Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Elizabeth Ida dan Gambar yang Bicara
GAMBAR beringin, mozaik orang baris-berbaris, lelaki berpeci dengan mata menyalang, monumen Lubang Buaya, yang terbingkai dalam satu poster foto, menyambut pengunjung di ruang pamer Kedai Tempo, Jalan Utan Kayu 68 H-Jakarta. Poster foto itu tidak sendiri, masih ada empat instalasi video dan sepuluh karya fotografi di sana, yang tersaji dalam pameran tunggal Elizabeth Ida Mulyani dengan tajuk "De/Re Konstruksi 1965, Sejarah Siapakah?" yang dikuratori oleh Joachim Naudts. Pada sudut ruangan, terpampang 24 potongan foto seukuran kartu pos dari film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer, mulai dari penjemputan jenderal, tentara yang menembak, hingga ekspresi pada jenderal yang akan dieksekusi. “Bagian itu saya sebut sebagai aspek konstruksi. Memang saja sajikan film tersebut menjadi potongan gambar. Dengan membekukan film menjadi gambar, maka akan terlihat propaganda kebohongan di sana. Ada momentum kita menyadari sesuatu dalam gambar beku semacam ini. Konstruksi ini bisa kita andaikan kita dalam satu rumah, dan kita harus mengikuti apa yang ada dalam rumah itu,” ujar Elizabeth Ida. Lalu persis di bawah potongan foto diletakkan dua buku berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia , yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, dan buku Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis karya Alex Dinuth. Kemudian, terdapat dua video wawancara dengan beberapa eksil yang tinggal di Amsterdam, Belanda. Selain dua video wawancara ini, Elizabeth juga menyajikan delapan foto dari ekspresi para eksil. Ida mengaku, baru mengenal para eksil itu pada tahun 2012, atas perantraan temannya yang ada Amsterdam. Ia pun tersadar, bahwa ada kisah lain tentang seputar peristiwa 1965. Berangkat dari kesadaran ini, ia pun membuat janji bertemu dengan para eksil dan membuat dokumentasi dalam bentuk foto dan video. Dan tantangan saat menggarap dokumentasi wawancara itu, tak semua eksil bersedia ia dokumentasikan. “Di sinilah dekonstruksi itu. Ada rumah baru dalam memahami persoalan tersebut. Ada eksil yang bercerita. Ada ekspresi mereka. Dan nanti akan muncul kesadaran, oooh ternyata kita selama ini dibohongi,” terang Ida kemudian. Dekontruksi tersebut, lanjut Ida, merupakan proses menggugat konstruksi sejarah yang sudah sedemikian mengakar kuat, dengan jalan melihat sejarah dari sisi lain, yang dikelamkan sejak peristiwa 1965 meletus, bahkan hingga hari ini. Aspek dekonstruksi dalam pameran ini ditampilkan Ida dalam materi karya berjudul ‘Supervivere’. Selanjutnya, pada aspek rekonstruksi, Ida menyajikan dua karya, yaitu berjudul ‘Indonesia Sejak Saat Itu’ dan instalasi video berjudul ′Bunuh′. Rekontruksi merupakan visualisasi pemahaman yang dihasilkan dari ruang pikiran sebelumnya sekaligus merupakan proses pemerdekaan dari konstruksi yang dipaksakan sebelumnya. Pada pameran itu, Ida ingin membuat ruang narasi alternatif. Sebab, menurutnya, banyak narasi utama yang ada saat ini yang ternyata tidak benar. Namun, ia juga enggan terjebak dengan membuat karya seni yang berisi kontra propaganda. “Yang hendak dilakukan Ida dalam pameran ini adalah dekonstruksi adalah susunan simbol. Dan, tidak hanya dekonstruksi, melainkan juga detraumatisasi yang dialami para penyintas,” ujar Ito Prajna Nugroho, pembicara diskusi dalam rangkaian pembukaan pameran, sore itu (20/02). Media visual artistik dalam karya-karya Ida, lanjut Ito, seperti menerangi ruang gelap politik yang sulit diterobos. Mengenai proyeksi kedepan, Ida mencoba akan menambah kekayaan eksplorasi karya seninya dengan mennggandeng sejarawan dan antropolog, serta menggunakan beragam media seni macam komik hingga atraksi kesenian.*
- Hari Ini Adalah Hari Kematian Tan Malaka
PADA 21 Februari 1949 Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah itu datang dari Letda. Soekotjo, yang menurut sejarawan Harry Poeze, “Orang kanan sekali yang beropini bahwa Tan Malaka harus dihabisi.” Pengujung kisah hidup Tan Malaka dimulai ketika dia dibebaskan dari penjara di Magelang, 16 September 1948. Sekeluarnya dari penjara, dia mencoba kembali mengumpulkan pendukungnya dan menggagas pendirian partai Murba pada 7 November 1948. Partai ini berasaskan “antifasisme, antiimperialisme dan antikapitalisme”. Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi IndonesiaJilid 4 . Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949. Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. “Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.” Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik. Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.” Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya. Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.” Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek ( Gerilya, Politik, Ekonomi ) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia. Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek . Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukotjo. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze. Setelah sejarawan asal Belanda itu berhasil menemukan makam Tan Malaka, untuk membuktikan apakah jasad yang dimakamkan di Selopanggung itu Tan Malaka, sekelompok dokter ahli forensik dari Universitas Indonesia telah mengambil sampel DNA dari keluarga Tan Malaka untuk dicocokan dengan DNA jasad yang ada di makam. Namun, hingga hari ini hasilnya belum bisa dipastikan cocok 100 persen. Namun, Harry Poeze, berdasarkan data-data yang dia peroleh, meyakini jasad di kuburan Selopanggung itu adalah Tan Malaka. Dia berharap jenazah Tan Malaka bisa dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata sebagai wujud penghormatan kepada Tan Malaka.*
- Mantra Sakti Sang Dalang Wayang
WAYANG, bagi orang Jawa, merupakan pertunjukan sakral. Maka, dalam setiap pertunjukannya, harus lancar tanpa halangan. Kelancaran pertunjukan, tentu saja melibatkan dalang sebagai empunya pagelaran. “Pertunjukan wayang kulit yang sesungguhnya adalah pertunjukan bayangan, Sang Dalang adalah personifikasi atau bayangan Tuhan itu sendiri, karena ‘Dia’ lah yang menggerakan kehidupan atau ‘cerita’ kehidupan ini,” kata Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa Universitas Indonesia. Seorang dalang tidak hanya mempersiapkan hal yang kasat mata, namun juga waspada terhadap gangguan yang tak kasat mata. Gangguan atau bahaya ini, tulis W. H. Rassers dalam Over den zin van Het Javaansche Drama (Makna dari Lakon Wayang Jawa), misalnya rubuhnya panggung wayang dan menimpa dalang. Dan untuk menangkal gangguan tak kasat mata, dalang memiliki mantra khusus. Pengucapan mantra ini, dilakukan selama masa persiapan hingga saat pertunjukan akan dimulai. Setidaknya, ia perlu mendaras lima macam mantra. “Aum awignam astu sing lelembut pedhanyangan sira ing kang kekiter kang semara bumi bujang babo kabuyutan. Allah rewang-rewangana aku, katekana sasedyaku, katurutana sakarepku. Umat lanang umat wadon, andhedulu marang aku, teka demen teka asih, asih saking kersane Allah, ya hu Allah, ya hu Allah, ya hu Allah,” tulis Ki Slamet Sutrisno dalam ‘Pedhalangan Jangkep’ seperti dikutip dari Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta karya B. Sularto dan S. Ilmi Albiladiyah. Dalam mantra pertama, dalang menyapa lelembut atau dhanyang yang ada disekitarnya. Menyapa dhanyang atau lelembut ini penting, sebab, tulis Frans Magniz Suseno dalam Etika Jawa , alam asli atau alam kasar bagi orang Jawa adalah buas, angker, penuh dengan roh tidak dikenal. Dari situ, si dalang berjalan menuju rumah penanggap wayang. Sesampai dipanggung, ketika duduk didepan layar, ia mengucap mantra kedua. Kali ini, mantranya ditujukan kepada penonton yang sudah bersiap, supaya tenang dan tak beranjak dari tempatnya hingga pagelaran usai. Mantra ketiga dan keempat diucapkan bersusulan, yaitu ketia ia membetulkan blencong –lampu minyak penerang layar- dan saat ia memukul kotak wayang pertama kali. Gending berbunyi. Dalang mengangkat gunungan ditengah layar, kemudian perlahan diturunkan kembali. Cempurit (pegangan kayu) diletakkan di pangkuan, lalu ujung gunungan ditaruh dipinggir kotak sambil dipijit-pijit. Saat memijit gunungan itu, tulis Darmoko dalam laporan penelitian berjudul Unsur Mantra Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa , dalang mengucap mantra pamungkas. “Mumangungkung awakku kadya gunung, kul kul dhingkul, rep rep sirep, wong sabuwana teka kedhep, teka lerep, teka welas teka asih, asih saking kersane Allah,” seperti dikutip dalam Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta . Pagelaran pun dimulai. Mantra dalam wayang kulit berupa struktur kata-kata dengan mencampurkan beberapa bahasa. Percampuran bahasa tersebut biasanya berisi bahasa Sansekerta, Jawa Kuna dan Jawa Baru. Disini, pengulangan kata atau larik, catat Abdul Rozak Zaidan dalam Kamus Istilah Sastra , termasuk ciri mantra yang paling menonjol. Mantra atau doa, catat Darmoko dalam laporan penelitiannya, yang diucapkan sejak awal pertunjukan dapat menimbulkan kekuatan batin bagi dalang. “Oleh karena itu dengan berdoa yang ditujukan tentunya pasti kepada Sang Hyang Tunggal/Sang Hyang Tan Ana akan selamat kepada tujuannya yaitu menyampaikan makna atau amanat kemenangan kubu kebaikan melawan keburukan,” tulis Prapto Yuwono dalam surelnya kepada Historia . Kekuatan batin itu menjadi bekal bagi dalang untuk menuntaskan pagelaran semalam suntuk, yang dimulai sekira pukul 21.00 sampai 05.00, dan jangan sampai pertunjukannya molor hingga fajar ( karahinan ) atau selesai sebelum waktunya ( kebogelen ).
- Preman Medan dari Zaman ke Zaman
BEBERAPA waktu lalu, kota Medan terasa mencekam. Di kota penghasil penganan Bika Ambon itu, dua organisasi pemuda tersohor terlibat bentrok: Pemuda Pancasila (PP) versus Ikatan Pemuda Karya (IPK). Aksi anarkis berdarah pecah di Jalan Thamrin, 31 Januari 2016, yang menjadi kawasan pertokoan orang-orang Tionghoa. Seorang ketua ranting IPK tewas dikeroyok dan ditombak anggota PP. Bentrokan meluas ke sejumlah kawasan dalam kota. Pasca tragedi itu, status kota Medan siaga satu. Di Medan, sudah menjadi rahasia publik jika dua organisasi ini merupakan perkumpulan para preman. Preman. Kata itu begitu identik dengan kota Medan. Reputasi preman telah bermula sejak zaman kolonial Belanda di awal abad 20. Mereka adalah kuli non-kontrak atau tenaga lepas yang dibayar harian. Tuan-tuan kebun Belanda ( Planters ) yang menjadi penguasa tanah Deli menyebutnya “ Vrije Man” yang berarti orang bebas. Meski dipekerjakan, para Vrije Man acap kali menjadi gangguan bagi tuan kebun Belanda dalam menjalankan usahanya. Menurut Kompas , 30 November 1986, Vrije Man muncul sebagai pembela kuli kontrak asal Jawa, Tionghoa, dan India yang disiksa mandor kebun atas perintah tuan kebun. Beraneka keresahan ditebarkan oleh Vrije Man . Merusak tanaman kebun, minum-minum sampai mabuk dan memancing keributan, hingga menantang berkelahi merupakan cara Vrije Man unjuk taji terhadap penguasa kebun. Sebagai tanda balas jasa, para Vrije Man digratiskan untuk mengambil makanan dan minuman di warung. Dari konteks inilah istilah Vrije Man berubah menjadi “preman”. “Ia menjadi akronim untuk ‘pre minum dan makan’. Pre disingkat dari prei yang asalnya dari vrije . Bebas minum dan makan,” tulis Kompas . Di masa mempertahankan kemerdekaan, preman turut serta dalam perjuangan revolusi. Peristiwa Jalan Bali pada Oktober 1945 menjadi salah satu medan juang preman Medan melawan penjajah. Di masa ini, kelompok preman pejuang yang paling terkenal adalah Laskar Naga Terbang pimpinan Timur Pane. “Anggota-anggota dari pasukan Naga Terbang ini kebanyakan dari anak-anak Medan, yang mulanya berasal dari jagoan-jagoan kota Medan yang dibina oleh Matheus Sihombing,” tulis Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara . Memasuki tahun 1950-an, eksistensi preman masih cukup diterima di tengah masyarakat. Wali Kota Medan, Haji Moeda Siregar (menjabat 1954-1958) bahkan pernah memberikan penghargaan kepada preman. Saat itu, preman Medan berperan mendamaikan perkelahian antarsuku yang terjadi antara pemuda Aceh dengan pemuda Batak. Preman juga membantu menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang mengalami pencurian atau perampokan. Preman akan mencari pimpinan copet dan rampok setempat agar barang-barang yang dicuri lantas dikembalikan kepada pengadu. Pada masa pemerintahan Sukarno, preman terhimpun ke dalam organisasi pemuda bernama Pemuda Pancasila. Pemuda Pancasila didirikan sebagai organisasi sayap Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang dibentuk Jenderal Abdul Haris Nasution pada 28 Oktober 1959. Pemuda Pancasila secara formal diresmikan dalam kongres IPKI tahun 1961. “Pemuda Pancasila dihadirkan untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 ketika banyak kelompok pemuda saat itu beralih mendukung Nasakom,” tulis Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto′s Order” dalam Violence and The State in Suharto′s Indonesia suntingan Ben Anderson. “Ketika Presiden Sukarno menyerukan mobilisasi umum untuk pembebasan Irian Barat, Pemuda Pancasila mendukungnya dengan mempersiapkan diri bertempur sebagai milisi,” tulis Ryter. Mereka tergabung ke dalam front Pasukan Djibaku Irian Barat (PDIB). Effendi Nasution alias Pendi “Keling”, adalah preman legendaris dan mantan petinju yang dikenal sebagai pemimpin Pemuda Pancasila kota Medan. Menurut Pendi Keling, mencuri, merampok, dan tindak kejahatan lainnya haram bagi preman. “Banyak cara terhormat, yang penting preman itu bukan bandit. Misalnya, menjaga keamanan bandar dan arena perjudian, menjadi pengawal pengusaha kaya, menjaga pusat-pusat keramaian dan bioskop. Dan sesekali mendapat order memukuli jagoan pengusaha lain,” kata Pendi Keling menjelaskan cara preman menghidupi diri, dikutip Kompas . Pada nyatanya, prahara 1965 menandai penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan oleh preman. Di Sumatera Utara, oknum preman dalam Pemuda Pancasila menjadi pelaku penjagalan kaum komunis. Mereka membersihkan orang-orang yang berafiliasi dengan PKI sampai ke akar-akarnya. “Semua sayap PKI menjadi target mereka: Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan lembaga masyarakat Tionghoa (Baperki),” tulis Ryter. Seiring waktu, di Medan makin banyak preman yang tergabung dalam perkumpulan berbasis organisasi kelompok pemuda. Aktivitasnya pun kian rapat dengan dunia kriminal. Pertarungan dan bentrokan antarorganisasi pemuda kerap kali terjadi. Mulai dari masalah sepele hingga rebutan lahan keamanan bisa memicu kerusuhan anarkis. Dari pertikaian antarpreman yang banyak terjadi, tak pelak, masyarakat sipillah yang paling dibuat resah. Pada paruh kedua tahun 1980, premanisme menjadi satu dari 53 jenis kejahatan yang setiap 24 jam harus dilaporkan Polda Sumatera Utara ke Mabes Polri.*
- Tsunami Dahsyat Menerjang Ambon
Hari ini dalam sejarah, 17 Februari 1674, gempa bumi mengguncang Ambon dan sekitarnya, disusul tsunami dari Laut Banda. Ia menjadi gempa dan tsunami tertua di Indonesia yang tercatat dengan detail oleh seorang naturalis, Georg Everhard Rumphius (1627-1702), pada 1765. Selama hampir 50 tahun Rumphius tinggal di Ambon, di mana dia menikmati pekerjaannya sekaligus tragedi karena bencana alam itu. “Tanggal 17 Februari 1674, Sabtu malam, sekitar 07:30, di bawah bulan yang indah dan cuaca tenang, seluruh provinsi kami –yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, meskipun terutama dua yang pertama disebutkan– menjadi sasaran guncangan mengerikan yang diyakini kebanyakan orang bahwa Hari Penghakiman telah datang,” tulis Rumphius dalam Amboina . Hari itu, suasananya tengah meriah karena orang mengikuti perayaan Tahun Baru Tionghoa. Gempa mengakibatkan 75 bangunan milik orang Tionghoa, ambruk. Korban jiwa mencapai 79 orang, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius, janda sekretaris Johannes Bastinck, serta empat orang Eropa. Sedangkan 35 orang luka serius di lengan, kaki, dan kepala. Gempa kemudian disusul oleh tsunami dahsyat di Laut Banda. Ini adalah megatsunami yang sampai sekarang belum ada tandingannya di Indonesia karena tinggi gelombang mencapai 80 meter. “Tsunami ini menyapu hampir seluruh pulau dan menyebabkan lebih dari 2.000 orang meninggal,” kata Edward A. Bryant, peneliti dari Universitas Wollongong, Australia, dikutip Gatra , 5 Juli 2006. “Semua orang berlari ke tempat lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, di mana mereka bertemu dengan Gubernur. Dia memimpin doa di bawah langit yang cerah sambil mendengarkan bunyi ledakan seperti meriam di kejauhan, terutama terdengar dari utara dan barat laut,” tulis Rumphius. Rumphius mencatat korban akibat tsunami mencapai 2.243, termasuk 31 orang Eropa. Dalam bencana alam ini ada keajaiban. Tiga hari pasca gempa seorang bayi Tionghoa berumur sebulan ditemukan masih hidup di bawah reruntuhan. Dia dipelukan ibunya yang mati.
- Sesaji Sebelum Candi Berdiri
CANDI merupakan banggunan penting bagi masyarakat Hindu Budha di Nusantara. Ia menjadi tempat pemujaan para dewa. Dalam membangun bangunan suci itu ada benda-benda yang ditanam yang disebut peripih . “Ada yang disebut dengan peripih . Itu sesuatu yang ditanam. Sampai masa yang lebih modern di Jawa dan di Bali ada kebiasaan menanam ( pendeman ) untuk bangunan suci. Ini cara untuk menarik energi alam semesta yang positif,” jelas arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djaliati Sri Nugrahani kepada Historia . Djaliati menjelaskan bahwa peripih adalah benda-benda yang diletakkan dalam satu wadah. Wadah ini yang kemudian akan ditanam oleh para pembangun candi di tempat-tempat tertentu di dalam candi. “Jangan salah kaprah, peripih itu isinya, bukan kotak atau wadahnya, wadahnya namanya kotak peripih ,” tegasnya. “Bendanya bermacam-macam, ada yang disebut nawaratna atau sembilan permata, ini mewakili delapan dewa di penjuru mata angin, lalu ada pula yang diisi biji-bijian. Kalau di Bali kan ada misalnya yang memendam kepala kerbau.” Menurutnya, pemilihan benda itu tergantung dari tujuan pembangunan candi. Misalnya, untuk candi yang diperuntukkan memuja kesuburan, maka peripih akan berwujud biji-bijian. Sementara yang berupa nawaratna biasanya khusus untuk pemujaan dewa. Lebih lanjut, berdasarkan letaknya, bervariasi. Paling umum ditemukan di sumuran candi berupa rongga memanjang seperti sumur, di bawah arca perwujudan, dalam bilik candi. “Tidak bisa digeneralisir, bisa juga di pinggir-pinggir pintu masuk, atau di bawah kemuncak,” papar dosen yang biasa dipanggil Nia itu. Sementara, R. Soekmono dalam disertasinya, Candi, Fungsi, dan Pengertiannya menulis, peripih diartikan sebagai wadah zat inti kedewaan dari Sang Dewa. Peripih bisa ditemukan baik pada candi Hindu maupun candi Budha. “ Peripih adalah wahana kehadiran dewa. Ia dianggap lebih penting dari arca yang hanya representasi dari bentuk luar sang dewa,” tulisnya. Soekmono juga melengkapi pembahasannya soal abu yang sering ditemukan sebagai pendaman di dasar candi. Menurutnya ini yang sering mengecoh masyarakat, bahwa candi adalah makam. Kenyataannya, abu itu bukan abu manusia (raja), tetapi abu binatang yang dijadikan korban. “ Peripih memberi hidup pada candi, memberi benih agar garbhagrha (bilik candi, red ) mempunyai kekuatan dan esensi dewa yang dipuja dan yang arcanya ada di garbhagrha itu,” tulis Edi Sedyawati dalam Candi Indonesia: Seri Jawa .
- Ketika Penguasa Menindas Anak Jalanan
ANTO Baret, pendiri Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ), ingat betul suasana represif semasa pemerintahan Orde Baru. Bagi dia dan anak-anak jalanan, suasana tersebut makin terasa berat lantaran adanya pandangan miring sebagian masyarakat terhadap anak jalanan. Sejak naik ke panggung kekuasaan pada 1966, Orde Baru berusaha mengubah hampir semua tatanan kehidupan yang telah ada untuk tujuan melanggengkan kekuasaannya. Celah-celah yang berpotensi mengancam kekuasaannya, disumpel. Menurut Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas , ada tiga hal yang amat dikendalikan kalau tidak diberangus penguasa: daya kritis, daya kreatif, dan sikap fundamentalisme. Akibatnya, praktik berkesenian yang tak sesuai kehendak penguasa jadi langganan pencekalan. Seringkali aparat yang melakukan pencekalan melakukannya dengan kekerasan fisik. Intimidasi bukan main banyaknya, ia jadi pemandangan sehari-hari. Anak-anak jalanan seperti Anto Baret salah satu yang paling menderita. Stigma miring terhadap mereka saja amat membatasi gerak, terlebih bila dikaitkan dengan aturan-aturan lain. Jangankan leluasa berkarya, keberadaan mereka pun kerap jadi sasaran “penghapusan”. Salah satu peristiwa yang Anto ingat betul adalah ketika dia dan teman-temannya di KPJ, dan dibantu oleh seniman-seniman lain yang biasa mangkal di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan atau biasa disebut Gelanggang Bulungan, membuat sebuah acara untuk merayakan ulangtahun pertama KPJ, 20 Agustus 1982. Setelah mendapatkan izin gedung –auditorim, yang berada di dalam kompleks gelanggang– dari pengelola, panitia mengurus izin ke kepolisian. Hal itu ternyata tak mudah meski mereka sudah mondar-mandir. Hingga beberapa jam sebelum jadwal pembukaan acara sesuai yang ditetapkan dalam rundown , izin tersebut tak kunjung tiba. Panitia lalu memutuskan bahwa acara bartajuk “Aksi Ngamen ‘82” itu tetap akan dihelat. Sebagai langkah antisipasi, mereka juga menetapkan satu aksi yang bakal dilakukan bila aparat kepolisian datang. Saat acara dimulai pada pukul 19.30, gedung telah penuh orang. Promosi dari mulut ke mulut yang mereka lakukan amat efektif. Kegairahan makin menjadi-jadi ketika penampil kedua, Brins Bresley, naik ke panggung. Di tengah lagu yang sedang dibawakan Brins Bresley itulah polisi datang. Salah seorang rekan mereka mengabarkan bahwa polisi sudah memasuki gerbang gelanggang. Anto Baret dan Yoyik Lembayung beserta beberapa rekan lalu menghadapi polisi yang mencoba membubarkan acara itu. “Kalau adik-adik memberhentikan pertunjukan saat ini juga, kami tidak akan mengambil tindakan kekerasan,” demikian kata komandan polisi sebagaimana ditirukan Anto kepada Historia . Lantaran bingung, termasuk setelah menjelaskan kepada polisi bahwa acara itu merupakan syukuran hari jadi, Anto lalu bertanya kepada polisi-polisi itu. “Memang kenapa, Pak, salah kita apa?” tanyanya. Tanpa menjawab, salah seorang polisi lalu menyetel lagu-lagu mereka sewaktu mengamen yang oleh aparat dianggap kritis terhadap penguasa. Rupanya, aktivitas mereka sewaktu mengamen tak luput dari intaian intel. “Ada yang merekam, ada intelnya itu,” sambungnya. Di dalam auditorium, Neno Warisman langsung mengambil alih keadaan. Setelah naik ke panggung, dia memimpin orang-orang di dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya . Polisi-polisi yang ada di dalam pun mau tak mau ikut bernyanyi. Suasana berjalan khidmat. Begitu selesai, “Neno Warisman mengucapkan terima kasih pada hadirin bahwa acara sudah selesai,” tulis buku Catatan Seperempat Abad Kelompok Penyanyi Jalanan: Jakarta 1982-2007 . Semua orang pun keluar gedung. Banyak yang langsung ke luar GR Bulungan, tak sedikit pula yang meriung bareng polisi di luar. Iwan Fals, yang datang telat, hanya bisa bingung melihat banyaknya orang yang berkumpul bareng polisi di luar auditorium. Dia lalu ikut nimbrung. “Udah langsung saya tinggal aja ke pasar kaget,” kenang Anto menjelaskan upayanya untuk menghindari urusan lebih rumit yang bakal datang dari aparat keamanan. “Kayak gitu sudah biasa dulu jaman Pak Harto.”
- Soeharto-Hartinah, Kisah Romansa Anak Desa
SUATU hari di tahun 1947, Prawirohardjo dan istrinya datang ke Wuryantoro, Wonogiri, 40 kilometer ke arah tengara Solo untuk mengunjungi sanak saudaranya di sana. Keponakan sekaligus anak angkat mereka, Soeharto, datang menemuinya. Membincangkan berbagai hal, termasuk menanyakan rencana apa yang akan dilakukan Soeharto ke depannya.
- Cinta Hoegeng-Mery Bermula dari Sandiwara Radio
SAIJAH, lelaki yang menjadi tunangan seorang gadis Banten, Adinda merantau ke Batavia karena kerbaunya dirampas penguasa. Beberapa lama kemudian dia rindu kembali pulang ke kampungnya di Desa Badur, Lebak. Dia berharap bisa menemui Adinda dan menikahinya segera. Namun tragis, dia mendapati kampungnya telah porak poranda oleh serbuan Belanda. Saijah juga tidak bisa bertemu Adinda. Kabarnya Adinda pergi melarikan diri bersama keluarganya dan beberapa penduduk kampung ke Lampung terus melawan penyerangnya. Besarnya cinta Saijah membuatnya ingin menyusul Adinda. Dia ke Lampung untuk ikut bertempur melawan Belanda. Sayangnya, di sana dia justru kembali menemukan kampung yang hancur terbakar karena serangan penjajah. Dalam huru-hara itu, dia mendapati Adinda mati dengan tragis bersama keluarganya. Dengan sedih, Saijah berupaya melawan sisa-sisa serdadu yang masih ada. Namun, dia justru menjemput ajalnya di tempat itu. Saijah pun mati di tangan penjajah. Setelah diterbitkan tahun 1860, kisah tragis percintaan Saijah dan Adinda yang ada di dalam Max Havelaar karya Multatuli itu mulai dikenal luas. Melalui radio Angkatan Laoet, Darat, dan Oedara (ALDO), fragmen kisah ini pernah pula disadur menjadi naskah sandiwara radio berbahasa Indonesia. Lebih jauh lagi, ternyata kisah ini juga menjadi saksi pertama munculnya benih asmara antara Hoegeng Imam Santoso dan Mery Roeslani. Keduanya adalah sepasang Saijah dan Adinda dalam sandiwara radio itu. Sandiwara itu memang terkendala karena peran Saijah masih kosong. Sebenarnya, Raden Soekarno yang kala itu merupakan pemain sandiwara terkenal sudah ditawari peran Saijah. Namun, tawaran itu ditolak. Hoegeng mengaku dipaksa agar bersedia menerima peran Saijah. Saat itu, Hoegeng yang menetap di Yogyakarta masih berumur 25 tahun. Dia mengaku sedang serius memikirkan karir Angkatan Laut. “Saya yang saat itu sedang serius, atau belagak serius memikirkan PMCK Angkatan Laut dan kepingin bersenang-senang di luar, hanya menanggapi tawaran dengan tertawa cuek,” kisah Hoegeng, dalam otobiografinya Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan karya Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. Karena terus menolak, kawannya, Iskak, sampai harus “menjebak” Hoegeng supaya bersedia memerankan peran Saijah. Saat itu, di Yogyakarta, Iskak merupakan seorang Kapten TNI, sekaligus pemimpin seksi hiburan di radio ALDO. Iskak berjanji akan memperkenalkan Hoegeng secara langsung dengan seorang gadis cantik jika mau datang ke radio ALDO. Gadis yang disebut bernama Meriati ini tadinya tinggal di Pekalongan. Sementara, Hoegeng pun kelahiran Pekalongan. Itu sebenarnya sudah membuat keluarga mereka saling tahu satu sama lain. Meski begitu, Hoegeng beralasan, ketika masih di Pekalongan, dia tidak mengenal Meriati karena kemungkinan ayahnya sengaja memingit anak gadisnya itu. Di masa pendudukan Jepang, sang ayah, dokter Soemakno, takut anak-anak gadisnya menjadi korban. Kebetulan, ketika kemudian dokter Soemakno diangkat sebagai Inspektur Kesehatan Jawa Tengah, dia bersama keluarga pun pindah ke Yogyakarta. Adapun Meriati kala itu merupakan salah satu penyiar radio ALDO. “Itulah sebabnya Iskak membawa saya ke sana,” ungkap Hoegeng. Memang, akhirnya Hoegeng dikenalkan langsung dengan gadis yang dia panggil dengan nama kecil Mery itu. Namun, dengan itu juga dia akhirnya tidak bisa menolak paksaan memerankan peran Saijah di sandiwara radio. “Maklumlah karena Mery yang akan mendampingi saya sebagai Adinda. Mery yang cantik dan menyenangkan, yang sebelumnya baru saya dengar dongengnya,” ucap Hoegeng. Mery bukan gadis cantik biasa. Selain menyenangkan, Mery juga terbukti pemberani dan baik hati. Dia pernah menjadi relawan Palang Merah. Mungkin ini pula yang membuat kekaguman Hoegeng memuluskan proses dari sekadar berkenalan menjadi hubungan yang semakin dekat. Selain berlatih bersama, Hoegeng menjadi lebih sering menemui Mery di rumahnya. Dia rajin mengantar jemput Mery dengan sepedanya ke tempat kerja Mery di radio ALDO. Hoegeng juga yang membantu keluarga Mery mendapat rumah kontrakan di Jalan Jetis, Yogya. “Sesudah itu maka saya adalah seorang mayor tiap pagi tanpa dikomando lebih dulu apel di rumah Mery,” kata Hoegeng. Mulusnya hubungan pasangan itu seiring dengan kesuksesan Iskak menyutradarai sadiwara Saijah dan Adinda. Sambutan baik mereka terima ketika sandiwara itu mengudara lewat radio. Bahkan saat itu, Presiden Sukarno dibuat terkesan hingga meminta sandiwara itu dimainkan lagi melalui RRI Yogya. Sukarno menilai sandiwara radio ini akan memperdalam semangat juang siapapun yang mendengarnya. Mengenai perannya itu, Hogeng berkata, baik dirinya maupun Mery begitu menghayatinya, hingga sebulan usai sandiwara berlangsung, keduanya masih menjalin hubungan. Itu sampai akhirnya Hoegeng mengaku tak tahan. Mereka tidak tahan untuk akhirnya memilih menyelesaikan hubungan itu dengan cara yang indah. Keduanya pun memutuskan menutup kisah cinta itu dengan pernikahan. “Jadi menyimpang dari kisah yang dibuat Multatuli dan sandiwara yang disutradarai Iskak, tapi kami rasa lebih wajar dan lebih ideal,” lanjutnya. Berdasarkan ingatannya, kedua orangtua dan adiknya, Titi Soedjati datang dari Pekalongan ke Yogyakarta. Hoegeng turut menemani ketika kedua orang tuanya meminang Mery. Gayung bersambut, pinangan itu diterima. Keduanya pun melangsungkan pernikahan dengan sederhana pada 31 Oktober 1946 di rumah mempelai perempuan. Pada akhirnya, Saijah dan Adinda mungkin tak menemui kata bahagia. Tapi tidak dengan Mary dan Hoegeng. Bagi mereka, sandiwara radio Saijah dan Adinda membawa pada perkawinan yang didambakan setiap orang. “Kisah Saijah dan Adinda asli karangan Multatuli menjadikan Adinda mati dan Saijah mati dalam tragedi. Kami pikir hanya baik untuk suatu karya yang bermutu atau suatu sandiwara. Tapi tak baik untuk kami berdua,” ujar tokoh yang hingga kini dikenang akan kejujuran dan kesederhanaannya itu.
- Sejarah dalam Sketsa Srihadi Soedharsono
SEBANYAK 441 karya pelukis Srihadi Soedharsono, baik sketsa di atas kertas yang terbungkus dalam 347 bingkai, ditambah enam lukisan dengan media cat akrilik di atas kanvas, dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, 11 Februari 2016. Dalam pameran bertajuk “70 tahun Rentang Kembara Roso” itu, 35 karya berupa sketsa wajah tokoh-tokoh sejarah yang terlibat perundingan antara Indonesia-Belanda yang diperantarai oleh Komisi Tiga Negara di Kaliurang, Yogyakarta 68 tahun lalu. Saat itu, 3 Januari 1948, pemuda Srihadi yang bekerja sebagai wartawan-pelukis di Balai Penerangan Tentara Divisi IV bagian dokumentasi, diutus untuk meliput di Kaliurang. Dia meliput hanya bermodal keterampilan membuat sketsa. Dengan hanya membawa kertas, pensil, pastel dan cat air, Srihadi menemui masing-masing delegasi saat istirahat di vila. Karena hanya diberi waktu lima menit, dia menggambar sketsa wajah dengan cepat. Dari puluhan sketsa, Srihadi membawa sebagian sketsa ke rumahnya dan sisanya disimpan di kantor di Solo. Nahas, kantornya hancur dibom. Beruntung, dia menyimpan beberapa sketsa di rumahnya. Sketsa itulah yang sekarang dipamerkan. “Sketsa wajah delegasi KTN itu menjadi otentik, sebab Srihadi selalu meminta para tokoh itu untuk membubuhkan tandatangannya di atas gambar sketsanya,” terang Rikrik Kusmara, kurator pameran, kepada Historia . Rikrik memasukkan sketsa delegasi KTN kedalam masa periode awal Srihadi berkreasi, sekira 1945-1952. Periode ini menarik, sebab menjadi langkah awal Srihadi menjadi pelukis di masa selanjutnya. Beberapa karya lain yang ditampilkan di antaranya sketsa wajah Bung Karno tahun 1947, lalu lima sketsa puing-puing pesawat Dakota yang jatuh di Maguwo tahun 1947. Tak hanya soal perjuangan, Srihadi pun jeli melihat aspek sosial, seperti beberapa sketsa dengan tinta tentang ketoprak Soembangsih tahun 1947, lalu gambar hotel Garuda di Yogya yang digambar 1946. Periode selanjutnya adalah 1952-1959, saat Srihadi menjadi mahasiswa di balai Pendidikan Universiter untuk Guru Seni Rupa di Bandung. Beberapa karya yang ditampilkan pada periode ini seperti gambar dengan pastel tentang Tirta Empul, Tirta Gangga dan Puri Kartasutra di Karangasem, Bali pada 1955. Bukan saja tentang bentang alam Bali, dia pun menggambar sebelas atraksi penari balet dengan media tinta yang dibuatnya 1953. Srihadi terus mengasah bakat alamnya. Pada 1960, dia studi di Universitas Ohio, Amerika Serikat dan berguru langsung kepada Hoys L. Sherman. Visi artistiknya menguat dan lebih kritis dalam mengolah warna. beberapa karyanya pada periode ini yang ditampilkan adalah 21 gambar dengan media charcoal, sejenis arang kayu, yang sebagian besar dia beri judul Nude dan dibuat tahun 1960. Dalam membuat sketsa, tampaknya Srihadi berusaha spontan. Ini terlihat pada empat sketsa berjudul View from Shangrila Hotel yang dibuatnya tahun 1996. Spontanitas itu tampak pada kertas yang dia gunakan. Misalnya, dia mengambil kertas berkop nama hotel, lalu membuat sketsa lingkungan sekitar hotel, yang dia pandang dari dalam kamarnya. Pameran yang dihelat sampai 24 Februari 2016 ini menjadi penanda 70 tahun Srihadi berkarya. Seniman yang lahir 84 tahun lampau ini dikenal rajin mengarsipkan semua karyanya, utamanya dari media kertas. Dan dia, sudah merencanakan lama untuk menampilkan karya-karyanya dengan media di atas kertas tersebut. “Ini sudah lama saya pikirkan. Karya yang dianggap lukisan adalah di atas kanvas. Namun karya dari sesobek kertas pun bisa menjadi karya yang bernilai,” terang Srihadi.
- Hukuman Kutukan dari Kerajaan Majapahit
“... Dewa, Engkau harus membunuh mereka, mereka harus engkau bunuh. Jika mereka dalam perjalanan melewati ladang terbuka, semoga mereka digigit ular berbisa. Di hutan, mereka akan kehilangan arah, diserang harimau. Di air, mereka dilahap buaya, di laut mereka digigit ikan ganas. Jika mereka menuruni gunung mereka akan menabrak batu bergerigi, jatuh ke jurang berbatu, mereka akan meluncur ke bawah, hancur berkeping-keping. Jika mereka keluar saat hujan, semoga mereka disambar petir, jika mereka tinggal di rumah, mereka akan terbakar halilintar, mereka tidak akan punya waktu melihat apa yang menyambar mereka. Saat mereka berperang mereka diserang dari kiri, dari kanan, semoga kepala mereka terbelah, dada mereka robek, perut mereka sobek hingga ususnya terburai, otak mereka dijilat, darah mereka diminum, dagingnya dilahap, hingga kematian menjemputnya. Mereka akan dibawa ke neraka Rorawa, dan jika mereka lahir kembali, itu dalam keadaan buruk. Itu yang akan terjadi pada mereka yang berbuat jahat...” Itulah hukuman kutukan mengerikan yang terdapat dalam Prasasti Tuhannaru dari Kerajaan Majapahit tahun 1323. Prasasti yang ditemukan di Sidoteko, Mojokerto itu, diterjemahkan oleh Jan van den Veerdonk dalam “Curses in Javanese Royal Inscriptions form Singhasari-Majapahit Period, 1222-1486 M,” jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (2001). Selain Prasasti Tuhannaru, prasasti dari Kerajaan Majapahit yang berisi kutukan antara lain Prasasti Waringin Pitu, Prasasti Cangu, dan Prasasti Kudadu. “Ketika dibandingkan (antara beberapa prasasti yang mengandung kutukan, red ), ada kesamaan besar dalam penggunaan dan struktur kata,” tulis Veerdonk. Menurut Veerdonk, bagian kutukan dalam prasasti akan diawali dengan deskripsi persiapan upacara pengucapan kutukan. Setelah itu dilanjutkan doa kepada dewa tertentu dan makhluk gaib lainnya. Mereka inilah yang diyakini berada di manapun dan menjadi saksi setiap pelanggaran atas ketentuan prasasti. Baru kemudian tertera peringatan dan permohonan atas hukuman mengerikan bagi para pelanggar. Menurut arkeolog Universitas Gadjah Mada, Tjahjono Prasodjo, kutukan ( sapatha ) dalam prasasti merupakan cara agar semua orang patuh pada keputusan penguasa. Sanksi yang dipilih ini memang lebih bersifat sakral kedewaan, bukan sanksi atau denda sebagaimana pada masa sekarang. “Saya kira pada zamannya, ketika orang sangat percaya dengan kekuatan kutukan, itu adalah cara yang paling efektif untuk mengamankan dan melindungi kelangsungan sebuah penetapan atau piagam,” ujar Tjahjono kepada Historia. Secara umum, Tjahjono menjelaskan, dalam prasasti yang ditemukan di Jawa, kutukan biasanya termuat dalam prasasti penetapan sima, yaitu tanah perdikan yang memiliki hak istimewa tidak dipungut pajak. “Kecuali ada satu atau dua prasasti yang memuat ketetapan hukum,” lanjutnya. Selain di Jawa, pada abad ke-7/8, Kerajaan Sriwijaya pun mengeluarkan prasasti kutukan, seperti Prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu. Namun, menurut Tjahjono, prasasti kutukan yang ditemukan di Sumatera itu ditujukan kepada pejabat kerajaan agar patuh kepada raja. Sementara dalam prasasti-prasasti di Jawa kuno kutukan diarahkan agar semua orang mematuhi keputusan yang telah dibuat penguasa. Uniknya, Majapahit masih mengeluarkan sanksi kutukan ini, di saat kerajaan itu sudah memiliki kitab perundang-undangan sendiri. Dalam Kitab Agama misalnya, Majapahit mengatur tindak pidana, yang dikenakan berupa denda atau hukuman mati. “Di samping undang-undang hukum pidana,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama , “terdapat juga undang-undang hukum perdata. Bab seperti jual beli, pembagian warisan, perkawinan, dan perceraian.”*
- Mengecup Hidung, Salam Khas Orang Sawu
Di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, perkumpulan orang Sawu sedang menggelar seremoni tabur bunga. Mereka sedang memperingati 83 tahun gugurnya Martijn Paradja, pelaut asal Sawu, dan 21 awak Indonesia, dalam peristiwa pemberontakan Kapal Tujuh ( De Zeven Provincien ). Bagi masyarakat Sawu, Martijn dianggap sebagai pahlawan perintis kemerdekaan. Sawu adalah kepulauan yang terletak di bagian selatan Nusa Tenggara Timur. Dalam perhelatan itu, mereka bertegur sapa dengan cara yang tidak biasa dan unik. Bukan bersalaman ataupun cipika-cipiki sebagaimana lazimnya. Namun sepasang insan yang bertemu, saling mendaratkan kecupan ke hidung satu sama lain. Sekira lima detik dengan tatapan yang lekat, ritual itu berlangsung. Tiap orang Sawu, laki-laki, perempuan, tua, muda tiada terkecuali menjalankan ritual “kecup” itu. Suasana pertemuan pun menjadi hangat dengan rasa kekeluargaan, meski baru kali pertama bersua. “Itu adat istiadat orang pulau Sawu,” kata sejarawan Peter A. Rohi (1942-2020), yang berasal dari Sawu. Menurut Peter, tradisi cium hidung itu sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak lama. Mencium hidung adalah tanda ramah tamah dan persaudaraan. “Sekarang lebih populer dengan istilah ‘cium Sawu’,” kata Peter. Mengenai hidung sebagai bagian tubuh yang dikecup, Peter menerangkan bahwa hidung berarti kehidupan. Satu dari panca indra manusia yang digunakan untuk bernapas. Cium Sawu bisa dilakukan oleh siapa saja diantara sesama orang Sawu, tidak mengenal strata sosial, umur, dan jenis kelamin. “Sekalipun laki-laki dan perempuan bersentuhan (hidung), tak ada kontak seksual di sana,” ujar Peter. Selain sebagai tanda persaudaraan, mencium hidung juga dimaknai sebagai ungkapan kejujuran dan penghormatan dari muda kepada yang tua. “Waktu cium hidung itu, mata harus bertemu mata. Tidak boleh mengabaikan pandangan. Mata yang terbuka berarti kejujuran. Dan siapa yang lebih muda dia harus bangun lebih dahulu, mencium yang lebih tua,” kata Barnabas Lois Rame, 67 tahun, Ketua Perkumpulan Sosial Masyarakat Sawu se-Jabodetabek. Dalam konteks sosial yang lebih luas, mencium hidung menjadi indikasi penyelesaian konflik diantara orang Sawu. Bagi orang Sawu, mencium hidung adalah bentuk lain dari permintaan maaf. “Dengan mencium hidung sebagai cara untuk pengakuan bersalah maka semua masalah akan dianggap selesai,” kata Peter. “Tapi kalau orang yang bersalah minta mencium hidung, dan orang bersangkutan membuang muka, artinya permintaan maaf tersebut tidak diterima,” tutup Barnabas. Sampai sekarang, tradisi mencium hidung masih tetap dilestarikan masyarakat Sawu. Fungsinya saat ini menjadi penanda identitas bagi orang Sawu yang telah banyak berdiaspora.






















