top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dari Ho Chi Minh hingga Kennedy

    MEGAWATI Sukarnoputri heran. Suatu hari, ayahnya meminta dia dan kakaknya, Guntur, berpakaian rapi dan bersepatu untuk menyambut seorang tamu agung istana. Namun, sang tamu yang dipanggil dengan sapaan Bak (Paman) Ho justru datang hanya mengenakan sandal. Mega langsung bertanya kepada ayahnya. “Kenapa Bak Ho pakai sandal?” tanya Mega. “Jangan keras-keras ngomongnya!” jawab sang ayah, Presiden Sukarno, sambil membungkuk dan berbisik ke anaknya. “Apa nggak punya sepatu ya?” “Ya, nanti diterangkan.” “Bapak belikan sepatu dong!” Sukarno langsung menceritakan kebingungan putrinya itu kepada sang tamu Ho Chi Minh, bapak pejuang kemerdekaan Vietnam. Alih-alih marah, Bak Ho langsung mendatangi Mega dan memeluknya sambil tersenyum. “Nanti kalau Vietnam sudah menang kamu kirim sepatu buat saya,” kata Bak Ho sebagaimana ditirukan Mega dalam sambutannya di acara peluncuran buku Seri Historia di Museum Nasional, Jakarta, Kamis, 30 November 2017. Sepenggal kenangan itulah yang Mega ingat tentang sahabat ayahnya dari Vietnam. Selain cinta anak-anak, Mega mengenang sosok Ho Chi Minh sebagai seorang penyabar yang sangat idealis. “Beliau tidak menikah. Dalam sumpah perjuangannya, tidak akan menikah sampai Vietnam menang,” kata Mega. Kesamaan pandangan tentang kemerdekaan bangsa itulah yang membuat relasi Sukarno dan Ho Chi Minh menjadi karib. Menurut sejarawan Yosef Djakababa, ada banyak kesamaan pandangan antara kedua founding fathers yang sama-sama berhasil mengalahkan kolonialis di negara masing-masing itu. “Keduanya mendedikasikan diri untuk memerdekakan bangsa. Itu karena pengalaman mereka sendiri melihat perlakuan penjajah kepada penduduknya untuk negara metropol kolonial. Ada ketimpangan antara negara jajahan dan metropol,” kata Yosef. Ho dan Sukarno, sambung Yosef, juga datang dari kalangan terdidik. Mereka bersentuhan dengan ide-ide besar di zamannnya seperti kolonialisme, komunisme, dan kapitalisme. Bukan hanya Ho, Daniel Dhakidae menjelaskan, Sukarno juga bersahabat dengan beberapa pemimpin dunia waktu itu seperti Gamal Abdul Naseer, negarawan Mesir; Norodom Sihanouk, raja Kamboja; dan Jenderal Aung San, pejuang nasionalis Burma sekaligus ayah Aung San Suu Kyi. Hubungan itu bukan tanpa sebab, kata Daniel. Tahun 1960-an adalah masa yang menentukan nasib negara-negara yang baru merdeka. Itu membuat ikatan antarpemimpin bangsa menjadi sangat kuat untuk memerdekakan negara-negara di Asia dan Afrika. Para pemimpin negara terjajah ini berkumpul dalam satu zaman penuh kolonialisme. “Bagi Sukarno, kolonialisme bukan hanya Belanda menjajah Indonesia, tapi menjadi permasalahan kolonialisme tiga benua. Dia bisa meng-universal-kan permasalahan kolonialisme menjadi masalah tiga benua. Sukarno menginspirasi para pemimpin nagara-negara terjajah,” ujarnya. Tapi bukan hanya pemimpin negara berkembang yang bersahabat dengan Sukarno, dia juga menjalin hubungan baik dengan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy. Dalam ingatan Mega, ketika berkunjung ke White House bersama ayahnya dia terkesan dengan Kennedy yang hangat dan tampan. Dalam kunjungan itu, Mega dibawa berkeliling White House sementara ayahnya masuk ke kamar pribadi Kennedy untuk berdiskusi. “Ayah berharap karena rasanya Kennedy bisa mengerti apa saja hal-hal yang diinginkan negara-negara baru merdeka dan berkembang,” ujar Mega. Sebagai penghormatan, Sukarno mengundang Kennedy ke Indonesia dan membuatkan sebuah wisma di belakang istana untuk tempat tinggal Kennedy selama di Jakarta. Namun, wisma itu tak pernah terpakai karena Kennedy keburu tewas sebelum bisa menginjakkan kakinya ke Jakarta. “Ayah saya sedih sekali karena sudah berharap suatu saat beliau (Kennedy) akan datang ke Indonesia,” kata Mega. Persahabatan Sukarno dengan kedua tokoh tadi masing-masing termuat dalam buku Ho Chi Minh & Sukarno dan Kennedy & Sukarno . Buku lain dalam serial yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan majalah Historia itu berjudul Mengincar Bung Besar .*

  • Menghidupkan Ingatan Kolektif Budaya Melayu

    PENGARUH budaya Melayu meluas di Nusantara. Jejak budayanya masih bisa dilihat bukan cuma dari kesusastraan, tetapi juga bangunan istana di Sumatra, Sulawesi, dan Semenanjung Malaya. "Tapi kini seperti kayu yang tenggelam di sungai. Lama-lama menjadi keras," kata Chaidir, pembina Himpunan Melayu Riau, dalam Seminar Nasional Memori Kolektif dalam Kebudayaan Melayu, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Depok, Jawa Barat, Kamis (30/11). Mantan ketua DPRD Riau dua periode 1999-2008 itu mengatakan, karakter khas orang Melayu adalah saling menghormati, menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, memegang kesantunan dalam bertutur, mengedepankan sikap persaudaraan dan gotong royong. Dalam nilai budaya Melayu juga, rakyat tak boleh mendurhakai pemimpin. Sebaliknya, pemimpin tak boleh pula mengkhianati rakyatnya. "Nah ini bermasalah dalam masyarakat kita," tegasnya. Mengapa bermasalah? Chaidir berkata, dalam perspektif adat Melayu, mungkin ada pantangan yang dilanggar. "Mungkin seorang raja telah mengubah janji. Mungkin anak cucu mendurhaka pemimpin," katanya. Kepatuhan kepada pemimpin masih bisa disaksikan dalam ritus-ritus Melayu. Seorang pawang dalam suatu ritus Melayu di Palembang, memiliki peran penting karena paling paham bagaimana, kapan, dan di mana melalukan ritus. Dia bertanggung jawab membaca mantra dan memimpin jalannya ritus. "Ini kearifan lokal soal kepatuhan kepada pemimpin. Semua sepakat untuk patuh pada pawang. Tanpa ada yang nyeleneh ," jelas Welli Aprian, wakil ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya. Dalam ritus-ritus Melayu juga tercermin sikap gotong royong. Menurut Welli, tak ada pelaksanaan ritus yang dilakukan seorang diri. "20 kapal kami kerahkan dalam ritus gerhana matahari. Makin banyak orang makin bagus. Ini syiar," lanjutnya. Syahrial, dosen Departemen Susastra FIB UI menambahkan, ingatan kolektif budaya Melayu juga tercermin dalam seni bertopeng di Lampung. Ketika seorang kepala marga menikahkan anaknya, dalam iring-iringan pengantin biasanya didahului oleh 12 orang yang mengenakan topeng atau tuping. Keduabelas tuping itu mewakili 12 pengawal spiritual yang membantu perjuangan Radin Inten, pahlawan Lampung, dalam melawan Belanda. "Dampaknya buat masyarakat, dengan adanya tuping dalam upacara pernikahan orang diingatkan pada perjuangan Radin Inten dalam perjuangan melawan Belanda," kata Syahrial. Nilai lainnya adalah hubungan mistis antara keseharian masyarakat dengan tempat di sekitar mereka. Masyarakat diingatkan, leluhur mereka punya hubungan akrab dengan lingkungan sekitar. Pun heroisme leluhurnya melawan ketidakbenaran. Sayang, hal itu masih kurang dimaknai masyarakat dengan baik. Filosofi arak-arakan pengantin ini tak dilihat dari sudut pandang memunculkan kesejarahan ingatan kolektif. "Masyarakat tidak menganggap kegiatan ini penting. Perlahan nilai mistis dalam tuping pudar. Mulai ada yang menjadikannya sebagai usaha kerajinan yang memiliki nilai ekonomis," ujar Syahrial. Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi nilai budaya Melayu. Sementara itu, Lily Tjahjandari mengatakan bahwa Melayu bukan cuma sebagai suku. Ia adalah tren. "Zaman sekarang trennya Korea-Koreaan, dulu kita bergaya Melayu-Melayuan," ucap wakil direktur Lembaga Kajian Indonesia (LKI) itu. Maka tak heran, kata Lily, jika hingga kini Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dipakai di seluruh Indonesia. Pada masa lalu, Bahasa Melayu menjadi bahasa penghubung ( lingua franca ) antarpulau di Nusantara khususnya dalam perdagangan. "Memori kolektif melayu itu tulang punggung bangsa ini. Kita semua berbagi identitas melayu," ujar dosen Departemen Susastra FIB UI itu.

  • Sejarah di Mata Generasi Z

    Dari masa ke masa, sosok Sukarno dan pemikiran-pemikirannya selalu diingat. Rasanya tidak sempurna, jika membahas sejarah Indonesia tidak menyebut nama Sukarno. Puluhan studi dan buku tentang Sukarno dalam beragam aspek pun telah jamak ditulis. Tetapi, tetap saja ada ruang yang bisa dieksplorasi darinya. Itulah yang kemudian melatari Penerbit Buku Kompas bekerjasama dengan majalah sejarah populer Historia menerbitkan seri buku Sukarno. Tiga seri buku yang diterbitkan adalah Mengincar Bung Besar , Ho Chi Minh & Sukarno , serta Kennedy & Sukarno . Buku pertama membahas tentang tujuh upaya pembunuhan terhadap Sukarno semasa aktif sebagai presiden. Dua lainnya membahas hubungan Sukarno dengan dua tokoh besar dunia, Ho Chi Minh dan John. F. Kennedy. “Karena itulah penerbitan buku-buku ini penting agar generasi muda mengetahui sejarah Bung Karno yang akurat. Kini generasi milenial punya perpustakaan terbuka bernama google, tetapi kita tidak pernah tahu kadar akurasinya,” ujar Budiman Tanuredjo dari Penerbit Buku Kompas. Buku seri Sukarno ini memang ditujukan untuk pembaca muda yang awam soal Sukarno. Namanya barangkali tetap diingat sebagai nama pahlawan yang memerdekakan Indonesia, tetapi sosok dan perannya belum tentu diketahui benar. Setidaknya itu terkonfirmasi oleh pengalaman dosen komunikasi Universitas Atma Jaya Andina Dwifatma. Suatu kali ia melontarkan pertanyaan "Apa yg terlintas di benak kalian tentang Sukarno?” kepada mahasiswanya melalui aplikasi pesan Line . Seorang mahasiswanya menjawab proklamasi. Seorang lainnya menjawab jasmerah. Lainnya menjawab politik berdikari. Ada juga yang mengutip kalimat tekenal Sukarno, "Beri aku sepuluh pemuda, akan kuguncang dunia." “Salah satu yang menarik ada yang menjawab airport , merujuk pada Bandara Sukarno-Hatta tentunya,” ujar Andina dalam acara peluncuran buku seri Sukarno di Museum Nasional, Jakarta, (30/11/2017). Menurutnya itulah sebagian kecil gambaran generasi Z (gen Z) tentang presiden pertama Indonesia. Gen Z adalah mereka yg lahir pada kisaran 1996 hingga 2010. Mereka disebut pula digital native karena sejak dini telah akrab dengan gawai dan internet. Gen Z umumnya memperoleh dan mencerna informasi dari internet. Mereka bisa memperoleh informasi apapun dari sana hampir tanpa batas. Tetapi, internet punya kendala besar, apa lagi terkait sejarah, yaitu akurasi. Celah inilah yang mesti ditambal oleh para sejarawan. “Dari pengalaman saya mengajar gen Z, berkaitan dengan Sukarno dan pemikirannya, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling urgen dilakukan adalah membuat mereka gandrung pada Pancasila,” ujar Andina. Banyak riset yang menyimpulkan bahwa generasi muda Indonesia terbelah antara mereka yang apatis dan radikal. Mereka yang apatis umumnya tidak peka terhadap kondisi sosial di lingkungannya dan cenderung individualis. Di sisi lain, mereka yang radikal berusaha merongrong ideologi Pancasila. Menurut Andina, keduanya sangat berbahaya jika tidak dikelola dengan baik. Untuk menekan keduanya, Andina berpendapat Pancasila adalah solusi terbaik yang mesti dikuatkan kembali. “Tetapi, tidak dengan cara-cara lama seperti penataran P4. Gen Z yang punya karakteristik terbuka pada informasi, karena itu mereka akan menolak segala macam indoktrinasi,” tuturnya. Karena itulah, Andina mengapresiasi penerbitan seri buku Sukarno yang disusun berdasarkan liputan awak majalah Historia . Cara paling efektif untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada gen Z adalah melalui story telling sebagaimana yang diusung oleh Historia dalam seri buku Sukarno. "Kisah-kisah sejarah kecil dan berdimensi humanis akan lebih mudah dicerna oleh gen Z," tutur Andina. Untuk bisa mendapat perhatian gen Z, sejarah mesti direlasikan dengan hal-hal yang dekat dengan mereka. Sudah menjadi sifat alami manusia untuk menyukai sesuatu yang berhubungan dengan pribadinya. Jadi, untuk mendekatkan gen Z dengan sejarah, narasinya harus didekatkan dengan kehidupan mereka. Salah satunya dengan cara mengisahkan sejarah dalam bentuk media baru seperti film. "Saya pikir kisah-kisah percobaan pembunuhan terhadap Sukarno dalam buku Mengincar Bung Besar bisa menjadi serial film. Akan sangat menarik menikmati sejarah yang berbau thriller seperti ini dalam bentuk film," ungkapnya.

  • Pabrik Pemusik

    SEKOLAH Perguruan Cikini tenar karena pernah dilanda tragedi penggranatan pada 1957. Tapi ada hal lain yang tak bisa diabaikan: sekolah ini melahirkan banyak musisi handal. Beberapa di antaranya ikut menentukan perjalanan sejarah musik dalam negeri. Nasution Bersaudara (Debby, Gauri, Keenan, Oding, dan Zulham) adalah salah satunya. Mereka murid sekolah Percik. Rumah orangtua Nasution Bersaudara di Jalan Pegangsaan Barat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, menjadi tempat nongkrong teman-teman sekolah mereka yang hobi musik. Atas gagasan Debby Nasution, lahirlah Gank Pegangsaan. Selain itu, lahir pula kelompok musik Sabda Nada pada 1966 sebelum tiga tahun kemudian berubah nama jadi Gipsy. Chrisye, yang juga suka nongkrong di Pegangsaan, ikut bergabung di dalam Gipsy sebagai pemain bas. Chrisye kelak dikenal sebagai legenda musik pop Indonesia. Guntur, putra Presiden Sukarno, ikut mengharumkan nama Percik di bidang musik. Bersama Samsudin Hardjakusumah (yang kemudian mendirikan Bimbo), Guntur mendirikan grup Aneka Nada dan merilis album perdana di bawah label Loakananta, Solo. Bersama grup keduanya, Kwartet Bintang, Guntur kembali rekaman di Remaco. Jejak Guntur diikuti sang adik, Guruh. Setelah membentuk The Flower Poetman, Guruh mengajak sahabat-sahabatnya di Percik yang aktif di band Gipsy untuk membuat proyek bareng pada 1975. Chrisye mengisahkan awal pembuatan album tersebut dalam biografinya berjudul Chrisye . Dia dipanggil Keenan, yang mengatakan dia, Gauri, dan Guruh sudah bereksperimen menciptakan sejumlah lagu. “Sepanjang ia bercerita, saya hanya bisa menganga. Apa yang diceritakan Keenan adalah sebuah proyek yang sungguh tidak terbayangkan di zaman itu,” ujar Chrisye. “Guruh berniat membuat satu album idealis yang menggabungkan musik Barat dan tradisional Indonesia. Mendengar ini saja saya sudah bisa membayangkan bagaimana rumitnya. Bahkan, kata mereka, unsur art rock ada pula di dalamnya.” Dua tahun kemudian, kerjasama itu melahirkan sebuah album monumental Guruh Gipsy . Nama Guruh di blantika musik nasional terus melambung. Di genre rock, Eet Syahranie, putra Gubernur Kalimantan Timur Abdoel Wahab Sjachranie, mungkin jadi pelopor di Percik. Eet sekolah di Perguruan Cikini tahun 1978. Di sekolah, dia bergabung dengan band sekolah dengan nama Cikini Rock. Dalam ajang Festival Band Antar-SLTA se-Jakarta, Eet meraih predikat gitaris terbaik, sementara Cikini’s Band menduduki peringkat kedua. Eet kemudian dipercaya menggarap musik Operette Cikini di sekolah. Bersama Iwan Madjid dan Fariz RM, Eet membentuk grup band WOW. Ketika WOW merilis album Produk Hijau , Eet tengah mengikuti workshop Recording Sound Engineering di Amerika. Pulang ke tanah air, dia membantu kawan-kawannya sesama musisi yang rekaman dengan mengisi track gitar. Hingga akhirnya, bersama Ecky Lamoh, dia mendirikan grup band EdanE, singkatan dari nama keduanya. Bimbim Sidharta melanjutkan tradisi musisi Percik pada 1980-an. Dia merintis karier lewat Cikini Stones Complex, yang dibentuk bersama teman-temannya di SMA Perguruan Cikini. Karena bosan membawakan lagu-lagu Rolling Stones, Cikini Stones Complex dibubarkan. Bimbim kemudian mendirikan grup baru bernama Red Evil. Kalau manggung, untuk meramaikan suasana, “mereka kerap mengajak teman-teman di sekolahnya yang tak lain adalah anak-anak Perguruan Cikini dengan bayaran ... sebotol minuman,” tulis slank.com . Pada Desember 1983, nama Red Evil kemudian diubah jadi Slank. Dimulailah perjalanan salah satu band terbesar tanah air yang masih eksis hingga kini. Ketika orangtua Bimbim pindah ke Gang Potlot, Pasar Minggu, rumahnya menjadi tempat nongkrong teman-temannya. Seperti Gank Pegangsaan, Potlot jadi komunitas yang melahirkan banyak musisi, dari Andy Liani hingga Oppie Andaresta. Dalam “School of Rock: Perguruan Cikini”, dimuat rollingstone.co.id , 25 November 2013, penulis musik Denny Sakrie menyebut Percik secara tak sengaja menjadi tempat persemaian pemusik Indonesia. “Meskipun bukan sekolah musik, tapi tanpa sengaja ternyata Yayasan Perguruan Cikini bisa menjaga benang merah peta musik yang terbentang begitu panjang, dari era awal 60-an hingga saat sekarang ini,” tulis Denny Sakrie. Sadar bahwa banyak alumninya jadi musisi handal, Percik memunculkan atmosfir musik. Sejak 1989 Percik mendirikan Orkes Simfoni, yang hingga kini masih eksis. Lima tahun kemudian berdiri Lembaga Pendidikan Musik Percik, yang kini tersebar di beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Tak cukup di situ, pada 2005 Percik mendirikan Sekolah Menengah Musik (kini, SMK Musik), yang siap dan telah mencetak musisi-musisi tanah air seperti Wizzy Williana yang menghasilkan beberapa album single .*

  • Cerita Mega Tentang Upaya Pembunuhan Ayahnya

    SEBAGAI alumni Perguruan Cikini, Megawati Sukarnoputri tak pernah lupa momen ketika sekolahnya merayakan hari jadi ke-15 dengan menggelar malam amal dan bazar pada 30 November 1957. “Bersama kakak, saya mendapat tugas menjaga pameran, kakak saya jaga permainan,” kata Megawati ketika memberi kesaksian di acara peluncuran buku Seri Historia yang dihelat Penerbit Buku Kompas dan majalah Historia di Museum Nasional, Jakarta, 30 November 2017. Suasana meriah kala itu makin semarak dengan kehadiran Presiden Sukarno, yang datang bukan sebagai presiden tapi wali murid Mega dan Guntur. Banyak teman Mega dan murid-murid lain sekolah itu bercengkerama akrab dengan Sukarno. Namun, seketika suasana berubah pilu begitu Sukarno hendak menuju mobilnya untuk pulang. Enam granat dilemparkan pemuda-pemuda asal Bima, Nusa Tenggara Timur, ke arah Sukarno. Korban berjatuhan. “Tidak terlupa karena korbannya dari kawan saya ada 100-an orang, baik meninggal, luka parah, atau luka kecil. Ada beberapa yang cacat seumur hidup,” kata Mega. Sukarno sendiri selamat dari kejadian yang kemudian disebut Peristiwa Cikini itu. Selain kesigapan para personel Detasemen Kawal Pribadi (DKP), pasukan pengawal Sukarno yang dipimpin Komisaris Besar Mangil Martowidjojo, kata Mega, ayahnya bisa selamat karena ada granat yang meleset. Hal itu terjadi karena granat yang berpotensi tepat mengenai Sukarno telat beberapa detik dilemparkan. Keterlambatan itu terjadi karena si pelempar ragu. “Karena lihat Bung Karno begitu ceria tertawa bersama teman-teman sekolah saya, detik-detik itu terlewat. Jadi, korban banyak teman saya di Cikini,” sambung Mega. “Dalam pengadilan, mereka sangat menyesal. Mereka hanya diberitahu Bung Karno akan datang ke suatu tempat,” kata Mega, menjelaskan ketidaktahuan pelaku terhadap sosok Sukarno yang mereka kira jahat. Upaya pembunuhan terhadap Sukarno itu menewaskan 10 orang dan melukai 100-an lainnya. Peristiwa itu bukan satu-satunya upaya pembunuhan terhadap Sukarno. Peristiwa lain yang diingat Mega terjadi pada 9 Maret 1960. Daniel Maukar, pilot tempur AURI, memberondong Istana Negara menggunakan pesawat Mig-17. Peluru senapan mesin pesawatnya langsung menembus dinding istana dan mengenai ruang makan. “Kalau diteliti, ada satu peluru yang berbahaya. Satu peluru itu dinyatakan akan mengenai tepat kepala ayah bila sedang ada di ruang makan,” kata Mega. Sukarno selamat karena saat kejadian sedang rapat di Dewan Nasional yang juga berkantor di kompleks Istana Merdeka (kini kantor Dewan Nasional jadi kantor Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila). Selain dua upaya pembunuhan tersebut, ada lima upaya pembunuhan lain yang pernah dialami Sukarno. Ketujuh upaya pembunuhan itu diulas mendalam dalam buku Mengincar Bung Besar. Dua buku lainnya yaitu Kennedy & Sukarno dan Ho Chi Minh & Sukarno. Mega menyambut baik penerbitan buku Seri Historia itu. “Buku tentang kisah Bung Karno berguna bagi generasi muda dan para calon pemimpin bangsa. Kita jadikan sejarah sebagai cermin agar bisa memahami masa kini dan meneropong masa depan kita sebagai bangsa yang terhormat, serta bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia,” kata Mega.

  • Kala Hantu Pindah ke Kota

    SEBUAH kuburan meletus. Bersamaan dengan keluarnya asap yang mengikutinya, sebuah pocong perlahan muncul dari dalam kuburan itu. Ia lalu melompat. Dua pocong lain sudah menunggu, satu di pohon, satu lagi berdiri dekat kuburan. Salim (diperankan Benyamin S.) dan warga desa yang sedang duduk di warung kopi bergidik ketakutan melihat kejadian itu. Mereka lari tunggang-langgang setelah pocong yang melompat-lompat mengejar mereka. Adegan dalam film Setan Kuburan (1975) itu memperkuat pandangan mengenai kuburan, pohon, dan tempat alami seperti telaga atau danau sebagai tempat favorit kemunculan hantu. Pandangan itu tak hanya terdapat dalam film. Lagu “Rintihan Kuntilanak” karya The Panas Dalam, misalnya, liriknya juga mengungkapkan pandangan serupa. “Malam sunyi kusendiri, duduk sepi di atas pohon,” demikian penggalan lirik lagu tersebut. “Film dulu (1980-an, red .) mencoba mengangkat sesuatu yang ada dalam masyarakat berdasarkan cerita rakyat, misalnya,” kata Suma Riella Rusdiarti, dosen sastra Prancis di Universitas Indonesia yang menulis disertasi tentang "Kaidah, Makna Das Unheimliche , dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia." Ada kecenderungan film horor tahun 1970-an hingga 1980-an menjadikan pohon, danau, atau kuburan sebagai tempat kemunculan hantu meski ada juga yang menjadikan rumah angker sebagai seting lokasi seperti film CintaBerdarah (1989). Pemilihan lokasi kemunculan hantu tersebut jelas bukan tanpa sebab. Ia berangkat dari tradisi-budaya beragam etnis di Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa, misalnya, ada tempat-tempat yang dianggap keramat dan dikuasai makhluk gaib. “Orang Jawa percaya Tuhan telah memberikan tempat pada mereka yang berbeda. Hutan, pohon besar, atau tempat-tempat wingit (sakral, red .)," kata Prapto Yuwono, dosen sastra Jawa Universitas Indonesia. Bagaimana kemunculan hantu di kuburan juga dikisahkan antara lain oleh Kidung Sidumala . Selain menyebut pemakaman Setra Ganda-mayu, kidung itu juga melukiskan para hantu bertengger di pohon kepuh dan randu. Namun, lokasi kemunculan hantu berubah seiring bergantinya zaman. Film-film horor yang diproduksi tahun 2000-an ke atas cenderung menampilkan hantu-hantu yang muncul di tempat-tempat publik. “Ada perpindahan lokasi hantu, dulu di pohon sekarang di apartemen, terowongan,” kata Riella. Pergantian tempat kemunculan hantu itu tak semata menyangkut perubahan tren, tapi berkait erat dengan faktor sosial-ekonomi masyarakat. Perubahan itu berawal dari pembangunan yang menggusur tempat-tempat yang semula dianggap angker, semisal penggusuran kuburan untuk dijadikan perumahan mewah. Pembangunan membuat tempat sepi menjadi jarang. “Kota menjadi semakin padat dengan urbanisasi, dan ruang-ruang yang tadinya untuk kuburan, danau, sekarang dijadikan ruang manusia sebagai rumah, mal, apartemen, sekolah,” kata Riella. Dari pembangunan itulah kemudian muncul legenda urban yang cenderung menceritakan hantu perkotaan. Legenda-legenda urban itu kemudian diangkat oleh sineas ke layar lebar. Terowongan Casablanca (2007), Kereta Hantu Manggarai (2008), Hantu Diskotik Kota (2014), dan Rumah Angker Pondok Indah (2013) merupakan beberapa di antara film horor itu. Namun, film horor produksi tahun 2000-an yang memilih kuburan, pohon, dan telaga sebagai tempat kemunculan hantu tetap masih ada. “Dalam film ada semacam perebutan kekuasaan ruang antara manusia dan hantu. Hantu dalam film itu kemudian seperti dianggap intruder (pengacau, red. ), mereka harus diusir. Padahal, kalau dulu kita percaya bahwa kita bisa hidup bersama,” ujar Riella.

  • Kebangkitan Penghayat Kepercayaan

    LIMA rato (imam Marapu) mengadakan ritual untuk melepas Mikael Keraf ke Yogyakarta. Pastor yang mendalami dan membela hak-hak penganut Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur itu akan membagi pengetahuannya soal Marapu dalam seminar agama-agama Nusantara di acara Borobudur Writers & Cultural Festival, 23-25 November 2017. Dalam proses itu, seekor ayam dibelah. Lewat usus dan darahnya, rato membaca apakah misi ini baik atau tidak. Ketika pertanda itu dibaca, burung-burung berterbangan di atap rumah. “Itu burung keila Marapu. Burung suci yang dilindungi itu ribut sekali di atas pertanda saya direstui. Senang sekali saya,” kata Mikael ketika ditemui Historia , di Hotel Manohara, Magelang, seusai acara. Mikael mengatakan masyarakat Marapu yang hanya dijumpai di Sumba memang akrab dengan tanda-tanda alam. Ada suku yang akrab dengan hujan. Ada pula yang akrab dengan halilintar. Itu karena inti ajaran mereka terpusat pada etika lingkungan, hubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan leluhur dan Yang Maha Kuasa. “Mereka punya hubungan kekerabatan yang kuat sekali dengan kuasa kosmik,” ujarnya. Apa yang terlihat dari masyarakat Marapu merupakan khas dari agama-agama kuno di Nusantara. Arkeolog Agus Widiatmoko menjelaskan, agama yang telah ada sebelum agama-agama dominan masuk, memegang tiga prinsip: meyakini hubungan antara manusia dengan Yang Kuasa, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan tumbuhan, hewan, dan lingkungan. “Itulah prinsip dasar agama Nusantara sebelum pengaruh agama luar datang. Jadi, yang namanya agama asli Nusantara konsepnya sama,” ujar Agus. Keyakinan itu awalnya dibawa para penutur Austronesia yang bermigrasi sekira 4000 tahun lalu dari utara, yaitu Pulau Formosa, Taiwan ke Kepulauan Nusantara. “Tradisinya sama. Seperti makan sirih. Ini orang-orang asli kita,” jelasnya. Ketika Hindu-Buddha masuk, sebagian penganut budaya Austronesia masih memelihara keyakinannya. Bahkan, hingga kini masih bisa disaksikan di Toraja. Pun di masyarakat Dayak, Kalimantan. “Hindu Buddha ketika itu tidak mayoritas. Hanya di Jawa dan Bali. Di luar itu sedikit sekali. Di Pulau Nias, kebudayaan asli Nusantara masih ada ketika penjajah datang, termasuk di Toraja,” terangnya. Bahkan, di wilayah yang mayoritas beragama Hindu pun, ajaran sebelumnya masih muncul dan membaur. Buktinya, Hindu di Bali dan India sangat berbeda. “Makanya di Bali ada konsep tri hita karana. Di India tidak ada. Artinya ada asimilasi,” lanjut Agus. Tak Diakui Sayangnya, para penganut ajaran kuno itu seakan menjadi tamu di negeri sendiri. Mereka mendapat diskriminasi sampai ke tingkat regulasi. Sudarto, peneliti dari Setara Institute mengatakan, setelah Pemilu pertama tahun 1955, para penghayat kepercayaan jumlahnya meningkat hingga 350 kelompok. Mereka dikonsolidasi oleh mantan Wakil Perdana Menteri KRT Wongsonegoro. Sebelumnya, pada 1951, dia mengadakan kongres kebatinan di Solo. Dia memaknai apa yang dimaksud “kepercayaan” dalam Pasal 29 UUD 1945 adalah ajaran kebatinan. “Agama lokal menguat. Dalam kongres kedua dikuatkan lagi. Jadi, pasal 29 itu untuk mengakomodir kepercayaan ini,” jelas Sudarto. Namun, pengertian itu mendapat penentangan. Menurut Sudarto, mereka yang menentang mengartikan dimaksud “kepercayaan” dalam Pasal 29 adalah sekte-sekte dalam Islam, seperti Sunni dan Syiah. Menguatnya pengaruh kelompok penghayat kepercayaan membuat gelisah penganut agama mayoritas. Akhirnya, pada 1962 Kementerian Agama membuat definisi agama berdasarkan pendapat Menteri Agama Mukti Ali. “Agama itu harus punya Tuhan, harus punya kitab suci, harus dogmatis, harus punya nabi. Kepercayaan pun dianggap sempalan,” kata Sudarto. Efeknya, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, para penganut kepercayaan yang tak sesuai definisi agama dianggap tak punya agama. Mereka dianggap komunis. “Yang artinya PKI. Jadi kalau mau hidup harus memilih di antara agama yang diakui itu,” kata Sudarto. Pada tahun itu pula lahir UU PNPS No. 1/1965. Isinya tentang penodaan agama dan melindungi agama yang diakui pemerintah dari ajaran-ajaran penghayat kepercayaan. “Ini adalah awal dari tidak diakuinya agama para penghayat kepercayaan secara regulatif,” kata Sudarto. Penghayat kepercayaan pun memasuki masa kritis. Pada 1967, bahkan Kong Hu Cu pun tak disebut agama karena indentik dengan Tiongkok dan komunis. Ramai-ramai penganut Kong Hu Cu pindah agama. Jumlah penganut Katolik dan Kristen meningkat tajam dari 3 persen menjadi 6-7 persen. “Orang Kong Hu Cu tidak mau masuk Islam karena perbedaan kultur yang tajam. Maka mencuatlah isu Kristenisasi, resahlah orang Islam. Tahun itu terjadi pembakaran gereja pertama di Aceh, disusul Palembang dan Makassar,” kata Sudarto. Cara Bertahan Para penghayat kepercayaan sulit mendapat hak-hak sebagai warga negara seperti identitas keagamaan, pencatatan sipil atas pernikahan, akte kelahiran, hak pendidikan, termasuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Akhirnya banyak yang terpaksa beralih agama hanya agar mendapat hak-haknya. Hal itu disampaikan Mikael Keraf setelah 2,5 tahun mendampingi komunitas Marapu. Mereka baru bisa mengakses pendidikan, hak-hak sosial, tabungan di bank, hanya jika menulis kolom agama dengan agama yang diakui negara. “Ada kesadaran kalau komunitas ini termarjinalkan terutama dari agama mayor juga dari komunitas modern. Mereka susah mendapat hak politik, hak sosial, tak punya akses ke bank dan akses ke pendidikan tinggi,” jelas Mikael. Lebih ekstrim lagi, penganut Kaharingan di Kalimantan bahkan sampai menyusun kitab suci pada 1980-an agar dianggap beragama. Dalam usaha itu mereka dibantu antropolog Jerman dan Indonesia. “Menarik sekali, mana yang dimasukkan ke kitab, mana yang tidak. Ada perdebatan mengenai mana cerita yang dimasukkan,” ujar Marko Mahin, aktivis di Lembaga Studi Dayak-21. Pada 1980-an, mereka ramai-ramai datang ke Bali untuk menjadi penganut Hindu Kaharingan. Sebelumnya, kata Marko, masyarakat Kaharingan sempat mendatangi Islam dan Kristen. Namun, mereka diminta melepas kepercayaan Kaharingan mereka. “Islam tidak makan babi, mereka makan. Tanpa khotbah, tanpa ceramah, jumlah penganut Hindu meningkat jadi 300,” kata Marko. Sementara itu, masyarakat Parmalim yang menganut Agama Malim lebih memilih Kristen. Ferry Wira Padang, direktur Aliansi Sumut Bersatu (ABS) mengatakan usaha itu dilakukan supaya lebih mudah menerima pendidikan. Meskipun demikian, mereka tetap menjaga eksistensi ajaran Agama Malim salah satunya dengan cara memberikan kelas setiap Sabtu dan Minggu. “Tiap komunitas Parmalim ada guru yang bertugas mewariskan nilai-nilai itu,” ujar Ferry yang dalam empat tahun ini bekerja untuk inklusi sosial penghayat kepercayaan di Sumatra Utara. Jumlah penghayat kepercayaan mencapai puncaknya pada 1972 dengan 644 kelompok yang terdaftar di Sekretariat Kerjasama Kepercayaan. Namun, jumlahnya kemudian menurun. Pada 2003, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat tinggal 245 kelompok. Tiga tahun kemudian turun menjadi 214 kelompok. Sejak 2016 tinggal 186 kelompok. Kini, tercatat 12 juta jiwa yang terdaftar sebagai penganut aliran kepercayaan di bawah naungan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI). Mikael mencatat hanya tinggal 12 persen penduduk Sumba yang masih menganut Marapu. Mereka didominasi oleh generasi tua. Sisanya menganut agama-agama mayor seperti Katolik, Protestan, Islam, dan sedikit Hindu. Marko mencatat penganut Kaharingan hanya delapan persen dari total penduduk Kalimantan Tengah. Sedangkan jumlah Parmalim sekira 20.000 jiwa tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Respons Keputusan MK Melihat sejarahnya, kata Sudarto, ada dua masalah mengapa penghayat kepercayaan sulit diterima: kekhawatiran agama besar jumlah penganutnya berkurang dan masalah dalam memahami agama dan kepercayaan. “Jangankan rakyat, pejabat saja tidak bisa membedakan. Tuhan tidak pernah mendefinisikan agama itu apa. Agama dimasukkan dalam studi agamanya Barat. Ciri-cirinya punya Tuhan, nabi, kitab suci; kalau tidak punya, tidak dianggap agama,” kata Sudarto. Sudarto menduga, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan penghayat kepercayaan bisa masuk ke kolom agama di KTP, akan banyak orang yang kembali kepada kepercayaan awalnya. “Jangan-jangan yang 87,15 persen Islam bisa jadi tinggal 60 persen saja di Indonesia, yang kejawen juga mungkin akan menikmati ruang ini,” kata Sudarto. Meski ada yang menganggap sebagai momentum penguatan bagi penghayat kepercayaan, tetapi ada pula yang curiga. Seperti sebagian penganut Kaharingan. “Hasil keputusan MK ini dicurigai seperti teknik memancing macan turun dari gunung. Tinggal pukul-pukul kepalanya, selesai,” kata Marko. Kendati begitu, yang menyambut gembira lebih banyak. Mereka pun tak perlu lagi mencantumkan “Hindu” di kolom agama pada KTP mereka. “Tapi ada juga elite Kaharingan yang sudah terlanjur enak di Hindu, mereka menolak,” ujar Marko. Mikael pun yakin warga Marapu sangat ingin mencatumkan “Marapu” di kolom agama pada KTP mereka. Bahkan, mereka tengah mempersiapkan merayakan keputusan MK di Festival Waikumba ke-6 pada 1-3 Desember 2017. Acara itu jadi momentum untuk mensosialisasikan keputusan MK sekaligus deklarasi eksistensi Marapu di Sumba. Mikael optimistis semua yang diam karena dominasi Katolik dan Kristen akan kembali bangkit bersama agama yang telah terdiskriminasi sebelumnya. “Ternyata mereka tetap Marapu. Setelah ini akan banyak orang mengaku Marapu. Apa itu sinkretisme, bagi saya, kita tidak bisa lepas dari akar sejarahnya,” ujarnya.

  • Gempa Gagal Halangi Chile Jadi Tuan Rumah Piala Dunia

    RAKYAT Chile bahagia. Kongres FIFA di Lisbon, Portugal pada 10 Juni 1956 memutuskan Chile menjadi tuan rumah Piala Dunia 1962. Dalam kongres itu, banyak delegasi meragukan kemampuan Chile yang dipimpin Carlos Dittborn (petinggi induk organisasi sepakbola Chile) sebenarnya. Sebagai negara dunia ketiga, Chile tak hanya masih lamban dalam laju perekonomian tapi juga minim modal. “Faktanya, Chile masih miskin, belum berkembang, kekurangan teknologi komunikasi dan fasilitas olahraganya masih minim,” ungkap Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Dibandingkan Argentina sebagai pesaing kuat, infrastruktur olahraga Chile kalah jauh. Namun, Dittborn tetap optimis. “Karena kami tak memiliki apa-apa, kami akan melakukan segalanya,” ujar Dittborn kala meyakinkan para delegasi lain, sebagaimana dikutip David Goldblatt dalam The Ball is Round . Chile akhirnya menjadi pemenang dengan 32 suara mengalahkan Argentina yang kebagian 11 suara. Empat belas suara lainnya abstain . Berkah sekaligus tantangan besar itu disambut suka cita dan rasa tanggung jawab pemerintah dan rakyat Chile. Segala upaya mereka lakukan demi mewujudkan mimpi. Namun belum lagi hasil upaya itu terlihat bentuknya, gempa dahsyat menghantam negeri itu pada 22 Mei 1960. “Gran Terremoto de Valdivia”, sebutan rakyat Chile untuk gempa berkekuatan 9,6 Skala Richter itu, guncangannya menjangkau hingga Filipina yang terpisah Samudra Pasifik. Gempa itu juga memicu erupsi Gunung Puyehue-Cordon Caulle di Rio Bueno dan memicu tanah longsor di selatan Pegunungan Andes serta menimbulkan tsunami hingga ke Filipina. Di Chile, tsunami mencapai ketinggian 25 meter. Total korban tewas di berbagai negara nyaris mencapai 6000 orang, dua juta orang di Chile langsung menjadi tunawisma. Kerugian materil ditaksir mencapai enam milyar dolar Amerika. Terlepas dari kehancuran berbagai infrastruktur, empat dari delapan stadion yang dipersiapkan Chile sejak 1956 ikut luluh-lantak. “Sebagian besar wilayah Chile menjadi reruntuhan. Penetapan Chile (sebagai tuan rumah Piala Dunia 1962) terancam dibatalkan. Namun FIFA memutuskan Chile tetap jadi tuan rumah di tengah kehancuran,” tulis Clemente A Lisi dalam A History of World Cup: 1930-2014. Meski amat terpukul oleh bencana itu, rakyat Chile pantang menyerah. “Kami akan melakukan segalanya semampu kami untuk membangun kembali,” kata Dittborn kepada segenap elemen masyarakat. Pembangunan kembali sejumlah stadion berjalan siang-malam. Dananya datang dari berbagai pihak, termasuk swasta. Braden Copper Company, perusahaan tambang tembaga Amerika Serikat yang beroperasi di Chile sejak awal abad ke-20, bahkan mempersilakan stadionnya di Rancagua dijadikan salah satu venue Piala Dunia. Dari delapan stadion yang direncakan bakal dijadikan venue, hanya empat stadion yang akhirnya bisa digunakan: Estadio Nacional, Estado Sausalito, Estadio Rancagua, dan Estadio Arica. Publik Chile juga kembali dirundung musibah. “Pada April 1962, sebulan sebelum turnamen (Piala Dunia –red.) dimulai, Dittborn meninggal karena serangan jantung di usia 38 tahun. Segenap Chile berduka. Stadion di Arica dekat perbatasan Chile-Peru, (lalu) menggunakan namanya sebagai penghormatan,” tulis Lisi. Bak keajaiban, Chile mampu menyiapkan empat stadion dan beragam infrastruktur penunjang untuk Piala Dunia sebelum waktunya terlepas dari berbagai kekurangan di sana-sini. Namun, lagi-lagi rintangan menghampiri Chile. Dua wartawan Italia, Antonio Ghiredelli dan Corrado Pizzinelli, yang datang dua bulan jelang Piala Dunia membuat rakyat Chile meradang lewat tulisan-tulisan mereka. Ghirelli menulis bahwa FIFA salah memberi kepercayaan kepada Chile sebagai tuan rumah. Dalam artikel yang ditulis di Corriere della Sera itu Ghirelli juga menyertakan penggambaran keburukan fasilitas komunikasi hingga transportasi. Sedangkan Pizzinelli, lewat tulisannya di La Nazione , menyerang sisi sosial-ekonomi Chile dengan memasukkan masalah prostitusi, kekurangan gizi, dan kemiskinan di Chile. Artikel-artikel itu lantas diterjemahkan dan diterbitkan oleh suratkabar lokal El Mercurio dan Clarin de Santiago . Sontak, publik Chile berang. Gelombang anti-Italia pun muncul. Seorang wartawan Argentina kena getahnya ketika sedang di bar. Dia dipukuli gegara dikira orang Italia. Sementara, Ghirelli dan Pizzinelli buru-buru angkat kaki dari Chile. Saat Piala Dunia berjalan, para pemain timnas Chile melampiaskan kemarahan mereka dengan mengintimidasi pemain-pemain Italia. Kedua negara bertemu dalam pertandingan penyisihan Grup 2 pada 2 Juni 1962 di Estadio Nacional. Alih-alih menampilkan permainan cantik, pertandingan yang oleh publik Chile dijuluki sebagai “Battle of Santiago” itu justru lebih tepat disebut pertempuran. Pelanggaran kasar dan brutal para pemain Chile bertebaran. Hal itu menimbulkan perlawanan brutal dari para pemain Gli Azzuri (julukan timnas Italia). Alhasil, wasit Ken Aston asal Inggris mengkartumerah dua pemain Italia, Mario David dan Giorgio Ferrini. Namun, anehnya Aston tak mengeluarkan satu pun kartu kepada para pemain Chile. Keributan pun pecah, sampai petugas keamanan turun tangan membantu wasit melerai para pemain. “Saya bukan menjadi wasit pertandingan. Saya justru menjadi pengadil dalam manuver-manuver militer,” kenang Aston sebagaimana dikutip Johnny Morgan dalam For the Love of Football: A Companion. Meski menang 2-0, Chile akhirnya tak berhasil mencapai puncak turnamen itu. Brasil menjadi juara turnamen itu setelah mengalahkan Cekoslowakia 3-1 di final.

  • Heboh Pemuda Peuyeumbol

    HAWA Bandung yang dingin berubah menjadi panas. Pasalnya, di tengah-tengah Pertempuran Surabaya, seorang yang menamakan dirinya sebagai Bung Tomo beteriak keras di depan mikrofon Radio Pemberontak Surabaya . Dalam bahasa Sunda, dia menyebut pemuda-pemuda Bandung bermental peuyeumbol (singkong yang diragi hingga lembek dan merupakan makanan khas Bandung), karena tidak jua berani menggempur tentara Inggris. "Mereka (pemuda-pemuda Bandung) menjadi terbakar," ujar John R.W. Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946 . Kendati maksud orang yang mengaku sebagai Bung Tomo itu baik, namun tak ayal soal sebutan "pemuda peuyeumbol" tersebut menjadi masalah. Rasa simpati para pemuda Bandung terhadap Bung Tomo pun sempat sirna. Mereka menyatakan bahwa kata-kata itu tak pantas dikeluarkan oleh seorang tokoh pejuang. "Dia tak berhak menilai keberanian kami dari kejauhan," ungkap Asikin Rachman (94), eks pejuang di Bandung. Selidik punya selidik, ternyata orang yang mengejek pemuda-pemuda Bandung itu bukanlah Bung Tomo, melainkan Soetomo yang tak lain adalah pemuda Bandung sendiri. Dia merupakan salah satu anggota delegasi pemuda Jawa Barat yang datang ke Kongres Pemuda di Yogyakarta pada 10 November 1945 mewakili KNI (Komite Nasional Indonesia) Cicadas. Menurut seorang anggota KNI Jawa Barat bernama Madomiharna, Soetomo dikenal sebagai pemuda yang pandai berpidato. Laiknya Bung Tomo asli, Soetomo pun memiliki suara yang menggelegar dan pandai beretorika. "Makanya kami memberi julukan kepadanya sebagai 'Bung Tomo dari Cicadas'," ungkap Midomiharna seperti dikutip dalam Mohammad Rivai: Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 karya Suwardi Suwardjo dkk. Usai mengikuti kongres di Yogyakarta, delegasi Jawa Barat lantas berangkat ke front Surabaya. Ketika berada di studio Radio Pemberontak Surabaya pada 13 November 1945, "Bung Tomo dari Cicadas" itu meminta kesempatan untuk bicara di depan mikrofon. Bung Tomo asli yang saat itu berada di studio tentu saja menyilakan. "Soetomo itu saya benarkan berbicara di depan Radio Pemberontak kami…Saya memang tidak menanyakan siapa sebenarnya dia, karena jelas dia datang ke front Surabaya bersama rombongan Jawa Barat," tutur Bung Tomo saat diwawancarai oleh Suwardi Soewardjo dkk pada 18 Agustus 1979. Begitu sampai di Bandung, Madomiharna langsung diserbu pertanyaan-pertanyaan oleh para pemuda Bandung. Salah satunya: mengapa Bung Tomo berani-berani menuduh para pemuda Bandung sebagai bermental peuyeumbol? Dia lantas menjelaskan bahwa yang berpidato itu bukanlah "Bung Tomo dari Surabaya", melainkan "Bung Tomo dari Cicadas". Maka beramai-ramailah para pemuda Bandung mendatangi KNI Cicadas guna meminta pertanggungjawaban dari Soetomo. Namun bukannya Soetomo yang didapat, melainkan penjelasan mengejutkan dari pihak KNI Cicadas: Soetomo yang bernama asli Soebrata, bukanlah anggota KNI Cicadas. Dia hanya seorang bekas tahanan Jepang di Penjara Sukamiskin yang kerap terlibat praktek penipuan. "Karena berkawan akrab dengan beberapa anggota KNI Cicadas, dia berhasil mencuri stempel KNI Cicadas dan membuat sendiri surat-surat supaya dia bisa ikut berangkat bersama delegasi Jawa Barat ke Kongres Pemuda di Yogyakarta," tulis Suwardi.

  • Lintasan Sejarah Hidupnya Tak Semulus Lintasan Atletik

    BILA Jamaika punya Usain Bolt dan Amerika Serikat punya pelari legendaris Jesse Owens, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia punya legenda atletik dengan kisah hidup tak kalah menguras emosi dari kedua nama tadi. Gurnam Singh nama legenda itu. Pria Punjab tulen itu lahir di Sogada, Pakistan pada 17 Agustus 1933. Ketika berusia delapan tahun, Gurnam merantau ke Medan dan menetap di sana bersama komunitas Sikh. Untuk menyambung hidup, dia bekerja serabutan mulai dari jadi pembantu juru masak, penjaja susu sapi, sais pedati, tukang reparasi dinamo, hingga kuli aspal. Dengan modal tabungan yang dimilikinya, Gurnam akhirnya merintis bisnis tekstil dan membuka toko olahraga Gurnam Sport di Pasar Peringgan pada 1966. Kedua usaha itu membuat dia sukses secara ekonomi. Namun, kesibukan berlatih atletik menjelang PON III (20-27 September 1953) di Medan membuatnya tak fokus menanangi bisnis. Neraca keuangan tokonya mulai carut-marut hingga akhirnya bangkrut. Tapi Gurnam kemudian membangun lagi bisnisnya dengan toko yang sama di Jalan Gajah Mada, Medan. “Nasibnya sama karena saya terus sibuk mengikuti latihan di Jakarta,” ujarnya, sebagaimana dilansir Kompas , 14 September 1996. Beruntung, prestasi Gurnam di olahraga tak sama dengan prestasinya di bisnis. Gurnam pernah didaulat sebagai manusia tercepat Asia dengan rekor waktu tercepat untuk kategori lari 5000 dan 10.000 meter. “Ayah 4 anak ini di masa jayanya pemegang rekor lari 5 ribu meter dengan kecepatan 14 menit 24 detik dan 10 ribu meter dengan kecepatan 30 menit 47,2 detik. Sedangkan jarak maraton 42 kilometer ditempuhnya dalam tempo 2 jam 27 menit 21 detik,” tulis buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 . Gurnam lalu terpilih masuk timnas atletik Indonesia untuk Asian Games IV di Jakarta. Sayang, dia tak seberuntung rekannya, Mohammad Sarengat, yang berhasil menyumbang emas melalui cabang lari 100 meter putra dan lari gawang 110 meter putra. Gurnam kalah dari Finai Teruo asal Jepang yang menggondol perak dan Tarlok Singh dari India yang mengantongi emas. Toh , Gurnam tetap jadi salah satu atlet yang diundang Presiden Sukarno sebagai tamu kehormatan. Gurnam juga mendapatkan hadiah tanah seluas tujuh hektar dan uang 700 ribu rupiah. Namun kehidupannya berubah 180 derajat seiring dengan pergantian rezim di Indonesia. Kehidupannya yang sudah tertatih-tatih akibat bisnisnya seret berlanjut dengan bangkrutnya toko Gurnam Sport. Gurnam mencoba bangkit dengan membuka toko kerajinan gitar di Medan. Tapi usaha itu hanya bertahan setahun. Perlahan, dia mulai melego harta-bendanya. Kesulitan Gurnam bertambah ketika istrinya mulai sakit-sakitan. Keempat anak Gurnam akhirnya putus sekolah lantaran tak ada biaya. Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Kota Medan menggusur rumah Gurnam di Gang Sauh, Jalan Padang Bulan, Medan pada 1972 tanpa memberi ganti-rugi karena Gurnam dianggap tak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Gurnam akhirnya hidup menggelandang dan terpisah dari keluarganya. Dia kerja serabutan untuk menyambung hidup, mulai dari penjual air sampai satpam. Saat menjadi satpam, dia sempat tersandung masalah hukum. Medio Oktober 1976, Gurnam ditahan dan diajukan ke meja hijau. Pengadilan Negeri Medan menyidang dia dengan tuduhan mencuri barang-barang perabotan toko tempatnya bekerja. “Gurnam (dituduh) mencuri kayu, alat-alat perabot, paku dan lain-lain dari toko perabot di Jalan Gedeh, Medan. Jumlahnya ditaksir ratusan ribu rupiah,” tulis Kompas , 16 Januari 1977 . Begitu lepas dari kasus hukum, Gurnam melanjutkan hidup seorang diri dalam kondisi melarat. Perhatian kepadanya baru berdatangan, dari mulai wartawan olahraga hingga Mensesneg Moerdiono, pada 1990-an. “Mensesneg menyinggung pekerjaan Gurnam yang kini penjual air, ketika menjelaskan rencana pemberian penghargaan kepada atlet peraih emas, perak dan perunggu di Olimpiade Barcelona (1992),” tulis Kompas, 19 Agustus 1992 . Bantuan dan sumbangan mulai mengalir kepada Gurnam. Namun, Gurnam menolak. “Bantuan yang saya inginkan hanyalah agar rumah saya di Gang Sauh, Jalan Padang Bulan yang dibongkar Pemda Medan dibangun kembali,” ujarnya. Itu sebabnya dia enggan menerima bantuan seorang pengusaha asal Purwokerto yang ingin menjamin hidupnya dengan syarat Gurnam bersedia pindah dari Medan. Keadaan sulit akhirnya membuat Gurnam tak kuasa menolak bantuan. Pada 25 Juni 1996, dia menerima hadiah sebuah rumah sederhana di Pancurbatu, Deli Serdang dari Kodam Bukit Barisan. Di rumah itu dia tinggal hingga sekira satu dekade. Pada 7 Desember 2006, Gurnam menghembuskan nafas terakhir di RS Sumber Waras, Grogol, Jakarta.

bottom of page