Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Rencana Pembunuhan Sukarno, Yani, dan Soebandrio
UNTUK kali pertama sejak bergulirnya reformasi, ancaman pembunuhan menyasar pejabat tinggi negara. Ini diungkapkan langsung oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian pasca kerusuhan menyikapi hasil pemilu 21-22 Mei 2019. Mereka yang jadi target pembunuhan antara lain Jenderal (Purn.) Wiranto (Menkopolhukam), Jenderal (Purn.) Luhut Panjaitan (Menko Kemaritiman), Jenderal Pol. Budi Gunawan (kepala Badan Intelijen Negara), dan Yunarto Wijaya (pimpinan lembaga survei Charta Politika). Mantan kepala staf Kostrad, Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zein disebut-sebut berada di balik rencana pembunuhan tersebut. Kivlan sendiri dan orang-orang yang ditugaskan untuk melancarkan aksi pembunuhan sudah tertangkap. Mereka dinyatakan sebagai tersangka dan terancam jeratan pasal perbuatan makar. Perbuatan makar dengan merencanakan pembunuhan juga pernah terjadi di masa Presiden Sukarno. Pada 28 Mei 1965, Sukarno sendiri yang mengatakan hal itu di hadapan para panglima Kodam se-Indonesia saat berpidato di Istana Olahraga, Senayan. Mereka yang menjadi sasaran pembunuhan adalah Presiden Sukarno, Menteri Panglima AD Letjen Ahmad Yani, dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Soebandrio. Yani dan Soebandrio merupakan pembantu-pembantu utama Sukarno. “Salah satu plan adalah, untuk bunuh beberapa pemimpin Indonesia, Soekarno, Yani, Soebandrio, itu yang pertama-tama harus om zeep gebracht , harus dibunuh. Malah kalau bisa sebelum Konferensi Aljazair,” kata Bung Karno dalam pidatonya berjudul “Imperialis Mau Menghantam, Kita Harus Siap Siaga” termuat di kumpulan pidato Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan . Menurut Sukarno, rencana pembunuhan itu berasal dari kaum imperialis atau dalam istilahnya disebut nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme). Secara tersirat, nekolim merujuk Amerika Serikat (AS) yang memimpin blok Barat dalam percaturan Perang Dingin. Sejak pertengahan 1950-an, AS telah merancang penggulingan Sukarno dengan mensponsori pemberontakan PRRI-Permesta. Sukarno melanjutkan, jika aksi pembunuhan itu gagal, maka akan dilancarkan serangan terbatas. Caranya dengan membongkar rahasia Sukarno, Yani, dan Soebadro. Apakah itu berkaitan dengan skandal pribadi atau perbuatan memalukan lainnya. “Sehingga rakyat akan berontak, memberontak terhadap, Sukarno, Yani, dan Soebandrio,” kata Sukarno. Dugaan Sukarno ini didasarkan atas temuan dokumen rahasia yang diserahkan oleh Soebandrio lewat Badan Pusat Intelijen (BPI). Dokumen tersebut bermuasal dari aksi massa demonstran terhadap gedung Kedutaan Inggris di Jakarta dan kediaman sineas Holiwood, Bill Palmer di kawasan Puncak. Didapatilah salah satu surat mencurigakan yang ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Isinya mufakat antara Dubes Inggris Andrew Gilchrist dan Dubes Amerika dengan bantuan sejumlah dewan jenderal di kalangan AD ( our local army friends ) untuk menjatuhkan rezim Sukarno. Belakangan, dokumen yang dikenal dengan nama “Dokumen Gilchrist” itu dinyatakan palsu karena diragukan otentisitasnya. Menurut Anthony Dake dalam disertasinya yang dibukukan In The Spirit of The Red Banteng: Indonesia Communist Between Moscow and Peking 1959-1963 , Soebandrio adalah pemalsu Dokumen Gilchrist. Soebandrio yang tidak memeriksa secara teliti keaslian dokumen itu serta merta menyerahkannya kepada Sukarno untuk maksud dan tujuan politik tertentu. Namun menurut Peter Dale Scott, mantan diplomat Kanada dan pakar politik University of California, sejak awal Mei 1965 pemasok-pemasok militer Amerika yang mempunyai hubungan dengan CIA (terutama grup Lockhead) sedang merundingkan penjualan perlengkapan dengan komisi-komisi melalui jasa perantara. Ini ditujukan kepada pihak militer Indonesia di luar kelompok Yani dan Nasution sebagai pimpinan resmi AD. “Hadiah-hadiah itu diperuntukkan bagi pendukung-pendukung fraksi ketiga dalam AD yang sampai saat itu kurang dikenal, yaitu Mayjen Soeharto,” tulis Scott dalam artikelnya yang terkenal “U.S. and Overthrouw of Sukarno, 1965--1967” (CIA dan Penggulingan Sukarno) termuat di jurnal Pacific Affairs (1985). Scott menyebutkan bahwa Soeharto mempunyai seorang utusan yang telah lama membina hubungan dengan dinas intelijen Amerika, CIA bernama Kolonel Walandouw. Seturut dengan Scott, tokoh PNI Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI , mengatakan prasangka Sukarno perihal ancaman terhadap dirinya benar adanya. Pendapat Sophiaan mengacu kepada kemiripan dokumen-dokumen State Department dan CIA yang telah dideklasifikasi. Pada fakta sejarahnya, ancaman pembunuhan sebagaimana yang dikemukakan Sukarno memang tidak pernah terjadi. Namun kedudukan politik Sukarno, Yani, dan Soebandrio ditentukan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus. Inilah tonggak berakhirnya rezim Sukarno. Yani tewas dalam insiden pagi jahanam 1 Oktober 1965. Pimpinan AD kemudian berpindah kepada Soeharto. Soebandrio ditangkap dan kemudian dipenjarakan selama 30 tahun. Itupun atas perintah dari Soeharto yang memperoleh mandat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966. Sukarno terjungkal dari kekuasaannya yang pada akhirnya digantikan oleh Soeharto. Demikianlah masa Orde Baru dimulai. Entah makar atau bukan, di balik narasi sejarah seputar penggulingan Sukarno masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan maupun pemerhati sejarah sampai saat ini.*
- Ekstradisi dari Hong Kong?
RATUSAN ribu orang menyesaki jalan-jalan utama di Hong Kong. Negeri kepulauan dengan status otonomi khusus di bawah Republik Rakyat China (RRC) itu tengah bergejolak. Massa menggugat upaya “komunisasi” oleh pemerintah daratan sejak Minggu (9/6/2019). Menurut sumber Kepolisian Hong Kong yang dikutip Reuters , Selasa (9/6/2019), massa yang terkonsentrasi sudah berjumlah sekira 240 ribu orang. Massa menetang kembalinya cengkeraman China atas negeri mereka. Namun, aksi unjuk rasa damai itu berubah ricuh pada Selasa (12/6/2019). Bentrokan pecah. Polisi terpaksa melontarkan gas air mata, water cannon , dan bahkan tembakan peluru karet sebagaimana kerusuhan demonstrasi pada 2014. Aksi itu dipicu oleh berlangsungnya sidang Dewan Legislatif Hong Kong untuk mengesahkan Undang-Undang Ekstradisi. UU tersebut dianggap sebagai penggembosan demokrasi di Hong Kong. Jika disahkan, pemerintah RRC bisa leluasa menangkapi para tersangka kasus pidana maupun politik yang melarikan diri ke Hong Kong untuk dibawa kembali ke daratan utama guna disidangkan dengan sistem hukum RRC. “Warga Hong Kong tidak percaya pada pemerintah China,” kata Long Chen, salah satu pengunjuk rasa, dilansir CNN World , Selasa (12/6/2019). Long Chen merupakan pekerja maintenance lepas dan terpaksa tak masuk kerja demi “menyelamatkan” masa depan negerinya. Ia hanya satu dari sekian warga Hong Kong dari beragam latarbelakang yang menggugat kembalinya sistem komunis China menjamah Hong Kong. “Kami merasa tak punya pemimpin saat ini. Ini (aksi protes) adalah harapan terakhir kami. UU ini berbahaya. Kami tak mau melihat China melenyapkan kebebasan kami,” kata Sean, mahasiswa yang turut turun ke jalan. Milik China, Inggris dan Kembali ke China Negeri di Semenanjung Kowloon dengan sekira 263 pulau ini sebelum jadi koloni Inggris merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan dan pelayaran milik Dinasti Qing. Tetapi gara-gara kalah dari Inggris di Perang Opium I (1839-1842), Hong Kong diserahkan ke Inggris. Baca juga: Islam di Masa Kedinastian Cina Sedianya penyerahan Hong Kong sudah dilakoni menjelang kekalahan Dinasti Qing lewat Konvensi Chuenpi, 20 Januari 1841. Dalam dokumen The Chinese Repository Volume 10 , konvensi itu dihelat antara dua utusan: Sir Charles Elliot dan Qishan (Jing’an). Isinya adalah: penyerahan kepulauan dan pelabuhan Hong Kong kepada Inggris, ganti rugi perang enam juta dolar oleh China kepada Inggris yang dicicil sampai 1846, pembukaan hubungan resmi dua negara, dan dibukanya pelabuhan Canton dalam 10 hari setelah Hari Raya Imlek. Lukisan kapal-kapal Inggris menguasai Hong Kong karya RB Watson (Foto: sothebys.com) Meski diuntungkan, Inggris belum puas. Menteri Luar Negeri Inggris Lord Palmerston mengganti Elliot dengan Jenderal Henry Pottinger. Kesepakatan dalam konvensi itupun gugur dan perang berlanjut hingga ditandatanganinya Perjanjian Nanking, 29 Agustus 1842. Selain menuntut perdagangan bebas dan ganti rugi perang, Inggris menuntut penyerahan Hong Kong dari Kaisar Daoguang dalam isi perjanjiannya. “Segera setelah perjanjian itu ditandatangani, bendera kuning China (Dinasti Qing) dan bendera Union Jack (Inggris) dikibarkan bersama,” ungkap Sir Harry Parkes, salah satu diplomat yang menyaksikan, dikutip Stanley Lane-Poole dalam The Life of Sir Harry Parkes. Perjanjian itu lantas diratifikasi Kaisar Daoguang pada 27 Oktober dan Ratu Victoria pada 28 Desember di tahun yang sama. Isi perjanjiannya baru berlaku efektif pada 26 Juni 1843, ketika Hong Kong resmi berada di bawah ketiak Kekaisaran Inggris. Cengkeraman Inggris kian meluas setelah Konvensi Peking (Beijing), 18 Oktober 1860. Semenanjung Kowloon disewakan China kepada Inggris. Lewat Konvensi Ekstensi Wilayah Hong Kong (1898), di mana statusnya Inggris menyewa pada China selama 99 tahun, semenanjung ini lantas dijadikan wilayah perluasan Hong Kong. Di bawah kolonialisme Inggris, Hong Kong berkembang pesat, mengingat punya pelabuhan yang strategis. Tidak sedikit tokoh pergerakan yang memilihnya sebagai “suaka”. Tan Malaka, salah satunya, yang berkelana ke banyak negeri pasca-diusir pemerintah kolonial dari Hindia Belanda pada 1922. Tan singgah ke Kowloon, seberang pelabuhan Hong Kong, sejak pindah dari Shanghai dengan nama samaran Ong Soong Lee. “Kotanya dikelilingi perairan dan satu-satunya penghubung dengan Canton adalah jalur kereta api yang tentunya banyak diawasi polisi,” sebut Tan dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara, jilid 2. Tan Malaka memang jadi target operasi polisi penyelidik Inggris setelah bersua salah satu koleganya, Dawood. Tan pun diciduk kemudian dan diiterogasi polisi penyelidik Inggris dari Singapura berdarah India, Pritvy Chan. Tan dikira buron Filipina yang tengah dicari-cari oleh sang polisi. Tan kemudian ditransfer ke Markas Besar Kepolisian Hong Kong untuk interogasi lanjutan dengan Kepala Inspektur Murphy. Singkat cerita, Tan dalam tahanan Inggris di Hong Kong pernah diminta pemerintah Hindia Belanda untuk diekstradisi. Beruntung, otoritas Inggris di Hong Kong menolak lantaran kebijakan kolonialis Inggris melindungi para pelarian politik, meski kemudian Tan Malaka dideportasi. Seiring waktu, Hong Kong sempat lepas dari tangan Inggris gegara invasi Jepang, yang dimulai di pagi yang sama saat Jepang menyerang Pearl Harbor, 8 Desember 1941. Hong Kong lantas dibanjiri pengungsi dari kalangan terpelajar yang tak ingin jadi korban Perang Sipil China, usai Perang Pasifik. Banyaknya kaum terpelajar membuat industrialisasi Hong Kong bergulir pada 1950-an. Perlahan, Hong Kong jadi macan ekonomi. Status Hong Kong mulai jadi pembahasan lagi sejak 1979. Muara dari pembahasan itu adalah ditandatanganinya Deklarasi Bersama China-Inggris pada 19 Desember 1984. RRC menuntut Inggris mematuhi perjanjian konvensi tahun 1898. Inggris menyanggupi. Pada 1 Juli 1997, Hong Kong terlepas dari 156 tahun cengkeraman kolonialisme Inggris dan diserahkan ke RRC dengan catatan prinsip “Satu Negara, Dua Sistem”. Lukisan kapal-kapal Inggris menguasai Hong Kong karya RB Watson (Foto: sothebys.com) Hong Kong diizinkan menjalankan pemerintahan sendiri selama 50 tahun. Itu artinya, baru pada 2047 Hong Kong bisa benar-benar 100 persen di bawah sistem politik dan hukum RRC. Namun, Beijing tampaknya tak ingin menunggu sebegitu lama. Beberapa isu sudah lama ditebar ke dewan rakyat Hong Kong. Hal itu memicu protes dari rakyat Hong Kong. Pada 2012, gejolak muncul untuk memprotes rencana masuknya materi kurikulum pro RRC ke sekolah-sekolah di Hong Kong. Dua tahun berselang, demo besar-besaran terjadi untuk menentang regulasi pemilu di Hong Kong, terkait keterlibatan Beijing dalam pemilihan kepala eksekutif daerah otonomi Hong Kong. “Hong Kong hanya akan jadi kota China lainnya yang dikuasai Partai Komunis,” kata aktivis pro-demokrasi cum bos perusahaan media Next Digital Jimmy Lai dalam tulisannya di Nikei Asian Review. Isu UU Ekstradisi yang meletupkan gejolak saat ini makin menegaskan campur-tangan RRC. Tanpa UU Ekstradisi saja, kata massa, sudah terjadi beberapa penculikan oleh otoritas China terhadap sejumlah tersangka yang mengungsi ke Hong Kong. Konglomerat Xiao Jianhua, salah satunya. Dia diculik di Hotel Four Seasons pada Januari 2017. Sang pebisnis itu sudah dibawa ke tahanan di daratan China dan nasibnya belum jelas. “Jika undang-undang ini disahkan, di mana mungkin sebentar lagi, sama saja seperti gong kematian bagi Hong Kong yang dunia ketahui sekarang (bebas dan berdemokrasi),” tandas aktivis politik Ray Wong Toi-yeung, disitat Vox , 11 Juni 2019.
- Tiara Penolak Bala
SEPEKAN belakangan warganet lintas benua riuh berceloteh soal tiara yang dipakai Ratu Inggris Elizabeth II saat menjamu Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Istana Buckingham, 4 Juni 2019. Pada gala makan malam kenegaraan itu Ratu Elizabeth II mengenakan tiara rubi merah. Tiara Burma sebutan resminya. Tiara berhias puluhan rubi merah asal Burma (kini Myanmar) itu dianggap warganet di linimasa Twitter punya makna tersembunyi, yakni untuk mengusir setan dan bala, merujuk pada Trump, sosok yang kontroversial. Helen Rose, salah satu warganet, mengungkit mitos bahwa batu rubi bagi masyarakat Burma adalah perhiasan penolak bala dan sial. “Ratu Elizabeth adalah pahlawan. Tiara yang menghiasi kepalanya terbuat dari 96 batu rubi yang dihadiahkan padanya saat pernikahannya dari rakyat Burma untuk mengusir bala dan penyakit. Saya mengaguminya karena skill -nya menghina Trump lewat perhiasan,” kicaunya dengan akun @helenjrose. Kicauannya hanya satu dari sekian banyak warganet yang berkomentar sumbang. Tapi, apa benar Ratu Elizabeth punya pesan terselubung lewat tiara yang dipakainya saat bersua Trump? Kado Pernikahan Tiara Burma itu merupakan modifikasi dua dari sekian kado pernikahan Elizabeth II dengan Philip Mountbatten pada 20 November 1947. Mengutip Lynne Bell, Arthur Bousfield dan Garry Toffoli dalam Queen and Consort: Elizabeth and Philip: 60 Years of Marriage , dua hadiah itu berupa kalung emas berhias 69 batu rubi merah persembahan rakyat Burma dan tiara berlian dari Mir Osman Ali Khan, nizam (penguasa) Negara Bagian Hyderabad. Saat pernikahan itu, Burma masih menjadi koloni Inggris dan dipimpin Laksamana Lord Louis Mountbatten sebagai penguasa militernya dengan gelar 1st Earl Mountbatten of Burma. Louis merupakan paman Philip. Untuk merayakan pernikahan Elizabeth II dan Philip, Louis menggelar pesta makan malam di mansionnya di Broadlands, setelah di siang harinya dihelat di Westminster Abbey. Elizabeth II menyapa rakyat Inggris pasca-prosesi pernikahan. (Repro Queen and Consort). "Jumlah (rubi) dengan angka 96 memiliki relevansi yang menarik; menurut cerita orang Burma, tubuh manusia dihantui 96 penyakit dan setiap rubinya merupakan penangkalnya. Entah magisnya masih bekerja saat hadiah pernikahan itu dibongkar atau tidak, masih belum diketahui, meski tentunya tindakan itu berlawanan dengan awal makna saat diberikan," tulis Diane Morgan dalam Fire and Blood: Rubies in Myth, Magic, and History . Sementara, berlian-berlian hiasan pendampingnya diambil dari tiara berlian buatan Cartier, perusahaan pembuat perhiasan ternama dunia, pemberian Mir Osman Ali Khan. Kala itu Osman memberi tiga hadiah sekaligus yang hingga kini masih utuh: tiara berlian, kalung berlian, dan bros berlian. Setelah naik takhta, Elizabeth II memadukan keduanya pada 1973. Pengerjaannya dipercayakan pada Asprey & Garrard Ltd (kini Garrard & Co.), perusahaan desain perhiasan langganan kerajaan. Tiaranya dibuat dengan bahan platinum berhias ukiran motif mawar tudor yang gemerlap dengan sejumlah bubuhan berlian dari Omar. Tiara itu kemudian ditambahkan 96 rubi merah Burma untuk membuat makin elegan dan kemewahannya kian mencolok. Kalung Rubi Ratu Elizabeth II persembahan rakyat Burma (Foto: Repro Queen and Consort) Memang, mulanya rubi-rubi itu diyakini orang Burma untuk menangkal bala. Namun sepertinya, takhayul itu tak dipercaya Ratu Elizabeth II. Dalam menjamu Trump pun bukan kali pertama ia mengenakan tiara itu. Saat menjamu (mendiang) Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun tahun 2004, ia pun mengenakannya. "Perhiasan dipakai sebagai bentuk penghormatan, bukan penghinaan; perhiasan dikenakan untuk membangun dan menjembatani persahabatan, bukan menghancurkannya. Bukan niat sang Ratu untuk membuat kontroversi. Enam dekade pemerintahannya digulirkan menghindari kontroversi sebisa mungkin dan selalu berusaha bersikap netral (soal politik)," sebut pakar perhiasan kerajaan Ella Kay, dikutip Town & Country , 4 Juni 2019.
- Ekspedisi Mataram Kuno ke Luar Jawa
PERJALANAN ekspedisi ke luar Nusantara bukan hanya dilakukan raja-raja Sriwijaya dan Majapahit. Penguasa Kerajaan Mataram Kuno telah melancarkan aneksasi ke kerajaan-kerajan di luar pulau Jawa. Ada lima zona komersial di Asia Tenggara pada abad ke-14 dan awal abad ke-15. Zona Teluk Benggala mencakup India Selatan, Srilangka, Birma, dan pantai utara Sumatra. Lalu kawasan Selat Malaka. Kemudian Kawasan Laut Tiongkok Selatan yang meliputi pantai timur Semenanjung Tanah Melayu, Thailand, dan Vietnam Selatan. Kawasan Sulu mencakup pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau, dan pantai utara Kalimantan. Sementara Kawasan Laut Jawa terdiri atas Kalimantan Selatan, Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan Nusa Tenggara. Menurut arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, Baskoro Daru Tjahjono, zona-zona tadi tak terbatas waktu itu saja. Sejak masa sebelumnya sudah berlangsung. “Sedemikian pentingnya menyebabkan gesekan perebutan dominasi di kawasan itu, baik oleh Arab, India, kerajaan di Asia Tenggara daratan, Mongol, maupun Jawa,” tulis Baskoro dalam “Mataram Kuno: Agraris atau Maritim?” yang terbit di Kemaritiman Nusantara . Konflik terbuka, lanjut Baskoro, pun terjadi seperti antara Mongol dengan Jawa, India dengan Jawa, Khmer dengan Jawa, serta Jawa dengan Sumatra. Pun konflik tertutup dengan Arab. Mengenai berbagai ekspedisi itu sebagian besar dikisahkan lewat sumber-sumber tekstual. Misalnya dalam Carita Parahyangan yang ditulis sekira abad ke-16, terungkap setelah membangun kembali kerajaannya, Sanjaya, raja Mdang atau Mataram Kuno, menganeksasi beberapa wilayah di luar kerajaannya. Nama wilayah yang disebutkan: Melayu, Kemir, Keling, Tiongkok, dan Kahuripan. Kemudian, kata Baskoro, terdapat sumber Arab yang ditulis Sulayman dalam perjalanannya ke India dan Tiongkok pada 851, yang menyebut Sribuza (Sriwijaya), Ramni (daerah di Sumatra), dan Kalah (Semenanjung Tanah Melayu), sebagai daerah Jawa (Mdang). Keterangan aneksasi atas Sriwijaya diperkuat berita dari Tiongkok masa Dinasti T’ang. Dinyatakan bahwa Shih-li-foshih (Sriwijaya) mengirim utusan ke Tiongkok pada 670-673, 713-741, dan terakhir pada 742. Sejak itu tak ada lagi. Menurut Baskoro, ekspedisi yang dilancarkan Sanjaya bertujuan untuk menguasai lima zona komersial di kawasan Asia Tenggara. Artinya, data filologi menunjukkan kalau tradisi maritim sudah dianut kerajaan-kerajaan kuno Nusantara sejak lama. Bukan hanya oleh Sriwijaya dan Majapahit. “Sebagai kerajaan yang mampu bertahan 300 tahun, mustahil Mataram Kuno tak punya armada laut yang kuat,” tulis Baskoro. Pandangan politik Sanjaya dilanjutkan penerusnya. Arkeolog Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo dalam K apal-Kapal Karam Abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon menjelaskan, sekira abad ke-8, ada petunjuk kalau Jawa (Mataram) dan Khmer terjadi hubungan politik. Hubungan keduanya ketika itu tak begitu baik. Sumber sejarah yang menyiratkan itu justru diperoleh dari prasasti yang ditemukan di Kamboja. Isinya tentang penyerangan, diikuti pembakaran oleh pasukan yang datang dari Jawa. Menurut Bambang penyerangan Jawa atas Kamboja begitu membekas di hati rakyatnya. Ini pun menjadi cerita yang disampaikan oleh orang-orang Khmer kepada saudagar Arab ketika berkunjung pada 851. Saudagar Arab bernama Sulayman menceritakan kekalahan Raja Khmer akibat serangan pasukan Sri Maharaja dari Zabaj. Nama Sri Maharaja ini disebutkan juga di dalam beberapa prasasti abad ke-8, baik yang ditemukan di Kalasan, Yogyakarta (775) maupun yang di Tanah Genting Kra, yaitu Ligor B (778). Mungkin, kata Bambang, yang dimaksud Sri Maharaja pada berita Arab adalah Rakai Panamkaran, Raja Kerajaan Mataram. Dia naik takhta menggantikan ayahnya, Sanjaya, pada 746. “Sekaligus Datu Sriwijaya yang di dalam berbagai prasasti disebut dengan julukan ‘pembunuh musuh-musuh yang gagah berani’,” lanjutnya. Jawa rupanya tak hanya menyerang Kamboja. Mereka juga menyerang Champa. Menurut tradisi Sejarah Vietnam, pada 767, Champa diserbu oleh penyerang dari K’un-lun dan Da-ba atau Chö-po (Jawa). Serangan terakhir yang cukup menghancurkan terjadi pada 787 sebagaimana tertulis dalam Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan Raja Indrawarman. Sejarawan sekaligus Direktur Miami University Art Museum, Robert S. Wicks dalam Money, Markets, and Trade in Early Southeast Asia menjelaskan keterangan dalam prasasti itu di antaranya berisi tentang pembangunan ulang Candi Bhadradhipatisvara yang terbakar akibat serangan pasukan Jawa. Serangan Jawa ke kerajaan yang kini masuk bagian Vietnam itu cukup beralasan. Champa pada abad ke-7 menjalin hubungan persahabatan dengan Chen-la (Kamboja) yang banyak menguasai jalur perdagangan dan pelayaran di Laut Tiongkok Selatan. Berkat persahabatan itu, Champa memegang hegemoni pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan. Setidaknya hegemoni pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan itu berlangsung hingga 767. Ketika itu Champa diperintah oleh Prthiwindrawarman.*
- Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Indonesia
BANK-bank umum mendirikan anak perusahaan bank syariah karena melihat potensi nasabah yang besar. Bagaimana sejarah munculnya bank syariah di Indonesia? Pada suatu hari, Sekretaris Jenderal MUI Prodjokoesoemo dan M. Amin Aziz, pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), mendatangi Sukamdani Sahid Gitosardjono. Pengusaha perhotelan ini menjabat Penasihat Yayasan Dana Dakwah yang didirikan MUI. Mereka menyampaikan maksud mendirikan sebuah bank. Amin Aziz ditujuk sebagai project officer pendirian bank itu. Sukamdani mengatakan bank yang sedang dirintis itu dinamakan bank tanpa bunga, yang didasarkan pada bagi hasil. Jadi tidak menyimpang dari hukum Islam: yang membungakan uang berarti riba. “Di Indonesia, bank bagi hasil memang belum ada. Namun, kita belajar pada bank Islam yang menerapkan bagi hasil –membagi hasil dengan orang yang menyimpan. Begitulah percakapan saya dengan dua tokoh MUI itu,” kata Sukamdani dalam otobiografinya, Wirausaha Mengabdi Pembangunan. Langkah selanjutnya diadakan pertemuan untuk membahas pembentukan PT dan membuat rumusan yang lebih tepat tentang bank Islam. “Dalam perundingan itu akan digunakan nama Bank Islam Indonesia, tapi nama tersebut kesannya terlalu berat,” kata Sukamdani. “Lantas dilakukan konsultasi dengan Pak Ismail Saleh, Menteri Kehakiman. Akhirnya disepakati nama Bank Muamalat Indonesia.” Surat permohonan izin kepada Presiden Soeharto dikirimkan melalui Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Soeharto menyampaikan akan membantu bila rencananya sudah konkret. Pada 13 Oktober 1991, MUI mengadakan pertemuan untuk membicarakan pembentukan Bank Muamalat Indonesia di Puri Hotel Sahid Jaya & Tower. Pertemuan yang dihadiri para pengusaha itu berhasil mengumpulkan dana Rp64 miliar. Hasil pertemuan dilaporkan kepada Presiden Soeharto. Pertemuan kedua diadakan pada 1 November 1991 di Prambanan Room Hotel Sahid. Diputuskan bahwa modal dasarnya Rp500 miliar dan modal yang disetor Rp100 miliar. Saat itu, modal yang disetor sudah mencapai kurang lebih Rp82 miliar. Tanggal ini ditetapkan sebagai awal Bank Muamalat memulai perjalanan bisnisnya. Namun, bank syariah pertama di Indonesia ini baru resmi beroperasi mulai 1 Mei 1992 dan ditetapkan sebagai hari ulang tahun Bank Muamalat. Pada 3 November 1991, atas prakarsa Presiden Soeharto, Bank Muamalat mengadakan pertemuan dengan masyarakat Jawa Barat dan para pengusaha nasional di Istana Bogor. Penjualan saham di Istana Bogor itu sukses. Seluruh saham yang terjual lebih dari Rp100 miliar. Di akhir Desember 1991, Sukamdani bertemu dengan Direktur Utama Bank Muamalat, Zainulbahar Noor. Dia menyampaikan bahwa Bank Muamalat berjalan sesuai harapan. “Kini di Bank Muamalat tercatat sekitar 5.000 nasabah. Bank dengan modal saham Rp500 miliar dan modal disetor hampir Rp90 miliar ternyata mempunyai kenaikan jumlah nasabah rata-rata 20 persen per bulan,” kata Zainulbahar Noor. Nasabah bank syariah terus tumbuh. Per Agustus 2018, total nasabah bank syariah berjumlah 23,18 juta, naik 13% dari tahun lalu sebesar 20,48 juta. Jejak Bank Muamalat pun diikuti bank-bank lain. Hingga kini terdapat 13 Bank Umum Syariah, 21 Unit Usaha Syariah, dan 167 Badan Perkreditan Rakyat Syariah di Indonesia. Ironisnya, Bank Muamalat yang sempat disebut sebagai bank tersehat di Indonesia, sejak 2015 mengalami masalah permodalan. Pionir bank syariah itu tengah mencari investor baru. Setelah beberapa konsorsium investor gagal, kini Al Falah Investment Pte Limited, konsorsium bentukan Ilham Habibie, berniat mengakuisisi sekitar 50,3% saham. Prosesnya sedang berjalan dan dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.*
- Abu Sinabung Kembali Membubung
GUNUNG Sinabung lagi-lagi menyemburkan awan panasnya. Dalam beberapa tahun terakhir, Sinabung memang cukup sering memperlihatkan aktivitasnya. Terkini, gunung api tertinggi di Sumatera Utara itu kembali meletus pada minggu kemarin (09/06). Letusan disertai suara gemuruh dan awan panas ke arah tenggara 3,5 km dan selatan 3 km. Erupsi berlangsung selama 9 menit. Ketinggian abu mencapai 7 km. Ini tergolong cukup tinggi. Melansir info dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), letusan kali ini belum memakan korban jiwa. Masyarakat sudah terbiasa melihat letusan gunung Sinabung sehingga sudah paham perilaku erupsi dan tidak panik melihat letusan. Sampai saat ini, status Sinabung ada di siaga level tiga dan berada di zona merah. Gunung Sinabung memuntahkan awan panas, 9 Juli 2019. Foto:Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sinabung terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung ini merupakan jenis gunung api strato berbentuk kerucut. Puncaknya berada di ketinggian 2451 meter diatas permukaan laut. Orang-orang suku Karo menyebutnya Deleng Sinabung. Berhadapan garis lurus dari Gunung Sinabung terdapat gunung Sibayak, gunung api tertinggi kedua (2212 mdpl) di Sumatera Utara. Jika dilihat kasat mata, gunung Sinabung kurang simetris kakinya, sementara gunung Sibayak ada bopeng di puncaknya. Dalam kepercayaan lama masyarakat Karo, kedua gunung ini saling terkait. Letusan hebat Gunung Sinabung terjadi pada 1600. Letusan itu melululantakkan dataran tinggi Tanah Karo. Kampung-kampung di lereng gunung tertimbun abu vulkanik akibat erupsi. Banyak korban jiwa yang meninggal. Bencana itu menyebabkan populasi suku Karo jadi lebih sedikit ketimbang suku Batak. Menurut Brahma Putro dalam Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid 1, karena mengerikannya peristiwa letusan itu lahirlah cerita rakyat tentang Gunung Sinabung dan Sibayak. Dikisahkan bahwa Dewa Raja Umang Gunung Sinabung dan Dewa Raja Umang Gunung Sibayak berkelahi dengan hebatnya. Mereka memperebutkan Dewi Ratu Gunung Barus. “Akhirnya Dewa Raja Umang Gunung Sinabung dengan kesaktiannya memancung kepala gunung Sibayak dan putus, terbang ke dekat kampung Kaban yang dinamai sekarang Deleng Sikutu, sedang kaki gunung Sinabung dipancung oleh Dewa Raja Gunung Sibayak,” tulis Brahma Putro. Asap Erupsi Gunung Sinabung di Pagi Hari. Foto: common wikimedia. Gunung Sinabung menjinak setelah letusan dahsyatnya. Meski muntahan vulkaniknya menjadi bencana alam, kawasan gunung Sinabung termasuk salah satu lahan paling subur di Tanah Karo. Selama beratus tahun kemudian, Sinabung tidak lagi beraktivitas. Sebaliknya, Sibayak masih terus aktif. Di masa pendudukan Jepang, para serdadu Jepang menyaksikan Sinabung dengan takjub. Puncaknya kerap kali tertutupi oleh awan putih. Takao Fusayama, seorang perwira intelijen Jepang yang pernah bertugas di Tanah Karo dalam memoarnya A Japanese Memoir of Sumatra, 1945--1946: Love and Hatred in the Liberation War menyandingkan Sinabung sebagai gunung Fuji-nya Sumatera. Pesona yang sama tentang Sinabung juga diuraikan putra Karo kenamaan, Mangku Sitepu. “Ketika puncaknya tidak tertutup awan, gunung ini sangat indah dipandang dari kejauhan, meskipun sebenarnya gunung berapi ini penuh dengan jurang yang curam,” tulis Mangku dalam Corat-coret Anak Desa Berprofesi Ganda. Begitu lamanya Sinabung istirahat. Masyarakat sekitar sempat menyangka gunung itu sudah tidak aktif lagi. Sekira 17 desa berada di kaki gunung Sinabung. Penduduknya menggantungkan kehidupann dari hasil tanah yang subur untuk bercocok tanam . Namun, dari segi wisata, Sinabung masih kalah dengan saudaranya, Sibayak yang kerap jadi destinasi wisata pendakian. “Para turis alam sering mendaki puncak gunung Sibayak. Sementara itu, kurang diketahui apakah pendakian gunung Sinabung pernah dilakukan,” tulis Bungaran Antonius Simanjuntak, dkk dalam Sejarah Pariwisata: Menuju Perkembangan Pariwisata Indonesia. Pada 2010, Sinabung bangun dari tidurnya. Tanggal 29 Agustus, Sinabung menyemburkan awan panas dan meletus pada 7 September. Sebanyak 12 ribu warga terpaksa harus mengungsi. Pada 2013, Sinabung kembali meletus. Dan sejak itu, setiap tahun, Sinabung selalu “batuk” memuntahkan isi perutnya sampai saat ini.
- Judi Resmi di Indonesia
SELAMA bulan ramadhan kemarin, polisi rutin menggelar razia hiburan malam. Selain merazia minuman keras, praktek perjudian juga menjadi target utama. Operasi tersebut buka hanya dilakukan di daerah, ibu kota pun tak luput dari operasi razia tersebut. Sejatinya, pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengeluarkan larangan bermain judi sejak tahun 1970-an. Melalui Undang-Undang No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, segala praktek perjudian di Indonesia dihapus karena hal itu bertentangan dengan agama, dan moral Pancasila. Namun sebelum undang-undang itu dibuat, perjudian di Indonesia merupakan sesuatu yang legal. Bahkan pemerintah menjadi fasilitator jenis perjudian lain yang disebut “undian berhadiah”. Para penggila judi pun turut senang dibuatnya. “Dengan demikian yang nampak sekarang ini memang adanya pergesaran nilai di masyarakat. Segala macam bentuk perjudian dilarang, tapi pada saat yang sama dilegalisir” tulis M. Syafi’I Anwar dalam “Dana Pelajar pun Menjamin Porkas”, termuat dalam Panji Masyarakat No.507, 21 Juni 1986. Keputusan Pemerintah Tahun 1960-an di Indonesia berkembang jenis undian berhadiah legal yang dikeluarkan oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial. Yayasan ini dibentuk oleh pemerintah untuk urusan-urusan sosial. Karena keperluan dananya begitu besar, dipilihlah undian berhadiah sebagai salah satu cara untuk menutupinya. Pengundian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial dilakukan setiap satu bulan sekali. Nilainya pun cukup fantastis –untuk ukuran tahun 1960-an– mencapai 500.000 rupiah. Sementara nilai terendahnya berkisar antara 10.000-20.000 rupiah. Tidak hanya undian hadiah milik pemerintah, masyarakat pun dihibur oleh jenis perjudian lain yang tidak berizin. Namanya ”Lotere Buntut”. Cara memainkannya hanya dengan menebak dua angka terakhir undian berhadiah yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial. Lotere Buntut ini bertebaran hingga ke pelosok-pelosok. Sasarannya adalah petani, buruh, dan pedagang-pedagang kecil. Tanpa memerlukan peraturan yang sulit, para pecandu permainan ini dapat langsung memasangkan taruhannya. Besaran hadiah yang didapat pun cukup menggiurkan, berkisar antara 60.000-80.000 rupiah. Di ibu kota, gubernur Ali Sadikin membuat gempar. Ia melegalkan permainan judi yang dikenal sebagai Nalo (Nasional Lotre) berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 1957 tentang tanggung jawab pemerintah terhadap daerahnya sendiri. Namun di balik pro kontra yang menyeret Ali Sadikin, permainan judi itu terbukti mampu membangun Jakarta menjadi lebih baik. Banyak infrastruktur yang dibangun dan pemerintah juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kala itu. Minat masyarakat terhadap undian hadiah dan perjudian sangat tinggi. Hal itu tentu menguntungkan pemerintah dan para pihak terkait. Namun bagi Presiden Sukarno permainan semacam itu justru dinilai sebagai perusak moral bangsa. “Kegiatan ini (perjudian) sempat berhenti di tahun 1965 ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres No.113 Tahun 1965 yang menyatakan lotre buntut bersama musik ngak-ngik-ngok merusak moral bangsa dan masuk dalam kategori subversi.” tulis Denny J.A dalam Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda mengenai Demokrasi di Indonesia . Dengan dikeluarkannya keputusan presiden itu, ditambah buruknya sistem yang dibuat pihak pengelola, undian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial pun ditutup. Namun tidak benar-benar dihilangkan. Hanya berganti nama, pada 1978, menjadi Badan Usaha Undian Harapan dengan programnnya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Dalam laporan Tempo “Wajah Lotre Silih Berganti”, 20 November 1993, SSB mengeluarkan kupon undian berhadiah yang diberi nama Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) atau Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah (KSSB). “Kebijakan baru pemerintah ditengarai sebagai ajakan judi terselubung dengan mengganti namanya” tulis Wahyu Lumaksono dalam Legalisasi Porkas dan Dampaknya terhadap Masyarakat pada Tahun 1985-1987 . Pada 1979 undian hadiah SSB diberlakukan. Sebanyak 4 juta kupon disebar, diundi setiap dua minggu sekali. Pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang berpusat di Jakarta. Laporan Kedaulatan Rakyat 27 Maret 1986, menyebut undian SSB setiap tahunnya memperoleh omzet kurang lebih 1 triliun rupiah. Hingga tahun 1985 sebanyak 2,5 miliar uang hasil undian, dari 4 juta lembar kupon yang terjual, disebar untuk keperluan sosial dan kemanusiaan. Judi Olahraga Bersamaan dengan penyebaran undian hadiah SDSB, pemerintah mengeluarkan jenis judi legal lain yakni Porkas . Akronim dari Pekan Olah Raga dan Ketangkasan. Undian berhadiah ini berada di ranah olahraga, dan sepak bola menjadi lahan basah untuk praktek perjudian ini. Sebelum direalisasikan, Presiden Soeharto mengirim Menteri Sosial Mintaredja untuk melakukan studi banding ke Inggris. Tidak main-main, pemerintah mempelajari sistem undian berhadiah ini selama dua tahun. Mereka ingin menciptakan model undian tanpa meninmbulkan ekses judi. Di Inggris sendiri jenis undian berhadiah menggunakan perhitungan-perhitugan yang sistematik. Dalam Managing National Lottery Distribution Fund Balances , yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Inggris, menjelaskan perhitungan lotere di negara itu bukan semata-mata tebakan saja, tetapi semacam permainan berhitung yang rumit. Pemerintah Indonesia mencoba melakukan hal yang sama. Setelah melalui serangkaian penelitian, porkas akhirnya diresmikan pada 1985. Aturannya mengacu pada UU No. 2 Tahun 1954 tentang undian. Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985. Pemerintah mengklaim porkas berbeda dengan undian hadiah berbau judi sebelumnya. Dalam porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan menang-seri-kalah. Peredarannya pun hanya sampai tingkat kabupaten, dan batasan usianya 17 tahun. Para pembeli kupon hadiah ini akan bertaruh untuk 14 klub sepak bola di divisi utama. Setelah 14 klub melakukan pertandingan –berjalan selama seminggu– hadiah akan diundi. Pembagian hadiahnya: 50-30-20, berurutan penyelenggara tebakan-pemerintah-penebak. Banyak Ditentang Sejak awal diresmikan, porkas mendapat banyak tentangan dari masyarakat. Walau tidak sedikit yang mendukung program judi legal pemerintah tersebut. Para penentang menyebut pemerintah hanya membuat kedok untuk bermain judi. Sedangkan mereka yang mendukung menganggap program itu dapat membantu permasalahan keuangan negara. “Sebagai tindakan reaksi pihak yang menentang undian tersebut, maka pertengahan 1986 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menulis surat yang dilayangkan kepada pemerintah agar pelaksanaan porkas dievaluasi kembali” tulis Wahyu. Semakin besarnya gelombang protes dari masyarakat membuat pemerintah akhirnya mengganti porkas menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB). Dalam Tempo 28 November 1987, “Menebak-nebak Izin Porkas”, pemerintah memberikan hadiah utama sebesar 8 juta rupiah, dengan harga kupon 600 rupiah perlembar. Kali ini bukan menang-seri-kalah yang dipertaruhkan, tetapi skor pertandingan. Sepanjang tahun 1987, undian KSOB telah meraup dana dari masyarakat sebanyak 221 miliar rupiah. Tidak adanya ketegasan dari MUI untuk mengeluarkan fatwa tentang porkas membuat masyarakat sedikit cemas. Oleh karenanya, sekitar pertengahan Februari 1986 di Bandung berlangsung acara "Forum Silaturahmi Ulama dan Cendekiawan Muslim Jawa Barat". Salah satu agendanya membahas permasalahan porkas. Laporan Panji Masyarakat menyebut forum yang dihadiri oleh para ulama, ahli hukum, dan cendekiawan Muslim tersebut sepakat mengharamkan porkas dan mengategorikannya sebagai judi. "Forum juga berpendapat, Porkas Sepakbola dalam praktek merusak kehidupan beragama. Khususnya bagi remaja dan pelajar yang disebabkan oleh adanya kontroversi nilai antara yang mereka pelajari di sekolah dan di rumah dengan ditemukan di masyarakat." tulis Syafi'i. Pernyataan menentang porkas dalam forum itu dituangkan dalam 5 halaman kertas folio, dan ditandatangani oleh 100 ulama dan cendekiawan Muslim Jawa Barat. Di antara mereka yang memberikan tanda tangan terdapat nama-nama seperti KH. Drs. Miftah Farid (ketua MU Jawa Barat), KH. M. Rusyad Nurdin (ketua Dewan Dakwah Jawa Barat), KH. Iping Z. Abidin, Ir. Bambang Pranggono (mantan Sekjen BKPMI), dan lain sebagainya. Tidak hanya dari kalangan ulama dan cendekiawan, para mahasiswa pun semakin gencar melakukan aksi pertentangan. Bermula dari aksi protes mahasiswa UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta pada 1991 yang mendesak pihak universitas mengembalikan uang sebesar 100 juta rupiah yang diberikan YDBKS untuk pembangunan sarana pendidikan di kampus mereka. Gelombang protes memuncak saat beberapa kios yang menjual kupon SDSB di Jakarta dibakar. Mereka geram dengan pemerintah yang lambat mengambil keputusan untuk menarik seluruh kegiatan undian berhadiah tersebut. Peredaran kupon baru benar-benar dapat dihentikan pada 24 November 1993. Para agen perjudian itu tidak lagi mengedarkan kupon SDSB maupun KSOB. Di hadapan anggota DPR, Meteri Sosial Endang Kusuma Inten Soewono mengumumkan penghapusan undian berhadiah.
- Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan
Banten dan Mataram, sama-sama kerajaan Islam, namun bermusuhan. Banten menolak tunduk kepada Mataram. Untuk mendesak Banten, Mataram menggunakan kaki tangannya: Cirebon. Cirebon pun sampai berperang dengan Banten. Dua utusan dari Cirebon, Jiwasraya dan Nalawangsa, datang ke Banten. Mereka gagal membujuk Sultan Banten untuk mengakui kekuasaan Mataram. Utusan berikutnya adalah seorang sentana (keluarga raja), yaitu Pangeran Martasari, dan putranya, berserta Tumenggung Wiratantaha. Martasari dijamu dengan meriah oleh Pangeran Adipati, putra Sultan Abulmaali. Namun, dia gagal membujuk Sultan Banten, Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651), untuk pergi bersamanyamenghadap Sultan Mataram. “Sultan Banten tidak mau mengakui raja mana di atasnya selain Sultan Mekah, yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi pelajaran-pelajaran yang berhikmah,” tulis H.J. de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Kegagalan Martasari membuat marah Patih Mataram, Tumenggung Singaranu. “Singaranu marah dan menuntut bukti kesetiaan Martasari kepada Cirebon. Dia diperintahkan untuk menyerang Banten,” tulis Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten . Martasari didampingi Ngabei Panjangjiwa memimpin armada berkekuatan 60 kapal berlayar menuju Banten. Untuk meladeni pasukan Cirebon, Banten menyiapkan 50 kapal di bawah pimpinan Lurah Astrasusila, Demang Narapaksa, dan Demang Wirapaksa. Sultan Banten menjanjikan hadiah dua ribu rial dan sehelai kampuh (kain kebesaran) apabila memenangkan peperangan. Setiba di pelabuhan Tanara, Astrasusila menunggu sambil bersembunyi di Tanjung Gede. Narapaksa dan Wirapaksa bersembunyi di Muara Pasiliyan. Pada pagi hari, sebagian pasukan Cirebon di bawah Panjangjiwa memasuki pelabuhan Tanara. Mereka disergap dan Panjangjiwa menyerah kepada Wirapaksa. Dia dikirim kepada Sultan Banten yang mengampuninya. Ketika orang Cirebon lainnya tiba, mereka melihat senjata terapung. Mereka tak tahu kalau Panjangjiwa tanpa perlawanan sedikit pun telah menyerah. Mereka diserang tiba-tiba oleh Astrasusila dan dua orang demang. Hanya satu kapal yang selamat di bawah Martasari. Lima puluh kapal dirampas. Para awak kapal tidak melawan, dibelenggu, dan diturunkan di padang Sumur Angsana. “Di sana mereka dibunuh, sekalipun mereka minta ampun. Kepala mereka dikirim ke Surosowan,” tulis De Graaf. Keraton Surosowan merupakan tempat tinggal Sultan Banten yang dibangun antara tahun 1552 sampai 1570. Menurut Titik, Sultan Banten marah karena kelakuan prajuritnya yang kejam pada prajurit Cirebon. “Peristiwa penyerbuan Cirebon ke Banten ini disebut Pacirebon (Pacaebonan) atau Pagarage,” tulis Titik. Perang Banten-Cirebon itu terjadi pada hari ke-30 bulan Ramadan. Pada hari Lebaran para prajurit kembali ke Banten. “Bulan Ramadan tanggal 30 itu jatuh pada tanggal 22 Desember 1650. Hari Lebaran jatuh pada hari berikutnya,” tulis De Graaf.
- Pemboman Udara Pertama Indonesia
TIGA puluh menit beranjak dari pukul 02 dini hari tanggal 29 Juli 1947. Di atas pembaringannya yang hanya lima kursi kelas dijajar, pemuda Sutarjo Sigit gelisah. Mata kadet (pelajar penerbang) di Sekolah Penerbangan Maguwo itu tak kunjung bisa terpejam. Parasut yang dijadikan bantal olehnya juga tak membantunya bisa cepat tidur. Tugas berat yang bakal diembannya terus memenuhi kepala Sutarjo. Bukan hanya pertama buat dirinya dan beberapa rekan kadet lain, tugas berupa operasi pemboman udara Semarang dan Salatiga itu juga akan menjadi yang pertama buat Indonesia. Tugas itu muncul sehubungan dengan dilanggarnya kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati oleh Belanda. Pesawat-pesawat Belanda terus membombardir sasaran-sasaran strategis milik republik. Selain menimbulkan korban jiwa, serangan-serangan itu membuat Indonesia kehilangan banyak lapangan udara (lanud) berikut pesawat-pesawat yang dimilikinya. Sutarjo dan Mulyono menyaksikan langsung ketika hendak ke lanud pada 21 Juli 1947. “Waktu tiba di Pangkalan Udara, mereka masih menyaksikan enam buah pesawat yang sedang terbakar, yang terdiri dari Cukiu, Nishikoreng, dan beberapa Cureng, yang sebagian besar tinggal kerangka dan abu belaka,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Bambang Saptoaji, Mulyono, Suharnoko Harbani, Sutarjo, dan beberapa kadet udara lain bertekad untuk membalas dendam dengan melancarkan serangan udara ke daerah pendudukan Belanda. Kendati sempat ditolak tiga pimpinan teras AURI, kegigihan mereka memperjuangkan ide membuahkan hasil. KSAU Komodor Suryadarma dan deputinya bidang operasi, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma, merestuinya kendati tidak memerintahkan operasi sukarela itu. “Kalau ditinjau dari segi militer, apa yang akan saudara-saudara lakukan tidaklah besar artinya. Namun, bila ditinjau dari semangat perjuangan bangsa secara keseluruhan, apa yang akan kalian lakukan ini adalah untuk menggugah semangat perjuangan bangsa Indonesia,” kata KSAU Komodor Suryadarma kepada para kadet sebagaimana dikutip Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . Halim lalu menetapkan Hari-H operasi tanggal 29 Juli pukul 05.00 dengan sasaran Salatiga dan Semarang. Mulyono, ditemani penembak udara Dulrachman, diplot menyerang Semarang dengan pengawalan Bambang Saptoaji yang menerbangkan Hayabusha. Sutarjo ditetapkan sebagai flight leader dan ditugaskan menyerang Salatiga bersama penembaknya yang juga bernama Sutarjo. Keduanya juga didampingi Suharnoko sebagai wingman dan Kaput sebagai penembak. Mereka bakal menggunakan empat pesawat yang tersisa: dive - bomber Guntai, fight - trainer Hayabusha, dan dua basic trainer Cureng. Semua pesawat peninggalan Jepang. Usai menerima penjelasan teknis dari Halim, mereka kembali ke asrama Wonocatur untuk istirahat. Sutarjo tak bisa cepat tidur sampai dini hari tanggal 29 Juli karena gelisah. Dia tiba-tiba teringat tanggal 28 Juli 1947 usianya genap 20 tahun. Pikirannya terus berjalan, masih adakah tanggal 28 Juli untuknya di kemudian hari. Pukul 03.30, para kadet dibangunkan dari tidur. Mereka lalu diangkut ke lanud menggunakan sedan tua. Nahas, mobil itu mogok di tengah perjalanan. Alhasil, para kadet melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Para teknisi masih sibuk mempersiapkan pesawat ketika mereka tiba di Maguwo. Sutarjo kembali sial, pesawat yang akan diterbangkannya tak bisa dipasang senapan mesin. Alhasil, Sutarjo harus pasrah terbang tanpa alat perlindungan diri. Namun, kesialan lebih diterima Bambang. Sistem sinkronisasi antara tembakan senapan mesin dengan putaran baling-baling pesawat Hayabusha-nya tak dapat diperbaiki. Alhasil, dia gagal terbang. Bambang sampai membujuk rekan-rekannya agar mau digantikan, tapi usaha itu tak berbuah. Setelah menerima briefing singkat Suryadarma dan Halim, para kadet mengudara tepat pukul 05.00 dengan bantuan lampu mobil yang diparkir di pinggir runway sebagai taxi way lights dan sorotan lampu sebuah pesawat yang diparkir di ujung runway . Bambang hanya bisa menatap dari darat. Para kadet tanpa pengalaman terbang itu, terlebih terbang di waktu gelap, mengalami kesulitan begitu mengudara. Terlebih, Sutarjo. Matanya hampir buta karena terpapar cahaya berlebih dari lampu pesawat di ujung landasan. Sampai berapa waktu, pesawatnya terpisah dari rombongan. Di atas sebuah danau luas, Suharnoko memantapkan hati bahwa telah mencapai Ambarawa. Bom pun dilepaskan dari sayap pesawatnya ke beberapa tangsi Belanda. Selesai melakukan pengeboman, Suharnoko mengarahkan pesawatnya ke Salatiga untuk bergabung dengan Sutarjo. Sutarjo “asyik” sendiri di atas Salatiga karena terpisah dari rombongan. Begitu pesawatnya mendekati sebuah markas militer Belanda, dia langsung menarik tuas merah di kokpit. Bom dari sayap kiri pesawatnya pun memporak-porandakan markas Belanda itu. Dia langsung bersiap-siap untuk pemboman kedua. Namun sial, tuas pelepas bom patah sehingga pomboman keduanya gagal. Dia tinggal berharap pada tuas ketiga, berwarna kuning, untuk melancarkan serangannya. “Setelah menukik dan mengarahkan pesawat ke arah sasaran, handle kuning tersebut ditarik, tetapi apa yang terjadi? Handle ini pun patah dan bom masih tetap menggantung di bawah sayap kanan. Dengan rasa dongkol dan kecewa pesawat dinaikan kembali,” tulis Irna. Sutarjo terus mencari cara untuk menjatuhkan sisa bom di pesawatnya karena mendaratkan pesawat dengan bom di sayap sangat berbahaya. Dia akhirnya menemukan jawabannya, yakni menarik kawat penghubung antara bomb - rack dengan tuas. Masalahnya, bagaimana mengendalikan pesawat bila dia mesti menunduk untuk menarik kawat-kawat itu? “Sutarjo kemudian memutuskan untuk terbang straight and level (langsung mendatar) menuju sasaran. Sambil merundukkan badan, ia raih ketiga kawat baja tersebut dengan tangan kiri dan menariknya kuat-kuat. Seketika itu juga keseimbangan pesawatnya kembali normal, tanda bahwa bom telah lepas.” Di Semarang, bom-bom dari pesawat Guntai Mulyono membuat panik militer Belanda. Beberapa penerbang Belanda langsung berlarian menuju pesawat-pesawat mereka di Lanud Kaibanteng. Mereka gagal mengejar lantaran pesawat-pesawat itu belum dipanaskan. Para kadet AURI langsung kembali ke Maguwo setelah menyelesaikan misi masing-masing. Mereka terbang rendah melewati rute berbeda dari yang mereka tempuh ketika berangkat. Suharnoko tiba paling akhir. Pesawat-pesawat yang mereka gunakan langsung disembunyikan dengan ditutupi dedaunan di bawah pepohonan di luar lanud guna menghindari bombardir balasan dari pesawat-pesawat Belanda yang datang sejam kemudian. “Para kadet penerbang Indonesia yang hanya dengan penggemblengan darurat secara kilat di Sekolah Penerbang, telah berhasil melancarkan operasi udara yang pertamakali dalam sejarah perjuangan TNI Angkatan Udara,” tulis Irna.
- Jasa Aletta untuk Hindia
PASCA-depresi selama setahun akibat kematian suaminya, Carel Victor Gerristen, pada 1905, Aletta Jacobs bangkit. Aletta kembali aktif mengampanyekan hak-hak perempuan dalam pertemuan internasional. Pada 1911, Aletta melakukan tur keliling dunia selama 16 bulan bersama rekannya, Carry Chapman Catt. Aletta Henriëtte Jacobs merupakan dokter perempuan pertama di Belanda yang aktif dalam gerakan feminisme Eropa. Lahir di Sappemeer pada 9 Februari 1854, ayahnya, Abraham Jacobs, merupakan seorang dokter. Pun saudara-saudara lelakinya, kebanyakan berkarier di bidang medis. Namun hanya Aletta dan sudara perempuannya, Charlotte, yang jadi dokter dan apoteker sekaligus aktif dalam gerakan perempuan. Tur yang dilakukan Aletta memang diniatkan untuk menyaksikan dan mengevaluasi kondisi sosial-politik perempuan di berbagai wilayah. Hindia Belanda, tempat Charlotte tinggal sejak 1884, masuk dalam daftar kunjung Aletta. Aletta sampai di Hindia pada 1912. Dalam kunjungan itu, ia sempat bertemu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg pada 18 April. Dalam buku hariannya, seperti dikutip Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market, Aletta menceritakan obrolannya ketika bertemu Idenburg. Aletta sempat bersikukuh agar pemerintah mulai menerima anak perempuan untuk mengikuti program pelatihan dokter. Menurutnya, keberadaaan dokter perempuan amat penting untuk melayani pasien perempuan. Ia bahkan mengusulkan agar gadis-gadis pribumi diterima di sekolah kedokteran supaya dokter Jawa perempuan hadir di masyarakat. Ia juga mengkritik akal-akalan pihak sekolah menolak perempuan jadi murid dalam sekolah medis. “Semua gadis pribumi yang melamar ke sekolah dokter Djawa ditolak, selalu dengan satu atau lain alasan,” tulis Aletta dalam buku hariannya. Usul Aletta diterima. Sayangnya, para murid perempuan tidak bisa bekerja di layanan medis sipil. Konsekuensinya, anak-anak perempuan harus membiayai sendiri segala keperluan pelatihan. Untuk mengatasi itu, Charlotte bersama penulis Marie Kooij-van Zeggelen, Elisabeth van Deventer-Maas (istri anggota parlemen Van Deventer), dan penulis “Een Eereschuld” mendirikan Vereeniging tot Vorming van een Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (Asosiasi Penggalangan dana studi untuk melatih dokter wanita pribumi). Lembaga ini memberi beasiswa untuk anak perempuan yang ingin belajar kedokteran, dengan dana yang dihimpun sebesar 2000 gulden. Dana itu dialamatkan pada mahasiswa kedokteran dan untuk membiayai pelatihan perawat. Marie Thomas diterima sebagai siswi pertama pada September 1912. Dua tahun kemudian Anna Warouw, siswi kedua, diterima sebagai mahasiswa kedokteran. Keduanya orang Minahasa. Marie Thomas di kemudian hari menjadi dokter spesialis bidang ginekologi dan kebidanan Indonesia pertama, sementara Anna spesialis THT. Selain membukakan jalan untuk kelahiran dokter perempuan Indonesia, Aletta juga aktif dalam perjuangan hak pilih perempuan. Laman atria.nl mencatat Aletta menduduki kursi pimpinan Vereniging Voor Vrouwenkiesrecht (VVV) selama 16 tahun (1903-1919). Aletta turun dari jabatan presiden VVV setelah tuntutan para perempuan Belanda untuk mendapat hak pilik aktif dikabulkan pada 1919. Dua tahun sebelumnya, mereka hanya menikmati hak pilih pasif. Namun, gading mana yang tak retak. Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State menyebut Aletta berlaku bias ketika merasa rikuh dengan kehadiran perempuan pribumi dalam forum yang dipimpinnya. “Dia berharap untuk membahas masalah Belanda ini secara eksklusif dengan orang-orang Eropa. Sikap asosiasi terhadap organisasi wanita Indonesia juga sama 'maternalistiknya',” tulis Elsbeth.
- Akibat Surplus Jenderal
MASIH ingat Nagabonar? Tukang copet asal Medan di era revolusi yang mengangkat dirinya menjadi jenderal. Rupanya kisah konyol itu bukan rekaan penulis Asrul Sani semata, namun memang fenomena yang kerap terjadi dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949). Menurut Salim Said, begitu banalnya organisasi kemiliteran zaman tersebut, hingga siapa pun yang merasa kuat dan memiliki anak buah merasa berhak mengangkat dirinya menjadi jenderal. “Dalam revolusi kita, ada cerita seorang jagoan yang berhasil merampas jip tentara Belanda langsung mengangkat dirinya sendiri menjadi jenderal,”ujar sejarawan militer Indonesia itu. Memang tak ada yang tak mungkin dalam suasana revolusi. Ketika menjadi kaum pemanggul senjata dianggap sebagai puncak dari pengabdian terhadap nusa dan bangsa, maka para pentolan grup-grup pemuda berlomba untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai “yang terhebat”, termasuk dalam soal kepangkatan. “Sesudah proklamasi, negara yang tak bermatapencaharian (kecuali dengan terus mencetak uang), memelihara lebih dari setengah juta tentara dan lasykar serta 60 jenderal,”ungkap A.H. Nasution dalam TNI: Tentara Nasional Indonesia Jilid 1 . Di Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara di Yogyakarta saja ditempatkan sekitar selusin jenderal ditambah setengah lusin jenderal politik dari Pepolit (Pendidikan Politik Tentara, bentukan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin) seperti Jenderal Mayor Sukono Dojopratiknjo, Jenderal Mayor Wiyono, Jenderal Mayor Anwar Tjokroaminito serta jenderal-jenderal Angkatan Laut dan Angkatan Udara seperti Laksamana Nazir, Laksamana Atmadji, Laksamana Pardi, Komodor Suryadarma dan Komodor Zulkarnaen. Surplusnya militer Indonesia kala itu dengan para jenderal menyebabkan banyaknya dari petinggi-petinggi tentara itu yang tak memiliki pekerjaan secara professional. Karena itu sebagai upaya untuk menjadikan mereka “sibuk” maka sebagain besar para jenderal tersebut dikaryakan ke dalam “tugas-tugas istimewa” seperti mengurus beras, mengurus kina, menangani opium, mengurus tawanan perang, mengurus kereta api dan mengurus istana negara. Di tingkat bawah, surplus jenderal itu juga menumbuhkan kebingungan dan justru rasa tidak hormat. Terjadi gap antara atasan dan bawahan. Para komandan dari kesatuan-kesatuan kecil yang langsung berhadapan dengan musuh di garis depan menjadi kecewa dan kesal dengan situasi tersebut. Terlebih para jenderal itu bisa dengan seenaknya mengangkat pangkat seseorang yang dia sukai. A.H, Nasution membuat suatu contoh kasus ketika seorang sersan mayor menyumbangkan beberapa ban mobil (yang sangat sukar didapat kala itu) kepada seorang jenderal. Karena merasa suka, sang jenderal lalu menaikan pangkat si sersan mayor menjadi mayor. Suatu loncatan kenaikan pangkat yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi di zaman sekarang. “Orang-orang yang kemarin sore dikenal sebagai anggota tentara yang memiliki tugas “kurang berarti”, sekonyong-konyong muncul di Yogyakarta selaku letnan kolonel atau kolonel,” ujar Nasution. Dengan kondisi seperti itu adalah wajar kalau para prajurit di bawah tidak lagi memiliki rasa hormat dan kepercayaan kepada “para pemilik bintang gemeralapan” itu. Jika berpapasan di jalan, alih-alih memberikan salut secara militer, para prajurit lebih memilih untuk pura-pura tidak melihat atau melengos begitu saja. “Karena kami tahu mereka tidak berjuang seperti kami yang mempertaruhkan nyawa di front pertempuran,” ujar Soedarja (95), salah seorang eks prajurit dari seksi intelijejen Divisi Siliwangi. Kebiasaan “berlomba-lomba tampil sebagai jenderal” di dinas ketentaraan resmi, ternyata diikuti pula oleh rekan-rekan mereka di kelasykaran. Bahkan obral pangkat dibuat lebih murah lagi oleh mereka. Seorang jago atau jawara yang memimpin puluhan orang dalam satu badan lasykar, maka dengan semena-mena akan menyatakan diri sebagai “komandan resimen A” atau “komandan divisi B”. Di kalangan lasykar proses pengangkatan perwira dan jenderal malah cenderung lebih “kacau” lagi. Ya laiknya dalam film Nagabonar. Tidaklah aneh, kata Nasution, jika saat itu ada ejekan yang beredar di kalangan masyarakat: “Sudah dipastikan kita akan menang melawan Belanda, karena jumlah jenderal kita jauh sepuluh kali lipat banyaknya dari jumlah jenderal mereka.”
- Berlebaran di Tahanan
LEBARAN tahun 1966. Mia Bustam, perempuan pelukis Lekra yang jadi tahanan politik (tapol) 1965, sibuk bukan kepalang begitu gerbang Vredeburg dibuka. Besek-besek mengalir deras tak henti-henti. Ada yang berisi lontong, ketupat, jadah, gula, dan makanan tahan lama seperti serundeng dan abon. Besek-besek itu merupakan bingkisan lebaran yang dikirim keluarga kepada para tapol. Bingkisan itu menjadi satu-satunya tali penghubung antara keluarga dan tapol di hari raya lantaran bertemu para tapol tak diperbolehkan. Bingkisan-bingkisan itu mesti disalurkan Mia, kepala tapol perempuan, ke kepala pleton kamp lelaki maupun perempuan. Para tapol yang menerima kiriman dipanggil ke pos piket lewat megaphone. “Hari itu semua penghuni kamp makan besar. Saking besarnya kami dengar di kamp pria bayak yang sakit perut, kekenyangan,” kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp . Mia sendiri tak mendapat panggilan. “Tak ada kiriman bagiku,” sambungnya . Seorang petugas yang iba lantas mengambil sedikit-sedikit dari semua kiriman itu, menaruhnya di besek, lalu diberikan ke Mia. Ada banyak tapol yang bernasib seperti Mia, tak dapat kiriman. Mia menyaksikan anak lelaki menjilat-jilat daun pisang bekas bungkus opor. Ia pun heran dengan rekan-rekan sepleton anak itu yang tak membagi kirimannya sedikit pun. Mia jadi teringat anak lelakinya, Tedjabayu, yang juga ditangkap. Terdorong rasa iba, Mia mengajak ibu-ibu yang sepleton dengannya untuk mengumpulkan ketupat, lauk, apem, dan makanan lain. Ketika hendak memberikan makanan itu, Mia mendapati si anak sedang mengais-ngais makanan dari tumpukan bungkus. “Ssst, jangan nggragas (rakus, red. ). Makan apa itu? Ini sedikit kiriman untukmu,” kata Mia. Si anak muda terdiam sejenak, keheranan. Sejurus kemudian ia terima besek itu, membawanya lari, dan lupa mengucapkan terima kasih. “Kami tertawa, merasa lega setidaknya hari itu bisa membuat orang sedikit bahagia,” katanya. Suasana lebaran di Kamp Plantungan lain lagi. Pada malam takbiran, para tapol Plantungan menyiapkan zakat fitrah untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar kamp. Pembagian zakat itu diatur sendiri oleh tapol dengan bantuan rohis. Meski dalam tahanan, para tapol masih sanggup memberikan zakat dengan menyisihkan sedikit uang dari hasil penjualan yang dikelola petugas prosar (produksi dan pemasaran). Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah tapol Wanita di Kamp Plantungan menyebutpada hari lebaran, para tapol salat di dalam masjid kamp. Pimpinan rohis bertindak sebagai imam. Selepas salat, semua penghuni kamp saling mengucapkan selamat dan bermaafan, juga kepada komandan dan petugas kamp. Petugas biasanya memberikan waktu kunjungan keluarga selama dua hari berturut-turut. Pengunjung diterima di gedung kamp sebelah timur. Di dalam bangsal, bangku dan meja ditata per kelompok supaya para tapol bisa duduk bergerombol dengan keluarganya masing-masing. Ada juga acara makan bersama dan saling berkenalan antarkeluarga. Namun dalam pertemuan ini para tamu dilarang ambil foto. Ketika waktu kunjungan dibuka, bagian prosar menggelar bazar kecil untuk menjual hasil produksi para tapol. Ada koleksi kerajinan tangan yang bisa dibeli sebagai kenang-kenangan, seperti sapu tangan, baju, dan hiasan dinding yang dihiasi sulam. Digelar pula kantin umum dengan beragam stan makanan, seperti kue, gado-gado, dan minuman. Keluarga tapol yang hendak berkunjung dilarang gondrong. Kalau ada tamu yang gondrong, petugas kamp siap memangkas rambut mereka di pintu gerbang sebelum diperbolehkan masuk kamp. Meski mendapat kesempatan bertemu sanak-saudara, tidak banyak tapol yang menggunakan kesempatan ini. Mereka khawatir, kalau-kalau saudaranya berkunjung malah terseret masalah karna ketahuan punya kerabat tapol. “Akan membahayakan kedudukannya kalau ketahuan mertuanya seorang tapol G30S,” kata Mia tentang menantunya, Dosen ITB Arifin Wardiman.





















