top of page

Hasil pencarian

9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Hasrat Amerika Menguasai Niaga Lada di Sumatera

    Tak terima kapal niaganya, Friendship , dibajak, senator sekaligus pengusaha Aaron Waite komplain kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Andrew Jackson. Pemerintah langsung mengirim kapal perang Potomac, yang berangkat dari pelabuhan New York pada 21 Agustus 1831. Kapal berkekuatan senjata 44 meriam itu berlayar lebih dari 20 ribu mil menuju Sumatera. Di perairan teramai sepanjang era perdagangan rempah itulah kapal Friendship mengalami nahas dibajak oleh kawanan bajak laut Sumatera. Lezatnya Laba Lada Kehadiran kapal-kapal niaga AS di perairan Sumatera, mulai Aceh hingga Bengkulu, ikut meramaikan perniagaan rempah dunia, yang pusatnya di Selat Malaka. Jonathan Carnes, seorang pelaut asal Salem, Massachusetts memelopori keterlibatan AS dalam perniagaan rempah dunia dengan pelayarannya langsung ke Bengkulu pada 1793. Dalam kunjungan untuk mempeluas areal perdagangannya itu, dia mendapat pelajaran bahwa rempah, terutama lada, merupakan komoditas paling baik untuk mengeruk laba. Setelah selesai membuat kapal Rajah berbobot 130 ton, Carnes memulai perniagaan itu dengan modal dua pipe (satu pipe setara empat galon) brandy, 58 kotak gin, 12 ton besi, tembakau, salmon, dan masih banyak komoditas lain. “Delapan belas bulan kemudian, kapal itu kembali dengan sebagian besar muatan lada yang menuai keuntungan 700 persen,” tulis Fred Czarra dalam Spices: A Global History . Pelayaran itu menarik perhatian orang-orang Salem. Setelah bersusah payah mencari tahu lokasi yang dirahasiakan Carnes, banyak orang Salem lain kemudian terjun dalam perniagaan rempah. “Pada 1795, kapal-kapal dari Salem menemukan jalan menuju pusat perkebunan lada yang besar dan masih baru di wilayah yang kini termasuk ke Aceh selatan, yakni pantai yang terletak antara Susoh (waktu itu disebut Susu) dan Trumon. Hingga 1803, pantai tersebut menghasilkan sekitar 5000 ton lada, dan sebagian besar dikirim ke New England,” tulis Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe . Banyak pebisnis Amerika, terutama dari Salem, yang terjun dalam perniagaan rempah dengan Sumatera. Hal itu ditunjang oleh adanya kerja sama dengan Aceh yang kala itu merupakan entitas politik terpenting di Sumatera. Simbiosis mutualisme terjadi di antara keduanya. “Kerajaan Aceh menjadi kekuatan utama di dalam perniagaan rempah di Tenggara, dengan penolakan invasi Belanda dan menjalin hubungan dagang dengan para niagawan asal Salem,” tulis buku berjudul Liberty, Equality, Power: History of the American People, Compact Edition. Wanginya laba dari niaga lada membuat pelayaran pantai timur Amerika-Sumatra kian meningkat. “Sepanjang lebih dari tiga perempat abad sejak timbulnya niaga itu, hampir 1000 pelayaran antara Salem dan Sumatera di Hindia Timur. Salem tercatat menjadi pelabuhan lada untuk dua sisi Atlantik, pada paruh pertama abad ke-19. Salem tak hanya mensuplai lada hitam ke pantai timur AS tapi juga ke Eropa,” lanjut Czarra. “Amerika menjadi penyedia utama lada bagi Eropa,” tulis Reid. Politik Niaga Namun, keuntungan dari niaga lada bukan tanpa risiko. Sejak awal, para pebisnis Salem menyadari hal itu. Persaingan dengan pebisnis-pebisnis Eropa juga amat ketat di Sumatera. Inggris, misalnya, telah mendapatkan monopoli lada dari Laubee Dapa (kepala daerah Susoh) dengan perjanjian niaga yang mereka buat pada 1787. Kapten Jeremiah Briggs mengalami ketatnya persaingan itu. Di Mukka (Meukke), dia harus adu cepat dan adu kuat dengan para niagawan-pelaut Inggris. “Kalau memang kita harus berperang, maka yang terkuat harus mempertahankan diri,” kata George Nicholls, kapten kapal Inggris Active , menggertak Briggs, termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe. Sebagaimana kapal-kapal niaga lain, kapal-kapal niaga AS juga menjadi langganan pembajakan. “Dari waktu ke waktu, kapal-kapal Amerika dirampas oleh gerombolan orang Aceh, sering kali disebabkan oleh konflik yang muncul akibat masalah harga ataupun perilaku liar dari kedua belah pihak,” tulis Reid. Pada 1831, kapal Friendship milik Aaron Waite yang menjadi korban pembajakan. “Bajak laut menyerbu kapal dagang AS Friendship dan membunuh beberapa pelautnya. Kru yang masih hidup, di pantai, melarikan diri ke pelabuhan lain di mana beberapa kapal dagang AS lainnya datang membantu. Mereka akhirnya bisa memulihkan Friendship , tetapi muatannya, senilai empat puluh ribu dolar, lenyap,” tulis Brendan January dalam The Aftermath of the Wars Against the Barbary Pirates . Senator Aaron Waite selaku pemilik kapal protes dan meminta negara turun tangan. Protes itu menuai dukungan. Joseph Peabody, politisi yang juga pengusaha bidang perkapalan, lalu mengajukan petisi pada pemerintah agar melindungi kapal-kapal yang terlibat dalam perdagangan sah di Sumatera. Presiden Jackson menerima protes itu dan mengirimkan satu kapal perang milik AL, Potomac , di bawah komandan Komodor John Downes. Pelayaran Potomac tak hanya menjadi pelayaran pertama internasional kaptennya, tapi juga mempelopori eksistensi AS, yang sebelumnya memilih netral, di dunia internasional. Oleh Jackson pelayaran itu disebut sebagai upaya untuk menghukum dan memberi pelajaran kepada bajak laut. Pada awal 1832, Potomac berhasil menyelinap masuk ke perairan Kuala Batu, Aceh dengan menyamar sebagai kapal Belanda, yang kala itu memblokade perairan Hindia. Tepat fajar 6 Februari 1832, meriam-meriam Potomac menghujani pantai di sepanjang pelabuhan diikuti dengan penyerbuan hampir 300 marinir dan pelaut Amerika ke tiga benteng yang dijadikan basis pertahanan Aceh. Meski mendapatkan perlawanan, mereka tak menemukan kesulitan dan berhasil merebut ketiga benteng itu. Komodor Downes melajukan Potomac semakin dekat dengan daratan untuk melumpuhkan satu benteng yang masih bertahan. “Di bawah tekanan ini, orang-orang Sumatera menyerah dan berjanji tidak akan menyakiti orang-orang Amerika lagi,” tulis Brendan. Akibat gempuran itu, sekira 100 jiwa orang Sumatera melayang. Downes kehilangan dua awaknya di samping beberapa awak lain menderita luka-luka. Upaya Downes tak mendapat pujian sepulangnya ke Amerika. Media-media justru menghujaninya dengan kritik. Tidak adanya diplomasi dan negosiasi, pembunuhan massal terhadap penduduk tak berdosa, dan kegagalan mendapatkan ganti rugi atas kargo Friendship yang dijarah merupakan pokok kritikan-kritikan itu. Ekspedisi itu juga tak menciptakan keamanan permanen bagi kapal-kapal niaga AS. Pada 1838, kapal niaga Eclipse yang menjadi sasaran pembajakan. Beberapa kru terbunuh dan pembajak yang telah menguasai kapal memerintahkan awak yang masih hidup untuk berenang. Saat pembajakan terjadi, Komodor George C. Read, yang mengomandani armada kecil, kapal Columbia dan John Adams , tengah berada di Sri Lanka, segera menuju Sumatera. Setibanya di sana pada Desember 1838, Read langsung meminta penguasa setempat menghadirkan para pelaku. Dua hari penantiannya tak menghasilkan apa-apa, dia langsung memerintahkan para awaknya untuk menyerang. Pasukan Read terus melakukan gerak maju karena para perompak belum menyerah. Kepada penguasa-penguasa kecil daerah yang dilaluinya, dia membuat perjanjian untuk tak mengulangi lagi perbuatannya. Dua upaya hukuman dari Amerika itu memelopori keterlibatan negeri itu dalam pentas politik-niaga internasional. “Para perwira angkatan laut AS, mengikuti konvensi maritim dan arahan untuk melindungi kapal dan awak mereka, meluncurkan sejumlah serangan hukuman terhadap berbagai orang untuk melindungi kehidupan Amerika di luar negeri,” tulis Bruce M. Arnold dalam Diplomacy Far Removed: A Reinterpretation of the U.S. Decision to Open Diplomatic Relations with Japan. Setelah Aceh, armada AS melanjutkan upaya serupa ke Jepang beberapa tahun kemudian, dan upaya serupa berlanjut hingga kini.

  • Tiga Menguak Sidi

    Tamat dari AMS (setingkat SMA) di Bandung, Sutan Sjahrir berangkat ke Amsterdam, Belanda, untuk kuliah. Sempat mondok bersama kakaknya, dia kemudian tinggal di apartemen sahabatnya, Salomon Tas, wartawan dan ketua Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat. Tas tinggal dengan istrinya, Maria Johanna Duchateau, dua anak mereka yang masih kecil, dan teman Maria, Judith van Wamel. Sjahrir hadir di saat hubungan Tas, yang kemudian menjalin hubungan asmara dengan Judith, dengan Maria renggang. Cinta Sjahrir kepada Maria tak bertepuk sebelah tangan. Mereka saling memberikan panggilan sayang: Mieske untuk Maria dan Sidi untuk Sjahrir. Ketika hendak pulang ke Indonesia pada 1932, Sjahrir mengajak Mieske –panggilan sayang dari Sjahrir. Sjahrir pulang lebih dulu untuk mengambil-alih pimpinan partai Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru. Empat bulan kemudian, Maria menyusul bersama kedua anaknya. Medan menjadi tempat pertemuan mereka. Pada 10 April 1932, di sebuah masjid di Medan, mereka menikah. “Sjahrir dan Maria tinggal di rumah yang pernah digunakan Sjahrir sebelum bersekolah ke Jawa,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. Setelah menjadi suami-istri, mereka berkeliling Medan. Mereka berjalan bergandengan tangan, pergi ke pasar, serta nonton film, musik, dan teater. Mereka segera jadi bahan gunjingan penduduk bumiputera maupun Belanda. “Suratkabar-suratkabar lokal menjadikannya isu besar dan mendesak pemerintah mengambil tindakan terhadap Sutan Sjahrir dan istrinya,” kutip Mrazek. Pernikahan antara pribumi dan kulit putih tak bisa diterima. Para pemuka agama tak terima karena Maria menjadi mualaf dan menikah dengan cara Islam. Status Maria yang belum resmi bercerai juga dipermasalahkan. “Akibatnya, muncul reaksi dari pejabat pemerintah kolonial yang segera mempertanyakan masalah bigami,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas. Pada 5 Mei 1932, pernikahan Sjahrir dinyatakan batal oleh pejabat agama Islam. Pada 14 Mei, atau lima minggu setelah mereka hidup bersama sebagai suami-istri, pemerintah Belanda memulangkan paksa Maria ke Belanda. Sjahrir sedih. Terlebih Maria tengah mengandung anak laki-lakinya yang kemudian meninggal tiga minggu setelah lahir. Upaya mereka untuk bersatu terhalang penolakan pemerintah Belanda. Hubungan mereka pun hanya bisa dilakukan lewat surat-menyurat. Sekian lama sendiri, Sjahrir kepincut Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, putri Mangkunegara VII, ketika bertemu di Linggarjati. Hubungan mereka terjalin melalui surat-menyurat namun tak berlanjut. Nurul tak mau menikah dengan tokoh politik dan tak mau dimadu. Sjahrir bertemu kembali dengan istrinya pada April 1947 dalam sebuah acara pertemuan di New Delhi, India. Nehru yang mengundang Maria bermaksud memberi kejutan untuk Sjahrir. Nehru tak tahu kalau Sjahrir sudah menjalin asmara dengan sekretarisnya, Siti Wahjunah Saleh, biasa disapa Poppy. Di bandara, Sjahrir merangkul Maria dan menempelkan pipinya. Selebihnya, pertemuan setelah 15 tahun itu berlangsung dingin. Nyala cinta mereka benar-benar padam ketika bercerai pada 12 Agustus 1948. Belakangan, Maria menikah dengan adik Sjahrir, Soetan Sjahsyam, yang bersekolah di Belanda. Sjahrir sendiri menjalin cinta jarak jauh dengan Poppy, yang memutuskan kuliah di Leiden dan London. “Menjaga jarak selama satu atau dua tahun untuk tahu apakah kami cocok untuk menikah,” kata Poppy kepada Mrazek. Setelah Poppy menyelesaikan studi, Sjahrir menikahinya di Kairo Mesir pada 1951. Mereka hidup bersama hingga ajal memisahkan.

  • Kisah Cinta Ki dan Nyi Hajar Dewantara

    Juni 1913, Sutartinah beroleh kabar tak sedap soal tunangannya, Suwardi Suryaningrat –kelak dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengancam akan menangkap Suwardi karena menulis artikel berjudul “Als Ik Een Nederlander was” (Andaikan Aku Seorang Belanda) di buletin resmi Komite Boemi Poetra. Komite ini diketuai Tjipto Mangunkusumo, Suwardi sebagai sekretaris, dan Abdoel Moeis serta Wignjodisastro sebagai anggota. Dalam artikelnya, Suwardi mengkritik rencana peringatan seabad kemerdekaan Belanda dari Prancis dengan biaya dari rakyat jajahan Hindia Belanda. Buletin itu dicekal dan komite dilarang menerbitkan apapun. Tak terima, Tjipto menulis artikel di surat kabar De Express, 20 Juli 1913, berjudul “Kracht of Vreez” (Ketakutan atau Kekuatan). Intinya, dia menganggap sikap represi terhadap Komite Boemi Poetra adalah bentuk ketakutan pemerintah. Berselang sepekan, Suwardi kembali menohok pemerintah dengan artikel di De Express, 28 juli 1913, berjudul “Een voor Allen, Allen voor Een” (Satu untuk semua, semua untuk satu). Pemerintah tak dapat lagi menahan diri. Pasukan Belanda dikirim ke Bandung untuk meringkus Suwardi dan Tjipto, serta menyegel kantor Indische Partij, tempat Komite Boemi Poetra bekerja. Tak terima kedua koleganya ditangkap, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker yang baru kembali dari Belanda, menulis di De Express, berjudul “Onze Helden Soewardi en Soetjipto Mangoenkoesoemo” (Pahlawan-pahlawan kita Suwardi dan Sucipto Mangunkusumo) . Kabar penangkapan cepat beredar, bahkan sampai ke kerabat Paku Alaman di Yogyakarta. Sumardinah Martadirja melalui surat menanyakan soal itu kepada adiknya, Sutartinah: “Bahwa di Yogyakarta sudah tersiar kabar bahwa kangmas Suwardi hendak mencetuskan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda, tolonglah jawab, apakah berita itu benar?” “Kanda Sumardinah Martadirja, Yogyakarta. Kalau berita itu benar, aku yang lebih dulu tahu. Dan jika pun benar, aku sudah siap menghadapi risiko apa pun dengan penuh kebanggaan sebagai keturunan brandal Diponegoro,” jawab Sutartinah dalam surat balasan, seperti dikutip Bambang Sokawati Dewantara dalam biografi Nyi Hajar Dewantara . Raden Ajeng Sutartinah lahir pada 14 September 1890. Dia cucu Sri Paku Alam III sekaligus canggah atau keturunan kelima Pangeran Dipaonegoro. Sutartinah bergegas menuju Bandung, namun terlambat. Suwardi dan Tjipto sudah ditahan, sementara Douwes Dekker juga dilarang menerima tamu. Bandung mencekam sebab banyak pasukan kolonial berjaga dengan sangkur telanjang. Atas izin kepala militer setempat, Sutartinah bertemu Suwardi meski hanya lima menit. Di ruang khusus, Suwardi menggenggam tangan Sutartinah. Mereka bertukar sapu tangan yang diselipkan ke genggaman masing-masing tanpa sepengetahuan penjaga. Rupanya, masing-masing menulis pesan di dalamnya. Pesan Suwardi supaya Sutartinah menyelipkan berita dari luar tahanan melalui serdadu asal Ambon yang terpercaya, Sersan Soulisa. Sedangkan Sutartinah berpesan bahwa dirinya akan kembali ke Yogyakarta untuk mencari dukungan dan bantuan seperlunya. Sutartinah memenuhi permintaan Suwardi. Kabar dari luar penjara disampaikan melalui Sersan Soulisa yang menyimpannya di dalam laras senapan. Sehari sebelum pulang ke Yogyakarta, Sutartinah mendapat surat dari Douwes Dekker: “Tinah! jangan berkecil hati! kau harus bangga bahwa satu di antara pahlawan-pahlawan kita itu adalah manusia pujaanmu.” Sutartinah pun membalas: “Nest yang baik, Suwardi bukanlah pahlawanku. Tetapi pahlawan kita semua, seperti halnya dirimu dan Tjipto.” Tinah biasa menyapa Douwes Dekker dengan panggilan Nest dari namawa awalnya, Ernest. Di Yogyakarta, Sutartinah berhasil meyakinkan Sri Paku Alam VII mengenai kasus Suwardi melalui jasa saudara sepupunya, pangeran Suryaningprang. Pemerintah kolonial meminta supaya orangtua Suwardi, Pangeran Suryaningrat dapat menekan perangai anaknya. Suryaningrat berangkat ke Bandung, dan justru mendukung perjuangan anaknya. Sehari setelah Suryaningrat meninggalkan Bandung, Sutartinah diminta ayah mertuanya untuk berangkat ke Bandung untuk menemani proses pengadilan Suwardi. Sebulan, Tiga Serangkai merasakan dinginnya kamar berjerajak besi. Pada 18 Agustus 1913, hakim memutuskan Tiga Serangkai akan dibuang ke Bangka, Banda Neira dan Timor, Kupang. Namun, mereka menolak dan menginginkan pengasingan keluar tanah air, dengan negara tujuan negeri Belanda. Sebelum berangkat, akhir Agustus 1913, Suwardi dan Sutartinah melangsungkan pernikahan sederhana di Puri Suryaningratan, Yogyakarta. Mereka akan melangsungkan bulan madunya di tanah pengasingan. Pada 13 September 1913, kapal Bullow bertolak ke Belanda, membawa Tiga Serangkai serta Sutartinah. Sutartinah tak menikmati bulan madunya. Selain sebagai istri Suwardi, dia juga mengatur belanja harian orang-orang buangan politik itu. Dana tersebut berasal dari Tado Fonds, badan bentukan Indische Partij yang menggalang dana dari organisasi atau masyarakat untuk membiayai buangan politik. Jumlahnya pun tak banyak. Untuk menambal kekurangan, Sutartinah menyediakan mengajar di taman kanak-kanak di Weimaar, Den Haag. Sekali waktu, Suwardi dan Tjipto mendapat undangan ke Berlin, Jerman untuk menghadiri presentasi Douwes Dekker di Universitas Berlin. Sutartinah tak turut karena sedang hamil. Namun malang, Suwardi dan Tjipto dicokok intelijen Jerman yang mengikuti mereka, karena mendengar mereka berdua berbicara memakai bahasa Jawa. Intel Jerman itu menduga bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jepang. Jerman belum bersekutu dengan Jepang saat Perang Dunia I. Kabar penahanan ini tiba juga ke Sutartinah. Dia pun mengontak karibnya, Chrislebeau, pelukis kesayangan Ratu Wilhelmina, dan Kementrian Luar Negeri Belanda. Akhirnya, pemerintah Belanda mengontak pemerintah Jerman. Sutartinah yang sedang hamil membawa surat pembebasan ke Berlin. Suwardi dan Tjipto pun bebas. Douwes Dekker mengantar mereka ke stasiun, pulang ke Belanda. “He Cip! Tahukah kamu? Salah Siapakah semua ini?” tanya Douwes Dekker. “Tentu salahmu! Kamulah yang mengundang kami,” jawab Tjipto. “Ah tidak bisa,” jawab veteran Perang Boer itu mengelak. “Ini salah Suwardi sebab dia tidak mengajak Tinah. Seharusnya kau mulai menyadari Wardi, apapun yang terjadi, kau dan Tinah tidak boleh berpisah sedetik pun juga,” ujar Douwes Dekker. Pada 1928, saat Suwardi berusia 40 tahun, mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara, demikian pula Sutartinah, menjadi Nyi Hajar Dewantara. Selama 46 tahun Nyi Hajar mendampingi Ki Hajar dalam suka dan duka.

  • Legenda dari Bawah Tanah

    DETEKTIF Nipper Read (diperankan Christopher Eccleston) geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut di mobilnya. Buruannya, Reggie Kray (Tom Hardy), justru disenangi penduduk East End, London, karena ramah dan kerap memberi hadiah. Penduduk justru terlihat tak nyaman dengan aparat keamanan. Kondisi ini membuat Read yakin bahwa tugas memburu Reggie takkan mudah.

  • Neraka Pasukan Gurkha

    JEMBATAN usang itu terpuruk seperti orang sakit. Selain kanan-kirinya tak bertangan lagi, badan jalannya bolong di sana-sini. Sekitar 30 meter di bawahnya, sungai Cisokan yang berwarna coklat tengah dihinggapi belasan perahu kecil milik para penambang pasir. Tak banyak orang tahu, jika 72 tahun lalu, di jembatan ini banyak prajurit Inggris meregang nyawa akibat serangan pejuang Indonesia dari tebing-tebing bukit sekitar Sungai Cisokan. Mereka berasal dari Batalion 3/3 Gurkha Riffles Divisi ke-23 The Fighting Cock (Divisi Ayam Jago), sebuah batalion elite Angkatan Darat Kerajaan Inggris yang termasyhur dengan pisau khukrinya. Cerita berawal dari tertahannya Batalion Jats (termasuk dalam Divisi Ayam Jago) di Sukabumi pada 9-10 Desember 1945, akibat gempuran TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan laskar. Untuk membantu kedudukan pasukan tersebut, pada 11 Desember 1945 bergeraklah konvoi pasukan penolong itu. “Mereka terdiri dari pasukan 3/3 Gurkha Riffles yang dikawal sejumlah tank Sherman, panser Wagon dan brencarrier ,” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi dalam Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946 . Namun, radiogram markas besar Sekutu yang memerintahkan pengiriman pasukan penolong itu bocor ke pihak Republik. Atas dasar informasi tersebut, Resimen III TKR Sukabumi memerintahkan Bataliton III pimpinan Kapten Anwar Padmawidjaya menghadang konvoi itu mulai dari jembatan Cisokan sampai Gekbrong. Sejak pagi, Kompi II di bawah Kapten Dasuni Zahid dan pasukannya menyiapkan posisi stelling  di sekitar jembatan Cisokan. Mereka berlindung di balik pepohonan dan di atas tebing di kedua sisi jalan dekat jembatan Cisokan. Sekitar pukul 09.00, konvoi pasukan Gurkha mulai memasuki zona merah. Mereka bergerak lambat dengan dipandu satu pesawat pengintai. Begitu tiba di bagian tengah jembatan, tanpa ampun mereka dihajar hamburan peluru dan granat dari pasukan Kompi II. Mereka kocar-kacir dan beberapa kendaraan tempur meledak karena menggilas ranjau darat. “Beberapa prajurit Gurkha yang nekad keluar dari kendaraannya langsung menjadi sasaran para penembak runduk Kompi II,” kisah Eddie kepada Historia . Kendati dihujani peluru dan granat, konvoi pasukan Gurkha berhasil lolos. Namun, kerugian tak bisa dihindari. Selain korban jiwa, menurut almarhum Idris Priatna, eks Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia cabang Cianjur, mereka juga harus kehilangan satu pesawat pengintai yang hancur menubruk puncak pohon kelapa karena terbang terlalu rendah. Di kawasan Cikijing, konvoi pasukan Gurkha kembali diserang pejuang Cianjur. Akibatnya, satu truk yang mengakut pasukan meledak bersama para penumpangnya. Untuk menghindari ranjau darat, sejumlah kendaraan tempur berjalan agak ke pinggir. Konvoi terus mempercepat perjalanannya. Tetapi di wilayah Belendung, lagi-lagi satu truk menggilas ranjau darat hingga meledak dan melontarkan belasan penumpangnya ke udara. Menghadapi situasi kritis itu, pasukan Gurkha hanya bisa berteriak kebingungan sambil menembak dengan sasaran membabi buta. Memasuki kota Cianjur, konvoi Gurkha dijadikan mainan oleh pasukan gabungan dari berbagai laskar (Barisan Banteng pimpinan Suroso, Hizbullah, Pemuda Sosialis Indonesia dan Sabilillah). Mereka dibuat bingung dengan serangan pararel yang dilancarkan dari balik tembok toko-toko yang berderet sepanjang jalan dan dari gang-gang sempit. Di Cikaret, aksi penembak runduk dari Kompi III pimpinan Kapten Musa Natakusumah cukup merepotkan kedudukan konvoi Gurkha. Tidak berhenti di Cikaret, Rancagoong, Warungkondang, Gekbrong, dan Sukaraja, neraka tetap mengikuti konvoi tersebut. Di tikungan Rancagoong, mereka kehilangan satu tank Sherman yang menginjak ranjau darat lantas oleng terperosok ke jurang dangkal. Setelah berulang kali diserang, pasukan Gurkha dalam kondisi babak belur berhasil mencapai kota Sukabumi menjelang malam. Dalam buku The Fighting Cock, The Story of the 23rd Indian Division karya Letnan Kolonel A.J.F. Doulton diceritakan bagaimana kagetnya prajurit-prajurit Batalion Jats begitu menyaksikan pasukan penolongnya dalam kondisi yang sama dengan mereka.*

  • Ketidakadilan Mengancam Kemajemukan

    Indonesia merupakan negeri multikultural dan majemuk yang sedang menghadapi tantangan karena krisis sosial dan ekonomi. Masalah ini juga muncul di berbagai negara, terutama negara-negara yang justru merayakan multikulturalisme. “ Brexit , munculnya pemerintah yang tidak lagi menghargai multikulturalisme, dan fenomena terakhir adalah Donald Trump,” kata Hilmar Farid, sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, dalam pidato sebagai pembicara kunci dalam “Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII-2017” di Museum Nasional, Jakarta (2/9). Oleh karena itu, menurut Hilmar, multikulturalisme dan kemajemukan tidak seharusnya dipersepsi secara lugu sebagai cita-cita tatanan sosial-budaya yang serba harmonis dan serba-baik. Tak mungkin hanya dengan merayakan kemajemukan dan berupaya membuat orang memiliki rasa toleransi, maka semua bisa teratasi. Multikulturalisme dan kemajemukan selalu merupakan bagian dari suatu proyek politik dan ekonomi. Di Indonesia, politik kemajemukan budaya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era kolonial. Kolonialisme Belanda dibangun di atas dasar pertimbangan yang dewasa ini kita kategorikan sebagai kebijakan multikultural. Hilmar merujuk kepada kajian sejarah legal Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Van Vollenhoven Institute, 2014), untuk mengidentifikasi beberapa fase dalam perkembangan politik multikultural kolonial di Indonesia. Fase awal dari era VOC sampai tahun 1870. Sejak VOC membuka kantor di Batavia dan Ambon, kepentingan awalnya bukanlah mengembangkan kekuasaan politik, melainkan kepentingan dagang dan penguasaan akses ke sumber daya alam. Oleh karenanya, VOC tidak berkepentingan untuk menyeragamkan atau menyatukan kemajemukan hukum adat masyarakat Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda pun meneruskan pendekatan semacam itu. Hal ini tampak dalam Regeringsreglement 1854 Pasal 75 Ayat 3 yang menyatakan bahwa untuk orang-orang pribumi akan diterapkan “hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi” ( de godsdienstige wetten, instellingen en gebriuken der Inlanders ). Inilah akar dari “multikulturalisme kolonial”. Fase tengah dari tahun 1870 sampai tahun 1910. Pluralisme hukum itu mengalami perubahan arah pada tahun 1870. Regeringsreglement 1854 mencantumkan pasal tentang kemungkinan diberlakukannya toepasselijkverklaring (penerapan hukum Belanda untuk orang-orang pribumi). Kemungkinan itu ditindaklanjuti menjadi hukum khusus untuk orang-orang pribumi melalui pengesahan Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders pada 1870. Di dalamnya, antara lain, diatur tentang kewajiban para pekerja pribumi yang mengikat kontrak dengan majikan Belanda. Pada tahun yang sama diundangkan pula Agrarisch Wet yang memperkenalkan sistem hak milik ( eigendom ) dan hak guna usaha ( erfpacht ). Baik hukum yang mengatur ketenagakerjaan dan pertanahan ini bertentangan dengan kemajemukan pranata adat. Sebagai ganti kerja wajib, Belanda mengenalkan kerja upahan; sebagai ganti tanah adat yang dikelola secara komunal, Belanda mengenalkan tanah swasta. Kendati begitu, sebagian besar pranata adat yang tidak mengganggu jalannya liberalisasi dibiarkan bertahan. Fase akhir dari tahun 1910 sampai tahun 1942. Usaha untuk mengunifikasi hukum Hindia Belanda tetaplah berlangsung setengah-setengah karena kebijakan pengakuan pada kemajemukan budaya dan pranata adat kaum pribumi masih diadopsi Belanda. Pengakuan itu justru mendapat angin dengan upaya kodifikasi hukum adat yang dibuat Van Vollenhoven dalam kitab kompilasi hukum adat terlengkap yang disusunnya pada 1910, yakni Adatwetboekje voor heel Indie . Pengakuan pada kemajemukan hukum adat (seperti dikodifikasi Van Vollenhoven) dan otoritasnya untuk menentukan putusan hukum diterima pada dekade 1920-an dan bertahan sampai dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Dengan begitu, Belanda mengkonsolidasikan Hindia Belanda ke arah “kolonialisme multikultural”. Dari uraian tersebut, menurut Hilmar, tampak bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia tidak asing dari kebijakan multikultural. Yang terjadi justru pemanfaatan multikulturalisme untuk tujuan kolonial. “Dalam hal itu, kita dapat memotret keseluruhan proses kolonisasi sejak VOC sampai jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda sebagai proses peralihan dari multikulturalisme kolonial ke kolonialisme multikultural,” kata Hilmar. “Artinya, peralihan dari kebijakan kolonial yang membiarkan kemajemukan budaya Nusantara asal tidak mengganggu perdagangan, ke kebijakan kolonial yang secara aktif memanfaatkan kemajemukan budaya untuk mengkonsolidasi rezim kolonial.” Perlu diingat bahwa Van Vollenhoven terinspirasi dari kajian antropologi Snouck Hurgronje, De Atjehers (1893), yang memperkenalkan untuk pertama kalinya istilah Adatrecht . Snouck Hurgronje, menulis kajian itu dalam rangka mencari solusi kultural untuk penundukan militer atas Aceh yang telah memakan biaya teramat besar, seperti Perang Diponegoro yang hampir membikin Belanda kolaps secara ekonomi. Jadi, dari situ dapat dibaca bahwa upaya Van Vollenhoven mengkodifikasi hukum adat dan mendorong pengakuan atasnya adalah tawaran solusi untuk konsolidasi kolonialisme yang lebih stabil dan murah. Dengan kata lain, tawaran untuk sebuah kolonialisme multikultural. “Kolonialisme memang berdiri dari prinsip perbedaan. Ini yang memungkinkan ia hidup. Namun, kolonialisme tidak akan hidup jika prinsip keadilan ditegakkan. Saya kira transformasi dari masa kolonial sampai hari ini belum sepenuhnya terjadi,” kata Hilmar yang meraih gelar doktor di bidang kajian budaya di National University of Singapore pada 2014. Dari uraian sejarah tersebut, lanjut Hilmar, tampak pula akar ekonomi politik dari multikulturalisme dan kemajemukan. Dalam situasi kekinian, akar ekonomi politik itu juga dapat kita temukan dalam gejala sektarianisme dan fanatisisme. “Sektarianisme dan fanatisisme religius di kalangan kaum miskin perkotaan karena kesenjangan ekonomi yang begitu tajam memicu tumbuhnya harapan akan keadilan Ilahi. Itulah yang menyebabkan mengapa kaum miskin kota dengan cepat mengalami radikalisasi oleh isu agama,” kata Hilmar. Sektarianisme primordial dan puritanisme religius di kalangan kelas menengah atas perkotaan disebabkan oleh persaingan kerja dan alienasi sosial akibat kapitalisme high tech memicu tumbuhnya kebutuhan atas identitas primordial dan cara beragama yang zakelijk . Inilah yang menyebabkan mengapa kelas sosial yang mapan justru menjadi pelaku utama sektarianisme dan puritanisme. Sentimen rasis dan merebaknya kontroversi tentang isu “invasi pekerja Cina” yang begitu cepat diyakini orang-orang. Sumber sesunggguhnya terletak pada ketidakpastian kerja yang merupakan konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal global. “Kemajemukan yang sehat hanya dapat diwujudkan apabila sumber masalah ketidakadilan ekonomi dibereskan terlebih dulu,” pungkas Hilmar.

  • Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika

    ASLINYA dari mana? Begitu biasanya orang-orang memulai percakapan. Pertanyaan ini kadang sulit untuk dijawab. Itu baik hanya untuk sekadar basa-basi maupun benar-benar ingin tahu. “Saya sendiri selalu mengaku sebagai orang Pare karena lahir di sana,” kata Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, mengawali pemaparannya dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lectures XIII-2017 di Auditorium Museum Nasional, Jakarta. Kepulauan Nusantara telah lama menjadi kediaman bagi ratusan populasi etnik dan budaya. Kini jumlahnya paling tidak sudah lebih dari 500 populasi. Penduduknya juga menuturkan lebih dari 700 bahasa yang berbeda. Kenyataan ini sering kali memunculkan pertanyaan: siapa sebenernya manusia Indonesia? Datang dari mana leluhurnya? Sejak kapan mereka mendiami kawasan ini? Secara geografis, kata Herawati, Kepulauan Nusantara berperan penting sebagai penghubung daratan Asia dan Kepulauan Pasifik. Dua model telah digunakan untuk menerangkan migrasi yang kemudian membentuk populasi penghuni Asia Tenggara masa kini. Berdasarkan temuan arkeologi, Asia Tenggara mulai dihuni manusia modern sekira 50.000-70.000 tahun lalu. Studi genetik yang dilakukan oleh konsorsium HUGO-Pan Asia memperlihatkan, semua populasi Asia Timur maupun Asia Tenggara berasal dari gelombang pertama migrasi Out of Africa. Migrasi ini menyusuri jalur selatan sekira 40.000-60.000 tahun lalu. Sementara itu, berdasarkan model Out of Taiwan, penyebaran penutur Bahasa Austronesia terjadi sekira 5.000-7.000 tahun lalu. Baca juga:  Leluhur langsung bangsa Indonesia dari Taiwan Dalam pembentukannya menjadi manusia Indonesia, kata Herawati, secara genetis terdapat empat gelombang migrasi yang berkontribusi. Gelombang awal, nenek moyang datang 50.000 tahun lalu melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda yang ketika itu masih menggabungkan Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaya. Cikal bakalnya, dalam pengembarannya, manusia modern ( Homo sapiens ) dimulai dari Benua Afrika sekira 150.000 tahun lalu. Pada 30.000 tahun kemudian, sekelompok manusia melakukan perjalanan ke utara melalui Mesir dan Israel. Namun, jejak mereka hilang. Kelompok lainnya, sekira 72.000 tahun lalu berpindah ke bagian selatan semenanjung Arab menuju India. “Manusia non-Afrika, termasuk kita, merupakan kelompok keturunan ini,” jelas Herawati. Herawati melanjutkan, pada 40.000 tahun lalu ada dua kejadian migrasi. Ada kelompok yang pindah ke utara dari Pakistan melewati Sungai Indus dan bergerak ke Selat Bering. Inilah para penghuni Benua Amerika yang sebenarnya baru dihuni kurang lebih 15.000 tahun lalu. Jauh lebih muda dari penghuni Kepulauan Nusantara. “Pada jalur lebih muda, memperlihatkan nenek moyang yang berasal dari Afrika Timur pergi ke utara menyebar melalui lembah Sungai Nil, Semenanjung Sinai atau melalui Laut Merah ke Saudi Arabia ke selatan, melewati Indonesia sampai ke Australia,” papar Herawati. Gelombang kedua adalah kontribusi dari Asia daratan. Ini adalah kelompok yang menuturkan Bahasa Astroasiatik. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara dari daratan Asia melewati Semenanjung Malaya. Saat itu, Semenanjung Malaya masih menyatu dengan Pulau Sumatera dan Kalimantan. Gelombang ketiga merupakan ekspansi dari utara. Pada periode sekira 4.000 tahun lalu mereka bermigrasi dari daerah Cina Selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi, dan Kalimantan. Mereka inilah yang membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini terjadi mulai dari Madagaskar hingga ke Pulau Paskah di dekat Amerika. Baca juga:  Nenek moyang penduduk Madagaskar berasal dari Indonesia “Kalau lihat dari bahasanya, bahasa yang kebanyakan dipakai sekarang adalah Bahasa Austronesia. Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” jelasnya. Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah. Ini termasuk periode Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara. Empat gelombang migrasi yang melalui Kepulauan Nusantara itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya keragaman pada masa kini. Tapi seberapa jauh pembauran yang ada? Herawati membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA. Berdasarkan sampel penanda DNA mitokondria yang hanya diturunkan melalui garis ibu, diketahui periode hunian awal di Kepulauan Nusantara berkisar antara 70.000-50.000 tahun lalu. Sementara analisis penanda kromosom Y yang hanya diturunkan dari garis ayah memperlihatkan adanya bukti pembauran beberapa leluhur genetik. “Pembauran makin jelas dengan menggunakan penanda genetik yang ditemukan dalam inti sel, yaitu DNA autosom, yang diturunkan dari kedua orang tua,” jelas Herawati. Baca juga:  Ikuti Proyek DNA: Sebineka Apa Kamu? Penelitian tersebut menguak populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang terungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya. Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo. Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa Austronesia. Baca juga:  Indonesia penutur Austronesia terbesar di dunia “Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas Herawati. Lalu bagimana menjelaskan adanya perbedaan fisik, seperti kulit misalnya? Dia menjelaskan, dalam pengembaraan para nenek moyang hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA. “Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya. Bagaimana kemudian kondisi itu bisa menciptakan warna kulit, bahkan perbedaan jenis rambut, penelitian mengenai itu hingga kini masih berlanjut. Menurut Herawati, melalui penelitian genetika, kita mengetahui migrasi manusia sampai ke Nusantara yang menjadi nenek moyang orang Indonesia. Agaknya tak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Sebab, tak ada pemilik gen murni di Nusantara. “Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika, yang pada awalnya berasal dari Afrika,” tegas Herawati.

  • Tan Jin Sing, Pembuka Jalan Pertama ke Candi Borobudur

    PADA 3 Agustus 1812, Tan Jin Sing bertamu ke rumah Residen Inggris di Yogyakarta, John Crawfurd yang sedang bersama atasannya, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Tan Jin Sing memberi tahu Raffles dan Crawfurd bahwa dirinya sebagai bupati Yogyakarta yang diangkat oleh Sultan Hamengkubuwono III, akan menggunakan nama Secodiningrat. Sultan memberinya gelar Tumenggung, sehingga nama lengkapnya Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat. Raffles menyatakan gelar itu pantas karena Tan Jin Sing berjasa kepada Sultan Hamengkubuwono III. Dia menyerahkan surat kuasa penarikan pajak di daerah Kedua kepada Tan Jin Sing. Selain itu, Raffles juga mengungkapkan ketertarikannya pada candi-candi peninggalan nenek moyang orang Jawa dan ingin menelitinya. Dia telah melihat Candi Prambanan dan akan memerintahkan Letkol Colin Mackenzie untuk meneliti dan memugarnya dengan bantuan dari Crawfurd. Mackenzie berpengalaman dalam hal pengumpulan data geografis, sejarah dan artefak purbakala kala di India. Namun, Mackenzie keburu kembali ke India pada Juli 1813. Tan Jin Sing menanggapi minat Raffles akan candi. “Tan Jin Sing mengatakan bahwa salah seorang mandornya pernah mengatakan bahwa di Desa Bumisegoro deket Muntilan, dia melihat sebuah candi besar. Memang kejadian ini telah puluhan tahun silam ketika mandor itu masih kecil,” tulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta . Raffles langsung tertarik dan meminta Tan Jin Sing pergi ke Bumisegoro untuk melihat keberadaan candi tersebut. Hari minggu, Tan Jin Sing dan mandornya, Rachmat, berangkat naik kereta kuda ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka mengajak warga desa bernama Paimin, sebagai penunjuk jalan. Paimin berjalan di muka, membuka jalan sembari membabat semak belukar dengan parangnya. Setelah menaiki bukit, mereka sampai di lokasi candi. “Menurut Paimin namanya candi Borobudur,” tulis Werdoyo. Keadaannya menyedihkan, tubuhnya ditumbuhi tanaman, bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit, Sekelilingnya penuh semak belukar. Selesai mengamati monumen kuno itu, mereka kemudian kembali. Setelah memberi upah secukupnya kepada Paimin, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat pulang. Sepanjang perjalanan, dia mengutarakan ketakjubannya akan Borobudur kepada Rachmat. Dia menaksir candi itu sudah berumur 1000 tahun dan merupakan peninggalan orang Jawa yang beragama Hindu dan Budha. “Setelah orang Jawa menganut Islam, upacara di candi ditinggalkan sehingga pemeliharaan candi itu terabaikan. Dia juga berpikir tentang orang Belanda yang sudah lebih dari 100 tahun di Pulau Jawa tetapi kurang memberi perhatian pada candi-candi itu. Atas dasar ini dia merasa heran dan kagum bahwa orang Inggris yang justru tertarik pada monumen itu,” tulis Werdoyo. Setiba di rumah, Tan Jin Sing membuat peta lokasi Borobudur dan menulis secara singkat laporan pandangan mata tentang keadaan sekeliling candi. Dalam suratnya, dia mengusulkan supaya diperkenankan membersihkan pepohonan dan semak belukar di sekitar candi, serta membuat akses jalan menuju candi supaya tim yang akan dikirim Raffles tidak kesulitan dalam menelitinya. Laporan itu dikirim kepada Raffles di Batavia. Pada November 1813, Raffles mengirim surat kepada Tan Jin Sing. Dia mengizinkan Tan Jin Sing membersihkan hutan belukar yang menutupi candi dan membuat jalan menuju candi. Dia ingin bertemu dengan Tan Jin Sing di Semarang pada 12 Januari 1814. Setelah itu, dia dan tim ahli purbakala akan meneruskan perjalanan ke Bumisegoro. Setelah membaca surat tersebut, keesokan harinya, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat ke Bumisegoro. Sesampainya di sana, mereka meminta Paimin dan penduduk setempat membersihkan 20 meter sekitar candi. Mereka juga membuat jalan selebar lima meter dari Bumisegoro menuju candi. Pekerjaan harus selesai sebelum akhir Desember 1813. Pagi 11 Januari 1814, Tan Jin Sing dan Rachmat berangkat menuju Semarang. Rachmat turun di Bumisegoro. Tan Jin Sing berpesan kepada Rachmat bahwa lusa dia dengan Raffles dan rombongannya akan meninjau candi Borobudur. Untuk itu, Rachmat diminta tetap tinggal di situ sambil melakukan persiapan. Di Semarang, Tan Jin Sing diperkenalkan kepada Mayor Herman Christian Cornelius, arkeolog berkebangsaan Belanda dan ketiga stafnya. Raffles tidak bisa ikut dengan rombongan karena harus segera ke Surabaya. Keesokan harinya, Tan Jin Sing beserta Cornelius dan stafnya bertolak menuju Bumisegoro. Sesampainya di lokasi candi, Tan Jin Sing berkata kepada Cornelius: “Seperti tuan lihat, candi ini tampaknya berada di atas bukit. Kaki candi ada di bawah tanah, tetapi saya tidak berani menyuruh mandor saya, Rachmat, untuk melakukan penggalian karena khawatir bila tidak dilakukan dengan pengawasan yang cermat, bisa merusak batu-batu yang tertimbun di bawahnya. Di atas candi itu masih ada tetumbuhan. Saya tidak berani menyuruh mencabutnya takut kalau batu-batu itu akan runtuh.” Cornelius mengapresiasi pekerjaan Tan Jin Sing. “Tuan sudah bersihkan tanah dua puluh meter di sekeliling candi. Ini cukup bagus, tetapi saya pikir perlu diperluas hingga lima puluh meter. Siapa yang tuan minta mengerjakan ini?” Tanya Cornelius. Tan Jin Sing meminta Rachmat dan Paimin mengerahkan penduduk untuk memperluas areal yang dibersihkan sampai lima puluh meter. Setelah pekerjaan itu selesai, Cornelius dan stafnya mulai bekerja melakukan pengukuran dan membuat gambar. Cornelius menargetkan pekerjaannya selama dua bulan. Frederik Coyett boleh jadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Borobudur pada 1733 dan mencuri sejumlah patung. Begitu pula dengan Raffles yang berperan dalam menugaskan Cornelius dan stafnya untuk melakukan penelitian di candi Borobudur. Namun, pembuka jalan pertama ke Borobudur adalah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing dibantu mandornya, Rachmat dan Paimin serta penduduk setempat. Tan Jin Sing atau Raden Tumenggung Secodiningrat menjabat bupati Yogyakarta sampai meninggal pada 10 Mei 1831. Namanya sempat diabadikan menjadi Jalan Secodiningratan, namun kemudian diganti menjadi Jalan P. Senopati.

  • Soeharto Meminta Bantuan CIA

    TELAH diketahui umum bahwa CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) membantu Angkatan Darat dalam menumpas PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Kita mengetahuinya dari sumber-sumber CIA dan pengakuan agen-agennya. Sedangkan dari pihak Angkatan Darat hampir tidak ada pengakuan sampai seorang jenderal mengungkapkan bahwa dirinya diperintahkan oleh Mayjen TNI Soeharto untuk menghubungi CIA, para duta besar asing, dan perusahaan-perusahaan besar.

  • Damai Sebagai Jalan Keluar

    Mulanya nama dara cantik ini lebih dikenal di atas panggung catwalk. Namun beberapa tahun terakhir Olga Lydia justru lebih dikenal sebagai artis sinetron dan presenter. Bahkan, saat pesta rakyat menyambut presiden baru Joko Widodo, Olga turun tangan dan bergabung dalam Tim Nasional Syukuran dan Selamatan Rakyat. Finalis Wajah Femina 1994 ini memang serba bisa. Dia piawai berakting film dengan beragam genre. Sebagai pembawa acara, dia luwes masuk ke segala acara. Dari gaya hidup, olahraga, hingga parodi politik. Diam-diam Olga Lydia mengidolakan sosok Mahatma Gandhi, “Bapak Negara India”. Mohandas Karamchand Gandhi lahir di Porbandar, Gujarat, sebelah barat India, pada 2 Oktober 1869. Gandhi berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya perdana menteri di negara bagian tersebut, dan banyak kerabatnya bekerja untuk pemerintah kolonial Inggris. Di masa dewasa, Gandhi menentang kolonialisme Inggris. Ajarannya berupa protes tanpa kekerasan, Ahimsa, memberi pengaruh luar biasa. Akibatnya, Inggris pun hengkang. Olga Lydia bicara tentang tokoh idolanya di sesela aktivitasnya sebagai pembawa acara pemutaran perdana film Senyap atau Look of Silence karya Joshua Oppenheimer di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Kapan mula mengagumi sosok Mahatma Gandhi? Gara-garanya saat saya menonton film berjudul Gandhi. Saya melihat dia tokoh luar biasa, yang dilahirkan dan menciptakan dirinya sendiri sebagai orang istimewa. Kenapa Gandhi? Dia, kalau boleh dibilang, bapak bangsa-nya India. Meski terlahir dari keluarga bangsawan, ternyata dalam perjalanan hidupnya, dia mampu berdiri paling depan dalam menentang kolonialisme. Dia menentang penjajahan, seperti Inggris yang kala itu menguasai India. Apa yang menarik dari perjuangan Gandhi? Dari cara dia menentang penjajahan, yaitu dengan cara damai. Bisa dibayangkan, Inggris yang kuat bisa hengkang dari India, dengan cara-cara damai yang disebar Gandhi. Dari tokoh ini saya banyak belajar bahwa selalu ada cara-cara damai untuk menyelesaikan masalah yang sedemikian besar. Adakah ucapan Gandhi yang melekat di ingatan Anda? Jika ucapannya, seingat saya, kalau tidak salah, bahwa derajat suatu bangsa dapat dinilai dari cara pandang terhadap binatang. Saya pikir ini benar juga. Di negara yang sudah maju, binatang-binatang bisa hidup berdampingan dengan manusia tanpa ada rasa takut untuk diburu. Burung bebas hinggap di mana pun ia suka. Nah, di Indonesia, belum sampai. Masih banyak orang berburu burung hanya untuk kesenangan. Apa sisi kelemahan pada dirinya? Saya belum menemukan kelemahannya. Mungkin sikap keras kepala. Tapi itu kan saat menentang kolonialisme Inggris. Dia keras kepala untuk tidak tunduk kepada penjajah.

  • Logistik

    HIRUK pikuk arena politik seakan tak pernah ada habisnya. Dari ratusan perhelatan pemilihan kepala daerah di negeri ini hanya Jakarta yang jadi panggung tempat pentas politik paling ramai dibicarakan. Siaran televisi, media cetak sampai media sosial membahasnya seakan Jakarta adalah Indonesia dan Indonesia hanya Jakarta. Saling serang antar pendukung persis tawuran kata-kata di media sosial. Isu yang diperbicangkan meluas mulai soal banjir, kemacetan, fasilitas sosial, penggusuran sampai soal agama yang berpotensi menimbulkan konflik. Dari sekian isu yang menjadi tema pembicaraan, ada satu hal yang pula selalu jadi bahan pembicaraan: logistik. Entah sejak kapan istilah yang merujuk kepada ketersediaan duit itu mulai digunakan. Menjelang perhelatan pemilihan kepala daerah secara serentak pada 15 Februari 2017 istilah tersebut kian sering terdengar. Ketersediaan logistik dari pasangan calon kepala daerah jauh lebih menarik diperbincangkan ketimbang program kerjanya. Bahkan di beberapa daerah isu kekuatan logistik dari pasangan calon kepala daerah dijadikan ukuran untuk memenangkan pertarungan. Misalnya di Banten, wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, desas desus tentang kekuatan duit lebih menentukan dari soal apapun. Dugaan itu diperkuat oleh hasil survey SMRC yang menyebutkan bahwa 70 persen warga provinsi di ujung barat pulau Jawa itu permisif terhadap money politic . Uang jadi faktor penentu kemenangan pada masyarakat bawah yang memang terbelit oleh masalah kebutuhan hidup sehari-hari. Isu-isu penting seperti korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih hanya jadi konsumsi masyarakat kelas menengah. Jika demikian apakah sebetulnya yang sedang terjadi pada era demokrasi elektoral ini? Apabila analisis historis bisa diajukan sebagai alternatif memahami kekinian kita, maka hiruk pikuk demokrasi dengan segala macam problematikanya kemungkinan berakar jauh ke masa silam. Sebelum angin kebebasan politik berembus, kita semua tahu Orde Baru membatasi jumlah partai politik menjadi tiga sebagai hasil fusi partai politik pada 1973. Hanya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai bercorak Islam, Golongan Karya partainya penguasa dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mewakili kelompok nasionalis. Sementara itu keterlibatan rakyat di dalam politik didesain sedemikian rupa agar tak terlalu aktif bahkan cenderung dijauhkan kecuali lima tahun sekali untuk urusan Pemilu. Kebijakan massa mengambang berhasil menjadikan rakyat apolitis, tak terlibat pada urusan-urusan politik. Pengekangan kebebasan sedikit memberikan peluang kepada rakyat untuk kritis melihat kebijakan pemerintah. Setelah Soeharto lengser pada 1998, segera keadaan berubah. Partai politik bermunculan dalam sistem demokrasi elektoral. Ideologi tak lagi sekaku pada era perang dingin. Malah seringkali bersifat transaksional untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang hendak diraih oleh partai politik. Ideologi yang kaku mendadak tampak menjadi usang. Kelenturan jauh lebih ditekankan untuk alasan eksistensi partai di atas panggung politik. Sementara itu masyarakat yang semua apolitis bahkan dibuat jauh dengan urusan politik secara formal, mendadak terseret arus politik elektoral. Partai politik membutuhkan massa, sementara massa yang apolitis disodori berbagai macam pilihan dari partai politik, baik dalam masa pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan eksekutif. Maka dalam masa-masa seperti ini, gagasan-gagasan besar hanya jadi materi kampanye. Masyarakat yang sudah dihimpit persoalan sehari-hari dan terlalu banyak dipermainkan dalam setiap perhelatan demokrasi terjatuh dalam pilihan yang pragmatis. Maka terciptalah logika pasar dalam praktik demokrasi elektoral, di mana politikus berperan sebagai pembeli dan rakyat sebagai penjual suara. Maka wajar kekuatan logistik dalam keadaan seperti ini menjadi hal yang cukup menentukan. Sedangkan masyarakat mendapat julukan “pemilih profesional” yang menentukan pilihannya berdasarkan seberapa besar uang yang diterimanya. Jika demikian, akan sesuram apakah demokrasi di Indonesia? Mungkin kelak puluhan tahun ke depan para sejarawan generasi baru akan bisa memberikan jawabannya.*

  • Digulung dan Disingkirkan

    SIAPAKAH sebenarnya Raden Saleh, perupa yang karyanya berjudul Boschbrand  (kebakaran hutan) sempat menimbulkan keheranan karena telah dijual secara tidak menguntungkan oleh para cucu Ratu Juliana? Aneh juga kalau pelukis yang terkenal dan banyak dipuji di pentas internasional dengan karya-karya yang sekarang bernilai sampai jutaan dolar, justru bukan nama yang dikenal pada setiap rumah tangga Belanda. Kembali meningkatnya penghargaan terhadap karya-karya Raden Saleh terjadi berkat jasa pengamat seni Prancis dan terutama Jerman yang begitu fanatik memujanya. Mereka berhasil mengorbitkan Raden Saleh pada pentas internasional sebagai salah satu seniman besar abad 19, tanpa secuilpun keterlibatan Belanda. Itu jelas janggal.

bottom of page