top of page

Sejarah Indonesia

Klokkenluider

...

_

Oleh :
...

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

EDUARD Douwes Dekker memboyong pulang kemarahannya. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai asisten residen Lebak karena laporan tentang pelanggaran bupati tidak diproses tuntas. Setelah gagal mencoba beberapa pekerjaan, akhirnya Dekker memilih membenamkan diri pada sebuah kamar losmen di Brussel, menulis sebuah roman yang kelak berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.


Setelah novel itu terbit, Belanda gempar. Kaum kolonialis yang selama berabad tak pernah diganggu-gugat tiba-tiba saja menghadapi banyak pertanyaan orang tentang apa yang terjadi di tanah Hindia. Terlebih pada bagian akhir dari Max Havelaar, Multatuli, nama samaran Dekker, mengutip suratnya kepada Raja Willem III, “Tahukah yang mulia jika nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari 30 juta disiksa dan dihisap atas namamu?”


Lantas roman itu bergulir bak gelindingan bola salju yang kian membesar. “Ya, aku akan dibaca,” kata Multatuli membuat nujum. Maka nujumnya benar. Roman yang ditulisnya itu dibaca oleh RA. Kartini sampai Sukarno dan generasinya. Maka sejak terbitnya Max Havelaar banyak orang terbuka matanya, sadar akan situasi yang berlangsung. “Dia itulah yang kasih tahu pada orang Indonesia bahwa dirinya dijajah,” ujar Pramoedya Ananta Toer.


Bagaimana nasib Multatuli setelah dia membongkar praktik kolonialisme yang menindas rakyat Hindia itu? Apakah dia ditangkap? Dipenjarakan? Atau dibunuh? Nasib demikian mungkin berlaku bagi para pembongkar kejahatan lainnya, tapi tidak bagi Multatuli. Sebagai klokkenluider (pembongkar kejahatan) begitu orang Belanda menjulukinya, dia mendapatkan tempat di hati para pemujanya, dieluk-elukan sebagai pahlawan yang berjuangan untuk sistem kolonial yang lebih adil dan memanusiakan rakyat Hindia Belanda.


Bahkan Hella Haasse penulis roman Sang Juragan Teh (Heren van de Thee) menulis Multatuli sebagai “tukang berhayal gadungan” yang hidup bergelimang kesenangan dan banjir pujian. “Ia menginap di hotel mahal, tapi ketika tagihan datang, ia bilang dompetnya dicuri...Bepergian kemana-mana dengan gundik-gundiknya, berceramah, bergaya bak pahlawan bagi orang Jawa,” tulis Hella.


Mungkin Belanda tak punya tradisi menghabisi riwayat hidup seorang seniman dan sastrawan seperti Multatuli. Atau mungkin kulitnya terlalu putih untuk dianggap sebagai ancaman serius bagi kerajaan dan tuan-tuan kolonialis di Hindia. Apapun itu, pada kenyataannya Multatuli tak disentuh sedikit pun oleh mereka yang menjadi sasaran kritik dan makiannya.


Nasib berbeda terjadi pada mereka yang ada di Hindia Belanda, para pembaca karyanya. Sukarno, salah satu tokoh sentral gerakan pembebasan nasional menjadikan Max Havelaar sebagai kutipan dalam pidato pembelaannya di muka hakim pengadilan negeri Bandung pada 1930. Dia yang juga membongkar kejahatan kolonial harus mendekam di dalam penjara.


Rupanya tak banyak yang berubah sejak zaman kolonial: setiap upaya membongkar kejahatan penguasa, selalu ada ancaman mengintai: dipenjara atau bahkan dihilangkan. Seperti Widji Thukul penyair yang ungkaian kata-kata dalam sajaknya dipandang bak sebilah pedang tajam bagi penguasa zaman Soeharto. Bait-bait puisinya yang membongkar kebobrokan Orde Baru, berujung pada hilangnya sang penyair itu.


Pada era penuh larangan dan penindasan atas kebebasan, sastra bagaikan senjata mematikan bagi penguasa. Kritik adalah tabu dan si tukang kritik adalah pendosa yang harus dibungkam mulutnya. Sehingga mengatakan kebenaran menjadi sebuah “kemewahan” yang sangat beresiko, “Sebuah tindakan revolusioner,” kata George Orwell.


Semua bertekad tak kembali ke belakang, mengulang masa-masa kelam. Namun kadangkala selalu ada penguasa pongah dari setiap zaman yang membuat kita bertanya sedang hidup di zaman apakah gerangan kita sekarang ini? Pertanyaan itu mendadak muncul ketika Haris Azhar membongkar patgulipat skandal bandar narkoba yang melibatkan petinggi di Kepolisian dan Angkatan Darat. Dia menjadi tersangka atas praktik penyelewengan yang dibukanya kepada publik.


Dari kejadian tersebut kita bisa menemui kenyataan: kekuasaan di tangan siapapun, baik tuan kolonial maupun bangsa sendiri, selalu punya potensi besar untuk diselewengkan.*

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Sumatra Utara dan Aceh dulu juga pernah dilanda banjir parah. Penyebabnya sama-sama penebangan hutan.
bottom of page