Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kantor Polisi di Cicendo Diserang
Sebuah bom panci berdaya ledak rendah diledakkan di Taman Pandawa di Jalan Pandawa Kecamatan Cicendo Kota Bandung, pada 27 Februari 2017. Seorang pelaku melarikan diri dengan membawa motor, sedangkan satu pelaku lagi lari ke kantor Kelurahan Arjuna. Pelaku itu tewas oleh tembakan dari aparat keamanan. Teror di Cicendo itu mengingatkan kita pada Peristiwa Cicendo pada 11 Maret 1981 pukul 00.30 WIB. Sekitar 14 anggota Jamaah Imran dari Komando Jihad menyerbu kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung. Mereka dipimpin oleh Salman Hafidz, datang dengan menggunakan sebuah truk. Kala itu, hanya ada empat anggota polisi yang berjaga: Sertu Suhendrik, Bharatu Zul Iskandar, Bharada Andi, dan komandan jaga Serka Suryana. Tiga orang penyerbu turun dari truk lantas berpura-pura menanyakan salah seorang anggota jamaah yang ditahan. Tanpa disangka, mereka menodongkan senjata api Garrand. Menghadapi sergapan tak terduga itu, keempat polisi itu tak berdaya dan dimasukkan ke dalam tahanan yang terletak di belakang kantor. Mereka kemudian membebaskan empat tahanan anggota Jamaah Imran. “Atas perintah Salman Hafidz, Maman Kusmayadi lantas memberondong keempat polisi itu. Tiga orang seketika tewas, dan seorang luka berat,” tulis Tempo , 27 September 1986. Mereka kemudian mengobrak-abrik pos polisi itu dan membakar arsip yang mereka temukan. Mereka lantas melarikan diri dengan membawa dua pistol kaliber 38. Setelah para pelaku tertangkap, diketahui bahwa otak penyerbuan adalah Imran bin Muhammad Zein, pimpinan Komando Jihad di Jawa Barat. Imran menyuruh Salman, untuk mencari senjata dalam waktu dua minggu. Imran kemudian mendalangi pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, pada 28 Maret 1981. Pembajak menuntut kepada pemerintah agar membebaskan 80 tahanan, terdiri dari tahanan yang menyerang kantor Polisi Kosekta 8606, tahanan “Teror Warman”, dan tahanan dalam teror Komando Jihad pada 1977-1978. Para pembajak juga menuntut agar para tahanan tersebut diterbangkan ke luar negeri dengan tujuan negara tertentu yang akan disebutkan kemudian. Selain itu, mereka meminta tebusan US$1,5 juta tunai. Apabila tuntutan tidak dipenuhi hingga 30 Maret 1981, mereka akan meledakkan pesawat beserta sandera. Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo memerintahkan Asisten Intelijen Hankam/Kepala Pusat Intelijen Strategis/Asisten Intelijen Kopkamtib, Letjen TNI Benny Moerdani sebagai penanggungjawab operasi pembebasan sandera. Dalam operasi penyelamatan yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan ini, lima orang tewas: tiga pembajak tewas seketika, yaitu pimpinan pembajak Mahrizal, Zulfikar T. Djohan Mirza, Abu Sofian alias Sofyan Effendy; dua orang terluka kopilot Herman Rante dan Letnan Satu Achmad Kirang, keduanya kemudian meninggal. Dua pembajak, Abdullah Muljono dan Wendy Mohammad Zein dieksekusi mati di suatu tempat yang rahasia setelah dikuras seluruh informasinya. Siapakah Imran bin Muhammad Zein? Manurut Busyro Muqqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen , Imran memimpin Komando Jihad di Jawa Barat dan menamakan dirinya Dewan Revolusi Islam Indonesia yang menentang Pancasila dan UUD 1945. “Dalam jangka panjang kelompok ini berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia, sementara tujuan jangka pendekanya adalah menghancurkan komunisme,” tulis Busyro. Selain penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla, sebelumnya Jamaah Imran terlibat perampokan toko emas Sinar Jaya di Tasikmalaya pada 9 April 1979, perampokan koperasi simpan pinjam di Kecamatan Sikijang, perampokan gaji pegawai Dinas P&K di Kecamatan Banjarsari Ciamis, perampokan toko emas di Subang pada 9 Juli 1980, dan peledakan mesjid dan gereja. Menurut Busyro penyulut Peristiwa Cicendo adalah Najamuddin yang disusupkan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Indonesia) ke dalam Jamaah Imran pada 1981. Untuk memprovokasi, Najamuddin menyerahkan setumpuk dokumen yang berisi rencana menindas Islam pasca Pemilu 1982. Berkat pembusukan dan pematangan situasi dan kondisi yang dilakukan oleh Najamuddin, rekayasa tersebut berhasil memicu aksi radikal dalam bentuk kekerasan bersenjata. Dengan modal senjata dari Najamuddin, mereka menyerang kantor Polisi Kosekta 8606. Sementara Tempo menyebut “senjata api Garrand hasil curian dari Pusat Pendidikan Perhubungan Angkatan Darat di Cimahi, Bandung.” Aksi spionase Najamuddin tercium. Jamaah Imran mengeksekusinya dan menemukan surat penangkapan terhadap Imran. Imran sendiri tidak ikut dalam penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan Garuda DC-9 Woyla. Imran ditangkap pada 7 April 1981 dan dieksekusi mati pada akhir 1983. Pada awal Februari 1985, Salman Hafidz, pemimpin penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606, dieksekusi mati. Salman menyebut bahwa Maman Kusmayadi yang membunuh tiga polisi di kantor Polisi Kosekta 8606. Maman selalu membantah tuduhan itu. Namun, hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Maman. Dia dieksekusi mati di suatu tempat di kaki Gunung Tangkuban Perahu pada 12 September 1986.
- Kemal Idris, Jenderal Gusar Pengirim Pasukan Liar
Pagi-pagi tanggal 17 Oktober 1952, dua buah tank, empat kendaraan berlapis baja, dan ribuan orang menyerbu dan memasuki pintu gerbang Istana Merdeka, kediaman Presiden Sukarno. Satu batalion artileri dengan empat buah meriam menderu di halaman istana. Kerumunan massa menggelar spanduk-spanduk bertuliskan “Bubarkan Parlemen!”. “Meriam-meriam 25-pon bikinan Inggris digerakkan dan dihadapkan kepadaku,” ujar Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Pameran kekuatan ini mencerminkan kelatahan dari zaman itu. Tindakan ini tidak dapat dikatakan bijaksana, karena para panglima yang memimpin gerakan itu berada bersamaku di dalam istana.” Di balik aksi pengerahan meriam itu tersebutlah nama Mayor Kemal Idris, Komandan Resimen Tujuh Divisi Siliwangi. Dengan memegang sepasukan kavaleri dan infanteri, Kemal diperbantukan memantau situasi kota Jakarta. Dalam biografinya, Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi, dia mengaku mendapat perintah dari inisiator gerakan sekaligus pimpinan Angkatan Darat, Kolonel AH Nasution untuk menempatkan meriam di depan Istana Merdeka. Menurut Kemal, tujuan penempatan senjata tersebut untuk melaksanakan tindakan pengamanan, mengantisipasi aksi massa. Nasution di kemudian hari justru mengakui bahwa peristiwa itu sebagai “percobaan setengah kudeta.” Sebagai tindak lanjut penyelesaian peristiwa itu, pada akhir November atau awal Desember, pimpinan Angkatan Darat hingga tingkat komandan resimen dipanggil ke Istana. Di sana, Kemal bertemu dan berbicara dengan Achmad Yani, Sutoyo, Suprapto, dan Haryono. Sementara mereka tengah bercengkrama, Sukarno datang menghampiri. Satu persatu disalami. Tiba giliran Kemal, Sukarno seakan enggan melihatnya sehingga tak mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Saya dilewatinya begitu saja. Dia seolah-olah tidak kenal saya, karena dia sangat marah,” kenang Kemal. Begitu pula ketika para undangan sedang berbaris di belakang Istana. Sebagaimana biasa, Sukarno menyambut dan mendatangi tetamu dengan ramah. Sembari berjabat tangan, dia menanyakan nama dan kesatuan. Tatkala berhadapan dengan Kemal, terjadilah pembicaraan singkat. “Kamu siapa,” Bung Karno bertanya dengan suara dingin. “Kemal Idris, Pak,” jawab Kemal salah tingkah. “Pangkatmu?” “Mayor, Pak” “Jawaban-jawaban saya hanya di jawab dengan ‘oh’ oleh Bung Karno. Saya merasa terhina” ujar Kemal. Padahal menurut Kemal, saat berdinas di Cirebon, Bung Karno telah mengenal persis dirinya. Ketika itu, Sukarno berkunjung ke Cirebon, datang naik kereta api dari Jakarta ke Cirebon. Kemal menjemputnya dengan mobil, lengkap dengan pengawalan. Sukarno memanggilnya, “Mal, sini, Mal.” “Kalau arah meriam itu menyebabkan beliau tersinggung, maka beliau bukanlah seorang pemimpin yang berjiwa besar, bahkan sebaliknya, berjiwa kecil dan berhati pengecut” ketus Kemal. Insiden meriam ternyata berbuntut panjang. Karier militer Kemal mandek semasa Sukarno berkuasa. Selama delapan tahun dia tidak diberi jabatan dan meja. Dalam jenjang waktu itu, Kemal seyogianya mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal. Merasa terkucil, Kemal mempertanyakan nasibnya kepada Nasution. “Pak Nas, kenapa saya mengalami keadaan semacam ini?” “Orang nomor satu harus tahu kemana kamu harus ditempatkan. Kalau dia bilang tidak setuju, berarti tidak jadi,” jawab Nasution. Di senjakala pemerintahannya, Kemal Idris memukul balik Sukarno. Pada Jumat pagi, 11 Maret 1966, rapat kabinet 100 menteri yang dipimpin Sukarno di Istana Merdeka, disatroni oleh pasukan tanpa tanda pengenal. Kendati tak ditujukan langsung pada dirinya, Sukarno merasa terancam dan ketakutan sehingga harus diamankan ke Istana Bogor. Dalam majalah TSM No. 21 Tahun II/Maret 1989, Kemal Idris membenarkan bahwa pasukan-pasukan liar itu di bawah komando dan pengendaliannya. Kemal yang saat itu sebagai Kepala Staf Kostrad dengan pangkat Brigadir Jenderal, mengirimkan sekira sepeleton pasukan RPKAD ke sekeliling istana. Operasi itu ditujukan untuk meringkus Soebandrio. Soebandrio, orang kepercayaan Sukarno yang menjabat wakil perdana menteri satu, oleh pihak Angkatan Darat dianggap mengetahui Gerakan 30 September 1965. Setelah Mayor Jenderal TNI Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Presiden Sukarno dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Kemal berada di atas angin. Dia makin rapat dengan Soeharto. Dari Soeharto, dia mendapat kabar bahwa Bung Karno tidak setuju menaikan pangkatnya kecuali dia ditugaskan ke luar negeri. “Saya memperoleh cerita ini dari Pak Harto, yang tidak berapa lama kemudian menaikan pangkat saya menjadi Mayor Jenderal,” ujar Kemal. Menurut pengamat politik militer Salim Said, Soeharto telah mengetahui rekam jejak Kemal. Dengan itu, Soeharto dapat menggunakan Kemal yang berwatak pemberang dan tidak kenal kompromi untuk menyingkirkan Sukarno. “Kalau pada 17 Oktober 1952, Kemal gagal memaksa Sukarno membubarkan Parlemen, pada 11 Maret 1966, Kemal berhasil memaksa Sukarno menyerahkan kekuasan kepada Soeharto,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. Di era Orde Baru, Kemal dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai bersama Panglima Siliwangi HR Dharsono dan Panglima RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Mereka berperan membantu Soeharto naik tampuk kekuasaan.
- Penistaan Agama Pada Masa Lalu
DUGAAN penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendorong ratusan ribu umat muslim di Indonesia turun ke jalan. Mereka menuntut hukuman penjara bagi gubernur DKI Jakarta yang juga sedang mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode 2017-2022 itu. Bola panas kasus penistaan agama semakin bergulir kencang seturut dengan Pilkada putaran kedua yang bakal diselenggarakan April mendatang. Kendati istilah “penistaan agama” belum dikenal, peristiwa serupa juga pernah terjadi di masa yang lalu.
- Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan
Bagi orang Bekasi dan sekitarnya, Kiai Nur Ali adalah legenda. Namanya bukan saja kerap disebut orang-orang tua, para bocah di sana pun mengenal kiprahnya sebagai pejuang besar. Lelaki kelahiran Bekasi tahun 1914 ini begitu popular karena dia mantan pimpinan pejuang dan pegiat pendidikan. “Beliau adalah pendiri Lembaga Pendidikan Islam At-taqwa, salah satu pesantren terbesar di Bekasi,” ujar Benny Rusmawa (44), anggota komunitas sejarah Front Bekasi kepada Historia . Kebesaran nama Kiai Nur Ali sebagai seorang pejuang diakui oleh Abdullah (92), anak buah sang kiai di MPHS (Markas Poesat Hisboellah-Sabilillah). Menurutnya, kegigihan Kiai Nur Ali dan pasukannya menyebabkan dia menjadi buronan utama militer Belanda. “Tapi karena Kiai dianugerahi kesaktian oleh Allah Swt., dia selalu lolos saat akan diringkus tentara Belanda. Makanya, wajar kalau orang-orang menjulukinya sebagai Si Belut Putih ,” kata Abdullah. Kesaktian Kiai Nur Ali pernah dibuktikan oleh Mat Ali (88), anggota MPHS. Ceritanya, suatu pagi sang kiai mengumpulkan sekitar 15 anak buahnya untuk latihan melemparkan granat di lapangan Ujungmalang, perbatasan Bekasi-Karawang. Dari sebuah kursi kayu, dia memerintahkan agar granat-granat itu dilemparkan ke arahnya. Mulanya mereka ragu, namun setelah diyakinkan oleh sang kiai, tanpa berpikir lagi granat-granat itu dilemparkan. Glarrrr! Begitu granat-granat meledak, sang kiiai pun lenyap. “Engkong pikir kiai sudah hancur berkeping-keping, eh, tahunya setelah dicari-cari, dia lagi ngaji di rumahnya,” kenang Mat Ali. Lain Kiai Nur Ali, lain juga Haji Darip. Jagoan kelahiran Klender sekitar tahun 1886-an itu dikenal sebagai godfather, yang menurut sejarawan Robert B. Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries , berhasil memadukan kepahlawanan dengan kriminalitas. Lewat BARA (Barisan Rakyat Indonesia) yang belakangan melebur ke dalam LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raja), secara leluasa dia bisa mengembangkan bisnisnya dengan memeras orang-orang Tionghoa, Belanda dan Indo sekaligus menyalurkan hasrat patriotismenya dengan melawan militer Belanda. Namun, soal praktik kriminalitas itu dibantah keras oleh Ahmad Khurriyani (71), putra bungsu Haji Darip. Alih-alih melakukan pemerasan terhadap orang-orang Tionghoa, Haji Darip justru banyak melindungi mereka. Tersebutlah pada akhir 1945, masyarakat Jakarta disengat semangat melawan dominasi orang asing. Tak terkecuali di wilayah Klender, Jakarta Timur. Sialnya, bukan hanya orang-orang Belanda atau Jepang saja yang jadi sasaran, orang-orang Tionghoa yang sudah hidup beranak pinak di sana, juga jadi sasaran kemarahan. Akibatnya, banyak toko milik orang Tionghoa yang dirampok. Bahkan tak jarang, dalam insiden itu jatuh korban jiwa. Untuk keluar dari masalah itu, orang-orang Tionghoa itu lantas meminta tolong kepada Haji Darip. Bukannya membuat seruan, jagoan Klender itu malah memberikan salah satu fotonya untuk diperbanyak. Dia menyarankan kepada orang-orang Tionghoa itu untuk menempelkan gambar foto dirinya tersebut di pintu rumah dan toko mereka. Perintah itu lantas dilaksanakan. “Alhasil, sejak itu tak ada satu pun orang yang berani lagi melakukan penggendoran dan perampokan terhadap masyarakat Tionghoa di Klender,” ungkap Khurriyani kepada Historia. Jika Haji Darip kerja sama dengan anak-anak muda penganut nasionalisme radikal yang tergabung dalam LRDR, maka Kiai Nur Ali lebih nyaman membangun aliansi dengan tentara pemerintah. Bahkan, menurut Abdullah, hubungan Kiai Nur Ali dengan komandan TRI (Tentara Republik Indonesia) setempat, yakni Kapten Lukas Kustaryo ibarat hubungan abang dan adik. “Kalau kami tidak punya peluru kami tak segan-segan minta ke Pak Lukas. Begitu juga jika anak-anak Siliwangi kelaparan, kami yang kasih mereka makanan,” ujarnya. Belum jelas bagaimana hubungan antara Lukas dengan Haji Darip. Namun, selaku mitra Siliwangi, Kiai Nur Ali sendiri memilih untuk “menjaga jarak” dengan kelompok Haji Darip. Kepada anak buahnya, dia sering bilang: “MPHS berjuang karena Allah bukan untuk kaya.” “Karena pantang bagi kami memodali perjuangan lewat cara-cara merampas dan memeras. Tapi sebagai sesama orang Indonesia, kami tak mau bentrok dengan lasykar-lasykar yang kerap melakukan itu, karena musuh kami adalah tentara Belanda,” tutur Mat Ali.
- Gus Dur dan Keberagaman
Daniel Sineon Darius Sinathrya Kartoprawiro, dikenal Darius Sinathrya, mengawali karier sebagai presenter olahraga di televisi. Pria berdarah Jawa-Swiss ini lantas merambah ke dunia seni peran. Hingga 2016, Darius telah membintangi selusin judul film layar lebar. Pria yang hobi sepakbola ini ternyata pengagum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden Indonesia periode 1999-2001. Gus Dur lahir dan dewasa di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), menempuh pendidikan di beberapa universitas di luar negeri mulai dari Mesir sampai Irak. Pada 1971, Gus Dur kembali ke Indonesia dan aktif dalam gerakan masyarakat sipil. Sejak 1984 Gus Dur terpilih menjadi nahkoda NU, organisasi yang didirikan oleh kakeknya, KH Hasyim Asyari. Sebagai aktivis dan intelektual terkemuka, dia kerap mengkritik kebijakan rezim Soeharto, salah satunya kasus pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah. Ketika menjabat presiden di era reformasi, Gus Dur membuat keputusan penting: mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama dan Adat Istiadat Cina dan menerbitkan Keppres Nomor 19 tahun 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional sekaligus membuka keran keberagaman di Indonesia. Di sela kesibukannya, Darius bercerita tentang tokoh idolanya tersebut. Siapa tokoh sejarah yang Anda kagumi? Tokoh dalam sejarah Indonesia yang saya kagumi ada dua. Bung Karno dan Gus Dur. Beliau ini negarawan, sekaligus pernah menjadi presiden di Indonesia. Meskipun singkat masa pemerintahannya namun dia meninggalkan satu hal yang penting bagi Indonesia, yaitu penghargaan atas pluralisme di Indonesia. Kapan kekaguman kepada Gus Dur ini muncul? Kekaguman ini muncul sejak Gus Dur naik menjadi presiden. Ketika masih di PBNU, saya hanya sekadar mendengar saja kiprahnya. Saat dia menjadi presiden, ada ungkapan yang cukup terkenal yaitu dia menganggap para wakil rakyat di DPR itu seperti anak TK. Dengan keterbatasan fisiknya, Gus Dur dalam kacamata Anda seperti apa? Kebijakannya tepat sasaran, rasional. Keberanian Gus Dur kala itu sebagai presiden, dalam melontarkan pendapat memang kadang membuat beberapa kalangan menjadi tidak nyaman. Hal itu pula mungkin, yang membuatnya menjadi presiden dalam waktu singkat lalu dilengserkan. Tentang pluralisme, seperti apa Anda memandang? Pluralisme ini kan menjadi modal bangsa kita untuk menjadi bangsa yang besar. Negara kita ini kan multiagama. Lalu juga banyak suku yang mendiami Indonesia ini. Dalam sejarah bangsa kita, ada satu masa di mana banyak kerusuhan. Banyak gereja dibakar. Diskriminasi dan intimidasi terhadap satu ras tertentu. Dalam suasana yang kacau seperti itu, Gus Dur hadir dan bertindak untuk membenahi itu semua. Bagaimana tema pluralisme dalam perfilman Indonesia? Kalo untuk saat ini, tema itu sudah tidak seksi lagi. Meski demikian masih ada kok beberapa film yang mengangkat tema pluralisme, seperti film “ ? ” (Tanda Tanya) dan Sang Pencerah . Aku rasa, sineas-sineas kita dalam membuat film, tetap akan memasukkan unsur-unsur pluralisme. Sebab, film itu juga memberi kontribusi penting dalam kemajuan bangsa. Nah, pluralisme itu saja sudah menjadi satu kekayaan tersendiri.
- Pengajaran Sejarah Tak Lengkap Dapat Memicu Konflik
Peran penting etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia yang disuguhkan dalam buku sejarah di sekolah belum lengkap. Bahkan, nyaris tak dibahas. Hal itu dikatakan Didi Kwartanada, ahli sejarah Tionghoa Indonesia sekaligus Direktur Yayasan Nabil, dalam peluncuran buku Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi Bagi Pembangunan Bangsa, di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Kamis (23/2). Pemahaman tak lengkap mengenai keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia membuat jarak yang besar dengan etnis lainnya. Padahal, peran mereka begitu banyak bagi terbentuknya bangsa ini. Menurut Didi, salah satu contohnya, hingga kini tak banyak yang tahu bahwa ada empat keturunan etnis Tionghoa yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Ketika Indonesia akan diproklamasikan pada masa akhir pendudukan Jepang, dalam BPUPKI ada empat orang Tionghoa yang ikut membidani lahirnya UUD 1945,” jelasnya. Keempat tokoh tersebut adalah Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, MR Tan Eng Hoa. Liem Koen Hian, kata Didi, selain mengusulkan warga Tionghoa otomatis menjadi warga negara Indonesia setelah merdeka, dia juga tokoh yang mengusulkan kebebasan pers. Adapun MR Tan Eng Hoa, merupakan tokoh pengusul pasal mengenai kebebasan berserikat. “Ada demo, aksi masa, itu awalnya sebenarnya berasal dari sini,” lanjut dia. Selain fakta sejarah itu, masih banyak peran etnis Tionghoa lainnya dalam pembentukan bangsa Indonesia. Didi menjelaskan, berdasarkan penelitian sejarawan Dennys Lombard, ada empat budaya besar yang memiliki pengaruh mendasar terhadap kebudayaan Nusantara. Salah satunya Tionghoa. Mereka berperan dalam penciptaan teknologi yang meningkatkan kehidupan masyarakat, khususnya bidang pertanian, bahan makanan, alat dapur, teknologi kuliner, pakaian, dan teknologi pertambangan. “Ringkasnya, orang Tionghoa senantiasa ada di sana. Tiap waktu dan zaman,” kata dia. Sementara itu, berdasarkan hasil kajian para pakar demografi atas sensus terbaru tahun 2010. Mereka menemukan, jumlah etnis Tionghoa adalah 1,2 persen (2,83 juta) dari seluruh penduduk Indonesia. Data ini menempatkan mereka dalam peringkat ke-15 kelompok etnis terbesar dari 600 lebih etnis yang ada di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, sebagian masyarakat hanya tahu keturunan etnis Tionghoa sebatas hubungan bisnis belaka. Agak berbeda, Ratna Hapsari, Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia mengatakan, masalahnya bukan karena absennya fakta sejarah Tionghoa di buku sejarah sekolah. Alasannya, lebih kepada pembahasan materi sejarah yang terlalu ringkas. Ratna memaparkan, terdapat sejumlah materi yang menyentuh sejarah awal peradaban hingga masa modern Indonesia. Sayangnya, porsi pemahamannya lebih kepada sejarah kebudayaan Tionghoa saja. Itu seperti catatan musafir Tiongkok yang terkait sejarah kuno Nusantara sampai produk budaya yang membaur ke kebudayaan Nusantara. “Tidak mengherankan mudah timbul sejumlah prasangka yang mudah memunculkan sentimen dan konflik,” paparnya. Ratna pun mengimbau, ke depannya materi sejarah yang disampaikan kepada siswa akan semakin baik jika diperluas. Tegasnya, tak ada kombinasi politik dalam penyampaian fakta sejarah itu. “Sejarah itu kebenaran,” tegasnya.
- Totalitas Negara dalam Pesta Olahraga Ganefo
“On Ward! No Retreat!” Terjang Terus! Pantang Mundur! Demikian semboyan Ganefo (Game of New Emerging Forces) yang begitu populer pada masanya. Tagline itu terus bergaung selama Ganefo diselenggarakan. Ganefo merupakan pesta olahraga terbesar yang pernah diselenggarakan Indonesia tahun 1963. Perhelatan Ganefo, menurut Russel Field, sejarawan Universitas Manitoba, Kanada, sarat muatan politik. Ganefo jadi momentum bagi Indonesia untuk unjuk diri sebagai pelopor kebangkitan kekuatan baru (New Emerging Forces). Saat itu, Presiden Sukarno memandang, semangat kekuatan baru ini dapat ditransformasikan ke dalam sebuah kompetisi olahraga. Tak ayal, hal ini memantik perhatian serius dari badan olahraga internasional. “Penyelenggaraan Ganefo menuai reaksi dari badan olahraga dunia. Komite Olimpiade Internasional, yang diwakili presidennya Avery Brundage, misalnya, menganggap Ganefo bertentangan dengan azas olahraga. Indonesia melalui Ganefo berupaya mencampuradukkan olahraga dengan politik,” ujar Russel Field dalam diskusi publik “Ganefo: Politik dan Olahraga dalam sejarah di Indonesia” di Erasmuis Huis, Kuningan, Jakarta Selatan, 22 Februari 2017. Kendati demikian, Ganefo berjalan terus dan berlangsung lancar hingga usai penyelengaraan. Sebanyak 51 negara yang melibatkan 2700 atlet menjadi partisipan untuk 20 cabang olahraga. Di akhir kompetisi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi juara sedangkan Indonesia menempati peringkat tiga. Menurut Asvi Warman Adam, Ganefo mencatatkan kegemilangan dalam sejarah olahraga di Indonesia. Hal ini bukan ditilik dari pencapaian medali yang diraih Indonesia. Akan tetapi, Ganefo mencerminkan bagaimana segenap lapisan negara turut serta dan antusias dalam mendukung pelaksanaannya. “Bung Karno sangat sungguh-sungguh mempersiapkan Ganefo,” ujar Asvi, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini dapat dilihat dengan dibangunnya berbagai proyek mercusuar: stadion utama Gelora Bung Karno, komplek olahraga Senayan, hingga patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia untuk menyambut atlet-atlet yang berlaga di Ganefo. Sebagai sebuah agenda skala internasional, proses persiapannya berhasil digarap dalam waktu yang relatif singkat, kurang lebih 200 hari. Prestasi anak negeri pun tak dapat dikesampingkan. Atlet Indonesia berjaya dalam Ganefo, hanya berada di bawah RRT dan Uni Soviet. Mohammad Sarengat adalah salah satu atlet unggulan Indonesia yang begitu disegani pada kompetisi Ganefo. Dampak sosialnya pun begitu luas. Ganefo terekam baik dalam ingatan bersama masyarakat Indonesia kala itu. Segala hal yang berbau Ganefo melekat dalam kehidupan keseharian. “Di Sumatera Barat ada kereta api ekspres jurusan Payakumbuh-Padang. Di Demak ada pasar Ganefo. Di Sragen ada jembatan Ganefo. Perangko Ganefo bertebaran. Bahkan Ganefo juga dibubuhkan sebagai nama orang,” jelas Asvi. Dari aspek eksternal, Ganefo merekatkan hubungan Indonesia dengan berbagai negara. Yang cukup menarik adalah persahabatan yang baik dengan RRT. Ganefo menjadi panggung bagi RRT –yang belum diakui sebagai negara anggota PBB– untuk tampil dalam pentas dunia. Kehormatan itu direspons baik oleh RRT dengan mengirimkan atlet-atlet terbaiknya untuk berlaga di Ganefo. RRT juga membantu membiayai transportasi peserta dari negara-negara Afrika sebesar 18 juta dolar untuk hadir di Jakarta. “Namun selepas peristiwa 1965, persahabatan itu dirusak oleh pemerintah Orde Baru di bawah rezim Soeharto oleh karena kekeliruan sejarah,” ungkap Asvi. Meski sebagai kompetisi olahraga, tak semua negara peserta mengirimkan atlet andalannya. Sebabnya, Ganefo bukanlah ajang resmi olahraga internasional. Namun, untuk menghormati undangan Indonesia, beberapa negara mengirimkan wakilnya yang bukan dari atlet profesional. Jepang dan Belanda adalah dua di antaranya. Meski demikian, citra profesionalitas atlet tiada mengurangi kemeriahan Ganefo. Menariknya, esensi yang terkandung dalam Ganefo kian ramai dengan adanya Ganefo Art Festival: pertunjukan musik dan film. Menurut Bonnie Triyana, Ganefo merupakan festival dari kekuatan baru bangsa Asia Afrika yang mulai hadir mengimbangi kekuatan-kekuatan lama. Melalui olahraga, Ganefo menjadi upaya untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam pergaulan internasional yang lebih adil dan setara melampaui batas-batas seperti rasialisme dan sektarianisme. Hal ini seiring jalan dengan tujuan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 yang kemudian melandasi spirit Ganefo. “Ganefo bukan sekadar kompetisi olahraga. People to pepole festival. People to people diplomacy, ” ujar Bonnie, pemimpin redaksi majalah Historia . “Ini festival yang melibatkan banyak orang. Festival bangsa-bangsa Asia Afrika yang mewakili kekuatan baru.”
- Kantor Sultan Yogyakarta Diserbu Belanda
Tentara Belanda mencium adanya rapat merencanakan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Kepatihan Danurejan. Maka, esok harinya, mereka menyerbu kantor Sultan Hamengku Buwono IX itu. Mula-mula mereka mendatangi kantor sekretariat Dewan Pertahanan Daerah yang menempati ruangan di sebelah barat bangsal Kepatihan. Tempat ini diobrak-abrik dan para pegawainya ditawan. Setelah itu, mereka mengobrak-abrik seluruh kantor. “Banyak barang diangkut oleh tentara Belanda, menurut Hamengku Buwono IX termasuk surat-surat penting, naskah skripsi yang disusun ketika belajar di Negeri Belanda, dan juga rencana lengkap dari demokratisasi desa sebagaimana telah diterapkannya pada akhir zaman Jepang di Yogyakarta,” demikian tercatat dalam Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX . Sultan kemudian protes kepada Mayor Jenderal Meyer, panglima pasukan Belanda: “Kejadian di kantor Kepatihan beberapa hari yang lalu telah sangat menyinggung kehormatan saya. Anak buah Anda telah bersikap sangat tidak sopan dan mengadakan perampokan.” “Soal Kepatihan itu bukan instruksi saya,” kata Meyer. “Apalagi jika tanpa instruksi, berarti anak buah Anda berbuat di luar perintah dan indisipliner. Dan sekarang ini pun hal yang sama dapat tuan lakukan di Keraton saya karena tuan bersenjata dan saya tidak. Akan tetapi sebelum tuan melakukan itu, tuan harus membunuh saya dulu,” tegas Sultan. Mendengar perkataan tersebut, Meyer dan tujuh orang rekannya gagal menundukkan Sultan untuk mengajaknya bekerja sama dengan Belanda.
- Kalau Ditindas Ya Melawan
Di jagat hiburan tanah air, Maia Estianty, 38 tahun, dikenal sebagai musisi. Dia pentolan Ratu. Melalui tangan dinginnya, band duo ini melejitkan nama Pingkan Mambo dan Mulan. Setelah Ratu bubar, Maia membentuk Duo Maia bersama Mey Chan. Kini, mantan istri Ahmad Dhani itu mulai merambah dunia perfilman. Dia dapat peran sebagai mertua Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto dalam film Guru Bangsa: Tjokroaminoto besutan Garin Nugroho dan Dewi Umaya. Saat berbincang dengan Historia di sela-sela syuting film di bilangan Senayan September 2014, Maia menyebut sosok Tjokroaminoto sebagai idolanya. HOS Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882. Pemimpin Sarekat Islam (SI) ini adalah guru Sukarno, Musso, Alimin, dan Kartosoewirjo yang masing-masing memilih jalan berbeda dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Maia Estianti cicit Tjokroaminoto. Namun bukan karena pertalian darah itu dia mengagumi eyangnya. Bahkan dia bilang baru akhir-akhir ini saja dia mulai mendalami eyangnya. “Emang cicit kurang ajar ya,” ujarnya tertawa. Sejak kapan mengenal Tjokroaminoto? Dari kecil. Ketika itu bapak bilang, “kamu keturunan eyang Tjokroaminoto.” Dia suka cerita kalau eyang jago pidato. Suaranya keras berapi-api. Kalau dia pidato, satu lapangan sampai dengar. Dan itu yang kemudian diikuti Sukarno. Tapi waktu itu saya cuek. Tak mau tahu. Dalam hati saya, siapa sih (Tjokro)?. Begitu sekolah, waktu pelajaran sejarah, nama itu disebut-sebut guru. Oh, itu eyangku. Tapi itu pun tahu sekadarnya saja. Saya baru memahami detail tentang Tjokro ketika sebuah majalah bikin liputan khusus tentang Tjokroaminoto. Setelah baca itu, ooo… gila ya ternyata eyang gue . Emang cicit kurang ajar ya… Haahaha. Kenapa mengagumi Tjokroaminoto? Tjokro punya pemikiran yang sangat maju pada zamannya. Dia melahirkan tokoh-tokoh revolusioner dan militan, yang berani mendobrak dan tidak bergantung pada bangsa lain. Itu nggak gampang. Kalau gurunya nggak gila, murid-muridnya nggak mungkin gila juga. Setelah memahami lakon hidup dan sepakterjang Tjokroaminoto, nilai apa yang Anda ambil darinya? Kalau kita diinjak harus melawan. Kalau ditindas ya harus melawan. Dalam hal ini secara tidak sadar, ada darah dia dalam diri saya. Kayaknya bawaan badan. Ya, ngelawan aja . Mungkin eyang Tjokro lebih gila. Dia nggak ada takut-takutnya. Kalau eyang melahirkan Sukarno, Kartosoewirjo, Muso, saya melahirkan Pinkan, Mulan, Mey Chan. Hahaha… Relevansi pemikiran Tjokroaminoto? Sekarang kan orang-orang berpolitik, beda partai saling makan. Kalau dulu kan perjuangannya bagaimana melepaskan ketergantungan kita dari bangsa asing. Bagaimana kita terbebas dari kedzaliman penjajah. Kalau sekarang politik kita politik transaksional. Dagang. Dulu kan benar-benar murni. Bangsa ini harus besar. Bangsa ini harus merdeka. Bangsa ini harus punya pendidikan yang nggak boleh kalah sama orang-orang luar. Pemikiran-pemikiran Tjokro tidak transaksional. Dia bukan politikus yang kaya, punya banyak duit, tapi eyang punya pemikiran-pemikiran politik yang luar biasa.
- Klokkenluider
EDUARD Douwes Dekker memboyong pulang kemarahannya. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai asisten residen Lebak karena laporan tentang pelanggaran bupati tidak diproses tuntas. Setelah gagal mencoba beberapa pekerjaan, akhirnya Dekker memilih membenamkan diri pada sebuah kamar losmen di Brussel, menulis sebuah roman yang kelak berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda . Setelah novel itu terbit, Belanda gempar. Kaum kolonialis yang selama berabad tak pernah diganggu-gugat tiba-tiba saja menghadapi banyak pertanyaan orang tentang apa yang terjadi di tanah Hindia. Terlebih pada bagian akhir dari Max Havelaar, Multatuli, nama samaran Dekker, mengutip suratnya kepada Raja Willem III, “Tahukah yang mulia jika nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari 30 juta disiksa dan dihisap atas namamu?” Lantas roman itu bergulir bak gelindingan bola salju yang kian membesar. “Ya, aku akan dibaca,” kata Multatuli membuat nujum. Maka nujumnya benar. Roman yang ditulisnya itu dibaca oleh RA. Kartini sampai Sukarno dan generasinya. Maka sejak terbitnya Max Havelaar banyak orang terbuka matanya, sadar akan situasi yang berlangsung. “Dia itulah yang kasih tahu pada orang Indonesia bahwa dirinya dijajah,” ujar Pramoedya Ananta Toer. Bagaimana nasib Multatuli setelah dia membongkar praktik kolonialisme yang menindas rakyat Hindia itu? Apakah dia ditangkap? Dipenjarakan? Atau dibunuh? Nasib demikian mungkin berlaku bagi para pembongkar kejahatan lainnya, tapi tidak bagi Multatuli. Sebagai klokkenluider (pembongkar kejahatan) begitu orang Belanda menjulukinya, dia mendapatkan tempat di hati para pemujanya, dieluk-elukan sebagai pahlawan yang berjuangan untuk sistem kolonial yang lebih adil dan memanusiakan rakyat Hindia Belanda. Bahkan Hella Haasse penulis roman Sang Juragan Teh ( Heren van de Thee ) menulis Multatuli sebagai “tukang berhayal gadungan” yang hidup bergelimang kesenangan dan banjir pujian. “Ia menginap di hotel mahal, tapi ketika tagihan datang, ia bilang dompetnya dicuri...Bepergian kemana-mana dengan gundik-gundiknya, berceramah, bergaya bak pahlawan bagi orang Jawa,” tulis Hella. Mungkin Belanda tak punya tradisi menghabisi riwayat hidup seorang seniman dan sastrawan seperti Multatuli. Atau mungkin kulitnya terlalu putih untuk dianggap sebagai ancaman serius bagi kerajaan dan tuan-tuan kolonialis di Hindia. Apapun itu, pada kenyataannya Multatuli tak disentuh sedikit pun oleh mereka yang menjadi sasaran kritik dan makiannya. Nasib berbeda terjadi pada mereka yang ada di Hindia Belanda, para pembaca karyanya. Sukarno, salah satu tokoh sentral gerakan pembebasan nasional menjadikan Max Havelaar sebagai kutipan dalam pidato pembelaannya di muka hakim pengadilan negeri Bandung pada 1930. Dia yang juga membongkar kejahatan kolonial harus mendekam di dalam penjara. Rupanya tak banyak yang berubah sejak zaman kolonial: setiap upaya membongkar kejahatan penguasa, selalu ada ancaman mengintai: dipenjara atau bahkan dihilangkan. Seperti Widji Thukul penyair yang ungkaian kata-kata dalam sajaknya dipandang bak sebilah pedang tajam bagi penguasa zaman Soeharto. Bait-bait puisinya yang membongkar kebobrokan Orde Baru, berujung pada hilangnya sang penyair itu. Pada era penuh larangan dan penindasan atas kebebasan, sastra bagaikan senjata mematikan bagi penguasa. Kritik adalah tabu dan si tukang kritik adalah pendosa yang harus dibungkam mulutnya. Sehingga mengatakan kebenaran menjadi sebuah “kemewahan” yang sangat beresiko, “Sebuah tindakan revolusioner,” kata George Orwell. Semua bertekad tak kembali ke belakang, mengulang masa-masa kelam. Namun kadangkala selalu ada penguasa pongah dari setiap zaman yang membuat kita bertanya sedang hidup di zaman apakah gerangan kita sekarang ini? Pertanyaan itu mendadak muncul ketika Haris Azhar membongkar patgulipat skandal bandar narkoba yang melibatkan petinggi di Kepolisian dan Angkatan Darat. Dia menjadi tersangka atas praktik penyelewengan yang dibukanya kepada publik. Dari kejadian tersebut kita bisa menemui kenyataan: kekuasaan di tangan siapapun, baik tuan kolonial maupun bangsa sendiri, selalu punya potensi besar untuk diselewengkan.*
- Kadjo Belajar Membuat Arloji ke Belgia
Suatu kali seorang penyewa tanah partikelir di Surakarta berkebangsaan Belgia, C. Coenaes, mengeluh kepada Susuhunan Paku Buwono VIII. Pangkal soalnya adalah keahlian tukang-tukang Kasunanan Surakarata yang kurang terampil. Coenaes mengeluh karena tidak memadainya perbaikan lonceng dan arlojinya yang dikerjakan oleh tukang dari keraton. “Dan penanganan atas barang-barang emasnya pun buruk sekali,” kata Coenaes sebagaimana dicatat Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 . Coenaes pun mengusulkan kepada Sunan agar salah satu tukangnya dikirim ke Eropa untuk dididik sebagai ahli arloji. Sunan mengiyakan usulan Coenaes itu. Sunan lalu memilih seorang abdi dalem muda bernama Kadjo untuk belajar menjadi pembuat arloji ke Belgia, negeri asal Coenaes. Kadjo sendiri adalah anak seorang perwira rendah pasukan kavaleri Kasunanan Surakarta. “Begitulah, pada Juni 1856 Kadjo yang berusia 21 tahun berangkat ke Brussel bersama keluarga Coenaes,” tulis Poeze. Pilihan Sunan ternyata tidak meleset. Dalam perjalan menuju Eropa bersama Coenaes, Kadjo sudah menampakkan keuletan dan loyalitasnya. Dia juga tidak canggung dengan keluarga Coenaes. Dalam perjalanan selama 23 hari yang penuh badai, Kadjo dengan setia menemani Nyonya Coenaes dan anak-anaknya. Sesampai di Brussel, Kadjo belajar bahasa Prancis sebelum belajar membuat arloji. Berkat kerajinannya, Kadjo menjadi murid yang menonjol karena cepat menyerap pelajaran membuat arloji. “Baru satu tahun dia sudah amat maju, sehingga dapat mengikuti pelajaran pembuat arloji Heckmann dan mengikuti pelajaran di Akademi Seni Menggambar untuk memahirkan diri dalam seni menggambar ornamen,” tulis Poeze. Kemampuan Kadjo bahkan lebih baik daripada murid-murid Heckmann yang lebih senior. Pada Oktober 1859, Kadjo memenangi penghargaan pertama dalam seni gambar ornamen kelas dua di Akademi Seni Menggambar. Coenaes merasa sangat puas dengan anak asuhnya itu: “Saya bisa katakan bahwa saya telah berhasil menjadikan orang Jawa ini seorang seniman sejati.” Ketika telah mahir, Kadjo memulai merancang dan membuat sebuah arloji khusus. Rencananya arloji khusus itu akan menjadi hadiah bagi Susuhunan Surakarta. Karya itu lalu diberi nama “ duplex a balancier compensateur dengan sepuluh batu”. Kadjo merancang arloji itu dengan memakai aksara Jawa pada angka-angka penunjuk waktunya. Dia memberikan sentuhan eksklusif di lempeng arloji itu. Di situ dia menerakan prasasti yang bunyinya “ Kadjo, habdi dalem ponokawan djam hing Soerokarto moeridipoen toewan Higman Brussel ” atau “Kadjo, abdi dalem pelayan jam di Surakarta, murid Tuan Heckmann di Brussel”. “Sebelum dikirim ke Surakarta, jam itu dipamerkan kepada Van Wielik, pembuat arloji Baginda Ratu Belanda, dan orang-orang lain lagi, antara lain Menteri Daerah Jajahan, Rochussen. Semuanya sangat terkesan dengan hasil kerajinan Kadjo,” pungkas Poeze.
- Sebut Kafir, Kiai Diadili
Di Kudus, tinggallah seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan teguh pendiriannya. Ulama tersebut bernama Kiai Haji Raden Asnawi, A’wan Syuriah Nahdlatul Ulama. Pada zaman kolonial Belanda, dia hadapkan ke Pengadilan Negeri ( landraad ) karena tuduhan melakukan delik penghinaan kepada orang yang tidak salat sebagai orang kafir atau orang gila. Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat dari Pesantren , mengingat ulama tersebut sudah berusia lanjut dan sangat berpengaruh dalam masyarakat Kudus, ketua pengadilan secara persuasif meminta terdakwa mencabut kata-katanya dengan alasan tergelincir lidah ( slip of the tongue ). “Tetapi ajakan itu ditolak mentah-mentah,” kata Menteri Agama era Presiden Sukarno itu. Kiai Asnawi menegaskan bahwa dirinya sekadar mengatakan apa yang tersebut dalam kitab Fiqih: Falaa tajibu ‘alaa kafirin ashliyyin wa shobiyyin wa majnuunin artinya maka sembahyang itu tidak wajib dikerjakan oleh orang kafir, anak masih bayi, dan orang gila. “Dengan demikian maka siapa pun yang tidak melakukan sembahyang atau yang merasa dirinya tidak dibebani kewajiban sembahyang, samalah artinya dengan menyamakan dirinya orang gila. Yang menamakan dirinya sama dengan orang gila ialah pengakuannya sendiri berdasarkan bunyi kitab Fiqih, saya sekadar menerangkan bunyi kitab itu,” kata Kiai Asnawi membela diri. Pengadilan menjatuhkan hukuman denda sebesar 100 gulden. Namun, Kiai Asnawi tidak memiliki uang sebanyak itu. “Kalau tak mampu membayar denda 100 gulden, Pak Kiai mesti masuk penjara sekian hari,” kata ketua pengadilan. Kiai Asnawi keberatan alasannya masuk penjara bagi orang tua seperti dirinya amat menyusahkan. “Lagi pula bagaimana nasib santri-santri saya? Siapa yang mengajar mereka? Siapa yang mengimami sembahyang?” tanya Kiai Asnawi menebar pandangan ke sekeliling ruang pengadilan. Dia tetap berdiri dibantu tongkat dengan kepala tegak. Majelis menjadi riuh. Ketua pengadilan menskor persidangan sambil berunding dengan jaksa. “Perundingan sambil berbisik itu diakhiri dengan sang ketua pengadilan merogoh dompet dari kantongnya dan menyerahkan sejumlah uang kepada jaksa,” kata Saifuddin, ayah dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. “Pak Kiai, ini ada uang seratus gulden, harap Pak Kiai membayarkan dendanya,” kata jaksa. Kiai Asnawi pun dibebaskan dengan membayar denda seratus gulden yang berasal dari ketua pengadilan. Menurut Saifuddin, begitulah gambaran Kiai Asnawi yang juga pernah mengirim surat kepada Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, dan membuatnya masygul berhubung dengan penggunaan terompet dan genderang oleh Ansor NU dalam baris berbaris. “Beliau tidak sependapat dengan Hadlaratusy Syaikh yang memperbolehkan terompet dan genderang dalam Ansor NU,” kata Saifuddin. Meskipun memiliki kharisma yang disegani di kalangan masyarakat, namun Kiai Asnawi tidak luput dari sentimen masyarakat karena tidak mengungsi ketika kota Kudus diduduki Belanda dalam agresi militer kedua pada Desember 1948. Alasannya, menurut Saifuddin, Kiai Asnawi yang sudah berusia 80 tahun tidak mampu hidup dalam gerilya, dikejar-kejar musuh dan bergerak terus. Selain itu, dia amat berat meninggalkan masjid dan pesantrennya. “Beliau tetap Republiken, menolak kerja sama dengan Belanda, meskipun tetap tinggal di dalam kota,” tegas Saifuddin.






















