Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Hilang Nyawa Suporter Bola Salah Siapa?
GELORA Bandung Lautan Api bergemuruh saat pilar Persib Bandung Bojan Mališić mencetak gol di injury time babak kedua kontra Persija Jakarta, Minggu (23/9/2018) petang. Gol pengunci kemenangan 3-2 Persib itu meletupkan kebahagiaan segenap Bobotoh Bandung dan Jawa Barat. Sayangnya, di sisi lain gol itu menenggelamkan aksi tak manusiawi yang mengakibatkan nyawa Haringga Sirla, warga Cengkareng Timur, Jakarta, melayang beberapa jam sebelum laga El Clasico dimulai. Haringga, anggota Jakmania, kena sweeping oknum Bobotoh. Meski dia sempat lari dan minta tolong, tak satupun manusia di sekitarnya iba dan tergerak untuk menolongnya, minimal dengan mencegah para pelaku. Alhasil, pemuda berusia 23 tahun itu tewas dikeroyok menggunakan beragam benda. Anehnya, ke mana 4.327 personel aparat keamanan yang diterjunkan khusus untuk mengamankan laga tersebut? Tak kalah aneh dan tak berperikemanusiaan adalah mereka, terutama warganet, yang dengan enteng menyalahkan sang korban karena nekat datang ke Bandung meski sudah ada himbauan dari kepolisian, klub hingga pengurus The Jakmania.Apakah dengan sang korban datang ke Bandung lantas pantas dihukum apalagi dibunuh? Jelas tidak. Tak ada aturan hukum yang melarang sebuah pertandingan sepakbola dihadiri pendukung tim lawan. Presiden Joko Widodo sampai geleng-geleng kepala. “Fanatisme yang kebablasan,” cetusnya. Menpora Imam Nahrawi bersama BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) sampai mendesak kompetisi Liga I dihentikan sementara waktu. Ketua PSSI Jenderal TNI Edy Rahmayadi, sebagai pihak yang mesti ikut bertangggung jawab, mau tak mau menuruti desakan itu. Edy juga bakal mengadakan evaluasi meski tak jelas evaluasi seperti apa yang bakal dijalankannya. Siap, Pak Edy! Haringga Sirla, Jakmania asal Cengkareng Timur yang tewas dikeroyok oknum Bobotoh di Bandung (Instagram @militanjakartans) Kasus Berulang Kematian Haringga menambah panjang daftar suporter yang tewas dalam persepakbolaan tanah air. Menurut catatan, 54 suporter meregang nyawa gara-gara rivalitas sepakbola sejak 1995. Tujuh di antaranya akibat “konflik” suporter Persija-Persib sejak 2012, termasuk Haringga. Rangga Cipta Nugraha merupakan korban pertama. Anggota Bobotoh berusia 22 tahun itu tewas pada 27 Mei 2012 akibat tusukan benda tajam. Lazuardi (29), juga Bobotoh, menyusul tak lama kemudian akibat dikeroyok di hari yang sama dengan Rangga. Pun begitu dengan Dani Maulana (17). Mendiang Harun al-Rasyid Lestaluhu (30), anggota Jakmania, tewas dikeroyok di Tol Palimanan Cirebon. Sebelum Haringga, ada Ricko Andrean, Bobotoh yang dikeroyok oknum Bobotoh lain pada 22 Juli 2017 gara-gara menolong suporter Jakmania yang sedang dikejar oknum Bobotoh. Banyaknya korban tak menjadi perhatian semua stakeholder persepakbolaan nasional. Akibatnya, “berbalas pantun” selalu menjadi pilihan dalam penyelesaian. “Ini salah kita semua. Apa yang salah dengan kita? Karena ini terjadi berulang-ulang. Saya kira semua harus duduk bersama, melihat apa yang harus dievaluasi. Aturan kah, edukasi kah, eksistensi federasi kah, operator, klub, fans, atau media yang membiarkan semuanya menumpuk tak pernah ada penyelesaian konkret,” ujar Menpora Imam Nahrawi di acara Indonesia Lawyers Club, Selasa malam (25/9/2018). Belajar dari Inggris? Di masa lalu, klub-klub Inggris dan suporter mereka pernah jadi momok bagi persepakbolaan Eropa. Titik balik terjadi ketika Tragedi Heysel, 29 Mei 1985, yang mengakibatkan 39 orang tewas dan 600 luka-luka. Kejadian itu mengusik Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher. Sang “Wanita Besi” mendorong FA (induk sepakbola Inggris) bertindak tegas. Hasilnya, klub-klub Inggris diperintahkan untuk mundur dari semua kompetisi Eropa. “Kita harus membersihkan permainan (sepakbola) ini dari hooliganisme di negeri kita sendiri dan setelah itu mungkin kita baru bisa membolehkan sepakbola kita bermain di luar negeri lagi,” kata Thatcher, dikutip Jim White dalam A Matter of Life and Death. UEFA sebagai otoritas tertinggi sepakbola Eropa juga memberi sanksi kepada Liverpool dan sejumlah klub Inggris yang punya fans brutal, seperti Manchester United, Norwich City, dan Tottenham Hotspur. UEFA naru mencabut sanksi itu pada 1990. Tragedi Heysel 29 Mei 1985 mengakibatkan 39 orang tewas dan 600 luka-luka. (The Anfield Wrap). Dendam dan Luka Menganga Ibarat minyak dan air, pendukung Persija dan Persib sukar bersatu gara-gara dendam. Bentrok fisik maupun dalam berbagai sarana media yang provokatif mulai terjadi pada 2001 di Stadion Siliwangi. Dari situ, luka tak pernah terobati dan justru menjadi dendam yang terus bergulir bak bola salju. “Makanya saya katakan, jangan bicara damai dulu. Kita bicarakan tentang rasisme dan hinaan provokatif dulu, itu yang harus dihilangkan. Itu yang membuat koreng makin melebar. Rasisme, hate speech , dimulai dari kaos, spanduk, lagu-lagu, tulisan-tulisan di media sosial. Itu hilangkan dulu. Baru kita bicara rekonsiliasi dan perdamaian ke depan,” ujar Ketua Jakmania Tauhid Ferry Indrasjarief kala ditemui Historia. Namun, untuk menghilangkan berbagai hal negatif itu tak bisa hanya dilakukan pengurus suporter. Itu merupakan tanggung jawab bersama semua stakeholder sepakbola nasional. Tanpa kemauan bersama, kalimat “semoga ini yang terakhir” yang mengikuti tiap kerusuhan dengan korban jiwa akan selalu muncul. Hal itu membuat pentolan Bonek (fans Persebaya) Andie Peci, yang juga turut berduka atas meninggalnya Haringga, prihatin. Perilaku buruk suporter, kata Andie, tak lepas dari perilaku para petinggi sepakbola di Indonesia sendiri, baik petinggi klub, operator sampai PSSI. “Proses mencairkan, mendamaikan itu menurut saya hanya akan sia-sia ketika sepakbola nasionalnya sendiri tidak dalam posisi yang baik. Kita harus belajar dari Eropa. Rivalitas suporter di sana tetap dalam batas-batas sepakbola, batas-batas kemanusiaan. Mereka bisa seperti itu karena sepakbola di Eropa itu sudah mapan. Jadwalnya jelas, pengaturan skor nyaris tidak dijumpai, mafia sepakbola relatif kecil, aparat yang memberi rasa keamanan, selalu ada kuota untuk suporter tamu,” ujarnya saat ditemui Historia di Surabaya. Kemapanan sepakbola nasional dan profesionalitas industri sepakbola bakal langsung memengaruhi jalan pikiran para suporter. “Mereka bisa berivalitas dengan suporter lain sebagaimana mestinya. Tidak melakukan rasisme, tidak membunuh, mencelakakan. Itu yang belum bisa ada di sini. Butuh waktu memang, terutama untuk mengubah sepakbola nasional lebih mapan,” tandasnya.
- Sukarno Menjaga Martabat Pelukis
SEKIRA tahun 1960-an, di tengah usahanya menggelorakan semangat imperialis, Sukarno berusaha terus memupuk semangat para seniman untuk berkarya. Dia menginginkan ada studio seni besar untuk kegiatan melukis. Hasrat Sukarno disambut baik oleh Tjio Tek Djien, seorang pengusaha. Dia membuat studio seni lukis besar di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Banyak pelukis bergabung dengan bayaran seribu rupiah per lukisan dan harus membuat satu lukisan per hari. “Jadi, semacam kerja harian. Kalau memenuhi kriteria, berdasarkan instruksi Sukarno, lukisannya didistribusikan ke berbagai galeri seni di seantero Indonesia,” kata Mikke Susanto dalam peluncuran bukunya, Sukarno’s Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat. Saat itu, beberapa galeri yang dikunjungi orang untuk mencari benda seni, antara lain galeri Banowati di Jakarta dan galeri Pandy di Bali. Galeri Pandy didirikan oleh James Clarence Pandy, mantan pemandu wisata dari Thomas Cook, sebuah biro wisata internasional. Atas dorongan Sukarno, Pandy membuka galeri seni di Sanur, Bali, yang menampung lukisan-lukisan dari pelukis Indonesia. Sementara itu, koleksi benda seni istana terus bertambah. Sukarno memerlukan seorang kepercayaan yang bertugas mengatur segala hal yang berkaitan dengan penataan dan pendataan koleksi seninya. Dia menunjuk pelukis untuk menjadi pelukis istana yaitu Dullah (1950-1960), Lee Man Fong (1961-1965), dan Lim Wasim (1961-1968). Penunjukan sebagai pelukis istana turut membesarkan hati para pelukis Indonesia. “Saat Dullah mundur sebagai pelukis istana, dia diganti Lee Man Fong. Dan Lim Wasim diangkat sebagai asisten karena Man Fong merasa bukan orang kantoran, sementara Lim Wasim disebut Lee Man Fong sebagai orang kantoran. Akhirnya, Lim Wasim yang ada di istana,” ujar kritikus seni, Agus Dermawan T. Lee Man Fong pantas menggantikan Dullah karena karya-karyanya memang sesuai selera Sukarno. Saat menyambut Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta, Lee Man Fong beserta pelukis lain membuat lukisan dinding di Hotel Indonesia yang sangat disukai Sukarno. Lee Man Fong juga memprakarsai dan mengetuai perkumpulan pelukis Tionghoa di Indonesia bernama Yin Hua pada 1955 dan membuat sanggar lukis di kawasan Lokasari. Dari Yin Hua, muncul pelukis Tionghoa seperti Wen Peor, Thio Tjeng Tjwan, Lio Tjoen Tjay, dan Lee Rern. Soal lain adalah kepatuhan Sukarno kepada keinginan seniman. Misalnya, saat Lee Man Fong melukis Sukarno dengan seragam kebesarannya, dia tak keberatan disuruh bergaya oleh pelukis kesayangannya itu. “Bung Karno tidak menentukan cara duduknya sendiri, tapi ditentukan oleh asisten Man Fong yaitu Lim Wasim. Dia yang menata gaya Sukarno. Disuruh miring sedikit oke, mundur sedikit oke. Meski memakan waktu beberapa jam, Bung Karno nurut aja,” ujar Agus. Dalam buku barunya, Sukarno’s Favourite Painters , yang diterbitkan Balai Lelang Masterpice, Mikke Susanto menuliskan 33 pelukis kesayangan Sukarno secara alfabetis dari Abdulah Sr. hingga Willem Dooijewaard. Sembilan di antaranya pelukis mancanegara. Menariknya, Mikke memasukkan Affandi kedalam jajaran pelukis kesayangan Sukarno, padahal Affandi dikenal tak begitu suka Sukarno. “Bung Karno rak seneng (tidak senang, red. ) lukisanku kok. Lukisanku dianggap abstrak. Yang disayangi kok Basuki Abdullah,” ujar Agus menirukan ujaran Affandi tentang Sukarno. Namun begitu, kata Agus, Affandi kagum dengan sikap dan sosok Sukarno. Agus mengungkapkan bahwa di antara para pelukis terdapat persaingan meraih simpati dari Sukarno. Para pelukis iri dengan mereka yang disayangi Sukarno. Sebaliknya pelukis yang disayangi Sukarno juga iri dengan pelukis lain yang tidak dikenal tapi lukisannya dikoleksi Sukarno. Menurut Mikke konsep pelukis kesayangan ini sulit dijelaskan. “Saya membuat asumsi,” kata Mikke, “bahwa semua yang dikoleksi Sukarno, tentu disayangi. Sebab pada dasarnya Bung Karno sangat menjaga harkat dan martabat pelukis.”*
- Ali Bakatsir, Sastrawan Nasionalis Peranakan Arab
DI seantero Timur Tengah, nama Ahmad Sukarno sudah kadung kondang untuk merujuk siapa presiden pertama Indonesia. Bahkan di Kairo, ibukota Mesir, Ahmad Sukarno diabadikan sebagai nama salah satu jalan. Padahal nama asli Bung Karno hanya Sukarno. Perkara nama Ahmad Sukarno bermuasal dari ulah aktivis mahasiswa Indonesia di Mesir. Di zaman revolusi mereka tergabung dalam Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuannya agak unik dan terkesan pragmatis. Nama yang bernuansa Islami itu memberi citra Indonesia sebagai negara yang dipimpin oleh orang Muslim. Pada masanya, nama Ahmad Sukarno kian viral justru karena pentas drama. Bagaimana bisa? Dalam seminar internasional bertajuk “Ali Ahmad Bakatsir: Sastrawan dalam Jejak Sejarah Indonesia” yang digelar kemarin (24/9) di teater Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, terungkap siapa yang berperan dalam popularisasi nama Ahmad Sukarno di Timur Tengah. Adalah Ali Ahmad Bakatsir, sastrawan peranakan Indonesia-Arab yang menambahkan nama Ahmad Sukarno sebagai salah satu lakon dalam karyanya berjudul Audatul Firdaus (Kembalinya Surga). Selain berkhdimat dalam dunia literasi sebagai seorang sastrawan, Ali Bakatsir juga bergiat dalam wadah PPKI. Menurut Nabiel A. Karim Hayaze, direktur Menara Center –lembaga riset yang mengkaji keturunan Arab di Indonesia– sebelum melahirkan Audatul Firdaus, Ali Bakatsir termasuk orang yang paling rajin menulis di koran-koran Mesir mengenai kabar dari Indonesia. “Tentang Sjahrir, tentang Sukarno, tentang Mohammad Hatta, tentang Dr. Soetomo dalam bahasa Arab. Sehingga orang-orang Mesir menjadi terbiasa dengan pembicaraan tentang Indonesia,” ujar Nabiel. Khidmat di Jalur Sastra Ali Ahmad Bakatsir lahir di Surabaya 10 Desember 1910 (beberapa sumber lain menyebut 1900). Orang tuanya keturunan Arab dari pasangan Ahmad Bakatsir dan Nur Bobsaid. Pada 1920, Ali Bakatsir menimba ilmu di Hadramaut (Yaman) untuk belajar agama Islam dan bahasa Arab. Menurut Ali Hasan Albahar, pengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN, dalam keluarga Bakatsir mengakar dua hal penting: tradisi literasi dan sisi nasionalis. Di Yaman, Ali menetap di kota Seiyoun. Dia berguru pada seorang syekh besar bernama Al Qadhie Muhammad Bakatsir. Di masa ini, Ali mulai memperlihatkan kecakapannya di bidang sastra dengan menyusun bait-baitnya sendiri ataupun menggubah puisi. Selama di Seiyoun, Ali aktif dalam kegiatan sastra dan terlibat dalam penerbitan majalah At Tahdzhib . Seminar “Ali Ahmad Bakatsir: Sastrawan dalam Jejak Sejarah Indonesia” di Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. (Martin Sitompul/Historia). Sebagai pusat kebudayaan Arab, pada 1934, Ali merantau ke Mesir. Kendati terbentang jarak yang jauh, Ali tetap terikat dengan tanah kelahirannya. Apalagi memasuki dekade 1940-an, Ali makin serius memantau gerakan perjuangan di Indonesia lewat diskusi dengan sahabat-sahabatnya dalam PPKI. Pertengahan 1946, dalam acara peringatan setahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Kairo, karya Ali Bakatsir ini bergaung. Naskah drama Audatul Firdaus dipakai sebagai alat propaganda PPKI guna memperkuat perjuangan diplomasi Indonesia. Salah satu babak dari drama tersebut dipentaskan oleh pemuda-pemuda Jam’iah Syubban Muslimin di gedung teater PPKI. Berjuang Lewat Drama Ali Bakatsir menulis Audatatul Firdaus pada 29 Juli di Kairo, Mesir. Ia diterbitkan pertama kali oleh penerbit Maktabah Masr. Naskah drama ini terdiri dari empat babak. Dalam versi cetakan asli bahasa Arab terdiri dari 155 halaman. Ali mempersembahkan drama itu kepada saudara-saudaranya rakyat Indonesia. “Untuk mendengarkan suara rantai yang terlepas yang selama ini membelenggu 75 juta bangsa Indonesia,” tulis Ali Bakatsir dalam pengantar naskah dramanya. Kisahnya mengambil latar di dua tempat di Jakarta, yaitu rumah Haji Abdul Karim yang terletak Lapangan Gambir dan markas gerakan bawah tanah pimpinan Sutan Sjahrir di suatu kampung. Suasana zamannya menggambarkan keadaan negeri Indonesia semasa pendudukan Jepang di awal tahun 1942 hingga 17 Agustus 1945. Ali menceritakan kehidupan dua keluarga pejuang yang masih bersaudara sepupu: Sulaiman dan Madjid. Sulaiman mendukung gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir yang menolak bekerja sama dengan Jepang. Di pihak lain, Madjid sekubu dengan Sukarno-Hatta yang memutuskan bekerja sama dengan Jepang. Alur cerita drama ini menampilkan perdebatan Sulaiman dan Madjid yang berusaha mempertahankan langkah politik masing-masing. Akhir drama dipungkasi dengan terbongkarnya suatu rahasia. Baik Sjahrir maupun Sukarno-Hatta ternyata bermufakat untuk mengambil strategi berbeda menghadapi Jepang namun tetap satu dalam tujuan: Indonesia merdeka. Dalam roman politik itu, Ali tak lupa menggubah lirik lagu Indonesia Raya ke dalam bahasa Arab. Menurut A.R Baswedan yang diwawancara pada 1974 dalam Proyek Sejarah Lisan ANRI , Ali Bakatsir menyiarkan lagu Indonesia Raya di antara mahasiswa Mesir yang diberi kata-kata bahasa Arab yang cukup banyak. Keesokan hari setelah pentas, siaran radio di Mesir ikut memainkan drama tersebut. Lagu Indonesia Raya juga kumandang. Koran-koran Mesir kemudian memberitakan, bahwa ada satu negara bernama Indonesia yang pemimpinnya bernama (Ahmad) Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Opini publik tentang Indonesia terbentuk: sebuah negara Islam yang mau merdeka dan membutuhkan bantuan pengakuan dari negara lain. “Karya Ali Bakatsir ini mempengaruhi pemimpin-pemimpin Arab saat itu,” ujar Nabiel. Menurut Nabiel, hingga saat ini Audatul Firdaus menjadi bacaan yang cukup diminati oleh sebagian kalangan di Mesir yang tertarik soal sejarah Indonesia. Audatul Firdaus sendiri telah dibukukan dalam Kembalinya Surga yang Hilang: Sebuah Epos Lahirnya Bangsa Indonesia yang diterjemahhkan ke bahasa Indonesia oleh Nabiel A. Karim Hayaze. Pada akhirnya Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. Ali Bakatsir sendiri tetap menetap di Mesir hingga akhir hayatnya. Dia dikenal sebagai sastrawan besar yang menelurkan ratusan buku syair dan naskah drama. Pada 10 November 1969, Ali Bakatsir wafat. Duta besar Indonesia untuk Mesir saat itu, Letjen TNI (purn.) A.J. Mokoginta ikut mengantarkan ke pemakaman dan mengenang jasa Ali sebagai sastrawan yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
- Di Balik Rapat Raksasa di Surabaya
BULAN September 1945 menjadi kurun waktu meledaknya emosi rakyat Indonesia terhadap keadaan di mana serdadu Jepang masih petantang-petenteng meski sudah kalah perang. Ungkapan kekecewaan sekaligus euforia kemerdekaan mereka salurkan satunya dengan rapat raksasa. Sayangnya, porsi terbesar penulisan sejarah tentang rapat raksasa didominasi Rapat Raksasa di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas), Jakarta pada 19 September 1945. Langka masyarakat mengenal rapat raksasa di kota-kota lain, termasuk yang terjadi di Surabaya. “Selain di Jakarta, ada dua rapat raksasa (serupa Ikada). Satu di Tambaksari. Satu lagi di Lapangan Pasar Turi,” ujar Ady Setiawan, peneliti sejarah dari Roodebrug Soerabaia, kepada Historia. Seperti di Jakarta, massa yang hadir di rapat raksasa Surabaya juga sama banyaknya. Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sacred Territory, The First Days of the Indonesian Republic menyebut, lebih dari 100 ribu rakyat datang untuk ikut show of force terhadap kedudukan Jepang yang diperintah mempertahankan status quo oleh Sekutu. “Para tokoh kepemimpinan Surabaya dan masyarakat tak mengindahkan larangan Jepang terhadap rapat-rapat semacam ini. Rapat Tambaksari maupun Pasar Turi dihadiri massa yang membludak, sekitar 100 ribu orang. Dua rapat raksasa ini rupanya mampu menggugah semangat masyarakat sehingga lebih banyak perampasan senjata terjadi (terhadap tangsi-tangsi Jepang) setelah itu,” sebut peneliti Indonesia asal Australia itu. Kendati esensi rapatnya serupa, menggelorakan semangat kemerdekaan, tetapi dua rapat raksasa di Surabaya memunculkan banyak versi terkait tanggal kejadian. Terutama, rapat raksasa di Tambaksari. Versi Pertama Palmos yang “menjodohkan” keterangan memoar Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik dengan Ruslan Abdulgani, menarik kesimpulan bahwa yang terjadi lebih dulu adalah Rapat Raksasa di Pasar Turi, yakni 17 September 1945. Rapat yang lebih akbar terjadi lima hari berselang, 23 September 1945, di Tambaksari. “Memang ada ketidaksepakatan tentang tanggal pasti kedua rapat tersebut. Tapi disimpulkan bahwa versi Soehario dan Abdulgani yang menyebutkan 17 September untuk Rapat Pasar Turi lebih kecil dibanding 23 September di Tambaksari adalah yang paling tepat. Beberapa artikel lain menyebut rapat-rapat ini diadakan 11 dan 17 September. Yang disepakati semua pihak adalah ada jeda 6 hari antara kedua rapat tersebut,” ungkap Palmos. Versi Kedua Berbeda dari Palmos, pemimpin Pemuda Republik Indonesia (PRI) Soemarsono, dalam memoarnya yang berjudul Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan, memaparkan terjadinya Rapat Raksasa di Pasar Turi pada 17 September dan Rapat Raksasa di Tambaksari pada 21 September 1945. Rapat Raksasa di Pasar Turi dihadiri massa yang lebih sedikit dengan menghadirkan komandan Polisi Istimewa M. Jasin berpidato. Sedangkan rapat di Tambaksari jauh lebih besar. “Kaum buruh, pemuda, pelajar, tukang becak, kaum perempuan, seluruh rakyat, di mana-mana menyambut ajakan menghadiri Rapat Samudera di Tambaksari jam 4 sore 21 September 1945 dengan pekik merdeka,” kenang Soemarsono. Soemarsono bahkan menyebut jumlah massa yang hadir mencapai 500 ribu orang. Rapat itu menghadirkan antara lain Ruslan Widjajasastra (Angkatan Muda Minyak), Kapten Sapia (eks perwira pemberontak Kapal Zeven Provincien pada 1933), serta Soemarsono sendiri yang ikut berpidato. “Siapa saja yang berani berani menghalangi kemerdekaan Republik Indonesia akan kita pukul hancur lebur!” seru Soemarsono dalam petikan pidatonya pada massa. Rapat itu diakhiri arak-arakan massa arek-arek Suroboyo keliling kota untuk unjuk kekuatan terhadap serdadu Jepang. Keterangan Soemarsono sejalan dengan keterangan mantan pemimpin Pemuda Putri Republik Indonesia (PPRI) Lukitaningsih, yang juga ikut berpidato di Tambaksari. Rapat Tambaksari, kata Luki, merupakan klimaks dari aksi pengibaran Sang Saka Merah Putih di rumah-rumah dan kantor-kantor di seluruh pelosok Surabaya. “Sebagai klimaks dari aksi tersebut, pada tanggal 21 September 1945 diadakan Rapat Umum untuk pertama kalinya di Tambaksari, Surabaya,” ujar Luki dalam “Saham Revolusi”, dimuat dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45 . Sama seperti Soemarsono, Luki ikut ditangkap Kempetai usai rapat dan disekap di markasnya yang kini lahannya menjadi Tugu Pahlawan. Mereka akhirnya dibebaskan tengah malam setelah Gubernur Suryo mengancam. Versi Ketiga Ady Setiawan mengakui banyaknya kesimpangsiuran terkait tanggal dua rapat tersebut. Namun dalam bukunya, Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu, Ady mencoba menengok data suratkabar-suratkabar lawas yang ditemukannya, seperti Soeara Asia dan Soeara Merdeka. “ Besok, hari Selasa tg 11/9 moelai poekoel 6 sore di Tambaksari akan diadakan rapat besar oemoem. Sebeloem rapat besar dan masing-masing Siku ke lapangan Tambaksari dan tibanja pawai di lapangan terseboet, diharap sebeloem poekoel 6 sore. Koendjoengilah! Boelatkan kemaoean rakjat dalam rapat itoe! ,” kutip Ady dari kolom di Soeara Asia 10 September 1945. Pukul enam sore yang dimaksud, menurut Jean Geelman Taylor dalam Indonesia: Peoples and Histories , adalah pukul empat sore karena aturan waktu di Indonesia saat itu masih mengacu pada sistem penanggalan Jepang. Sementara istilah Siku adalah penyebutan lingkungan desa dalam bahasa Jepang. Namun, rapat umum itu batal digelar dan diklarifikasi pula oleh suratkabar yang sama dua hari berikutnya, di mana rapat raksasanya diundur jadi 12 September 1945. Namun, lagi-lagi rapat itu juga tak terealisasi dan tak ada penjelasan lebih lanjut dari Soeara Asia. “Tapi ada laporan lain dari Soeara Merdeka yang memuat peristiwa Rapat Raksasa Tambaksari bersamaan dengan laporan persitiwa Rapat Raksasa Ikada, tertanggal 20 September 1945,” imbuh Ady. Dalam berita di koran lawas asal Bandung tersebut dilaporkan, Rapat Raksasa Tambaksari terjadi pada 13 September 1945. Tokoh-tokoh yang berpidato antara lain Residen Surabaya Soedirman, Doel Arnowo dan Bambang Soeparto dari Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya. Adapun Rapat Raksasa Lapangan Pasar Turi digelar 17 September 1945. Pembicaranya M. Jasin, yang hanya berpidato pendek. “Soal perbedaan tanggal ini, memoar itu sumber lemah karena berdasarkan ingatan. Beda sama arsip koran. Satu contoh ekstrem adalah soal adanya dua prasasti di dalam satu gedung Monumen Pers tentang pendirian kantor berita Antara di Surabaya,” sambung Ady. Satu prasastinya menyebutkan berdirinya kantor pers itu 1 September 1945, satu prasasti lainnya menyebut bulan Agustus 1945 tanpa tanggalnya. Padahal, prasastinya bersebelahan dan salah satunya saat diesmikan, 18 Desember 1986, dihadiri para pelaku sejarah. “Aneh, kenapa bisa salah. Mungkin karena monumennya dibuat puluhan tahun setelah perang kemerdekaan. Ditambah, keterbatasan ingatan dan roda revolusi di Surabaya yang bergulir sangat cepat dari hari ke hari,” tandasnya.
- Islam Nusantara dan Islam Konghucu
SAID Aqil Siradj mendefinisikan Islam Nusantara sebagai Islam yang berciri “ramah, anti radikal, inklusif dan toleran” karena tempaan sejarah panjang persebarannya yang “didakwahkan [dengan cara] merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya” asli negeri kita. Maka dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia (15/6/2015), ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menegaskan, Islam Nusantara merupakan anti-tesis “Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.”
- Putra Betawi dalam Pusaran Revolusi Indonesia
KERUMUNAN massa dari Jakarta dan sekitarnya menyemut sejak pagi 19 September 1945 di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas). Mereka tak mempedulikan para serdadu Jepang yang bersiaga di sekitar lokasi dengan senapan Arisaka plus bayonet terhunus, yang nongkrong di belakang juki-kanju (senapan mesin berat) type 92, atau yang bersiap dengan tekidanto (mortir). Massa tahu para prajurit tentara yang sudah kalah Perang Pasifik itu tak hendak menakut-nakuti rakyat yang berkerumun tapi hanya sedang menjaga ketertiban dalam rangka mempertahankan status quo sampai mereka dipulangkan oleh Sekutu. Maka begitu sosok yang didambakan, Presiden Sukarno, muncul saat senja, ratusan ribu manusia merdeka itu bersorak menyambut kedatangannya. Sang proklamator datang dengan dikawal Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jakarta Moeffreni Moe’min dan perwira Polisi Istimewa Mangil Martowidjojo selaku ajudan Sukarno. Moeffreni mengenakan seragam sipil dengan mengantongi granat dan sepucuk pistol di saku dalam jasnya. “Dia yang pasang badan atas keselamatan Sukarno, (Mohammad) Hatta dan anggota-anggota kabinet yang dijemput Soebianto (Djojohadikoesoemo) dan Daan Jahja dari Pejambon. Juga yang bertanggungjawab atas keamanan dalam peristiwa itu,” ujar sejarawan JJ Rizal saat acara teatrikal rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada di Lapangan Monas, 16 September 2018. Meski Bung Karno tak sampai lima menit cuap-cuap di atas podium, massa membubarkan diri dengan tertib. Peristiwa yang dikenal sebagai Rapat Raksasa Ikada itu aman terkendali. Ketakutan Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang) maupun jajaran kabinet akan terjadi chaos tak terbukti. Sejak jauh hari Moeffreni, yang mendapatkan info tentang akan adanya keramaian dari anak buahnya, mengkoordinir pengamanan untuk menghindari timbulnya konflik. Terlebih, terhadap rencana Presiden Sukarno datang ke Lapangan Ikada. “Saya sebagai pimpinan BKR Jakarta merasa terpanggil untuk berada di lapangan, terpanggil karena tugas mengamankan situasi yang memanas,” tutur Moeffreni yang dikutip Dien Majid di biografinya, Jakarta-Karawang Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min. Moeffreni Moe'min, ketua BKR Jakarta (ditandai merah), mengawal Presiden Sukarno di Rapat Raksasa Ikada. Moeffreni meracik pengamanan dari berbagai elemen. Selain anak buahnya dari BKR Jakarta, dia mengikutsertakan para mahasiswa Prapatan 10, Menteng 31, Barisan Pelopor pimpinan dr. Moewardi, Barisan Banteng pimpinan Soediro, Barisan Hisbullah dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pimpinan Harsono Tjokroaminoto, Laskar Rakjat Djakarta di bawah Imam Syafi’i dan Daan Anwar, Laskar Klender-nya H. Darip, dan Pemuda Kesatuan Sulawesi serta Pemuda Maluku pimpinan Willem Latumenten. “Moeffreni juga menyebar banyak anak buahnya berpakaian sipil. Setidaknya setiap satu tentara Jepang yang ada di sana dikelilingi tiga anak buah Moeffreni yang menyamar. Jadi kalau terjadi apa-apa, sudah bisa diantisipasi duluan,” sambung peneliti sejarah dari komunitas Front Bekassi Beny Rusmawan kepada Historia. Siapa Moeffreni Moe’min? Namun, zaman justru menenggelamkan nama Moeffreni. Bahkan di berbagai komunitas Betawi sebagai etnis “tuan rumah” di ibukota, nama Moeffreni asing dibanding nama tokoh-tokoh legenda macam Pitung atau Jampang. “Jangankan Moeffreni, Abdulrahman Saleh saja yang sudah pahlawan nasional banyak yang enggak tahu dia orang Betawi dan enggak dikenal. Padahal sudah lama dia jadi pahlawan dari Angkatan Udara,” ujar Beny. Moeffreni memang tak lahir di Jakarta, melainkan di Rangkasbitung pada 12 Januari 1921. “Tapi ayahnya orang Betawi Kwitang, Moehammad Moe’min. Dia jadi ambtenaar di Rangkas dan menikah dengan orang Banten. Makanya Moeffreni lahir di Rangkasbitung,” timpal JJ Rizal. Setelah “makan” bangku sekolahan Belanda, Moeffreni merintis karier jadi wartawan di Majalah Pandoe Djakarta . Dari pekerjaannya itu Moeffreni mengetahui pembentukan Seinen Dojo (Barisan Pemuda) di zaman Jepang. Ikutlah Moeffreni pelatihan khusus untuk pemuda terpelajar itu di Tangerang. “Angkatan pertama terdiri 50 orang. Bersama saya yang saya ingat ada Soeprijadi, Jono Soeweno, Daan Mogot, dan Kemal Idris. Dilatih selama enam bulan,” kenang Moeffreni, dikutip Dien Majid. Selepas Seinen Dojo, Moeffreni meneruskannya ke pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Selepasnya, Moeffreni mengikuti pendidikan Renseitai di Cimahi dan Redentai di Magelang. Dalam pelatihan intelijen di Magelang itu Moeffreni mengikat persahabatan dengan Sarwo Edhie, Zulkifli Lubis, dan Ahmad Yani yang kelak jadi Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Selepas proklamasi, Moeffreni dipercaya Ketua BKR Pusat Kasman Singodimedjo untuk memimpin BKR Jakarta Raya (kemudian berubah jadi TKR Resimen V Jakarta). Letkol Moeffreni Moe'min mengawasi salah satu titik di front timur Jakarta. (Repro Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi ). “Moeffreni itu orang yang menjadi nyawa di wilayah republik di garis terdepan dan front paling panas pertempuran. Dia komandan Resimen V Jakarta berpangkat letkol yang kemudian markasnya dipindah ke Cikampek setelah Jakarta diperintahkan untuk dikosongkan dari elemen militer (mulai 19 November 1945),” ungkap JJ Rizal. Letkol Moeffreni kemudian dipercaya mengomandani Resimen XII Cirebon, menggantikan Kolonel Soesalit Djojohadiningrat (putra RA Kartini). Di bawah tanggungjawabnya selaku komandan Resimen XII itulah Perundingan Linggarjati, 11-15 November 1946, berjalan lancar. Setelah dimutasi untuk menjabat Direktur Diklat Perwira Divisi Siliwangi di Garut pada April 1947, Moeffreni ikut terciduk ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I dan dibuang ke Nusa Kambangan. Baru pada 1950 Moeffreni dibebaskan. Dia harus terima pangkatnya diturunkan jadi mayor akibat reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh militer. Setelah dipercaya sebagai kepala staf Resimen Bogor lalu jadi “plt” Gubernur Militer di Bandung, Moeffreni bereuni dengan Ahmad Yani di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang sudah menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Moeffreni menjabat Asisten Subsistensi. Namun Moeffreni tak lama mengemban jabatan itu. Alasan kesehatan membuatnya keluar dari dinas militer pada 30 Juni 1957, berdasarkan Keppres No. 757/M Tahun 1958 . Moeffreni kemudian memilih mendarmabaktikan hidupnya di DPRD DKI hingga MPR RI. “Panglima” tanpa bintang itu mengembuskan napas terakhirnya pada 1996 di RSPP Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Mempahlawankan Moeffreni Sepak terjang Moeffreni membuat Ahmad Syarofi dan para peneliti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) menganggap Moeffreni pantas dijadikan pahlawan nasional. Setelah mendapat restu keluarga Moeffreni, mereka mengajukan pengusulan ke Pemprov DKI yang kemudian membentuk Tim Pengkaji dan Penelitian Gelar Daerah (TP2GD). Ahmad Syarofi (kedua dari kanan), ketua Tim Pengusul Moeffreni sebagai Pahlawan Nasional. (Randy Wirayudha/Historia). “Itu kita sampai delapan kali bolak-balik berkas uji materinya. Setelah disetujui gubernur (DKI), diteruskan ke tim TP2GP (Tim Pengkaji dan Penelitian Gelar Pusat). Sekarang bolanya (keputusannya) tinggal ada di tangan Dewan Gelar,” tambah Syarofi. Dari Jakarta tahun ini tak hanya Moeffreni yang diajukan. Ada pengusulan dua tokoh lain: Usmar Ismail (tokoh perfilman nasional) dan RS Soekanto (Kapori Pertama). “Kita masyarakat Betawi enggak pingin macam-macam, hanya dukungan moral saja. Kiranya pemerintah menghormati penduduk lokal Jakarta. Apalagi terakhir orang Betawi yang jadi pahlawan nasional sudah lama sekali, Ismail Marzuki pada 2004. Itu kita dari LKB juga yang awalnya mengusulkan. You semua lama tinggal di Jakarta, tinggal di tanah Betawi, masak you enggak mau kasih kesempatan buat orang Betawi merasakan peranannya dalam perjuangan bangsa,” tandas Syarofi.
- Pabrik Senjata di Banten
SENJATA api sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945-1949). Untuk memenuhi kebutuhan senjata, selain merampas dari tentara Jepang dan Belanda, para pejuang Indonesia juga membuat sendiri senjatanya. Untuk wilayah Banten, pembuatan senjata api dilakukan di pabrik minyak kelapa peninggalan Belanda: Mex Olie (Maatschappij tot exploitatie van Oliefabrieken) di Rangkasbitung. “Ini perlu disebut. Sebab, pabrik ini bukan hanya memproduksi minyak kelapa melainkan juga senjata, khususnya mortir dan granat berikut alat pelontarnya, dan bom-bom tarik serta ranjau darat,” tulis Matia Madjiah dalam Kisah Seorang Dokter Gerilya dalam Revolusi Kemerdekaan di Banten. Dokter gerilya yang dimaksud adalah Satrio, dokter Divisi I Banten. Matia Madjiah sendiri dipindahkan dari Bandung Selatan ke Banten untuk membantu dr. Satrio sebagai komandan peleton kesehatan dengan pangkat letnan muda. Pabrik minyak kelapa Maxolie di Rangkasbitung, Banten. (Tropenmuseum/Wikipedia). Pembuatan senjata itu berada di bawah pengawasan Mayor Widagdo, kepala bagian Persenjataan Brigade Tirtayasa. Mayor Widagdo ini belakangan terkenal sebagai "Hantu Jembatan" karena banyak menghancurkan jalan dan jembatan-jembatan penting ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua. Sayangnya, mortir hasil berdikari ini tidak dilengkapi dengan alat pengontrol dan tidak diketahui pasti sampai sejauh mana jangkauan daya tembaknya. “Karena tidak memiliki peralatan pengontrol, maka dalam pemakaiannya beberapa kali terjadi pelurunya tidak terlontar, tapi meletus di dalam tabung,” tulis Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari dalam Catatan Masa Lalu Banten. Biasanya, seperti di daerah-daerah lain yang membuat senjata, tabung mortir itu terbuat dari tiang listrik. Meskipun demikian, para prajurit cukup bangga memilikinya. “Mortir itu sedikit banyak dapat menaikkan gengsi pasukan dan menambah semangat prajurit,” kata Matia Madjiah.
- Senandung Andung, Mengenang yang Berpulang
Raungan tangis acap kali memecah dalam perkabungan orang suku Batak. Ratapan ini pun biasanya mengalunkan kata demi kata mirip puisi yang dilagukan. Di kalangan sub etnis Batak Toba, senandung ratap demikian dikenal dengan istilah andung . “Dulu selalu dikumandangkan setiap ada upacara kematian,” kata etnomusikolog Rizaldi Siagian kepada Historia . Andung berasal dari tradisi lisan warisan leluhur Batak kuno. Tak diketahui persis ihwal andung bermuasal. Namun, ia merupakan produk kebudayaan Batak pra-Kristen. Dalam Kamus Budaya Batak Toba yang disusun M.A. Marbun dan Idris Hutapea, andung berarti ungkapan atau nyanyian; senandung kesedihan yang dinyanyikan. Melagukan andung ( mangandung ) adalah cara mengungkapkan rasa duka, solidaritas, harapan, atau permohonan ketika meratapi kematian sanak terkasih. Menurut Rizaldi, andung masuk kategori music vokal, lament (ratapan). Seorang yang melagukan andung disebut pangandung . Sembari meratap, si pangandung akan menuturkan semua kesedihan dan duka lara dengan kata-kata khusus yang disebut bahasa andung . “Ia bagian dari kebudayaan dan terintegrasi didalamnya,” ujar Rizaldi. “Yang menentang justru yang datang dari luar kebudayaan bersangkutan . ” Bikin Belanda Gentar Di zaman kolonial, tembang andung pernah membuat Belanda gemetar. Sebisa mungkin ratapan itu dihindari. Bagaimana bisa? Kisahnya bermula ketika Sisingamangaraja XII yang menentang kekuasaan kolonial gugur di Dairi pada 1907. Pemerintah Belanda sengaja menyembunyikan jenazah raja Batak itu dari keluarganya. Pun waktu dimakamkan di Tarutung, tak satupun anggota keluarga yang menyaksikan. Mereka baru dapat melihat pusara Sisingamangaraja setelah gerakan pejuang Batak secara total dilumpuhkan. Pasca kematian Sisingamangaraja, pihak Belanda dilingkupi perasaan risau. Sejarawan cum teolog Walter Bonar Sidjabat mengungkap alasan dibalik kekhawatiran ini. Sekiranya ada keluarga Sisingamangaraja yang turut hadir menyemayamkan jenazah dan mangandung , maka dapat timbul reaksi yang membahayakan Belanda. Menurut Sidjabat, bagi masyarakat Batak, andung diucapkan sambil menangis sekaligus meluapkan kenangan tentang sifat-sifat khusus orang yang ditangisi. Ini kemudian memberikan interpretasi oleh orang yang menangisi tentang riwayat dan arti orang yang meninggal. Dalam hal Sisingamangaraja, tentu akan bertalian erat dengan perjuangannya. “Kata-kata andung itu pasti akan menimbulkan rasa iba dan emosi di kalangan rakyat, dan mungkin sekali pada saat itu akan membangkitkan perlawanan spontan terhadap Belanda sekiranya mereka mengizinkan anggota keluarga hadir pada saat pemakaman yang bersejarah itu,” tulis Sidjabat dalam Ahu Si Singamangaraja:Arti Historis, Politis, Ekonomis, dan Religius Si Singamangaraja XII. Kearifan Lokal yang Terpental Menurut antropolog Togar Nainggolan, tradisi mangandung menjadi kebiasaan yang mendorong orang Batak Toba berbakat dalam menyanyi. Andung dapat membuat pendengarnya terpana, terpesona, bahkan terpantik untuk menitikkan air mata. Pangandung yang lihai biasanya menutupi kepalanya dengan kain ulos sehingga mimik wajah ataupun gelagatnya menangis tersamar. “Walau tak terikat dengan syair yang beraturan, bahasa andung sangat spesial dan jarang diucapkan dalam bahasa sehari-hari. Kata-katanya terpilih. Hal ini masih terasa dalam banyak lagu trio modern,” tulis Togar Nainggolan dalam “Strategi Komunitas Batak Toba untuk Penguatan Karakter Bangsa” termuat di kumpulan tulisan Karakter Batak: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan. Kendati demikian, fungsi andung sebagai kidung ratapan mulai tergeser seiring zaman. Penetrasi zending yang menyiarkan kristenisasi menggerus praktik kebudayaan lama yang mendekati animisme. Tradisi mangandung tak terkecuali ikut tergilas. Menurut Rizaldi Siagian, ada semacam resistensi terhadap andung ditengah-tengah pemeluk agama samawi. Resistensi ini terutama pada kalangan Kristen di Toba. “Karena dianggap paganisme,” kata Rizaldi. Sebagai salah satu warisan budaya yang pernah hidup dan berperan kuat dalam masyarakat Batak Toba, kini ratapan andung kian jarang dilantunkan. Ia bahkan hampir tak ditemui lagi pada masa berkabung orang Batak yang menganut Kristen. Hanya orang tua-tua tertentu saja yang masih dapat menguasai bahasa andung . Pendeta Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) terkemuka, Darwin Lumbantobing mengemukakan bahwa senandung andung telah diganti dengan himne gereja yang termaktub dalam Buku Ende (kitab lagu) HKBP. Bila anggota jemaat mengalami kemalangan, maka pelayan gereja yang hadir akan mengiringi acara duka lewat nyanyian Buku Ende . Para pelayat pun ikut serta menyanyikan lagu-lagu rohani sebagai kebaktian penghiburan. “Tindakan seperti itulah yang membuat posisi andung tergeser dan menghilang dari kehidupan masyarakat Kristen Batak, karena digantikan Ende Huria (Lagu Gereja),” tulis Darwin Lumbantobing dalam “Menemukan Jati Diri dalam Sejarah yang Dilalui” termuat di Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan Budaya suntingan Bungaran Antonius Simanjuntak. Kendati demikian, tradisi andung tak sepenuhnya mati. Ia pun tak selalu kumandang ketika ada yang meninggal. Andung beralih ke lagu-lagu pop Batak dengan melodi dan lirik yang sedih ataupun cukup hanya dengan alunan seruling.
- Melacak Jejak Pencak Silat
PENCAK Silat adalah Indonesia. Satu dari sekian produk budaya bangsa yang tergolong seni beladiri itu berakar dari masa ketika Nusantara masih dipenuhi kerajaan yang silih berganti berjaya dan tumbang. Tak heran bila di setiap ajang olahraga yang mengikutsertakan pencak silat, Indonesia kerap mendominasi. Terakhir, di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang, kontingen tuan rumah meraup 14 dari 16 emas yang diperebutkan. Beragam pentas olahraga itu menjadi agen yang meningkatkan popularitas silat. Namun, belakangan silat kian mendunia lewat perfilman. Aktor-aktor laga bekas atlet silat macam Iko Uwais, Yayan Ruhian, atau Cecep Arif Rahman berperan penting mempromosikan silat lewat film Merantau (2009), The Raid (2012), Man of Tai Chi (2013), The Raid 2 (2014), Star Wars: The Force Awakens (2015), hingga Wiro Sableng dan Mile 22 yang rilis tahun ini. Bahkan, Hollywood kini ikut menggarap film-film yang memuat beladiri khas Nusantara itu. Adegan pencak silat dalam film The Raid 2 . (sonyclassics.com) “Tentu saja film-film itu membuka mata dan pikiran masyarakat Indonesia dan dunia tentang pencak silat. Ditambah keberhasilan Indonesia mendominasi cabang silat di Asian Games. Keduanya jadi promosi dahsyat dalam mengambil hati masyarakat Indonesia dan dunia untuk mencintai pencak silat,” ujar Taufan Prasetya, ketua Forum Pecinta dan Pelestari Silat Tradisional Indonesia (FP2STI), kepada Historia. Buah Peradaban Austronesia Bicara muasal silat, nyaris mustahil ditelusuri detailnya. Namun, dari berbagai temuan arkeologi, silat sebagai beladiri sudah eksis di Nusantara sejak peradaban Austronesia, masa yang menurut arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar sebagai kebudayaan awal di kawasan Nusantara (6000 SM-1 M). “Sumber paling awal dari seni beladiri di masa prasejarah berkaitan dengan kebutuhan untuk hidup, saat mereka butuh kemahiran berburu untuk mencari makanan yang tersedia dari alam. Untuk mendapatkan hewan buruan, mereka harus punya strategi untuk menjerat, menjebak, dan menaklukkan,” tutur Agus ketika berbicara dalam diskusi bertajuk “Kekayaan Silat Nusantara: Sejarah, Keragaman dan Posisinya dalam Kebudayaan Nusantara” di Universitas Mercu Buana, 7 April 2018. Dari kebutuhan untuk bertahan hidup, orang-orang Austronesia lalu meningkatkan keterampilannya untuk membela diri. Kemahiran beladiri mereka terasah oleh berbagai konflik atau peperangan antarkelompok yang hidup terpisah-pisah. Hal itu diperkuat dengan temuan Batu Gajah dari zaman megalitikum di Pasemah, Sumatera Selatan. Situs Batu Gajah Pasemah di Pagaralam, Sumatra Selatan. (Repro Forgotten Kingdoms in Sumatera ). “Kita menyebutnya Pasemah Warrior. Di reliefnya digambarkan seseorang sedang menaiki gajah memakai topi atau helm, membawa nekara dan bawa banyak senjata. Dia orang Austronesia, nenek moyang kita. Dari reliefnya tadi, berarti mereka sudah punya keahlian beladiri. Ditambah lagi di nekaranya juga ada ukiran yang menggambarkan orang-orang yang sedang membawa perisai. Tapi ya dulu belum ada nama beladirinya, belum disebut silat,” lanjut Agus. Perjalanan waktu memperkaya kemampuan beladiri orang Austronesia dengan masuknya pengaruh asing, terutama dari India dan Cina. Seiring dengannya, kerajaan bermunculan di Nusantara dengan pengaruh utama dari peradaban India. “Pada masa ini secara hipotetik semakin jelas bahwa orang-orang itu mengerti beladiri. Karena tentu mereka harus punya militer yang kuat yang berasal dari kemahiran beladiri untuk menaklukkan Nusantara, bahkan sampai ke Asia Tenggara,” imbuh Agus. Sementara, menurut Oong Maryono dalam Pencak Silat Merentang Waktu , silat sebagai beladiri sudah eksis dan berkembang di abad VII. Ia berkembang hingga ke wilayah kerajaan-kerajaan lain di Semenanjung Malaya atau Kepulauan Filipina lewat perluasan kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Sumber lain, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah karya Edi Suhardi Ekadjati , menyebutkan benang sejarah silat bisa ditarik lebih jauh di tatar Sunda, tepatnya di Kerajaan Salakanagara pada abad II Masehi. Namun, kebanyakan literatur mengenai muasal silat berhulu pada tradisi lisan sehingga diperlukan penelusuran lebih jauh. Yang pasti, tiap wilayah lantas memunculkan silat dengan ciri khas masing-masing. Di Sumatra, selain silat Melayu yang berasal dari Riau, yang tersohor adalah beragam silat Minang yang ketika dipertontonkan, diiringi musik. Silek Minang mirip silat di Tatar Sunda, yang juga diiringi musik, seperti Silat Kendang Balik. Sementara, silat khas Jawa gerakan-gerakannya cenderung lebih halus. Suatu peragaan pencak silat Melayu di Medan, 1948. (Nationaal Archief) Di ibukota, silat Betawi yang kental dengan pukulan sehingga populer dengan nama “Maen Pukulan”, kerap memukau orang sejak masa kolonial lewat pendekar-pendekarnya macam Zaelani dari Perguruan Mustika Kwitang. Dalam sebuah pertarungan melawan Mpek Tan Kiam, pedagang tembakau yang ahli Kuntao, akibat sebuah perselisihan, Zaelani berhasil menang meski dengan susah payah. “Setiap wilayah pasti punya beladiri khas masing-masing. Bisa kita lihat dari tarian-tarian perang di timur Indonesia, baik di Maluku dan Papua. Tapi apakah ini masuk dalam kategori pencak silat? Hal ini tergantung pada definisi pencak silat itu sendiri. IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) mendefinisikan pencak silat punya empat aspek: olahraga, beladiri, seni budaya, dan mental spiritual. Kalau tarian perang Papua punya empat aspek itu, bisa kita sebut sebagai pencak silat juga,” sambung Taufan. “Namun memang belum ada riset dari kami untuk menginventarisir silat yang asli Maluku, Nusa Tenggara sampai Papua.” Yang pasti, relasi antarsuku-bangsa berperan penting menyebarkan silat ke berbagai tempat. Contoh paling konkrit, silat Kali Majapahit. Beladiri warisan Majapahit itu kini justru lestari di Filipina. Silat dalam Perjalanan Sejarah Bangsa Terlepas dari sulitnya menentukan bagaimana proses kelahiran silat dan silat apa yang tertua, Persaudaraan Setia Hati yang berdiri pada 1903 diakui berbagai pihak sebagai perguruan pencak silat pertama. Sementara, organisasi yang memayungi beragam jenis silat pertama adalah Perhimpunan Pencak Silat Indonesia (PPSI), lahir pada 1922. “Ada lagi GAPEMA (Gabungan Pencak Mataram) pada 1943. Namun perkembangan silat di masa Hindia Belanda sangat terbatas karena dilarang pemerintah kolonial. Silat hanya diajarkan di berbagai perguruan secara sembunyi-sembunyi dengan hanya menonjolkan aspek seni budayanya saja,” ujar Taufan. Di zaman Jepang (1942-1945), perkembangan silat sedikit lebih baik kendati harus bersaing dengan beladiri khas Jepang macam Sumo, Karate, dan Jiu-Jitsu yang mulai masuk. Di masa revolusi fisik, kebanyakan anggota laskar memiliki “pegangan” berupa silat. Di masa revolusi itu pula Gabungan Pentjak Silat Seluruh Indonesia (GAPENSI) berdiri pada 1947 dan berganti nama menjadi IPSI setahun kemudian. Peragaan pencak silat Minangkabau. (Troepenmuseum). Silat kemudian dijadikan cabang olahraga dan didemonstrasikan di PON I. “Dua tahun kemudian, seluruh insan pencak silat Indonesia diundang oleh Presiden Soekarno untuk melakukan atraksi di Istana Negara,” tulis GJ Nawi dalam Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi . Seiring makin dikenalnya silat oleh masyarakat mancanegara yang dipromosikan Ketua IPSI Mayjen TNI (Purn) Eddie M. Nalapraya, maka didirikanlah Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (PERSILAT) untuk menaungi pencak silat dunia. Eddie didapuk jadi ketua presidiumnya yang membawahi 69 anggota. Jumlah itu jelas kalah jauh dari yang ada di Indonesia di mana perkembangan perguruan silat melesat. Menurut FP2STI, setidaknya ada 3000 perguruan silat yang masih eksis di Indonesia. Namun, hanya 850 perguruan bernaung di bawah IPSI. “Kalau dari bukunya pak Oong Maryono, disebutkan ada 600 aliran pencak silat. Asumsinya satu aliran saja bisa membentuk sampai lima perguruan. Maka paling tidak saat ini ada 3000 perguruan di Indonesia,” sebut Taufan. Berangkat dari keprihatinan akan eksistensi silat tradisional yang tak tergabung IPSI, “ditambah pandangan miring sebagian besar masyarakat pada para pesilat, khususnya silat tradisional,” ujar Taufan, maka dia bersama sejumlah rekannya mendirikan FP2STI pada 2006. “Kami punya tujuan untuk mempromosikan dan mengedukasi masyarakat terhadap silat tradisional sebagai warisan budaya adiluhung bangsa.”
- Pekerja Seks dalam Pusaran Revolusi Indonesia
KEJARAN tentara Belanda dan bertebarannya mata-mata NICA di masa revolusi membuat Sukarno mencari cara untuk menghindari penangkapan. Dia akhirnya memutuskan untuk mengajak para pejabatnya masuk ke lokalisasi. Di sanalah mereka mengadakan rapat untuk menghindari endusan lawan. Selain aman, lokalisasi merupakan sumber informasi akurat. “Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia,” kata Sukarno kepada Cindy Adams yang menuliskannya di Untold Story: Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Revolusi tak hanya menarik kalangan terpelajar atau pemuda-tentara untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pekerja seks, maling, dan rampok pun banyak yang terlibat. Perempuan pekerja seks yang berjuang umumnya bertugas mengumpulkan informasi dan menyabotase musuh. Ide untuk mengikutsertakan perempuan pekerja seks dan para kriminil dalam perjuangan datang dari Mayor Jenderal dr. Moestopo ketika dicurhati Sultan Hamengku Buwono IX tentang membludaknya pengungsi di masa revolusi. Yogya menjadi penuh sesak, kumuh, dan dilanda krisis pangan. Situasi ruwet itu mengakibatkan kriminalitas meningkat. Moestopo bepikir, daripada para kriminil itu menyusahkan sesama rakyat yang sedang berjuang, lebih baik diajak berjuang. Para copet, maling, rampok, dan pekerja seks di seluruh Yogyakarta lalu dikumpulkan dalam satu barisan bernama Barisan P. Beberapa kriminil dari Surabaya dan Gresik juga ikut direkrut. Moestopo meminta bantuan tentara, salah satunya Kolonel TB Simatupang, untuk melatih para pejuang dari “dunia hitam” itu berdisplin dan melek ilmu dasar kemiliteran. Malam-malam, Moestopo mendatangi Simatupang untuk memintanya mengajar mereka dasar-dasar kemiliteran. Namun, cara mengajar yang diminta Moestopo cukup aneh. Simatupang dibawa ke sebuah ruangan agak gelap. Di ruangan itu, para perempuan muda sudah berdiri rapi dengan mata tertutup. “Saya tak bisa mengenali mereka,” kata Simatupang seperti dimuat Sinar Harapan, 30 September 1986. Sekira 100 personil Barisan P lalu mengikuti Moestopo pindah ke Subang. Mostopo menamakan pasukan itu Terate (Tentara Rahasia Tertinggi), yang terbagi menjadi Barisan Maling (BM) dan Barisan Wanita Pelatjoer (BWP). Banyak perwira lain, seperti Kahar Muzakkar dan Zulkifli Lubis, juga punya Barisan P. “Saya sempat diminta melatih pasukan dari bekas kriminal Nusakambangan yang dibentuk Kahar,” ujar Kol. (Purn.) Maulwi Saelan kepada Historia . Seperti Maulwi, Kotot Sukardi juga pernah ditugaskan membawahi Barisan P di Yogyakarta. Barisan P Kotot selain diajari dasar-dasar kemiliteran dan telik sandi juga dilatih menyanyikan lagu nasional dan menerima pendidikan kebangsaan. “Selain dilatih jadi mata-mata mereka juga mendapat pelatihan film dan drama. Setelah revolusi selesai, perempuan Barisan P ini diajak main film oleh Kotot Sukardi,” kata Galuh Ambar Sasi, penulis “Menjadi (Manusia) Indonesia” yang dimuat dalam buku Pluralisme dan Identitas pada Historia. Wilayah operasi Barisan P Kotot meliputi Malioboro, Kuncen, Kepatihan, alun-alun, Bong Suwung, dan sekitar Stasiun Tugu juga Lempuyangan. Para pekerja seks di Barisan P itu mengorek informasi lawan di atas ranjang saat melayani para pembeli jasa yang merupakan pribumi pro-Belanda. Para tentara hidung belang yang menjadi pelanggan mereka tak sadar kalau si perempuan terus menggali informasi darinya, mulai dari jalan tikus ke markas Belanda hingga rute pelarian. Barisan P Kotot sejak awal hanya ditugaskan untuk jadi mata-mata. Sementara, BWP punya tugas lebih. “BWP itu memang sengaja dikerahkan untuk menghancurkan tentara musuh. Semacam psycho - war . Namun karena tidak ada kontrol, malah menularkan penyakit ke pejuang Indonesia sendiri, kayak senjata makan tuan,” kata Galuh. Seringkali, para pelacur tak hanya mengumpulkan informasi tapi juga ikut membantu menyabotase musuh. Sementara, anggota Barisan P lain punya tugas masing-masing. Pengemis bertugas nguping pembicaraan musuh, pencopet ditugaskan mencopet orang kaya di pasar dan menggondol perlengkapan milik tentara Belanda, sementara perampok biasanya menyambangi rumah orang kaya untuk menggasak harta mereka untuk membiayai revolusi. Tindak-tanduk Barisan P ini, tulis Robert Cribb dalam Gejolak Revolusi di Indonesia 1945-1949, menimbulkan keresahan dan kekacauan di kalangan tentara Belanda. Namun, keresahan juga muncul di sebagian kalangan kiblik akibat ide nyeleneh Moestopo merekrut pekerja seks untuk ikut dalam barisan perjuangan. Majalah Revolusioner edisi III, 19 Januari, dalam editorialnya menulis kritiknya atas kebijakan yang membuat banyak orang bersemangat ingin masuk Barisan P itu. Dengan ikut Barisan P, kata editorial itu, sama saja merendahkan harga diri. “Banyak gadis yang mengajukan namanya untuk dicatat sebagai anggota Barisan P. Malahan sudah ada yang jadi opsir pengemis. Kalau begitu terus lama-lama orang tua yang sama akan mengadakan protes keras karena anaknya gemar menjadi kere.” Padahal, setelah perang usai beberapa perempuan anggota Barisan P tak lagi jadi pekerja seks. Beberapa di antaranya menikah dengan teman seperjuangan. Kedaulatan Rakyat edisi 3 Mei 1946 memberitakan, ada pernikahan tiga pasang anggota Barisan P. “Kalau dalam pernikahan biasanya pakai salam-salaman, pernikahan anggota Barisan P ini pakai pekik merdeka. Mereka begitu dihargai setelah revolusi usai. Istilahnya munggah bale , naik pangkat,” kata Galuh.
- Perempuan dalam Dunia Seni Rupa Indonesia
DALAM dunia seni rupa Indonesia, hanya ada sedikit nama perempuan perupa. Budaya patriarki yang memposisikan perempuan di bawah lelaki menjadi penyebab utama dalam upaya pembentukan karier perempuan. Lelaki, yang dianggap sebagai pencari nafkah lebih diutamakan dalam urusan pendidikan dan akses aktualisasi diri. Lebih jauh, hal itu juga menjauhkan perempuan dari akses pada pendidikan dan peralatan seni. Tak heran bila seni rupa Indonesia begitu seret dengan kemunculan perempuan perupa. Namun seiring dengan perbaikan zaman, perlahan perempuan perupa bermunculan. Setelah Emiria Soenassa sang pionir, beberapa nama baru bermunculan seperti Sriyani, Zaini, Rahmayani, Yaniar Ernawati, Kartika Afandi, dan beberapa perempuan perupa yang tergabung dalam Grup Sembilan: Ratmini Soedjatmoko, Betsy Lucas, Charlotte Panggabean, Timur Bjerknes, Umi Dahlan, dan Roelijati. “Sesudah dibukanya sekolah seni rupa di ITB dan ASRI, nama perupa perempuan makin bermunculan. Salah satunya Umi Dahlan dari mazhab Bandung yang menampilkan karya bergaya abstrak,” kata Toeti Heraty, ketua Dewan Kesenian Jakarta dekade 1980-an, kepada Historia kala ditemui di kediamannya. Senada dengan Toeti, Astri Wright dalam tulisannya, Indonesia Heritage: Visual Art, juga menilai jumlah perempuan perupa mulai naik pada 1980-an sebagai imbas dari berdirinya institusi pendidikan seni. Banyak perempuan perupa yang telah mendapatkan pendidikan seni, melanjutkan kariernya setelah lulus. Namun, kemunculan banyak perempuan perupa tak otomatis membuat peran perempuan dalam seni rupa tanah air jadi melonjak. Perempuan dalam seni rupa, kata Astri, merupakan generasi tersembunyi. Karier mereka pun tak selalu gemilang. Kartika Affandi misalnya, pada awalnya khawatir dianggap sebagai epigon ayahnya, pelukis Affandi. “Di awal kariernya Kartika pernah mengadakan pameran di TIM, memajang lukisan hitam putih. Sayang sekali tidak ada yang laku. Lalu dia bilang ke saya ndak bisa pulang ke Yogya, akhirnya saya ambil satu lukisannya untuk ditukar dengan tiket ke pulang,” kata Toeti. Tapi Kartika terus mencoba mengembangkan diri tanpa bayang-bayang sang ayah. Dia berhasil. Selain Kartika, ada pula Trijoto Abdullah, putri Abdullah Suriosubroto yang juga adik Basoeki Abdullah. Trijoto disebut-sebut sebagai perempuan pematung pertama Indonesia. Mulanya, Trijoto melukis seperti ayah dan kakaknya. Namun ketika belajar dengan Prof. Tierfelder dan Prof. Schoemaker guru besar ITB, dia mulai mendalami seni patung. Sejak itu namanya lebih dikenal sebagai pematung. Muncul pula nama Ruliyati, yang banyak melukiskan kehidupan rakyat jelata. Setelah itu, nama-nama baru bermunculan, seperti Ida Hajjar, Sri Yunnah, Farida Srihadi, Reni Hoegeng, Ardha, Heyi Ma’mun, Nanik Mirna, Titis Jabaruddin, dan Nunung Ws. Pada dekade terakhir abad XX, Indonesia telah punya lebih dari 100 perempuan perupa. Namun, menurut Agus T. Darmawan dalam tulisannya "Wanita Seni Rupa Indonesia", di Suara Karya 1991, hingga tahun tersebut belum memunculkan nama perempuan perupa yang sepopuler lelaki perupa. Sementara lelaki perupa seperti Affandi atau pematung Edhie Sunarso namanya sudah dikenal dunia internsional, menurut Darmawan dunia seni rupa perempuan Indonesia masih adem-adem saja hingga seolah perempuan dalam seni rupa hadir semata sebagai pelengkap. “Wanita memang tak nampak menggebu di dunia seni rupa, tapi tetap menunjukkan spirit emansipasi yang tak lekang waktu,” tulis Darmawan. Kemunculan perupa perempuan di samping itu juga secara khas membicarakan keperempuanannya. Mereka memiliki tujuan politis akan identitas diri dan karya dalam medan seni.*
- Akhir Pemerintahan Perempuan di Aceh
KETIKA Thomas Bowrey tiba, Aceh sudah begitu lama diperintah seorang ratu. Begitu lama hingga rakyat mual ketika menyebut raja. Sebabnya, pemerintahan tirani raja terakhir mereka. Berdasarkan cerita, sang raja adalah seorang tiran paling kejam yang pernah ada. “Patut dikagumi betapa rakyat rela membiarkan sang raja hidup begitu lama dan memerintah sedemikian kejam,” catat pedagang asal Inggris itu. Di Aceh, empat putri raja duduk di singgasana secara beruntun setelah 1641. Padahal, di sanalah Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari disusun. Di kitab itu termuat kalau raja harus laki-laki. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia juga menulis masa itu perempuan tak bisa naik takhta karena dinilai kurang arif. Rakyat memerlukan imam untuk tampil di depan umum. Sementara perempuan tidak mungkin mengimami salat. Tidak pula dapat meninggalkan tempat tinggalnya yang terpencil di dalam istana. Namun, agaknya pemerintahan raja yang kejam sebelumnya menjadi salah satu alasan yang membuat rakyat permisif terhadap pemerintahan seorang sultanah. Meski itu bukan berarti pemerintahan perempuan di Aceh tanpa tantangan berarti. Kondisi sosial masa itu dicatat dengan cukup lengkap oleh para penjelajah asing di Aceh. Menurut Anthony Reid dalam Bowrey berdagang di kawasan Samudera Hindia pada 1670-an. Dia tinggal di Aceh saat ratu kedua mangkat pada 1678. Artinya, dia datang saat Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin memerintah (1675-1678). Bowrey mendengar, rakyat begitu waspada setelah Sultan Iskandar Thani mangkat. Itu sebelum istrinya, ratu pertama, Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675) memerintah di kerajaan Aceh. Mereka menjaga istana, kota, garnisun, dan semua benteng dengan ketat dalam upaya melindungi diri dari segala bentuk pemerintahan seorang raja. Aturan Bagi Sultanah Orang-orang bijak lalu berkumpul. Mereka memilih ratu sebagai pewaris takhta. Namun, mereka menetapkan beberapa aturan agar pemerintahan ratu tak perlu ditakuti. Pertamaratu tak boleh menikah dan tak boleh bergaul dengan laki-laki. Kedua,tidak satupun lali-laki di kerajaan diperbolehkan melihat rupa sang ratu. Ketiga,para bangsawan, hakim, dan petinggi lainnya tidak boleh melanggar undang-undang atau aturan yang berlaku. Mereka bahkan tak boleh melakukan apa pun tanpa seizin atau kehendak ratu. Keempat,pelayan ratu tak boleh kurang dari 500 orang. Mereka terdiri dari perempuan dan kasim. Kendati banyak aturan yang membatasi, para petinggi kerajaan rupanya sangat hormat dan patuh pada ratu. Tak ada yang berani bertindak atau menangani suatu hal penting tanpa memberitahu ratu. Sesuai aturan, tak seorang pun lelaki, perempuan maupun anak-anak diperbolehkan melihat rupa sang ratu. Kecuali, para perempuan dan kasim yang merupakan pelayannya. Pun beberapa kasim yang menjadi kepala penasihatnya diizinkan untuk berinteraksi langsung dengan ratu. Para kasim adalah orang yang cerdas yang bertugas memberi saran kepada ratu ketika hendak membuat keputusan. Konon, kata Bowrey, pelayan ratu berjumlah 100 kasim dan 1.000 perempuan tercantik yang ada di kota atau desa. Para pelayan perempuan ini tampil di muka publik. “Menurut saya, banyak dari mereka yang sangat cantik dan berkulit lebih putih daripada kebanyakan penduduk asli yang ada di sini,” katanya. Selain mereka, jika ada yang punya urusan dengan ratu, harus melalui penasihat ratu. Misalnya, Orangkaya tertinggi atau para Orangkaya lainnya akan datang ke istana. Ia akan menyebutkan urusannya kepada penasihat ratu yang akan menyampaikannya kepada ratu. Bila ratu mengizinkan akan mengirimkan cap sebagai tanda mereka diterima. “Apabila cap itu tak diberikan, berarti mereka tak boleh lagi mengajukan hal itu dan harus beralih ke urusan lain,” tulis Bowrey. Pada 1675, Ratu Tajul Alam Safiyatuddin wafat. Usianya sudah lanjut. “Saya sedang ada di Aceh ketika ratu mangkat, dan saya menyaksikan bagaimana rakyat berkabung untuknya,” ujar Bowrey. Ketika putri Iskandar Muda itu mangkat, para pejabat istana sudah menunjuk penggantinya. Dia berusia kurang dari 60 tahun ketika dinobatkan. “Rakyat kemudian menyadari fakta bahwa kematian sang ratu tak menyebabkan pergantian jenis kelamin atas siapa yang kelak memerintah,” kata Bowrey. Akhirnya, sebagian besar penduduk desa yang tinggal sekitar 20 atau 30 mil (kurang lebih 30-50 km) dari Aceh menentang sistem pemerintahan seperti ini. Mereka menginginkan seorang raja. Menurut mereka pawaris takhta sebenarnya masih hidup dan punya beberapa putra. Kepadanya mereka akan tunduk. Pewaris itu ada bersama penduduk di pedalaman. Dialah dalang di balik penentangan itu. Dia kerap menyebarkan prasangka buruk tanpa bukti di kota maupun desa. Menolak Sultanah Tak cuma Bowrey, penjelajah dan navigator berkebangsaan Inggris, William Dampier juga mencatat kehidupan sosial Aceh di bawah ratu. Dia tinggal selama beberapa bulan di Aceh pada 1688-1689 dan membuat catatan perjalanan. Di dalamnya berisi soal konflik setelah ratu ketiga mangkat. Ketika itu, Sultanah Inayat Syah Zakiyatuddin (1678-1688) sedang memerintah. Dia menggantikan Nurul Alam Nakiyatuddin (1675-1678). Dalam catatan Dampier, ratu Aceh adalah perawan tua yang dipilih dari keluarga kerajaan. Dia mengaku tak paham bagaimana upcara pemilihan itu berlangsung. Pun soal siapa yang memilihnya. “Tetapi saya menduga mereka adalah para orangkaya,” katanya. Setelah terpilih, sang ratu terikat dengan istananya. Dia jarang melakukan perjalanan ke luar negeri. Ratu juga jarang terlihat oleh orang kelas bawah kecuali beberapa pelayannya. Namun, sekali dalam setahun dia akan berpakaian putih dan duduk di atas gajah. Dalam sebuah arak-arakkan, ia akan pergi ke sungai untuk mandi. “Tetapi saya tidak tahu apakah rakyat jelata diperbolehkan menonton sang ratu dalam prosesi seperti ini,” tulisnya. Zakiyatuddin wafat pada 1688. Waktu dia mangkat, Dampier tengah dalam perjalanan menuju Tonkin (kini di Vietnam utara). Zakiyatuddin digantikan Sultanah Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699. Banyak orangkaya yang tidak menyetujui pemilihan itu. Mereka menghendaki kembali laki-laki naik takhta. Empat orangkaya yang hidup jauh dari istana angkat senjata demi menentang ratu baru dan orangkaya lainnya. Mereka pun menghimpum 5.000-6.000 tentara untuk menyerbu kota. “Keadaan ini terus berlanjut. Bahkan ketika kami tiba di sini dan beberapa lama setelahnya,” jelas Dampier. Menurut Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia , sang ratu akhirnya mengundurkan diri pada 1699. Namun, bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Makkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala. “Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan setelah berlangsung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Reid.





















