Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Situs Purbakala Seko Nasibmu Kini
DATARAN tinggi Seko, Sulawesi Selatan masih kemarau. Udara malamnya semakin dingin, tapi siang hari panasnya menyengat. Permukaan j alan nya di penuhi gumpalan debu, amat l icin. Menyambangi Kecamatan Seko, sekitar 120 km dari kota Kecamatan Sabbang atau sekitar 150 km dari Masamba, pusat Kabupaten Luwu Utara, dan menikmati jalur untuk mencapainya ibarat memasuki ruang waktu. Sensasinya dua bidang: peradaban modern dan daerah terisolir. Wilayah yang dikenal pula sebagai kawasan To Kalekaju ini dikurung Pegunungan Quarles dan diapit Pegunungan Verbeek. Di sinilah peradaban modern –masa neolitikum– di Sulawesi bermula. Bersama 15 orang dari tim Kajian Delineasi Situs Seko, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya menyambanginya pada 3 Oktober 2018 untuk menemukan dan mengenali situs masyarakat. Garisnya dari Kalumpang di Mamuju Sulawesi Barat, menanjak menuju Seko dan Rampi di Sulawesi Selatan dan menukik kembali ke lembah Lore di Sulawesi Tengah. Ini adalah kampung cantik dengan warga yang ramah dan rumah adat mengagumkan. Sayang, rumah adat itu hanya beberapa yang bertahan. Di Kampung Singkalong dan Eno, masing-masing terdapat satu buah rumah panggung dengan umpak batu menawan. Dengan fondasi batu, bangunan itu disangga tiang-tiang kayu bulat yang diletakkan di atas batu dan dipahat mengikuti posisi batu. Sepintas, bangunan itu t ampak rapuh. Tapi ketika gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter menghantam Palu dan Donggala pada akhir September 2018, di mana wilayah Seko ikut terdampak , tak ada bangunan yang rusak dan tak ada korban jiwa . R umah umpak batu malah mengayun s e akan memiliki shockb rea ker . Situs-situs yang Terabaikan Seko kini sedang dikepung delapan perusahaan pemilik HGU (Hak Guna Usaha). Data dari kantor Kecamatan Seko menunjukkan delapan perusahaan itu akan bergerak di bidang perkebunan, pertambangan, hingga energi. Konsesi itu bakal merebut sawah hingga kebun warga. Tak hanya mengancam lahan penghidupan warga, konsesi juga mengancam puluhan situs yang berada dalam area konsesi. Hanya situs Bongko yang relatif aman karena menjadi perkecualian lantaran dianggap sebagai kampung tua masyarakat Eno. PT Seko Fajar, yang sejak 1980-an memegang izin perkebunan teh, mengeluarkannya seluas 60 ha. Tapi situs-situs yang lain tinggal menunggu waktu. Situs Hatu Lalian, yang berdampingan dengan pagar bandara, bahkan teronggok di antara ilalang rapat. Situs ini adalah umpak batu berjumlah empat buah yang berada di bukit kecil. Di bawahnya, hamparan sawah. Segaris dengan Laliang, terdapat Issong Batu (Kalamba). Situs ini dipercayai sejarawan Inggris Ian Caldwell pada 1992 sebagai artefak yang dibawa masyarakat dari Lembah Bada. “Tidak seperti itu. Itu dibuat oleh Talammia (disebut juga Talambia),” kata Abraham Taburu (50 tahun) Tobara Hono ke-21. Tobara adalah gelar dari masyarakat yang diberikan pada seorang pemimpin adat (komunitas). Seko punya sembilan wilayah adat yang disahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara. Pemimpin komunitas-komunitas adat itu memiliki gelar tersendiri: To Bara , To Makaka , dan To Kei . Para pemimpinkomunitas itu dipilih berdasarkan kekerabatan dan keturunan. Bagi Abraham, Laliang dan Issong Batu adalah milik Talammia yang dibuat sendiri olehnya. Talammia diceritakan sebagai seorang yang sangat besar. Tingginya tak bisa diprediksi, namun bisa diilustrasikan saat Talammia meletakkan kakinya di badan sungai, kaki itu digunakan orang-orang untuk menyeberang. Laliang juga dipercaya sebagai dapur tempat sang raksasa memasak. Sementara , Issong Batu adalah tempatnya menumbuk padi. Jarak antara dua situs ini sekitar dua k ilo m eter . “Nah tempat makannya itu ada di dekat sungai, jadi kalau bersandar punggungnya ada di gunung,” kata Abraham. Laliang adalah situs yang sepi. Pada ujung batunya ada noda hitam karena lelehan aspal ketika bandara sedang renovasi mengganti landasan pacu dari rumput menjadi aspal. Umpak batu itu dijadikan tungku memasak aspal. Tak ada warga keberatan. Bahkan beberapa warga Seko sendiri yang menjadi buruh harian ikut melakukan aksi itu. Situs Kalaha Kammuttu (Batu Dakon) yang berada di bukit ilalang di Kampung Lodang, sekitar 30 km dari Eno, juga mengalami nasib serupa. Tak ada penanda yang menunjukkan keberadaannya. Kalaha berada di pinggir jalan setapak yang menghubungkannya ke sebuah sungai yang sedang dalam pengerjaan poryek irigasi. Situs itu berkali-kali dilindas alat berat. Bahkan warga yang melintas tak segan menapakinya. Situs lain , Lingku, kondisinya juga tak terawat dan ditumbuhi rerumputan. Lingku dipercaya masyarakat Lodang sebagai tempat kelahiran anak seratus. Menurut Tobara Lodang Nasrullah Kande (50), pada masa lalu Lingku dihuni seorang pasangan yang memiliki 100 anak. Lingku berada di bukit kecil yang dikelilingi persawahan yang masuk dalam areal HGU Seko Fajar. Untuk mencapainya, harus melompati parit selebar dua meter, lalu membungkuk menyelinap di antara ilalang. Penanda situs ini hanyalah batu berdiameter 50 cm. “Ini anak tangga untuk naik ke rumah anak 100 itu,” kata Nasrullah. Tinggalan lain yakni Situs Bata’, berupa batu monolit yang tertancap di tengah rawa di sisi jalan utama Lodang menuju Eno. Situs ini pernah jatuh. Atas inisiasi sebuah lembaga swadaya masyarakat, situs ini digotong warga ke tempat asalnya dan ditancapkan menggunakan cor semen. Bata’ dikisahkan sebagai jelmaan dari ari-ari kerbau milik orang bernama Tabuke. Ketika kerbaunya melahirkan, Tabuke membawa ari-arinya dalam sebuah wadah karena berpindah tempat gembala. Namun, ketika wadah itu terbuka, ari-ari tersebut malah bertumbuh panjang dan menjadi batu. Akhirnya, ari-ari yang menjadi batu itu menjadi penanda untuk tempat gembala. Menurut Nasrullah, air di sekitar situs rasanya asin d an itu menjadi kesukaan ternak. Tapi, itu sepertinya hanya folklore . Ketika saya mencoba air itu, rasanya tawar. Situs lainnya, benteng Tammatang, berada di punggung bukit dan diapit dua sungai. Di tempat ini, ilalangnya sudah menghitam bekas pembakaran. Ada banyak batuan yang tersebar, tanpa pola. Nasrullah percaya, batu-batu itu adalah umpak batu. “Di sini, rumah orang dulu. Ada pemimpin kami namanya Tabolle. Dia membangun benteng dan menghalau para penyusup. Termasuk meredam pasukan dari Datu Luwu,” katanya. Tabolle punya keahlian pedang cukup mengagumkan. Dan memiliki istri dengan paras cantik. Datu Luwu jatuh cinta pada sang istri, dan menggunakan berbagai macam strategi untuk merebutnya. Tabalolle melawan dan beberapakali memukul mundur pasukan Luwu. Pasukan Luwu akhirnya membuat siasat menggali lubang dan menanamkan duri di dasarnya. Ketika Tabolle menyerang, dia terjatuh ke lubang itu dan menemui ajalnya. Sang istri jadi tawanan. Namun, diantara jalan sempit dan jurang yang dalam di tempat bernama Mangkaluku, istri Tabolle melompat dan menjatuhkan Datu Luwu beserta beberapa pengawalnya. “Jadi Seko (maksudnya Lodang, red .) tak pernah dikalahkan Luwu dalam perang, tapi dalam strategi,” kata Nasrullah. Dalam beberapa tradisi tutur masyarakat Seko, hubungan dan pengaruh Luwu cukup terasa. Luwu adalah kerajaan yang menundukkan wilayah itu. Jika tak ada penundukkan oleh Luwu, kawasan itu mungkintak bernama Seko.*
- Awal Mula Seko
INILAH Seko, tempat damai yang gemuruhnya diluar dicitrakan sebagai tempat terisolir, tempat orang-orang udik, dan sewa ojek yang mahal. Tempat dengan segala macam misteri dan mitos. Berkunjung ke Seko, sebuah kecamatan di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, menggunakan ojek membuat tulang belakang, pinggul, dan pantat serasa hendak remuk. Selain kerasnya jok motor, waktu tempuh di musim kemarau mencapi 10 jam dan musim hujan mencapai dua hari. Seko adalah nama baru. Awalnya,para penghuni tempat ini menamakan diri mereka sebagai orang-orang dengan masing-masing kampung. Hoyane, Eno atau Hono, Lodang, Amballong, atau pula Kariango. Belakangan, dalam tradisi lisan masyarakat Seko diartikan sebagai sahabat, handai tolan, atau kerabat. Nama ini dicuplik dari perkataan Datu Luwu yang konon bingung menamai orang-orang pegunungan itu. “Jadi Datu Luwu bilang, sahabat itu dalam bahasa di atas (gunung) apa?” dalam kisah tutur warga. “Itulah Seko.” Sejak saat itu, wilayah yang ditaklukan Luwu untuk kepentingan hasil bumi itu menjadi Seko, To Seko (orang Seko). Perjalanan darat menuju Seko. (Eko Rusdianto/Historia) Di Seko, kisah To Manurung berbeda dari kisah serupa di dataran lain di Sulawesi Selatan. Orang pertama yang menghuni Sekodikisahkan sebagai seorang anak manusiayang kemudian beranak-pinakdan memiliki genealogi utuh. Ada tiga babakan kisah awal-mula orang Seko. Pertama, seorang Matua (orang tua) berjalan dari wilayah Mamasa, Sulawesi Barat. Orang itu bersama para pengikutnya meninggalkan kampung karenaterjadi peperangan dan berjalan hingga ke Gunung Sandapang di Kalumpang (Sulawesi Barat). Orang tua i tu terus berjalan bersama empat anaknya dan bermukim di wilayah Seko Padang. Empat anak itu masing-masing : Tabalong , yang menjadi Kampung Amballong ; Tahayane , kemudian mendiami kampung Hoyane ; Tahaneang , anak perempuan yang menghuni Kampung Pohoneang ; dan Tampa’ , menghuni Seko Padang wilayah Eno. Tampa’ merupakan anak yang senang berburu. Suatu hari, bersama anjingnyadia duduk memandangi kawasan lembah Seko Padang –pada mulanya adalah danau. Anjingnya tiba-tiba bergerak lincah dan memburu seekor rusa. Tak disangka, rusa itu terjatuh ke dalam sebuah kolam dan kemudian si anjing ikut turun ke kolam. Akhirnya, Tampa’ melakukan mudihata (semedi). Dia memanggil kepiting, belut, dan beberapa hewan air lainuntuk membuka tamolang (saluran air). Kolam itu akhirnya menjadi kering, dan menjadi daratan. Anjing ituterus berusaha memburu rusa. Tampa’ mengikutinya dan sampai di wilayah yang bernama Taloto –dalam bahasa lain Talotong atau orang berlidahhitam. Tapi, Tampa’ tak menemukan anjingnya lagi. Dia kemudian membuat kolam untuk memelihara ikan, yang hingga kini masih ada dan dimiliki seseorang, dikenal dengan nama Mabubu.Tapi air kolam tersebut kemudian selalu keruh. Belakangan, Tampa’ mengetahui kekeruhan air itu disebabkan ulah beberapa dayang (dewi) yang selalu datang mandi. Baju salah satu dewi lalu dicuri –seperti kisah lainnya– dan Tampa’ menikahi salah seorang dewi itu. Dari sang dewi, Tampa’ mendapatkan dua anak. Mereka bertumbuhdan kemudian menyebar di seantero Seko. Dewikemudian meninggalkan Tampa’ melalui longa (jendela di bagian bawah atap rumah adat) ketika melanggar perjanjian akibat menyebutkan dirinya adalah mahluk halus ketikamarahpada anaknya. Petani sedang memberi pakan kerbaunya Sementara, versi yang paling tenar adalah keadatangan Ulu Pala atau seorang dengan tangan berbulu. Dia berasal dari Kanandede, wilayah dekat Rongkong. Ulu Pala diasuh sepasangsuami-istri. Suatu ketika, orang tua angkat Ulu Pala yang berhutang pada orang Toraja mendatanginya. Ulu Pala menaklukkan penagih utang itu dengan teka-teki. Setelah itu, orang Toraja menyebar fitnah bahwa Ulu Pala adalah anak yang tak bisa membawa keburuntungan. Orang tua Ulu Pala termakan hasutan itu meski memilih tak membunuhnya. Dia lalu me ngasingkan Ulu Pala ke wilayah yang sekarang masuk Seko Tengah. Lantaran kesepian, Ulu Pala membuat gambar di sebuah batu yang k ini dikenal sebagai Hatu Rondo . S eorang dewi akhirnya mendatanginya lalu mereka menikah dan bermukim di kampung tua bernama Bongko yang k ini wilayah Seko Padang.
- Riwayat Rumah Tahanan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
RUMAH tua di Jalan Bhayangkara, Kota Sukabumi itu berdiri dalam sepi siang 12 Februari 2019 itu. Lampu di terasnya menyala pertanda tiada yang menjaga. Beragam kendaraan berseliweran begitu saja di depannya tiada peduli. Butuh waktu hampir satu jam bersabar diiringi rasa penasaran sebelum bisa masuk ke rumah itu. Baru setelah Yepsa Dinanthy, pegiat sejarah Komunitas Kipahare Sukabumi, mengontak rekannya di Pemkot Sukabumi Historia bisa masuk rumah yang di halamannya dipatok plang bertuliskan “Benda Cagar Budaya: Rumah Bekas Tahanan Bung Hatta dan Syahrir” itu. Rumah bergaya twin-house kolonial itu cukup unik, seolah merupakan dua rumah serupa dijadikan satu. Di bagian belakang terdapat satu dinding pemisah serta bangunan terpisah lain yang sepertinya bekas dapur. Sayang, tak banyak yang bisa dinikmati di dalamnya. Hanya beberapa foto Hatta, Sjahrir, dan Sukarno memenuhi beberapa dinding ruangan. “Ya memang sejak dulu sudah kosong begini. Sejak saya tugas di sini 11 tahun lalu juga begini-begini saja,” ujar Mulyani sang juru pelihara kepada Historia. Informasi tentang kisah di sekitar rumah pun setali tiga uang. Sang juru pelihara hanya sedikit tahu. “Ya hanya terkait rumah yang pernah jadi tempat Bung Hatta dan (Sutan) Sjahrir ditahan,” lanjutnya yang sekadar hafal bahwa di sisi kiri bekas tempat Sjahrir dan sisi kanan bekas tempat Hatta saat jadi tahanan politik (tapol) pemerintah Hindia Belanda. Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku Padahal jika pihak-pihak terkait, semisal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, punya kemauan untuk meriset ulang, informasi tentang rumah itu dan kisah di seputarnya bakal lebih banyak dan berguna untuk masyarakat. Salah satu kamar di rumah eks tahanan yang kosong melompong tanpa furnitur (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Soal detail perabotan, sedikitnya pernah dipaparkan sesuai ingatan Hatta dalam Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan. “Dalam kamar muka sudah ada satu zitje (sice, red), meja segi delapan dengan 4 kursinya dan 1 dipan. Di kamar tidur sudah ada tempat tidur dengan kelambunya. Di ruang belakang satu meja makan kecil dengan dua kursi. Pada unit bagian Sjahrir dalam kamar muka ada satu tempat tidur dan satu zitje , pada ruang tengah ada satu kamar tidur untuk dua orang, ruang itu dijadikan kamar tidur Lily dan Mimi (anak-anak angkat Sjahrir),” kenang Hatta. Selain itu, lanjut Hatta, di setiap ruangan dan kamar tidur Hatta dan Sjahrir juga sudah dilengkapi lampu listrik, bukan lagi lampu minyak. Sementara dapur, kamar mandi dan toiletnya berderetan terletak di bangunan belakang. Kebutuhan air tersedia dari air ledeng lantaran memang tak ada sumur di rumah itu. Bagian dari Sejarah Bhayangkara Mulanya, kata peneliti sejarah dan ketua Komunitas Kipahare Sukabumi Irman Firmansyah, rumah itu ditempati seorang inspektur polisi Belanda. Sayang, tidak ada catatan siapa polisi senior Belanda pertama yang menempati rumah yang kini berjejeran dengan Kompleks Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa) Polri itu. Baca juga: Tokoh di Balik Takluknya Tentara Inggris di Sukabumi “Jadi itu wilayahnya kan semua kompleks polisi. Mulanya daerah rumah itu berdiri merupakan paling ujung. Belum ada dibuka jalan seperti sekarang. Kemudian dibuat tembusan, disebut nama jalannya Vogelweg, dari nama Dr Vogel yang dulu juga pernah kasih masukan terhadap pembangunan Kota Sukabumi,” terang penulis Sukabumi: Menelusuri Jejak Masa Lalu , Sukabumi: The Untold Story , serta Pembuangan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi yang akrab disapa Sufiitu . Kompleks asrama polisi di Sukabumi tahun 1928 di mana gaya bangunannya sangat mirip dengan rumah eks tahanan Hatta-Sjahrir (Foto: gahetna.nl) Kompleks asrama polisi di Sukabumi tahun 1928 di mana gaya bangunannya sangat mirip dengan rumah eks tahanan Hatta-Sjahrir (Foto: gahetna.nl) . Rumah itu dibangun tahun 1926 seiring dibangunnya asrama dan sekolah polisi di Sukabumi sebagai lokasi baru pindahan dari Bogor. “Selalu jadi rumah inspektur polisi Belanda sampai Jepang masuk ke Sukabumi pada Maret 1942. Walau orang-orang Belandanya kabur, tapi sekolah polisinya masih berjalan. Jadi orang Indonesia yang diangkat jadi pemimpin di sekolah itu, Inspektur Polisi Asikin,” sambungnya. Di masa Belanda tengah panik menjelang invasi Jepang, rumah itu ditempati Hatta dan Sjahrir yang dipindah tempat pembuangannya, medio Februari 1942. Sukabumi jadi tempat tahanan terakhir keduanya sebelum bebas di masa pendudukan Jepang. “Jadi sebelumnya mereka ditahan di Banda Neira. Kemudian tanggal 1 Februari diberangkatkan dengan Pesawat Catalina dari Banda Neira ke Surabaya. Satu malam diinapkan dulu di sana, baru dengan kereta api berangkat ke Jakarta, lalu berangkat lagi dan sampai ke Sukabumi dengan mobil pada 4 Februari,” kata Sufi. Kabar pemindahan ke Jawa itu menyeruak menjadi desas-desus bahwa keduanya dibebaskan. Pemerintah Hindia Belanda tentu membantahnya. “Moh. Hatta dan Sjahrir ditempatkan di sebuah rumah di daerah yang aman di Sukabumi, di mana mereka tetap dalam masa tahanan. Keterangan ini turut membantah bahwa keduanya dibebaskan adalah kabar yang tidak benar,” tulis suratkabar Bataviaasch Nieuwsblad , 9 Februari 1942. Bagian belakang rumah yang terdapat bangunan dapur dan kamar mandi, serta dinding penyekat (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Ada alasan tersendiri mengapa pemerintah Hindia Belanda memilih Sukabumi sebagai tempat tahanan Hatta dan Sjahrir. “Karena dari dulu dianggap tempat aman oleh Belanda, terlebih di situ ada sekolah polisi. Lokasinya agak terisolir juga dan dianggap tempat yang nyaman buat tahanan,” sambung Sufi. Hanya sekira satu setengah bulan Hatta dan Sjahrir menempati rumah tahanan itu sampai Jepang benar-benar mencaplok Hindia Belanda. Setelah Hatta dan Sjahrir kembali ke Jakarta, rumah itu kembali ditempati instruktur senior sekolah polisi. “Dari waktu ke waktu selalu ditempati orang-orang kepolisian. Cuma kondisinya sempat jadi kumuh, jelek, tidak terpelihara. Mulai dijadikan cagar budaya tahun 1990-an. Karena kan itu termasuk tanah milik Polri. Ketika dijadikan cagar budaya, ya dibuat perjanjian tiga pihak: Pemkot, BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Banten, dan Setukpa. BPCB menetapkan sebagai cagar budaya tapi ada kesepakatan polisi boleh menggunakan sepanjang tidak mengubah bentuknya,” tandasnya.
- Gusti Randa, dari Aktor menjadi Plt Ketua Umum PSSI
Kabar mengejutkan datang dari dunia sepakbola Indonesia. Gusti Randa ditunjuk sebagai pelaksana tugas (plt) ketua umum PSSI menggantikan Joko Driyono yang ditetapkan sebagai tersangka perusakan dokumen match-fixing . Namanya pun jadi trending topic . Warganet memberikan sentimen negatif. Mereka memasang foto-foto masa lalunya ketika menjadi aktor. Sebelum berkecimpung dalam dunia olahraga, Gusti Randa dikenal sebagai aktor. Masyarakat mengenangnya sebagai pemeran utama Syamsul Bahri dalam sinetron Sitti Nurbaya di TVRI tahun 1991. Siti Nurbaya sendiri diperankan oleh Novia Kolopaking. Gusti Randa Malik lahir di Jakarta pada 15 Agustus 1965. Pendidikannya sarjana hukum yang kelak menjadi bekal menjadi pengacara. Dia terjun ke dunia seni peran pada 1984. “ Penari dan koreografer ini pertama kali terjun ke dunia film dalam Cinta di Balik Noda (1984),” demikan disebut dalam Apa dan Siapa Orang Film Indonesia. Gusti Randa kebagian peran utama dalam film Yang Masih di Bawah Umur (1985). Setelah itu dia bermain dalam sejumlah film antara lain Permainan Yang Nakal , Cinta Cuma Sepenggal Dusta (1986), Menjangkau Matahari (1987), Potret, Noesa Penida (1989), Kamar Tiga Perawan, Peluk Daku dan Lepaskan (1991). Selain film layar lebar, Gusti Randa juga bermain dalam sinetron, seperti Sitti Nurbaya (1991), Wajah Dalam Cermin (1995), Istana Impian (1996), dan Tiga Bidadari (1997). Gusti Randa bergabung dalam organisasi Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) periode 2011-2016 yang dipimpin Aa Gatot Brajamusti. Dia menempati posisi di bagian biro bantuan hukum. Ketika PARFI terbelah dua, dia bergabung dengan PARFI 1956 yang pimpinan Marcella Zalianty.Dia menjadi ketua bidang advokasi/hukum dan keanggotaan, keorganisasi sekaligus ketua tim perumus AD/ART. Selain aktor, Gusti Randa juga penyanyi dan pencipta lagu. Tembangnya yang paling diingat berjudul “Ingin Kembali.” Gusti Randa kemudian mencoba peruntungan menjadi politisi. Pada Pemilu 2004, dia mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dari PKB untuk daerah pemilihan Jawa Barat V. Pada Pemilu 2009, dia berganti perahu ke Partai Hanura untuk daerah pemilihan Sumatra Barat II. Dan pada Pemilu 20014, masih dengan Partai Hanura, dia pindah daerah pemilihan ke Kalimantan Selatan II . Namun, tiga kali dia gagal ke Senayan. Bahkan dia sempat mencalonkan diri menjadi walikota di Depok dan Padang. Dari ranah politik, Gusti Randa berpindah ke dunia sepakbola. Dalam kepengurusan PSSI 2006-sekarang, dia terpilih menjadi anggota Komite Eksekutif . Setelah Joko Driyono, plt. ketua umum PSSIpengganti Edy Rahmayadi, ditetapkan sebagai tersangka, pada akhir Februari 2019, RUPS PT LIB menunjuk Gusti Randa sebagai komisaris dan Dirk Soplanit sebagai direktur utama PT LIB. Dalam rapat Komite Eksekutif PSSI pada 19 Maret 2019 diputuskan Gusti Randa menjadi plt. ketua umum PSSI . Dia mengemban tugas mempersiapkan Kongres Luar Biasa PSSI dan memastikan Liga 1 berjalan sesuai rencana.
- Kunci Kejayaan Nusantara
Enam puluh persen jenis rempah di dunia ada di Indonesia. Ratusan tahun lalu, rempah menjadi primadona yang dicari para pedagang dari seluruh dunia. Jalur rempah pun menghubungkan Nusantara dengan dunia. Dalam konteks maritim waktu itu, Indonesia menjadi pusat pertemuan global khususnya pada 1480-1650, yang oleh Anthony Reid, sejarawan Australia National University, disebut sebagai Age of Commerce . Namun jalur rempah bukan hanya soal perdagangan rempah. Jalur rempah juga meliputi pertukaran tradisi, agama, pengetahuan, bahasa, sosial, teknologi, dan pengetahuan. Maka selain tertarik oleh hasil buminya, ada faktor lain yang membuat pedagang asing singgah dan berbisnis di Nusantara. Susanto Zuhdi, sejarawan maritim dari Universitas Indonesia menjelaskan, kala itu sebuah negara ada karena adanya perdagangan. Kawasan barat Nusantara memperlihatkan lebih dulu perkembangannya dalam konteks perdagangan internasional. Misalnya Sriwijaya menjadi pusat keramaian karena menguasai Selat Malaka. Sementara itu, terbentuknya kota pesisir di berbagai bandar di Nusantara menunjukkan gejala yang luar biasa sebagai kota kosmopolitan. Penjelajah Portugis, Tome Pires, pada abad ke-16 M menggambarkan kota bandar yang penuh dengan orang dari Persia, Arab, Gujarat, India, Bengali, dan Tiongkok. "Apa artinya? Masyarakat waktu itu terbuka, semua orang diterima sebagai bagian penduduk kota," kata Zuhdi ketika mengisi kuliah umum dalam International Forum on Spice Route (IFSR) di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/3). Siswa sekolah sedang mengamati rempah-rempah dalam pameran International Forum on Spice Route (IFSR)di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/3) Siswa sekolah sedang mengamati rempah-rempah dalam pameran International Forum on Spice Route (IFSR) di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/3). (Aryono/Historia). Hal itu dipertegas oleh Anthony Reid. Menurutnya kesuksesan negara-negara di Nusantara ketika itu terletak pada keterbukaan dan sikap pluralisme yang mereka punya. Bantam atau Banten misalnya. Tempat ini menjadi salah satu destinasi komersial yang ramai pada masanya. Orang Eropa, Tiongkok, India, dan lokal saling bertemu. "Keterbukaan dan pluralisme menjadi kunci utama mengembalikan Indonesia maju dalam konteks budaya maritim," kata Reid. Adapun Sriwijaya hingga kini dikenal sebagai kerajaan maritim yang berjaya. Terjadi interaksi budaya yang beragam di kawasan itu. Ia sebagai pusat pengajaran Buddha di wilayah Asia. Di sisi lain menjalin hubungan baik dengan para pedagang muslim. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan pelaut asal Persia, Al Ramhurmuzi menuliskannya dalam Ajaib al-Hind ( Wonders of the Archipelago ) pada 390 H (1000 M). Berdasarkan laporannya diketahui kalau di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya) sudah hadir pedagang dan pelaut muslim. "Ini yang membuat orang-orang Nusantara sangat kosmopolitan. Makanya sangat multikultur, multireligius. Kalau sekarang banyak yang tidak kosmopolit, itu berarti lupa sejarah," kata Azra. Pun hubungan baik dengan pedagang internasional, khususnya dalam hal rempah hancur ketika kolonialisme masuk ke Nusantara. "Hancur ketika Belanda masuk dan menerapkan monopoli. Ini bikin rusak ekonomi," kata Azra. Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2001- 2009 menyimpulkan, sejarah Nusantara yang panjang telah diakui gemilang namun juga malapetaka. Lewat sejarah jalur rempah dapat dimengerti bahwa kekayaan alam pun bisa membawa malapetaka bagi Indonesia. "Itu sepanjang kita tidak mampu mendukung kekayaan kita dengan kekuatan kita, maka kekayaan alam kita akan dirampas bangsa-bangsa lain," kata Hassan.
- Berita Berujung Pidana
Media daring Tirto.id bikin keramaian di lini masa. Dalam akun twitter -nya, media ini mengunggah kartun grafis yang bernada provokatif. Sebuah meme menampilkan komentar Kiai Haji Ma’ruf Amin yang dipenggal: “....Zina bisa dilegalisir....” Satu meme lagi juga mengutip pernyataan Sandiaga Uno yang diplesetkan: “Kami akan hapuskan UN” yang kemudian ditanggapi oleh Pak Tirto (maskot Tirto.id ): “Eh..? Kirain apus NU…” Sebagaimana umum diketahui NU adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Dua meme tersebut diolah menanggapi debat calon wakil presiden yang dihelat baru-baru ini. Bermaksud jenaka namun kartun grafis tersebut malah dianggap menyudutkan. Alih-alih menjadi hiburan, kecaman justru berdatangan dari warganet. Pengurus Besar (PB) NU dalam akun twitter -nya telah menyatakan protes atas meme tersebut. Berbagai tanda pagar bermunculan sebagai tanda tidak simpatik seperti: #TirtoButuhDuit, #TirtoPabrikHoax, #TirtoIDMediaSampah. Redaksi Tirto.id sendiri dalam laman beritanya mengakui telah melakukan kesalahan fatal dengan secara gegabah memotong kalimat-kalimat Ma’ruf Amin dan Sandi. Dituding menyebarkan hoax, meme ditarik dari peredaran namun kadung viral. Permintaan maaf pun dilayangkan. Di masa lalu, kelalaian serupa pernah terjadi. Harian Rakyat Merdeka dan Tabloid Warta Republik harus berurusan dengan hukum karena konten beritanya. Masalah yang dihadapi tergolong serius dan berbuntut jerat pasal pidana. Foto Berujung Petaka Dalam edisinya 8 Januari 2002, harian Rakyat Merdeka menampilkan foto parodi Akbar Tanjung yang bertelanjang dada, badan berpasir, dan penuh keringat. Foto yang berwajah Akbar Tanjung dan bertubuh orang lain itu menjadi ilustrasi berita berjudul “Akbar Sengaja dihabisi, Golkar Nangis Darah”. Akbar menjabat sebagai ketua umum Golkar dan ketua DPR saat itu. Akbar merasa terhina menanggapi foto yang dianggapnya rekayasa tersebut. Menurut Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka , Karim Paputungan dilansir hukumonline.com 17 April 2003, pemuatan foto itu hanyalah visualisasi dari bentuk simpati dan empati atas situasi berat yang dialami Akbar Tanjung. Kala itu, Akbar sedang didera isu korupsi yang membuatnya menjadi tersangka. Rasa malu terlanjur menciprat ke wajah, Akbar pun melaporkannya ke pihak berwajib. Dalil pengaduannya pencemaran nama baik. Pada 9 September 2003, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Karim Paputungan hukuman penjara lima bulan dengan masa percobaan sepuluh bulan. Karim dianggap bersalah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP, yang berbunyi, “Dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum, atau ditempelkan.” Namun, putusan itu tak serta-merta menjebloskan Karim ke jeruji besi. Tetapi apabila dalam kurun waktu sepuluh bulan Karim mengulangi perbuatannya, maka hukuman tersebut harus dijalani. Kasus Rakyat Merdeka menurut pakar komunikasi politik Mahi M. Hikmat dalam Jurnalistik: Literary Journalism Salah satu contoh yang berkaitan dengan penghinaan atau delik pers yang menyerang pribadi. Sementara itu, menurut jurnalis Pantau, M. Said Budairy, tuntutan hukum yang mendera Rakyat Merdeka karena mengabaikan banyak rambu-rambu yang seharusnya tidak boleh terlanggar. Karim Sendiri pada 2011, menerangkan kasus ini dalam bukunya yang berjudul Bila Parodi Diadili: Pengalaman Lempang Seorang Pemimpin Redaksi di Era Reformasi: Kasus Rakyat Merdeka vs Akbar Tandjung. Kisah Cinta Sensasional Mundur lagi ke belakang, tabloid dwi mingguan Warta Republik pernah memberitakan kisah cinta segi tiga yang melibatkan dua jenderal terkemuka. Mereka adalahmantan wakil presiden, Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan mantan menteri pertahanan, Jenderal (Purn) Edi Sudrajat. Pada edisi No.01/I/Minggu III November 1998, tabloid ini memuat tajuk “Cinta Segitiga Dua Orang Jenderal” pada sampul depannya. Sementara di halaman dalam, terdapat artikel berjudul “Try Sutrisno dan Edi Sudrajat Berebut Janda”. Berita yang tentu saja menggegerkan itu ditulis wartawan Warta Republik , Hoessein Madilis. Artikel Warta Republik menguraikan kesaksian seorang wanita janda bernama Nani. Dari Nani, diperoleh cerita bahwa terjadi persaingan antara Try dan Edi untuk mendapatkan cinta Nani. Karena mendengar sendiri penuturan Nani, maka berita itu oleh Hossein dianggap akurat. “Demi kemanusiaan dan membela orang tertindas, maka berita itu dimuat,” kata Masiga Bugis, pengacara Hossein dikutip R.H. Siregar dalam Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Berita itu sampai kepada Try Sutrisno. Tanpa tedeng aling-aling, Try melaporkan Warta Republik ke Polda Metro Jaya dengan aduan penyebaran fitnah. Dalam penyidikan, Hossein mengakui reportasenya dilakukan tanpa melalui konfirmasi kepada Try Sutrisno alias hanya satu sisi. Tidak mudah baginya untuk menghubungi dan mewawancarai tokoh sekelas Try. Pada 25 Agustus 1999, pengadilan mendakwa Hossein bersalah dan menjatuhinya hukuman percobaan. “Dalam kasus ini, wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti, dan telah mencemarkan nama baik,” tulis Mahi M. Hikmat. Pengalaman media-media ini seyogianya menjadi pelajaran bagi siapapun. Nalar kritis dan kebebasan pendapat sejatinya harus beriringan dengan etika. Karena kalau tidak, bisa saja nanti berhadapan dengan hukum pidana.
- Kursk, Kisah Getir di Laut Barents
DI pagi yang cerah 12 Agustus 2000, ia lepas jangkar di Pangkalan Angkatan Laut (AL) Rusia Vidyayevo, Murmansk. Lambaian tangan sejumlah bocah yang kagum akan keperkasaannya melepas kepergiannya menuju Laut Barents. Tapi siapa sangka, penampakannya pagi itu sebelum menyelam akan jadi penampakan terakhir Kapal Selam Nuklir K-141 Kursk. Letnan Mikhail Averin (Matthias Schoenaerts) dengan antusias melakoni tugasnya sebagai kepala unit turbin di kompartemen tujuh di buritan. Kapal selam canggih yang baru berusia enam tahun itu bakal jadi salah satu bintang dalam latihan bersama Armada Utara Rusia untuk kali pertama dalam 10 tahun terakhir. Tetapi belum juga sepenuhnya bergabung bersama sekira 30 kapal perang Rusia lain, bencana sudah menghantui Kursk. Berulangkali dua rekan sekaligus sahabat Averin di ruang torpedo, Anton Markov (August Diehl) dan Pavel Sonin (Matthias Schweighöfer), memberi peringatan kepada Kapten Shirokov (Martin Brambach) soal masalah teknis di sistem torpedo dummy yang akan dipakai latihan, namun justru diabaikan. Akhirnya, sebuah ledakan terjadi di kompartemen torpedo yang membuat kapal selam itu menghantam dasar laut. Satu ledakan lebih besar meletup sesaat kemudian dan membuat sebagian besar kru Kursk tewas. Situasi kian kritis lantaran haluannya hancur. Sutradara Thomas Vinterberg tak berlama-lama menggambarkan kengerian itu. Ia ingin langsung menyajikan inti film bertajuk Kursk itu kepada penonton. Pasalnya Vinterberg dan penulis skenario Robert Rodat bukan sedang menyuguhkan film action. Kenyataan Getir Tersisa 23 kru yang masih hidup dari total 118, Averin mati-matian menuntun 22 rekannya untuk mengevakuasi diri di Kompartemen 9 di buritan. Mereka berjuang mempertahankan hidup dengan keterbatasan oksigen dan suhu dingin akibat merembesnya air laut di ruangan evakuasi itu. Namun, para kolega mereka di berbagai kapal perang lain di permukaan belum menyadari Kursk hilang dari radar. Justru AL Inggris yang –turut memantau latihan itu– duluan insyaf. Kolonel David Russel (Colin Firth) dari markasnya mencoba mengontak Panglima Armada Utara Rusia Laksamana Vyacheslav Grudzinsky (Peter Simonischek), namun nihil hasil. Salah satu adegan para penyintas Kapal Selam Kursk yang bertahan hidup dalam kondisi kritis. (Belga Productions) Grudzinsky baru sadar belasan jam kemudian bahwa Kursk mengalami masalah dan tumbang ke dasar laut. Sementara kapal penyelamat lamban bereaksi, para keluarga awak Kursk sudah mendengar desas-desus bencana itu. Pun begitu, AL Rusia masih menolak memberi informasi. Kendati berulangkali kapal selam penyelamat gagal mencapai para penyintas Kursk, Grudzinsky dengan pede -nya menyatakan armadanya mampu menyelamatkan mereka. Tawaran bantuan dari militer Barat dengan peralatan canggih pun terus mengalami penolakan. Berkejaran dengan waktu, para keluarga menuntut penjelasan dan upaya lebih dari AL Rusia. Keributan pun pecah saat Laksamana Vladimir Petrenko (Max von Sydow) diprotes massa yang dipicu tuntutan Tanya Averina (Léa Seydoux), istri Letnan Averin. Seorang perawat AL Rusia sampai harus membius paksa salah satu ibu yang mencela Petrenko. Di dasar laut, kondisi 23 penyintas kian kritis setiap waktu. Bahkan, korban jiwa bertambah saat pemantik generator oksigen meledak secara tak sengaja di hari keempat. Baru pada pagi di hari keempat para penyelam sipil Norwegia dan Inggris diperkenankan membantu. Namun, itu jelas terlambat. “Kursk menyimpan banyak rahasia militer. Rusia menolak penghinaan publik dengan menerima bantuan asing,” ujar Russel dalam salah satu adegan pasca-tawarannya ditolak Petrenko. Dramatisasi Tragedi Meski bukan film action , efek visual Kursk begitu halus. Iringan tata suara garapan Alexandre Desplat turut membangun suasana tegang di beberapa adegan, utamanya kala Averin menyabung nyawa untuk menyelam ke kompartemen lain yang sudah dipenuhi air demi mengambil stok pemantik generator oksigen. Namun, bukan keterpukauan penonton akan adegan-adegan frontal yang dicari Vinterberg selaku sineas. Vinterberg dan Rodat lebih ingin mempertontonkan betapa ada getir dalam gengsi yang dipertahankan pemerintah dan para petinggi AL Rusia. Demi mempertahankan gengsi dan kebanggaan itu, mereka secara tidak langsung menelantarkan ke-23 penyintas. Rusia seolah memilih meninggalkan mereka mati ketimbang malu dibantu pihak asing. “Di saat-saat akhir film terdapat momen tanpa harapan yang membuat kita dihantui kesedihan dan kemarahan. Film yang mengiris hati tentang para pelaut yang nyawanya secara kejam tidak diprioritaskan. Diakhiri adegan melankolis yang dibakar amarah para keluarga, serta meninggalkan luka yang mungkin takkan pernah pulih,” sebut Benjamin Lee dalam ulasannya di The Guardian , 7 September 2018. Adegan para keluarga penyintas kapal selam Kursk yang marah pada otoritas Angkatan Laut Rusia yang menolak bantuan penyelamatan dari pihak asing Film yang sedianya tayang pertamakali di Festival Film International Toronto, 6 September 2018 ini baru akan beredar di Amerika Serikat pada 21 Juni 2019. Belum ada kabar apakah juga akan tayang di Indonesia dan diragukan akan naik tayang di Rusia. Menariknya, film ini merupakan proyek gabungan beberapa negara –kecuali Rusia. Maka, dialog-dialognya pun berbahasa Inggris. Uniknya, tak sekali pun Vinterberg menggambarkan reaksi Putin yang sedang liburan di pesisir Laut Hitam ketika musibah terjadi. Jangankan penggambaran Putin, dari deretan pemeran utama, hanya Artemiy Spiridonov yang –berperan sebagai Misha Averin– orang Rusia. Satu hal lagi yang menegaskan bahwa film ini didramatisir, adalah nama-nama karakternya yang nyaris semua disamarkan produser Ariel Zeitoun. Pengecualian hanya Kolonel David Russel yang diperankan Colin Firth, merupakan sosok asli. Sisanya bukan karakter tulen sebagaimana catatan sejarahnya. Seperti karakter utama Mikhail Averin yang aslinya bernama Dmitri Kolesnikov; panglima armada Laksamana Grudzinsky yang aslinya bernama Laksamana Vyacheslav Alekseyevich Popov; serta Panglima AL Rusia Laksamana Vladimir Petrenko yang karakter aslinya adalah Laksamana Vladimir Kuroyedov. “Ada banyak rumor di internet (soal nama-nama fiksi), bahwa kami terintimidasi otoritas Rusia. Itu omong kosong. Saya tidak ingin film ini tentang menunjuk hidung siapa yang salah tapi lebih kepada sisi kemanusiaannya. Makanya saya pikir akan lebih baik jika mengganti nama-namanya dan meniadakan sosok Putin,” terang Vinterberg, mengutip The Hollywood Reporter , 21 Oktober 2018. Pun begitu jalannya kisah merupakan fakta sejarah lantaran Rodat selaku penulis skenario menggarap naskahnya berdasarkan catatan riset jurnalis Inggris Robert Moore yang dibukukan, A Time to Die: The Untold Story of the Kursk Tragedy . Salah satu catatan yang dipercaya paling akurat terkait tragedi itu.
- Antara Perempuan dan Politik
PROKLAMASI mengubah konfigurasi politik. Ketiadaan musuh bersama membuat lelaki menjadi makin dominan dalam bidang politik sementara perempuan disingkirkan dan dianggap lebih layak bergerak di bidang sosial. Organisasi perempuan yang bercorak keagamaan, misalnya, kebanyakan berjalan dengan pembagian kerja model ini. Kecenderungan seperti itu dikritik para aktivis perempuan, salah satunya Supeni. Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut Supeni menolak keras pemisahan perempuan dan partai politik. Menurutnya, perempuan harusnya dianggap setara dan disamakan statusnya dengan lelaki untuk ikut andil dalam urusan-urusan politik. Pendapat Supeni tak asal bunyi. Di tengah kecamuk Perang Kemerdekaan dan kesibukan mengatur organisasi perempuan, pada 1946 Supeni mendaftarkan diri ke PNI. Posisinya di PNI dan gerakan perempuan pun tak sepele. Supeni menjabat ketua Kowani pada 1948 di mana Maria Ullfah duduk sebagai wakilnya. Pada 1949, Supeni diangkat menjadi anggota dewan partai PNI. “Partailah yang dapat mendidik dan memimpin rakyat menuju transformasi masyarakat dari dijajah menjadi merdeka,” kata Supeni dalam memoarnya Supeni Wanita Utusan Negara. Sejak remaja, Supeni sudah aktif dalam gerakan. Di usia 14 tahun, Supeni sudah melahap bermacam bacaan politik dan ikut mendengarkan ceramah politik. Ia lalu menjabat sebagai wakil ketua Indonesia Muda merangkap Keputrian Indonesia Muda cabang Blitar. Posisi itu mengharuskan Supeni menjadi pembicara di forum-forum pemuda nasionalis. Keaktifan Supeni dalam gerakan pemuda nasionalis ini mengakibatkannya dinas intelijen politik kolonial, PID, dan menjadi sorotan guru-gurunya di Holandsche Indische Kweekschool Blitar. Supeni ingat perkataan gurunya bahwa ia tak pantas menjadi guru karena membahayakan pendidikan. “Di kota Blitar aku berkenalan dengan Supeni. Seorang gadis lincah aktivis Indonesia Muda. Nantinya ia menjadi aktivis PNI yang andal,” kata Lasmidjah Hardi, rekan seperjuangan Supeni, dalam Perjalanan Tiga Zaman. Supeni juga aktif dalam gerakan perempuan dengan ikut mendirikan Persatuan Wanita Madiun usai Jepang kalah perang. Namun, organisasi ini tak bertahan lama dan dilebur menjadi Perwari lewat putusan Kongres Perempuan Indonesia 1945 di Klaten. Berbekal mengikuti organisasi sejak remaja itulah Supeni bisa menjadi salah satu elite PNI. Ia terpilih menjadi ketua Departemen Pendidikan dan Sosial PNI di samping terpilih menjadi anggota Dewan Pimpinan partai pada 1959. Ketika terjadi perpecahan di tubuh PNI pada minggu pertama Agustus 1965, Supeni sedang dinas ke luar negeri. Sekembalinya ke Jakarta, ia menemukan kondisi partai yang penuh konflik akibat kebijakan DPP PNI menskorsing beberapa anggota yang dianggap tidak loyal. Orang-orang yang dianggap PNI gadungan berencana mendirikan PNI tandingan. Supeni, yang khawatir akan kondisi perpolitikan makin memanas, pun menemui Presiden Sukarno untuk meminta bantuan. “Saya minta kepada Bung Karno untuk memerintahkan Mas Ali (Sastroamidjojo, Ketum PNI, red .) supaya segera menyelenggarakan Kongres Luar Biasa untuk menyelesaikan masalah penggadungan karena kalau tidak cepat-cepat, saya khawatir Hardi CS akan mengadakan PNI tandingan,” kata Supeni. Kendati mulanya menolak karena bukan lagi bagian dari PNI, Sukarno akhirnya tak kuasa menolak permintaan Supeni. “Ya, saya akan perintahkan kepada Ali (Sastroamidjojo, red .) tapi kau saya minta juga untuk mencegah Hardi jangan sampai membuat PNI tandingan,” jawab Sukarno. Supeni pun menemui Hardi untuk menyampaikan pesan Sukarno. Ali yang kemudian ditemui Sukarno pun akhirnya sepakat untuk mengadakan kongres darurat selepas ia kembali dari perjalanan dinas ke Tiongkok. Namun, belum lagi PNI sempat meredam potensi perpecahan di tubuhnya, G 30 S keburu terjadi. PNI tandingan yang dipimpin Osa Maliki pun muncul ke permukaan. Nasib PNI yang terpecah menjadi dua tak bisa dibiarkan oleh Iskaq Tjokroadisuryo, salah satu pendiri PNI pada 1927. Dia mengajak Supeni untuk membuat Panitia Penegak PNI. Sayangnya, usaha ini gagal.
- Masuknya Islam ke Selandia Baru
Aksi terorisme terjadi di Selandia Baru pada Jumat, 15 Maret 2019. Pelaku utamanya, Brenton Tarrant, pria kulit putih berusia 28 tahun kelahiran Australia, menembaki kaum muslim di dua masjid di Christchurch. 50 orang meninggal, satu di antaranya warga negara Indonesia. Aksi biadab itu menjadi peristiwa kelam bagi warga muslim di Selandia Baru yang telah berusia lebih dari seabad. Muslim pertama yang masuk ke Selandia Baru berasal dari Cina. Mereka datang untuk bekerja di pertambangan emas. Mereka disebut dalam sensus tahun 1874. Sensus itu, menurut Erich Kolig dalam New Zealand's Muslims and Multiculturalism, mendaftar 17 “ Mohamatans” atau “Mahometans", semuanya laki-laki, di antaranya 15 orang Cina yang bekerja di tambang emas Otago di Dunstan dekat Dunedin. Kegiatan beragama mereka tidak dicatat atau dikomentari. Sehingga tidak diketahui apakah mereka taat beribadah, dengan cara apa mereka menyembah, atau bagaimana mereka mengekspresikan kesalehan mereka atau sebaliknya. Tidak diketahui apakah mereka akhirnya memutuskan untuk tinggal secara permanen atau kembali ke Cina. Juga tidak diketahui apakah mereka, atau beberapa dari mereka, membangun keluarga di Selandia Baru dan meneruskan keyakinannya kepada anak-anaknya. “Yang terakhir tampaknya agak tidak mungkin karena tidak ada informasi muslim di antara komunitas Cina-Selandia Baru saat ini. Masa kehadiran muslim Cina pun berlalu tanpa meninggalkan jejak,” tulis Erich. Sementara itu, Panji Masyarakat, No. 598 Tahun XXX, 1-10 Januari 1989, melaporkan di antara Cina muslim ada yang menjadi kaya dan kembali ke Cina, dan ada yang pindah ke negara lain. Banyak pula yang meninggal tanpa keturunan. Sehingga orang-orang Cina muslim itu menghilang dari Selandia Baru dan tidak ada bekasnya lagi. Pada permulaan abad ke-20, lanjut Panji Masyarakat , seorang pangeran dari Ethiopia bernama Amir Ali dengan keluarganya pindah ke Selandia Baru. “Karena mereka satu-satunya keluarga Islam dan tidak ada pembinaan, maka keturunannya menjadi Kristen walaupun tetap memakai nama semacam nama Islam.” Menariknya, muslim pertama yang dimakamkan di Selandia Baru berasal dari Jawa. “Catatan (sensus) itu juga menyebutkan muslim pertama yang dimakamkan di Selandia Baru seorang pelaut Jawa bernama Mohamed Dan, yang meninggal di Dunedin pada 1888,” tulis Erich. Informasi ini bersumber dari Muslims in New Zealand (2005), buklet ulang tahun ke-25 Federation of Islamic Associations of New Zealand. Dengan demikian, menurut Erich, kemungkinan ada beberapa pelaut muslim dari Asia Tenggara atau Asia Selatan yang memutuskan tinggal di Selandia Baru secara permanen atau sementara. Erich menyebut imigran muslim pertama yang riwayatnya diketahui dengan baik adalah Ismael Ahmed Bhikoo dari Gujarat, India, yang tiba di Selandia Baru pada 1909. Awalnya dia menuju Fiji, tetapi memutuskan tinggal di Selandia Baru. Dia membangun toko di Auckland dan kemudian membawa putra-putranya –menurut sumber lain, saudara-saudaranya– dari India untuk membantu usahanya. Setahun setelah Bhikoo, Essop Moosa juga dari India tiba dan tinggal di Auckland. Tak lama setelah itu, Muhammad Suleiman Kara memilih Christchurch sebagai tempat tinggal barunya. Bhikoo dan Moosa mempertahankan hubungan dengan keluarganya di India selama bertahun-tahun. Menantu Moosa dan Bhikoo masing-masing datang pada 1936 dan 1940. Pada 1981, setidaknya ada 44 keturunan Bhikoo dan Moosa di Selandia Baru. “Bhikoo dan Moosa diakui sebagai bapak pendiri komunitas muslim di Selandia Baru. Mereka akhirnya membawa istri dan kerabat dari India dan, dan keturunan mereka masih menjadi inti dari komunitas muslim saat ini,” tulis Erich. Bukan Bhikoo, Canterbury Muslim Association dalam Muslims in New Zealand (2005) menyebut muslim pertama yang tiba di Canterbury adalah Sheikh Mohamed Din dari Punjab, India. Dia diyakini tiba pada 1890 bersama gelombang imigran muslim Punjabi lainnya. Pada 1905, orang Turkmenistan, Saleh Mohamed, dan ayahnya, Sultan, menetap di Christchurch. Kemudian Ismail Kara tiba pada 1907. Pada 1920, pemerintah menerapkan kebijakan imigrasi "White New Zealand" yang menghalangi secara signifikan imigrasi dari Asia selama bertahun-tahun. Sampai usai Perang Dunia II, populasi muslim di Selandia Baru masih kurang dari seratus. Pada 1951, sekitar 50 orang muslim dari Balkan (Albania dan Bosnia), Turki, dan negara-negara tetangganya,tiba di Selandia Baru. Jumlah muslim pun meningkat dari 67 pada 1945 menjadi 205 orang. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 260 orang. Mayoritas laki-laki sehingga secara bertahap muslim perempuan mulai berdatangan. Jumlah muslim yang dilaporkan dalam sensus antara tahun 1961 dan 1971 berlipat tiga, dari 260 menjadi 779. Pertumbuhan yang relatif cepat berlanjut pada 1970-an dan 1980-an dengan jumlah muslim, sebagaimana dicatat dalam sensus, mencapai 2.500 pada 1986. Meskipun jumlahnya masih kecil, peningkatannya hampir sepuluh kali lipat dalam dua puluh tahun terakhir, dan lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Peningkatan yang cepat tercermin dalam sensus tahun 2001, jumlahnya mencapai 23.500 orang. Menurut sensus terakhir tahun 2006, umat Islam mencapai 36.000 orang atau hampir satu persen dari populasi. Bahkan, para tokoh muslim memperkirakan jumlahnya di atas jumlah sensus, yaitu 40.000 hingga 45.000. Mayoritas muslim, antara 25.000 hingga 30.000, tinggal di daerah Auckland, sebagian besar sisanya tinggal di Wellington. Komunitas muslim yang lebih kecil berada di kota Hamilton, Christchurch, dan Dunedin. Komunitas muslim sebagian besar berasal dari Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, dan Fiji), dengan orang-orang Fiji yang paling menonjol. Namun kini mencakup setidaknya 35 bahkan mungkin 40 bangsa. Gelombang imigrasi yang lebih baru termasuk orang-orang Arab dari Timur Tengah dan Maghreb (Afrika Utara), Malaysia, Indonesia, Iran, Afghanistan, Somalia dan Afrika sub-Sahara, serta orang-orang dari Balkan yang melarikan diri dari kekacauan politik baru-baru ini. Ada juga beberapa mualaf yang jumlah pastinya masih spekulasi . Tulisan ini diperbarui pada 18 Maret 2019.
- Penangkapan Ulama Banten di Pemilu 1977
Jalanan utama Kota Pandeglang, Banten, Jawa Barat, penuh massa. Tak ada kendaraan lewat. Massa memblokir jalan. Mereka siap menyerbu penjara Pandeglang dekat alun-alun kota. Mereka hendak mengeluarkan paksa K.H. Muchamad Dimyathi, ulama berpengaruh di Banten sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Cidahu, dari dalam penjara. Sehari sebelumnya, 14 Maret 1977, polisi menangkap Abuya Dimyathi. Penangkapan terhadap Abuya Dimyathi (lahir 7 Juni 1920) bermula dari laporan seorang Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) Cadasari, Pandeglang. Dia mendengar Abuya Dimyathi berbicara di hadapan orang-orang sebelum Salat Jumat di Masjid Cidahu pada 11 Maret 1977. Isi pembicaraannya seputar kritik Abuya Dimyathi tentang intimidasi Golongan Karya (Golkar) kepada masyarakat Pandeglang menjelang Pemilu 1977. “Zaman itu, maklumlah, (ada) penekanan-penekanan. Yang namanya kekuasaan, setengah diktatorlah. Harus A, ya A. Harus B, ya B. Banyak orang yang dikejar-kejar, dipaksa,” kata K.H. Ariman Anwar, salah satu santri Abuya Dimyathi sejak 1975, kepada Historia . Golkar menjadi pemenang Pemilu 1971 secara nasional, termasuk di Pandeglang. Mereka menguasai parlemen dan pemerintahan. Mereka berupaya mempertahankan posisi itu pada pemilu selanjutnya. Golkar adalah mesin politik Orde Baru. Tanpa kemenangan Golkar dalam pemilu, kekuasaan Orde Baru akan goyah. Orde Baru perlu memastikan dominasi Golkar dalam Pemilu 1977. Antara lain dengan mempreteli kekuatan partai-partai pesaing, monoloyalitas pegawai negeri, dan menyusun Undang-Undang Pemilu 1977. “Inti dari pemilihan umum 1977 ialah mempertahankan dominasi ini dan berusaha sekali lagi melegitimasikannya melalui proses yang seolah-olah demokratis,” tulis William Liddle dalam Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik. Golkar memperoleh banyak keistimewaan dalam pemilu 1977. Di Pandeglang, misalnya, mereka menyatakan dirinya sebagai pemerintah. Mereka mempolitisasi ulama dan mengajaknya bergabung mendukung Golkar demi keberlangsungan pembangunan pesantren dan Banten. Mereka tak segan menawarkan dana perbaikan bangunan pesantren kepada para ulama. Sejumlah ulama akhirnya menyatakan bergabung dengan Golkar dan memperkuat pernyataan bahwa Golkar adalah pemerintah. Tidak berpihak pada Golkar berarti tidak mendukung pembangunan. Tidak memilih Golkar berarti menentang pemerintah atau makar. Intimidasi seperti ini sepi dari tindakan kepolisian. Masjid Cidahu tempat Abuya Dimyathi memberi jawaban kepada masyarakat soal pilihan dalam Pemilu 1977. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia.id) Golkar bukan Pemerintah Masyarakat Pandeglang memiliki keterikatan kuat pada budaya politik NU. Salah satu cirinya adalah setia pada pemerintahan. Mereka tidak boleh makar pada pemerintahan. Keadaan ini membingungkan masyarakat Pandeglang. Mereka bertanya kepada Abuya Dimyathi, apakah ini berarti memilih partai politik selain Golkar benar-benar tindakan makar? “K.H. Dimyathi menjawab bahwa Golkar bukanlah pemerintah. Golkar memiliki posisi yang setara dengan partai politik lain, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mereka adalah kontestan pemilu 1977,” kata Juhdi Syarif, pengajar Program Studi Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, kepada Historia.id . Juhdi meneliti sikap politik Abuya Dimyathi pada pemilu 1977 dalam disertasinya. Dia berkesimpulan bahwa Abuya Dimyathi hanya berupaya menjernihkan persoalan seputar pemilu di masyarakat. Abuya Dimyathi bukan salah satu pendukung partai politik atau Golkar. Sebagai ulama, dia menghindari politik praktis. Dia tidak mengarahkan masyarakat harus memilih Golkar, PPP, atau PDI. Masyarakat mengakui kearifan dan keulamaan Abuya Dimyathi. Mereka telah memandangnya selaik bapak sendiri. Jika masyarakat bimbang dan takut, ke dialah masyarakat mengadu. Karena itu, masyarakat bertanya kepadanya tentang sikap apa yang harus mereka ambil dalam pemilu. “Jawaban beliau berarti masyarakat bebas memilih dalam pemilu. Tidak boleh dipaksa-paksa. Tidak memilih Golkar bukanlah tindakan makar,” kata Juhdi. Selain memberi masyarakat jawaban, Abuya Dimyathi meminta kepala desa, pejabat pemerintah, dan pengurus Golkar agar tak menakut-nakuti masyarakat menjelang Pemilu 1977. Dia menginginkan situasi damai dan tenang melingkupi kehidupan masyarakat. Tetapi jawaban dan permintaan Abuya Dimyathi beroleh artian lain dari Kapolsek. Dia menggangap Abuya Dimyathi menentang pemerintah. “Dia lapor Kapolres, kemudian diproses,” kata K.H. Ariman. Polisi datang ke rumah Abuya Dimyathi pada 14 Maret 1977. Mereka membawanya ke kantor dan memproses verbal selama beberapa jam. “Jam sembilan pagi diambil, jam empat sore masuk penjara. Sidang kilat. Terus masuk penjara. Intinya dianggap mengkafirkan Golkar. Ya sudah, begitu. Jangan diperpanjang lagi itu, mah, ha-ha-ha,” kata Abuya Muhtadi, salah seorang anak Abuya Dimyathi kepada Historia . Abuya Murthado, adik Abuya Muhtadi, mengakui bahwa keluarga terkejut dengan peristiwa tersebut. Dia datang ke penjara untuk menanyakan kondisi ayahnya. Wakil kepala penjara menemuinya dan berkata, “Kyaimu pemberontak dan orang merah (Partai Komunis Indonesia, red. ),” tulis Abuya Murtadho dalam Manaqib Abuya Cidahu dalam Pesona di Dua Alam . Keluarga Abuya Dimyathi akhirnya menerima kabar lanjutan. Pengadilan Negeri Pandeglang memvonis Abuya Dimyathi dengan hukuman penjara enam bulan. Sidang berlangsung tanpa saksi dan pengacara. Keesokan harinya kabar itu tersebar. Jawara dan santri berkumpul di jalanan. Tentara pun keluar dari markasnya. Pandeglang mencekam. “Cidahu saat itu laksana gunung yang meletus mengeluarkan gumpalan-gumpalan lahar dan lava yang amat panas, berbagai komentar baik yang sehat maupun yang tidak sehat salah berdatangan,” tulis Abuya Murthado.
- Empat Burung Besi yang Dikandangkan
KATA orang, naik pesawat adalah cara terbaik dalam berperjalanan. Beragam statistik membuktikan kebenaran ungkapan itu. Penerbangan lebih aman ketimbang aneka transportasi darat dan laut. Namun, berbagai kecelakaan penerbangan mengerikan tetap bikin ngeri. Otoritas penerbangan berbagai negara bahkan sampai menyangkarkan pesawat-pesawat tertentu. Seperti yang terjadi pada pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 baru-baru ini. Pesawat versi kedua varian 737 MAX dengan ciri khas split-tip winglet di kedua sayapnya itu jadi sorotan setelah dua kecelakaan fatal terjadi padanya di Indonesia dan Ethiopia. Dua tragedi tersebut menandakan ada masalah besar dalam pesawat yang terbang pertamakali pada 22 Mei 2017 itu. Belum dua tahun sejak penerbangan perdananya, Boeing 737 MAX 8 sudah mengalami kecelakaan. Pada 29 Oktober 2018, pesawat bernomor penerbangan JT610 milik maskapai Lion Air dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di perairan Karawang. Total 189 orang, kru maupun penumpang, kehilangan nyawa. Pesawat sejenis milik Ethiopian Airlines bernomor penerbangan ET302 menambah catatan daftar hitam pada Minggu, 10 Maret 2019. Pesawat dengan rute Addis Ababa (Ethiopia)-Nairobi (Kenya) itu jatuh di sebuah desa di Bishoftu, Ethiopia dan menewaskan 157 orang, penumpang maupun kru. Sehari setelah kecelakaan Ethiopian Airlines itu, sejumlah negara dan maskapai penerbangan memutuskan mengandangkan Boeing 737 MAX 8 mereka hingga jangka waktu tertentu. China mempelopori aksi boikot itu dan diikuti Ethiopia, Maroko, Argentina, Brasil, Afrika Selatan, Australia, dan Indonesia. Sepanjang sejarah, ini bukan kali pertama ada jenis pesawat yang disangkarkan alias dilarang terbang oleh otoritas penerbangan. Ada empat jenis pesawat yang pernah dikandangkan, baik karena tragedi maupun masalah teknis namun belum sampai terjadi kecelakaan, sebagaimana diuraikan di bawah ini: McDonnell Douglas DC-10 McDonnell Douglas DC-10 milik maskapai American Airlines (Foto: Wikipedia) Pesawat bermesin tiga ini pernah dikandangkan selama 10 bulan oleh Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (AS) FAA pada 1979. Keputusan FAA itu keluar setelah DC-10 milik American Airlines bernomor penerbangan N110AA jatuh di Des Plaines, Illinois, 25 Mei 1979. Laporan investigasi Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS bertajuk “Chicago DC-10 Accident Findings” tertanggal 21 Desember 1979 mengungkap, pesawat dengan rute Chicago-Los Angeles itu jatuh akibat kerusakan teknis. “DC-10 mengalami gagal mesin, terguling dan jatuh karena rangka sayap kiri rusak dan kehilangan sistem peringatan dua kokpit.” Akibatnya, 271 orang yang di pesawat dan dua orang lain di darat tewas. Hasil investigasi NTSB menunjukkan, ada kelalaian pemeliharaan. American Airlines pun didenda 500 ribu dolar Amerika plus sertifikat DC-10 ditarik sementara pada 6 Juni 1979. Penarikan sertifikat itu otomatis meng- grounded total 138 DC-10 dari sejumlah maskapai di AS serta melarang 132 DC-10 lain dari maskapai asing masuk ke AS. Larangan terbang yang ternyata hanya sampai 38 hari itu mengakibatkan kerugian jutaan dolar. “Kerugian (masing-masing maskapai) rata-rata lima juta dolar Amerika per harinya,” ungkap Gary R. Halford dalam Fatigue and Durability of Structural Materials. McDonnell Douglas MD-80 Delta Airlines juga pernah terpaksa mengandangkan pesawat McDonnell Douglas MD-80 (Foto: Delta Airlines) Pada 2008, ratusan pesawat jenis MD-80 milik beberapa maskapai di AS terpaksa di- grounded FAA. Inspeksi dan audit keselamatan besar-besaran FAA dilakukan pada 26 Maret-12 April 2008 gegara temuan laporan tidak layak terbang dari 43 pesawat milik Southwest Airlines, yang akhirnya didenda FAA 10 juta dolar. Larangan itu berimbas pada maskapai-maskapai lain yang armadanya bertulangpunggungkan MD-80. Antara lain, American Airlines dan Delta Airlines, yang ternyata juga kedapatan mengoperasikan beberapa pesawat tidak layak terbang. “Semua 300 pesawat MD-80 American Airlines juga di- grounded oleh FAA sebagai hasil dari audit keselamatan (FAA) dan dinyatakan tidak layak terbang,” ungkap Ted dan Dan Reed dalam American Airlines: US Airways and the Creation of the World’s Largest Airline . Akibat larangan itu, American Airlines terpaksa membatalkan 5.700 jadwal penerbangan dalam rentang Maret-April dan kena denda 24,2 juta dolar Amerika. Sementara, Delta Airlines urung menggulirkan 275 jadwal penerbangan namun tidak didenda lantaran lebih dulu berinisiatif menginspeksi armadanya tanpa harus ditegur FAA. Airbus A380 Pesawat Airbus A380 milik maskapai Qantas Australia (Foto: qantas.com) Setidaknya enam pesawat super-jumbo Airbus A380 milik Qantas Airways terpaksa dikandangkan pada akhir 2010 atas perintah otoritas transportasi Australia. Putusannya berhulu dari insiden pesawat Qantas QF32 (London-Sydney) pada 4 November, yang untungnya tak menyebabkan adanya korban jiwa. Laporan Biro Keselamatan Transportasi Australia ATSB bernomor AO-2010-089 yang rilis 27 Juni 2013 mengungkap, pesawat A380 itu mengalami gagal mesin saat menembus 7.000 kaki selepas take off dari Bandara Changi, Singapura pasca-transit. Mesin nomor dua rusak, sementara tangki bahan bakar di mesin nomor satu terbakar. Beberapa puing bagian mesin yang rusak bahkan jatuh di perairan Batam, Kepulauan Riau. Beruntung, pesawat yang membawa 469 (penumpang dan kru) orang itu bisa kembali untuk mendarat darurat di Changi. Akibatnya, tidak hanya enam pesawat Qantas yang harus di- grounded sampai April 2012, maskapai Lufthansa dan Singapore Airlines juga mengandangkan unit-unit A380 mereka selama beberapa waktu. A380 yang bermasalah dan akhirnya di- grounded ternyata hanya yang memakai mesin Rolls-Royce Trent 900 sebagaimana milik Qantas. Pesawat A380 yang memakai mesin Engine Alliance GP7200 seperti milik Fly Emirates dan Air France tidak kena larangan. Alhasil, Rolls-Royce merugi dan mesti membayar kompensasi 95 juta dolar Australia kepada Qantas. Boeing 787 Dreamliner Pesawat Boeing 787 Dreamliner yang pernah pula terpaksa di-grounded lantaran masalah teknis (Foto: Arizona State University) Rangkaian masalah yang terjadi pada Dreamliner milik beberapa maskapai pada 2013 memaksa FAA memerintahkan grounded total. Insiden pertama terjadi pada Dreamliner milik Japan Airlines (JAL), 8 Januari 2013. Pesawat itu mengalami problem elektronik pada baterainya sehingga mengakibatkan kebakaran pada tangki bahan bakar. Kendati tak ada korban dalam insiden itu, pesawat terpaksa batal takeoff dari Boston menuju Tokyo. Pada 13 Januari 2013, problem pada Dreamliner milik JAL kembali ditemukan. Otoritas Bandara Narita, Tokyo menemukan kebocoran pada tangki bahan bakar kala menginspeksi pesawat itu. Insiden-insiden itu memaksa FAA meng- grounded semua pesawat jenis Dreamliner. All Nippon Airlines (ANA) menjadi perusahaan paling banyak menderita kerugian akibat larangan itu lantaran jadi pemesan pertama dan bertulangpunggungkan 17 unit Dreamliner. “Kerugian ANA setelah di- grounding mencapai 1,1 juta dolar Amerika per hari. FAA baru mencabut sanksi pada 19 April 2013. Dikalikan 50 Dreamliner di semua maskapai, total kerugiannya mencapai 270 juta dolar Amerika,” sebut Richard L. Nolan dalam Executive Team Leadership in the Global Economic and Competitive Environment.
- Selamatkan Situs Sekaran di Proyek Tol Pandaan-Malang
PENEMUAN bangunan di Situs Sekaran yang dilalui proyek tol Pandaan-Malang punya harapan untuk selamat. Hasil peninjauan BPCB diketahui masih ada kemungkinan terusan struktur bata yang menyembul masih tersembunyi di bawah tanah. Struktur bata yang ditemukan itu merupakan bagian dari dinding kuno yang memiliki orientasi barat daya ke timur laut. Kemungkinan besar masih berlanjut mengarah pada struktur lain yang lebih luas dan besar di arah barat daya. Sementara ukuran batanya, ketika dibandingkan dimensinya lebih besar dari ukuran bata yang ditemukan di Situs Trowulan. “Dapat disimpulkan sementara bahwa struktur bata itu berasal dari masa pra-Majapahit dan berlangsung hingga masa Majapahit,” kata Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui siaran pers yang diterima pada 12 Maret 2019. Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya temuan struktur saluran air bata kuno itu memenuhi kriteria sebagai cagar budaya. Selain struktur bata, Hilmar menyebutkan pula temuan lain berupa fragmen tutup guci dan fragmen sendok. Dugaan sementara, porselen itu berasal dari masa Dinasti Ming. Fragmen tutup guci dibuat dengan bahan dan tingkat kerapatan yang halus serta berwarna biru muda. Warna ini jarang ditemukan dalam artefak porselen Jawa Timur. Untungnya, berdasarkan siaran pers PT Jasa Marga Tbk. No. 36/2019 yang diterima pada 13 Maret 2019 dalam hal ini pihak PT Jasamarga Pandaan-Malang (JPM) mengatakan tengah berkoordinasi dengan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Direktur Utama PT JPM, Agus Purnomo menjelaskan, lokasi temuan tak berada di jalur utama tol melainkan di area Right of Way (ROW) atau sekira 15 meter dari jalur utama. “Apakah nantinya harus mengubah trase atau tindakan lainnya, kami masih menunggu laporan resmi dari BPCB dan kajian dari BPJT,” kata Agus. Saat ini proyek pembangunan jalan tol Pandaan-Malang, terutama di lokasi temuan itu, dihentikan sementara sampai waktu yang belum bisa ditentukan. “Dengan adanya tumpukan batu merah itu, pekerjaan di lokasi kami hentikan sementara. Pada lokasi temuan sudah diamankan dengan garis polisi. Di samping itu, di lokasi itu sedang ada pekerjaan galian tanah untuk badan jalan main road ,” kata Agus. Namun, Agus menekankan, hanya titik di sekitar temuan yang pengerjaannya dihentikan sementara. Karenanya dipastikan pembangunan jalan tol Pandaan-Malang secara keseluruhan tidak terganggu.*





















