top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Wallace Menuntun Dubois Menemukan Manusia Jawa

    BANYAK orang menyayangkan keputusan Marie Eugene Francois Thomas Dubois meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen anatomi di Universitas Amsterdam. Setelah mengajar selama setahun, Dubois mendapati dirinya tidak cocok untuk pekerjaan itu. Dia tak suka mengajar. Dan lagi, saat itu fokusnya telah beralih kepada sains evolusi manusia. Pencarian dan penelitian paleoantropologi guna mencari missing link evolusi manusia memang sedang marak di akhir abad ke-19. Semangat itu pula yang menjangkiti Dubois. “Dubois adalah anak kecil penyuka sains ketika gegap gempita teori Darwin sedang berkembang di Eropa. Dia terpengaruh teori evolusi dan bercita-cita mencari mata rantai evolusi manusia yang hilang,” ujar Harry Widianto, direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dubois tidak main-main dengan hasrat intelektualnya. Usai mundur dari universitas, dia mendaftarkan diri menjadi dokter militer. Alasannya agar bisa ditugaskan ke Hindia Belanda dan meneliti di sana. Dia bertekad hendak membuktikan kebenaran teori evolusi setelah membaca karya-karya Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace. Dengan menjadi dokter militer, Dubois berharap bisa meluangkan waktunya untuk sekaligus mencari fosil hominin. Bukan tanpa sebab dia memilih Hindia Belanda sebagai tujuan riset lapangannya. Adalah karya-karya Wallace yang menuntunnya mencari fosil di sana. Seturut Wallace, cuaca yang hangat dan iklim yang stabil di kawasan tropis menjadi faktor penting yang mendukung evolusi spesies. Kondisi hutan tropis di wilayah kepulauan Hindia Belanda pun cenderung tidak berubah dari masa ke masa. “Dubois mencermati tulisan-tulisan Wallace. Akhirnya dia berkesimpulan untuk ke daerah tropis. Karena Wallace berpendapat bahwa daerah tropis adalah relung ekologi yang sangat ideal bagi evolusi manusia,” kata Harry. Menumpang kapal SS Princess Amalia , Dubois berangkat ke Hindia Belanda pada 1887. Dia mengajak istri dan anaknya yang masih bayi. Tujuan pertamanya mengeksplorasi gua-gua di Sumatra yang diperkirakan pernah ditinggali manusia purba. Pasalnya, di Eropa fosil manusia Neanderthal banyak ditemukan di gua-gua. Tetapi, setelah tiga tahun mengeksplorasi, dia hanya menemukan fosil Sapiens , manusia modern. Dubois lalu mengalihkan fokusnya ke Jawa setelah ditemukannya fosil tengkorak Homo Wajakensis di Tulungagung pada 1889. Dia pun sempat mempelajari fosil temuan Van Riestchoten itu. Fosilnya ditemukan pada lapisan pleistosen atas. Jadi, manusia Wajak ini diperkirakan hidup antara 40.000 sampai 25.000 tahun lalu. Fitur-fitur fosil yang ada mengindikasikan Homo Wajakensis adalah hominin yang sudah cukup maju. Ini penemuan besar pertama di wilayah Hindia Belanda, tetapi bukan makhluk itu yang dicari Dubois. “Kesimpulannya Homo Wajakensis ini termasuk muda sehingga akhirnya dia meneliti pada endapan-endapan yang lebih tua,” kata Harry. Ketika melakukan penggalian pada September 1890 di Kedung Brubus, Madiun, seorang pekerjanya menemukan fragmen rahang bawah dengan tiga gigi. Lalu pada Oktober 1891 di Trinil, Ngawi, dia menemukan fosil tempurung tengkorak. Terakhir, setahun kemudian, di lubang yang berjarak sekira 15 meter dari lokasi temuan tengkoraknya, Dubois menemukan tulang paha kiri yang hampir sempurna. Dubois gembira dengan penemuan fosil-fosil Pithecanthropus Erectus itu. Inilah missing link evolusi manusia yang selama ini dicarinya. Kesimpulannya, fosil-fosil itu mengindikasikan sosok manusia kera yang telah mampu berjalan tegak. Dia mempublikasikan deskripsi lengkap temuannya itu pada 1894. Setahun kemudian, dia pulang ke Belanda dan mulai mempromosikan temuan fosilnya kepada kalangan saintis Eropa.*

  • Berharap TNI Membuka Arsip Terkait Peristiwa 1965

    PEMBUKAAN dokumen rahasia AS pada 17 Oktober 2017 seharusnya menjadi momen penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengklarifikasi sejarah peristiwa 1965. Namun, momen ini tidak akan berarti tanpa kehendak pemerintah untuk mencari kebenaran dan keadilan terkait pembunuhan massal pasca peristiwa 1965. “Momen baru bisa diciptakan kalau ada kehendak dari pemerintah. Dokumen ini bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah untuk mencari kebenaran dan keadilan,” kata Usman Hamid, direktur Amnesty Internasional Indonesia, dalam konferensi pers di Kantor Amnesty International Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, 20 Oktober 2017. Peneliti IPT 65, Sri Lestari Wahyuningrum mengatakan untuk melakukan klarifikasi sejarah dibutuhkan partisipasi semua pihak. Hal ini menjadi proses bersama dalam masyarakat. “Kalau upaya klarifikasi sejarah ini dilembagakan, ia (lembaga tersebut, red. ) harus inklusif dan partisipatif. Jadi, bukan hanya satu orang, kayak Nugroho Notosusanto membuat buku putih tentang peristiwa itu,” kata Sri. Menurut Sri, klarifikasi sejarah yang dilakukan bersama ini menjadi jalan masuk untuk mengungkap kebenaran pasca peristiwa 1965. Apapun mekanismenya bisa ditempuh: pengadilan, hak reparasi, dan rekonsiliasi. “Rekonsiliasi bukan pintu masuknya, tapi efeknya. Pintu masuknya adalah pengungkapan kebenaran dan keadilan sejarah," tegas Sri. Para aktivis HAM membantu para korban dan penyintas 1965 merupakan bagian dari upaya mencari keadilan sejarah. Dalam proses mencari keadilan sejarah, orang-orang yang terpinggirkan, seperti korban dan penyintas 1965, harus diikutkan. Sudah banyak tanggapan mengenai pembukaan dokumen rahasia AS. Sayangnya, belum ada kejelasan dampak pembukaan dokumen ini pada upaya pengungkapan kebenaran dan kejelasan nasib para penyintas. Feri Kusuma, aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan ada pihak-pihak yang tidak ingin pembunuhan massal pasca peristiwa 1965 diselesaikan secara hukum. “Persoalannya pemerintah tidak mau mengakui dan tidak menggunakan informasi ini untuk membongkar kebenaran sejarah,” kata Feri. Sri mengungkapkan bahwa 39 dokumen rahasia AS tersebut bukan hal baru. Dokumen ini sudah digunakan dalam IPT 65 yang diselengarakan di Den Haag pada 2015. “Dokumen ini bukan barang baru dan jumlahnya masih sangat sedikit. Sudah jadi bagian dari laporan yang diajukan pada IPT 65. Yang sama sakali belum dirilis adalah dokumen CIA,” ujar Sri. Dokumen yang dideklasifikasi berisi informasi yang didapat dari Indonesia kemudian dilaporkan Kedubes AS di Jakarta kepada pemerintah AS. Dokumen CIA yang menunjukkan keterlibatan langsung AS dalam peristiwa 1965 belum dideklasifikasi. Selain dokumen CIA, dokumen penting yang bisa digunakan untuk mengklarifikasi peristiwa 1965 adalah arsip-arsip TNI. “Kami berharap agar TNI membuka arsip miliknya untuk melengkapi fakta tentang peristiwa 1965,” kata Usman. Menurut Usman Indonesia perlu belajar dari negara lain yang membuka tabir sejarah dengan membuka arsip-arsip lamanya. Indonesia sebenarnya punya UU Kebebasan Informasi Publik yang menjadi dasar untuk mengakses arsip lama. Sejauh penelitian yang dilakukan IPT 65, arsip-arsip TNI sama sekali belum bisa diakses. Beberapa arsip yang bisa didapat hanya arsip pada level lokal dan bukan dokumen induk. “Kita nggak tahu apa yang terjadi, siapa yang punya komando dan lain-lain. Kalau memang pemerintah berpikir kalau ini versinya Amerika. Versi Indonesia juga dirilis saja supaya kita bisa tahu apa yang terjadi,” tegas Sri.

  • Laporan Pembasmian Komunis dalam Dokumen Rahasia AS

    DARI 39 dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi, lima di antaranya memuat laporan dari Konsulat AS di Surabaya. Dokumen itu melaporkan situasi yang terjadi di Jawa Timur terkait aksi-aksi penumpasan PKI yang melibatkan tentara dan masyarakat. Masing-masing dokumen berupa pesan telegram yang ditujukan kepada Kedubes AS di Jakarta. Pengirimnya tercatat bernama Heyman, konsul AS di Surabaya. Sejak November hingga Desember 1965, dokumen itu melaporkan situasi keamanan di Jawa Timur yang berdarah. Aksi penumpasan orang-orang komunis berlangsung di berbagai daerah. Amatan dari seorang misionaris lokal pada 21 November yang melakukan perjalanan dari Kediri ke Mojokerto menyatakan banyak jenazah mengambang di sungai-sungai. “Misionaris itu mendengar pembantaian terbesar telah dilakukan di Tulungagung di mana dilaporkan 15.000 komunis terbunuh,” tulis pesan telegram bernomor seri 183 tanggal 24 November 1965. Pembunuhan terhadap PKI terus berlanjut di desa-desa perbatasan Surabaya. Menurut kepala jawatan kereta api Jawa Timur, sebanyak lima stasiun tutup dikarenakan banyak buruh kereta yang takut bekerja setelah mendengar beberapa rekan mereka dibunuh. Memasuki bulan Desember, penganiayaan terhadap orang-orang PKI terus berlanjut namun “dalam skala yang lebih rendah dan lebih berhati-hati.” Kendati demikian, suasana sosial tetap mendidih. Pasalnya, beberapa pemimpin PKI diduga masih bersembunyi di Surabaya. Angkatan Darat mulai berusaha menghentikan pembunuhan. Peran aktif pihak militer dikurangi dengan lebih melibatkan masyarakat berperan dalam pembersihan. Dikabarkan, “tentara melepas 10 sampai 15 tahanan pada malam hari untuk dieksekusi kaum Muslim,” tulis pesan telegram bernomor 203 tanggal 21 Desember 1965. Operasi pembersihan di Surabaya dilaporkan memakan waktu lebih lama karena banyaknya simpatisan PKI di daerah tersebut. Mereka yang menjadi korban diciduk dari permukiman penduduk. Setelah dieksekusi, mayatnya dikuburkan secara massal daripada dibuang ke sungai. Sementara di Madiun, orang-orang komunis yang semula ditangkap dan dicap tahanan PKI, dikirim ke warga sipil untuk dihakimi. Menurut sumber NU (Nahdlatul Ulama), yang merupakan anggota legislatif Jawa Timur, kampanye NU untuk memusnahkan PKI yang dilakukan di seluruh Jawa Timur akhirnya diperluas ke pojok timur. “Sangat sulit untuk menghentikan pembunuhan,” kata Sumarsono, kepala polisi Jawa Timur, dikutip dalam pesan telegram nomor 216 tanggal 27 Desember 1965. “Mungkin beberapa komandan militer lokal ingin menerapkan perintah dari atasan mereka untuk menghentikan pembunuhan, namun menghadapi masalah yang sulit.”

  • Dukun Beranak Ditelan Zaman

    NEK IPAT, panggilan sehari-hari Fatimah, baru saja pulang dari membantu orang bersalin. Di rumahnya, Bekasi, Jawa Barat, sudah menunggu para ibu yang ingin memijatkan bayinya. Sudah sekira 40 tahun Nek Ipat menjadi dukun beranak. Profesi ini sudah turun-temurun, ibu dan buyutnya dulu juga dukun beranak. “Mama saya 100 tahun jadi dukun bayi. Umurnya sampai 150 tahun. Uyut saya juga dulunya dukun beranak,” kata Nek Ipat kepada Historia . Sekira tahun 1960, Nek Ipat saat umur 20-an, magang pada ibunya untuk membantu orang melahirkan. Sebagai asisten ibunya, dia membantu keperluan dukun beranak seperti mengambilkan air, menyiapkan jamu, membantu memandikan bayi sambil diajari cara menangani orang melahirkan. Setelah ibunya merasa Nek Ipat cukup siap menjadi dukun beranak, dia diharuskan puasa selama 120 hari. Dia menyebutnya tapa pati geni . Pada empat puluh hari pertama, dia hanya diperbolehkan makan dedaunan, empat puluh hari berikutnya hanya boleh makan ubi-ubian, dan empat puluh hari terakhir tidak boleh minum sama sekali. Puasa ini dilakukan menjelang bulan Maulid. Baru setelah berhasil menjalani puasa yang cukup berat ini, Nek Ipat dianggap lulus dan boleh menangani pasien sendiri. Akhir tahun 1970-an, ketika umurnya 35 tahun, Nek Ipat mulai menjadi dukun beranak. Beragam proses kelahiran juga pernah dia jumpai, misalnya bayi lahir sungsang atau ari-ari tertinggal. Setelah menangani persalinan, Nek Ipat merawat ibu dan bayinya selama 15 hari. Dia membuat nangkring jala , jamu, dan peparem (ramuan untuk dibalurkan ke tubuh ibu yang baru melahirkan). “ Nangkring jala buat jaga kalau lahir biar gampang. Sekarang sudah nggak bikin. Jamu juga kalau sekarang orang pada beli,” kata Nek Ipat. Untuk mandi si ibu, Nek Ipat menyiapkan air mandi yang dicampur rebusan tanaman obat jeringau (dlingo) dan bengle. Dukun beranak juga bertugas memandikan si bayi sampai mencuci kotoran bekas melahirkan. “Nenek pernah nanganin orang sampai ke Rawa Lumbu, Tambun, Tanjung Priok juga pernah tahun 80-an. Soal duit mau ada duitnya mau enggak, ditolong sama kita biar selamat dulu. Nanti kalau dia ada rejeki juga bakal ingat sama kita,” kata Nek Ipat. Awal 1990-an Nek Ipat menerima pelatihan dari puskesmas Tambun, Bekasi. Dia diberi alkohol, gunting, sarung tangan, dan alat lain untuk membantu orang bersalin. Alat ini diberikan supaya para dukun beranak membantu persalinan dengan lebih steril. “Dulu kita motong pusar pakai awi (bambu tajam). Obat pusar pakai abu sama asem. Pas ikut pelatihan ke Tambun dikasih gunting juga alkohol,” kata Nek Ipat. Sri Suharyanti, bidan yang pernah bertugas di Puskesmas Kecamatan Makasar, Jakarta Timur pada 1980-an, menceritakan pelatihan yang pernah dia jalankan. Sasarannya, para dukun beranak yang ada di lingkungannya. Dinas Kesehatan memerintahkan para bidan dan staf puskesmas untuk melakukan penataran seminggu sekali kepada dukun beranak di lingkungannya. “Seminggu sekali kita kasih penataran. Kita juga melihat lagi alat yang kita berikan. Kalau masih baru terus berarti nggak dipakai,” kata Sri yang memberikan pelatihan kepada tiga dukun beranak berusia di atas 50. Pada 2008 Kementerian Kesehatan mengeluarkan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 828. Dalam keputusan tersebut memuat kemitraan bidan-dukun. Kemitraan bidan dan dukun menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan peran dukun dari penolong persalinan menjadi mitra bidan dalam perawatan ibu dan bayi pada aspek non-medis. Sejak aturan ini dikeluarkan, Nek Ipat tidak lagi menjadi dukun beranak yang menangani sendiri pasiennya. Pernah suatu kali ada yang meminta Nek Ipat untuk membantu persalinan seorang diri tanpa dampingan bidan, namun dia menolak. “Soalnya kalau sekarang lahiran gua sendiri yang nanganin didenda 1,5 juta. Orang yang lahir sama gua aja ada yang ngasih ada yang enggak. Ikhlas saja. Ada malah setelah lahiran seharian belum makan, kan kasihan. Gua kasih makan, keluar deh duit dari dompet gua,” kata Nek Ipat. Di umurnya yang sudah lanjut usia, teman-teman Nek Ipat sesama dukun beranak sudah jauh berkurang. Nek Ipat juga tidak memiliki penerus. Anak-anak dan cucunya tidak tertarik untuk meneruskan profesi keluarga mereka sebagai dukun beranak.

  • Membangun Solidaritas Internasional

    SETELAH Revolusi Anyelir di Portugal pada April 1974, Timor Portugis menjadi daerah tak bertuan. Portugal meninggalkan daerah itu, mengakhiri tirani, dan membiarkan organisasi politik tumbuh. Meski sudah ada organisasi politik dengan beragam tujuan, masa depan Timor Portugis belum jelas. Dua negara tetangganya, Indonesia dan Australia, ikut terpanggil untuk menentukan masa depan wilayah itu.

  • Melacak Jejak Dukun Beranak

    DUKUN beranak tak lagi memegang peran sentral dalam proses persalinan. Dia harus didampingi seorang bidan. Meski begitu, pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, dukun beranaklah yang membantu kelahiran bayi bahkan di lingkungan istana. Tradisi persalinan dalam masyarakat di Nusantara bisa disaksikan melalui relief candi. Dalam adegan cerita Krsnayana yang dipahatkan di Candi Wisnu, Prambanan dari abad 9 menggambarkan Dewaki ketika akan melahirkan Krsna. Di hadapannya nampak seorang perempuan yang menolongnya melewati proses persalinan. Di belakang Dewaki juga seorang perempuan lagi. Namun tak diketahui apakah dia pelayan Dewaki atau pembantu perempuan yang menolong persalinan tadi. “Orang yang menolong melahirkan, kalau sekarang disebut dukun beranak. Jadi, dalam masyarakat Jawa Kuno telah ada perempuan yang mempunyai profesi sebagai dukun beranak,” tulis Titi Surti Nastiti, arkeolog Puslit Arkenas, dalam Perempuan Jawa . Meski dalam relief jelas digambarkan, tak ada sebutan jelas bagi profesi itu. Prasasti hanya pernah menyebutkan istilah walyan, yang menurut Titi berarti dukun. “Apakah yang dimaksud dengan walyan itu dukun beranak atau dukun biasa masih belum dapat diketahui dengan pasti,” tulisnya. Di Kerajaan Bima yang berasal dari abad 17 M, dukun beranak disebut dengan Sando. Ia bisa laki-laki atau perempuan. Sando perempuan dipanggil dengan Ina oleh orang Bima. Sementara sando laki-laki disebut Ama-ama. Sando punya peran penting dalam prosesi ritual pewarisan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat. Kini bukti praktik ritual saat kehamilan dan pasca persalinan sejak masa Kerajaan Bima masih terlacak di Desa Jatibaru, Bima, NTB. Anis Izdiha, antropolog Universitas Gadjah Mada dalam “Warisan Tradisi Kehamilan-Persalinan Kerajaan Bima, Nusa Tenggara Barat” jurnal Prajnaparamita , 5/2017, menulis, pada saat ini, masyarakat Desa Jatibaru memiliki dua pilihan persalinan. Mereka bisa melahirkan di fasilitas kesehatan medis atau dibantu sando. Meski tak memegang peran utama lagi, sando masih berperan pada prosesi ritual budaya, termasuk menjaga pada waktu kelahiran. Sando juga dapat berfungsi sebagai pendamping persalinan menggantikan suami. Ia diminta memantau proses persalinan. Jika ada kesulitan, sando dengan sigap meniup ubun-ubun, perut, atau bagian vagina ibu hamil sebanyak tiga kali. Sando juga akan membacakan doa ke air kemudian diminum si ibu dan sisanya dipercikkan di vaginanya. “Meski sando sudah dilarang untuk melayani persalinan, keterlibatan sando dalam persalinan masih terlihat,” jelas Anis. Pergantian kepemimpinan raja menjadi sultan pun turut mengubah tradisi yang ada. Ritual kehamilan dan persalinan diselenggarakan dalam napas Islam. Sejauh yang dapat dilacak, Museum Asi Mbojo di Bima masih menyimpan enam artefak yang dipakai oleh para perempuan yang melahirkan. Keenam artefak itu menunjukkan bagaimana proses persalinan yang dilakukan di dalam kerajaan. Di antaranya baju Poro Bura dan Tembe Songket . Wujudnya, berupa baju putih dan sarung songket yang dipakai ibu hamil pada saat melahirkan. “Persalinan di dalam kerajaan dilakukan dengan proses ritual yang didahului dengan sebuah persiapan. Seorang ibu yang akan bersalin harus memakai baju poro terlebih dahulu sebelum melakukan prosesi kelahiran,” tulis Anis. Lalu ada Roa Sa’e , periuk tempat ari-ari. Ari-ari bayi harus diletakkan di dalam Roa Sa’e atau periuk yang terbuat dari tanah liat. Berikutnya ada Kula Lo’i yaitu tempat rempah-rempah yang akan digunakan sebagai obat pada saat melahirkan. Adanya Kula Lo’i menunjukkan adanya sebuah ritual khusus bagi seorang ibu pasca bersalin, yaitu memberikan rempah-rempah ke tubuh si ibu. Sedangkan Wadu Lo’i adalah alat batu untuk menggiling rempah-rempah sebagai obat. Piso Lo’i adalah senjata dukun yang akan mengawal kelahiran putra dan putri sultan. Peda Lo’i juga senjata para dukun. Bedanya senjata ini mengawal proses kelahiran anak-anak keluarga sultan. “Peralatan melahirkan, piso lo’i dan peda lo’i merupakan simbol kekuatan seorang sando dalam menangani urusan siklus kelahiran seorang bayi,” jelas Anis. Lebih dari itu, sosok sando masih dilihat sebagai figur kuat yang ditokohkan.

  • Rumah Para Pemimpin Jakarta

    GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan akan menempati rumah dinas gubernur yang terletak di Jl. Taman Suropati No. 7 Menteng Jakarta Pusat. Sebelumnya, Djarot Saiful Hidayat juga menempati rumah dinas ini. Sedangkan Basuki Tjahaya Purnama memilih tidak menempatinya. Berdiri di atas lahan seluas 1.100 m2, rumah ini terdiri atas gedung dua lantai di bagian belakang menyambung dengan bangunan satu lantai sebagai muka rumah. Di sekitarnya terdapat halaman luas yang rindang karena ditanami pohon palem, cemara, dan pohon lain dengan dahan besar. Jalan masuk antara gerbang dan bagian depan rumah dipagari dengan semak yang dipangkas rapi. Rumah ini memiliki atap yang menutupi sebagain teras. Sedangkan atapnya secara umum berbentuk perisai tinggi dan agak curam yang mengimbangi bentuk bangunan segi empat. Gedung induk dan sayap membentuk sudut lebar ke arah Taman Suropati. Mulanya, rumah ini ditempati oleh G.J. Bisschop, burgemeester (walikota) pertama Batavia yang memerintah sejak 21 Agustus 1916 hingga 29 Juni 1920. Batavia memang baru memiliki walikota setelah sepuluh tahun pendiriannya. Tahun 1912 tanah yang ada di sekitar Menteng dibeli untuk membangun perumahan pegawai pemerintah Belanda. Rumah dinas yang ditempati Bisschop turut dibangun bersamaan dengan daerah permukiman di Menteng. “Ir. Kubath yang merancang rumah itu. Tapi data tentang dia memang tidak banyak. Nama walikota pertama tersebut kemudian diabadikan untuk kawasan permukiman elite Eropa di Menteng, yakni Bisschopplein,” kata Candrian Attahiyat, tim ahli cagar budaya DKI Jakarta kepada Historia . Bisschoplein dibangun mengikuti pola Weltevreden dengan luas lahan lebih kecil. Meski demikian, perumahan di kawasan Menteng masih cukup mewah untuk ditujukan pada kelas elite di Batavia. Perencanaan kawasan perumahan pegawai ini dibuat dengan mengikuti syarat kota modern dengan konsep kota taman. Ketua Badan Pelestarian Ikatan Arsitek Indonesia Aditya W. Fitrianto menjelaskan tentang konsep kawasan permukiman kota taman ( garden city ) yang dibangun masa Belanda. “Rumah dibangun di atas lahan yang luas, dengan jalan-jalan berbentuk lengkung (tidak grid ) yang saling terintegrasi, itu ciri garden city ,” kata Aditya kepada Historia . Kota taman yang dibangun masa Belanda juga bisa dilihat dari banyaknya pohon yang mengisi kawasan perumahan. Sementara Taman Suropati yang dulunya bernama Burgemeester Bisschoplein menjadi sentral dari Kota Menteng. Awalnya kawasan permukiman Menteng direncanakan sebagai kota satelit. Rencana induk pembangunan kawasan ini pertama dibuat tahun 1920-an. “Kalau masterplan jalannya dibuat melingkar kayak Kebayoran tapi kemudian berubah. Bentuk jalannya masih ada lengkungnya tapi beberapa berbentuk kotak,” kata Aditya. Lebih lanjut Aditya menjelaskan bahwa bangunan rumah dinas gubernur DKI Jakarta bermodel rumah villa: rumah berada di tengah lahan dengan halaman luas di sekitarnya. Model rumah ini sering digunakan dalam pembangunan real estate di era kolonial, begitu pula dengan rumah-rumah lain di kawasan Menteng. “Modelnya villa sedangkan gaya rumahnya termasuk awal tropical art deco (seni dekoratif), karakter rumah yang berkembang di tahun 1930-1940-an,” kata Aditya. Art deco merupakan seni dekorasi bangunan memakai bentuk-bentuk geometri seperti segi lima, limas, atau segitiga untuk menambah keindahan bangunan. Meski ditujukan sebagai rumah dinas burgemeester, menurut Aditya garis dekoratif yang membentuk pola bangunan tidak rumit dan cenderung sederhana. “Karakternya juga sederhana meskipun artdeco . Bangunannya juga ada teras yang cukup lapang sebagai ciri gaya tropis kita,” kata Aditya. Dibangun sejak awal abad ke-20, bangunan ini mengalami beberapa perbaikan agar tetap awet. Candrian menyebutkan antara lain penggantian material misalnya genting yang diperbaiki sekira 20 tahun lalu menjadi genting monir warna hijau. Beberapa bagian diatur ulang untuk membuat fungsi baru, semisal kamar mandi. “Di bagian luar diubah sedikit, tapi secara bentuk masih mempertahankan bentuk lama,” kata Candrian. Beberapa nama yang tercatat dalam Ensiklopedi Jakarta: Culture and Heritage pernah tinggal di rumah ini selain Bisschop adalah Walikota Suwirjo, Syamsurijal, Sudiro ; Gubernur Sumarno, Henk Ngantung, Wiyogo Admodarminto dan Sutiyoso. Sedangkan Gubernur Ali Sadikin memilih tidak menempati rumah dinas ini dan menggunakannya untuk tempat kegiatan Dharma Wanita dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).

  • Jenderal AD dalam Dokumen Rahasia AS

    DOKUMEN rahasia AS yang baru saja dideklasifikasi dan dibuka untuk publik pada 17 Oktober 2017 menyebut beberapa nama perwira tinggi yang dianggap melindungi Sukarno pasca peristiwa 1965. Pesan telegram bernomor A-503 itu bertajuk “Prospects for a Putsch in Djakarta” (prospek untuk perebutan kekuasaan di Djakarta) dan diberi label: rahasia. Dokumen itu dikirim dari Kedubes AS di Jakarta kepada sekretaris negara di Washington, DC, tanggal 7 Februari 1966, sebulan sebelum peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Letjen TNI Soeharto. Pengirim telegram bernama Edward E. Masters, konselor (penasihat) Kedubes AS untuk urusan politik. “Prospek untuk melawan Istana (Sukarno, red ), bergantung pada sikap militer,” tulis laporan itu. Laporan itu menyebut dua jenderal yang bertentangan dengan haluan kebijakan AS: Brigjen TNI Achmad Sukendro dan Mayjen TNI Ibrahim Adjie. Sukendro dikenal sebagai perwira intelijen Angkatan Darat, orang dekat Nasution, yang menjabat menteri negara merangkap menteri transmigrasi dan koperasi. Sementara Adjie menjabat Panglima Kodam Siliwangi, Jawa Barat. Mereka berdua dikhawatirkan lebih condong terhadap Sukarno. “Sukendro, bagaimanapun, tidak mengendalikan pasukan dan hanya aktif sebagai ahli strategi politik,” tulis laporan itu mengenai Sukendro. Laporan itu juga menyoroti pelarangan “Barisan Sukarno” di Jawa Barat oleh Ibrahim Adjie. Pelarangan itu dapat membangunkan harapan di antara para penentang Istana. Lebih lanjut, pasukan Adjie di Jawa Barat bisa memainkan peran yang menentukan dalam permainan kekuasaan di Jakarta. Keunggulan (pasukan) Adjie mungkin akan diikuti oleh komandan daerah lainnya, seperti Brigjen TNI Solichin, panglima Kodam Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Letjen TNI A.J. Mokoginta, panglima Komando Wilayah Sumatera, dan Mayjen TNI Sobirin Mochtar, komandan Batalion 530 Brawijaya. “Namun pelarangan Barisan Sukarno sama sekali tidak menjadi cukup bukti bahwa kesetiaan yang ditunjukkan oleh Adjie terhadap Sukarno memudar,” demikian penilaian terhadap Adjie. Analisis Masters tersebut masukan bagi Duta Besar Marshall Green dan perumus kebijakan politik di Washington untuk Indonesia. Bagaimana nasib kedua jenderal tadi ketika rezim berganti? Keduanya mengalami nasib nahas. Sukendro sejatinya adalah perwira antikomunis garis keras. Pada Juli-September 1960, Sukendro pernah memimpin penindasan terhadap PKI. Sukarno kemudian mengajak Angkatan Darat mencapai sebuah kompromi yang berujung pada pengiriman Sukendro ke pengasingan selama tiga tahun. Dalam masa pengasingan, menurut sejarawan Universitas British Columbia, John Roosa, Sukendro belajar di University of Pitsburgh dan menjalin kontak lebih dekat dengan para pejabat AS dan CIA. Pada akhir 1965, Sukendro menjadi penghubung penting antara Kedubes AS dengan pimpinan Angkatan Darat di bawah Soeharto dan Nasution. “Sukendro segera tersingkir dari lingkaran Soeharto, barangkali karena dia terlalu mandiri,” tulis Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Pada 1967, Sukendro ditangkap atas perintah Panglima Komando Pemulihan dan Keamanan (Pangkopkamtib), Jenderal TNI Soemitro. Selama sembilan bulan, dia ditahan di penjara Nirbaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. “Satu laporan intelijen menyebutkan, pada waktu Jenderal Sukendro sekolah di Seskoad, dia pernah mengemukakan di depan salah satu forum, bahwa Dewan Jenderal itu ada,” ujar Soemitro dalam memoarnya Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan K.H. Kepada Soemitro, Sukendro mengakui telah mengatakan seperti itu. Soemitro sempat bingung karena Sukendro teman dekatnya, sama-sama lulusan angkatan pertama SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). “Namun bagaimanapun juga saya harus menahannya dan akhirnya saya masukan dia di Nirbaya,” kata Soemitro. Sementara itu, Ibrahim Adjie mengalami hal yang tidak jauh berbeda namun agak lebih baik. Adjie memang dikenal sebagai perwira tinggi loyalis Sukarno. Sebagaimana lazimnya politik pembuangan di era Orde Baru, Adjie menempati pos baru di London sebagai duta besar pada 1966. Setelah itu namanya tak bergaung lagi. Dia memilih menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik dan kekuasan.

  • Ken Angrok di Layar Perak

    PEMUDA itu tampil gagah. Penampilannya yang selalu bertelanjang dada menonjolkan tubuh bagian atasnya yang bidang dan lengannya yang kekar. Rambutnya dibiarkan tergerai hingga bahu. Wajahnya ditumbuhi kumis lebat. Kulitnya kuning langsat. Begitulah kira-kira penggambaran tokoh Ken Angrok (diperankan George Rudy) dalam film Ken Arok dan Ken Dedes (1983) garapan sutradara Djun Saptohadi.

  • Adnan Buyung Nasution dalam Dokumen Rahasia AS

    Adnan Buyung Nasution disebut dalam dokumen rahasia yang telah dideklasifikasi oleh Pusat Deklasifikasi National (NDC) Amerika Serikat dan dibuka untuk publik pada 17 Oktober 2017. Dokumen enam halaman itu merangkum situasi Indonesia pasca Gerakan 30 September 1965 dan upaya kalangan moderat membantu Angkatan Darat menghancurkan PKI. Dokumen tersebut menunjukkan betapa luasnya dukungan pembunuhan massal yang dipimpin Angkatan Darat bahkan di antara kekuatan politik moderat di Indonesia. Dalam amatan pemerintah AS, Buyung dianggap perwakilan kaum moderat yang berguna menyediakan informasi penting bagi Kedubes AS. Memorandum yang dikeluarkan Kedubes AS di Jakarta merekam pembicaraan Buyung dengan Robert Rich, sekretaris kedua Kedubes AS. Buyung yang saat itu berusia 31 tahun dan menjabat asisten Jaksa Agung, mengusulkan untuk terus mengejar komunis guna melemahkan kekuatan PKI. “Ini adalah momen kritis bagi orang-orang moderat Indonesia, seperti anggota PNI dan Masyumi, untuk membubarkan komunis dan menghilangkan kekuatan PKI,” kata Buyung kepada Rich. Buyung disebutkan dua kali mendatangi Kedubes AS pada 15 dan 19 Oktober 1965. Dia mengatakan bahwa Angkatan Darat telah mengeksekusi ribuan orang komunis. Dia berpesan agar sebisa mungkin fakta ini dipegang erat-erat dan disembunyikan dari Presiden Sukarno. Informasi lain yang disampaikannya adalah rencana Angkatan Darat untuk membebaskan pimpinan Masyumi dan PSI yang dipenjara sejak pemberontakan PRRI. Buyung memiliki akses ke pihak AS karena pernah bertugas di intelijen Kejaksaan Agung. Dia juga menjadi asisten yang diperbantukan ( liaison officer ) Kejaksaan Agung untuk mendampingi tamu kehormatan Jaksa Agung AS Robert F. Kennedy yang berkunjung ke Indonesia pada 1962. Anti-PKI Sejak duduk di SMA, Buyung sudah tegas anti-PKI. Ayahnya, Rahmad Nasution menanamkan pelajaran tentang demokrasi, dan setelah agak besar, dia membaca buku-buku ayahnya mengenai bahaya komunisme, otoriterisme, totaliterisme, bahkan militerisme dan fasisme. “Sehingga saya sudah terbentuk menjadi sangat alert terhadap paham komunis. Waktu di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) saya sudah sadar betul bersikap anti-PKI. Saya menentang IPPI Edi Abdurachman yang cenderung mau mengkomuniskan IPPI,” kata Buyung dalam otobiografinya ,Pergulatan Tanpa Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto . Sikap itu konsisten terus hingga pada Juli 1964, Buyung bersama rekan-rekannya mendirikan Gerakan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Dalam organisasi ini bergabung aktivis pemuda, cendekiawan, hingga tentara yang berpaham sama: anti-PKI. Mereka antara lain para jaksa seperti Adi Muwardi yang menjadi ketua Gerakan Ampera, beberapa tokoh HMI, dan beberapa tentara pelajar maupun kelompok intelijen Angkatan Darat. Gerakan Ampera juga menggandeng tokoh-tokoh militer dari Divisi Siliwangi. Sebagai wakil ketua Gerakan Ampera, Buyung membangun sel-sel Pemuda Ampera di berbagai wilayah: Menteng, Senen, hingga Bogor. Mereka menggalang berbagai elemen masyarakat, mulai dari tukang becak, pedagang asongan, hingga gelandangan dalam program-program kerakyatan yang disebut Program Karya. “Kami berpendapat bahwa salah satu cara melawan PKI adalah dengan merebut hati rakyat, yaitu melakukan kerja nyata, membangun irigasi, penggilingan padi, membuat jembatan, dan sebagainya, di kampung-kampung. Proyek Karya itu sudah sempat kami kerjakan di berbagai tempat di Jawa Barat dan Solo, Jawa Tengah,” kata Buyung. Setelah G30S dan PKI dilibas habis, Gerakan Ampera melebur dalam KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia). Buyung menjadi ketua KASI Jakarta. Dalam rapat-rapat KASI, Buyung mendukung Soeharto sebagai presiden. “Saya adalah orang yang paling gencar mencalonkan Soeharto menjadi presiden daripada Nasution yang saya anggap orang Orde Lama dan terkontaminasi Peristiwa 17 Oktober 1952,” kata Buyung. Namun, dalam rapat KASI kemudian muncul kekhawatiran melihat tentara semakin dominan. “Wah, kalau begini kita jadi alat tentara saja. Kalau dibiarkan, tentara akan berkuasa di negeri ini. Hal ini tidak boleh terjadi. Kita harus bangun kekuatan sipil,” kata Buyung. Upaya Buyung meminta Chaerul Saleh untuk memimpin pemuda dalam mengimbangi tentara tidak berhasil. Wakil Perdana Menteri III itu tidak mau meninggalkan Sukarno. Kekhawatiran Buyung terbukti ketika melihat tentara berkuasa. Dalam suatu pertemuan dengan Presiden Soeharto, Buyung menyampaikan bahwa tentara berkuasa mana-mana dalam ekonomi dan politik: berdagang dengan berbagai cara dan korupsi seperti kasus Pertamina dan kasus Timah Bangka, bahkan penyelundupan senjata ke Biafra. “Waktu saya bilang seret jenderal-jenderal yang korup itu ke pengadilan, Soeharto langsung berdiri meninggalkan ruangan, masuk ke dalam dan tidak balik lagi,” kata Buyung. Setelah kejadian itu, Buyung yang menjabat kepala humas Kejaksaan Agung dibuang ke Medan. Dia menolak dan memilih mengundurkan diri dari Kejaksaan Agung. Dia membuka praktik hukum sendiri dan yang penting dia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Sebagai tokoh yang kritis, Buyung pernah dipenjara rezim Orde Baru karena dituduh berada di balik kerusuhan Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974. Buyung meninggal dunia di Jakarta di usia 81 tahun pada 23 September 2015.

  • Bung Hatta yang Sulit Ditembus

    SEJAK kecil, Muhammad Hatta suka dengan sepakbola. Suatu hari, dia terlambat pulang karena bermain sepakbola. Dia pun dihukum neneknya, disuruh berdiri di bawah pohon jambu. Dia tidak boleh keluar dari garis lingkaran di sekitar pohon itu. “Neneknya tidak mengizinkan dia sering bermain karena dia satu-satunya anak lelaki di kalangan keluarga, sehingga neneknya takut kalau Hatta main dengan teman-temannya. Kepada Hatta inilah tertumpah harapan seluruh keluarga,” tulis Solichin Salam dalam Bung Hatta: Profil Seorang Demokrat. Hatta akhirnya bisa bebas bermain bola ketika sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau sekolah menengah pertama) di Padang. Tidak seperti ketika masih di Bukittinggi, neneknya melarang Hatta bermain bola karena cemas cucu kesayangannya cedera. “Aku tidak boleh bermain bola, dia (neneknya, red ) takut kakiku patah. Sekarang aku bebas. Aku bermain di tanah lapang dengan bola yang agak kecil, bola kulit yang dipompa. Saban sore pukul 17.00, aku sudah di tanah lapang. Kalau tidak bertanding, kami berlatih menyepak bola dengan tepat ke gawang,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku. Hatta masuk perkumpulan sepakbola Swallow. Keahlian olah bolanya mulai terasah lantaran sering berlatih dan bermain di Plein van Rome (kini Lapangan Imam Bonjol, Kota Padang). Teman-temannya mengenal Hatta sebagai pemain bertahan yang tangguh. Sukar dilewati pemain lawan sehingga dijuluki Onpas Serbaar (sulit ditembus). Di perkumpulan Swallow, Hatta tidak hanya menjadi pemain. Dia juga diminta kawan-kawannya sesama penghuni voorklas (kelas pendahuluan MULO) untuk menjadi bendahara. Dia dianggap cakap mengelola keuangan. Apalagi untuk bisa bermain, bolanya harus beli sendiri dari uang iuran perbulan. “Bola harus dibeli dan uang pembeliannya harus dikumpulkan berangsur-angsur dengan jalan membayar kontribusi tiap-tiap bulan,” ujar Hatta. Hatta masih sering bermain bola meski sudah menjadi anggota Jong Sumatranen Bond (JSB). Bersama tim sepakbola asuhan JSB, Hatta berubah posisi menjadi penyerang tengah. Kendati tidak ada catatan berapa gol yang disarangkan, Hatta berhasil mempersembahkan juara Piala Sumatra Selatan tiga tahun beruntun. Kegemarannya terhadap sepakbola tak pernah hilang meski diasingkan pemerintah Hindia Belanda ke Boven Digul, Papua. Bersama Sutan Sjahrir, Mohamad Bondan dan beberapa tahanan politik lainnya, Hatta menggelar friendly match antara pendatang baru dan penghuni lama Boven Digul pada 1935. Penghuni lama menang dengan skor 3-1. Dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan, Mohamad Bondan masih ingat posisi pemain pendatang baru: Marwoto sebagai penjaga gawang, di depannya berjaga dua pemain bertahan Bung Hatta dan Burhanuddin. Tiga pemain gelandang Datuk Singo di kiri, Maskun di tengah, serta Sabilal Rasad di kanan. Di depan berjejer lima penyerang yakni Suka, Bondan, Sjahrir, Lubis dan Muhidin. Setahun berikutnya jelang Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira, mereka menggelar laga perpisahan pada 1 Februari 1936. Entah ketika itu berapa skornya dan siapa yang menang. Seiring waktu berjalan, Hatta yang telah menjadi dwitunggal dengan Sukarno, masih terus menyukai sepakbola. Meski tidak lagi bermain, dia masih sering mengikuti beberapa pertandingan klub-klub lokal maupun tim nasional PSSI. Pada medio Mei 1952 di Lapangan Ikada (kini Kompleks Monas) digelar pertandingan persahabatan antara PSSI melawan tim dari India, Aryan Gymkhana. Dalam laga itu, PSSI kalah dan Hatta nyaris tiada habisnya beradu argumen dengan Sukarno yang ketika itu juga nonton di tribun kehormatan. “Begitu pertandingan usai dengan 1-0, Bung Hatta jadi agresif dan antusias membahas kekalahan PSSI yang diutarakan dengan amat sistematik dan mendetail kepada Bung Karno seperti membicarakan politik yang urgent dan rumit. Bung Karno tampak terpojok dan keteter menjawab argumentasi Bung Hatta,” kenang Guntur Sukarnoputra dalam “Nonton Bola, Apa Tafakur?” termuat dalam Pribadi Manusia Hatta .

  • Ali dalam Ekspedisi Wallace

    ALFRED Russel Wallace terkenal sebagai penjelajah Kepulauan Nusantara yang menghasilkan karya monumental, The Malay Archipelago. Selama delapan tahun petualangannya (1854-1862), dia berhasil mengumpulkan 125.660 spesimen serangga, burung, dan mamalia. Pencapaian dan koleksi ekstensif itu tidak mungkin diperoleh tanpa bantuan warga lokal. “Bagaimanapun kontribusi warga lokal dalam eksplorasi Wallace tidak bisa dikesampingkan. Di setiap tempat yang disinggahinya, di setiap kota, Wallace mendapat bantuan dari warga lokal. Bahkan, sebagian besar spesimen yang dikumpulkannya diperoleh berkat bantuan warga lokal,” ujar John van Wyhe, sejarawan sains National University of Singapore. Di antara banyak warga lokal yang membantu Wallace ada seorang pemuda Melayu yang istimewa. Dia menjadi pemimpin tim lokal ekspedisi Wallace. Usai mengeksplorasi Sarawak selama tiga bulan (November 1855- Januari 1856), Wallace meneruskan ekspedisinya menuju Singapura. Namun, Charles Martin Allen, asisten yang dibawanya dari Inggris, hanya membantu mengumpulkan spesimen burung dan serangga di Pulau Ubin, Malaka, dan Sarawak. Dia memilih tetap tinggal di Sarawak dan bekerja sebagai guru di sekolah misi Kristen. Wallace tidak mencegahnya. Apalagi dia tak cocok dengan Allen karena tabiatnya. “Sebagaimana diketahui secara eksplisit dalam surat-surat Wallace, dia dibikin jengkel oleh kesembronoan, ketidaktahuan, dan kegagalan Allen mengembangkan dirinya,” tulis John van Wyhe dan Gerrell M. Drawhorn dalam “I am Ali Wallace: The Malay Assistant of Alfred Russel Wallace”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society , vol. 88 (2015). Ketiadaan Allen berdampak pada kelancaran ekspedisi Wallace. Dia kembali harus mencari asisten terampil yang bisa membantunya mengumpulkan dan menyusun spesimen serangga. Sempat menyewa seorang Tionghoa setempat, dia kemudian menemukan seorang pemuda Melayu yang cekatan dan berbakat. Tak heran jika Ali, nama pemuda Melayu itu, sering disebut-sebut dalam catatan dan publikasi Wallace. Wallace bertemu dengan Ali di Sarawak ketika Allen masih menjadi asisten utamanya. Sepeninggal Allen, Ali menemani Wallace sejak Desember 1855 di Serawak hingga Februari 1862 ketika Wallace kembali ke Inggris. Wallace mengenang Ali sebagai pemuda yang penuh minat dan berpenampilan rapi. Melalui Ali pula dia belajar bahasa Melayu agar lebih mudah berkomunikasi. Ali juga pandai memasak dan andal mengemudikan perahu. Awalnya dia lebih sering dapat tugas memasak. Seiring mengikuti Wallace menjelajah, Ali juga belajar menembak burung. Tak hanya itu, dia juga mulai belajar mengulitinya hingga mahir. Dia cepat belajar dan berani. Dalam beberapa perjalanan dia bahkan bisa mengajari orang sewaan Wallace melakukan tugasnya. Pendeknya, Ali adalah asisten yang cocok dengan gaya petualangan Wallace. “Dia menemani seluruh perjalananku, terkadang sendirian juga, tetapi seringnya bersama beberapa orang lain, dan dia sangat berguna untuk mengajari mereka tentang tugas-tugasnya, dengan cepat dia juga paham apa kebiasaan dan keinginan-keinginanku,” kata Wallace dalam otobiografinya, My Life: A Record of Events and Opinions . Dari Sarawak, Ali mengikuti Wallace ke Lombok dan Makassar. Di sini masih lebih sering menjadi juru masak. Tetapi, ketika di Lombok Ali juga mulai ditugasi Wallace membantunya menguliti burung tangkapannya. “Jadi, sepertinya kontribusi pertama Ali dalam merangkai spesimen adalah di Lombok itu,” tulis Van Wyhe dan Drawhorn. Saat di Makassar, Ali telah cukup mahir melakukan pekerjaan-pekerjaan spesimen. Dia juga cukup terampil menggunakan senapan berburu. Wallace tentu punya pembantu-pembantu lain, tetapi Ali jelas punya tempat istimewa. Karena kepandaian dan kemampuannya, dia segera menjadi tangan kanan Wallace. Karena itu pula ketika Ali dan Wallace beberapa kali terserang demam malaria secara bersamaan, Wallace kebingungan. “Pembantu saya, Ali, juga terserang penyakit (malaria) yang sama. Karena dia bertugas menguliti burung, maka perkembangan koleksi saya pun menjadi terhambat,” kenang Wallace dalam The Malay Archipelago . Sejak dari Makassar, Ali menghabiskan waktu setahun membantu Wallace. Ketika dia melanjutkan ekspedisinya ke Kepulauan Aru untuk mencari cenderawasih, Ali telah menjadi “kepala pembantu”. Dan kepercayaannya kepada Ali tidak sia-sia. Dialah yang berhasil menangkap cenderawasih besar bagi Wallace. Lain waktu Wallace menugaskan Ali untuk menjelajah sendiri ke Wanumbai dan dia pulang membawa “harta karun” yang membuat semringah tuannya. “Saya menyuruhnya ke sana sendirian untuk membeli cenderawasih dan mengulitinya. Dia pulang membawa 16 ekor spesimen yang luar biasa dan sebenarnya bisa dua kali lipat lebih banyak kalau saja dia tidak terserang flu,” kata Wallace. Jasa terbesar Ali bagi Wallace adalah ketika di Pulau Bacan dia membawa seekor burung aneh. Wallace belum pernah melihatnya sebelumnya dan membuatnya heran. Itu adalah seekor burung berbulu lebat dengan variasi warna hijau di dadanya. Bulu hijau itu mamanjang menjadi dua tajuk yang berkilau. Paruhnya berwarna kuning gading dengan mata hijau pucat. Fitur lain yang mengagumkan Wallace adalah sepasang bulu putih yang mencuat di tiap bahu barung itu. Wallace segera menyadari bahwa Ali membawa cenderawasih jenis baru yang belum pernah dikenal. Kelak, oleh ornitholog British Museum George Robert Gray cenderawasih jenis baru itu dinamai Semioptera Wallacei . Burung itu kemudian juga dianggap penemuan terbesar Wallace. Van Wyhe dan Drawhorn mencatat bahwa petualangan-petualangan Ali dengan Wallace telah mengubah hidupnya. Sepeninggal Wallace, Ali yang kemungkinan tinggal di Ternate menjadi konsultan fauna lokal tepercaya bagi naturalis dan ilmuwan yang datang ke Hindia Belanda. Adalah zoologis Amerika Thomas Barbour yang pada 1907 mengunjungi Ternate dan sempat bertemu Ali. Van Wyhe dan Drawhorn mengutip dalam artikelnya sebuah catatan Barbour bertarikh 1921 yang menyebut Ali dengan simpatik. “Pada hari saya berkunjung ke Danau Ternate, seorang Melayu tua berbicara kepada saya. Katanya dia telah lama melupakan bahasa Inggrisnya, tetapi dia menepuk dadanya dan mengatakan bahwa dia adalah Ali Wallace. Tak ada pembaca setia The Malay Archipelago yang melewatkan Ali si teman muda Wallace dalam banyak petualangan berbahaya. Setelahnya saya mendapat balasan surat dari Tuan Wallace yang menulis bahwa dia iri saya baru saja bertemu dengan kawan lamanya itu.”

bottom of page