top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dari Jailolo ke Priangan

    Makam tua itu terpuruk dimakan usia. Di atasnya, sekumpulan batu kali tersusun rapi, membentuk ruas persegi panjang1,5 x 2 meter persegi. Dari sesela bebatuan, rerumputan liar tumbuh subur, seolah menjadi pelindung makam dari sengatan matahari. Tak ada yang tahu persis siapa yang bersemayam di makam yang terletak di Kampung Salagedang, Cianjur. “Sejak saya bocah, pusara itu hanya dikenal orang-orang kampung sebagai makamnya Jilolo,  gegeden  (orang besar) dari tanah seberang,” ujar R. Agus Thosin (65), salah seorang sesepuh Salagedang. Sama seperti keterangan Agus, Tjutju Soendoesijah (70) mendapat cerita dari neneknya, Unah (meninggal pada 1967 dalam usia 95 tahun), bahwa Jilolo adalah seorang raja seberang yang gagah dan memiliki banyak pengikut. “Kata nenek saya, beliau juga seorang haji,” ujarnya. Siapakah sebenarnya Jilolo? Dari Maluku Utara Keterangan Agus dan Tjutju tak seluruhnya salah. Dalam disertasinya berjudul ”Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara”, sejarawan R.Z. Leirissa menyebut pada 1832 beberapa pembesar Kesultanan Jailolo (terletak di Maluku Utara) dan keluarga mereka dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Cianjur. Bahkan salah satu dari mereka, Hajuddin, wafat di sana. “Kendati bukan seorang haji, keluarganya memanggil dia dengan sebutan ‘haji’,” tulis Leirissa. Hajuddin seorang raja muda. Dia diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai sultan Jailolo dengan gelar Sultan Syaif ud-din Jihad Muhammad Hay ud-ddin Syah. Kekuasaannya tak berusia panjang. Secara sukarela dia menyerahkan tahta kepada sang kakak, Mohamad Asgar, dan disetujui pemerintah Hindia Belanda. “Saat itu kedaulatan Kesultanan Jailolo memang secara resmi ada di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda,” ujar Leirissa. Dibuang ke Cianjur Pada mulanya hubungan Jailolo-Hindia Belanda berlangsung baik-baik saja. Sebagai pejabat Hindia Belanda, Sultan Mohamad Asgar cukup puas “digaji” f. 250. Kekisruhan muncul kala pada Agustus 1832 kesultanan memohon kepada pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Seram Pasir ke Pulau Obi. Alasannya, tanah di Seram Pasir tidak subur untuk pertanian. Batavia tidak mengamini permintaan itu. Akibatnya muncullah “gejolak”. Merasa menjadi duri dalam daging, Batavia menyiapkan dua opsi: “mempensiunkan” Sultan atau membubarkan kesultanan. Setelah digodok  Raad van Indie  (Dewan Penasehat Gubernur Jenderal), keputusan akhir adalah pembubaran Kesultanan Jailolo. Atas dasar itulah, pada Desember 1832 pemerintah secara resmi membubarkan Kesultanan Jailolo. Menurut M. Adnan Amal, Sultan Mohamad Asgar beserta keluarganya (termasuk Raja Muda Hajuddin) dikelabui lewat suatu skenario perundingan. “Mereka lantas diangkut dengan dua kapal menuju Batavia kemudian ke Cianjur, tempat mereka diasingkan,” tulis M. Adnan Amal dalam  Kepulauan Rempah-Rempah. Tahun 1844, muncul keputusan mengembalikan para tahanan politik itu ke Maluku. Namun Hajuddin tak masuk dalam daftar pengampunan. Jadilah dia bermukim di tanah Priangan hingga wafat pada 1846 dan dimakamkan di wilayah yang saat ini dikenal sebagai bagian dari Taman Makam Pahlawan Cianjur.

  • Kisah Panji di Negeri Jiran

    KISAH Panji dari Jawa telah menginspirasi penulisan karya agung Melayu: dan . Kisahnya pun banyak diterjemahkan ke bahasa Melayu dan ditulis dengan aksara Jawi (Arab gundul). “Ini bukti betapa meresapnya Kisah Panji dalam lipatan hati khalayak Melayu,” ujar Noriah Mohamed, peneliti Panji dari Universiti Sains Malaysia. Dalam sang pengarang memunculkan tokoh putri Majapahit bernama Raden Galuh Candera Kirana yang kecantikannya memikat Sultan Mansur Shah. Nama putri yang itu dijumpai pula dalam Kisah Panji.  Begitu pula dalam  Disebutkan Ratu Daha memiliki dua putri, yang sulung bernama Tuan Puteri Galuh Candera Kirana. Putri cantik itu merupakan anak permaisuri.  Di sini, kata Noriah, kebiasaan baik Jawa maupun Melayu tak jauh berbeda. Terutama dalam hal kebiasaannya menggambarkan kecantikan seorang putri. “Cantiknya putri digambarkan dengan perumpamaan-perumpamaan di alam. Sama seperti orang Jawa,” ujarnya.  Dari tema, rentetan cerita, dan tokoh yang ditampilkan menguatkan pendapat kalau Kisah Panji di Melayu memang berindukkan Kisah Panji di Jawa. Hal ini dapat ditelusuri dari naskah berjudul . Dalam teks itu penyalin menggunakan banyak kata Jawa, seperti . “Kata itu sangat jarang digunakan dalam bahasa Melayu. Namun, begitu lumrah dalam tutur bahasa Jawa,” kata Noriah. Banyaknya kesamaan budaya membuat Kisah Panji dianggap sebagai kepunyaan Melayu, meski asalnya dari Jawa. Belum lagi kisahnya berfokus pada istana dan cinta, membuat Kisah Panji bisa diterima masyarakat Melayu. Sehingga banyak Kisah Panji yang dimelayukan: dan  Meski tak ada unsur Islam, kisah itu tetap memikat masyarakat Melayu karena banyak pelajaran kehidupan yang bisa diambil. “Cerita Panji bukan cuma hiburan. Namun lebih kepada pengajaran,” kata Noriah.  Pengaruh Kisah Panji bukan cuma dalam teks tulis. Para dalang mengambil elemen Panji yang disesuaikan dengan budaya setempat sebagai cerita dalam pagelaran wayang kulit. Bahkan, ada yang diubah sesuai selera dalang. “Kelainan ini disebabkan cerita Panji tersebar dalam bentuk lisan. Adanya ruang untuk menambah cerita amat biasa dalam dunia penciptaan cerita Panji dan pewayangan,” kata Noriah.  Kisah Panji, kata Noriah, telah lama diketahui khalayak Melayu terutama di Kelantan. Namun, sulit menentukan kapan pastinya karena bermula dari cerita lisan. Kendati begitu, dia memperkirakan Kisah Panji masuk ke dalam budaya Melayu sejak abad 15 karena  dikarang pada 1612 dan ditulis pengarang anonim lebih awal dari 1641. Di dalamnya banyak disebutkan tentang Majapahit. “Secara tak langsung membuktikan Kisah Panji sudah dikenal di Malaka pada abad 15. Di kedua karya itu unsur-unsur Kisah Panji banyak ditemukan,” kata Noriah.  Selain itu, hubungan Melaka dan Jawa semakin terbentuk pada abad ke-15. Islam telah menapak di tanah semenanjung. Perdagangan yang mendorong mereka datang. Beberapa sejarawan dan akademisi Malaysia seperti Khazin Tamrin, Haron Mat Piah, dan Abd. Rahman Kaeh, menyebut keberadaan kampung India, Tionghoa, dan Jawa. “Cerita Panji dapat menambat hati khalayak terutama sewaktu Malaka di bawah Kesultanan Melayu,” lanjutnya. Dalam  dikisahkan perkampungan Jawa terbentuk setelah kedatangan tokoh Patih Kerja Wijaya bersama kerabatnya. Dia pergi karena sakit hati oleh Ratu Lasem kemudian menghambakan diri kepada penguasa Melaka. Orang Jawa terus berdatangan hingga tahun 1890-an. Mereka diterima masyarakat setempat karena beberapa faktor. Namun, paling ketara karena rajin dan uletnya. Kerajinan mereka terlihat terutama berkaitan dengan pembukaan parit-parit di Johor dan pembukaan tanah-tanah baru. Hingga kini, masyarakat keturunan Jawa masih ada seperti di kawasan Upeh dan Hilir di Melaka. Sebenarnya bukan cuma Kisah Panji dari Jawa yang dikenal masyarakat Melayu. Cerita   pun terus digunakan dalam pewayangan seperti,

  • Musabab Koro

    SAMBIL ketakutan, seorang lelaki berusia 20-an datang ke rumahsakit. Dia mengeluh penis dan pelirnya mengecil. Akibatnya, dia juga tidak bisa tidur, merasakan sakit di sekujur tubuh, dan cemas berlebihan. Sebulan kemudian, dia kembali ke rumahsakit itu. Kondisinya tambah parah. Selain gangguan tidurnya makin menjadi, dia mengeluhkan penis dan pelirnya menghilang meski sudah dipeganginya erat sampai kebiruan. Ketika dokter meminta lelaki itu melepaskan cengkeramannya, dia malah betindak agresif. Keluhan lelaki itu mirip penyakit koro. Teman sekamarnya menjadi saksi bagaimana dia melewati malam dengan gelisah dan tangannya terus memegangi alat kelamin. Sebelum ke rumahsakit, dia telah berobat ke beberapa dukun tapi tak berhasil. Kasus yang terjadi di India tahun 1981 itu diangkat oleh GD Shukla, kepala departemen Kesehatan Mental di Medical College Jhansi, dalam artikelnya, “Koro-like Syndrome”. Usut punya usut, lelaki tadi rupanya sering masturbasi selama 3-4 tahun terakhir. Ketika tak sengaja membaca beberapa buku yang melarang praktik masturbasi, dia benar-benar ketakutan. Dalam buku itu tertulis bahwa masturbasi memiliki beberapa efek buruk, salah satunya "penyusutan penis". Susah payah dia menghentikan hobinya itu. Tapi apa daya, nafsu untuk masturbasinya telalu kuat, akibatnya berubah jadi rasa cemas dan bersalah. Lelaki seperti itu tak sendirian. Koro pernah mewabah di India pada akhir 1982. Antropolog medis David Mitchell menjelaskan, terlepas dari perbedaan lokasi dan waktu kemunculannya, ciri penyakit koro hampir seragam tiap kali muncul, laiknya sebuah pola. Koro menjangkiti mereka yang memiliki ketakutan berlebihan akan ukuran penis. Faktor budaya, lanjut Mitchell, menjadi penentu penting kemunculan koro. “Di beberapa budaya, penis menyusut bukan hal penting sehingga mereka tidak meributkannya. Sementara pasien koro, mereka benar-benar mengomel soal itu, dan ketakutan setengah mati. Tapi bagi saya mereka cukup berani untuk mengakui kelaminnya menyusut,” kata Mitchell sambil tertawa. Dalam masyarakat India, juga Indonesia, segala hal tentang genitalia laki-laki dewasa dan perempuan diatur oleh beragam norma sosial. Seperti, cara berpakaian, cara membicarakan, diagungkannya phallus sebagai simbol maskulinitas, bahkan ada mitos tentang standar ideal genitalia. Serangkaian norma sosial itu diberlakukan dengan ketat di masyarakat dan dipelajari sejak dini. Ditambah dengan aturan agama, kurangnya kepercayaan seksual dan tubuh, dan takhayul yang ada, faktor-faktor itu memunculkan sindrom koro. Budaya yang menjunjung tinggi maskulinitas berperan penting terhadap kemunculan sindrom koro. Maka, bila penis mengalami perubahan sedikit atau bahkan menyusut, akan menjadi masalah besar yang ditakuti para lelaki. Penyusutan penis disalahpahami sebagai penyakit menakutkan dan menjadi ancaman akan harga diri pemiliknya. Di Indonesia, sindrom koro pernah mewabah pada 1999 di Flores. Ratusan laki-laki, mayoritas siswa sekolah menengah, mengeluhkan buah zakar mereka menghilang. Amitava Dan bersama rekan-rekannya meneliti penyebab wabah sindrom koro. Dalam artikel “Socio Demographic Profile and Treatment Seeking Behaviour of Koro Patients in an Epidemic Reported from West Bengal, India” Dan menyebut reaksi masyarakat yang cemas dan suasana histeris menjadi pencetus mewabah koro. Masyarakat yang histeris tanpa sadar menyebarkan ketakutan dari satu pasien ke calon pasien lain dengan cepat, akibatnya epidemi terjadi. Menurut Dan, epidemi koro sebagian besar muncul pada lelaki muda. Selain itu, kata Mitchell, “Koro biasanya ditemukan di daerah pedalaman karena orang-orang masih percaya takhayul dan mereka tahu tentang koro. Kalau sudah sedikit kota, biasanya sudah tidak ada yang tahu penyakit koro.” Dan belum pernah menjumpai pasien koro dengan tingkat pendidikan tinggi atau seorang profesional. Koro pada dasarnya berasal dari ketakutan mendalam akan ukuran genital seorang lelaki akibat pengagungan berlebihan akan mitos “keperkasaan”. Para dokter yang menangani pasien koro memberikan terapi untuk menghilangkan ketakutan dan pemahaman akan genitalia.  “Penis memang menyusut karena berbagai faktor, seperti kedinginan atau ketika takut. Itu hal yang normal. Tapi beberapa orang ketakutan akan menyusutnya penis,” kata Mitchell.

  • Menepuk Dada Menyapu Luka

    SAKIT namun tak berdarah. Tinggal sejengkal lagi menggamit trofi Piala Dunia, Luka Modrić dan rekan-rekan setim Kroasia malah digilas Prancis 4-2 di final yang dimainkan di Stadion Luzhniki, Minggu (15/7/2018). Menyesakkan! Pun begitu, mereka layak menepuk dada dan pulang dengan kepala tegak karena berhasil melejit hingga ke partai puncak Piala Dunia 2018. Bagi Modrić sang kapten, kebahagiaan bertambah karena dia dianugerahi Golden Ball Award, penghargaan untuk pemain terbaik sepanjang turnamen. “Tentu saya bangga. Terimakasih juga kepada semua rekan tim karena tanpa mereka, saya takkan menerima award ini. Kami sudah berjuang, mengerahkan segalanya untuk menang, namun kami belum beruntung,” cetus Modrić, di laman FIFA, Senin (15/7/2018). Kroasia pulang  juga dengan hadiah 28 juta dolar Amerika sebagai finalis. Wajar sekembalinya ke Zagreb skuad Kroasia disambut begitu semarak. Pesawat tim langsung dikawal sepasang jet tempur MiG-21 hingga mendarat saat memasuki wilayah negerinya. Tim juga diarak dengan bus beratap terbuka sampai ke Alun-Alun Ban Jelačić. Mereka patut berbangga. Prestasi terbaik yang pernah dimiliki timnas Kroasia, juara tiga Piala Dunia 1998, berhasil mereka lewati. Kisah keberhasilan mereka akan jadi pembicaraan dunia sepakbola sampai bertahun-tahun mendatang. Menyapu Kepedihan Masa Lalu Kroasia dengan populasi sekitar 4,2 juta jiwa merupakan sebuah negeri pecahan Yugoslavia yang baru 27 tahun merdeka. Negeri pemilik situs warisan dunia Kota Tua Dubrovnik itu pernah luluh lantak oleh Perang Kemerdekaan Kroasia (1991-1995). Di perang itu, Kroasia menghadapi Serbia yang juga bagian dari Yugoslavia. Kota Tua Dubrovnik yang turut terimbas Perang Kemerdekaan Kroasia (Foto: Muzej Domovinskog rata u Dubrovniku) Data Institute for War and Peace Reporting (IWPR) menyebutkan, perang itu menewaskan sekira 15 ribu orang Kroasia. “Namun ahli demografi Kroasia Dražen Živić menyatakan lebih dari 22 ribu jiwa yang tewas,” tulis Blanka Matkovich dalam Croatia and Slovenia at the End and After the Second World War. Sementara, 200 ribu rakyat Kroasia kehilangan tempat tinggal. Mayoritas dari mereka mengungsi ke luar negeri, seperti yang dialami keluarga Modrić, kapten Kroasia yang kini jadi andalan Real Madrid. Saat perang berkecamuk, Modrić masih berusia enam tahun. Setelah rumahnya dibakar serdadu Serbia, keluarganya mengungsi sampai ke Zadar di pesisir Laut Adriatic. Ayahnya, Stipe Modrić, harus ikut berjuang di Angkatan Darat Kroasia, sementara kakeknya dibunuh serdadu paramiliter Serbia. Memori tentang kenangan getir itu masih tersimpan di sudut ingatan Modric hingga sempat diutarakannya di konferensi pers jelang final. “Saya tak suka kembali mengungkit soal itu. Semuanya sudah jadi masa lalu. Meski tentu saja semua hal itu memengaruhi Anda,” singkapnya, disitat Associated Press , 14 Juli 2018. Luka Modric sebagaimana para rekannya, punya kisah getir terkait keluarga mereka di masa perang (Foto: fifa.com) Nasib getir turut menimpa Ivan Rakitić, rekan setim Modrić. Keluarga Rakitic bahkan mengungsi sampai ke Swiss. Namun, Rakitić tak melihat kepahitan perang di negerinya dengan mata kepala sendiri. Orangtuanya sudah lebih dulu mengungsi saat Krisis Balkan baru mulai. Rakitić sendiri lahir di Rheinfelden, Swiss pada 10 Maret 1988. “Masa lalu Kroasia yang saya kenal hanya dari TV dan foto-foto yang pernah ditunjukkan orangtua saya,” tutur Rakitić dalam “The Best Shirt in the World” yang dimuat laman theplayerstribune.com , 21 Juni 2018. Meski tak mengalaminya, hati Rakitić kecil ikut bergolak jika mendengar orangtuanya berbicara sambil menangis dengan keluarga yang masih tinggal di Kroasia. “Sebagai anak kecil dahulu kala, sulit memahami apa yang terjadi di Balkan. Orangtua saya tak pernah bicara soal perang dan bisa dimengerti kenapa mereka tak ingin mengungkitnya,” lanjut bintang klub Barcelona itu. Ivan Rakitic di tim Kroasia yang mayoritas pemainnya senasib dengannya, sebagai anak pengungsi (Foto: fifa.com) Rakitić turut merasakan orangtuanya banyak kehilangan orang-orang terdekat, entah itu sahabat atau kerabat dekat. “Pertamakali saya paham tentang perang, ketika umur lima tahun kala melihat tayangan TV. Saya melihat foto-foto dan video tentang perang dan saya bertanya-tanya: ‘Ini mustahil. Bagaimana ini bisa terjadi?’,” tandasnya. Meski kisah masa lalu Modrić dan Rakitić hanya seujung kuku dari pengalaman pahit yang dialami para pilar timnas Kroasia semasa Perang Kemerdekaan, mereka berhasil bangkit. “Kenangan itu membuat kami jadi orang-orang yang gigih sebagai sebuah bangsa,” kata Modrić.

  • Raja yang Diasingkan

    Tak sulit menemukan makam Sri Diraja Datuk Badiuzzaman Surbakti, raja Sunggal, di Kompleks Pemakaman Pamoyanan, Cianjur. Begitu masuk dan menyebut “makam Istana Deli”, penjaga kompleks pemakaman akan membawa Anda ke sebuah pusara kokoh berumpak dua. Namun tak ada yang tahu siapa Datuk Badiuzzaman. Termasuk Iwan (42), penjaga kompleks pemakaman. “Yang jelas hampir setiap tahun makamnya dikunjungi orang-orang dari luar Cianjur, terutama dari Jakarta dan Sumatra,” ujar Iwan. Pemimpin Perang Sunggal Dalam catatan arsip-arsip Belanda, Datuk Badiuzzaman ditabalkan sebagai salah satu pemimpin Perang Batak ( Batak Oorlog ), sebuah penyebutan yang salah-kaprah karena Sunggal merupakan bagian dari Karo. Menurut Uli Kozok, ahli budaya dan sastra Batak dari University of Hawaii, Amerika Serikat, istilah tersebut membingungkan. “Yang dimaksud dengan Batak ialah Karo. Jadi terjemahan yang lebih tepat daripada  Batak Oorlog  adalah Perang Karo,” ujarnya. Namun penyebutan Perang Karo tidak populer. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebutnya sebagai Perang Sunggal. Salah satunya Tengku Luckman Sinar, sejarawan Sumatra Utara yang menulis buku  Perang Sunggal (1872-1895) . “Perang ini merupakan kejadian yang sangat penting, bukan saja bagi orang-orang Sunggal tapi juga bagi pihak Belanda, karena akibat perang ini mereka harus mengeluarkan ongkos yang sangat besar,” tulis Tengku Luckman Sinar, yang masih keturunan Sultan Deli. Bibit-bibit Perang Sunggal bermula dari ambisi Kesultanan Deli menguasai lahan orang-orang Sunggal sepeninggal Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, raja Sunggal, pada 1857. Datuk Muhammad Kecil Surbakti, adik Datuk Ahmad yang memegang kendali kerajaan untuk sementara karena putra raja masih kecil, melakukan perlawanan. Tak yakin dengan kekuatan militernya, pada 1865 Sultan Mahmud mengundang pihak Hindia Belanda untuk terjun dalam konflik tersebut. Sebagai kompensasi, dia berjanji menyerahkan lahan-lahan subur milik Sunggal kepada maskapai tembakau milik orang-orang Belanda. Datu Kecil bereaksi keras. Terlebih Sultan Mahmud memenuhi janjinya kepada Belanda. Bersama Sulong Barat dan Datuk Jalil, Datuk Kecil menyiapkan 1.500 pasukan. Perang meletus pada 1872. Namun kekuatan gabungan Deli-Hindia Belanda berhasil menangkap Datuk Kecil, Datuk Jalil, Sulong Barat, dan empat panglima perang Sunggal pada November 1872. “Setelah 10 bulan disekap di Riau, mereka lalu dibawa ke Batavia,” tulis Tengku Luckman Sinar. Tertangkapnya para datuk dan panglima Perang Sunggal tak menyurutkan perlawanan. Dipimpin Datuk Badiuzzaman, putra Datuk Ahmad yang sudah beranjak dewasa dan memimpin kerajaan, perang terus berkobar. Saking dasyatnya, Hindia Belanda harus bersusah-payah. “Belanda tercatat tiga kali mengirim bantuan ekspedisi militernya dari Batavia,” ujar Asmyta Surbakti, pegiat  Sumatra Heritage Trust . Dikelabui Belanda Tahun 1895, Hindia Belanda mengajukan tawaran berdamai. Sebagai bentuk “keseriusan”, mereka mengundang Datuk Badiuzzaman untuk berunding dengan Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck di Batavia. Tanpa curiga, undangan tersebut dipenuhi. Bersama adiknya (Datuk Alang Mohammad Bahar), sekretarisnya (Datuk Mahmood), dan ajudannya (Da’im), dia bertolak ke Batavia. Namun, setiba di Batavia, bukan perundingan yang mereka terima namun penghinaan. Gubernur jenderal menyatakan akan memaafkan segala “kesalahan” Datuk Badiuzzaman jika mau bersujud di depan kakinya. Datuk Badiuzzaman menolak mentah-mentah: “Biar mati sekalipun, saya tak akan pernah jongkok minta ampun di depan orang-orang Belanda.” Akibat penolakan itu, hukuman dijatuhkan. Datuk Badiuzzaman dan Datuk Alang dihukum buang seumur hidup; masing-masing ke Cianjur dan Banyumas. “Ketika kabar itu sampai di Sunggal, tiga bulan lamanya rakyat Sunggal menyatakan berkabung,” tulis Tengku Luckman Sinar. Belum ditemukan data-data sejarah tentang kehidupan Datuk Badiuzzaman sebagai orang buangan di Cianjur. “Hingga kini, kami belum mengetahui penyebab dan kapan wafatnya,” ujar Asmyta Surbakti.

  • Tujuan Konsep Jabotabek Meleset?

    PAGI yang semarak di Stasiun Kota, Jakarta. Hiasan pita warna-warni dan karangan bunga ucapan selamat terpampang di suatu sudut stasiun. Pagi itu, 29 Agustus 1977, Tjokropranolo, Pejabat (Pj.) Gubernur Jakarta pengganti Ali Sadikin, meresmikan penggunaan kereta api rel listrik dan diesel untuk tiga rute ke wilayah sekitar Jakarta (Botabek atau Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Kompas , 27 Agustus 1977, melaporkan rute kereta rel listrik dan diesel tersebut mencakup rute Tanjung Priok-Karawang Pergi Pulang (PP), Jakarta-Rangkasbitung PP, dan Jakarta Bogor PP. Pejabat pemerintah berharap kereta Jabotabek mampu melayani 100.000 penumpang per hari dengan jarak kedatangan 15 menit sekali di tiap stasiun. Mereka juga memandang kereta Jabotabek sebagai salah satu perangsang pusat pertumbuhan baru di Botabek untuk mengurangi beban Jakarta. Pembangunan Sarana Penunjang Penduduk Jakarta telah berjumlah hampir 6 juta jiwa pada 1977. Wilayahnya seluas 587,62 km2. Ini berarti kepadatan penduduknya mencapai 8.334 penduduk per km2. Angka ini tergolong tinggi untuk kepadatan penduduk dalam sebuah kota. Dari sisi ekonomi, Jakarta memegang lebih dari 50 persen sirkulasi uang nasional. Ada 329 proyek Penanaman Modal Asing (PMA) dan 687 proyek Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Jakarta pada 1977. Nilai investasinya lebih dari 50 persen dari seluruh proyek PMA dan PMDN nasional. Padahal penduduk Jakarta hanya 4,2 persen dari total penduduk Indonesia. Para ahli ekonomi dan kota telah mewanti-wanti pembagian kue pembangunan yang jomplang sekaligus memusat ini. Dampaknya meliputi kerawanan dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Maka pemerintah daerah dan pusat mengikuti saran sejumlah ahli perencana kota untuk mengembangkan konsep Jabotabek. Sebagian besar wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi masih berupa hamparan hijau. Di sanalah limpahan penduduk Jakarta akan disebar oleh pemerintah pusat dan daerah. “Dikembangkan pusat-pusat permukiman perkotaan seperti Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok agar menjadi tempat kediaman dan berusaha yang menarik, sehingga dapat menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru,” demikian Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi. Untuk mewujudkan konsep Jabotabek, Pemerintah Daerah Jakarta dan Jawa Barat membentuk tim Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabotabek. Pemerintah Pusat tak ketinggalan turut serta. Mereka mengoordinasikan pengembangan Jabotabek melalui tim Perencana Jabotabek. Kerja dua tim ini merancang segala sarana pendukung Jabotabek seperti transportasi, listrik, air, permukiman, dan fasilitas umum. Perancangan transportasi massal di Jabotabek menekankan pada penggunaan kereta api, sesuai dengan Rencana Induk Jakarta 1965-1985. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menargetkan penggunaan kereta api sebesar 50 persen, bus 32 persen, dan kendaraan pribadi 18 persen. Tapi kenyataannya hingga 1979, penggunaan kereta api hanya sampai 1,2 persen. Penggunaan bus mencapai 69,9 persen, sedangkan kendaraan pribadi sebesar 39,2 persen. Pembangunan listrik, air, permukiman, dan fasilitas umum terbagi ke banyak instansi pemerintah seperti PDAM, Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, dan Perumnas. Pihak swasta turut terlibat dalam penyediaan permukiman di wilayah Serpong, Tangerang, pada dekade 1980-an. Pengembangan Jabotabek masuk babak baru pada 1981. Tim perencana berhasil menajamkan pengembangan Jabotabek melalui Metropolitan Development Plan . Menurut Tommy Firman dalam “ Pembangunan Kota-Kota Baru di Wilayah Metropolitan Jabotabek”, termuat di Prisma , No. 6 tahun 1989, Metropolitan Development Plantelah menyebut pusat-pusat pertumbuhan yang lebih luas. Antara lain Balaraja, Tigaraksa, Serpong, Bumi Serpong Damai, Ciputat, Depok, Citereup, Cileungsi, Cimanggis, Leuwiliang, Cibulang, Cikarang, dan Parung. Wilayah-wilayah tersebut mulai terhubung oleh jalan tol Jagorawi dan rel kereta. Tim perencana juga berupaya menambah alternatif gerak warga dengan menyediakan jalan lingkar luar Jakarta. Sebuah jalan tol lainnya rampung pada 1984. Jalan ini menghubungkan Jakarta dan Pelabuhan Merak (poros Jakarta-Tangerang). Di Jakarta, Pemda merencanakan pembangunan jalan layang di Tebet dan Tomang untuk menyokong gerak warga dari Jakarta ke Timur (Bekasi) dan Barat (Tangerang), atau sebaliknya. Dekade 1990-an memperlihatkan perubahan signifikan pada wilayah Botabek. Pusat pertumbuhan baru bermunculan setelah pembangunan sebagian sarana penunjang kelar. Depok, wilayah pinggiran di selatan Jakarta, telah ikut masuk konsep sehingga mengubah Jabotabek menjadi Jabodetabek. Pertumbuhan penduduk di DKI menunjukkan penurunan, dari 3,8 persen menjadi 2,4 persen pada 1994. “Sebaliknya populasi di wilayah Botabek yang berbatasan langsung dengan Jakarta meningkat dengan cepat dari 4 persen menjadi 9 persen,” catat Bernard Dorleans dalam “Dari Kampung ke Pengembangan Pemukiman” termuat di Jakarta Batavia Esai Sosio Kultural . Konsep penglaju ( commuter ) pun mulai mengkhalayak untuk menyebut warga yang kerja di Jakarta, tapi bertempat tinggal di Botabek. Sebagian mereka pergi-pulang dengan kendaraan pribadi, lainnya naik angkutan massal. Mereka menghabiskan berjam-jam di jalan dan kendaraan hingga mengikis waktu pertemuan mereka dengan sesama tetangga atau kerabat. “Jendela-jendela kendaraan itu seperti membingkai wajah-wajah ‘Aku’ yang masing-masing terpasung dalam dunianya sendiri,” tulis Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan Nasional, menggambarkan dampak sosial kepadatan jalan dan kendaraan di Jabotabek dalam esai reflektifnya yang termuat di Pentas Kota Raya . Keadaan-keadaan demikian sebenarnya sudah pernah diprediksi para pengkritik konsep Jabotabek sejak 1970-an. Kritik Jabotabek Kritik awal terhadap konsep Jabotabek muncul pada 1974, setahun setelah konsep ini jadi bahan perbincangan khalayak. Melalui opininya di Kompas, 8 Maret 1974, Sumarkoco Sudiro, seorang pengamat kota menyatakan proyek Jabotabek berpotensi menambah kepemilikan rumah oleh orang kaya dan jumlah kendaraan pribadi. “Pembangunan jalan lingkar luar dan jalan penghubungnya akan merangsang orang-orang kaya untuk punya dua atau tiga rumah, atau mungkin lebih. Kendaraan juga bakal menumpuk di jalan lingkar luar,” catat Sumarkoco. Dia menyimpulkan Jabotabek bukannya mengurangi beban Jakarta, tetapi bakal malah menambahnya. Sementara itu, Dorodjatun Kuntjoro Djakti, kelak menjadi Dekan Fakultas Ekonomi UI, telah berupaya mengajukan konsep alternatif pola lain pengembangan kota. Dia tak menyerang langsung Jabotabek dan Rencana Induk Jakarta sebagai cantolan utamanya. Dorodjatun lebih mengarahkan kritiknya pada orientasi pola pengembangan kota. Menurutnya sebagian besar kota di Asia Tenggara terlalu mengekor pola pengembangan kota di negeri Barat. “Kita katakan bahwa pola pertumbuhan serta kebijaksanaan pengembangan kota yang ada dewasa ini berbau ‘Barat’ sebab apa yang terjadi adalah kota tersebut dimodernisasikan menuruti Master Plan Barat,” ungkap Dorodjatun dalam “Alternatif Baru Pertumbuhan Kota di Dunia Ketiga” termuat di Widyapura,  No. 7-8, 1977. Pengekoran pengembangan kota menurut pola Barat tidak selalu berhasil di negara berkembang seperti Indonesia. Sebabnya perbedaan karakter dan corak masyarakat. “Pola pertumbuhan serta kebijaksanaan pengembangan kota menuruti master plan Barat membawa pada dirinya, potensi peledakan sosial dan politik yang besar,” lanjut Dorodjatun. Perkembangan Jabotabek pada 1990-an menunjukkan kebenaran para pengkritiknya. Dalam istilah Bernard Dorleans, Jabotabek telah menjadi “sebuah megalopolis yang terlalu padat dan sarat dengan kemacetan serta polusi." Kepadatan, kemacetan, dan polusi menyimpan potensi dampak lanjutan. Sekarang para perencana kota berupaya membenahi Jabodetabek untuk mencegah dampak lanjutan itu.

  • Barisan Srikandi dalam Perjuangan Kemerdekaan

    GUNA menindaklanjuti proklamasi kemerdekaan yang sampai di Medan seminggu setelah dibacakan, Kayatin Sahir Nitihardjo dan Hadjah Siregar membentuk Barisan Srikandi (BS), yang bertugas mempersiapkan dapur umum dan pos kesehatan. Keduanya mendirikan BS hanya bermodal pelatihan singkat yang didapat di Pusat Latihan Bah Birung Ulu. Sama seperti banyak badan perjuangan lain yang berdiri setelah proklamasi, BS memikul tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan. Kala itu Belanda masih kerap melancarkan serangan militer meski Indonesia sudah menyatakan kemerdekaan. Kayatin mendapat tugas di front utara, dari daerah Two Rives sampai Binjai. Dia bekerjasama dengan prajurit Mujahidin dari Aceh bernama Burhan Ali menyalurkan obat-obatan ke berbagai kesatuan di front sekitar Pemantang Siantar. Dalam kumpulan memoar perempuan berjudul Sumbangsihku Bagi Pertiwi: Jilid V, Kayatin menceritakan wajah Burhan Ali mirip orang Gurka. Hal itu membuat tentara Belanda terkecoh sehingga mobil yang mereka tumpangi berkali-kali lolos dari pemeriksaan tentara Belanda. Pada akhir 1946, Kayatin tertangkap pasukan “Gagak Hitam” KNIL yang dipimpin Y Aipasa. Pasukan ini terkenal kejam dan tak berperikemanusiaan. Mereka menyebar di Pemantang Siantar. Selain melarang Kayatin keluar rumah, mereka menjaga ketat rumah Kayatin. Untung bagi Kayatin, rumahnya tak digeledah. Padahal, di rumahnya terdapat banyak radio yang sedang diperbaiki anaknya, Tomi, dan beragam senjata milik para pejuang. Pada suatu hari, Kayatin kedatangan seorang kurir perempuan yang menyamar sebagai penjual telur asin. Dia memberi Kayatin surat kecil dari pejuang yang isinya peringatan dan rencana menyelamatkan Kayatin. Dalam surat tertulis, “Jangan sampai diantar Belanda, dijadikan pancingan pelor Batak. Keluar lewat rumah sakit, kita tunggu, B.” Malam harinya, rencana melarikan diri ke pedalaman Tapanuli itu disebarkan ke orang-orang. Dari 29 orang yang berencana ikut pergi, terdapat Ibu Teuku Hasan, istri Gubernur Sumatera dan dua orang putranya. Mereka akhirnya berhasil melarikan diri sesuai rencana dan dijemput pada pukul 3 dini hari. Perjuangan Kayatin berlanjut di front Tangga Batu. Sementara suaminya, dr. Sahir, menjadi Palang Merah, Kayatin memimpin BS. BS bertugas mengumpulkan peluru bila persediaan habis. Cara BS mendapatkan peluru cukup unik. Mereka mengikat beberapa pohon yang dihubungkan dengan tali. Dari jarak yang aman, para perempuan itu lalu menarik tali-tali yang mengikat pohon tersebut. Bila ada pesawat musuh lewat, tali-tali itu ditarik sehingga pohon-pohon bergoyang. Pilot pesawat musuh akan mengira ada rombongan yang lewat sehingga menembaki wilayah tersebut. Begitu pesawat musuh pergi dan kondisi sudah aman, para srikandi BS mengambil selongsong peluru-peluru pesawat tadi sambil cekikikan. Selonsong-selongsong peluru itu lalu diisi mesiu kembali. Kayatin bersama BS lalu pindah ke Kota Tapanuli kemudian ke Simpang Bolon. Di sanalah Kayatin bersama suaminya mendapat kabar bahwa Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan meminta dr. Sahir menetap di Bukit Tinggi. Di Bukit Tinggi, Kayatin menjalin kontak dengan berbagai organisasi perempuan. Dia bertemu dengan Diah Karim dari Perwari dan Samsidar Yahya dari Aisyiyah. Bersama mereka, Kayatin mendirikan Kowani Sumatera. Kayatin duduk sebagai ketua dengan Samsidar Yahya sebagai wakil dan Diah Karim sebagai bendahara. Pasca-Perang Kemerdekaan, Kayatin kembali ke Yogyakarta dan aktif di berbagai organisasi. Dia lalu menjadi ketua Permusyaratan Organisasi Wanita Yogyakarta (POWY) selama 13 tahun. Pada 1961-1965, menurut Arsip Surat Keputusan tentang Anggota DPRD DIY, Kayatin alias Nyonya Sahir Nitihardjo menjadi anggota DPRD DIY dari fraksi PNI.

  • Yang Gugur di Karang Kedaung

    Siang belum menjelang di dukuh Karang Kedaung, Jember, ketika seorang prajurit muda datang dengan terengah-engah. Tanpa mengindahkan etika militer lagi, dia langsung menerobos ruangan rapat para perwira Brigade III Damarwulan yang tengah melakukan rapat koorinasi. Setelah melakukan hormat militer secara cepat kepada komandan brigade Letnan Kolonel Mochammad Sroedji, dia berkata parau: “Belanda datang,Pak!” Semua perwira tertegun. Letkol Sroedji sendiri setelah terdiam sejenak lantas menanyakan kondisi pasukannya, kemudian berseru: “Adakan perlawanan!” “Siap! Kerjakan!” Seperti dikisahkan oleh peneliti sejarah Irma Devita kepada Historia , semua anggota pasukan Brigade III Damarwulan lantas bergerak untuk menyambut kedatangan pasukan Belanda yang didentifikasi berasal dari Batalyon KNIL Infanteri ke-23 pimpinan Letnan Kolonel J.H.J. Brendgen dan Legiun Tjakra. Letkol Sroedji sendiri, alih-alih minta diamankan kepada pengawalnya, dia justru memutuskan untuk memimpin sendiri pasukannya langsung ke medan pertempuran. “Pak Sroedji memang tipikal komandan militer sejati, ketika bertempur dia selalu ada di barisan terdepan memimpin anak buahnya,” ungkap Irma yang sudah lima tahun melakukan riset tentang sosok Sroedji. Musuh Nomor Satu Di wilayah Jember dan sekitarnya, Sroedji dikenal sebagai musuh nomor satu bagi militer Belanda. Kekuatan militer Belanda yang terdiri dari KL (Tentara Kerajaan Belanda), KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan Legiun Tjakra (milisi pribumi yang terdiri dari orang-orang Madura) kerap dibuat pusing dengan aksi-aksi Sroedji dan pasukannya. Menurut sejarawan militer Saleh Djamhari, saat kesepakatan Perundingan Linggarjati mulai diberlakukan sejak 26 Maret 1947, pihak Belanda menuduh pasukan yang dipimpin oleh Sroedji kerap melakukan pelanggaran dengan menyebrangi garis demarkasi. “Pasukan Sroedji dianggap sering menyerang kedudukan pasukan Belanda,” ungkap Saleh. Namun menurut Irma, hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Sroedji menganggap militer Belanda selalu berupaya menduduki wilayahnya yang kaya akan produk bumi. “Dia hanya mempertahankan tanah milik rakyat Republik, kendati harus dilakukan sejengkal demi sejengkal ,” ungkap penulis novel Sang Patriot , sebuah cerita tentang riwayat hidup Sroedji. Belanda mulai merasa agak tenang saat Sroedji dan pasukannya ditarik ke Kediri dan Blitar, menyusul berlakunya kesepakatan Perundingan Renville pada 17 Januari 1948. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Sebelas bulan kemudian, saat militer Belanda menciderai perjanjian tersebut dengan menyerang Yogyakarta, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman lewat Perintah Siasat No.1 memerintahkan Sroedji dan pasukannya untuk kembali ke kampung halamannya dan mengadakan perlawanan semesta terhadap militer Belanda. Sebagaimana dikisahkan oleh sejarawan Irna H.N. Hadi Soewito, rombongan Brigade III Damarwulan yang berjumlah sekira 5000 orang itu bergerak dari Kediri dan Blitar dengan melewati pegunungan sempit di sebelah selatan Gunung Semeru yang masih berhutan lebat. Mereka melalui Lodoyo, Binangun, Bantur, Sumber Manjing menerobos Tempursari hingga mencapai Lumajang bagian selatan. “Pasukan ini bergerak dalam formasi siap tempur,” ujar Irna dalam Rakyat Jawa Timur memepertahankan Kemerdekaan. Sebagai komandan, Letkol Sroeji harus pandai-pandai merancang taktik dan strategi agar pasukannya bisa selamat sampai di wilayah Jember, basis Brigade III. Dia menekankan kepada pasukannya untuk menghindar sebisa mungkin bentrok dengan pasukan Belanda selama perjalanan. Selain untuk menghemat amunisi, itu perlu dilakukan supaya jumlah pasukan terjaga sacara stabil. Namun walau bagaimana pun bentrok dengan pasukan Belanda, kerap tak bisa dihindari. Menurut Irna, ada 22 pertempuran hebat terjadi selama pasukan Sroedji berupaya menembus penyumbatan yang dilakukan tetara Belanda. Akibatnya korban berjatuhan tak bisa dihindari dan banyak amunisi harus dihamburkan. Situasi tersebut tentu saja berpengaruh terhadap kondisi pasukan yang sebelumnya sudah serba kekurangan. Kendati daya tempur Brigade III Damarwulan terbilang tinggi namun dari segi finansial, perlengkapan tempur dan logistiknya bisa dikatakan sangat minim. Hal itu terlukis dari penuturan Kolonel A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid IX, saat Wakil Panglima TNI itu berjumpa langsung dengan Letkol Sroeji di Kediri pada 17 Desember 1948. “Apakah segala sesuatu untuk memulai gerakan sudah beres?” tanya Kolonel Nasution. “Sudah beres, hanya…”jawab Letkol Sroedji. Nasution menyatakan tanpa dilanjutkankan pun dirinya sudah mafhum apa yang menjadi masalah Brigade III Damarwulan, karena kesulitan-kesulitan yang dialami Letkol Sroedji telah menjadi masalah biasa di dalam suatu pasukan yang tergabung dalam TNI kala itu. Gugur Saat Bertempur Selasa, 8 Februari 1949. Begitu mendengar laporan dari anak buahnya bahwa tentara Belanda mulai mengepung Karang Kedaung, Sroedji dengan pistol di tangan langsung bergerak ke palagan. Ikut bersamanya Letnan Kolonel dr. Soebandi, Residen Militer Besuki. Saat memimpin pertempuran inilah, tetiba sebutir peluru mengenai pundak kirinya dan langsung membuat Sroedji terjatuh dalam posisi tertelungkup. “Kur! Saya kena!” teriaknya sembari memanggil salah satu pengawal bernama M. Abdul Syukur. Abdul Syukur dan Letkol Soebandi lantas memapah Sroedji untuk menghindar ke tempat aman. Di sebuah parit dan dalam serangan gencar tentara Belanda, mereka menyaksikan kondisi komandan mereka semakin payah. Saat itulah, sebutir peluru sekonyong-konyong menghantam tubuh Soebandi dan langsung membuatnya gugur. Abdul Sykur tak kuasa menahan rasa panik dan sedih. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dia berkata kepada Sroedji yang ada dalam kondisi luka parah. “Pak! Pak Bandi gugur!” Mendengar teriakan Syukur, entah mendapat kekuatan dari mana tetiba Sroedji bangkit. Sambil mendekap luka di pundaknya kanannya, dia menggemgam kembali pistol dan meminta peluru kepada Syukur. Sang overste pun mengamuk bak banteng ketaton terluka. “Mati boleh dhah! Mati bagus dhah! Belanda bakero !” terianya sembari menembakan peluru ke arah pasukan Belanda. Bakero adalah umpatan khas orang-orang Jepang. Sepertinya itu didapat oleh Sroedji saat dia dididik di Asrama PETA (Pembela Tanah Air) Bogor oleh militer Jepang. Tak urung posisi pasukan Belanda malah semakin kuat. Dalam suatu kesempatan, satu kompi Batalyon Infanteri ke-23 pimpinan Kapten F.G. Schelten berhasil mengepung posisi Sroedji yang tengah mengamuk. Abdul Syukur sendiri sudah tidak berada di samping Sroedji karena setelah terkena tembakan dia berhasil meloloskan diri. Kendati berupaya menangkap Sroedji hidup-hidup, pasukan Belanda tak kuasa melakukannya. Alih-alih menyerah, dalam kondisi terluka parah, Sroedji masih saja melawan dengan pistol dan berhasil menumbangkan beberapa serdadu yang mengepungnya. Tak mau ambil resiko, seorang tentara Belanda lantas menembaknya dan membuat tubuhnya rubuh seketika. “Bahkan saya mendapat laporan, Komandan Brigade III Damarwulan masih melakukan perlawanan dengan tinjunya saat dia sadar pelurunya sudah habis,” ungkap A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid X. Singkat cerita, pada akhirnya Sroedji berhasil dilumpuhkan. Karena luka-lukanya yang sangat parah, dalam perjalanan ke markas Belanda sang overste pemberani itu menghembuskan nafas terakhirnya. Entah karena marah karena tidak berhasil mendapatkan Sroedji dalam kondisi hidup atau sekadar untuk menakuti rakyat, pasukan Belanda lantas membawa jasad lelaki Madura tersebut ke halaman Hotel Jember. Di hadapan khalayak, secara demonstratif dan brutal salah seorang prajurit KNIL mencungkil kedua bola mata Sroedji sekaligus memotong sebagian jari jemarinya. Sebuah prilaku yang sangat pengecut dan tak layak didapat oleh seorang musuh pemberani seperti Sroedji.

  • Saat Kepala Menjadi Utama

    NASIB tragis menimpa seorang tentara Inggris terkenal, Thomas Edward Lawrence. Dia tewas dalam sebuah kecelakaan motor tahun 1935. Hugh Crains, seorang ahli syaraf, meneliti sebab kematian pengendara motor yang meninggal akibat benturan di kepala itu. Hasil penelitiannya mendorong pentingnya penggunaan helm bagi pengendara motor dan kalangan militer. Penggunaan pelindung kepala atau helm telah dikenal bangsa-bangsa kuno di masa lalu. Mereka paham bahwa kepala merupakan bagian vital yang perlu perlindungan. Helm Kulit Buaya Dalam budaya Mesir kuno, buaya yang hidup di Sungai Nil memiliki tempat terhormat. Mereka percaya seorang prajurit akan mendapat kekuatan ekstra dan ditakuti musuh jika memakai atribut dari kulit buaya. Muncullah pakaian perang yang dibuat dari kulit bagian punggung buaya yang tebal dan helm dari kulit bagian perut sekira abad ke-3 SM. Helm Sumeria Bangsa Sumeria, yang mendiami kota kuno Ur, sudah memiliki teknologi mencampur logam emas dan perak. Biasanya barang-barang yang dihasilkannya digunakan dalam sebuah upacara. Salah satunya helm. Helm ini, dengan hiasan dekoratif dan bentuk khusus di bagian telinga, dipakai raja. Selain untuk upacara, helm ini dirancang guna melindungi pemakai di medan pertempuran. Terlihat dari bagian tambahan di sisi samping wajah pemakai. Helm emas ini sudah digunakan penduduk Sumeria sejak milenium ketiga sebelum masehi. Helm Corinthians Helm berbahan perunggu, seberat hampir dua kilogram ini, menjadi ciri khas pasukan Yunani. Bentuknya menyerupai tengkorak manusia dan didesain untuk melindungi kepala, muka, hingga leher. Mulai dipakai tentara Yunani (Athena dan Sparta) sekira 650 tahun SM. Kendati secara bentuk sangat aman, helm ini memiliki kekurangan: ruang pandang dan pendengaran terbatas. Montefortino Di era Romawi, helm pun mengalami perkembangan. Tak hanya aman, ia juga menandakan kepangkatan. Diduga, dekorasi semacam rumbai ekor kuda di puncak helm dipakai untuk membedakan perwira dan prajurit biasa. Selain dipakai tentara, helm serupa dipakai para petarung dalam pertandingan gladiator. Bedanya, helm untuk gladiator menutup muka secara penuh dan hanya menyisakan lubang untuk pandangan mata, yang terlindungi semacam jeruji. Kabuto Helm perang Jepang ini sudah dipakai pada abad ke-5. Awalnya dikenakan para prajurit namun kemudian menjadi bagian penting dari perlengkapan samurai. Biasanya helm ini dihias secara rumit, yang menandakan kepangkatan, dan dikenakan dengan jubah perang. Konon, helm dan jubah perang ini terinspirasi oleh Masamune Date, seorang samurai lengendaris. Pada pertengahan abad ke-16, muncul aneka macam corak helm. Basinet Kehormatan seorang ksatria di Eropa pada Abad Pertengahan ditentukan dalam sebuah kompetisi berupa “pertarungan” satu lawan satu. Dengan bersenjata tombak dan menunggangi kuda, mereka berusaha saling menjatuhkan. Helm yang dikenakan para ksatria ini menutupi wajah secara penuh. Beratnya tiga kilogram. Bagian depannya meruncing membentuk hidung. Helm Adrian Pada 1915, August Louis Adrian, seorang perwira militer Prancis, merancang sebuah helm pelindung. Dia terilhami helm pemadam kebakaran kota Paris. Helm tersebut dilengkapi pula dengan atribut berupa lencana yang merupakan tanda kesatuan tentara. Misalnya, lencana bergambar bom meledak untuk kesatuan infantri dan dua meriam menyilang untuk kesatuan artileri. Helm Brodie Tahun pertama Perang Dunia I, tak ada satu pun tentara yang bersedia memakai helm baja. Bahkan pasukan Jerman hanya mengenakan semacam topi tradisional dari kulit yang bernama pickelhaube . Pasukan Inggris mulai menggunakannya pada 1915, rancangan dari John Leopold Brodie. Helm buatan Brodie dianggap lebih kuat ketimbang rancangan Adrian. Helm Brodie telah membantu banyak pasukan yang terlibat dalam perang di parit-parit. Stahlhelm Jerman sebagai pemain utama dalam dua Perang Dunia mengembangkan helm sendiri. Mereka memodifikasi helm baja yang mereka produksi. Misalnya, seri M1918 memberi ruang bagi telinga supaya mampu mendengar dengan baik saat di parit maupun menunggang kuda. Helm ini kemudian dipakai tentara dan polisi Jerman hingga Nazi berkuasa. Helm Kevlar Helm “panci baja” mulai ditinggalkan sejak ditemukannya material bernama kevlar oleh Stephanie Kwolek, pekerja di perusahaan DuPont, tahun 1965. Kevlar, yang memiliki struktur ringan dan kuat, membantu meningkatkan mobilitas dan mengurangi beban setiap personel tempur. Selain itu, helm ini tersusun dari tiga bagian yang membuatnya antipeluru, tahan dari benturan, dan nyaman digunakan. Guna menjaga helm tetap di tempatnya, terdapat tali nilon yang melingkar melewati dagu pemakai. Helm Pilot Jika pada Perang Dunia II pilot pesawat tempur mengenakan helm kulit dan kacamata penerbang, saat ini helm pilot terintegrasi dengan visualisasi inframerah dan pandangan malam. Helm Football Di Amerika Serikat berkembang olahraga yang mengandalkan ketahanan tubuh: football. Tabrak-menabrak antarpemain jamak dilakukan. Maka diperlukan helm khusus, yang dirancang untuk menekan risiko cedera. Bagian dalamnya didominasi busa yang berfungsi sebagai peredam kejut dan bagian depannya terdapat semacam jeruji sebagai pelindung wajah. Helm Sepeda Motor Sekalipun sepeda motor sudah diperkenalkan pada 1885, pengembangan helm masih tertinggal. Umumnya orang memakai helm laiknya pilot, yang sederhana dengan lapisan bulu. Seringnya kecelakaan yang memakan korban jiwa mendorong CF Lombard, professor di Universitas California Selatan (USC), mengembangkan helm. Lapisan dalamnya dibuat empuk dan nyaman, sementara lapisan luarnya mampu menyerap dan mendistribusikan gelombang kejut akibat benturan. Pada 1953, Lombard menerima paten untuk helm ini. Dimulailah pengembangan helm sepeda motor modern yang mengikuti desain helm Lombard. Wajib Helm SNI Sejak helm untuk sepeda motor diperkenalkan CF Lombard, muncul desakan untuk mewajibkan pemakaian helm. Australia jadi yang pertama menerapkannya pada 1961. Amerika Serikat memberlakukan aturan itu pada 1966. Di Indonesia, lewat maklumat Kapolri Hoegeng Imam Santoso, wajib helm resmi diberlakukan sejak Agustus 1971. Yang melanggar, ditindak. Dukungan dan penolakan bermunculan. Ali Sadikin, gubernur Jakarta saat itu, dengan tegas mengatakan: “Saya setuju sekali seratus persen, malahan kalau perlu dua ratus persen.” Bermunculanlah aneka helm. Sayangnya, banyak yang kurang memenuhi standar keamanan. Pada 2009 muncul peraturan tentang pemakaian helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

  • Menggusur Pelindung Bung Besar

    HARI-hari menjelang Sidang Umum ke-IV MPRS, keadaaan Jakarta terasa mencekam. Sidang yang akan memutuskan pencabutan kekuasaan Presiden Sukarno itu rencananya akan dimulai 20 Juni sampai 5 Juli 1966. Hawa pertarungan kekuasaan sangat terasa di Jakarta. “Hal ini akan dianggap oleh pendukung Presiden Sukarno sebagai tindakan pendongkelan,” ujar Amir Machmud dalam Otobiografi H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang. Amir saat itu menjabat Panglima Kodam V Jakarta Raya (Jaya) dengan pangkat mayor jenderal. Menurut Amir, di Jakarta terdapat 40 batalion pasukan bersenjata. Sebagian besar diantaranya memihak Presiden Sukarno. Brigade Mobil dan Resimen Pelopor dari Angkatan Kepolisian adalah pendukung Sukarno. Mereka siaga dengan kekuatan penuh dan senjata lengkap di sebelah selatan Jalan Gatot Subroto. Selain itu, di Tanjung Priok ada pasukan Angkatan Laut yang kuat pimpinan Letnan Jenderal Hartono, Panglima KKO (Korps Komando Angkatan Laut), seorang loyalis Bung Karno.    Pasukan yang tergabung dalam Kostrad, RPKAD (kini Kopassus), Kodam Jaya, dan satuan kecil Angkatan Darat (AD) lainnya mendukung Orde Baru dan Jenderal Soeharto. “Kalau diadakan perbandingan kekuatan, maka pasukan yang mendukung Presiden Sukarno masih lebih besar dibandingkan dengan kekuatan yang mendukung Orde Baru” demikian pengakuan Amir. Siasat Soeharto Pihak AD sendiri terbelah atas dua kubu. Ada pimpinan yang pro Soeharto seperti Panglima Kostrad Umar Wirahadikusumah dan Maraden Panggabean, panglima di Kalimantan. Sementara, Panglima Jawa Barat Mayjen Ibrahim Adjie dan Panglima Jawa Tengah Mayjen Surjosumpeno, merupakan perwira tinggi yang disebut-sebut pro Sukarno. Di Markas besar (Mabes) TNI AD, beberapa jenderal penting kurang menyukai Soeharto. Mayjen Moersjid orang nomor dua di sana yang menjabat deputi operasi lebih pro-Sukarno, demikian juga halnya asisten intelijen Mayjen Soegih Arto. Sedangkan Panglima Kodam Jaya, Amir Machmud justru menunjukan sikap mendua.   Menurut Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998, Soeharto adalah orang yang tegas dan tenang. Dalam amatan pendiri CSIS – lembaga think thank Orde Baru – ini, karena pernah miskin dan susah di masa muda, Soeharto mempunyai kekuatan batin yang hebat. Sebenarnya Soeharto bisa saja menyerah saat itu mengingat untuk menyingkirkan para jenderal pelindung Sukarno bukanlah hal yang mudah.  “Tetapi ia tak mau. Ia berlaku pura-pura tak tahu. Sesudahnya dengan tenang, ia menetralisasi satu per satu para panglima itu,” tulis Jusuf Wanandi. Bagaimana caranya? Tanpa menggeser mereka, Soeharto menempatkan orang kepercayaannya sebagai kepala staf mereka. Strategi tersebut, kata Jusuf, bukan tipuan baru. Banyak pemberontakan di Indonesia gagal karena kepala stafnya menghambat pimpinan mereka sendiri. Sementara itu, pakar politik-militer Harold Crouch menganalogikan bagaimana cerdiknya siasat Soeharto mengucilkan lawan potensialnya. “Mula-mula Soeharto lebih menggunakan wortel daripada pemukul,” ungkap Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia . Masing-masing ditawari alternatif yang menarik sesuai dengan pangkat dan kecondongannya.  Dengan cara demikian, serangkaian alih-tugas di kalangan AD menempatkan pendukung-pendukung Soeharto dalam posisi-posisi penting. Mementalkan Lawan Potensial Sejak tahun 1966, Soeharto menghadapi penantang-penantang potensialnya, para panglima daerah dan kelompok perwira pro-Sukarno. Bukan dengan grasa-grusu tapi mereka “dibereskan” setahap demi setahap. Soeharto menerapkan prinsip jawa alon-alon asal klakon dalam mengonsolidasikan kekuasaan atas angkatan bersenjata, khususnya AD. Di Bandung, sekelompok perwira anti-Sukarno yang dipimpin Kepala Staf Mayjen H.R. Dharsono membentuk komando tandingan. Dharsono dengan cepat menguasai Kodam Siliwangi. Akhirnya, pada 20 Juli 1966, Ibrahim Adjie secara resmi digantikan oleh Dharsono dan ditugaskan ke London sebagai duta besar untuk Kerajaan Inggris.  Pada saat yang sama, Surjosumpeno dipindahkan ke Istana sebagai sekretaris militer Sukarno. Dia kemudian mendapat jabatan tinggi di departemen dalam negeri. Posisi Surjosumpeno selaku Panglima Diponegoro digantikan Mayjen Surono Reksodimedjo – kolega dan mantan anak buah Soeharto ketika memimpin divisi yang sama. Pengangkatan Surono menempatkan Kodam Diponegoro di bawah komando seorang pendukung setia Soeharto. Sebagai penguasa di Mabes AD, Soeharto relatif tak kesulitan mengatasi Moersjid dan Soegih Arto. Soegih Arto, diberikan kedudukan sipil yang tinggi sebagai jaksa agung.  Sedangkan Moersjid, pada Mei 1967 dibebastugaskan dari jabatan deputi. Dia kemudian menempati pos baru di Manila sebagai Duta Besar untuk Filipina. Sejarawan Australia, Robert Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik mencatat hingga awal 1967, Soeharto telah menempatkan pendukungnya di seluruh daerah dan komando antar daerah. Para jenderal yang dianggapnya tak dapat diandalkan, pesaing potensial, atau agresif diberi kesempatan untuk mengundurkan diri secara terhormat. Pilihan untuk mundur akan mendapat ganjaran berupa kompensasi yang menguntungkan. “Perwira-perwira yang masih loyal kepada Sukarno tak punya pilihan lain, seberapa pun enggannya mereka, selain berkompromi dengan kenyataan baru,” tulis Elson.

  • Pangeran yang Terbuang

    BAGI mayoritas warga Cianjur, Pangeran Hidayatullah bukanlah nama asing. Selain digunakan sebagai nama seruas jalan di kawasan kota, dia meninggalkan banyak jejak. Salah satunya Kampung Banjar yang saat ini diubah namanya menjadi Jalan Yos Soedarso. “Ya memang di kawasan itulah kakek buyut saya tinggal setelah dibuang Belanda dari Banjarmasin pada 1862,” ujar Johan Rangga (45), yang akrab dipanggil Bonang. Menurut Bonang, kendati nama Hidayatullah dikenal khalayak di Cianjur, dia sangsi mereka tahu sejarah hidup kakek buyutnya. Terlebih selama 42 tahun tinggal di tanah pembuangan, sepak terjang Sang Pangeran sangat dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda. “Ruang lingkup hidupnya seolah rumah-masjid agung-rumah-masjid agung saja,” ujarnya kepada Historia. Kisah Hidayatullah yang pernah melawan Belanda juga sangat dirahasiakan di tanah pembuangan. Selain pejabat dan petugas pemerintah Hindia Belanda, hanya bupati Cianjur dan keluarganya yang tahu. Praktis, masyarakat kala itu hanya mengenalnya sebagai ulama kharismatik yang selalu memakai jubah kuning bila pergi beribadah ke Masjid Agung Cianjur. Kepala Pemberontak Hidayatullah bukanlah sembarang pangeran. W.A. van Rees, veteran Perang Banjar (menurut versi Belanda berlangsung dari 1859 hingga 1863), menyebutnya sebagai hoofdopstandeling alias kepala pemberontak. “Di antara orang-orang Banjar yang memberontak dialah yang paling berbahaya,” tulis van Rees dalam  De Banjermasinche Krijg 1859-1863 . Menurut Gusti Mayur, keterlibatan Hidayatullah dalam Perang Banjar bermula dari campur-tangan pemerintah Hindia Belanda dalam masalah internal Kesultanan Banjar. Secara sepihak, pada 3 November 1857, pemerintah menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai sultan menyusul mangkatnya Sultan Adam Alwasikubillah.  “Padahal jika mengikuti adat-istiadat, Pangeran Hidayatullah-lah yang berhak atas posisi tersebut,” tulis Mayur dalam  Perang Banjar . Penolakan kalangan istana terhadap Tamjidillah tak dihiraukan Hindia Belanda. Wajar saja karena, dari sekian pangeran Banjar, hanya Tamjidillah-lah yang berani memberikan konsesi pertambangan batu bara kepada orang-orang Belanda. Sebagai catatan, pemerintah Hindia Belanda saat itu bernafsu menguasai batu bara yang terdapat dalam perut bumi Kalimantan Selatan. Selain untuk keperluan industri, mereka membutuhkannya sebagai bahan bakar kapal-kapal perang uap mereka. Maka, perang besar tak terhindarkan. Demi menghadapi orang-orang Banjar yang dipimpin Hidayatullah, pemerintah tak mau ambil risiko. Menurut van Rees, pada tahap awal saja, mereka mengirimkan 3.000 serdadu, ratusan senjata berat, dan 22 kapal perang ke palagan Banjar. Namun keunggulan teknis persenjataan itu tak membuat Hindia Belanda menang dengan mudah. Mereka justru kewalahan menghadapi kecerdikan taktik perang gerilya dan strategi bumihangus dari orang-orang Banjar. Ditipu lalu Dibuang Sadar perang tak tentu ujungnya, Hindia Belanda menawarkan penyelesaian damai. Mereka kemudian menjebak Hidayatullah dalam suatu penangkapan berkedok perundingan. Laiknya nasib Pangeran Diponegoro di tanah Jawa, di tengah perundingan Hidayatullah diringkus secara tiba-tiba.  “Demikianlah pada 3 Maret 1862 jam 9 malam, kapal Bali membawa Pangeran Hidayatullah dan pengikutnya dari Banjarmasin ke tanah pengasingan di Pulau Jawa,” ujar Mayur. Sesampainya di Batavia, Hidayat diberangkatkan ke Cianjur, tempat penjara besar bagi dirinya. Di kota yang terletak di kaki Gunung Gemuruh ini, Sang Pangeran sempat memperistri seorang perempuan bangsawan setempat bernama Nyai Etjeuh yang menurunkan silsilah orang Banjar di Cianjur. Pada 24 November 1904, Hidayatullah mangkat dalam usia 82 tahun. Jasadnya dikebumikan di sebuah dataran tinggi yang masuk wilayah Sawahgede.

  • Kisah Panji di Thailand

    SEJAK pertengahan abad 17 hingga awal abad 18, Kerajaan Ayutthaya di Thailand melakukan perdagangan dengan Jawa. Beras diekspor dari Thailand. Sementara secara reguler, kuda dibeli dari Jawa. Komunitas Jawa pun terbentuk di sana. Di Thailand, Kisah Panji pertama kali disusun oleh dua putri Raja Borommakot (1733-1758) dari Ayutthaya. Kedua putri itu mendapatkan Kisah Panji versi Jawa lewat pelayan mereka yang berasal dari tanah Melayu. Masing-masing putri kemudian menyusun cerita versi mereka sendiri ke dalam dua bentuk yang digunakan untuk drama tari, yaitu  Dalang  dan  Inao . “Kisahnya (Panji, red. ) hampir berkompetisi dengan kisah Ramayana . Adegan percintaan selalu lebih menarik dibanding adegan peperangan melawan kera dan raksasa,” kata Rujaya Abhakorn, direktur Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Centre for Archaeology and Fine Arts (SEAMEO SPAFA), dalam Seminar Internasional Panji/Inao, di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta. Raja Rama I (1782-1809) dari Dinasti Chakri kemudian merevisi cerita  Dalang . Sementara putranya, Rama II (1809-1824) mempopulerkan cerita  Inao.  “Kelangsungan hidup dan ekspansi Kisah Panji berutang kepada raja-raja Thailand,” lanjut Rujaya. Inao kemudian lebih populer dibanding  Dalang  bahkan dianggap sebagai karya agung puisi Thailand, terutama sebagai teks  lakon  (sendratari). Rujaya mengatakan saat ini di Perpustakaan Nasional Thailand ada lebih dari 500 manuskrip yang berkaitan dengan kisah  Inao . Sementara yang berkaitan dengan  Dalang  hanya 140 manuskrip. “Menurut para peneliti di Thailand, teks  Hikayat Panji Semirang  adalah sumber dari kisah  Dalang, ” katanya. Thaneerat Jatuthasri, peneliti dari Chulalongkorn University menambahkan, Kisah Panji versi Thailand kian populer sebagai pementasan Lakhon Nai, yaitu tarian hiburan di istana yang umumnya ditampilkan oleh penari perempuan. Tariannya berdasarkan empat cerita  Ramakien, Unarut, Dalang,  dan  Inao, yang terdiri dari musik, tari, dan drama. Narasinya dinyanyikan dengan lagu tradisional. “Beberapa peneliti Thailand menduga kata ‘Lakhon’ juga pengaruh Jawa dari kata ‘Lakon’ dalam istilah pewayangan atau sendratari,” kata Thaneerat.  Thaneerat menjelaskan masa keemasan Lakhon Nai Inao pada era Rama II. Sang raja memilih Kisah Panji karena plot dan temanya dapat diterima secara universal. Potret dua tokoh utamanya pun cocok dengan tradisi Lakhon Nai.  Inao  telah menjadi inspirasi terciptanya banyak karya sastra dan seni. Dalam penyajiannya, plot dan cerita  Inao  tak beda jauh dengan Kisah Panji Jawa. Hanya saja, pasangan Inao di sana bernama Butsaba.  Lydia Kieven, peneliti Kisah Panji dari Jerman, menjelaskan Butsaba mengandung unsur Busba yang berasal dari kata Sansekerta “puspa”.  “Puspa berarti bunga atau sekar dalam istilah Jawa. Di Jawa kita kenal tokoh pahlawan Kisah Panji bernama Sekar Taji,” kata Lydia.  Karakter Inao juga sama dengan Kisah Panji: tokoh heroik tampan sempurna, ksatria besar, menarik di hadapan perempuan, dan petualang. Dalam penyamarannya dia dikenal sebagai Panyi.  Beberapa aspek budaya Jawa lainnya yang ada dalam Kisah Panji Thailand yaitu ritual di gunung suci, ritual bela atau sati, kebiasaan tokoh menggunakan keris, sabuk, menonton wayang, dan penggunaan istilah-istilah Jawa.  Di Thailand, Kisah Panji juga diwujudkan dalam lukisan mural di kuil Buddhis abad 19 di Bangkok. Lukisan itu merefleksikan cinta Raja Rama IV kepada istri pertamanya, Ratu Somanat yang meninggal setelah melahirkan pada 1852. Isinya adalah adegan populer dari versi  Inao  Rama II yang dipentaskan di istana. “Mungkin ini (lukisan Panji, red .) menjadi satu-satunya di kawasan Asia,” kata Rujaya. Secara umum, Kisah Panji mudah diterima di Thailand karena berisi banyak upacara dan ritual yang merefleksikan kehidupan nyata. Kisahnya juga relevan dengan kehidupan istana khususnya tentang tradisi kremasi dan upacara pernikahan kerajaan. Namun, Kisah Panji tetaplah berkaitan dengan mitologi Jawa dan sejarah yang tidak dikenali Kerajaan Thailand pada abad 18. Ia muncul dari konteks budaya Jawa yang berbeda dengan dunia Hindu-Buddha di Thailand, Myanmar, Laos, dan Kamboja, atau pun dunia Islam-Melayu, di mana ada batas penerimaan perilaku dari karakter utama Kisah Panji. “Karena tidak memahami tradisi Jawa, Panji dalam dunia Hindu-Buddha mungkin hanya dianggap sebagai figur menarik yang punya kecakapan duniawi,” kata Rujaya. Kisah Panji di Kamboja dan Myanmar Thailand bukanlah satu-satunya yang mengadopsi Kisah Panji. Dalam Kisah Panji versi Kamboja dikenal Inav-Panyi. “Peneliti Thailand menduga Kisah Panji versi Kamboja yang ditemukan di Thailand dan di Prancis mungkin adalah hasil terjemahan dari teks  Inao  milik Raja Rama II,” kata Rujaya. Namun, masyarakat Kamboja banyak yang percaya bahwa Inav dibawa dari wilayah Arab. “Ada kecenderungan umum untuk mengelompokkan Jawa dan Arab dalam konteks Muslim yang lebih umum, sama seperti orang menuding apapun yang dari Barat, asalnya dari Prancis,” kata Rujaya.  Anggapan itu, kata Lydia Kieven, datang dari interpretasi berdasarkan toponimi dalam Kisah Panji. “Sebagian memang ada yang menginterpretasi nama tempat di Kisah Panji itu merujuk pada daerah di Timur Tengah, seperti Daha, pernah dianggap sebagai Doha,” ujarnya. Sejak keruntuhan Ayutthaya pada 1767, setidaknya 12 judul teks lakon, termasuk  Inao , dibawa ke Myanmar. Teks itu diterjemahkan ke dalam bahasa Myanmar oleh tawanan Thailand yang bekerja untuk penyair dan dramawan istana di Myanmar. Sebelum Mindon, raja Burma (1853-1878), teater  Inao  di istana berkembang menjadi lebih dari 200 pementasan. Namun, Raja Mindon yang taat kepada Buddha, tidak begitu menyukai Kisah Panji karena tema percintaannya. Dia lebih mendukung pagelaran Ramayana .  “Dalam tradisi Buddha, obsesi cinta, sama seperti semua nafsu, merupakan kebodohan yang akan membawa kepada penderitaan,” kata Rujaya.  Sayangnya, setelah pendudukan Inggris di Myanmar dan runtuhnya sistem monarki pada 1885, Kisah Panji dilupakan hingga kini.

bottom of page