain, semisal Turki, berjajar rapi di lemari kaca sebelah kanan dari pintu masuk. Tak jauh darinya, ada lemari kaca yang memuat uang-uang kuno. Banyak dari uang itu berbahan emas. Satu lemari kaca di tengah menyimpan benda unik dengan bentuk asing. Nama benda itu badong. “Ini untuk dipakai raja dan ratu supaya ndak selingkuh,” kata Doni. Tiga sisi dinding ruangan itu dihiasi lukisan-lukisan para raja berikut permaisuri karya Basoeki Abdullah. Hanya Mangkunegara I yang tak ada lukisannya dan diganti dengan gambar matahari dengan cahaya berpencar. “RM Said ndak bisa dilukis, jadinya digambarkan matahari,” lanjut Doni. Sebagian besar barang-barang antik itu masih dalam kondisi baik. Para penerus Mangkunegara I amat memperhatikan perawatan barang-barang itu. “Ada kewajiban turun-temurun untuk memelihara. Biar generasi berikutnya tidak kehilangan sumber, tidak kehilangan arah,” ujar Supriyanto.
- Ketegaran Tien Soeharto dan Hartini Sukarno
PENGALAMAN menjabat Panglima Diponegoro meninggalkan kenangan pahit bagi Soeharto. Waktu itu pangkat Soeharto masih kolonel. Dalam amatan Soeharto, kondisi kesejahteraan prajuritnya cukup melarat. Soeharto putar akal bagaimana caranya mendulang uang.
- Jejak Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
RUMAH tua namun elegan itu nyaris tanpa isi. Selain satu ruangan yang berisi sedikit foto replika Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Sukarno, hanya ruang depan kanan yang memiliki satu meja dan beberapa kursi. Di sinilah tempat Mulyani, juru pelihara rumah, “berkantor”. Pertanyaannya, apa hubungannya Bung Karno dengan rumah yang beralamat Jalan Bhayangkara Nomor 156 A, Kota Sukabumi itu? Jelas-jelas di halaman depan terpampang plang “Benda Cagar Budaya: Rumah Bekas Tahanan Bung Hatta dan Syahrir”. Jangankan menjelaskan soal foto Bung Karno, menyoal kapan dan apa yang terjadi terhadap Hatta dan Sjahrir pun sang juru pelihara honorer BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) itu memberi penjelasan menyangsikan. “Iya di sini tempat ditahannya Bung Hatta dan Sjahrir. Kira-kira tahun 1920-an,” ujarnya singkat menerangkan kala Historia berkunjung, 12 Februari 2019. Entah “terpeleset” lidah atau memang tidak tahu, faktanya di era itu Hatta masih sekolah di Belanda. Ia dan Sjahrir baru pulang ke Hindia Belanda (kini Indonesia) pada awal 1930-an dan ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1934. Hatta dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digul (Papua), lantas Banda Neira (Maluku). Mereka baru diungsikan ke Sukabumi pada awal Februari 1942, saat Hindia Belanda sudah diinvasi Jepang. Kenapa Sukabumi? Untuk menghindari penangkapan atau kerjasama para tokoh politik dengan Jepang, pemerintah kolonial berusaha menyembunyikan mereka. “Belanda sudah mulai panik sejak Januari 1942,” ujar Irman “Sufi” Firmansyah, peneliti sejarah Sukabumi, kepada Historia . Namun, pemerintah mesti hati-hati mencarikan tempat persembunyian. “Ke daerah Sulawesi sudah bahaya karena Jepang sudah sampai ke Tarakan sejak akhir 1941. Kenapa Sukabumi? Dari dulu dianggap paling aman oleh Belanda karena di Sukabumi ada sekolah dan asrama polisi,” lanjutnya. Foto Sukarno yang turut terpajang di salah satu ruangan (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Penulis Sukabumi: The Untold Story dan Pembuangan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi itu juga memaparkan alasan kenapa Belanda memilih memulangkan kedua tahanan politik (tapol) itu ke Jawa. “Bung Hatta pernah bikin artikel di suatu koran yang intinya bersikap anti-Jepang. Tapi saat mau ditarik, sudah keburu beredar dan Belanda percaya bahwa Hatta akan mendukung perlawanan Belanda terhadap Jepang.” Kekhawatiran pemerintah ditambah oleh sikap Sjahrir yang sangat anti-fasis. Itu sebabnya, pemerintah buru-buru mengirim pesawat PBY Catalina ke Banda Neira pada 1 Februari 1942 demi menjemput Hatta dan Sjahrir. Karena semua bawaan dan keluarga bisa diangkut, sisanya terpaksa menyusul dengan kapal. “Peti-peti berisi buku-bukunya Hatta dan Sjahrir enggak bisa diangkut. Akhirnya dibawanya dengan kapal dijaga Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Sementara Mimi dan Lily (anak-anak angkat Sjahrir lainnya) masih bisa ikut. Terbangnya enam jam nonstop sampai ke Surabaya. Di sana terjadi salah paham, sempat ditangkap dan ditahan satu malam. Tapi kemudian setelah dijelaskan pilotnya, mereka dibebaskan dan disediakan hotel,” sambung Sufi. Pada 2 Februari, rombongan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Jakarta. Perjalanan ke Sukabumi dilanjutkan dengan mobil pada 4 Februari. “Ya karena waktu itu belum ada jalur kereta langsung ke Sukabumi, jadinya ke Jakarta dulu. Di Sukabumi ditempatkan di rumah itu yang sebelumnya jadi kediaman perwira senior sekolah polisi Belanda,” kata Sufi. Meski berstatus tahanan politik, Hatta dan Sjahrir lebih bebas beraktivitas di sana. Keduanya dizinkan keluar rumah asal terlebih dulu melapor. Keduanya bahkan diberikan uang saku. “Sehari setelah tiba, kami diimbau untuk melapor ke asisten residen. Lalu kami diberikan 100 gulden untuk keperluan kami selama di Sukabumi,” kenang Sjahrir dalam memoarnya, Out of Exile. Ketika Jepang Datang Banyak tamu yang mengunjungi Hatta dan Sjahrir semasa pengasingan di Sukabumi. Mulai dari tokoh-tokoh macam Soejitno (adik Dr. Tjipto Mangunkusumo), Amir Syarifuddin, Sastra (aktivis Pendidikan), Beb Vuyk (wartawan Belanda), hingga rombongan keluarga seperti Siti Saleha (ibunda Hatta) dan Nyonya Djuhana (kakak Sjahrir). Rudolf Mrázek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia mengungkapkan, tak banyak hal terkait pergerakan yang jadi obrolan para tamu aktivis itu. Justru Sjahrir dan Hatta dirayu Amir untuk membentuk jalinan kerjasama antara para aktivis nasionalis dengan pemerintah Belanda dalam meladeni Jepang. Jika mau, mereka akan “dievakuasi” ke Australia. Sjahrir tak berminat. “Mungkin orasi Amir membuat Hatta tertarik, namun saya tidak. Saya lebih banyak diam. Pertemuan kami berakhir tanpa kesimpulan dan sejak saat itu Amir tak pernah datang lagi,” kata Sjahrir, dikutip Mrázek. Sjahrir tak menafikan bahwa menyerahnya Belanda pada Jepang hanya tinggal waktu. Namun, Sjahrir tetap menolak kooperatif dengan Jepang sebagaimana Hatta kala ditemui Jepang setelah masuk Sukabumi. “Setelah Belanda menyerah pada Jepang, datang Komisaris Polisi Asikin agar kami kembali ke Jakarta. Kami jawab bahwa soal ini nanti akan kami bicarakan dahulu dengan Angkatan Perang Jepang yang datang ke Sukabumi,” ujar Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku. Beberapa hari setelahnya, seorang perwira tinggi Kempeitai (Polisi Rahasia Jepang) menemui Hatta dan Sjahrir di rumah itu. Hatta dianjurkan untuk menghadap ke Markas Angkatan Darat (AD) Jepang di Bandung. “Hatta bersedia tapi minta izin dulu ke Jakarta untuk mengantar ibunya pulang ke Bukittinggi via Pelabuhan Tanjung Priok,” sambung Sufi. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir yang dibuang ke Boven Digul, Banda Neira dan terakhir Sukabumi (Foto: Repro Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil) Di lain kesempatan, Hatta juga kedatangan Kolonel AD Ogura. Dia meminta Hatta dan Sjahrir menghadap Jenderal Harada di Jakarta. “Sekarang ada dua macam kehendak, kedua-duanya dari pihak militer, mana yang harus kutaati,” kata Hatta. Hatta akhirnya memutuskan ke Jakarta sembari mengantar ibunya pulang sebelum menghadap Jenderal Harada, wakil Kepala Staf Tentara ke-16 yang menguasai Jawa. Dalam pertemuan itu, Hatta menegaskan sikapnya sebagaimana dituliskan dalam Mohammad Hatta: Memoir . “Apakah Anda bersedia bekerjasama dengan pemerintahan militer Jepang?” tanya Harada. “Apakah Jepang berniat menjajah Indonesia?” tanya balik Hatta. Dalam responsnya, Harada menyatakan justru niat Jepang adalah membebaskan Asia dari kolonialisme. Berbekal janji Harada sebagai kepanjangan tangan pemerintah Jepang, Hatta berkenan kooperatif. Namun, Hatta tidak bersedia menjadi pejabat resmi pemerintah militer Jepang. Hatta setuju jadi penasihat asalkan tidak bertanggungjawab langsung kepada Jepang. Harada setuju dan Hatta diberikan tempat di Kantor Penasihat Umum. Pertengahan Maret, Hatta benar-benar meninggalkan Sukabumi dan kembali ke Jakarta. Sementara Sjahrir yang enggan ikut bekerjasama, pindah ke Semarang, Cipanas, dan kembali ke Jakarta untuk bergerak di bawah tanah.
- Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama Nazi
Pada 22 Maret 1933 Kamp Konsentrasi Dachau dibuka. Inilah kamp konsentrasi pertama yang dibangun Nazi-Jerman. Kamp ini juga beroperasi terlama sampai 29 April 1945. Jumlah tahanan diperkirakan mencapai 188.000 orang. Korban meninggal yang tercatat sebanyak 32.000, namun ribuan lainnya tak tercatat. Sekitar 10.000 dari 30.000 tahanan dalam keadaan sakit pada saat pembebasan. Salah satu korban meninggal berasal dari Indonesia: R.M. Sidartawan. Sidartawan, mahasiswa hukum di Universitas Leiden sejak 1929. Dia menjabat sekretaris Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Dia juga menjadi anggota Bond van Sociaal-Democratische Studieclubs (Perserikatan Klub-klub Studi Sosial Demokrat). Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah , banyak orang Indonesia terutama di Leiden menjadi anggota perserikatan itu. Perserikatan itu dekat sekali hubungannya dengan SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij atau Partai Buruh Sosial-Demokrat), tapi tidak ada hubungan organisatoris. “Bahkan Sidartawan pernah menjadi redaktur majalah perserikatan klub studi itu sekitar tahun 1935,” tulis Poeze. Ketika Nazi-Jerman menduduki Belanda pada 10 Mei 1940, Sidartawan dan anggota Perhimpunan Indonesia ikut melakukan verzet atau perlawanan. Mereka pun menjadi sasaran Nazi-Jerman. Pada pagi 25 Juni 1941, polisi politik Nazi-Jerman, Sicherhetisdienst, menggeledah tempat-tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Leiden. Mereka mencari empat pemimpin Perhimpunan Indonesia. Dua di antaranya tertangkap, yaitu Sidartawan dan Parlindoengan Loebis, sedangkan Setiadjit dan Ilderem dapat meloloskan diri. Pengurus Perhimpunan Indonesia 1938. Kiri-kanan: R.M. Sidartawan, Parlindoengan Loebis, dan Ilderem. (ReproDi Negeri Penjajah) Sidartawan dan Loebis dimasukan ke kamp konsentrasi secara berpindah-pindah . Loebis dimasukkan ke empat kamp konsentrasi: Schoorl dan Amersfoort di Belanda, kemudian Buchenwald dan Sachenhausen di Jerman. “Di kamp Buchenwald aku boleh dikatakan beruntung juga. Pekerjaanku tidak terlalu berat. Selama kira-kira enam minggu aku menjadi Stubendienst , kemudian selama kurang lebih dua bulan menjadi komando Schreiber (juru tulis komando),” kata Loebis dalam otobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi. Loebis selamat dan kembali ke Indonesia. Dia meninggal dunia pada 1994.Sedangkan Sidartawan menjadi anggota Perhimpunan Indonesia pertama korban Nazi-Jerman. Loebis menerima kabar dari seorang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp bahwa Sidartawan akan dipindahkan lagi ke kamp Dachau untuk Erholung yang artinya beristirahat supaya kekuatannya pulih kembali. “Akan tetapi Kamp Dachau sudah tersohor sebagai Vernichtungslager , artinya kamp di mana para tawanan dibunuh kalau dia kelihatan sudah tidak ada tenaga lagi untuk bekerja,” kata Loebis . Nama Dachau kemudian terkenal dan ditakuti sehingga muncul pameo di Jerman bila seseorang ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi orang selalu mengatakan “dia di-Dachau-kan.” “Sampai akhir perang,” kata Loebis, “aku sama sekali tidak mengetahui di mana dan kapan Sidartawan meninggal dunia. Tidak ada seorang pun yang mendapat kabar.” Dalam inmemoriam yang terbit di majalah Indonesia , 21 Juli 1945, disebutkan Sidartawan berturut-turut menempati kamp konsentrasi di Scheveningen, Schoorl, Amersfoort, Hamburg, Neuengamme, dan Dachau. Inmemoriam itu menulis “para penyintas dari kamp konsentrasi yang mengerikan sekarang mengalir ke negara masing-masing itu, membawa sukacita bagi keluarga mereka. Tetapi berapa banyak keluarga yang terbenam dalam duka yang dalam, karena salah satu dari anggota keluarganya telah menyerah pada kehidupan yang sulit di kamp-kamp itu. Sidartawan termasuk yang tidak akan kembali. Sidartawan adalah salah satu orang Indonesia yang menjadi korban lembaga-lembaga Nazi yang buruk itu.” Sidartawan meninggal dunia akibat sakit dan siksaan di Kamp Konsentrasi Dachau pada November 1942.
- Menanti RUU PKS Disahkan
KASUS Agni dan Universitas Gadjah Mada yang berakhir “damai” juga kasus Baiq Nuril yang berakhir pemenjaraan dengan jerat UU ITE menambah panjang deretan kasus kekerasan seksual di tanah air. Mayoritas kasus itu berakhir menyedihkan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam laporannya menyebutkan, pada 2018 ada 7.238 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang dihimpun dari berbagai layanan aduan, menununjukkan jumlah kekerasan seksual pada 2017 mencapai 384.446 laporan. Aduan dari para korban yang langsung masuk ke Komnas Perempuan mencapai 1.301 laporan. Angka-angka tersebut baru mencakup kekerasan seksual yang dilaporkan. Padahal, keberanian korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami masih rendah. Minimnya keberanian korban melaporkan kasus yang mereka alami disebabkan terutama oleh masih kuatnya cara pandang bahwa perkosaan merupakan serangan terhadap moral (asusila). Akibatnya, masyarakat malah meragukan dan menyalahkan korban. Pertanyaan-pertanyaan seputar pakaian korban, lokasi, dan waktu kejadian seringkali malah menyudutkan korban alih-alih mengadvokasi. Padahal, kekerasan seksual, mertabat, dan harga diri seseorang bukan semata urusan sopan santun. Banyaknya kasus kekerasan seksual ini membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) penting untuk segera disahkan. “Hukum Indonesia hanya mengakomodasi kasus perkosaan dengan bukti kekerasan fisik pada tubuh perempuan,” kata Masruchah, komisioner Komnas Perempuan, pada Historia . RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibuat degan perspektif keadilan untuk korban dan akan mengatur 15 jenis tindak pidana kekerasan seksual. Antara lain, kontrol, intimidasi, eksploitasi, penyiksaan seksual, dan pemaksaan aborsi. RUU juga menjabarkan mengenai hak korban atas perlindungan, penanganan, dan pemulihan. Ide tentang pentingnya payung hukum PKS bermula dari tingginya angka kekerasan seksual sepanjang 2001-2011. Sepanjang dekade tersebut, 25 persen kasus kekersan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual. Setiap hari setidaknya 35 perempuan jadi korban kekerasan seksual. Artinya, setiap jam ada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual hingga Komnas Perempuan menyebut Indonesia darurat kekerasan seksual. “Itu baru yang lapor. Banyak yang tidak lapor karena intimidasi oleh pelaku dan masyarakat,” kata Masruchah. Pada 2012, Komnas Perempuan meneliti jenis-jenis kekerasan seksual. Setahun setelah itu KP mulai mengusulkan pembentukan payung hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual. Tiga tahun menunggu, Komnas Perempuan mendorong DPR untuk memasukkan RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas). Proses pembahasan prolegnas dimulai pada awal 2015. Perwakilan dari Komnas Perempuan kemudian menyerahkan naskah akademis untuk pertimbangan rapat Badan Legislasi Nasional pada pertengahan 2016. Setahun kemudian, Presiden Joko Widodo mengeluarkan perintah koordinasi berbagai kementerian terkait RUU PKS. “DPR sendiri menunjuk Komisi VIII sebagai panitia kerja (panja) baru pada awal 2018. Dan sejauh ini panja baru sampai Rapat Dengar Pendapat Umum, semacam konsultasi dengan para pakar, termasuk ormas-ormas besar di Indonesia,” kata Masruchah. RUU PKS dapat menambal produk hukum yang sudah ada, seperti KUHP yang hanya mencakup perkosaan dan pencabulan. Ada juga UU No. 7 th. 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. UU ini dikeluarkan sebagai tindak lanjut penandatanganan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women, CEDAW) pada 1981. Penandatanganan CEDAW bermula dari usaha feminis negara dunia pertama yang berhasil memasukkan dekade perempuan (1975-1985) dalam agenda PBB. Menyusul kemudian Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women, CEDAW) keluar pada 1979. Deklarasi ini dibahas dalam Konferensi Dekade Perempuan PBB di Kopenhagen pada 29 Juli 1980. Indonesia sepakat untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus diskriminasi terhadap perempuan dari beragam spektrum, salah satunya kekerasan seksual. Meski demikian, karena belum ada payung hukum yang spesifik mengatur tentang kekerasan seksual, perempuan belum kunjung lepas dari jerat sial yang sulit diurai. Kasus Agni dan Baiq Nuril belum memberi hasil yang memihak korban. Sementara, payung hukum yang dinanti masih alot dibahas. “Pembahasan akan dimulai lagi setelah pileg. Ditargetkan disahkan pada Agustus 2019,” kata Masruchah.
- Bukti Penjelajahan Orang Nusantara
Interaksi antarpulau di Nusantara sudah lama terjadi. Pemicunya migrasi penutur Austronesia dari Cina Selatan-Taiwan ke kepulauan Nusantara pada 4000 tahun yang lalu, berlanjut hingga memasuki tarikh masehi. Junus Satrio Atmodjo, Arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan ada bukti kalau orang Indonesia Kuno telah mengarungi laut sejak awal tarikh masehi. "Ini berdasarkan analisis penanggalan karbon pada tinggalan perahu di tepi Sungai Lematang, Sumatra Selatan," katanya dalam acara International Forum on Spice Route 2019, di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/3). Perpindahan lintas daratan sejak masa prasejarah itu memungkinkan terjadinya pertukaran jarak jauh. Hal ini kemudian memancing beberapa komoditas yang kini dikenal, termasuk bulu burung, rempah, kayu harum, dan beberapa tanaman yang sudah dibudidayakan di Nusantara, seperti pisang, taro (keladi), jeruk, dan mangga. "Para penutur Austronesia membentuk jejaring pertukaran jarak jauh. Misalnya bulu burung di Papua ngepulnya di Raja Ampat, lalu rempah di Maluku," kata Daud Aris Tanudirjo, Arkeolog UGM. Daud mengatakan, mobilitas tinggi itu dimungkinkan setelah para penutur Austronesia mengembangkan teknologi kelautan, seperti di Filipina dan Indonesia utara. Termasuk teknologi double canoe yang mampu berlayar jauh sekaligus membawa banyak beban. "Ini berkembang pesat di sekitar koridor Asia Tenggara," kata Daud. Mekanisme itu kemudian menciptakan jaringan hubungan antarpulau. Buktinya, kata Daud, obsidian Melanesia sampai ke Sabah, Malaysia dan Polinesia (Fiji, Tonga, Samoa), yang membentang 8.000 km. Hal itu telah terjadi sekira 3500 tahun yang lalu. "Lalu pengenalan gerabah dari Asia Teggara ke Melanesia dan Polinesia yang disebut gerabah Lapita pada 3.500-2.700 tahun yang lalu," kata Daud. Pertukaran rempah meluas ke barat. Di antaranya terdapat temuan pitolit (deposit silika di dalam tanaman) pisang di Kamerun pada 2.500 tahun yang lalu. Di Afrika juga ada sisa tanaman yang berasal dari Nusantara, seperti yam, pisang, dan taro (keladi). Tanaman ini hampir pasti dibawa oleh penutur Austronesia. Pun temuan sisa tanaman yang mirip cengkeh di Situs Terqa (Mesopotamia, Syria) sekira tahun 1750 sebelum masehi. "Ini sebenarnya sudah banyak yang membantah katanya itu bukan cengkeh karena kelopaknya ada lima. Tapi melihat ada temuan pitolit pisang sampai di Situs Kor Diji (Pakistan) dari sekira 4.000 tahun yang lalu, mungkin saja cengkeh sudah sampai ke Terqa," kata Daud. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan pula kalau jalur rempah sudah ada sejak 3.000 tahun sebelum masehi. Orang Mesir Kuno yang memulai, kemudian diikuti bangsa Yunani dan Romawi. Di Nusantara, jalur rempah mulai bangkit ketika awal-awal ekspansi Islam. Bani Umayyah (mulai abad ke-7M) dan Abbasiyah (mulai abad ke-8) yang membangkitkan kembali jalur perdagangan rempah itu. "Kita tahu sebelum Islam masuk, pelaut dan pedagang Islam sudah masuk ke Nusantata," kata Azra. Pelaut asal Persia, Al Ramhurmuzi dalam Ajaib al-Hind ( wonders of the Archipelago ), melaporkan kehadiran pedagang dan pelaut muslim di Palembang, di Kerajaan Sriwijaya. "Ini membangkitkan perdagangan rempah," kata Azra. "Perdagangan rempah kemudian hancur ketika Belanda masuk dan menerapkan monopoli. Ini yang membuat ekonomi rusak."
- Situs Purbakala Seko Nasibmu Kini
DATARAN tinggi Seko, Sulawesi Selatan masih kemarau. Udara malamnya semakin dingin, tapi siang hari panasnya menyengat. Permukaan j alan nya di penuhi gumpalan debu, amat l icin. Menyambangi Kecamatan Seko, sekitar 120 km dari kota Kecamatan Sabbang atau sekitar 150 km dari Masamba, pusat Kabupaten Luwu Utara, dan menikmati jalur untuk mencapainya ibarat memasuki ruang waktu. Sensasinya dua bidang: peradaban modern dan daerah terisolir. Wilayah yang dikenal pula sebagai kawasan To Kalekaju ini dikurung Pegunungan Quarles dan diapit Pegunungan Verbeek. Di sinilah peradaban modern –masa neolitikum– di Sulawesi bermula. Bersama 15 orang dari tim Kajian Delineasi Situs Seko, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya menyambanginya pada 3 Oktober 2018 untuk menemukan dan mengenali situs masyarakat. Garisnya dari Kalumpang di Mamuju Sulawesi Barat, menanjak menuju Seko dan Rampi di Sulawesi Selatan dan menukik kembali ke lembah Lore di Sulawesi Tengah. Ini adalah kampung cantik dengan warga yang ramah dan rumah adat mengagumkan. Sayang, rumah adat itu hanya beberapa yang bertahan. Di Kampung Singkalong dan Eno, masing-masing terdapat satu buah rumah panggung dengan umpak batu menawan. Dengan fondasi batu, bangunan itu disangga tiang-tiang kayu bulat yang diletakkan di atas batu dan dipahat mengikuti posisi batu. Sepintas, bangunan itu t ampak rapuh. Tapi ketika gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter menghantam Palu dan Donggala pada akhir September 2018, di mana wilayah Seko ikut terdampak , tak ada bangunan yang rusak dan tak ada korban jiwa . R umah umpak batu malah mengayun s e akan memiliki shockb rea ker . Situs-situs yang Terabaikan Seko kini sedang dikepung delapan perusahaan pemilik HGU (Hak Guna Usaha). Data dari kantor Kecamatan Seko menunjukkan delapan perusahaan itu akan bergerak di bidang perkebunan, pertambangan, hingga energi. Konsesi itu bakal merebut sawah hingga kebun warga. Tak hanya mengancam lahan penghidupan warga, konsesi juga mengancam puluhan situs yang berada dalam area konsesi. Hanya situs Bongko yang relatif aman karena menjadi perkecualian lantaran dianggap sebagai kampung tua masyarakat Eno. PT Seko Fajar, yang sejak 1980-an memegang izin perkebunan teh, mengeluarkannya seluas 60 ha. Tapi situs-situs yang lain tinggal menunggu waktu. Situs Hatu Lalian, yang berdampingan dengan pagar bandara, bahkan teronggok di antara ilalang rapat. Situs ini adalah umpak batu berjumlah empat buah yang berada di bukit kecil. Di bawahnya, hamparan sawah. Segaris dengan Laliang, terdapat Issong Batu (Kalamba). Situs ini dipercayai sejarawan Inggris Ian Caldwell pada 1992 sebagai artefak yang dibawa masyarakat dari Lembah Bada. “Tidak seperti itu. Itu dibuat oleh Talammia (disebut juga Talambia),” kata Abraham Taburu (50 tahun) Tobara Hono ke-21. Tobara adalah gelar dari masyarakat yang diberikan pada seorang pemimpin adat (komunitas). Seko punya sembilan wilayah adat yang disahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara. Pemimpin komunitas-komunitas adat itu memiliki gelar tersendiri: To Bara , To Makaka , dan To Kei . Para pemimpinkomunitas itu dipilih berdasarkan kekerabatan dan keturunan. Bagi Abraham, Laliang dan Issong Batu adalah milik Talammia yang dibuat sendiri olehnya. Talammia diceritakan sebagai seorang yang sangat besar. Tingginya tak bisa diprediksi, namun bisa diilustrasikan saat Talammia meletakkan kakinya di badan sungai, kaki itu digunakan orang-orang untuk menyeberang. Laliang juga dipercaya sebagai dapur tempat sang raksasa memasak. Sementara , Issong Batu adalah tempatnya menumbuk padi. Jarak antara dua situs ini sekitar dua k ilo m eter . “Nah tempat makannya itu ada di dekat sungai, jadi kalau bersandar punggungnya ada di gunung,” kata Abraham. Laliang adalah situs yang sepi. Pada ujung batunya ada noda hitam karena lelehan aspal ketika bandara sedang renovasi mengganti landasan pacu dari rumput menjadi aspal. Umpak batu itu dijadikan tungku memasak aspal. Tak ada warga keberatan. Bahkan beberapa warga Seko sendiri yang menjadi buruh harian ikut melakukan aksi itu. Situs Kalaha Kammuttu (Batu Dakon) yang berada di bukit ilalang di Kampung Lodang, sekitar 30 km dari Eno, juga mengalami nasib serupa. Tak ada penanda yang menunjukkan keberadaannya. Kalaha berada di pinggir jalan setapak yang menghubungkannya ke sebuah sungai yang sedang dalam pengerjaan poryek irigasi. Situs itu berkali-kali dilindas alat berat. Bahkan warga yang melintas tak segan menapakinya. Situs lain , Lingku, kondisinya juga tak terawat dan ditumbuhi rerumputan. Lingku dipercaya masyarakat Lodang sebagai tempat kelahiran anak seratus. Menurut Tobara Lodang Nasrullah Kande (50), pada masa lalu Lingku dihuni seorang pasangan yang memiliki 100 anak. Lingku berada di bukit kecil yang dikelilingi persawahan yang masuk dalam areal HGU Seko Fajar. Untuk mencapainya, harus melompati parit selebar dua meter, lalu membungkuk menyelinap di antara ilalang. Penanda situs ini hanyalah batu berdiameter 50 cm. “Ini anak tangga untuk naik ke rumah anak 100 itu,” kata Nasrullah. Tinggalan lain yakni Situs Bata’, berupa batu monolit yang tertancap di tengah rawa di sisi jalan utama Lodang menuju Eno. Situs ini pernah jatuh. Atas inisiasi sebuah lembaga swadaya masyarakat, situs ini digotong warga ke tempat asalnya dan ditancapkan menggunakan cor semen. Bata’ dikisahkan sebagai jelmaan dari ari-ari kerbau milik orang bernama Tabuke. Ketika kerbaunya melahirkan, Tabuke membawa ari-arinya dalam sebuah wadah karena berpindah tempat gembala. Namun, ketika wadah itu terbuka, ari-ari tersebut malah bertumbuh panjang dan menjadi batu. Akhirnya, ari-ari yang menjadi batu itu menjadi penanda untuk tempat gembala. Menurut Nasrullah, air di sekitar situs rasanya asin d an itu menjadi kesukaan ternak. Tapi, itu sepertinya hanya folklore . Ketika saya mencoba air itu, rasanya tawar. Situs lainnya, benteng Tammatang, berada di punggung bukit dan diapit dua sungai. Di tempat ini, ilalangnya sudah menghitam bekas pembakaran. Ada banyak batuan yang tersebar, tanpa pola. Nasrullah percaya, batu-batu itu adalah umpak batu. “Di sini, rumah orang dulu. Ada pemimpin kami namanya Tabolle. Dia membangun benteng dan menghalau para penyusup. Termasuk meredam pasukan dari Datu Luwu,” katanya. Tabolle punya keahlian pedang cukup mengagumkan. Dan memiliki istri dengan paras cantik. Datu Luwu jatuh cinta pada sang istri, dan menggunakan berbagai macam strategi untuk merebutnya. Tabalolle melawan dan beberapakali memukul mundur pasukan Luwu. Pasukan Luwu akhirnya membuat siasat menggali lubang dan menanamkan duri di dasarnya. Ketika Tabolle menyerang, dia terjatuh ke lubang itu dan menemui ajalnya. Sang istri jadi tawanan. Namun, diantara jalan sempit dan jurang yang dalam di tempat bernama Mangkaluku, istri Tabolle melompat dan menjatuhkan Datu Luwu beserta beberapa pengawalnya. “Jadi Seko (maksudnya Lodang, red .) tak pernah dikalahkan Luwu dalam perang, tapi dalam strategi,” kata Nasrullah. Dalam beberapa tradisi tutur masyarakat Seko, hubungan dan pengaruh Luwu cukup terasa. Luwu adalah kerajaan yang menundukkan wilayah itu. Jika tak ada penundukkan oleh Luwu, kawasan itu mungkintak bernama Seko.*
- Awal Mula Seko
INILAH Seko, tempat damai yang gemuruhnya diluar dicitrakan sebagai tempat terisolir, tempat orang-orang udik, dan sewa ojek yang mahal. Tempat dengan segala macam misteri dan mitos. Berkunjung ke Seko, sebuah kecamatan di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, menggunakan ojek membuat tulang belakang, pinggul, dan pantat serasa hendak remuk. Selain kerasnya jok motor, waktu tempuh di musim kemarau mencapi 10 jam dan musim hujan mencapai dua hari. Seko adalah nama baru. Awalnya,para penghuni tempat ini menamakan diri mereka sebagai orang-orang dengan masing-masing kampung. Hoyane, Eno atau Hono, Lodang, Amballong, atau pula Kariango. Belakangan, dalam tradisi lisan masyarakat Seko diartikan sebagai sahabat, handai tolan, atau kerabat. Nama ini dicuplik dari perkataan Datu Luwu yang konon bingung menamai orang-orang pegunungan itu. “Jadi Datu Luwu bilang, sahabat itu dalam bahasa di atas (gunung) apa?” dalam kisah tutur warga. “Itulah Seko.” Sejak saat itu, wilayah yang ditaklukan Luwu untuk kepentingan hasil bumi itu menjadi Seko, To Seko (orang Seko). Perjalanan darat menuju Seko. (Eko Rusdianto/Historia) Di Seko, kisah To Manurung berbeda dari kisah serupa di dataran lain di Sulawesi Selatan. Orang pertama yang menghuni Sekodikisahkan sebagai seorang anak manusiayang kemudian beranak-pinakdan memiliki genealogi utuh. Ada tiga babakan kisah awal-mula orang Seko. Pertama, seorang Matua (orang tua) berjalan dari wilayah Mamasa, Sulawesi Barat. Orang itu bersama para pengikutnya meninggalkan kampung karenaterjadi peperangan dan berjalan hingga ke Gunung Sandapang di Kalumpang (Sulawesi Barat). Orang tua i tu terus berjalan bersama empat anaknya dan bermukim di wilayah Seko Padang. Empat anak itu masing-masing : Tabalong , yang menjadi Kampung Amballong ; Tahayane , kemudian mendiami kampung Hoyane ; Tahaneang , anak perempuan yang menghuni Kampung Pohoneang ; dan Tampa’ , menghuni Seko Padang wilayah Eno. Tampa’ merupakan anak yang senang berburu. Suatu hari, bersama anjingnyadia duduk memandangi kawasan lembah Seko Padang –pada mulanya adalah danau. Anjingnya tiba-tiba bergerak lincah dan memburu seekor rusa. Tak disangka, rusa itu terjatuh ke dalam sebuah kolam dan kemudian si anjing ikut turun ke kolam. Akhirnya, Tampa’ melakukan mudihata (semedi). Dia memanggil kepiting, belut, dan beberapa hewan air lainuntuk membuka tamolang (saluran air). Kolam itu akhirnya menjadi kering, dan menjadi daratan. Anjing ituterus berusaha memburu rusa. Tampa’ mengikutinya dan sampai di wilayah yang bernama Taloto –dalam bahasa lain Talotong atau orang berlidahhitam. Tapi, Tampa’ tak menemukan anjingnya lagi. Dia kemudian membuat kolam untuk memelihara ikan, yang hingga kini masih ada dan dimiliki seseorang, dikenal dengan nama Mabubu.Tapi air kolam tersebut kemudian selalu keruh. Belakangan, Tampa’ mengetahui kekeruhan air itu disebabkan ulah beberapa dayang (dewi) yang selalu datang mandi. Baju salah satu dewi lalu dicuri –seperti kisah lainnya– dan Tampa’ menikahi salah seorang dewi itu. Dari sang dewi, Tampa’ mendapatkan dua anak. Mereka bertumbuhdan kemudian menyebar di seantero Seko. Dewikemudian meninggalkan Tampa’ melalui longa (jendela di bagian bawah atap rumah adat) ketika melanggar perjanjian akibat menyebutkan dirinya adalah mahluk halus ketikamarahpada anaknya. Petani sedang memberi pakan kerbaunya Sementara, versi yang paling tenar adalah keadatangan Ulu Pala atau seorang dengan tangan berbulu. Dia berasal dari Kanandede, wilayah dekat Rongkong. Ulu Pala diasuh sepasangsuami-istri. Suatu ketika, orang tua angkat Ulu Pala yang berhutang pada orang Toraja mendatanginya. Ulu Pala menaklukkan penagih utang itu dengan teka-teki. Setelah itu, orang Toraja menyebar fitnah bahwa Ulu Pala adalah anak yang tak bisa membawa keburuntungan. Orang tua Ulu Pala termakan hasutan itu meski memilih tak membunuhnya. Dia lalu me ngasingkan Ulu Pala ke wilayah yang sekarang masuk Seko Tengah. Lantaran kesepian, Ulu Pala membuat gambar di sebuah batu yang k ini dikenal sebagai Hatu Rondo . S eorang dewi akhirnya mendatanginya lalu mereka menikah dan bermukim di kampung tua bernama Bongko yang k ini wilayah Seko Padang.
- Riwayat Rumah Tahanan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
RUMAH tua di Jalan Bhayangkara, Kota Sukabumi itu berdiri dalam sepi siang 12 Februari 2019 itu. Lampu di terasnya menyala pertanda tiada yang menjaga. Beragam kendaraan berseliweran begitu saja di depannya tiada peduli. Butuh waktu hampir satu jam bersabar diiringi rasa penasaran sebelum bisa masuk ke rumah itu. Baru setelah Yepsa Dinanthy, pegiat sejarah Komunitas Kipahare Sukabumi, mengontak rekannya di Pemkot Sukabumi Historia bisa masuk rumah yang di halamannya dipatok plang bertuliskan “Benda Cagar Budaya: Rumah Bekas Tahanan Bung Hatta dan Syahrir” itu. Rumah bergaya twin-house kolonial itu cukup unik, seolah merupakan dua rumah serupa dijadikan satu. Di bagian belakang terdapat satu dinding pemisah serta bangunan terpisah lain yang sepertinya bekas dapur. Sayang, tak banyak yang bisa dinikmati di dalamnya. Hanya beberapa foto Hatta, Sjahrir, dan Sukarno memenuhi beberapa dinding ruangan. “Ya memang sejak dulu sudah kosong begini. Sejak saya tugas di sini 11 tahun lalu juga begini-begini saja,” ujar Mulyani sang juru pelihara kepada Historia. Informasi tentang kisah di sekitar rumah pun setali tiga uang. Sang juru pelihara hanya sedikit tahu. “Ya hanya terkait rumah yang pernah jadi tempat Bung Hatta dan (Sutan) Sjahrir ditahan,” lanjutnya yang sekadar hafal bahwa di sisi kiri bekas tempat Sjahrir dan sisi kanan bekas tempat Hatta saat jadi tahanan politik (tapol) pemerintah Hindia Belanda. Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku Padahal jika pihak-pihak terkait, semisal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, punya kemauan untuk meriset ulang, informasi tentang rumah itu dan kisah di seputarnya bakal lebih banyak dan berguna untuk masyarakat. Salah satu kamar di rumah eks tahanan yang kosong melompong tanpa furnitur (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Soal detail perabotan, sedikitnya pernah dipaparkan sesuai ingatan Hatta dalam Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan. “Dalam kamar muka sudah ada satu zitje (sice, red), meja segi delapan dengan 4 kursinya dan 1 dipan. Di kamar tidur sudah ada tempat tidur dengan kelambunya. Di ruang belakang satu meja makan kecil dengan dua kursi. Pada unit bagian Sjahrir dalam kamar muka ada satu tempat tidur dan satu zitje , pada ruang tengah ada satu kamar tidur untuk dua orang, ruang itu dijadikan kamar tidur Lily dan Mimi (anak-anak angkat Sjahrir),” kenang Hatta. Selain itu, lanjut Hatta, di setiap ruangan dan kamar tidur Hatta dan Sjahrir juga sudah dilengkapi lampu listrik, bukan lagi lampu minyak. Sementara dapur, kamar mandi dan toiletnya berderetan terletak di bangunan belakang. Kebutuhan air tersedia dari air ledeng lantaran memang tak ada sumur di rumah itu. Bagian dari Sejarah Bhayangkara Mulanya, kata peneliti sejarah dan ketua Komunitas Kipahare Sukabumi Irman Firmansyah, rumah itu ditempati seorang inspektur polisi Belanda. Sayang, tidak ada catatan siapa polisi senior Belanda pertama yang menempati rumah yang kini berjejeran dengan Kompleks Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa) Polri itu. Baca juga: Tokoh di Balik Takluknya Tentara Inggris di Sukabumi “Jadi itu wilayahnya kan semua kompleks polisi. Mulanya daerah rumah itu berdiri merupakan paling ujung. Belum ada dibuka jalan seperti sekarang. Kemudian dibuat tembusan, disebut nama jalannya Vogelweg, dari nama Dr Vogel yang dulu juga pernah kasih masukan terhadap pembangunan Kota Sukabumi,” terang penulis Sukabumi: Menelusuri Jejak Masa Lalu , Sukabumi: The Untold Story , serta Pembuangan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi yang akrab disapa Sufiitu . Kompleks asrama polisi di Sukabumi tahun 1928 di mana gaya bangunannya sangat mirip dengan rumah eks tahanan Hatta-Sjahrir (Foto: gahetna.nl) Kompleks asrama polisi di Sukabumi tahun 1928 di mana gaya bangunannya sangat mirip dengan rumah eks tahanan Hatta-Sjahrir (Foto: gahetna.nl) . Rumah itu dibangun tahun 1926 seiring dibangunnya asrama dan sekolah polisi di Sukabumi sebagai lokasi baru pindahan dari Bogor. “Selalu jadi rumah inspektur polisi Belanda sampai Jepang masuk ke Sukabumi pada Maret 1942. Walau orang-orang Belandanya kabur, tapi sekolah polisinya masih berjalan. Jadi orang Indonesia yang diangkat jadi pemimpin di sekolah itu, Inspektur Polisi Asikin,” sambungnya. Di masa Belanda tengah panik menjelang invasi Jepang, rumah itu ditempati Hatta dan Sjahrir yang dipindah tempat pembuangannya, medio Februari 1942. Sukabumi jadi tempat tahanan terakhir keduanya sebelum bebas di masa pendudukan Jepang. “Jadi sebelumnya mereka ditahan di Banda Neira. Kemudian tanggal 1 Februari diberangkatkan dengan Pesawat Catalina dari Banda Neira ke Surabaya. Satu malam diinapkan dulu di sana, baru dengan kereta api berangkat ke Jakarta, lalu berangkat lagi dan sampai ke Sukabumi dengan mobil pada 4 Februari,” kata Sufi. Kabar pemindahan ke Jawa itu menyeruak menjadi desas-desus bahwa keduanya dibebaskan. Pemerintah Hindia Belanda tentu membantahnya. “Moh. Hatta dan Sjahrir ditempatkan di sebuah rumah di daerah yang aman di Sukabumi, di mana mereka tetap dalam masa tahanan. Keterangan ini turut membantah bahwa keduanya dibebaskan adalah kabar yang tidak benar,” tulis suratkabar Bataviaasch Nieuwsblad , 9 Februari 1942. Bagian belakang rumah yang terdapat bangunan dapur dan kamar mandi, serta dinding penyekat (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Ada alasan tersendiri mengapa pemerintah Hindia Belanda memilih Sukabumi sebagai tempat tahanan Hatta dan Sjahrir. “Karena dari dulu dianggap tempat aman oleh Belanda, terlebih di situ ada sekolah polisi. Lokasinya agak terisolir juga dan dianggap tempat yang nyaman buat tahanan,” sambung Sufi. Hanya sekira satu setengah bulan Hatta dan Sjahrir menempati rumah tahanan itu sampai Jepang benar-benar mencaplok Hindia Belanda. Setelah Hatta dan Sjahrir kembali ke Jakarta, rumah itu kembali ditempati instruktur senior sekolah polisi. “Dari waktu ke waktu selalu ditempati orang-orang kepolisian. Cuma kondisinya sempat jadi kumuh, jelek, tidak terpelihara. Mulai dijadikan cagar budaya tahun 1990-an. Karena kan itu termasuk tanah milik Polri. Ketika dijadikan cagar budaya, ya dibuat perjanjian tiga pihak: Pemkot, BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Banten, dan Setukpa. BPCB menetapkan sebagai cagar budaya tapi ada kesepakatan polisi boleh menggunakan sepanjang tidak mengubah bentuknya,” tandasnya.
- Gusti Randa, dari Aktor menjadi Plt Ketua Umum PSSI
Kabar mengejutkan datang dari dunia sepakbola Indonesia. Gusti Randa ditunjuk sebagai pelaksana tugas (plt) ketua umum PSSI menggantikan Joko Driyono yang ditetapkan sebagai tersangka perusakan dokumen match-fixing . Namanya pun jadi trending topic . Warganet memberikan sentimen negatif. Mereka memasang foto-foto masa lalunya ketika menjadi aktor. Sebelum berkecimpung dalam dunia olahraga, Gusti Randa dikenal sebagai aktor. Masyarakat mengenangnya sebagai pemeran utama Syamsul Bahri dalam sinetron Sitti Nurbaya di TVRI tahun 1991. Siti Nurbaya sendiri diperankan oleh Novia Kolopaking. Gusti Randa Malik lahir di Jakarta pada 15 Agustus 1965. Pendidikannya sarjana hukum yang kelak menjadi bekal menjadi pengacara. Dia terjun ke dunia seni peran pada 1984. “ Penari dan koreografer ini pertama kali terjun ke dunia film dalam Cinta di Balik Noda (1984),” demikan disebut dalam Apa dan Siapa Orang Film Indonesia. Gusti Randa kebagian peran utama dalam film Yang Masih di Bawah Umur (1985). Setelah itu dia bermain dalam sejumlah film antara lain Permainan Yang Nakal , Cinta Cuma Sepenggal Dusta (1986), Menjangkau Matahari (1987), Potret, Noesa Penida (1989), Kamar Tiga Perawan, Peluk Daku dan Lepaskan (1991). Selain film layar lebar, Gusti Randa juga bermain dalam sinetron, seperti Sitti Nurbaya (1991), Wajah Dalam Cermin (1995), Istana Impian (1996), dan Tiga Bidadari (1997). Gusti Randa bergabung dalam organisasi Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) periode 2011-2016 yang dipimpin Aa Gatot Brajamusti. Dia menempati posisi di bagian biro bantuan hukum. Ketika PARFI terbelah dua, dia bergabung dengan PARFI 1956 yang pimpinan Marcella Zalianty.Dia menjadi ketua bidang advokasi/hukum dan keanggotaan, keorganisasi sekaligus ketua tim perumus AD/ART. Selain aktor, Gusti Randa juga penyanyi dan pencipta lagu. Tembangnya yang paling diingat berjudul “Ingin Kembali.” Gusti Randa kemudian mencoba peruntungan menjadi politisi. Pada Pemilu 2004, dia mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dari PKB untuk daerah pemilihan Jawa Barat V. Pada Pemilu 2009, dia berganti perahu ke Partai Hanura untuk daerah pemilihan Sumatra Barat II. Dan pada Pemilu 20014, masih dengan Partai Hanura, dia pindah daerah pemilihan ke Kalimantan Selatan II . Namun, tiga kali dia gagal ke Senayan. Bahkan dia sempat mencalonkan diri menjadi walikota di Depok dan Padang. Dari ranah politik, Gusti Randa berpindah ke dunia sepakbola. Dalam kepengurusan PSSI 2006-sekarang, dia terpilih menjadi anggota Komite Eksekutif . Setelah Joko Driyono, plt. ketua umum PSSIpengganti Edy Rahmayadi, ditetapkan sebagai tersangka, pada akhir Februari 2019, RUPS PT LIB menunjuk Gusti Randa sebagai komisaris dan Dirk Soplanit sebagai direktur utama PT LIB. Dalam rapat Komite Eksekutif PSSI pada 19 Maret 2019 diputuskan Gusti Randa menjadi plt. ketua umum PSSI . Dia mengemban tugas mempersiapkan Kongres Luar Biasa PSSI dan memastikan Liga 1 berjalan sesuai rencana.
- Kunci Kejayaan Nusantara
Enam puluh persen jenis rempah di dunia ada di Indonesia. Ratusan tahun lalu, rempah menjadi primadona yang dicari para pedagang dari seluruh dunia. Jalur rempah pun menghubungkan Nusantara dengan dunia. Dalam konteks maritim waktu itu, Indonesia menjadi pusat pertemuan global khususnya pada 1480-1650, yang oleh Anthony Reid, sejarawan Australia National University, disebut sebagai Age of Commerce . Namun jalur rempah bukan hanya soal perdagangan rempah. Jalur rempah juga meliputi pertukaran tradisi, agama, pengetahuan, bahasa, sosial, teknologi, dan pengetahuan. Maka selain tertarik oleh hasil buminya, ada faktor lain yang membuat pedagang asing singgah dan berbisnis di Nusantara. Susanto Zuhdi, sejarawan maritim dari Universitas Indonesia menjelaskan, kala itu sebuah negara ada karena adanya perdagangan. Kawasan barat Nusantara memperlihatkan lebih dulu perkembangannya dalam konteks perdagangan internasional. Misalnya Sriwijaya menjadi pusat keramaian karena menguasai Selat Malaka. Sementara itu, terbentuknya kota pesisir di berbagai bandar di Nusantara menunjukkan gejala yang luar biasa sebagai kota kosmopolitan. Penjelajah Portugis, Tome Pires, pada abad ke-16 M menggambarkan kota bandar yang penuh dengan orang dari Persia, Arab, Gujarat, India, Bengali, dan Tiongkok. "Apa artinya? Masyarakat waktu itu terbuka, semua orang diterima sebagai bagian penduduk kota," kata Zuhdi ketika mengisi kuliah umum dalam International Forum on Spice Route (IFSR) di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/3). Siswa sekolah sedang mengamati rempah-rempah dalam pameran International Forum on Spice Route (IFSR)di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/3) Siswa sekolah sedang mengamati rempah-rempah dalam pameran International Forum on Spice Route (IFSR) di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/3). (Aryono/Historia). Hal itu dipertegas oleh Anthony Reid. Menurutnya kesuksesan negara-negara di Nusantara ketika itu terletak pada keterbukaan dan sikap pluralisme yang mereka punya. Bantam atau Banten misalnya. Tempat ini menjadi salah satu destinasi komersial yang ramai pada masanya. Orang Eropa, Tiongkok, India, dan lokal saling bertemu. "Keterbukaan dan pluralisme menjadi kunci utama mengembalikan Indonesia maju dalam konteks budaya maritim," kata Reid. Adapun Sriwijaya hingga kini dikenal sebagai kerajaan maritim yang berjaya. Terjadi interaksi budaya yang beragam di kawasan itu. Ia sebagai pusat pengajaran Buddha di wilayah Asia. Di sisi lain menjalin hubungan baik dengan para pedagang muslim. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan pelaut asal Persia, Al Ramhurmuzi menuliskannya dalam Ajaib al-Hind ( Wonders of the Archipelago ) pada 390 H (1000 M). Berdasarkan laporannya diketahui kalau di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya) sudah hadir pedagang dan pelaut muslim. "Ini yang membuat orang-orang Nusantara sangat kosmopolitan. Makanya sangat multikultur, multireligius. Kalau sekarang banyak yang tidak kosmopolit, itu berarti lupa sejarah," kata Azra. Pun hubungan baik dengan pedagang internasional, khususnya dalam hal rempah hancur ketika kolonialisme masuk ke Nusantara. "Hancur ketika Belanda masuk dan menerapkan monopoli. Ini bikin rusak ekonomi," kata Azra. Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2001- 2009 menyimpulkan, sejarah Nusantara yang panjang telah diakui gemilang namun juga malapetaka. Lewat sejarah jalur rempah dapat dimengerti bahwa kekayaan alam pun bisa membawa malapetaka bagi Indonesia. "Itu sepanjang kita tidak mampu mendukung kekayaan kita dengan kekuatan kita, maka kekayaan alam kita akan dirampas bangsa-bangsa lain," kata Hassan.
- Berita Berujung Pidana
Media daring Tirto.id bikin keramaian di lini masa. Dalam akun twitter -nya, media ini mengunggah kartun grafis yang bernada provokatif. Sebuah meme menampilkan komentar Kiai Haji Ma’ruf Amin yang dipenggal: “....Zina bisa dilegalisir....” Satu meme lagi juga mengutip pernyataan Sandiaga Uno yang diplesetkan: “Kami akan hapuskan UN” yang kemudian ditanggapi oleh Pak Tirto (maskot Tirto.id ): “Eh..? Kirain apus NU…” Sebagaimana umum diketahui NU adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Dua meme tersebut diolah menanggapi debat calon wakil presiden yang dihelat baru-baru ini. Bermaksud jenaka namun kartun grafis tersebut malah dianggap menyudutkan. Alih-alih menjadi hiburan, kecaman justru berdatangan dari warganet. Pengurus Besar (PB) NU dalam akun twitter -nya telah menyatakan protes atas meme tersebut. Berbagai tanda pagar bermunculan sebagai tanda tidak simpatik seperti: #TirtoButuhDuit, #TirtoPabrikHoax, #TirtoIDMediaSampah. Redaksi Tirto.id sendiri dalam laman beritanya mengakui telah melakukan kesalahan fatal dengan secara gegabah memotong kalimat-kalimat Ma’ruf Amin dan Sandi. Dituding menyebarkan hoax, meme ditarik dari peredaran namun kadung viral. Permintaan maaf pun dilayangkan. Di masa lalu, kelalaian serupa pernah terjadi. Harian Rakyat Merdeka dan Tabloid Warta Republik harus berurusan dengan hukum karena konten beritanya. Masalah yang dihadapi tergolong serius dan berbuntut jerat pasal pidana. Foto Berujung Petaka Dalam edisinya 8 Januari 2002, harian Rakyat Merdeka menampilkan foto parodi Akbar Tanjung yang bertelanjang dada, badan berpasir, dan penuh keringat. Foto yang berwajah Akbar Tanjung dan bertubuh orang lain itu menjadi ilustrasi berita berjudul “Akbar Sengaja dihabisi, Golkar Nangis Darah”. Akbar menjabat sebagai ketua umum Golkar dan ketua DPR saat itu. Akbar merasa terhina menanggapi foto yang dianggapnya rekayasa tersebut. Menurut Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka , Karim Paputungan dilansir hukumonline.com 17 April 2003, pemuatan foto itu hanyalah visualisasi dari bentuk simpati dan empati atas situasi berat yang dialami Akbar Tanjung. Kala itu, Akbar sedang didera isu korupsi yang membuatnya menjadi tersangka. Rasa malu terlanjur menciprat ke wajah, Akbar pun melaporkannya ke pihak berwajib. Dalil pengaduannya pencemaran nama baik. Pada 9 September 2003, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Karim Paputungan hukuman penjara lima bulan dengan masa percobaan sepuluh bulan. Karim dianggap bersalah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP, yang berbunyi, “Dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum, atau ditempelkan.” Namun, putusan itu tak serta-merta menjebloskan Karim ke jeruji besi. Tetapi apabila dalam kurun waktu sepuluh bulan Karim mengulangi perbuatannya, maka hukuman tersebut harus dijalani. Kasus Rakyat Merdeka menurut pakar komunikasi politik Mahi M. Hikmat dalam Jurnalistik: Literary Journalism Salah satu contoh yang berkaitan dengan penghinaan atau delik pers yang menyerang pribadi. Sementara itu, menurut jurnalis Pantau, M. Said Budairy, tuntutan hukum yang mendera Rakyat Merdeka karena mengabaikan banyak rambu-rambu yang seharusnya tidak boleh terlanggar. Karim Sendiri pada 2011, menerangkan kasus ini dalam bukunya yang berjudul Bila Parodi Diadili: Pengalaman Lempang Seorang Pemimpin Redaksi di Era Reformasi: Kasus Rakyat Merdeka vs Akbar Tandjung. Kisah Cinta Sensasional Mundur lagi ke belakang, tabloid dwi mingguan Warta Republik pernah memberitakan kisah cinta segi tiga yang melibatkan dua jenderal terkemuka. Mereka adalahmantan wakil presiden, Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan mantan menteri pertahanan, Jenderal (Purn) Edi Sudrajat. Pada edisi No.01/I/Minggu III November 1998, tabloid ini memuat tajuk “Cinta Segitiga Dua Orang Jenderal” pada sampul depannya. Sementara di halaman dalam, terdapat artikel berjudul “Try Sutrisno dan Edi Sudrajat Berebut Janda”. Berita yang tentu saja menggegerkan itu ditulis wartawan Warta Republik , Hoessein Madilis. Artikel Warta Republik menguraikan kesaksian seorang wanita janda bernama Nani. Dari Nani, diperoleh cerita bahwa terjadi persaingan antara Try dan Edi untuk mendapatkan cinta Nani. Karena mendengar sendiri penuturan Nani, maka berita itu oleh Hossein dianggap akurat. “Demi kemanusiaan dan membela orang tertindas, maka berita itu dimuat,” kata Masiga Bugis, pengacara Hossein dikutip R.H. Siregar dalam Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Berita itu sampai kepada Try Sutrisno. Tanpa tedeng aling-aling, Try melaporkan Warta Republik ke Polda Metro Jaya dengan aduan penyebaran fitnah. Dalam penyidikan, Hossein mengakui reportasenya dilakukan tanpa melalui konfirmasi kepada Try Sutrisno alias hanya satu sisi. Tidak mudah baginya untuk menghubungi dan mewawancarai tokoh sekelas Try. Pada 25 Agustus 1999, pengadilan mendakwa Hossein bersalah dan menjatuhinya hukuman percobaan. “Dalam kasus ini, wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti, dan telah mencemarkan nama baik,” tulis Mahi M. Hikmat. Pengalaman media-media ini seyogianya menjadi pelajaran bagi siapapun. Nalar kritis dan kebebasan pendapat sejatinya harus beriringan dengan etika. Karena kalau tidak, bisa saja nanti berhadapan dengan hukum pidana.






















