Hasil pencarian
9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Api di Jawa Merembet ke Papua
MAHASISWA Papua di Surabaya diteriaki kata "monyet" karena dituding melecehkan bendera Merah Putih. Umpatan tersebut dilontarkan seorang oknum TNI di depan asrama mahasiswa Papua dan terekam dalam video yang kini menjadi viral. Buntutnya jadi panjang: Kantor DPRD Manokwari dibakar. Kerusuhan pun mulai menjalar ke Abepura, satu-satunya jalan menuju ke Kabupaten Jayapura. Belajar dari sejarah, kerusuhan serupa juga pernah terjadi, bahkan berujung jadi huru-hara. Pada 1996, kota Abepura mencekam. Peristiwa ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh Papua bernama Thomas Wapai Wanggai. Siapa dia? Thomas Wanggai disebut-sebut sebagai Nelson Mandela-nya orang Papua. Lahir pada 5 Desember 1937, Thomas mendapat pendidikan tinggi bidang administrasi pemerintahan dari Okayama University dan Florida State University. Lantas dia berkidmat sebagai pengajar di Universitas Cenderawasih. Pada 18 Desember 1988, Thomas mendeklarasikan berdirinya Republik Melanesia Barat yang wilayahnya meliputi Papua. Upacara proklamasi itu dilakukan di Stadion Mandala – stadion sepakbola terbesar di Jayapura. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Thomas ditahan oleh aparat keamanan. Pengadilan Negeri Jayapura memvonis Thomas hukuman penjara selama 20 tahun. Thomas sendiri sebagaimana diberitakan Forum Keadilan, 8 April 1996 merasa geram dengan putusan hakim. Dari Lembaga Pemasyarakat Jayapura, dia kemudian dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. Pada 13 Maret 1996, Thomas meninggal di penjara Cipinang secara tidak wajar. Keluarga dan kerabat curiga kalau Thomas dibunuh. Mereka menuduh Kepala Lembaga Cipinang Jakarta terlambat mengirimkan Thomas Wanggai yang sedang sakit keras ke pihak Palang Merah Internasional (ICR). “Mereka juga menuduh soal hilangnya jenazah dari lemari kamar mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta tanpa sepengetahuan keluarga,” tulis Decki Natalis Pigay dalam Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua . Sementara itu, laporan Dennis Blair dan David Philips dalam Peace and Progress in Papua menuliskan penyebab kematian Thomas karena keracunan makanan. Tapi dugaan itu masih belum terbukti secara pasti. Pemerintah Indonesia pun memberikan keterangan yang samar. Kabar meninggalnya Thomas menyebabkan pergolakan di Papua. Pengiriman jenazah Thomas ke Jayapura pada 18 Maret 1996 disambut dengan aksi kerusuhan massa. Menurut Saurip Kadi dalam TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan , aparat menolak keinginan sekelompok warga yang ingin menyemayamkan jenazah Thomas di Kampus Universitas Cendrawasih. Penolakan ini memantik kemarahan masyarakat. Kerusuhan meletus di sepanjang jalan Sentani-Abebura. Sejumlah toko dan kios di pasar Abepura habis dilalap api. Massa melemparkan bom molotov. Ada yang menyobek bendera Merah Putih serta ada pula yang menaikan bendera Bintang Kejora. Decki Pigay mencatat, 4 orang tewas dalam kerusuhan Abepura dari pihak TNI (saat itu bernama ABRI) dan pendatang. Selain itu, sebanyak 25 mobil, 15 sepeda motor, dan puluhan bangunan yang rusak. Untuk mengamankan Abepura, militer terpaksa turun tangan. Pasukan pemukul Kostrad yang beroperasi di wilayah eksplorasi Freeport didatangkan. ABRI mengerahkan kekuatan tambahan meliputi pasukan Batalion 751 Kodam Trikora, Kodam Siliwangi sebanyak 330 personel, Kopassus, dan kesatuan anti huru-hara yang didatangkan dari Makassar. Kodam Trikora yang dipimpin Kepala Staf Brigjen Joni Lumintang mengadakan pertemuan dengan 42 orang tokoh masyarakat dan pejabat setempat. Sedikitnya, 100 orang ditahan, sebanyak 20 orang terbukti sebagai dalang kerusuhan. Sejak itu setiap malam berlaku perintah tembak di tempat bila ada yang keluar di atas pukul 22.00. “Kematian misterius itu meninggalkan luka di hati bangsa Papua hingga kini,” tulis Tabloid Jubi , 27 Mei 2011.*
- Sarina, Potret Keluarga Indo Setelah Keruntuhan Hindia Belanda
SARINA hanya bisa pasrah. Pada 1942, suaminya ditahan di kamp Jepang. Sarina terpaksa berpisah dengan orang yang dicintainya itu. Bukan hanya itu, rumah mereka pun diambil paksa. Sarina lalu hidup menggelandang. Pendudukan Jepang dengan semboyan “Asia untuk Orang Asia” membuat orang-orang Eropa ditangkapi lalu dimasukkan ke kamp. Putihnya kulit tidak lagi jadi kebanggaan tapi justru membawa kesialan. Tak terkecuali bagi keluarga ras campur. Para perempuan pribumi yang tinggal bersama lelaki Eropa harus terpisah dengan keluarga mereka. Asal-usul keturunan memainkan peran besar bagi selamat-tidaknya seseorang karena politik rasial digunakan Jepang dengan orang Asia (Jepang) berada di strata tertinggi. Jepang menciptakan perbedaan besar antarkelompok masyarakat khususnya orang Eropa, campuran, dan Asia. Untuk bisa membedakan antara Belanda murni dan campuran, Jepang mengadakan wajib pencatatan. “Di sini status si ibu yang pribumi punya peran besar dalam keselamatan si anak yang tadinya berstatus Eropa,” kata Reggie Baay, penulis Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda , kepada Historia. Karena berdarah Asia, para nyai tidak diusik dan dibiarkan berada di luar kamp. Keberadaan nyai mendadak jadi sangat penting untuk anak-anak dari hubungan ras campur. Berkat ibu pribumi mereka, anak-anak indo mendapat asal-usul, yaitu bukti bagi keturunan Asia yang dikeluarkan melalui arsip negara. Dengan begitu anak Indo ini tidak dianggap sebagai golongan Eropa. Beberapa anak indo yang berhasil lolos dari penangkapan tetap tinggal di rumah atas perlindungan ibu pribuminya. Status pribumi inilah yang digunakan Nyai Saila, gundik seorang Belgia bernama Eduard, untuk menyelamatkan anak-anaknya yang berstatus Eropa. Kendati Eduard sudah meninggal semasa pendudukan Jepang, Saila tidak lepas hubungan dengan anak-anak indo-Eropanya. Berkat Saila-lah anak-anaknya memiliki asal-usul pribumi dan dibolehkan tinggal di luar kamp. Namun pada praktiknya, pencatatan ini menimbulkan kekacauan lantaran kriteria yang digunakan amat rancu dengan penerapan yang sembarangan. Anak-anak yang lahir dari pasangan campur yang sama, misalnya, bisa dimasukkan dalam kategori yang berbeda. Akibatnya, tak jarang seorang kakak masuk golongan Eropa dan tinggal di kamp sementara adiknya masuk golongan pribumi dan tetap tinggal bersama ibunya. Kemerdekaan juga membawa dampak bagi keluarga ras campur. Sukarno meminta semua orang Belanda secepatnya meninggalkan Indonesia. Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Perancis menceritakan kebingungan warga sipil Belanda yang diusir dari bekas negeri jajahannya. Bekas pemilik perkebunan, importir yang izin usahanya dibekukan, mantan kepala kantor beserta anak buahnya, berkumpul di bar-bar yang masih buka di Jakarta. Ada yang berencana melanjutkan hidup di Australia, Amerika, dan sebagaian kembali ke kampungnya di Belanda. Gelombang repatriasi orang-orang Belanda dimulai sejak 1950-an. Pemulangan dibagi dalam tiga tahap sesuai prioritas: steuntrekkers (golongan tidak memiliki pekerjaan), middenstanders (kalangan menengah), dan vakspecialisten (kalangan tenaga ahli). Dalam pengiriman kembali itu, banyak lelaki Eropa membawa serta pasangan pribumi mereka meski ada juga yang ditinggalkan di Indonesia. Reggie Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda memperkirakan, pada 2008 ada 600 ribu orang indo di Belanda punya garis keluarga dengan perempuan pribumi. “Ada yang melanjutkan hidup di Belanda. Dari merekalah asal-usul Indo di Belanda,” kata Reggie Baay. Sarina salah satu yang ikut pindah ke Belanda pasca-pengakuan kedaulatan. Dia akhirnya berhasil kumpul kembali dengan sang suami setelah perang usai. Suaminya menemukan Sarina dalam keadaan serba kekurangan. Dengan segala upaya mereka membangun ulang hidup. Pada 1955, Sarina dan suaminya berangkat ke Belanda. Mereka tinggal di Desa Bilthoven, Provinsi Utrecht. Sepeninggal suaminya, Sarina hidup dalam kesunyian di dunia yang amat asing. Tak ada yang memahami Sarina karena hanya bisa berbahasa Sunda. Ia lebih sering bercengkrama dengan anjing dan burung parkit peliharaannya dibanding cucu-cucunya.*
- Membedah Silsilah Tirto Adhi Soerjo
SEBEGITU lamanya nama Tirto Adhi Soerjo terkubur, hingga tidak sedikit kepingan riwayatnya yang hilang. Ambil contoh, Tirto sebagai tokoh pahlawan nasional sejak 2006, tak seperti figur-figur lainnya, di mana sampai hari ini belum diketemukan dari rahim perempuan mana ia dilahirkan. Ada sedikit keserupaan antara tokoh Minke – diperankan oleh Iqbaal Ramadhan dalam film Bumi Manusia yang diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer dengan judul sama, dengan Tirto. Toh memang Pram menghadirkan Tirto dengan alter ego Minke dalam tetralogi Pulau Buru-nya. Dalam roman Pram yang difilmkan sineas Hanung Bramantyo itu, Minke merupakan putra seorang Bupati Bojonegoro yang diperankan Donny Damara. Hampir bisa dipastikan sosok yang diperankan Donny adalah Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipuro. Namun di film juga dihadirkan sosok ibu Minke yang dimainkan aktris Ayu Laksmi yang tentunya entah merujuk pada wanita mana. Hingga kini nama ibu asli Tirto masih misterius. “Saya saja sebagai cicitnya, sampai saat ini belum tahu dan belum menemukan siapa ibunya Tirto Adhi Soerjo,” tutur RM Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto kepada Historia . Okky salah satu cicit dari garis silsilah istri pertama Tirto Adhi Soerjo. Yang dimaksud istri pertama Tirto bukan Siti Habibah, putri Bupati Cianjur R.A.A. Prawiradiredja. Melainkan seorang bangsawan Sunda lainnya, Raden Siti Suhaerah. Ia jadi yang pertama dinikahi Tirto sebelum ia memperistri Siti Habibah dan Fatima, putri Sultan Bacan (1862-1889) Muhammad Sadik Syah. “Di berbagai referensi kebanyakan hanya menyebutkan dua istri. Habibah anak bupati Cianjur yang kemudian ikut mendirikan (suratkabar) Soenda Berita dan Poetri Hindia , kemudian princess Fatima anak Sultan Bacan. Tapi ada istri pertama yang sebetulnya jarang mendapatkan sorotan yang kemudian kita tahu bernama Siti Suhaerah,” sambung Okky. Tidak seperti Siti Habibah ataupun Fatima yang turut aktif dalam pergerakan nasional lewat jurnalistik di suratkabar Poetri Hindia , Siti Suhaerah lebih kepada istri yang memainkan peran sebagai ibu rumah tangga. Dua Versi Kelahiran Tirto Jangankan soal misteri siapa ibunda Tirto, toh terkait tahun kelahiran Tirto saja masih mengundang tanya. Penyair Priatman dalam puisinya, “Di Indonesia 1875-1917” yang pernah dimuat buku Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah pada 1962, menyebut Tirto lahir pada 1872 dan wafat 1917. Pram turut menyantumkan keterangan ini dalam biografi Tirto, Sang Pemula dan menyebutnya kurang akurat . “Syair sederhana tersebut – dengan sejumlah kekurangannya, a.l. (antara lain, red) tahun lahir dan meninggalnya tidak akurat, mencerminkan pengetahuan umum tentang R.M. Tirto Adhi Soerjo mulai penggal kedua dasawarsa kedua sampai dasawarsa keenam, yaitu terbatas pada tahun lahir dan meninggal, pendidikan, keturunan, karier jurnalistik, pembuangannya ke Lampung dan kuburannya. Itupun sudah dapat dinilai lumayan,” sebut Pram. Pram menilai ketidakakuratan itu merupakan buah dari “suksesnya” para musuh Tirto yang acap menyudutkannya semasa hidup, untuk mengacaukan asal-usulnya sejak 1920-an. Sebut saja para pejabat Penasihat Urusan Pribumi Hindia Belanda: Snouck Hurgronje, G.A.Z. Hazeu hingga D.A. Rinkes. Namun Pram lebih mempercayai temuan sejumlah dokumen biasa dan sangat rahasia oleh S.L. van der Wal pada 1954, De Opkomst van de Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië , di mana disebutkan Tirto lahir pada 1880 dan wafat pada 7 Desember 1918. Menariknya lagi, di batu nisan Tirto di TPU Blender, Bogor, terpahat tahun lahir 1875 namun wafat 1918. “(Diambil) titik tengahnya ya. Zaman itu, tradisi penanggalan memang belum cukup serapi sekarang ya,” papar Okky Tirto. Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa yang dipercaya merupakan salah satu leluhur Tirto Adhi Soerjo (Foto: karatonsurakarta.com) Tirto lahir dengan nama Raden Mas Djokomono di Blora. Ia anak kesembilan dari 11 bersaudara. Ayahnya, Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan (EYD: Khan) Tirtodhipoero. Saat Tirto lahir ia masih berkarier sebagai pegawai kantor pajak, di mana kelak ia juga akan jadi bupati. Sebagaimana diuraikan di atas, sampai kini belum diketahui siapa nama ibunya. “Tak banyak yang dapat dihimpun tentang masa kecilnya. Seakan ia langsung menjadi dewasa. Semi-otobiografinya , Busono , juga tak pernah menggambarkan masa bocahnya. Samar-samar saja ia tampilkan dua orangtuanya. Timbul dugaan, ia tak pernah mengenal orangtuanya,” sebut Pram. Hanya diketahui kemudian ia berganti nama sejak masa muda, di mana lazim dilakukan priyayi zaman itu menjadi RM Tirto Adhi Soerjo. Sisanya, riwayatnya hanya diketahui ia merupakan cucu Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati Rajegwesi, Karesidenan Rembang. Sebelum 1827, Rajegwesi merupakan sebutan Bojonegoro. Ia juga diketahui sangat dekat dengan neneknya, Raden Ayu Tirtonoto yang masih keturunan (cucu) Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa. Masa belia dihabiskan Tirto bak nomaden. Mulanya ia diasuh neneknya semasa bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) di Bojonegoro. Lantas sepeninggal sang nenek, Tirto ikut sepupunya, RMA Brotodiningrat ke Madiun. Belum juga ia tamat ELS, sudah pindah lagi ke Rembang diasuh salah satu kakaknya, RM Tirto Adhi Koesoemo yang jadi kepala jaksa di sana. Baru pada usia 14 tahun selepas lulus ELS di Rembang, ia merantau ke Batavia untuk melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Meski tak sampai lulus di STOVIA, benih-benih gagasan Tirto soal perlawanan penindasan mulai merekah lewat media. Alhasil ia juga mesti menghadapi tuntutan jaksa di pengadilan. Namun berkat statusnya sebagai bangsawan yang ternyata masih ada hubungan kekerabatan dengan priyayi di Kasunanan Surakart dan Panembahan Madura, ia berlindung di balik Forum Privilegiatum , di mana setidaknya ia tak bisa divonis hukuman fisik. Sepahit-pahitnya ia diasingkan. Gedung STOVIA yang kini bernama Museum Kebangkitan Nasional. (Foto : Fernando Randy/Historia) “Dari situ dapat diketahui, ia berada di derajat keempat dari Kraton Solo, derajat keempat dari Panembahan Madura terakhir dan derajat keempat dari RMAA Tjokronegoro, Bupati Blora yang memerintah sampai 1912,” lanjut Pram. Tirto dan Ketiga Istrinya Sebagaimana juga disebutkan Okky, istri pertama Tirto Adhi Soerjo adalah Siti Suhaerah. Sayang, Okky belum sampai menemukan detail kapan Tirto pertamakali melepas masa lajang dengan Suhaerah. Hanya disebutkan ketika Tirto mulai berkiprah di dunia jurnalistik di Cianjur selepas keluar dari STOVIA. Okky juga lantas berbagi data para istri dan keturunannya, termasuk dari garisnya. “Yang disebutkan Pram di Sang Pemula sebagai penyair Priatman, itu sebenarnya kakek saya, RM Priatman yang juga putra Tirto dengan Siti Suhaerah. Saya sendiri garisnya dari anak ke-12, RM Dicky Permadi, dari pasangan RM Priatman dengan Siti Halimah,” sambung Okky yang merujuk Tirto punya 16 cucu dari RM Priatman. Artis lawas Dewi Yull alias RA Dewi Pujiati juga cicit Tirto dari garis yang sama dengan Okky. “Mbak Dewi dari putra tertua, RM Soendarjo. Jadi termasuk cicitnya TAS juga dari garis RM Priatman,” tambahnya. Okky Tirto diambil dengan foto multiexposure saat berbincang dengan Historia (Foto: Fernando Randy/Historia) Kemungkinan besar Tirto menikahi Siti Suhaerah setelah mendirikan suratkabar mingguan Soenda Berita di Cianjur, 1903, di mana pers pribumi yang berkantor di sebuah desa itu terbit perdana 7 Februari 1903. Suratkabar itu beredar hingga ditutupnya pada 1906. Di antara tahun-tahun itu, Tirto menikah lagi dengan Siti Habibah, putri Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja, bangsawan yang urun dana dalam operasional Soenda Berita. Dari garis istri Siti Habibah, Tirto tercatat punya dua anak: RA Julia dan RM Hasan Busono, serta sembilan cucu. Pram juga mencatat bahwa dalam kurun 1905-1906, Tirto berkelana sampai ke timur Nusantara, tepatnya Pulau Bacan di Kepulauan Maluku. Di pulau ini dan sekiranya dalam kurun itupula ia mempersunting Fatima. Ia adik dari Sultan Oesman Sjah, Sultan Bacan yang baru dinobatkan pada 1900 menggantikan ayahnya, Sultan Mohammad Sadik Sjah. Dari Fatima, ia punya satu anak, RM Sadaralam dan lima cucu. Tirto Berdarah Arab? Dari yang coba digali Okky, sedikitnya ia menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan dalam diri Tirto turut mengalir darah Arab. Okky pun lahir dari ibu seorang keturunan Hadrami. “Makanya saya juga punya nama lain, Muhammad Fikry. Ibu saya keturunan Hadrami, Fathiya Shahab,” imbuh Okky. Ia pernah mencoba ingin menggali lebih dalam ke Kawedanan Satrio di Mangkunegara. Sayangnya saat itu ia menjelang kembali ke Jakarta dan sudah terlampau petang hingga akhirnya batal mengulik arsip-arsip di Mangkunegaran. “Sampai sekarang masih jadi pertanyaan siapa ibu Tirto Adhi Soerjo? Terus kenapa nama ayahnya itu Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero. Istri ketiga, Putri Fatimah anak Sultan Sadik Sjah juga konon keturunan Arab,” katanya lagi. Kedekatan Tirto dengan peranakan Arab juga berkaitan dengan kegiatan pergerakannya, di mana ia turut mendirikan Syarikat Dagang Islamiyah dengan sejumlah tokoh berdarah Arab. Tirto juga dekat dengan tokoh-tokoh Jamiat Kheir Tanah Abang semasa di Batavia. Di sisi lain, Tirto tak kalah dekat dengan golongan terpelajar Tionghoa kala aktif di bidang jurnalistik di Batavia sebelum mendirikan Soenda Berita di Cianjur. “Makanya kenapa hari ini banyak sentimen anti-Arab yang berlebihan? Di sisi lain juga ada sentimen berlebihan yang anti-Cina. Padahal orang-orang Indonesia ya banyak yang setengah Arab, setengah Cina. Ini kan seperti mundur jauh ke belakang. Padahal dulu Tirto sudah menarik garis tegas antara yang ‘Terprentah dan Memerentah’. Golongan yang ‘Terprentah’ ya semua etnis yang ditindas sistem kolonial, termasuk Arab dan Tionghoa,” tandas Okky.
- Lelaki Idaman Perempuan Jawa Kuno
PANGERAN Aja resah ketika Putri Indumati mendekat. Kalut hatinya saat melihat sang putri. Namun, dia harus segera mengumumkan cintanya. Begitu banyak pesaing yang berebut perhatian adik Raja Bhoja dalam swayembara itu. “Engkau kabut dingin untuk dambaku yang membara, Guntur gemuruh untuk hasratku, kilat petir yang menerangi kegelapan hatiku,” rayunya. Pangeran Aja adalah dambaan perempuan dalam semesta Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Dia tampan mempesona. Berdarah mulia pula. Belum lagi dia pandai bersyair dan mencipta puisi. Sayangnya, Pangeran Aja belum menjadi raja. Inilah yang membuatnya gentar. Pesaingnya dalam swayambara adalah raja-raja besar dari negara-negara kenamaan. Namun, dia terus berusaha membujuk sang putri dengan syairnya. “Tak ada lainnya yang lebih mempesona daripada kau menatap dengan mata menerawang jauh, tenggelam dalam pikiran sambil memegang pudak di pangkuan…Belum pernah dan takkan pernah ada yang sepertimu,” ujarnya. Sang putri tertenung ketika melihat betapa manis sang pangeran. Dia tak kuasa. Selain karena Pangeran Aja adalah penjelmaan kekasihnya pada kehidupannya yang lalu, dia juga lelaki yang menggetarkan hatinya di antara raja-raja yang datang ke swayembara. Ketampanan lelaki itu sudah tak asing bagi khalayak swayembara. Selain tampan, Mpu Monaguna juga mendeskripsikan Pangeran Aja sebagai pangeran muda yang perkasa dalam kitab puisi. Dia putra Raghu, penyair yang berani dan unik. Kebajikannya tak terhingga. Seluk beluk kitab suci mewujud dalam dirinya. Pakar kesusastraan Jawa Kuno, P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan menerangkan, pejabat istana yang ideal, apalagi seorang raja, pangeran, atau bangsawan bukan hanya harus dapat menikmati keindahan puisi dan membawakannya. Mereka juga harus dapat menulis puisi sendiri dan mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran secara spontan. Kedudukan penyair dan puisinya dalam kebudayaan Jawa Kuno, khususnya dalam kehidupan keraton, begitu terpandang. “Tak mungkin membayangkan tokoh-tokoh utama dalam kisah-kisah fiksi epik yang justru dimaksudkan untuk menampilkan tokoh idaman, tidak sungguh terdidik dalam bidang puisi,” tulis Zoetmulder. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menerangkan swayembara memberi kesempatan perempuan untuk memilih calon suaminya. Dalam kesempatan itu biasanya laki-laki akan saling menunjukkan kebolehannya di depan si perempuan. “ Swayambara diserap dari bahasa Sanskerta, yang berarti: pilihan sendiri, atau pemilihan suami oleh seorang putri dalam suatu pertemuan umum para peminang,” jelasnya. Dalam dunia penceritaan Kakawin Sumanasantaka, swayembara yang diadakan raja Bhoja bagi adiknya adalah yang pertama yang pernah dilakukan. Indumati sempat kebingungan dan merasa canggung karena harus memilih sendiri calon suaminya. Perhelatan memperebutkan hati perempuan ini bisa dijumpai pula dalam kisah Ramayana. Kendati ditulis dua abad sebelum kisah ini, Indumati dan Pangeran Aja merupakan nenek dan kakek yang kemudian menurunkan Rama, tokoh utama Ramayana. Di sana, pangeran, raja dan bangsawan bukannya harus lomba bersyair untuk memenangkan Sita. Ceritanya, kakak-adik, Rama dan Laksmana atas saran Wiswamitra, pergi menuju Mithila, tempat raja Janaka mengadakan s wayembara untuk putrinya, Sita. Siapapun yang bisa melenturkan busur muncul pada hari Sita dilahirkan akan dipilih menjadi suaminya. Raja-raja yang menjadi peserta swayembara tak ada yang mampu. Sementara ketika Rama mencoba melenturkannya, busur itu patah. Keperkasaan juga menjadi materi yang ditonjolkan para ksatria ketika mereka ingin menarik perhatian perempuan. Itu yang kemudian menjadi bahan pertimbangan Indumati dalam swayembara versi Kakawin Sumanasantaka. Masing-masing raja diumumkan sebagai raja yang andal di medan perang. Misalnya, Raja Magadha. “Dalam kepahlawanan dan kebajikan siapa yang lebih unggul daripada dia sebagai raja?” ujar Sunanda, dayang yang mengumumkan keunggulan sang raja kepada putri Indumati. Keterampilan berperang diuji pula dalam swayembara versi kitab Mahabarata. Ini seperti yang diikuti Bhisma, yang berlomba mewakili adik tirinya, Wichitrawirya. Tesnya berupa perang tanding antara putra-putra bangsawan. Pemenangnya dianggap pantas mendapatkan ketiga putri Raja Darmahumbara, yaitu Amba, Ambika , dan Ambalika. Dikisahkan nyali para peserta ciut ketika melihat kehadiran sang Resi. “Bhisma dikenal sakti dan pandai gunakan segala macam senjata. Selain itu, kesetiaan dan keteguhan hatinya membuat semua orang segan kepadanya,” jelas Dwi. Kebolehan bangsawan dalam bermain senjata juga menjadi tantangan ketika mereka berebut perhatian Drupadi, putri Kerajaan Pancala. Siapa yang berhasil memanah tepat sasaran, dia berhak mengawini Drupadi. “Karna berhasil memanah tepat sasaran, namun ditolak Drupadi karena dia tak mau menikah dengan putra seorang kusir,” jelas Dwi. Akhirnya, Arjuna-lah yang dipilih sang putri. Panahnya tepat sasaran, sekaligus dia merupakan keturunan langsung para raja.*
- Saat Suara Bung Karno Berkumandang di Los Angeles
ANGIN di Los Angeles State Historic Park, Amerika Serikat hari itu tengah bersahabat. Embusannya nan sepoi-sepoi mengibarkan tiga bendera dwiwarna, Merah-Putih yang tengah diusung 17 anak Indonesia di atas panggung. Lantas sayup-sayup lagu kebangsaan “Indonesia Raya” syahdu terdengar dinyanyikan Niki membuka penampilannya. Sekira 25 ribu penonton Head in The Clouds Festival di Los Angeles, Sabtu (17/8/2019) jadi saksi. Bagaimana Niki, salah satu performer 88 Rising asal Indonesia begitu bangga pada negerinya yang tengah berulangtahun ke-74 di hari itu. Memang Niki tak menyanyikannya lengkap, namun setidaknya 25 ribu fans di Negeri Paman Sam itu menjadi sangatsadarakan sebuah negeri di belahan bumi lain yang tengah berulang tahun. Penghayatannya lebih terasa saat nyanyian “Indonesia Raya” dari Niki itu dibarengi rekaman suara pembacaan teks proklamasi Sukarno. Niki juga tampil dengan busana stylish , seksi, namun sangat “Indonesia” dengan perpaduan warna merah dan putih. Tidak hanya Niki bintang asal Indonesia yang tampil di panggung utama festival, ada Rapper Rich Brian yang tak mau kalah unjuk identitas ke-Indonesia-annya. Rich Brian tampil menutup puncak acara dengan tembang-tembang andalannya. Di lagu terakhir, Rich Brian menampilkan sejumlah cuplikan kehidupan di Jakarta. Tak lupa sebelum berpamitan dengan penonton, ia menampilkan sang dwiwarna di videotron raksasa yang jadi latar panggung utama. Rich Brian di penutupan Head in the Clouds Festival Festival itu sendiri diprakarsai 88Rising yang selama ini juga menaungi sejumlah musisi Indonesia, seperti Niki dan Rich Brian. Selain keduanya, sedianya 88Rising juga memberi panggung pada empat musisi muda lainnya, meski tak di panggung utama: Devinta, Moneva, Arta dan Marcello. Tampilnya mereka tak lain buah kerjasama 88Rising dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI yang meluncurkan program akselerasi ICINC (Indonesia Creative Incorporated): Indonesia Rising. Melihat reaksi 25 ribu penonton yang “khusyuk” kala “Indonesia Raya” berkumandang dan heboh ketika dwiwarna nongol di videotron, nampak pengusungan indentitas kebangsaan cukup berhasil. Pasalnya selain para musisi Indonesia, Head in the Clouds Festival ini juga memberi panggung untuk tampilnya sejumlah musisi mancanegara lain: Jepang, China, Korea Selatan dan Malaysia. Memang hanya para penampil Korea (iKON) dan China (Higher Brothers) yang berani membawa musik dengan bahasa sendiri. Para musisi lain tampil membawakan musik dengan bahasa Inggris tanpa menampilkan visual identitas negeri mereka. Namun hanya para musisi Indonesia yang berani turut menampilkan visual dan bahkan lagu kebangsaannya sendiri di festival bertaraf internasional itu.
- Superhero Indonesia dari Komik ke Jagat Sinema
Jagat Sinema Bumilangit telah resmi diumumkan oleh Bumi Langit Studios, Minggu, 18 Agustus 2019. Tokoh-tokoh superhero dalam Jagat Sinema Bumilangit diadaptasi dari komik-komik Indonesia dari karya Ganes TH hingga Wid NS. Sutradara Joko Anwar, mengungkapkan bahwa film-film ini akan berbeda dengan garapan studio seperti Marvel maupun DC. “Ciri khasnya, latar belakang ceritanya sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini; kegelisahan dan topik-topik yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Indonesia banget ,” kata Joko. Joko Anwar juga mengatakan bahwa dia tidak berperan sebagai sutradara untuk semua film tersebut. Tiap film akan mempunyai sutradara dan penulis skenario sendiri. Namun, dia akan tetap turut berperan sebagai creative producer . “Saya akan terus jadi creative producer di semua film tersebut. Akan tetap menjaga kesinambungan cerita, karakter dan plot,” jelas Joko. Beberapa film tersebut merupakan Jilid 1 dari Jagat Sinema Bumilangit yang terdiri dari dua era yakni era Jawara dan Patriot. Sri Asih diperankan Pevita Pearce . (Twitter Joko Anwar). Era Jawara berisi tiga judul yaitu Sri Asih, Mandala Golok Setan, dan Si Buta dari Gua Hantu . Sri Asih merupakan tokoh karya R.A. Kosasih yang terbit tahun 1954. Pahlawan perempuan yang bisa terbang iniakan diperankan oleh Pevita Pearce. Sedangkan Mandala Golok Setan berangkat dari komik karya Mansyur Daman dan pernah difilmkan dengan judul Golok Setan pada 1983. Dalam cerita perebutan pedang sakti kuno ini, Mandala akan diperankan oleh Joe Taslim . (Gambar 2 29780539870541119348) Mandala diperankan Joe Taslim. (Twitter Joko Anwar) Sementara itu, Si Buta dari Gua Hantu , pendekar silat karya komikus Ganes TH yang terbit pada 1967 masih dirahasiakan pemainnya. Era Patriot yang telah diawali Gundala, akan diramaikan oleh Godam & Tira yang akan diperankan oleh Chicco Jerikho dan Chelsea Islan. Godam merupakan karya komikus Wid NS dan pertama kali muncul pada 1969. Sedangkan Tira, karya Nono GM pertama muncul pada 1975. Godam diperankan Chicco Jerikho. (Twitter Joko Anwar) Aktor dan aktris lain yang tergabung dalam Jagat Sinema Bumilangit Jilid 1 antara lain, Tara Basro (Merpati), Bront Palarae (Pengkor), Lukman Sardi (Ridwan Bahri), Asmara Abigail (Desti Nikita), Hannah Al Rashid (Camar), Kelly Tandyono (Bidadari Mata Elang), Vanesha Prescilia (Cempaka), Della Dartyan (Nila Umaya), Nicholas Saputra (Aquanus), Dian Sastro Wardoyo (Dewi Api), Tatjana Saphira (Mustika Sang Kolektor), Zara JKT48 (Virgo), Daniel Adnan (Tanto Ginanjar) dan Aryo Bayu (Gani Zulfam). Beberapa superhero kemungkinan akan tergabung dalam dua film lain yakni Patriot Taruna dan Patriot . Sedangkan ke depan, Gundala mendapat satu judul lagi yakni Gundala Putra Petir. Soal film perdana, Abimana Aryasatya, pemeran Gundala, mengatakan bahwa tantangan film ini adalah soal bagaimana memenuhi ekspektasi beberapa generasi soal Gundala. Gundala diperankan Abimana Aryasatya. (Twitter Joko Anwar). “Gundala itu melewati beberapa generasi, mulai dari generasi komiknya, tahun 60-an, 69 ke 70, generasi film dari 81 ke 82 yang punya mazhab berbeda lagi soal Gundala, dan generasi milenial yang harus dijelaskan ulang soal Gundala. Jadi tanggung jawabnya gede ,” jelas Abimana. Abimana menambahkan, hal itu menjadi salah satu prioritas dan dia enggan membuat banyak pihak kecewa. “Jangan sampai mengecewakan mereka. Karena yang di tahun 60, 80, pasti punya memori soal Gundala. Yang sekarang, mereka pengen punya superhero sendiri yang punyanya mereka. Jagoan punya mereka,” kata Abimana.
- Pertemuan Terakhir Sukarno-Hatta
WAJAH Meutia Hatta tetiba berubah menjadi sayu. Tetiba saja ia terkenang kembali momen pertemuan dirinya dengan Sukarno untuk terakhir kali saat menemani sang ayah. Ada kesedihan dan kerinduan yang dia rasakan menohok ulu hatinya. “Sudah lama sekali, sejak Sukarno tak terekspos lagi kepada masyarakat, Hatta tidak pernah bertemu dengan kawannya itu,” kata perempuan berusia 72 tahun itu. Bukan rahasia lagi jika hubungan dua bapak pendiri bangsa ini sempat meregang pasca Indonesia berdiri sebagai sebuah negara, terutama dalam kurun masa 1950-an sampai 1960-an. Masalah utamanya adalah perbedaan pandangan mengenai masa depan revolusi Indonesia, di samping soal prioritas pembangunan negeri. Dalam sebuah buku, Mengenang Bung Hatta , yang memuat pengalaman-pengalaman pribadinya selama mendampingi Mohammad Hatta sebagai sekretaris, Iding Wangsa Widjaja memastikan bahwa keduanya tidak pernah saling mendendam. “Hal itu tidak sampai merusak hubungan pribadi beliau berdua. Ini saya ketahui persis, terutama yang menyangkut sikap Bung Hatta terhadap Bung Karno di balik pertentangan-pertentangan pendapat beliau.” “Salah satu bukti yang dapat saya utarakan, bahwa Bung Hatta tidak menaruh dendam dan tidak memusuhi Bung Karno, ialah peristiwa menjelang wafatnya Bung Karno,” lanjut Widjaja. Pada Jumat pagi, 19 Juni 1970, Hatta dikirimi sepucuk surat oleh Masagung, salah satu kawan Sukarno yang bernama asli Tjio Wie Tay. Ia diberitahu bahwa Sukarno masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat karena kondisinya yang semakin gawat dan harus dirawat intensif. Masagung menegaskan bahwa saat-saat seperti ini harus cepat dimanfaatkan oleh Hatta untuk menemui Sukarno. Sebagaimana diketahui ketika itu Sukarno menjadi tahanan rumah yang tidak boleh dihubungi oleh sembarang orang, tidak terkecuali oleh Hatta. Setelah mendapat kabar itu, Hatta segera meminta Wangsa Widjaja untuk menghubungi pihak-pihak tertentu agar diberi izin menjenguk Sukarno. Tidak lama, sekretarisnya itu menghubungi Sekretaris Militer, Letjen Tjokropranolo dan menjelaskan keinginan Hatta tersebut. Tjokropranolo lantas melanjutkan maksud Hatta itu kepada Presiden Soeharto. Beberapa saat kemudian, melalui sambungan telepon, Tjokropranolo mengabari Wangsa Widjaja jika Soeharto telah memberi izin. Mereka pun dijadwalkan akan menjenguk Sukarno pada pukul lima sore. Setelah semua persiapan selesai, rombongan yang terdiri dari Hatta, Wangsa Widjaja, Tjokropranolo, putri pertama Hatta, Meutia, dan putri kedua Hatta, Gemala segera bertolak ke rumah sakit. “Kita yang ada di rumah saja berangkat. Adek saya yang kecil (Halida Hatta) sedang sakit jadi tidak bisa ikut. Ibu (Rachmi Hatta) juga tidak bisa ikut,” kata Meutia. Setiba di sana, rombongan tersebut langsung menuju ruangan tempat Sukarno dirawat. Hanya Tjokropranolo saja yang menunggu di luar ruangan. Di dalam ruangan kecil itu, Hatta menemukan sosok yang ia kenal terbaring tak sadarkan diri. Terlihat jelas raut sedih di wajahnya. Perawat di ruangan menjelaskan jika sudah beberapa hari Sukarno dalam kondisi demikian. Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, Wangsa Widjaja mengajak Hatta pulang karena kawannya itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Tanpa memberikan jawaban, Hatta pun perlahan melangkah ke arah pintu. Geraknya yang berat menunjukkan kekecewaannya. Sesekali ia menoleh ke belakang berharap kawannya sadar sebelum ia pergi dari ruangan itu. Saat akan membuka pintu, Hatta masih mengarahkan pandangannya kepada Sukarno. Beruntung ia masih melihat ke arah Sukarno karena sesaat setelah itu Sukarno membuka matanya. Bergegas ia menghampiri kawannya itu. “Ah No (panggilan akrab Hatta kepada Sukarno) bagaimana keadaanmu?” tanya Hatta. Sukarno tidak menjawab. Kondisinya membuat ia sulit untuk berbicara. Namun menurut Meutia samar-samar terdengar Sukarno mengucapkan “ hoe gaat het (apa kabarmu)?” sambil mencoba meraih tangan Hatta. Baik Meutia, maupun Wangsa Widjaja dalam bukunya, mengatakan bahwa ada kata-kata lain yang diucapkan Sukarno. Tetapi keduanya tidak mengerti. Hanya Hatta yang paham dengan maksud Sukarno itu. Hatta kemudian menjawab: “Ya, sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh.” Meutia menggambarkan suasana di ruangan saat itu yang baginya sangat mengharukan. Hatta berdiri persis di samping tempat tidur Sukarno. Meutia dan Gemala berada sedikit di belakang Hatta, dekat kaki Sukarno. Sementara Wangsa Widjaja berdiri di sisi lain tempat tidur. “Saya melihat ini sebagai pertemuan yang amat mengharukan antara dua orang sahabat yang cukup lama dipisahkan oleh suatu tirai yang tidak tampak, walaupun tidak berarti beliau berdua telah memutuskan hubungan persahabatan itu,” ungkap Wijdaja. Sukarno kemudian berusaha menggapai-gapai sesuatu. Semua orang di sana tidak mengerti apa maksud Sukarno. Wangsa Widjaja akhirnya menyadari bahwa ia sedang mencari kaca matanya. Suster lalu memakaikan kaca mata tersebut untuk Sukarno. Dalam posisi tertidur, terlihat tetesan air mata jatuh dari mata Sukarno. Hatta pun mencoba menghibur dengan memegang tangan dan memijat pelan kakinya. Tidak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Hanya pandangan mereka yang berbicara. “Sebetulnya itu hati yang berbicara. Tidak ada lagi kata-kata, tidak tersedu-sedu. Mungkin keduanya saling memaafkan karena memang itu adalah tahap terakhir dari kehidupan Sukarno,” ucap Meutia. “Kami semua tidak bisa berkata apa-apa. Kami hanya bisa mendoakan. Namun saya bersyukur bisa berada di sana. Menyaksikan kedua proklamator berpisah untuk terakhir kalinya.” Tidak diketahui dengan pasti berapa lama Hatta dan rombongannya menemani Sukarno. Setelah itu, Hatta pamit pulang, keluar dari ruangan perawatan tersebut. Mereka pun kemudian diantar pulang oleh Tjokorpranolo kembali ke kediamannya. Hatta dan siapapun yang hari itu menjenguk Sukarno tidak mengetahui bahwa itulah pertemuan terakhir mereka dengan sang proklamator. Dua hari kemudian, tepatnya Minggu 21 Juni 1970, Sukarno mengembuskan napas terakhirnya. Saat mendapat kabar duka itu, Hatta hanya bisa termenung. Nampak sekali dia merasa kehilangan.*
- Tirto Adhi Soerjo di Sudut Ingatan
BUTUH satu helaan nafas nan berat dari mulut Okky Tirto saat mengisahkan masa-masa akhir buyutnya, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo nan tragis. Cicit dari garis istri pertama, Siti Suhaerah itu mengibaratkan Tirto bak Tan Malaka dan Sukarno, di mana kedua tokoh itu juga mengalami masa-masa pengasingan yang memilukan. Mengutip biografi Tirto yang dijahit Pramoedya Ananta Toer dari beragam sumber bertajuk Sang Pemula , Tirto setidaknya dua kali diasingkan ke Teluk Betung, Lampung (1909) dan Pulau Bacan (1912). Tirto dibuang pemerintah kolonial tak lain lantaran beragam tuduhan, hasil dari tajamnya pena Tirto yang menguak borok pejabat-pejabat kolonial lewat suratkabar miliknya, Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan . “Dia pulang ke Jawa dalam keadaan banyak tuduhan akibat dikriminalisasi. Nah , alhasil…dia enggak punya hak jawab dan patah arang saat di pengasingan,” terang Okky kepada Historia . Lanjut cicit yang punya nama asli RM Joko Prawoto Mulyadi itu, sekembalinya ke Batavia Tirto tak lagi bisa bersinar seperti sediakala. Ia bak dijadikan tahanan rumah di salah satu kamar Hotel Medan Prijaji di Jalan Kramat Raya, jelang mengembuskan nafas terakhirnya. “Dia disediakan satu kamar di hotel itu. Kalau di bukunya Pram (Sang Pemula), kemudian hotel itu dirampas anak buahnya sendiri, Raden Goenawan. Pengkhianatan. Sendiri dia (menghadapinya, red. ). Tragis ya. Tirto ini kan (nasib akhirnya) mirip Tan Malaka. Cuma bedanya Tirto menikah,” katanya menuturkan. Hotel Medan Prijaji itu kini diyakini sudah berubah menjadi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya. Makanya ketika pernah muncul usulan mengabadikan Tirto menjadi nama jalan di Bandung, Okky kurang sepakat. Usulan itu sempat mencuat pada 2012 kala Ketua Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jawa Barat (MSI Jabar) Nina Lubis menyarankan Pemerintah Provinsi untuk mengabulkan Tirto dijadikan nama jalan di Bandung. Menurut Okky, keluarga besar Tirto akan sangat merasa terhormat jika nama Tirto dijadikan nama jalan di Jakarta, ya tepatnya di jalan bekas Hotel Prijaji itu beralamat. Walau memang kiprah Tirto yang paling mencolok adalah ketika ia masih aktif membela “yang terprentah” terhadap “yang memerentah” di Jawa Barat (Cianjur, Bogor dan Bandung). “Karena seseorang dijadikan pahlawan atau bukan itu, bukan ketika dia lahir. Tapi ketika dia menutup mata. Karena sepanjang hidupnya dia konsisten. Kalau dulu juga ada Bung Karno di-Wisma Yaso-kan, Tirto mengalami itu di hotel miliknya sendiri yang kemudian dirampas itu,” tambah Okky. Hingga pada akhir pekan pertama bulan ke-12 pada 1918, Tirto mengembuskan nafas terakhir. Ia kembali ke Sang Khalik dalam kesendirian dalam usia muda, 38 tahun. Pram menggambarkan momen itu dengan sendu saat memulai pengisahan riwayat Tirto dalam Sang Pemula. “Akhir seorang pemula pada hari suram tanggal 7 Desember 1918 sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil mengantarkan jenazahnya ke peristirahatannya yang terakhir di Manggadua, Jakarta. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada yang memberikan jasa-jasa dan amalnya dalam hidupnya yang tak begitu panjang. Kemudian orang meninggalkannya seperti terlepas dari beban yang tidak diharapkan,” tulis Pram. Namanya lantas bagai lenyap tak berbekas dalam ombak sejarah yang silih-berganti memunculkan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Namanya baru muncul lagi setelah ditemukan Pram kala meneliti sejarah zaman permulaan nasionalisme Indonesia pada 1956. Bapak Pers & Pahlawan Nasional Perlahan tapi pasti nama Tirto pun mulai dapat perhatian lagi di dunia pers nasional. Sebagaimana Pram menyebut Tirto sebagai “Bapak Pers Nasional”, pemerintah lewat Dewan Pers turut memberi pengakuan dengan menyematkan gelar “Perintis Pers Indonesia” yang diberikan Menteri Penerangan cum Ketua Dewan Pers Mashuri Saleh pada 31 Maret 1973 lewat Surat Nomor 69/XI/1973. Di tahun yang sama, tepatnya 30 Desember 1973 makamnya di Manggadua dipindah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Tanah Sareal, Kota Bogor. Berselang kurun 33 tahun, nama Tirto diakui lebih luas dengan dianugerahi status “pahlawan nasional” oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya 10 November 2006 bersamaan dengan Hari Pahlawan. Sebelumnya, usulan Tirto dijadikan pahlawan nasional, sebagaimana diungkapkan Nina Lubis dalam kata pengantar buku kecil usulannya, R.M. Tirto Adhi Soerjo (1880-1918): Pelopor Pers Nasional , pengajuan nama Tirto untuk dijadikan pahlawan dari provinsi Jawa Barat datang dari MSI Jabar bersama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (PPKK Lemlit Unpad), serta Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jabar. Buku yang meringkas Sang Pemula karya Pram. Dituturkan Okky, kala itu Nina Lubis mengontak ayahnya untuk membicarakan pengusulan itu. Pengusulannya tak lepas dari jejak Tirto yang banyak berpusar di Cianjur, Bandung dan Bogor meski Tirto kelahiran Blora dan berasal dari keluarga priyayi Jawa. “Iya, zaman SBY itu (gelar pahlawan nasional). Sebelumnya Nina Lubis menghubungi ayah saya, RM Dicky Permadi. Kemudian mereka bikin tim untuk mengurus pengajuannya ke Kementerian Sosial dan pada 2006 itu bulan November dianugerahi Pak SBY,” tandas Okky.*
- Kekerasan Seks Serdadu Belanda
TIGA tahun lalu, media-media di Belanda memberitakan kemenangan gugatan Temiri atas pemerintah Kerajaan Belanda. Di pengadilan tinggi Den Haag, nenek berusia 86 tahun itu dapat membuktikan bahwa dirinya adalah salah satu korban pemerkosaan sejumlah prajurit KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda) di Peniwen, Malang pada 19 Februari 1949. Seperti dilansir Dutchnews , atas kemenangan tersebut, Temiri berhak mendapatkan ganti rugi sebesar € 7.500 (tahun 2016 sama dengan Rp114 juta), sesuai putusan yang dibacakan oleh Pengadilan Den Haag pada 27 Januari 2016. Namun, uang ganti rugi itu tidak akan bisa menebus penderitaan batin Temiri sepanjang hidupnya. Sejatinya aksi brutal yang dilakukan serdadu Belanda tidak hanya terjadi di Peniwen. Beberapa kesaksian sempat terekam dalam pengalaman beberapa tentara Belanda dan Indonesia. Salah satunya diungkapkan oleh J.C. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke TNI. Sekira pertengahan tahun 1947, Princen bertugas di Bogor. Laiknya anak muda, saat bertugas di kota hujan itu, dia terlibat hubungan asmara dengan remaja perempuan bernama Asmuna, yang tinggal persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor. Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga. “Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh setengah telanjang dan dipenuhi lubang peluru,” kenang Princen. Rupanya saat tiba di pos penjagaan, Asmuna dipaksa untuk melayani nafsu bejat tiga serdadu Belanda. Tentu saja gadis Bogor itu menolak dan berusaha lari. Karena panik, salah seorang serdadu lalu menembak mati Asmuna. Kasus Asmuna ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak militer Belanda. Alih-alih mendapat keadilan, Asmuna yang sudah meninggal justru dituduh sebagai mata-mata Republik yang akan menyelinap ke markas tentara Belanda dan terpaksa ditembak mati. “Aku merasa muak dengan fitnah keji itu dan sejak itulah kebencianku terhadap perilaku negaraku yang tidak adil terhadap orang-orang Indonesia semakin menguat,” ujar Princen. Aksi kekerasan seks juga pernah disaksikan secara langsung oleh Mayor Soegih Arto, Komandan Batalyon 22 Djaja Pangrerot Divisi Siliwangi. Tahun 1948, pada suatu malam menjelang subuh, dari balik semak-semak di sebuah bukit dekat Gunung Halu (sebuah kecamatan yang sekarang masuk wilayah Bandung Barat), dia menyaksikan para prajurit KST mengumpulkan sejumlah perempuan lalu memperkosanya secara terbuka dan beramai-ramai. “Rasanya masih terdengar jelas jeritan dari para perempuan yang diperkosa itu,” ujar Soegih Arto dalam biografinya, Sanul Daca. Soegih Arto sendiri mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain jumlah pasukannya lebih sedikit dan kalah persenjataan, dia pun lebih mengkhawatirkan keselamatan ratusan orang kampung lainnya yang tengah ditawan pasukan Baret Hijau tersebut. Menurutnya posisi orang-orang kampung lainnya, termasuk anak-anak dan orang tua, persis ada di tengah kumpulan para prajurit KST. Aksi pemerkosaan yang dilakukan tentara Belanda juga dilaporkan oleh seorang komandan gerilyawan di Sumatera Barat bernama Taswar Akip. Dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid III terbitan LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia), Taswar menyebut bahwa seorang wakil dari penduduk Muara Labuh, Solok Selatan meminta pasukannya untuk melindungi desanya dari keganasan serdadu Belanda. “Mereka sering datang untuk membunuh dan memperkosa para perempuan di desa kami,” ungkap orang Muara Labuh itu. Dalam Insiden Sulawesi Selatan pada 1947, selain pembunuhan massal, serdadu Belanda juga memerkosa perempuan-perempuan yang terlibat dalam aksi bawah tanah melawan militer Belanda. Salah satu korban adalah Sitti Hasanah Nu’mang. Selain mendapatkan penyiksaan, penghinaan dan pelecehan, Sitti juga diperkosa oleh seorang perwira tinggi militer Belanda bernama Mayor De Bruin. “Dalam kesendirian, saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya,” ujar Sitti seperti dikisahkannya dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi 45 suntingan sejarawan Irna H.N. Hadi Soewito. Di Peniwen sendiri, Temiri bukanlah satu-satunya korban pemerkosaan. Menurut A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan: Perang Gerilya Semesta II Jilid X , ada tiga perempuan aktivis Gereja Protestan di Peniwen yang juga mengalami nasib yang sama. Bahkan mereka lebih malang lagi, setelah diperkosa kemudian dibunuh secara kejam oleh prajurit KST.*
- Perburuan di Layar Perak
DUA film yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (2019) dan Perburuan (2019) telah rilis pada 15 Agustus lalu. Berkat novel Bumi Manusia yang memang sudah terkenal sebelumnya, film adaptasinya pun menjadi perbincangan luas dan menuai pro kontra. Sedangkan film Perburuan garapan Richard Oh, berangkat dari novel Perburuan (1950) tidak setenar tetralogi Pulau Buru. Berbeda dengan novelnya, film Perburan tidak dimulai 16 Agustus 1945 ketika Hardo untuk pertama kalinya muncul di Desa Kaliwangan. Richard Oh memulai film ini dengan memperkenalkan suasana markas Daidan pada hari-hari sebelum pecah pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sekitar enam bulan sebelum Proklamasi. Tak lama, Richard kemudian menyusun adegan pemberontakan para tentara Peta. Hardo (Adipati Dolken), Dipo (Ernest Samudra) dan para shodan telah bersiap, namun shodanco Karmin (Khiva Ishak) tak kelihatan batang hidungnya. Karmin berkhianat. Rencana pemberontakan bocor, para pembangkang Jepang itu dicegat lalu diserang di jalanan tengah hutan. Dalam adu senjata singkat itu, beberapa shodan gugur. Sedangkan Hardo, Dipo dan mereka yang tersisa berhasil menyelamatkan diri ke dalam hutan. Sejak itu perburuan Hardo dimulai. Dialog yang Hilang Bagi mereka yang sudah membaca novel Perburuan, satu hal yang ada di benak ketika menonton film adaptasinya adalah "dialognya dipotong-potong!" Novel Perburuan ditulis Pram dalam empat bab. Tiga bab didominasi oleh dialog Hardo dengan beberapa tokoh. Bagian pertama merupakan dialog Hardo dengan Lurah Kaliwangan, calon mertuanya sendiri. Di mana bagian itu sedikit banyak menceritakan mengenai latar belakang Hardo sebelum menjadi buruan Jepang. Dalam film, dialog yang berlatar jalan desa di tengah kebun jagung itu hanya sepotong. Hanya menampilkan usaha Lurah Kaliwangan merayu Hardo untuk pulang. Padahal, dialog itu penting untuk mengenalkan tokoh-tokoh lain di sekitar Hardo dan hubungan mereka dengan Hardo. Bagian ini, oleh Richard nampaknya ditampilkan dalam adegan kilas balik. Namun, potongan-potongan kilas balik itu didominasi dengan cerita Hardo dan Ningsih (Ayushita), tunangannya. Beberapa penegenalan tokoh cukup penting menjadi terlewat di sini. Dialog antara Hardo dan ayahnya yang pada bab kedua novel juga banyak terpotong. Dari bagian ini, alam pikiran Hardo dapat terbaca melalui percakapan dengan ayahnya di dalam gubuk itu. Sedangkan dalam film, percakapan mereka hanya untuk menjelaskan peristiwa penggerebekan Hardo dan seputar kematian ibu Hardo. Sedangkan bab ketiga di mana terjadi dialog antara Hardo dan Dipo, yang dapat menjadi pengantar ke puncak cerita, Richard membuatnya seperti dialog nasionalisme yang kaku. Semangat anti-Jepang seperti yang diungkapkan Pram sendiri juga tak nampak. Meski demikian, beberapa adegan terutama dalam teknik pengambilan gambar cukup menarik. Adegan monolog Hardo di dalam gua nampak dramatis karena menampilkan wajah Hardo yang hanya diterangi korek api. Hal itu juga bisa ditemukan dalam dialog di dalam gubuk yang hanya diterangi cahaya bulan dari celah-celah gubuk. Meski terpotong, adegan dialog terasa lumayan intim. Penggambaran jalan desa yang sunyi di tengah kebun jagung begitu realistis. Adegan yang terjadi di jalan itu, tidak memaksa Richard harus membuat jalan itu terang benderang agar para pemain terlihat jelas. Suara Adipati Dolken sebagai Hardo kere juga membantu membangun suasana seperti yang digambarkan dalam novel. Namun, hal lain yang cukup mengganggu adalah latar musiknya. Sudah terpotong cukup banyak, dialog-dialog dalam film Perburuan terganggu oleh latar musik. Suasana sunyi yang ditulis Pram dalam novel ketika Hardo berada di tengah kebun jagung menjadi pecah oleh alunan musik bernuansa patriotik. Padahal sebelum adegan itu, Pram menulis, “Bulan waktu itu belum timbul dan bintang-bintang berkedipan tenang di atas awan-gemawan berarak. Tenang saja dusun Kaliwangan … suatu dusun di tepi kota Blora.” Kesunyian dan ketenangan. Itulah yang menyelimuti novel ini dan yang menemani perjalanan Hardo sebagai buruan. Bukan musik patriotik yang disisip-sisipkan. Sedangkan beberapa adegan yang seharusnya menampilkan kejadian kacau malah terasa sebaliknya, seperti pada akhir film ini. Ketika kabar kekalahan Jepang mulai terdengar, suasana mulai riuh, oleh desah kerata, oleh hiruk pikuk stasiun, oleh ringkik kuda dokar. “Terdengar sorak lagi. Hore … Peta dan Heiho dibubarkan!” tulis Pram. Richard membuat adegan itu begitu lambat dan rapi. Tidak terasa atmosfir yang menandakan sebuah peristiwa kemerdekaan. Hal yang sama terjadi pada kematian Ningsih. Yang seharusnya kacau, sekali lagi, dibuat lambat dan rapi. Bukan Sejarah Hitam Putih Angga Okta Rahman, cucu Pram, pertama kali membaca novel Perburuan pada 2002, ketika menginjak kelas tiga sekolah dasar. Baginya, novel Perburuan hendak menceritakan tentang narasi perjuangan kemerdekaan yang tidak selalu hitam putih. Tidak selalu soal penjajah dan terjajah, tetapi juga persoalan di antara sesama anak bangsa. “Ada suatu masa di mana banyak orang berjuang untuk kemerdekaan, untuk keadilan terhadap bangsanya, tapi di satu sisi ada orang-orang yang ingkar hal itu. Seperti Karmin yang ingkar karena alasan dirinya sendiri. Atau seperti lurah Kaliwangan yang ingkar karena alasannya pada keluarga. Tapi di satu sisi kita bisa melihat seperti Hardo, di mana dia tetap berjuang terhadap kemerdekaan walaupun kehidupan keluarganya hancur. Walaupun kehidupan pribadinya juga hancur, tapi ia tetep berjuang, demi kemerdekaan, demi keadilan terhadap bangsanya, demi kepentingan terhadap bangsanya,” terang Angga kepada Historia. Narasi yang ditangkap Angga itu memang muncul dalam film Perburuaan . Namun, Angga menyayangkan bahwa hal itu kurang ditonjolkan. “Apakah hal itu muncul dan mendapat ruang yang cukup dalam film, muncul ya, menurut saya muncul. Cuma memang tidak mendapatkan ruang yang lebih. Saya berharap tentang hal yang saya sampaikan tadi itu akan menjadi lebih disorot,” kata Angga. Angga menambahkan bahwa hal itu mungkin memang terjadi karena banyak dialog yang dipotong, yang dampaknya mengurangi pesan seperti pada novel. “Padahal kalau misalkan tidak sebanyak ini dipotongnya, mungkin akan lebih mempertegas ke pendapat saya itu. Tidak mendapat ruang yang cukup mungkin karena dialognya terlalu banyak dipotong,” jelas Angga. Dalam film ini, Angga menyukai color grading dan beberapa spot editing yang menurutnya sangat bagus. Selain itu, “yang paling bikin menarik menurut saya dimasukannya tokoh Supriyadi. Itu kan nggak ada di dalam Perburuan , tiba-tiba dimasukan di situ dan ini menurut saya hal yang bagus,” ujarnya. Masuknya Supriyadi dalam film nampaknya berangkat dari adanya pemberontakan Peta di Blitar pada 14-15 Februari 1945 yang menginspirasi Perburuan . A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer membenarkan hal itu. “Realistisnya latar cerita ini tidak hanya jelas dari tempatnya, melainkan juga dari waktunya. Peristiwa-peristiwa dalam cerita berlangsung pada tanggal 16/17 Agustus 1945; ketiga protagonis laki-lakinya dahulu adalah shodancho , bintara dalam Peta, Pembela Tanah Air, tentara pembantu yang didirikan Jepang. Mereka nampaknya terlibat pemberontakan Peta terhadap Jepang. Benarlah anggapan Aveling bahwa ini merupakan rujukan pada pemberontakan Peta Daidan Blitar, pada malam 15 Februari 1945,” tulisnya. Terakhir, Angga menyoroti make up pemain yang menurutnya kurang maksimal. “Buat saya yang paling mengganggu itu brewok dan dekil-dekil tokohnya sih. Intinya sih menurutku kurang maksimal aja,” katanya. Meskipun demikian, menurut Angga, interpretasi terhadap novel Pram sangat bebas. “Karena setiap orang kan punya pendapat yang berbeda tentang bukunya sendiri, tentang apa yang ingin disampaikan dan filmnya,” jelas Angga.*
- Melahirkan Max Havelaar di Korea
KEBAHAGIAN terpancar di wajah Ubaidilah Muchtar, Kepala Museum Multatuli Banten. Ia diundang oleh IKCS (Indonesia Korean Cultural Studies) untuk menghadiri kegiatan peluncuran novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea pada Sabtu, 10 Agustus 2019 di Korean Cultural Center, Sudirman, Jakarta Pusat. Acara yang dihadiri oleh mayoritas orang Korea ini memberi kesan tersendiri bagi Ubaidilah. Sebagai seorang yang fokus dalam pelestarian karya-karya Multatuli di Indonesia, Ubaidilah merasa senang dengan adanya perhatian masyarakat Korea terhadap sastra dari Hindia ini. “Penerbitan buku Max Havelaar bagi saya sangat menggembirakan karena sudah jarang sekali para pembaca yang mau kembali pada bacaan sastra kelas dunia,” ucap Ubaidilah saat menanggapi peluncuran novel Max Havelaar berbahasa Korea tersebut. Max Havelaar merupakan karya terkemuka Multatuli yang pertama kali diluncurkan pada 15 Mei 1860 oleh penerbit De Ruyter, Amsterdam. Novel yang pengerjaannya hanya membutuhkan waktu satu bulan, September-Oktober 1859, itu ditulis berdasarkan salinan surat-surat ketika Multatuli menjabat asisten residen di Lebak, Banten. Multatuli hanya menetap kurang lebih selama tiga bulan di Lebak. Datang pada Januari 1856 dan meninggalkan kota kecil itu pada April tahun yang sama dengan membawa luka dan kecewa. Ia meradang, sekuat tenaga berusaha membongkar praktik busuk tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial. Multatuli pun menggugat ketidakadilan yang ditemuinya. Multatuli menulis Max Havelaar di penginapan Au Prince Belge di Bergstraat No. 80, Brusel, Belgia. Dalam secarik surat bertitimangsa 22 September 1859 yang ditujukan kepada istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen, Multatuli menyebutkan bahwa dia sedang menulis sebuah naskah buku. Pada 13 Oktober 1859, buku tersebut selesai ditulis. Beberapa waktu sebelum karyanya diterbitkan, Multatuli mengirim secarik surat kepada Raja Willem III, penguasa negeri Belanda. “Apakah yang mulia tahu ada 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” katanya dalam surat tersebut. Tetapi raja bergeming. Novel Max Havelaar diakui sebagai salah satu karya sastra dunia. Keberadaan novel karya Multatuli ini bahkan mampu mengusik perhatian rakyat Belanda tentang tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan pemerintahan mereka di negeri jajahannya. Dalam buku Die Welt Bibliothek , penyair, novelis, dan pelukis berdarah Jerman-Swiss yang juga peraih Nobel Sastra, Hermann Hesse, menjadikan Max Havelaar salah satu buku bacaan wajib yang sangat dikaguminya. Terjemahan dari bahasa aslinya, Belanda ke dalam bahasa Indonesia dilakukan pada 1972 oleh H.B. Jassin. Berkat itu, setahun kemudian Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard. Ia juga berkesampatan tinggal selama satu tahun di Belanda. Sementara bahasa Korea sendiri menjadi terjemahan ke-47 bagi novel Max Havelaar di seluruh dunia. Menurut sejarawan Korea Bae Dong Sun, orang Korea tidak terlalu mengenal karya sastra dari Belanda, termasuk yang berlatar belakang kolonialisme di Hindia. Mereka lebih tertarik membaca karya-karya dari sastrawan Inggris atau Amerika. “Meski tidak terkenal, buku ini begitu bagus. Itulah sebabnya kami menerjemahkan novel Max Havelaar ke dalam bahasa Korea,” kata Bae Dong Sun kepada Historia. Penerjemahan novel Max Havelaar ke dalam bahasa Korea memakan waktu yang tidak sebentar. Para penerjemah, Bae Dong Sun, Sagong Gyeong, dan Mr. Kang, melakukan persiapan selama 2 tahun, terhitung sejak Desember 2016. Ubaidilah menyebut jika antusias para peneliti Korea terhadap Multatuli ini cukup besar. “Sejak ide pendirian Museum Multatuli di Banten, teman-teman Korea ini sudah nongkrong di museum. Sebelum pembukaan juga mereka sudah bertanya banyak hal tentang Multatuli,” kata Ubaidilah kepada Historia . Akhirnya, Ubaidilah menyarankan penerbitan novel Max Havelaar berbahasa Korea, karena memang saat itu belum ada terjemahan dalam bahasa tersebut. Sagong Gyeong setuju dengan usulan itu. Ia pun mulai membentuk tim yang terdiri dari sejarawan dan sastrawan. Demi mendapat terjemahan yang sesuai dengan karakter Multatuli, Bae Dong Sun dan tim mengunjungi tempat-tempat yang dahulu pernah ditempati sang penulis ketika berada di Indonesia. Mereka mencoba merekonstruksi pribadi Multatuli melalui peninggalannya. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah bekas kediaman Multatuli dan Tugu Kunskring Paleis. Untuk proses terjemahannya, para peneliti Korea menggunakan novel berbahasa Indonesia dan Belanda. Mereka memilih keduanya karena dirasa lebih dekat dengan penulis aslinya, serta isinya pun lebih mudah dipahami. “Agar dapat mengetahui Indonesia sekarang, kita perlu mengetahui Indonesia di masa lalu. Bukan dari orang Indonesia semata, melainkan perlu pandangan orang Belanda. Buku ini menjadi salah satu sumber penting untuk mengungkapnya,” pungkas Bae Dong Sun.*
- Lima Hal Menarik Seputar Malam Perumusan Naskah Proklamasi
SUASANA 17 Agustus 1945 sangat terasa di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No.1, Menteng, Jakarta Pusat. Bangunan yang dahulu dipakai oleh Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo untuk menulis konsep ( klad ) naskah Proklamasi ini tetap mempertahankan kondisi asli sejak 74 tahun silam. “Berdasarkan foto-foto, kemudian penelitian, serta buku-buku yang dibuat oleh para tokoh yang datang pada malam perumusan, maka dibuatlah replika sesuai dengan aslinya,” kata Wahyuni (42), educator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, kepada Historia . Terjadi beberapa peristiwa unik yang mungkin tidak banyak diketahui masyarakat selama detik-detik perumusan naskah Proklamasi di tempat yang pernah menjadi gedung Kedutaan Besar Inggris ini. Mesin Tik Militer Jerman Klad naskah Proklamasi yang telah dibacakan dan disetujui oleh semua orang yang hadir di rumah Laksamana Maeda akhirnya diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik. Namun, masalah muncul: di rumah itu hanya ada mesin tik berhuruf kanji. Sayuti kesulitan karena tidak ada huruf latin di sana. Menurut penuturan Satzuki Mishima, ajudan Laksamana Maeda, yang diwawancarai tim Museum Perumusan Naskah Proklamasi, untuk mengantisipasi hal tersebut dia kemudian pergi dengan mengendarai mobil Jeep menuju kantor perwakilan militer Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Indonesia (sekarang Gedung Armada Barat di bilangan Pasar Senin) untuk meminjam mesin tik berhuruf latin. Dengan mesin tik Korvetten-kapitan Dr. Hermann Kandeler itu, Sayuti akhirnya dapat menjalankan tugasnya menyalin rancangan teks Proklamasi. Ditandatangani di Atas Piano Setelah selesai merumuskan klad naskah Proklamasi, Sukarno, Hatta, dan Subarjo, pergi ke ruang tengah untuk menemui semua orang yang sedari tadi menunggu mereka. Tepat di samping piano yang letaknya dekat dengan tangga dan dapur (kini menjadi ruang pengetikan naskah), ketiganya berdiri membacakan hasil buah pikir mereka. Meski dibumbui sejumlah perdebatan, klad naskah Proklamasi itu akhirnya disetujui. Sebagai bukti pengesahannya, Sukarno dan Hatta diminta untuk membubuhkan tanda tangan mereka. Tanpa beranjak dari tempatnya dan dalam posisi berdiri, Sukarno dan Hatta memanfaatkan piano di samping mereka sebagai alas. Walau hanya replika, letak piano tersebut masih dapat dilihat di Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Menurut penuturan Wahyuni posisi piano sekarang ditentukan berdasarkan kesaksian orang-orang yang hadir pada saat proses perumusan terjadi, seperti B.M. Diah dan asisten rumah Laksamana Maeda. Naskah Asli yang Terbuang Dalam biografinya, Butir-Butir Padi B.M. Diah: Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman karya Dasman Djamaludin, B.M. Diah pernah menceritakan pengalamannya hadir saat penyusunan naskah Proklamasi pada 16 Agustus 1945. Saat Sayuti Melik diminta untuk mengetik klad Proklamasi tulisan tangan Sukarno, Diah ikut menemaninya. Setelah selesai, naskah tulisan tangan Sukarno itu diremas dan dibuang ke tempat sampah oleh Sayuti. Kebetulan B.M. Diah melihatnya, dia lalu mengambil dan menyimpan teks asli tersebut. Namun, sumber lain menyebut kalau naskah itu tidak dibuang Sayuti, melainkan hanya disimpan di meja saja. Kemudian saat B.M. Diah akan kembali ke kediamannya, dia mengambil naskah itu. “Saya tidak menyangka bahwa kertas tersebut menjadi dokumen penting di kemudian hari,” kata B.M. Diah. B.M. Diah sendiri saat itu diberi tugas oleh Hatta untuk segera memperbanyak naskah Proklamasi dan menerbitkannya di berbagai surat kabar agar berita kemerdekaan diketahui oleh semua orang. Dalam buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik , Nugroho Notosusanto menulis jika teks Proklamasi yang ada pada B.M. Diah diterbitkan pada Oktober 1945 di surat kabar Merdeka . Debat Pengesahan Naskah Setelah selesai membacakan konsep ( klad ) naskah Proklamasi, Sukarno menyarankan semua orang yang hadir bersama-sama membubuhkan tanda tangan di kertas itu. Sukarno ingin semuanya berperan menjadi wakil bagi bangsa Indonesia untuk proses kemerdekaan tersebut. Namun saran itu mendapat penentangan dari golongan pemuda. Mereka tidak rela jika orang-orang yang telah menjadi "budak Jepang" ikut mengesahkan naskah Proklamasi. Yang dimaksud "budak Jepang" adalah tokoh-tokoh dari golongan tua yang mereka nilai tidak memiliki andil dalam pergerakan nasional. “Mereka dinilai sebagai oprotunis-oportunis belaka dan memperoleh ‘kursi’ karena pengabdiannya kepada pemerintah balatentara Dai Nippon,” tulis Nugroho. Akibat pernyataan tersebut, mereka yang tertuduh merasa marah. Perdebatan antara golongan tua dan golongan muda pun tak terhindarkan. Di dalam situasi yang panas tersebut, Sukarni, salah seorang tokoh golongan muda, mengusulkan agar penandatangan naskah Proklamasi hanya Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Sukarno dan Hatta telah dikenal luas sebagai tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan sehingga pilihan tersebut dianggap paling baik oleh semua orang yang hadir. Akhirnya, usul Sukarni itu diterima oleh semua orang. Beberapa Kata yang Berubah Setelah diminta oleh Sukarno, Sayuti Melik, ditemani B.M. Diah segera mengetik naskah Proklamasi di ruangan bawah tangga dekat dapur. Ia mengetik naskah Proklamasi dengan perubahan: “tempoh” menjadi “tempo”; kalimat “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti “Atas nama Bangsa Indonesia” dengan menambahkan “Soekarno-Hatta”; terakhir dia juga mengganti “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”. Angka 05 adalah singkatan dari 2605 tahun showa Jepang, yang sama dengan tahun 1945. “Saya berani mengubah ejaan itu adalah karena saya dulu pernah sekolah guru, jadi kalau soal ejaan bahasa Indonesia saya merasa lebih mengetahui daripada Bung Karno,” kata Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik karya Arief Priyadi.*





















