top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Melihat Lebih Dekat Keris Diponegoro

    Sepanjang dua minggu terakhir jagat sejarah Indonesia tengah ramai. Keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro kembali ke Indonesia setelah hampir 189 tahun berada di Belanda. Sebelum pengembalian, keris itu melalui berbagai tahap verifikasi yang melibatkan para sejarawan antara lain Sri Margana. Kesimpulannya, benar bahwa keris itu milik Pangeran Diponegoro. Sejarawan UGM Sri Margana memeriksa keris Kiai Nogo Siluman di Museum Volkenkunde, Leiden, 24 Februari 2020. Disaksikan oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja. (Bonnie Triyana/Historia). Rencana pemulangan keris pun disiapkan. Dan pada Kamis, 5 Maret 2020, keris bersejarah itu kembali ke Indonesia. Penyerahan keris dilakukan Duta Besar Indonesia untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja. Keris itu diterima oleh Kepala Museum Nasional Indonesia, Siswanto, di Jakarta. Penyerahan keris dihadiri oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan para staf Museum Nasional. Wajah-wajah sumringah dan takjub bermunculan saat keris bermotif naga tersebut dibuka. Detail keris Diponegoro. (Fernando Randy/Historia). Staf Museum Nasional saat memeriksa keris Diponegoro. (Fernando Randy/Historia). Bentuk utuh Keris Diponegoro usai tiba di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Leiden, kota tempat keris Diponegoro disimpan sebelum dikembalikan ke Indonesia. (Fernando Randy/Historia). Keris Kiai Nogo Siluman berbahan dasar besi warna hitam dengan ukiran warna emas. Terdapat wujud naga yang tubuhnya memanjang di sekujur bilah keris. Tubuh naga ini dulunya dilapisi emas namun sekarang hanya beberapa jejak emas yang tersisa. Itu sama sekali tidak mengurangi keanggunan keris yang langsung didaftarkan sebagai benda cagar budaya tersebut. Ada satu lagi wujud naga yang membuat keris ini dinamai Kiai Nogo Siluman. Ukiran naga itu tersembunyi di bagian bawah bilah keris yang berdekatan dengan gagang keris. Sosok naga ini hanya bisa terlihat dari posisi tertentu. Para staf Museum Nasional memeriksa kondisi keris saat tiba di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Semua staf museum takjub usai melihat sendiri keris tersebut. (Fernando Randy/Historia). Selanjutnya, Selasa 10 Maret 2020, keris Diponegoro dibawa ke Istana Negara, Bogor, Jawa Barat. Secara simbolik, Raja Belanda Willem Alexander menyerahkannya kepada Presiden Joko Widodo. Setelah prosesi ini, menguar harapan bahwa benda pusaka tersebut dapat dirawat dan dijaga dengan baik dan benar di sini. Sambil berharap bahwa keris ini bukanlah benda sejarah terakhir yang kembali ke Indonesia. Raja Belanda Willem Alexander dan rombongan saat tiba di Istana Bogor Jawa Barat. Raja Belanda Willem Alexander. (Fernando Randy/Historia). Raja Belanda Willem Alexander dan istri berdiskusi bersama Presiden Joko Widodo mengenai keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro, di Istana Bogor. (Fernando Randy/Historia). Raja Belanda Willem Alexander bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor. (Fernando Randy/Historia). Keris Kiai Nogo Siluman langsung dimasukan sebagai salah satu benda bersejarah oleh Museum Nasional. (Fernando Randy/Historia).

  • Keris Pangeran Diponegoro yang Dijual

    KERIS Pangeran Diponegoro dikembalikan kepada Indonesia dan menjadi koleksi tetap Museum Nasional. Keris ini ditemukan melalui penelitian panjang (2017-2018 dan 2019). Para peneliti dari Nationaal Museum van Wereldculturen, Leiden, menyimpulkan bahwa keris bernomor register RV-360-8084 adalah keris Pangeran Diponegoro bernama Kiai Nogo Siluman. Nama itu berdasarkan sumber pertama tentang keris itu, yaitu surat Sentot Alibasah Prawirodirdjo tanggal 27 Mei 1830. Panglima perang Diponegoro itu menyebut Kiai Nogo Siluman adalah keris Pangeran Diponegoro yang diberikan kepada Kolonel Jan-Baptist Cleerens, komandan pasukan Belanda. Pada bagian pinggir surat itu, pelukis Raden Saleh memberikan penjelasan mengenai arti Kiai Nogo Siluman, setelah diminta mengidentifikasi keris itu oleh S.R.P. van de Kasteele, Direktur Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik). Cleerens berperan dalam mengakhiri Perang Jawa dengan cara membujuk Pangeran Diponegoro agar mau berunding yang ternyata jebakan. Diponegoro ditangkap Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock dalam perundingan di Karesidenan Kedu, Magelang, pada 28 Maret 1830. Pada perundingan itu, menurut P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku , sebenarnya terlintas dalam pikiran Pangeran Diponegoro untuk membunuh Letnan Janderal De Kock dengan menusukkan keris ketika keduanya duduk bersanding di sofa di kediaman Residen Kedu. “Pikiran ini segera dilenyapkan oleh Sang Pangeran, karena batinnya membisikkan, tidak akan baik akibatnya bertindak amuk-amukan. Ia akan kehilangan citra keagungannya sebagai raja. Lagi pula, ia toh sudah tidak mempunyai teman lagi di Tanah Jawa. Lebih baik ia bersandar atau menyerah kepada takdir,” tulis Swantoro yang mengutip Babad Dipanegara. Armada Belanda yang dipimpin Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock dalam menaklukan Kesultanan Palembang tahun 1821. Lukisan karya Louis Meijer. (Rijksmuseum/Wikipedia Commons). Keris Diponegoro Dijual Sebelum melawan Diponegoro, pada 1821 De Kock memimpin ekspedisi militer untuk menaklukan Kesultanan Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin II dibuang ke Ternate. De Kock kemudian diangkat menjadi residen Palembang. Pada 1826, ia dipanggil untuk memimpin pasukan Belanda melawan Pangeran Diponegoro. Ia menangkap Sang Pangeran pada 28 Maret 1830. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro, menyebut bahwa setelah pulang ke Belanda, akhir Oktober 1830, De Kock meminta pelukis ternama Nicolaas Pieneman untuk menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro di kediaman Residen Kedu, Magelang. Pangeran Diponegoro digambarkan berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Di belakangnya, Letnan Jenderal De Kock berdiri bertolak pinggang menunjuk ke kereta tahanan, seolah-olah memerintahkan penahanan Diponegoro. “Sekumpulan tombak yang terhampar di tanah menunjukkan ketidakberdayaan. Demikian juga tidak tampak keris di pinggang Pangeran Diponegoro,” tulis Wardiman dalam Sejarah Singkat Diponegoro. Raden Saleh merespons lukisan “Penaklukan Diponegoro” (1835) karya Pieneman dengan lukisan “Penangkapan Diponegoro” (1857). “Berbeda dari Pieneman, di lukisan Raden Saleh, Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya mengepal,” kata Werner Kraus, kurator asal Jerman. Dalam lukisan Raden Saleh, keris Diponegoro juga tak terselip di pinggangnya. Setelah kembali ke Belanda, De Kock menerima gelar “ baron ” karena menang melawan Diponegoro. Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (1836–1841), Menteri Negara (1841–1845), dan anggota parlemen hingga kematiannya pada 12 April 1845. Ternyata, bukan hanya Cleerens yang membawa keris Pangeran Diponegoro. Laporan hasil penelitian keris Pangeran Diponegoro yang dikeluarkan oleh Nationaal Museum van Wereldculturen pada 20 Januari 2020, mengungkapkan bahwa De Kock juga memiliki keris Pangeran Diponegoro. Laporan menyebut bahwa keris itu dijual oleh pedagang barang seni Damme di Den Haag, Belanda, pada 1931. Menurut Damme, keris itu pernah menjadi milik keluarga Letnan Jenderal De Kock. Menurut Caroline Drieënhuizen dalam “Koloniale collecties, Nederlands aanzien: de Europese elite van Nederlands-Indië belicht door haar verzamelingen, 1811-1957”, tesis di Universitas Amsterdam tahun 2012,sebelum di tangan Damme,keris itu dimiliki oleh kepala rumah perdagangan Pryce and Co., Herman Holle (saudara lelaki Karel Holle, pemilik perkebunan teh di Garut) dan keluarga Van Blommestein. Keris itu kemungkinan dipajang dalam pameran seni Asia di Amsterdam pada 1936, yang menampilkan koleksi pribadi dan publik Belanda. “Katalog pameran menyatakan bahwa keris Diponegoro terletak di antara semua krisis yang ditampilkan. Keris itu termasuk dalam koleksi Jan Gerard Huijser (1878-1962),” tulisCaroline. Caroline mencatat bahwa sejak tahun 1910, Jan Gerard Huijser,presiden Rechtbank dan seniman amatir mengumpulkan barang-barang seni dari tempat kelahirannya, Hindia Belanda, khususnya senjata seperti keris, pedang, dan tombak dari Bali dan Jawa. Ia juga menjadi perantara antarkolektor dan teman baik ayah dari kolektor seni Hindia Belanda yang terkenal, Carel Groenevelt. Lukisan “Penaklukan Diponegoro” (1835) karya Nicolaas Pieneman yang dipesan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. (Rijksmuseum/Wikipedia Commons). Keris Diponegoro yang Lain Laporan juga menyebut bahwa artikel suratkabar dari tahun 1885 dan 1914 menyebutkan keris dan tombak Pangeran Diponegoro. Pada 1885, kedua benda tersebut disumbangkan kepada Ede Reményi, pemain biola dan komposer Hungaria. Pada 1914, keris dan tombak sekali lagi disebutkan bersama-sama, ketika bupati Magelang menyerahkan benda-benda itu untuk pameran di Semarang. Selain itu, laporan menyebutkan bahwa keris yang disumbangkan ke Weltmuseum di Wina oleh George Lodewijk Weijnschenk pada 1886 juga dikaitkan dengan Pangeran Diponegoro. Keris itu milik sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono IV, yang kemungkinan diserahkan kepada Diponegoro setelah sultan meninggal. “Tidak jelas bagaimana keris itu menjadi koleksi pribadi Weijnschenk,” sebut laporan itu. George Lodewijk Weijnschenk lahir di Yogyakarta pada 1847. Ia adalah anak dari pengusaha perkebunan, George Weijnschenk, dengan perempuan Jawa bernama Ramag. Kakeknya, Leopold Weijnschenk, datang ke Hindia Belanda dari Wina pada 1780. Menurut Caroline, pada 1886 George Lodewijk Weijnschenk, penyewa tanah di daerah Kasunanan, menyerahkan beberapa benda seni dari koleksinya, termasuk wayang, dan konon, keris Diponegoro sebagai hadiah kepada Kaisar Austria, Franz Joseph. Pada 1910, ia juga menyumbangkan satu set gamelan ke sebuah lembaga di Wina, mungkin Museum Naturhistorisches. Keris lain yang diyakini milik Pangeran Diponegoro adalah Kiai Omyang koleksi Museum Sasana Wiratama di Yogyakarta dan Kiai Wisa Bintulu yang tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta.*

  • Dhapur dan Penamaan Keris yang Berbeda Itu Biasa

    Kembalinya keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro ke Indonesia dari Belanda memunculkan perdebatan. Banyak yang mempertanyakan kesahihan keris itu lantaran keris itu ber- dhapur Nagasasra bukan Nogo Siluman. Namun, perdebatan soal itu tampaknya tak perlu diperpanjang lagi. Pasalnya, menurut Boedhi Adhitya, pemerhati keris dari Paheman Memetri Wesi Aji (Pametri Wiji), organisasi pecinta budaya keris yang didirikan di Yogyakarta, persoalan nama keris dan nama dhapur keris seharusnya dipisahkan. Nama dhapur adalah nama bentuk keris. Nama ini diberikan sesuai dengan ciri-ciri bentuk yang ada pada sebilah keris. Utamanya ditentukan dari lurus atau jumlah lekukan pada bilah keris ( luk ). Pun dari ragam ricikan yang dimiliki. “ Ricikan adalah detail hiasan bilah. Jumlah detail ricikan ini ada sekira 25 lebih, namun tidak semuanya ada dalam sebilah keris. Ada yang hanya punya dua ricikan , lima, dan seterusnya,” kata Boedhi kepada Historia . Sementara nama keris atau nama gelarnya adalah nama spesifik yang diberikan pemilik kepada sebilah keris. Nama, menurut Boedhi, bisa berganti-ganti sesuai kehendak pemilik. “Misal penggemar ayam aduan punya seekor ayam jago bangkok, lalu dia beri nama Si Pelor, karena pukulannya yang cepat. Maka dalam istilah perkerisan, dapat kita ibaratkan ayam tersebut adalah Kiai Pelor, dhapur -nya Jago Bangkok. Nama Si Pelor dapat diganti, sedangkan ras Ayam Bangkok sudah baku sejak lahir, sulit diubah,”jelas Boedhi. Karenanya, menurut Boedhi, keris Diponegoro dengan nama gelar Kiai Nogo Siluman yang memiliki dhapur Nagasasra itu tak perlu lagi menjadi perdebatan. Bisa saja Pangeran Diponegoro, menurut kehendaknya sendiri memberi nama Nogo Siluman pada kerisnya itu. “Memberi nama tentunya menurut kehendak mereka, tanpa mempertimbangkan pendapat kita,” ujar Boedhi. Dari sisi pakem atau aturannya, memberi nama keris berbeda dengan dhapur -nya , sama sekali bukan hal yang termasuk larangan. Selama ini pakem keris tertulis yang biasa dimuat dalam teks tradisional biasanya meliputi nama dhapur , nama ricikan , nama pamor dan ciri-ciri tangguh . Ada juga yang memuat cerita tentang mpu dan dhapur yang diciptakannya, serta pada masa kerajaan apa mpu itu hidup. Karenanya soal penamaan gelar keris yang berbeda dengan nama dhapur -nya bukan hal aneh dalam dunia perkerisan. Boedhi mencontohkan, ada salah satu pusaka utama Keraton Yogyakarta, yang bergelar Kanjeng Kiai Ageng Bethok. Dalam ilmu perkerisan, dhapur Bethok adalah keris yang bentuknya pendek dan lebar dengan gandik yang polos. Kenyataannya, Kanjeng Kiai Ageng Bethok ini justru tak berdhapur Bethok. “Kiai Bethok tidaklah ber- dhapur Bethok, dalam Babad Tanah Jawa disebutkan memiliki sekar kacang, padahal dhapur Bethok seharusnya tidak punya,” jelas Boedhi. Contoh lainnya, Kiai Crubuk. Ini adalah keris terkenal peninggalan Sunan Kalijaga. Saat ini ia tersimpan di Masjid Demak. Dalam ilmu keris, Crubuk adalah nama dhapur keris luk 7. Namun, Kiai Crubuk ternyata berbentuk lurus. “Hingga saat ini, sejauh yang saya ketahui, belum ada yang mempertanyakan keasliannya,” kata Boedhi. “Jadi Kiai Bethok tidak ber- dhapur Bethok, Kiai Crubuk tidak ber- dhapur Crubuk, Kiai Nogo Siluman tidak ber- dhapur Naga Siluman. Kiai Bethok dan Kiai Crubuk adalah pusaka terkenal turun temurun.” Nagasasra atau Nagaraja? Perdebatan di media sosial juga bukan hanya menyoal nama dhapur dan nama gelar keris yang tak sesuai. Persoalan nama dhapur keris ini pun mengundang perbedaan pendapat. Ada yang sepakat keris ini ber- dhapur Nagasasra. Ada pula yang kekeuh keris Kiai Nogo Siluman ini ber- dhapur Nagaraja. Boedhi menjelaskan kalau ada beragam sumber pengetahuan tentang keris. Ada yang berasal dari teks tradisi, seperti babad misalnya. Ada pula yang berupa pengetahuan lisan. Bahkan, ada yang istilahnya hanya lazim disebutkan dalam dunia perdagangan keris. “Istilahnya bahasa dagang, bahasa bakul,” katanya. “Ketiganya perlu dibedakan.” Contohnya, dalam dunia perdagangan keris, ada yang disebut Keris Sombro atau dhapur Sombro. Namun dalam naskah-naskah kuno, nama ini tak ditemukan. Yang tercatat adalah Mpu perempuan bernama Ni Mbok Sombro. “Dengan demikian, apa yang saat ini lazim disebut Keris Sombro sesungguhnya tidak ditunjang oleh teks-teks tradisi yang ada. Bisa jadi istilah ini adalah ‘jargon’ yang belum terlalu lama dibuat,” kata Boedhi. Begitu pula dengan nama dhapur Nagaraja. Boedhi telah menelusuri lewat buku-buku dhapur yang ia miliki. Seperti daftar nama dhapur dalam Serat Centini, naskah Keraton Yogyakarta yang ada di Belanda, nama dhapur yang disusun oleh Pangeran Hadiwijaya, putra Paku Buwono X Surakarta, nama dhapur dalam buku Keris Jawa antara Mistik dan Nalar karya Haryono Haryo Guritno. “Tidak ditemukan nama dhapur Nagaraja. Belum saya ketemukan teks naskah lama yang mencantumkan nama dhapur itu,” ujar Boedhi menyimpulkan. “Dapat dikatakan ini adalah nama dhapur yang tidak pakem menurut tradisi, bila mengacu pada catatan tekstual.” Kendati begitu, memang dalam dunia perdagangan keris dhapur Nagasasra dan Nagaraja itu dibedakan. Perbedaannya pada bentuk tutup kepala yang digunakan oleh naga. Pada Nagasasra, tutup kepala seperti yang digunakan oleh wayang Adipati Karna. Sementara pada Nagaraja, tutup kepala berbentuk mahkota ( makutha ), seperti yang digunakan wayang Kresna. “Karena bermahkota, sedangkan mahkota digunakan raja, maka naga bermahkota disebut naga raja, dalam perdagangan,” kata Boedhi. Sementara ciri lainnya relatif sama, yaitu keris ber- luk 13, atau 11, dan ada juga yang 9. Gandiknya berbentuk kepala naga. Lalu terdapat badan naga yang memanjang mengikuti bentuk bilah. “Perbedaan dengan dhapur Nogo Siluman adalah keris ber- dhapur Naga Siluman hanya bergandik kepala naga, tidak memiliki badan,” lanjut Boedhi. Layak Dimiliki Pangeran Diponegoro Lalu apakah mungkin keris indah dan mewah ini dimiliki oleh Pangeran Diponegoro? Kalau menurut Boedhi, keris yang baru saja dikembalikan itu sangat layak dimiliki oleh seseorang bergelar pangeran seperti Pangeran Diponegoro. “Beliau adalah seorang pangeran senior, putra tertua dari Hamengku Buwono III dari istri selir,” ucapnya. Sejauh yang dipahami Boedhi, belum ada Awisan Dalem atau LaranganDalem yang membatasi seseorang memiliki dhapur keris tertentu. Kendati memang ada angger-angger atau undang-undang Awisan Ratu atau LaranganDalem mengenai barang atau atribut pakaian yang terlarang dikenakan selain raja. “Namun demikian, ketika mpu membuat keris, pemilihan dhapur dan pamornya tentu tidak serampangan. Banyak hal yang dipertimbangkan, salah satunya kedudukan sosial pemesan,” ujar Boedhi. Kendati mungkin dimiliki oleh Pangeran Diponegoro, keris ini tak dibuat pada masa ia hidup. Menurut Boedhi, berdasarkan bentuknya, keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro itu dapat disebut sebagai tangguh atau gaya Mataram. “Kemungkinan dibuat zaman pemerintahan Sultan Agung,” ujarnya. Menurut tradisi, Boedhi menjelaskan, keris dhapur Nagasasra yang pertama kali dibuat diciptakan oleh Jaka Supa II, putra dari Jaka Supa I atau Pangeran Sedayu pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Adalah hal umum dalam dunia perkerisan, bahwa dhapur yang dulu sudah pernah dibuat, dibuat kembali pada zaman yang berbeda. Dhapur Nagasasra juga begitu. Dhapur Nagasasra cukup populer. Ia lalu banyak dibuat, khususnya pada masa pemerintahan Mataram Islam. “Ciri bentuknya sama, tetapi gaya pembuatan setiap zaman berbeda-beda, sesuai selera pada masa itu. Pada prinsipnya, perbedaan ini terlihat pada gaya bentuk, teknik tempa dan bahan material yang digunakan,” jelas Boedhi. Maka tak heran jika saat ini keris ber- dhapur Nagasasra, yang mirip wujudnya dengan Kiai Nogo Siluman tidak hanya ada satu, yaitu keris yang baru saja kembali dari Belanda itu. Keris berciri serupa salah satunya menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta. “Museum-museum luar negeri juga ada. Kolektor-kolektor keris pun ada yang punya,” kataBoedhi. Mengenai bagaimana keris itu bisa sampai ke tangan Pangeran Diponegoro? Ini sayangnya tak ditemukan catatannya. “Kita hanya bisa berspekulasi,” ujarnya. Sejauh yang Boedhi ketahui, arsip Keraton Yogyakarta tidak mencatat keris-keris yang diberikan raja pada seseorang. Biasanya yang dicatat adalah asal-usul keris yang ada pada saat catatan itu dibuat. Ini disimpan di Gedong Pusaka Keraton. “Keris pusaka Keraton Yogya yang dikaitkan dengan Pangeran Diponegoro yang kerisnya masih tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta hingga saat ini adalah Kanjeng Kiahi Wisa Bintulu,” kata Boedhi. Bisa jadi keris Kiai Nogo Siluman ini dimiliki Pangeran Diponegoro karena warisan, baik lewat garis ibu maupun bapak. Kalau bukan karena warisan, mungkin hasil pembelian, hadiah atau pemberian seseorang seperti tombaknya Kiai Cakra yang konon merupakan pemberian. Kalau tidak, keris itu bisa jadi tidak sengaja ia temukan. Namun,kemungkinannya kecil kalau keris itu adalah warisan. Pasalnya sebagai keris warisan tentu dihargai. “Bukan berarti Pangeran Diponegoro tidak menghargai keris ini ya. Tapi artinya bukan merupakan keris andalan,” kata Boedhi. Kerisnya yang paling berharga lebih mungkin adalah Kiai Bondoyudo yang ikut dikubur bersama jasad Diponegoro. Adapun soal perdebatan yang kini ramai di media sosial, menurut Boedhi, ini hal biasa di dunia perkerisan. Namun bagi Boedhi, siapapun yang mendebat harus punya bukti dan alasan yang kuat.

  • Ketika Paus Sastra Indonesia Menerjemahkan Max Havelaar

    Hans Bague (H.B.) Jassin, Paus Sastra Indonesia, telah meninggal dunia 20 tahun lamanya (11 Maret 2000). Tapi amalnya semasa hidup terus kekal hingga kini. Dia berjasa mengembangkan kehidupan, dokumentasi, dan penerjemahan sastra di Indonesia. Di bidang terakhir, amal Jassin paling kesohor ialah menerjemahkan novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli serentang 1971–1972. Sastrawan Eka Budianta berpendapat terjemahan Jassin sangat halus. Bahkan cenderung melankolik. “Dia mengarahkan Max Havelaar ke bacaan keluarga,” kata Eka kepada Historia,  usai mengisi acara "H.B. Jassin Sang Penjaga Sastra" di Bentara Budaya Jakarta, 12 Maret 2020. Eka mencontohkan bagian ini. Aku tidak tahu di mana aku akan mati. Kulihat lautan luas di pantai selatan. Ketika aku membuat garam di sana bersama ayahku . “Saya terpesona pada nyanyian Melankolis Saidjah yang terasa mendalam di hati Havelaar. Saya tidak menyangka bahwa untuk membuat garam di masa kolonial diperlukan keberanian. Mengapa? Karena produksi garam dimonopoli oleh pemerintah,” catat Eka dalam “Harapan, Keberanian, Kemanusiaan Kita”, makalah pada Festival Multatuli di Rangkasbitung, 10 September 2019. Saidjah (Saijah ejaan sekarang, red .) adalah salah satu tokoh dalam Max Havelaar . Dia penduduk Lebak, Banten, dan menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa setempat. Max Havelaar adalah Asisten Residen di Lebak. Dia personifikasi Eduard Douwes Dekker, penentang polah sewenang-wenang penguasa. Sebelum Jassin menerjemahkan Max Havelaar , buku ini mempunyai cerita panjang hingga sampai ke tangan Jassin. Max Havelaar memuat kisah perilaku menyeleweng Bupati Lebak, sikap abai atasan Dekker terhadap penyelewengan, kondisi orang tempatan yang rudin, dan hayat Max Havelaar sebagai tokoh utamanya. Terbit perdana di Belanda pada 14 Mei 1860, Max Havelaar  cepat menggetarkan Negeri Belanda. Orang-orang jadi mafhum keadaan penduduk di negeri koloni. Banyak orang percaya bahwa kisah ini faktual. Segelintir lainnya tidak. Tapi mereka diam-diam membenarkan gagasan kemanusiaan di dalamnya. Kemudian Max Havelaar masuk ke Jawa pada Oktober 1860. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad mengulas buku itu dalam edisi 27 Oktober 1860. Sepenggal ulasannya berupa pujian kepada hasil kerja Multatuli. "Apa yang ia tulis telah mendapatkan tempat terhormat di antara harta yang berharga daripada kesusastraan kita," tulis Herman des Amorie van der Hoeven, redaktur surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad seperti dikutip Willem Frederik Herman dalam Multatuli yang Penuh Teka-Teki . Tahu dari Guru Sirkulasi Max Havelaar mendorong perubahan secara bertahap di Hindia Belanda. "Boleh dikatakan bahwa sejak tahun 1860 muncullah suatu generasi baru dalam kalangan pegawai BB ( Binnelaand Bestuur atau pegawai negeri Hindia Belanda berkebangsaan Belanda, red .) yang diutus dari Belanda. Mereka hampir semua pernah membaca buku tersebut, mereka hampir semua kurang lebih terpengaruh oleh ide-idenya," ungkap Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia . Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan untuk memperluas pendidikan untuk kalangan anak negeri. Sekolah didirikan, lalu muncullah kaum melek huruf latin. Mereka juga mampu berbahasa Belanda. Dan pada akhirnya, mereka mengenal Max Havelaar . Generasi ini bersambungan hingga awal abad ke-20. Jassin sebagai generasi kelahiran 1917 memperoleh pendidikan cukup baik. Ayahnya gila baca. Begitu pula dirinya. Dia pertama mengetahui Max Havelaar dari M.A. Duisterhof, guru sekolah dasarnya (dulu disebut Hollandsch-Inlandsche School). Duisterhof membacakan sebagian cerita dalam Max Havelaar kepada murid-muridnya di kelas. Antara lain penggalan pidato Max Havelaar kepada orang-orang di Lebak dan romansa Saijah dan Adinda. “Meskipun kami sebagai anak kelas lima belum mengerti segalanya, kami merasa pidato dan cerita itu bagus sekali karena keindahan bunyi dan irama dan terutama karena pandainya kepala sekolah kami membacakannya,” kenang Jassin dalam “Saya dan Max Havelaar”, termuat di Horison , November 1973. Sejak itu nama Multatuli bermukim di benak Jassin. Menurutnya, Multatuli menulis dari rasa keadilan yang dimengerti oleh setiap orang. “ Max Havelaar bukan saja suatu dokumen sejarah tapi juga suatu gagasan terhadap keburukan-keburukan yang terasa aktuil dalam setiap masyarakat,” kata Jassin. Karena muatan termaksud, Jassin menduga bahwa Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial di mana dia juga bekerja di dalamnya, enggan menerjemahkan dan menerbitkan Max Havelaar . Tidak Layak dan Raib Begitu Indonesia merdeka, sentimen anti-Belanda menguat. Tapi tidak pada Max Havelaar . Bakrie Siregar, sastrawan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), memelopori penyaduran sejumlah bagian cerita itu.   Tapi selama lebih dari satu abad usia Max Havelaar , ia belum pernah diterjemahkan dan diterbitkan secara utuh dalam bahasa Indonesia.   D.N. Aidit, ketua CC PKI, pernah menyebut alasan mengapa Max Havelaar belum ada terjemahannya. “Ada kawan-kawan yang berpendapat bahwa karya-karyanya tidak bisa dimasukkan ke dalam sastra Indonesia karena ditulis dalam bahasa asing, bahasa Belanda,” kata Aidit dalam pidato bertajuk “Kapan Ronggowarsito dan Multatuli Diterjemahkan", 1 September 1964. Aidit menekankan pentingnya penerjemahan Max Havelaar. “Multatuli dalam karya-karyanya mengungkapkan tema-tema Indonesia dan ia menulis dengan kecintaan yang besar kepada rakyat Indonesia,” kata Aidit. Dia menyeru kepada para sastrawan untuk jangan bersikap pasif terhadap karya Multatuli. Kemudian para sastrawan menyambut seruan itu. Tapi sayang hasil terjemahan mereka tak pernah terbit. “Karena tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan,” catat Horison , November 1973. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, juga pernah menyelesaikan terjemahan Max Havelaar . Tapi manuskrip terjemahan itu raib ketika Pram diasingkan ke Pulau Buru saat Orde Baru berkuasa. Terjemahan Laris Jassin menyambung segala ikhtiar penerjemahan orang-orang sebelumnya. Masanya pun klop. Pemerintah Indonesia-Belanda menyetujui beberapa kesepakatan budaya ketika itu. Jassin pun memperoleh subsidi dari pemerintah Belanda untuk menerjemahkan Max Havelaar. Jassin mengaku menerjemahkan Max Havelaar dengan nikmat. “Saya menikmati bahasa dan gayanya, pikiran-pikiran, dan rasa kemanusiaannya, saya geli membaca tingkah Droogstoppel (salah satu tokoh dalam Max Havelaar, red. ) yang sok pintar dan uraian-uraian ‘logikanya’ yang kontradiktoris dan saya turut merasakan dengan Max Havelaar yang dipersalahkan, yang berjuang untuk hak dan keadilan,” terang Jassin. Kesulitan menerjemahkan tentu ada. Jassin tak memungkiri. Dia memang fasih berbahasa Belanda. Tapi Max Havelaar mengandung kata-kata dan idiom dari masa seabad silam. Banyak kata dan idiom sudah tak terpakai lagi pada masa dia menerjemahkan. Dia harus menyesuaikan semua itu agar terjemahan bisa masuk ke pembaca semasa.      "Saya sebisa-bisanya mempergunakan bahasa Indonesia percakapan dengan kata-kata yang diambil dari dialek Jakarta, sebab Multatuli mempunyai gaya yang paling tepat dapat dinyatakan dengan bahasa pergaulan Indonesia biasa," kata Jassin. Contoh kata-kata terjemahan itu antara lain: konyol, brengsek, melotot, ngeluyur, dan setan alas. Selain dialek Jakarta, Jassin menyertakan pula khazanah kata Melayu dan Minangkabau dalam penerjemahan, seperti kata memiuh, belia, kakas (keras), menghala (menuju atau mengarah), menggalakkan (mendorong), peluang, dan sebati (inheren). Jassin mendiskusikan terjemahannya dengan A. Teeuw, pakar sastra Indonesia dari Universitas Utrecht. Jassin fasih berbahasa Belanda, tapi tetap meminta orang lain mengoreksi kesalahannya. Ini terungkap dalam suratnya kepada Teeuw, 16 Februari 1972. "Syukur sekali saudara sudi membacanya dan membandingkannya dengan aslinya, sehingga dapat dihindarkan beberapa kesalahan menyolok karena kekurangtelitian dan kadang-kadang juga kekurangmengertian dalam bahasa Belanda," tulis Jassin dalam Surat-Surat 1943 – 1983. Terjemahan Jassin diterbitkan oleh Djambatan. Hasilnya laris manis. Lima ribu eksemplar cetakan pertama pada pertengahan 1972 habis terjual. Atas kerjanya itu, Jassin memperoleh undangan Panitia Inti Persetujuan Kebudayaan untuk bertamu ke Belanda pada September 1972. Sesampai di Negeri Belanda, Jassin bekerja mendokumentasikan catatan-catatan sastra Indonesia yang tersimpan di badan arsip dan perpustakaan setempat. Dia juga mendapat kabar bahwa karya terjemahannya masuk nominasi penghargaan Martinus Nijhoff. Martinus Nijhoff adalah penghargaan yang diinisiasi oleh Prins Bernhard Fonds untuk kategori terjemahan puisi, drama, atau prosa yang istimewa karena nilai sastranya. Dan Jassin akhirnya terpilih sebagai pemenangnya. Di Indonesia, terjemahan Jassin terus mengalami cetak ulang tiap dekade. Sekarang sejumlah penerbit menerjemahkan ulang Max Havelaar dengan bahasa yang lebih bisa ditangkap generasi sezaman. Tapi mereka tetap menaruh terjemahan Jassin di tempat terhormat, sebagai pembanding atau rujukan utama terjemahan mereka.

  • Sukarno Cemas Bu Fat Hilang di Cipanas

    MESKI kunjungannya ke Amerika Serikat pada 1956 secara umum menyenangkan, Presiden Sukarno menyimpan kegelisahan dalam kunjungan itu. Pasalnya, di Rumahsakit Saint Carolus, Jakarta saat itu Ibu Negara Fatmawati sedang terbaring tak berdaya. Pendarahan hebat membuat Fatmawati harus dioperasi. Beruntung, operasi yang dijalani ibu negara berjalan lancar. Fatmawati pun diizinkan pulang beberapa hari kemudian. Untuk memulihkan kondisinya, Bu Fat, sapaan akrab Fatmawati, berencana tinggal di tempat sejuk dan sepi. “Bung Karno segera diberitahu. Mendengar keinginan Bu Fat itu, Bung Karno memerintahkan pihak Istana agar secepatnya membawa Bu Fat ke Istana Cipanas dan tinggal di sana hingga kesehatan Bu Fat pulih kembali,” tulis wartawan Kadjat Adra’I dalam Suka-Duka Fatmawati Sukarno Seperti Diceritakan Kepada Kadjat Adra’i . Fatmawati akhirnya “menyepi” di Istana Cipanas. Putra sulungnya, Guntur Sukarnoputra, menemaninya beberapa waktu kemudian sepulang dari Amerika Serikat mengikuti Sukarno. Sukarno sendiri datang beberapa hari setelah Guntur. “Selama berada di Amerika Serikat, Mas selalu memikirkanmu,” kata Sukarno kepada Fatmawati. Fatmawati tak merespon pernyataan sang suaminya itu. Komunikasi antara keduanya hampir selalu berjalan searah. Fatmawati lebih banyak diam. Luka di hatinya akibat dimadu Sukarno belum sembuh benar. Tiga tahun sebelumnya, 7 Juli 1953, di lokasi yang sama Sukarno menikahi Hartini. “Aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan percintaan kami begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu,” kata Sukarno sebagaimana dikutip Cindy Adams, penulis otobiografinya, dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Pernikahan Sukarno-Hartini menuai kecaman dari para aktivis perempuan. Organisasi-organisasi perempuan seperti Persatuan Istri Tentara (Persit), Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) bahkan sampai menggelar unjuk rasa menolak poligami Sukarno. Meski Fatmawati tak sedikitpun mendendam, permaduan yang dialaminya membuat hatinya terluka. “Jauh di lubuk hati Ibu, sebenarnya Ibu masih sangat mencintai Bung Karno,” kata Bu Fat, dikutip Kadjat. Dia pun banyak menyendiri di Istana Cipanas meski Sukarno sudah berada di sisi. Laku Fatmawati itu membuat Sukarno dan seluruh pengawal serta pegawai Istana Cipanas kaget dan kebingunan keesokan harinya. Mereka semua bingung karena Fatmawati hilang. Kejadian itu membuat Sukarno marah. “Dalimin!” kata Sukarno berteriak memanggil Dalimin Rono Atmodjo, salah seorang komandan regu dalam Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden. “Sekarang aku perintahkan seluruh pengawal, juga semua orang yang ada di sini, mencari Ibu Fatmawati sampai ketemu. Segera laksanakan!” Para pengawal dan pegawai istana pun berpencaran mencari Fatmawati. Semua penjuru kompleks istana diperiksa. Namun, Fatmawati tetap tak ditemukan juga. Dalimin akhirnya mencoba meingat-ingat kebiasaan ibu negara. “Saya punya firasat, Ibu Fat masih di sekitar Istana Cipanas. Karena itu saya lalu pergi ke arah belakang Istana, naik melalui jalan setapak yang kondisinya agak licin,” kata Dalimin, dikutip Kadjat. Di dataran yang agak tinggi Dalimin akhirnya menemukan Fatmawati sedang duduk menyendiri menghadap sungai kecil. Alih-alih melaporkan ke presiden, Dalimin pilih mendekat ke tempat Fatmawati berada. Sapaan dan pemberitahuannya kepada Fatmawati tak sedikitpun mendapat tanggapan. Ibu negara diam seribu bahasa. Tak berapa lama kemudian, Dalimin mendengar namanya dipanggil presiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia pun segera menampakkan diri agar terlihat oleh presiden dan memberi isyarat bahwa orang yang dicari-cari berada di dekatnya. Usahanya itu langsung mendapat balasan acungan jempol dari sang presiden. Dalimin pun menyaksikan adegan saat presiden merayu ibu negara beberapa saat kemudian. Upaya presiden mengajak pulang Fatmawati tak berhasil. Fatmawati berkeras hati tetap tinggal di tempatnya. Hati Fatmawati baru luluh ketika Sukarno mengatakan, “Mas perhatikan Fat masih pucat. Ayolah ikut Mas kembali ke rumah! Mas bimbing ya?” Tangis Fatmawati pun pecah. Tangis Fatmawati itu membuat Sukarno langsung memanggil Dalimin. “Kuperintahkan pengawal membawa kursi ke sini,” kata Sukarno pada Dalimin. “Siap, Pak. Untuk apa, Pak?” “Untuk menandu Ibu Fatmawati!” Ketika Dalimin dan dua anak buahnya kembali beberapa saat kemudian sambil membawa kursi, Sukarno membantu mendudukkan Fatmawati yang masih lemas di kursi itu. Sambil terus menangis di kursinya, Fatmawati lalu ditandu Dalimin dan dua polisi anak buahnya kembali ke istana. “Terlalu banyak kenangan yang Ibu alami dan rasakan, yang jika diceritakan satu persatu serasa tidak ada habisnya,” kata Fatmawati.

  • Kunjungan Pertama Penguasa Belanda ke Indonesia

    Raja Belanda Willem-Alexander tiba di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3). Bersama sang istri, Ratu Maxima, rombongan Kerajaan Belanda tiba sekira pukul 10.30 WIB. Raja dan Ratu Belanda disambut langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana. Pada kesempatan tersebut, Ratu Maxima menerima karangan bunga dari cucu presiden, Sedah Mirah. Mengutip pemberitaan yang dilansir oleh laman milik pemerintah Indonesia setkab.go.id , setelah diperdengarkan lagu kebangsaan kedua negara, presiden dan raja saling mengenalkan para menteri dan delegasi yang mendampingi kunjungan kenegaraan kali ini. Acara lalu dilanjut sesi foto bersama. Kemudian seluruh rombongan menuju beranda Istana Bogor untuk berbincang dan menyampaikan keterangan pers bersama. “Merupakan tanda yang sangat menjanjikan bahwa dua negara yang pernah berada di pihak yang berlawanan dapat menjalin hubungan yang semakin erat dan mengembangkan sebuah hubungan baru berdasarkan rasa hormat, saling percaya, dan persahabatan. Ikatan di antara kita semakin erat dan beragam. Ini sungguh menggembirakan saya,” ungkap Raja Willem. Sementara menurut presiden, Belanda merupakan salah satu mitra penting Indonesia di Eropa. Kedudukan negara itu cukup strategis di bidang perdagangan, investasi, dan pariswisata. “Di kawasan Eropa, Belanda merupakan mitra dagang Indonesia terbesar kedua, mitra investasi terbesar pertama, dan mitra pariwisata terbesar keempat. Saya menyambut baik kunjungan Sri Baginda yang juga disertai pengusaha Belanda dalam jumlah yang besar,” kata presiden. Rencananya rombongan kerajaan Belanda ini akan berada di Indonesia selama empat hari. Meski hanya memiliki waktu yang singkat, ia menyampaikan keinginannya mengenal lebih dalam Indonesia. “Kami akan melakukan yang terbaik untuk bertemu dan berbicara dengan orang sebanyak mungkin,” imbuhnya. Kunjungan Raja Willem ini merupakan kunjungan ketiga penguasa Belanda ke Indonesia pasca proklmasi. Lantas kapan kunjungan pertama penguasa Belanda ke negeri ini? Kedatangan Ratu Bangsa Belanda diketahui pertama kali datang ke Indonesia pada 23 Januari 1595. Diceritakan sejarawan Universitas Leiden Femme Simon Gaastra dalam De Geschiedenis van de VOC , melalui delegasi dagang yang dipimpin Cornelis de Houtman, orang-orang Belanda berhasil mendaratkan kapal layarnya di Banten. Perjalanan itu menjadi pembuka bagi kehidupan baru bangsa Belanda di Hindia. Namun selama 350 tahun petualangan orang-orang Belanda, tidak pernah sekalipun raja ataupun ratu Belanda menginjakkan kakinya di tanah Hindia. Para penguasa dari Eropa bagian barat itu hanya mengandalkan seorang gubernur jenderal, serta menteri-menteri negeri jajahan sebagai kepanjangan tangan bagi segala keperluan mereka akan negeri yang sedang dijajahnya. Bahkan ketika tahun 1945 Republik Indonesia (RI) resmi berdiri, belum ada pemimpin Kerajaan Belanda yang bersedia hadir. Barulah pada masa kepemimpinan Ratu Juliana (1909-2004), Belanda mulai membuka diri kepada Indonesia. Dijelaskan Majalah Tempo 28 Agustus 1971, jalinan kerjasama antara Indonesia dan Belanda dimulai sejak 1966. Pemerintah Indonesia kala itu menerima bantuan dana sebesar 573.300 juta rupiah dari Belanda. Ratu Juliana dan Presiden Soeharto (Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia) Hubungan keduanya semakin harimonis manakala rombongan Presiden Soeharto untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Belanda pada 1970. Lawatan kenegaraan tersebut menjadi salah satu momen terpenting dalam sejarah hubungan kedua negara. Sebagai balasan dari kunjungan itu, Ratu dan Raja Belanda pun datang ke Indonesia pada 26 Agustus 1971. “Permadani merah sehalus beludru dan bunga-bunga anggrek juga harus semerbak akan menyambut Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard pada saat pasangan tamu agung itu menginjakkan kaki di bumi Indonesia,” demikian menurut pemberitaan  Pikiran Rakjat 26 Agustus 1971. Pesawat jet Constellation DC-8 yang membawa Ratu dan Raja Belanda mendarat aman di Bandara Kemayoran pukul 13.00 WIB. Diberitakan Harian Kompas 27 Agustus 1971, ribuan orang datang memadati Kemayoran, termasuk para pejabat pemerintah dan pemuka agama yang hadir menyambut kedatangan Ratu Juliana. Presiden Soeharto bersama ibu negara menyambut langsung keduanya di kaki tangga pesawat. Putri Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti, kemudian menyerahkan sebuah karangan bunga kepada Ratu Juliana. Dari Kemayoran, rombongan bergerak ke Wisma Negara. Iring-iringan mobil yang dijaga begitu ketat tidak mengurangi antusiasme masyarakat untuk melihat Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard. Mereka yang sedari pagi sudah berkumpul akhirnya dapat menyaksikan secara langsung para penguasa Belanda itu menginjakkan kakinya di Indonesia. Ratu Juliana dan Presiden Soeharto (Wikimedia Commons) Di Istana Merdeka, acara dilanjutkan dengan pertemuan santai antara keluarga presiden dan rombongan ratu. Kemudian disusul acara saling tukar tanda mata sebagai kenang-kenangan atas kunjungan tersebut. Untuk Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard, Soeharto memberi empat gelang emas dan ukiran emas buatan Kendari, serta patung garuda buatan Bali. Sementara Belanda memberi benda-benda kristal sebagai hadiah. “Ini adalah untuk pertama kali seorang Ratu (Raja) yang juga memegang tampuk pimpinan pemerintahan dari Keluarga Oranje (Huis van Oranje) mengadakan kunjungan ke Indonesia, sejak hubungan Indonesia-Belanda hampir 375 tahun yang lalu,” tulis Pikiran Rakjat . “Baik kalangan resmi Belanda maupun Indonesia melihat kunjungan Ratu Juliana ke Indonesia ini sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam proses saling dekat mendekati dari kedua bangsa.” Safari Ratu Selama berada di Indonesia, Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard berkunjung ke banyak tempat. Keduanya pergi ke Kebun Raya dan Istana Bogor, Bandung, Kawah Tangkuban Parahu, Yogyakarta, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Tampaksiring, Ubud, dan beberapa objek wisata di Bali. Selain tempat wisata, Ratu dan Raja Belanda juga mengunjungi tempat-tempat penampungan anak, rumah penyandang disabilitas, dan tempat-tempat sosial lainnya. Menurut Pikiran Rakjat 27 Agustus 1970, mereka bahkan menyempatkan waktu berziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata dan Pemakaman Belanda di Menteng Pulo. Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard di Tangkuban Perahu, Jawa Barat ( fineartamerica.com ) Sebelum melanjutkan safari ke beberapa tempat di luar Jakarta, Jumat pagi, 27 Agustus 1970, pasangan Tamu Agung dari Belanda itu melakukan kunjungan ke Universitas Indonesia. Mahasiswa-mahasiswa dari seluruh Jakarta diperkenankan untuk hadir dan mendengarkan pidato dari sang ratu. Rektor bersama Dewan Mahasiswa UI kala itu menyambut kedatangan mereka setiba di kompleks kampus. “Jika kalian masih muda dan sudah tidak percaya pada hari-hari esok, itu tidak baik. Demikian pula, kalau kalian sudah lanjut usia, tapi tidak lagi percaya akan masa depan, itupun suatu kekeliruan,” ucap Ratu Juliana sebagimana diberitakan Harian Kompas 28 Agustus 1971. Rombongan ratu tiba di Bandung pukul 16.22 (29/08) dari Bogor. Mereka baru saja menyelesaikan kunjungan di Istana dan Kebun Raya Bogor. Di Bandung, ratu disambut oleh Walikota Bandung R. Otje Djunjunan dan Ketua DPRD Kodya Bandung Irawan Sarpingi. Keduanya mengenakan pakaian adat Sunda. Rombongan lalu diarahkan ke Kantor Gubernuran. Di Kantor Gubernuran, Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard menyaksikan pertunjukan tari dan pawai kesenian khas Priangan yang dibawakan oleh para seniman dari kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Ratu terlihat senang melihat berbagai sajian yang dipersiapkan pemerintah kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat Solihin GP. Namun tidak sedikit masyarakat yang kecewa karena tidak sempat bertatap muka dengan rombongan tamu agung dari Belanda itu. “Masyarakat Bandung banyak yang kecewa karena ternyata Ratu Juliana tidak melewati jalan di mana mereka menunggu sejak siang. Sementara itu masyarakat yang berjejal di sepanjang jalan yang dilalui ratu juga banyak yang menyatakan rasa tidak puasnya karena mobil ratu dan rombongan dijalankan terlalu cepat,” tulis Pikiran Rakjat 30 Agustus 1970. Ketika berada di Bandung, ratu menyempatkan waktu mengunjungi Tangkuban Parahu di Subang, Jawa Barat. Keesokan harinya (30/08) rombongan Ratu Belanda sudah berada di Yogyakarta. Pesawat Jet Fokker dari Bandung yang membawa ratu diterima langsung Sri Sultan Hamengkubuwono di Bandara Adi Sucipto. Dari sana, rombongan langsung bergerak menuju Gedung Agung. Ratu Juliana di Bali ( spaarnestadphoto.nl ) Sama seperti di Jakarta dan Bandung, di Yogyakarta pun rakyat telah berkumpul di sepanjang jalan untuk memberi sambutan secara langsung kepada Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard. Malam harinya, jamuan makan telah disiapkan Sri Sultan di Gedung Kepatihan. Kemudian dilanjutkan dengan pameran pakaian pengantin khas keraton Yogyakarta dan Solo. “Selasa sore tamu negara beserta rombongan meninjau Candi Borobudur dan Selasa malam menyaksikan Sendra Tari Ramayana di Prambanan. Ratu Juliana akan berada di Yogyakarta hingga Rabu untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Bali sebagai tahap terakhir kunjungan kenegaraan di Indonesia,” tulis  Pikiran Rakjat edisi 1 September 1971.

  • Repatriasi Artefak Indonesia dan Virus Dekolonisasi

    SUDAH 189 tahun keris milik Pangeran Diponegoro berada di Belanda. Kini, keris itu akhirnya dikembalikan pemerintah Kerajaan Belanda kepada Indonesia pada Selasa (3/3/2020) pagi waktu Den Haag. Penyerahan keris dilakukan Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Ingrid van Engleshoven dan Direktur Nationaal Museum van Wereldculturen Stijn Schoonderwoerd kepada Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja . Setelah itu keris Pangeran Diponegoro itu diserahkan lagi ke Museum Nasional, Kamis (5/5/2020). Keris itu sempat dinyatakan hilang hingga akhirnya ditemukan dan diidentifikasi tim riset Belanda. Pada 23-24 Februari 2020, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid bersama sejarawan Sri Margana dan Pemimpin Redaksi Historia Bonnie Triyana mengecek dan mengonfirmasi keris itu di Den Haag sebelum resmi diserahterimakan ke pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). “Jadi kita ke sana sebagai semacam tim yang diminta untuk melakukan review dan konfirmasi, apakah kesimpulan yang dibuat tim riset Belanda sudah benar atau tidak,” ujar Sri Margana kepada Historia. Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda Bukan hanya sebilah keris kondang itu. Mereka juga menjajaki rencana repatriasi ribuan artefak Indonesia lainnya yang masih tersebar di sejumlah museum Belanda. Keris milik Pangeran Diponegoro yang dikembalikan Belanda ke Indonesia (Foto: rijksoverheid nl) Upaya repatriasi kali ini sedikit berbeda dari yang sudah digulirkan Desember 2019. Saat itu informasi sejarah sekira 1.500 benda yang dikembalikan Museum Nusantara di Delft belum semuanya terdata. Pasalnya pengembalian barang-barang itu berkaitan dengan gulung tikarnya museum tersebut. “Sesuai perundingan dengan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, repatriasi nanti bukan semata-mata pengembalian. Tapi ada riset terlebih dulu untuk mendapatkan wawasan pengetahuan yang jelas. Baik itu asal-usul bendanya, sampai soal sebab-musabab benda itu bisa sampai di Belanda,” timpal Bonnie. Gegara Macron Wacana dan inisiasi repatriasi seabrek artefak Indonesia yang masih terebar di sejumlah museum, di antaranya Rijksmuseum di Amsterdam dan Nationaal Museum van Wereldculturen di Rotterdam, datang dari pemerintah Belanda. Gara-garanya wabah “virus” dekolonisasi yang dipicu pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017. Muncullah reaksi dari beberapa negara Eropa lainnya yang bertindak sebagai kolonialis di masa lalu. “Iya, wacana repatriasi kali ini datang dari Belanda karena di Eropa muncul banyak desakan mengenai repatriasi benda-benda budaya milik negara-negara koloni, baik itu Prancis, Inggris, Belanda,” lanjut Sri Margana. Baca juga: Belanda Kembalikan Ribuan Benda Bersejarah Macron mencetuskan isu dekolonisasi itu berlandaskan agenda membuka lembaran baru dalam hubungan internasional di kawasan Afrika. Salah satu poinnya adalah pernyataan bahwa benda-benda bersejarah Afrika sudah semestinya dikembalikan para mantan kolonialis. Macron pribadi menjanjikan Prancis mengembalikannya dalam jangka waktu lima tahun.  “Warisan Afrika tak boleh hanya eksis dalam koleksi-koleksi pribadi dan museum-museum Eropa. Warisan Afrika mestinya tidak hanya dipamerkan di Paris, namun juga di Dakar, Lagos, dan Cotonou. Pengembalian artefak-artefak ini akan jadi pekerjaan dan kemitraan ilmu pengetahuan dan museum yang besar,” cetus Macron dalam potongan pidatonya, dikutip situs pemerintah Prancis, Élysée , 28 November 2017. Dakar, Lagos, dan Cotonou merujuk pada kota-kota besar di Senegal, Nigeria, dan Benin. Tekanan terhadap negara-negara Eropa lain yang di masa lalu ongkang-ongkang kaki menguasai Afrika mengemuka. Terutama setelah pidato Macron dipublikasikan lebih luas oleh akademisi Senegal Felwine Sarr dan sejarawan Prancis Benedicte Savoy dalam artikel bertajuk “ Rapport Sur la Restitution du Patrimoine Culturel Africain ” pada 23 November 2018. Presiden Prancis Emmanuel Macron (tengah) kala menggaungkan isu dekolonisasi di Universitas Ougadougou, Burkina Faso, 28 November 2017 (Foto: elysee.fr ) Beberapa reaksi positif bermunculan bak jamur di musim hujan. Jerman misalnya, yang menyimpan banyak artefak jarahan dari Namibia, Togo, Kamerun, hingga Tanzania. Pada awal 2019 Ethnologisches Museum Berlin membuka pintu kerjasama tim riset Tanzania dari Universitas Dar es Salaam dalam sebuah proyek berbagi pengetahuan sejarah. Belgia, tempat Musée Royal de I’Afrique Centrale di Tervuren memiliki banyak artefak asal Kongo, mulai berkenan membuka diri, meski belum menyatakan mau mengembalikan. Sebelumnya mayoritas dari sekira 180 ribu koleksi itu disimpan di gudang. Menyusul rampungnya renovasi museum pada Desember 2018, benda-benda asal Kongo itu mulai dipamerkan secara terbuka di ruangan-ruangan khusus. Portugal baru tahap pembahasan di parlemennya. Gagasan repatriasi dimunculkan pada 28 Januari 2020. Inggris memberikan reaksi berbeda. Banyak koleksi artefak asal Afrika Utara dan Afrika Timur tersebar di British Museum di London, Pitt Rivers Museum di Oxford, hingga Victoria & Albert Museum di London. Sayangnya Kementerian Kebudayaan Inggris menolak permintaan repatriasi dari negara-negara asal benda-benda itu. Baca juga: Sepuluh Benda Bersejarah Hasil Repatriasi dari Belanda Keengganan beberapa negara Eropa bisa dimaklumi. Tak serta-merta ingin mengklaim atau memiliki artefak-artefak itu. Namun juga ada kewaspadaan terkait rentannya pengawasan di negeri asal dan potensi lenyap di pasar gelap, sebagaimana juga dikhawatirkan Macron. “Di banyak negara Afrika, kadang para kurator lokal-lah yang mengatur perdagangan barang-barang bersejarah. Karenanya ini adalah pekerjaan besar dan tak boleh ada kelengahan sedikit pun. Karena kalau boleh saya mengatakan, warisan Anda adalah warisan kita semua sebagai warga dunia,” tandas Macron. Pintu Terbuka Belanda sendiri, selain mewacanakan repatriasi benda-benda budaya Nusantara, juga mengembalikan sebuah mahkota raja berbahan tembaga asal Ethiopia dari abad ke-18. Mahkota itu sebelumnya berada di tangan seorang pengungsi Ethiopia, Sirak Asfaw, yang mencari suaka di Belanda empat dekade silam. Asfaw mengaku menemukan mahkota itu di sebuah tas yang ditinggalkan salah satu tamu yang datang ke flat-nya pada 1998. Asfaw enggan segera mengembalikannya lantaran merasa rezim Ethiopia di masa itu justru akan menjualnya, bukan malah melestarikannya. Setelah rezim berganti, dia mengembalikannya ke negeri leluhurnya lewat bantuan Menteri Perdagangan Belanda Sigrid Kaag sebagai kepanjangan tangan pemerintah Belanda. “Senang akhirnya bisa melihat pengembalian mahkota kuno kepada Ethiopia setelah sempat dinyatakan hilang sejak 25 tahun lalu. Pemerintah Belanda mempromosikan perlindungan bagi warisan budaya dunia di bawah perjanjian UNESCO,” kicau Kaag di akun Twitter resminya, @SigridKaag, 20 Februari 2020. Belanda kembalikan mahkota kuno Ethiopia diwakili Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed (Foto: Twitter @SigridKaag) Baca juga: Kisah Benda-Benda Bersejarah Indonesia Dibawa ke Negeri Orang Langkah di atas merupakan salah satu kebijakan pintu terbuka Belanda untuk melakukan repatriasi lainnya, termasuk ribuan artefak Indonesia yang masih tercecer di Negeri Kincir Angin. Sayangnya, lanjut Sri Margono, justru pemerintah Indonesia cenderung pasif menanggapi isu yang sudah bergulir sejak 2017 itu. “Pada pengembalian keris Pangeran Diponegoro, Belanda sudah punya tim provenance research dan kita kemarin hanya mengonfirmasi. Ini menunjukkan ada kehati-hatian. Nah, Indonesia belum punya, kita baru mau menggagas tim itu,” tandas Sri Margana.

  • Sentot Alibasah, Panglima Perang Termuda Pangeran Diponegoro

    PERANG Jawa dimulai pada 1825 dan menjadi perlawanan paling berat yang pernah dihadapi Belanda. Perlawanan Pangeran Diponegoro dan pasukannya itu menyulut semangat perlawanan seorang pemuda 17 tahun yang kemudian menjadi panglima perang. Ia adalah Sentot Alibasah. Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo merupakan putra dari Raden Ronggo Prawirodirdjo III, Bupati-Wadono (kepala bupati) Montjonegoro Timur dengan salah seorang selir. Ibu dari Raden Ronggo Prawirodirdjo adalah puteri Hamengku Buwono I. Jadi, sama seperti Pangeran Diponegoro, Sentot adalah buyut dari Sultan Hamengku Buwono I. Dalam istilah Jawa, hubungan Sentot dengan Diponegoro disebut misan . Menurut sejarawan Peter Carey Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 ,“Sentot” merupakan nama samaran perang atau nama julukan yang berasal dari kata mak sentot yang berarti “terbang” atau “melesat”. Bergabung dengan Diponegoro Soekanto dalam Sentot alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirjo menyebut semangat perlawanan Sentot muncul setelah melihat ngerinya perang yang dilancarkan Diponegoro kepada Belanda. Ditambah lagi, ayah Sentot juga seorang yang keras terhadap kolonial. “Jadi Sentot tumbuh menjadi manusia yang tak sejuk hatinya, seorang yang mengandung dendam kepada Belanda, seorang revolusioner,” sebut Soekanto. Menurut Soekanto, Sentot bergabung dengan barisan Dipo ne goro pada 28 Juli 1826. Sementara Peter Carey menyebut Sentot bergabung dengan Diponegoro pada Agustus 1825 di Selarong. Kala itu usia Sentot baru menginjak 17 tahun. Awalnya, Diponegoro hendak mendidik Sentot menjadi santri. Namun, Sentot tampaknya memang tidak berminat. Ia juga tidak bisa membaca dan menulis. “Sentot tidak bisa membaca maupun menulis dan sejak kecil telah menunjukan rasa malas yang sengit terhadap maksud Diponegoro <…> untuk mendidik Basah ini agar menjadi ‘ulama’,” tulis Justus Heinrich Knoerle dalam jurnalnya seperti dikutip Peter Carey. Pada Agustus 1828, Gusti Basah, salah satu panglima Diponegoro, gugur dalam peperangan. Sebelum meninggal, ia meminta kepada Diponegoro agar yang menggantikannya adalah Sentot. Diponegoro menyetujuinya. Tak lama setelah diangkat sebagai senopati, dalam waktu singkat Sentot telah menunjukan kemampuannya. Pada 5 September 1828, Sentot dikirim ke Progo timur dan berhasil memukul mundur tentara Sollewijn. Beberapa minggu kemudian, peperangan di Bagelen dan Banyumas juga mendapat hasil dan memuaskan. Menurut E.S. de Klerck dalam De Java-oorlog van 1825-1830 , yang dikutip Soekanto, Sentot seringkali memilih penggerebekan sebagai taktik perang. Menggempur sekeras-kerasnya dan penuh tenaga. “Jika Sentot mundur, kemunduran ini terjadi dengan teratur dan kebijaksanaan; tentaranya disebar, sehingga susah menyusulnya dan kerap kali berbahaya, oleh karena tak dapat dipastikan apakah pelarian itu tipu atau tidak; tentara yang memburunya yang formasinya tak tertutup lagi, bisalah menjadi korban!” tulis de Klerck. Kepandaiannya dalam perang gerilya membuat Sentot tak hanya dihormati oleh pasukannya melainkan juga oleh pasukan Belanda. Ia diakui sebagai musuh yang tangguh. “Oleh karena ia sangat pandai dalam peperangan guerilla , berani, dan gilang-gemilang dalam peperangan, ia mendapat nama yang harum dan dihormati oleh kawan dan lawan,” tulis H.P. Aukus dalam Het legioen van Mangkoe Nagoro, seperti dikutip Soekanto. Kejatuhan Sentot Sentot sebagai panglima perang memang tak diragukan lagi. Namun, ternyata urusan uang pajaklah yang kemudian menjatuhkan namanya di depan Diponegoro. Pada Desember 1828, Sentot meminta kepada Diponegoro untuk memimpin seluruh kekuatan pasukannya. Namun tak hanya itu, ia juga meminta untuk mengurusi penarikan pajak secara langsung demi keperluan prajuritnya. Permintaan Sentot ini membuat Diponegoro khawatir karena ia merasa perlu menjamin kebijakan pajak ringan serta tersedianya sandang dan pangan yang murah. “Ia khawatir jika Sentot –yang terkenal dengan gaya hidupnya yang boros– diperbolehkan menggabungkan wewenang pemerintahan dan militer, karena rakyat biasa akan tertindas dan dukungan mereka terhadap perang sucinya akan sirna,” tulis Peter Carey. Diponegoro juga menuliskan keprihatinannya dalam Babad Diponegoro . “Jika ia yang memegang pedang, juga diperbolehkan menggenggam uang, lantas bagaimana? Tidakkah itu membuat terbengkalai?” tulis Diponegoro. Dengan berat hati, Diponegoro akhirnya setuju. Sentot mendapat dua pertiga bagian uang pajak cukai pasar di Kulon Progo dan Bagelen timur. Namun tak lama kemudian, kekhawatiran Diponegoro benar terjadi. Satu kekalahan besar terjadi pada 8 Januari 1829. Kala itu Belanda telah membangun benteng yang baru dan besar di daerah Nanggulan. Namun, Sentot tidak bereaksi cepat karena sibuk dengan urusan keuangan. Ketika Sentot memerintahkan penyerangan, benteng Belanda sudah terlanjur kuat. Pasukan Sentot harus menelan kekalahan. Persoalan pajak juga kemudian berimbas pada ikatan baik antara Diponegoro dengan rakyat. Tanpa kepercayaan rakyat, gerilya Diponegoro tak akan berhasil. Pada September 1829, perlawanan terorganisir di Jawa Tengah selatan berakhir. Sentot akhirnya menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Penyerahannya menimbulkan kontroversi. Ia disebut mengambil keuntungan pribadi dari penyerahan itu. Alasan lain menyebut ia sebenarnya masih ingin menerukan perang. Namun karena kondisi perekonomian rakyat yang semakin memburuk karena perang tak kunjung usai, Sentot memilih menyerah. Di bawah perintah Belanda, Sentot sempat bertugas di Salatiga, Batavia, dan Karawang. Pada 1832, ia dikirim ke Padang untuk membendung pemberontakan para ulama di sana. Namun, bukannya meredam pemberontakan, pihak Belanda curiga bahwa Sentot memiliki hubungan dengan para pemberontak. Ia kemudian ditahan oleh Belanda dan kembali ke Batavia pada Maret 1833. Dari Batavia, pada Agustus 1833 Sentot dikirim ke Bengkulu untuk menjalani masa pembuangan. Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo meninggal dunia di pembuangan pada 17 April 1855 dalam usia 47 tahun.*

  • Wabah Virus Global yang Mengacaukan Sepakbola

    LIMA liga sepakbola paling kompetitif di dunia, Premier League (Liga Inggris), La Liga (Liga Spanyol), Ligue 1 (Liga Prancis), Serie A (Liga Italia), dan Bundesliga (Liga Jerman) turut terimbas bencana virus corona . Sejumlah laga Serie A malah terpaksa ditunda gegara meledaknya jumlah kasus positif terpapar wabah bernama lengkap Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) itu. Sebelumnya, otoritas sepakbola Inggris, Spanyol, Jerman, dan Prancis sekadar melayangkan kebijakan sejumlah laga dimainkan tanpa penonton. Namun yang terbaru, laga big match Arsenal vs Manchester City pada Rabu (11/3/2020) malam di Emirates Stadium, London, terpaksa ditunda. “Premier League menunda pertandingan kami dengan Manchester City pada Rabu malam sebagai langkah antisipasi,” kicau manajemen Arsenal di akun Twitter -nya, @Arsenal , Rabu (11/3/2020). Italia jadi negara keduadi dunia yang paling parah terpapar wabah corona setelah China, negara asal wabah. Perdana Menteri Giuseppe Conte sampai memberlakukan lockdown di seantero “Negeri Pizza” per 9 Maret 2020. Walhasil tidak hanya laga-laga kompetisi lokal, jadwal Liga Champions dan Europa League yang melibatkan tim-tim Italia dan ber- venue di Italia terpaksa ditunda. Virus corona yang kini menjadi wabah global juga berpotensi merecoki jadwal Euro 2020 yang bakal digelar di 12 kota di 12 negara danOlimpiade Tokyo 2020. Bencana ini seolah mengulang sejarah kala wabah Flu Spanyol mendera dunia 102 tahun lampau. Sepakbola dalam Terjangan Flu Spanyol Sampai sekarang belum ada penelitian yang bisa mengungkap di mana ground-zero Flu Spanyol yang terjadi pada 1918, tepatnya di fase terakhir Perang Dunia I (Februari-November 1918). Virus flunya begitu mematikan dan menyebar dengan cepat lantaran penularannya via udara. Mulanya virus itu menyerang tubuh manusia seperti flu biasa, namun lama-kelamaan penderitanya bakal mengalami pneumonia atau infeksi organ pernafasan yang menyebabkan kematian. Disebut Flu Spanyol karena saat itu sejumlah negara yang terlibat Perang Dunia I (Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat)menyensor semua informasi mengenai wabah itu agar tak diketahui publik, utamanya para serdadu yang berperang. Pengecualian hanya Spanyol, di mana negeri di Semenanjung Iberia itu jadi salah satu negara terparah yang terimbas dengan ratusan ribu orang tewas. Oleh karenanya publik global menyebutnya sebagai Flu Spanyol. Merebaknya Flu Spanyol di Spanyol turut meningkatkan keuntungan produsen-produsen disinfektan, Zotal salah satunya (Repro Clinical Infectious Diseases ). Di Spanyol, wabah itu sudah jadi sorotan publik sejak 22 Mei 1918. Dalam artikelnya di Clinical Infectious Diseases, Volume 47 , “The 1918 Spanish Flu in Spain”, Antoni Trilla, Guillem Trilla, dan Carolyn Daer menyebutkan, dari jutaan yang tertular, 260 ribu di antaranya meninggal. Raja SpanyolAlfonso XIII turut jadi satu dari sekian orang yang pertama tertular meski kemudian bisa pulih. Salah satu faktor meledaknya wabah di negeri itu tak lain lantaran sejumlah event sepakbola yang digilai publiknya tak dihentikan. Se lain liga-liga amatir di masing-masing wilayah (La Liga baru hadir 1929) , yang tak dihentikan adalah Copa del Rey alias Piala Raja. Pada edisi 1918, turnamen itu tetap bergulir dengan juaranya Real Unión , yang mengalahkan Madrid FC (kini Real Madrid) 2-0 di stadion Campo de O’Donnell. Para stakeholder sepakbola di Spanyol bukan berarti tutup mata terhadap Flu Spanyol yang mendera saudara-saudara mereka. Andrew McFarland mengungkapkandalam “Building a Mass Activity: Fandom, Class, and Business in Early Spanish Football” yang dimuat Football Fans Around the World, sejumlah klub menggelar laga-laga amal demi menggalang dana bantuan para korban Flu Spanyol. “Contoh terbaik diberikan Atlético de Madrid dan Athletic de Bilbao yang punya kegiatan rutin membantu masyarakat setempat selama wabah berlangsung. Bahkan Athletic de Bilbao beberapakali menggelar laga amal, di mana keuntungan yang didapat dijadikan dana bantuan untuk para keluarga korban di masa sulit itu,” tulis McFarland. Di Inggris Raya, termasuk Skotlandia dan Irlandia, pesatnya penularan Flu Spanyol terjadi seiring pulangnya para serdadu mereka dari palagan di Prancis usai Perang Dunia I. Di Inggris saja tercatat 228 ribu jiwa melayang dan jutaan lainnya positif terpapar, termasuk Perdana Menteri David Lloyd George yang kemudian bisa sembuh. Namun anehnya, sepakbola tidak hanya terus bergulir selama wabah berlangsung namun Inggris malah baru memulai kejuaraan profesional pertamanya. Jumlah peserta Football League First Division edisi ke-45 yang mulai naik level pro bahkan bertambah dari 20 menjadi 22 klub. “Piala FA juga dimulai kembali pada September 1919 dan (mungkin karena ketidaktahuan cara antisipasi dan mencegah Flu Spanyol), nyaris semua pertandingan penuh penonton. Sementara dalam sepakbola wanita, masalahnya lebih kompleks,” ungkap Tim Tate dalam Secret History of Women’s Football . Stadion Stamford Bridge tetap ramai penonton kala final FA Cup 1919-1920 yang dimenangi Aston Villa 1-0 atas Huddersfield Town. (Twitter @thecentretunnel/@GreatestCapital). Sedikit laporan mengenai siapasaja dari dunia sepakbola Inggris yang positif tertular Flu Spanyol, kecuali striker sayap Newcastle United Angus Douglas dan manajer klub Skotlandia Hibernian, Dan McMichael. Keduanya tewas karena Flu Spanyol. Douglas wafat pada 14 Desember 1918 dan McMichael meninggal pada Februari 1919. Di Amerika Latin, virus Flu Spanyol sudah mulai eksis sejak September 1918. Wabah itu dibawa para pelaut yang pulang ke Recife dari perantauan mereka di pesisir barat Afrika. Dengan cepat, wabah itu merambah ke kota-kota besar seperti Rio de Janeiro dan São Paulo. “Dari beberapa sumber disebutkan , kasus-kasus pertama Flu Spanyol di São Paulo berasal dari para pesepakbola amatir asal Rio yang mengunjungi kota (São Paulo). Para pemainnya jatuh sakit di São Paulo pada 9 Oktober, oleh karenanya mereka juga yang menyebarkan penyakitnya ke korban-korban lain di Hotel D’Oeste, di mana tim menginap,” singkap Liane Maria Bertucci dalam artikelnya, “Spanish Flu in Brazil: Searching for Causes during the Epidemic Horror” yang dimuat di The Spanish Influenza Pandemic of 1918-1919 . Puncaknya, sekira 65 persen populasi Brasil positif terpapar Flu Spanyol. Angkakematian di ibukota Brasil,Rio, saja mencapai lebih dari 14 ribu. Satu di antaranya menewarkan Presiden Brasil Francisco de Paula Rodrigues Alves. Bencana nasional itu memaksa otoritas Brasil menunda turnamen Campeonato Sudamericano de Football (kini Copa América) ketiga di tahun itu. Hajatan dengan sistem klasemenitu baru kembali dimainkan pada 1919 di Rio, yang diikuti empat negara: Brasil, Argentina, Uruguay, dan Cile. Copa América  1919 yang akhirnya digelar di Estádio das Laranjeiras di Rio setelah setahun sebelumnya harus ditunda gara-gara Flu Spanyol. (Twitter @ViejosEstadios). Tuan rumah Brasil memenanginya untuk kali pertama dengan catatan dua kali menang dan sekali imbang dalam tiga laga, plus unggul jumlah gol dari runner-up Uruguay meski sama-sama punya lima poin. Gelaran itu jadi hiburan tersendiri setelah Brasil dirundung duka akibat wabah Flu Spanyol yang berhasil mereka atasi. “Gejala Flu Spanyol di Brasil bisa berimbas pada kelainan telinga yang mendengung, kehilangan pendengara n , vertigo, serta kencing dan muntah darah. Pesatnya penyebaran penyakitnya begitu menakutkan,” ujar sejarawan Brasil Pedro Nava, dikutip Laura Spinney dalam Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and How It Changed the World. Pada 1919,Brasil berhasil melaluinya lewat kampanye antisipasi penyebaran Flu Spanyol. Kampanyenya dimulai oleh Carlos Chagas lewat risetnya bersama Oswaldo Cruz Institute. Lewat restu Presiden Venceslau Brás, suksesor Presiden Rodrigues Alves, Chagas merombak birokrasi rumahsakit dan mendirikan lima rumahsakit darurat khusus Flu Spanyolserta 27 klinik serupa yang lebih kecil untuk mengkarantina para pengidap virus Flu Spanyol demi tak menyebarkannya lebih luas. Hasilnya, angka korban tewas berkurang.

  • Teror Van der Plank di Tanah Karo

    TANAH KARO, 5 Maret 1949, segerombolan pasukan Belanda pimpinan Mayor Van der Plank mengadakan gerakan ke daerah Empat Teran (Simpang Empat) . Begitu tiba di Kampung Sigarang-garang, mereka menyatroni beberapa rumah lalu membakarnya. Di tengah aksi intimidasi itu, sebanyak 5 penduduk diberondong peluru. Kelimanya ditembak mati karena tidak mau menunjukan tempat persembunyian gerilyawan Indonesia. “Kelima penduduk yang menjadi korban keganasan Van der Plank tersebut ialah Benih Karo-karo (kepala kampung yang diangkat oleh pemerintah RI), Katan, Menet, Maca, dan Pa Ngaku,” ujar saksi mata Sumbul Ginting, seperti dikutip Letkol (Purn.) A.R. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Tanah Karo Jahe dan Dairi Area. Peristiwa penggerebekan berdarah yang terjadi di Kampung Sigarang-garang tadi bukan hanya terjadi sekali.  Sepanjang paruh pertama 1949, Van der Plank melancarkan serentetan teror ke berbagai kampung di Tanah Karo. Van der Plank memimpin satuan polisi antigerilya (Troopen Intellegence Vor Gerilya/TIVG) yang bertugas memburu pejuang Republik. Namun dalam menjalankan tugasnya, pasukan Van der Plank kerap menyertakan tindakan brutal. Di beberapa tempat, mereka menjarah dan membakar kampung yang disambangi hingga membunuh warga setempat. Berkunjung dan Mengeksekusi Sebulan sebelumnya, tepatnya 18 Februari 1949, Van der Plank menyambangi Kampung Batukarang. Di sana, pasukan Van der Plank mengancam penduduk. Bahkan, seturut dengan catatan harian Djamin Gintings, Komandan Resimen IV Divisi X,beberapa warga ada yang ditembak mati di hadapan seluruh penghuni kampung. Menurut Djamin Gintings, Van der Plank kian beringas seiring dengan pukulan yang dilancarkan pejuang Republik. Dalam memberikan reaksi atas serangan-serangan gerilya pasukan Indonesia, Van der Plank melampiaskannya kepada rakyat. Bukan sekedar mengancam, tapi untuk menanamkan rasa takut nan mencekam Van der Plank tidak segan menembak penduduk.   “Semakin hebat gerakan pasukan kita, Van der Plank pun rupanya semakin mengganas,” tulis Djamin Gintings dalam catatan hariannya berjudul Bukit Kadir yang dibukukan pada 1964. Van der Plank selalu punya kecurigaan bahwa penduduk kampung melindungi ekstrimis Indonesia. Oleh karena itu, untuk membongkar pertahanan rakyat, dia menebar teror lewat aksi semena-mena. Selain itu, sekitar Februari – Maret 1949, Van der Plank menyerukan sayembara: “bahwa setiap anggota intelijen Belanda (NEFIS)  yang dapat menangkap pejuang Republiken diberikan hadiah uang sebesar 1000-50.000 gulden per orang.”  Dengan taktik demikian, Van der Plank dapat memburu gerilyawan dan rakyat pro Republik dengan sekali tebas.    “Banyak anggota-anggota gerakan ditangkap dari desa satu ke desa lainnya oleh TIVG dibawah pimpinan Mayor Van der Plank yang keji itu,” tulis Tukidjan Pranoto dalam Tetes Embun di Bumi Simalungun. Van der Plank “Cuci Tangan” Pada 9 Juni 1949, Van der Plank menggerakan pasukannya dari Kabanjahe ke kampung Kandibata. Tidak seperti biasanya, waktu yang dipilih Van der Plank justru pada saat ramainya penduduk yang pulang dari sawah dan ladang. Setibanya di Kandibata, pasukan Van der Plank beraksi dengan mengepung dan menggerebek beberapa rumah. Beberapa penduduk ditangkap dan dibariskan.  Sebanyak 45 warga Kandibata diinterogasi dengan menayakan nama masing-masing. Dari semuanya hanya 3 orang yang diperintahkan keluar dari barisan. Begitu mereka menyisihkan diri, Van der Plank segera menembaknya hingga mati. Salah seorang yang rebah di tangan Van der Plank itu ialah Selat Purba yang merupakan ayah dari Letnan Riswan Purba. Sementara itu, dua orang lainnya bernama Lenggur Ginting dan Jagut Surbakti. Keduanya merupakan tukang penyadap enau yang sering memberikan air niranya kepada pejuang gerilya TNI Sektor III pimpinan Mayor Selamat Ginting.      Ketika pasukan Van der Plank hendak meninggalkan Kandibata, Van der Plank kembali melontarkan ancaman, “Kalau masih ada penduduk yang membantu gerilya TNI, maka semua penduduk kampung ini akan ditembak mati,” catat Surbakti. Aksi semena-semana Van der Plank mereda jelang persiapan Konferensi Meja Bundar (KMB). Saat itu, kesepakatan gencatan senjata sudah efektif untuk melaksanakan local joint commitee pada Agustus 1949 di Medan. Perundingan di tingkat lokal antara pihak Indonesia dan Belanda diawasi oleh  UNCI, pihak ketiga yang berasal dari Komisi Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Makanya, TIVG yang berada di bawah komando Van der Plank pun tidak berani lagi berlaku semena-mena terhadap rakyat sipil.   Ketika berlangsung local joint commite itulah Letkol Djamin Gintings yang mewakili Tanah Karo untuk kali pertama bersua dengan Van der Plank. Di sela-sela perundingan, Van der Plank sengaja menemui Djamin Gintings yang menginap di Hotel Langkat. Djamin Gintings mengenang sosok Van der Plank sebagai pemilik postur tinggi dan tegap. Van der Plank berusaha menyelamatkan diri sehubungan dengan citra busuknya sebagai penyiksa dan pembunuh sejumlah penduduk di beberapa kampung.     Kepada Djamin Gintings, Van der Plank mengklarifikasi bahwa sebenarnya bukan dia yang menangkapi dan menyiksa atau membunuh penduduk sipil, tetapi itu semua perbuatan pimpinan tentara Belanda yang lain. "(Soal) kebenaran ceritanya hanya dia yang tahu,” ujar Djamin Gintings.

  • Dihabisi Seperti Anjing Gila

    KIRA-kira dua ratus meter dari jalan antara Kaliurang dan Pakem yang menikung ke kanan. Banyak pohon bambu. Sebuah jurang. Dari pinggiran yang tertimbun daun-daun tampak Kali Kuning mengalir. Pagi 21 Desember 1948 pasukan Korps Speciale Troepen (KST atau Korps Pasukan Khusus) di bawah komando Letnan Rudy de Mey dengan jip melaju ke arah tingkungan. Di situ mereka menembak Masdoelhak Nasoetion, Soemarsono dan seorang Jawa lain yang tidak dikenal. Yang terakhir ini penjaga rumah Menteri, dr. Soekiman, yang kelak menjadi perdana menteri. Dua lainya, Tje Kiemas dan Dirdjoatmodjo selamat pada serangan ini. Kiemas yang luka akibat tiga peluru jatuh ke jurang dan tertahan tanah yang empuk. Dirdjoatmodjo meskipun terkena peluru, berhasil menyelamatkan diri. Mereka berdua kemudian dipanggil polisi militer untuk bersaksi.

  • Benda-Benda Peninggalan Pangeran Diponegoro

    PEMERINTAH Belanda telah resmi mengembalikan keris pusaka Kiai Nogo Silumanmilik Pangeran Diponegoro ke Indonesia. Keris tersebut dibawa Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja dan diserahkan kepada Kepala Museum Nasional Indonesia Siswanto pada Kamis, 5 Maret 2020. Keris Kiai Nogo Siluman sempat dinyatakan hilang. Melalui riset bertahun-tahun, keris ini akhirnya bisa ditemukan, diidentifikasi, dan dipulangkan ke Indonesia. Pulangnya keris Kiai Nogo Silumanmendapat apresiasi dari banyak pihak. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan pemerintah akan memberikan kesempatan kepada publik untuk ikut menikmati kebahagiaan ini. “Kami sangat berterimakasih dan berharap pihak Museum Nasional menjaga pusaka ini, betul-betul memastikan keamanan seluruh benda berharga ini,” katanya. Keris Kiai Nogo Silumanmelengkapi koleksi benda-benda sang pangeran Jawa yang saat ini tersebar di beberapa tempat di Indonesia –dua di antaranya tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Berikut benda-benda milik Pangeran Diponegoro yang digunakan semasa hidupnya. Tombak Kiai Rondhan Tombak Kiai Rondhan. (Koleksi Museum Nasional). Sejarawan Peter Carey menyebut tombak Kiai Rondhan menjadi pusaka yang dipercaya Diponegoro mampu melindunginya dari bala. Kehilangan benda tersebut memberinya isyarat timbul kesulitan dan bahaya. Buktinya, setelah tombak itu tak lagi di sisi Diponegoro, percobaan penangkapan atas dirinya kian gencar dilakukan pasukan Belanda. Tombak Kiai Rondhan hilang pada 11 November 1829, tepat di hari ulang tahun ke-44 Diponegoro. Diceritakan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 , Diponegoro disergap pasukan gerak cepat ke-11 pimpinan Mayor A.V. Michiels di pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, Jawa Tengah. Diponegoro bersama pengikutnya hampir tertangkap, namun berhasil lolos dengan meninggalkan luka di kakinya. Situasi panik membuat beberapa barang miliknya tertinggal: beberapa ekor kuda, tombak pusaka Kiai Rondhan, dan peti pakaian. Dia tak mungkin kembali untuk mengambilnya. Bersama kedua punakawannya, Batengwareng dan Roto, Diponegoro memilih mengembara di hutan-hutan wilayah Bagelen barat. “Hilangnya benda itu sangat berpengaruh terhadap dirinya dan ia menganggapnya sebagai suatu tanda dari Yang Maha Kuasa,” ujar Carey. Tombak Kiai Rondhan dibuat di Yogyakarta pada abad ke-19. Pusaka ini memiliki panjang 98 cm dan diameter 3,2 cm. Batangnya berbahan kayu, berbentuk silinder yang mengecil hingga ke leher tombak. Terdapat lempengan emas melingkar yang memisahkan bahan kayu dan lilitan kawat sampai ke leher tombak. Antara bagian batang dan mata tombak terdapat ukiran dengan balutan emas dan dua batu mulia (semula empat buah). Bilah tombak berbentuk segitiga dengan bahas besi. Tombak Kiai Rondhan menjadi salah satu “hadiah kemenangan” yang dibawa Kolonel Jan-Baptist Cleerens untuk diberikan kepada Raja Willem I. Pada 1976, saat lawatan Ratu Julian ke Indonesia, tombak itu dikembalikan. Kini, pusaka tersebut tersimpan di Museum Nasional lt 4, koleksi emas dan keramik. Keris Kiai Ageng Bondoyudo Tombak Kiai Bondoyudo dalam lukisan Diponegoro karya A.J. Bik ( geheugen.delpher.nl ) Keris Kiai Ageng Bondoyudo disebut-sebut sebagai pusaka paling favorit Pangeran Diponegoro. Keris ini bahkan menemani sang pangeran ke liang lahatnya. Peter Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai “Paduka Tempur Tanpa Senjata”. Namun dalam alam mistis Jawa, Kiai Bondoyudo adalah penguasa semua roh di Cilacap yang putrinya menikah dengan roh lelaki dari keraton Ratu Kidul. Menurut Babad Diponegoro , keris Kiai Ageng Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lain: keris Kiai Sarutomo, keris Kiai Abijoyo, dan tombak Kiai Barutobo. Keris Kiai Sarutomo diperoleh dari Ratu Kidul ketika Diponegoro bersemedi di Cepuri Parangkusumo. Menurut K.H. Muhammad Sholikhin dalam Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa, Ratu Kidul mengingatkan Diponegoro agar tak menerima jabatan apapun yang diberikan Belanda. “Setelah suara itu hilang, jatuhlah sinar dari langit ke depan Pangeran Diponegoro. Ternyata sinar putih itu membawa senjata cundrik. Pusaka itu diberi nama Sarotama (Sarutomo). Dengan cundrik inilah, semangat Pangeran Diponegoro semakin membara,” tulis Sholikhin. Keris Kiai Abijoyo adalah warisan dari ayah Diponegoro tatkala dirinya diangkat menjadi Raden Ontowirjo pada September 1805. Sedangkan tombak Kiai Barutobo dibawa Ngusman Ali Basah, panglima resimen pengawal pribadinya, Bulkio. Diponogoro membawa keris Kiai Ageng Bondoyudo ke pengasingan di Manado kemudian Makassar. Berdasar lukisan Diponegoro karya A.J. Bik, yang dibuat tahun 1830 di Batavia, terlihat sang pangeran membawa serta keris Kiai Ageng Bondoyudo di pinggangnya. Informasi tentang keris ini juga tercatat dalam jurnal perwira Jerman kelahiran Luxemburg yang menemaninya ke pengasingan, Justus Heinrich Knoerle (1796-1833). “Sore ini (27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: ‘Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengkubuwono III) bermaksud menyerahkannya (sebagai) tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels), dia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris itu karena dia tahu keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda’.” Keris yang dibuat pada tahun kedua Perang Jawa ini lebih sebagai jimat dibandingkan senjata tempur. Pelana Kuda Kiai Gentayu Pelana Kuda ( museumnasional.or.id ) Pelana kuda milik Diponegoro tertinggal bersama kuda tunggangannya saat upaya pelarian di wilayah pegunungan Gowong. Dudukan bagi para penunggang kuda ini, kata Peter Carey, digunakan Diponegoro selama masa Perang Jawa. Sementara sumber lain menuturkan pelana kuda tersebut tidak hanya digunakan saat masa perang tapi juga dalam kesehariannya. Pelana kuda Kiai Gentayu menjadi satu dari dua bukti kemenangan Belanda di Jawa. Bersama tombak Kiai Romdhan, pelana ini dibawa sebagai hadiah bagi penguasa Belanda. Kedua pusaka, ditambah keris Kiai Nogo Siluman, disimpan di bagian barang antik di istana Den Haag. Pelukis kenamaan Raden Saleh pernah melihat dan diminta untuk memberi deskripsi bagi benda-benda tersebut. Pelana ini kemudian dipindah ke Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem. Di bawah ketentuan “Cultural Accord” yang ditandatangani tahun 1969, pelana kuda Kiai Gentayu dan tombak Kiai Rondhan dikembalikan ke Indonesia pada 1976. Kini tersimpan di ruangan yang sama dengan tombak Kiai Rondhan. Menurut informasi yang tertulis dalam buku terbitan Museum Nasional, Treasures of the National Museum Jakarta , bahan dasar pelana adalah kulit, kain, dan besi pada bagian pijakan kaki. Dudukan pelana terbuat dari kain berlapis dengan ukuran panjang 80 cm dan lebar 68 cm. Pada bagian depan dudukan kain terdapat kantong kecil berukuran kurang lebih 10 cm. Peti Pakaian Menurut Wardiman Djojonegoro dalam Sejarah Singkat Diponegoro, peti pakaian ini ikut tertinggal bersama dua benda lainnya, tombak dan pelana kuda. Selama masa pelariannya, Diponegoro membawa beberapa potong pakaian yang tersimpan di dalam sebuah peti. Peter Carey menyebut pakaian-pakaian yang dibawa oleh Diponegoro itu sebagai: “pakaian suci untuk perang”. Dari lukisan yang dibuat Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” (1857), dapat diketahui pakaian yang digunakan sang Pangerang. Di sana terlihat Diponegoro memakai pakaian berlapis. Terdapat sorban, jubah, lilitan kain di pinggang untuk menyimpan senjata, celana, dan lapisan kain lainnya. Namun bagi Mayor A.V. Michiels, komandan gerak cepat pasukan Belanda, isi di dalam peti pakaian tak terlalu berharga. Benda-benda itu tak bisa menjadi persembahan bagi kerajaan Belanda. “Bukan suatu kumpulan pakaian yang mengesankan,” ujar Michiels. Keris Kiai Abijoyo Keris Kiai Abijoyo diwariskan oleh ayahnya, Sultan Hamengkubuwono II, saat Diponegoro menginjak usia dewasa. Ketika itu Diponegoro mendapat gelar Raden Ontowirjo, sebagai tanda kesiapannya memerintah kerajaan. “Dia telah mewarisi juga sebilah keris, Kiai Abijoyo, dari ayahnya, barangkali tatkala ia diangkat sebagai Raden Ontowiryo pada September 1805,” tulis Carey. Menurut Carey, Diponegoro sadar bahwa keris pemberian ayahnya itu menjadi bukti bahwa dia sepenuhnya bertanggung jawa atas tugas, serta bukti kekuasaan ganda berupa Ratu Tanah Jawa (Raja Jawa) dan sebagai seorang prajurit di tanah kelahirannya. Keris Kiai Abijoyo merupakan satu dari tiga keris yang dilebur Diponegoro untuk membuat keris Kiai Kiai AgengBondoyudo. Pusaka Lain Pangeran Diponegoro memiliki koleksi besar senjata pusaka berupa keris dan tombak. Sebagian besar dibagi-bagikan kepada anggota keluarga dekatnya. Terutama putra dan putri dari sejumlah pernikahannya. Diponegoro memberikan keris Kiai Bromo Kedali (cundrik) dan tombak Kiai Rondan kepada Pangeran Diponegoro II; keris Kiai Habit (Abijoyo?) dan tombak Kiai Gagasono kepada Raden Mas Joned; serta keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi kepada Raden Mas Raib. Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo diberikan kepada Raden Ayu Mertonegoro; keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo kepada Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono kepada Raden Ajeng Impunl, serta tombak Kiai Bandung kepada Raden Ajeng Munteng. Peter Carey mencatat, berdasarkan babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki sebilah keris pusaka keraton, Kiai Wiso Bintul. Namun Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya karena ada ramalan yang mengatakan: barang siapa memiliki keris itu akan memerintah di Yogyakarta.

bottom of page