top of page

Sejarah Indonesia

Ali Bakatsir Sastrawan Nasionalis Peranakan Arab

Ali Bakatsir, Sastrawan Nasionalis Peranakan Arab

Lewat Drama, dia menyuarakan Indonesia merdeka dan menggalakkan perjuangan diplomasi Indonesia di jazirah Arab.

25 September 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ali Ahmad Bakatsir, sastrawan nasionalis berdarah Arab yang berjuang di masa revolusi. Foto: arabicbookshop.net.

DI seantero Timur Tengah, nama Ahmad Sukarno sudah kadung kondang untuk merujuk siapa presiden pertama Indonesia. Bahkan di Kairo, ibukota Mesir, Ahmad Sukarno diabadikan sebagai nama salah satu jalan. Padahal nama asli Bung Karno hanya Sukarno.  


Perkara nama Ahmad Sukarno bermuasal dari ulah aktivis mahasiswa Indonesia di Mesir. Di zaman revolusi mereka tergabung dalam Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuannya agak unik dan terkesan pragmatis. Nama yang bernuansa Islami itu memberi citra Indonesia sebagai negara yang dipimpin oleh orang Muslim.  


Pada masanya, nama Ahmad Sukarno kian viral justru karena pentas drama. Bagaimana bisa? Dalam seminar internasional bertajuk “Ali Ahmad Bakatsir: Sastrawan dalam Jejak Sejarah Indonesia” yang digelar kemarin (24/9) di teater Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, terungkap siapa yang berperan dalam popularisasi nama Ahmad Sukarno di Timur Tengah.   


Adalah Ali Ahmad Bakatsir, sastrawan peranakan Indonesia-Arab yang menambahkan nama Ahmad Sukarno sebagai salah satu lakon dalam karyanya berjudul Audatul Firdaus (Kembalinya Surga). Selain berkhdimat dalam dunia literasi sebagai seorang sastrawan, Ali Bakatsir juga bergiat dalam wadah PPKI.


Menurut Nabiel A. Karim Hayaze, direktur Menara Center –lembaga riset yang mengkaji keturunan Arab di Indonesia– sebelum melahirkan Audatul Firdaus, Ali Bakatsir termasuk orang yang paling rajin menulis di koran-koran Mesir mengenai kabar dari Indonesia.


“Tentang Sjahrir, tentang Sukarno, tentang Mohammad Hatta, tentang Dr. Soetomo dalam bahasa Arab. Sehingga orang-orang Mesir menjadi terbiasa dengan pembicaraan tentang Indonesia,” ujar Nabiel.


Khidmat di Jalur Sastra


Ali Ahmad Bakatsir lahir di Surabaya 10 Desember 1910 (beberapa sumber lain menyebut 1900). Orang tuanya keturunan Arab dari pasangan Ahmad Bakatsir dan Nur Bobsaid. Pada 1920, Ali Bakatsir menimba ilmu di Hadramaut (Yaman) untuk belajar agama Islam dan bahasa Arab. Menurut Ali Hasan Albahar, pengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN, dalam keluarga Bakatsir mengakar dua hal penting: tradisi literasi dan sisi nasionalis.


Di Yaman, Ali menetap di kota Seiyoun. Dia berguru pada seorang syekh besar bernama Al Qadhie Muhammad Bakatsir. Di masa ini, Ali mulai memperlihatkan kecakapannya di bidang sastra dengan menyusun bait-baitnya sendiri ataupun menggubah puisi. Selama di Seiyoun, Ali aktif dalam kegiatan sastra dan terlibat dalam penerbitan majalah At Tahdzhib.



Sebagai pusat kebudayaan Arab, pada 1934, Ali merantau ke Mesir. Kendati terbentang jarak yang jauh, Ali tetap terikat dengan tanah kelahirannya. Apalagi memasuki dekade 1940-an, Ali makin serius memantau gerakan perjuangan di Indonesia lewat diskusi dengan sahabat-sahabatnya dalam PPKI.


Pertengahan 1946, dalam acara peringatan setahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Kairo, karya Ali Bakatsir ini bergaung. Naskah drama Audatul Firdaus dipakai sebagai alat propaganda PPKI guna memperkuat perjuangan diplomasi Indonesia. Salah satu babak dari drama tersebut dipentaskan oleh pemuda-pemuda Jam’iah Syubban Muslimin di gedung teater PPKI.


Berjuang Lewat Drama


Ali Bakatsir menulis Audatatul Firdaus pada 29 Juli di Kairo, Mesir. Ia diterbitkan pertama kali oleh penerbit Maktabah Masr. Naskah drama ini terdiri dari empat babak. Dalam versi cetakan asli bahasa Arab terdiri dari 155 halaman. Ali mempersembahkan drama itu kepada saudara-saudaranya rakyat Indonesia.


“Untuk mendengarkan suara rantai yang terlepas yang selama ini membelenggu 75 juta bangsa Indonesia,” tulis Ali Bakatsir dalam pengantar naskah dramanya.


Kisahnya mengambil latar di dua tempat di Jakarta, yaitu rumah Haji Abdul Karim yang terletak Lapangan Gambir dan markas gerakan bawah tanah pimpinan Sutan Sjahrir di suatu kampung. Suasana zamannya menggambarkan keadaan negeri Indonesia semasa pendudukan Jepang di awal tahun 1942 hingga 17 Agustus 1945.


Ali menceritakan kehidupan dua keluarga pejuang yang masih bersaudara sepupu: Sulaiman dan Madjid. Sulaiman mendukung gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir yang menolak bekerja sama dengan Jepang. Di pihak lain, Madjid sekubu dengan Sukarno-Hatta yang memutuskan bekerja sama dengan Jepang.


Alur cerita drama ini menampilkan perdebatan Sulaiman dan Madjid yang berusaha mempertahankan langkah politik masing-masing. Akhir drama dipungkasi dengan terbongkarnya suatu rahasia. Baik Sjahrir maupun Sukarno-Hatta ternyata bermufakat untuk mengambil strategi berbeda menghadapi Jepang namun tetap satu dalam tujuan: Indonesia merdeka.


Dalam roman politik itu, Ali tak lupa menggubah lirik lagu Indonesia Raya ke dalam bahasa Arab. Menurut A.R Baswedan yang diwawancara pada 1974 dalam Proyek Sejarah Lisan ANRI, Ali Bakatsir menyiarkan lagu Indonesia Raya di antara mahasiswa Mesir yang diberi kata-kata bahasa Arab yang cukup banyak.   


Keesokan hari setelah pentas, siaran radio di Mesir ikut memainkan drama tersebut. Lagu Indonesia Raya juga kumandang. Koran-koran Mesir kemudian memberitakan, bahwa ada satu negara bernama Indonesia yang pemimpinnya bernama (Ahmad) Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Opini publik tentang Indonesia terbentuk: sebuah negara Islam yang mau merdeka dan membutuhkan bantuan pengakuan dari negara lain.   


“Karya Ali Bakatsir ini mempengaruhi pemimpin-pemimpin Arab saat itu,” ujar Nabiel. Menurut Nabiel, hingga saat ini Audatul Firdaus menjadi bacaan yang cukup diminati oleh sebagian kalangan di Mesir yang tertarik soal sejarah Indonesia. Audatul Firdaus sendiritelah dibukukan dalam KembalinyaSurga yang Hilang: Sebuah Epos Lahirnya Bangsa Indonesia yang diterjemahhkan ke bahasa Indonesia oleh Nabiel A. Karim Hayaze. 


Pada akhirnya Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. Ali Bakatsir sendiri tetap menetap di Mesir hingga akhir hayatnya. Dia dikenal sebagai sastrawan besar yang menelurkan ratusan buku syair dan naskah drama.


Pada 10 November 1969, Ali Bakatsir wafat. Duta besar Indonesia untuk Mesir saat itu, Letjen TNI (purn.) A.J. Mokoginta ikut mengantarkan ke pemakaman dan mengenang jasa Ali sebagai sastrawan yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page