Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sepakbola Soviet Era Stalin
MUSIM panas tahun ini, miliaran pasang mata akan tertuju ke Rusia. Negeri Beruang Merah mendapat kehormatan jadi tuan rumah Piala Dunia 2018. Sebagai host , suksesor negeri adidaya Uni Soviet itu tentu tak ingin malu dengan hasil jelek. Sayang, catatan terakhir di Euro 2016 (Prancis), prestasi Alan Dzagoev dkk. bikin publik Rusia menundukkan wajah. Kalah 0-3 dari Wales di partai terakhir Grup B, timnas Rusia gagal melaju ke babak berikutnya. Rusia harus puas menempati urutan buncit klasemen grup di bawah Slovakia, Inggris, dan Wales. Tidak sedikit yang kecewa. Salah satunya, anggota parlemen merangkap ketua Partai Komunis Rusia, Gennady Zyuganov. Dia menginginkan sepakbola Rusia kembali ke masa kejayaan seperti di era Joseph Stalin. “Tim Rusia lembek. Kita butuh mobilisasi Stalinis, di mana mental dan fisiknya sangat kuat,” ucap Zyuganov, dikutip The Guardian , 21 Juni 2016. Kedigdayaan sepakbola di Rusia ambruk seiring kolapsnya Uni Soviet. Semasa Soviet, klub maupun tim nasional mampu berjaya di berbagai kompetisi berkat ditopang kelompok-kelompok buruh, institusi-institusi negara, hingga kalangan industri. Begitu semua runtuh, struktur sepakbola domestik kena dampaknya. Yang tak kalah penting, para pemain timnas Soviet tercerai-berai ikut negara masing-masing pecahanan Soviet. Sepakbola untuk Propaganda Sepakbola di Soviet sebetulnya baru diperhatikan Joseph Stalin setelah dia tak lagi disibukkan memerangi Jerman-Nazi di Perang Dunia II (PD II). Selama 1942-1945, semua kegiatan sepakbola di Soviet dihentikan total gara-gara perang dahsyat itu. “Pasca-PD II rezim Stalin memutar strategi politik dan misi diplomatiknya dengan penggunaan atribut olahraga, dalam hal ini sepakbola. Dinamo (Moskva) dijadikan kelinci propaganda pertama,” ungkap Arief Natakusumah dalam Drama itu Bernama Sepakbola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik dan Budaya. Semasa era Stalin, Dinamo Moskow merupakan klub yang berafiliasi dengan Kementerian Dalam Negeri Soviet, KGB (Badan Intelijen Soviet), dan NKVD (Kepolisian Rahasia Soviet). Bahkan dedengkot NKVD, Lavrentiy Beria, menjadi ketuanya sampai nyawanya dicabut dalam eksekusi mati Mahkamah Luar Biasa Soviet. Dinamo direstui Stalin menjadi “duta” Soviet ketika melancong ke Inggris atas undangan FA, beberapa bulan pasca-usainya PD II. Alasan Stalin merestui, selain untuk mengumbar propaganda ketangguhan Negeri Tirai Besi, sekaligus meyakinkan publik dalam negeri bahwa mereka tak kalah superior dari negara-negara Barat. Rombongan Dinamo – yang dalam catatan sejarah menjadi tim Soviet pertama yang menjejakkan kaki di Inggris– mendarat di Croydon, 4 November 1945 menggunakan pesawat Dakota DC-3. Selain Beria sendiri, sejumlah perwira NKVD mendampingi muhibah tim itu untuk memastikan agar para pemain Dinamo tak lupa daratan dan terpapar borjuisme di Inggris. Mereka disambut langsung Ketua FA Stanley Rous, staf kedutaan Soviet, dan ketua Partai Buruh Inggris pro-komunis Albert Victor Alexander. “Inggris adalah tanah kelahiran sepakbola. Tidak diragukan lagi semua pemain terbaik dunia adalah orang Inggris,” sanjung pelatih Dinamo Mikhail Yakushin dalam sambutannya, dikutip David Downing dalam Passovotchka: Moscow Dynamo in Britain 1945. Namun, belum lagi empat laga yang dijadwalkan berlangsung, psywar media keburu membuncah. Media-media Inggris melansir berita-berita bernada meremehkan. Salah satunya yang dituliskan reporter surat kabar Sunday Express Frank Butler: “Mereka tidak cukup bagus untuk melawan tim-tim profesional kita. Para pemain mereka nyaris semuanya amatiran.” Soviet balas menyindir dengan sasaran sambutan dingin tuan rumah. “Di Inggris, tanah kelahiran sepakbola, kami diterima dengan sambutan khas Inggris: tanpa bendera, musik, atau kalungan bunga. Pihak pemerintah Inggris bersikap dingin dan mereka membiarkan kami diserang jurnalis-jurnalis mereka. Kami memilih bermalam di Kedutaan Soviet, ketimbang penginapan yang mirip barak tanpa bantal,” ujar Vadim Sinyavsky, komentator radio Soviet yang ikut mendampingi. Dinamo tapi berhasil membuktikan kehebatannya di lapangan. Dari empat pertandingan yang dimainkannya, tak sekalipun mereka kalah. “Hasil tur Dinamo ke Inggris adalah memasukkan 19 gol dan kemasukan 9 gol,” ungkap Victor dan Jennifer Louis dalam Sport in the Soviet Union. Di laga perdana, 13 November 1945, Dinamo bermain imbang 3-3 melawan Chelsea di Stamford Bridge. Klub berjuluk Dinamiki itu bikin geger publik Inggris di partai kedua melawan Cardiff City di Ninian Park. Dinamo menang telak 10-1. Partai ketiga jadi partai yang paling ditunggu –Dinamo vs Arsenal. Kandang Tottenhan Hotspur, White Hart Lane, dipinjam untuk laga itu lantaran Stadion Highbury masih direnovasi. Sekira 55 ribu penonton di stadion yang diselimuti kabut itu menjadi saksi The Gunners menyerah 3-4 dari Dinamo. Di partai terakhir melawan Glasgow Rangers, Dinamo bermain imbang 2-2. Pada laga-laga itu, Dinamo sebenarnya “mencabut” beberapa pemain dari klub Soviet lain. Salah satunya, Vsevolod Bobrov, pemain CSKA Moskva juga bintang hoki es Soviet dan kawan dekat Vasily Stalin (putra Stalin). Pun begitu Arsenal, yang meminjam Stanley Matthews dari Stoke City, Stanley Mortensen (Blackpool), dan Harry Brown (Queens Park Rangers). Tapi toh Dinamo membuktikan sepakbola Soviet tak kalah hebat dari Inggris. “Bertahun-tahun berlalu sejak kami bertemu pertama kali dengan para pesepakbola Rusia. Semenjak itu di hati semua orang yang mengalami pengalaman itu, kata-kata ‘Dynamo Moscow’ mengingatkan akan konsep sepakbola yang berkelas,” kenang Matthews, dikutip Downing.
- AR Baswedan Dikerdilkan, Musso dan Sutan Sjahrir Dilupakan
MEDIO April 71 tahun lampau, kerjasama delegasi Republik Indonesia (RI) pimpinan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dengan pemerintah Kerajaan Mesir membuahkan persahabatan dahsyat. Sineas Indonesia dan Mesir kini mengabadikannya dalam film layar lebar bertajuk Moonrise over Egypt. Beberapa adegannya diambil langsung di Kairo, Mesir pada Agustus 2016. “Cukup banyak pemain dan kru yang berangkat ke Kairo, di samping bekerjasama dengan tenaga-tenaga sineas Mesir,” cetus sutradara Pandu Adiputra dalam press screening film tersebut, Jumat (1/3/2018). Filmnya mengisahkan pergulatan delegasi RI pimpinan Agus Salim (diperankan Pritt Timothy) dalam memperjuangkan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, Pandu membumbui film dengan dramatisasi, pembelokan alur cerita, hingga penghadiran tokoh-tokoh fiktif. “Timbul seakan-akan ada dua bagian dari film ini. Satu bagian perjuangan diplomatik Indonesia. Kedua, ada juga cerita mata-mata Belanda dan pemuda Indonesia, pedagang Indonesia jadi mata-mata Belanda. Kita enggak pernah dengar cerita ini. Apakah ini agar ceritanya tidak datar dan menjadi menarik?” ujar kritikus film Salim Said dalam konferensi pers usai press screening. Sejarawan Asvi Warman Adam juga merasakan hal serupa. “Memang di satu sisi penulis dan sutradara punya keleluasaan menambahkan tokoh fiktif atau alur cerita yang tidak ada dalam fakta sejarah. Ini sudah biasa dalam film-film tema sejarah. Tapi sejauh mana aspek non-historis tadi mendominasi film ini? Itu pertanyaannya,” timpal Asvi. Mata-mata dan Bahasa Dalam pemaparannya, produser Adie Marzuki menjelaskan bahwa dari riset mereka yang dibantu kosultan sejarah Hendi Johari dan sejarawan Rushdy Hoesein, memang ada peristiwa mematai-matai aktivitas delegasi RI di Kairo itu. Pengkhianatan itu tak lepas dari kartu subsidi mereka selama kuliah di Mesir dari pemerintah Belanda. “Kenyataannya memang ada yang tidak mengembalikan kartu subsidi sebagaimana yang disepakati PPKI. Itu yang kemudian dipergunakan Belanda untuk membujuk mereka, agar menelisik aktivitas delegasi Indonesia,” terang Adie. Tim produksi merasakan betul kesulitan merangkum kisah sejarah rumit itu ke dalam sebuah cerita dengan durasi yang terbatas. Terlebih, sasaran penonton mereka generasi muda dari usia 13 tahun. Oleh karena itu, tim menyederhanakan aksi spionase itu agar lebih mudah dicerna semua kalangan, memperindah alur cerita, hingga enak ditonton. Konsekuensinya, film ini jadi melupakan beberapa aspek yang lekat dengan kisah Agus Salim dkk. di Mesir. Contohnya, perihal bahasa. Agus Salim dikenal poliglot (menguasai banyak bahasa asing). Tiga anggota delegasi lain, A.R. Baswedan, H.M. Rasyidi, dan Nazir Datuk Pamuncak, juga jago bahasa Arab sehingga dimasukkan ke dalam tim agar bisa lebih mudah mengambil hati para diplomat Liga Arab. Anehnya, tak sekalipun dialog di film menampilkan penggunaan bahasa Arab. Pun Bahasa Belanda, yang mestinya selalu diucapkan tokoh Adriaanse, Jansen, atau Willem van Rechteren Limpurg (diperankan Harry Bond Jr.). Menurut produser Amir Sambodo, ketiadaan dialog berbahasa asing disebakan kesulitan pendalaman bahasa. “Memang awalnya kita mau bikin Agus Salim dkk. bicara banyak bahasa. Tapi kita cari cast- nya enggak ada yang bisa. Kita diskusi dengan Pandu, ya akhirnya kita putuskan pakai bahasanya Indonesia dan Inggris,” ujar Amir. Tokoh dan Peran Terlupakan Terlepas persoalan teknis, kritikus dan sejarawan mengeluhkan adanya pengerdilan peran A.R. Baswedan dan penghilangan beberapa tokoh penting dalam misi diplomati itu di film. A.R. Baswedan, misalnya, digambarkan tak lebih sebagai pelengkap. Padahal, kata Asvi, “Kepulangan Baswedan juga tak mudah. Harus berpindah-pindah pesawat, terdampar di Singapura dan kehabisan uang. Setelah ada yang membantu dan tiba di Jakarta, nota diplomatik itu harus disembunyikan di dalam kaus kakinya sehingga dia bisa selamat sampai ke Yogya untuk disampaikan ke presiden. Makanya, hemat saya perlu ditambahkan.” Sementara, Rushdy mempertanyakan kenapa tokoh Perdana Menteri Sutan Sjahrir tak dihadirkan sama sekali di film. “Sjahrir punya pengaruh dalam persoalan-persoalan terkait. Dia kan perdana menteri. Apalagi Agus Salim berangkat ke Lake Success (Amerika, markas DK PBB) bersama Sjahrir,” ujarnya. Selain mempertanyakan Sjahrir, Rushdy juga menyoroti penghilangan tokoh Musso di film itu meski Musso bukan anggota delegasi. “Muso datang dari Kairo bersama duta besar kita di Cekoslowakia. Beliau datang menggunakan nama (samaran) Suparto. Dia sempat berdebat dengan para mahasiswa (Indonesia) yang kuliah di Kairo tentang politik negara,” sambungnya.*
- Memburu Subandrio
Sesaat setelah menerima Supersemar, Letjen TNI Soeharto memerintahkan Panglima Kodam Jakarta Raya, Mayjen TNI Amirmachmud mengawal Presiden Sukarno dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. Untuk alasan keamanan pula, Bung Karno meminta agar semua pos RPKAD (kini Kopassus) yang ada di titik-titik yang akan dilewati harus disingkirkan. Dalam tugas pengawalan itu, Soeharto menyisipkan misi khusus kepada Amirmachmud. “Secara pribadi Pak Harto memerintahkan saya untuk mencari tempat persembunyian para menteri itu. Terutama Subandrio harus ditemukan,” ujar Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang . Ketika melaporkan bahwa jalur perjalanan steril dari pengawasan RPKAD, Amirmachmud melancarkan misi khususnya. Sebuah kesepakatan dilontarkan kepada Presiden Sukarno yang sedang gamang karena dirundung aksi para demonstran. Setengah mendesak, Amir meminta Bung Karno untuk memberitahu di mana keberadaan Subandrio. “Demi keselamatan Bapak, sebaiknya Subandrio diserahkan kepada saya,” ujar Amirmachmud. Dalam keadaan tertekan, Sukarno terpaksa memberi tahu posisi Subandrio sembari menitip pesan agar Amirmachmud jangan membunuhnya. Ajudan Sukarno, Brigjen Sabur kemudian diperintahkan mengantarkan Amirmachmud ke guest house komplek Istana Merdeka. Di lantai atas guest house , yang tampak bukan hanya Subandrio, melainkan menteri lainnya yang masuk daftar penangkapan seperti, Soemarno, Armunanto, dan Sutomo. Semuanya kena ciduk. Amirmachmud lantas memerintahkan pasukannya menggelandang Subandrio ke markas Kodam Jakarta Raya untuk diproses lebih lanjut. Terindikasi PKI? Subandrio telah masuk daftar pencarian, jauh sebelum instruksi Soeharto untuk menangkap 15 menteri. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo telah mengerahkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Subandrio sejak akhir Februari 1966. Sebagian besar kalangan Angkatan Darat menilai Subandrio berafiliasi dengan PKI. Tempo setelah G30S meletus, Subandrio lewat sejumlah pidato menolak keterlibatan PKI di dalamnya. Dan ketika aksi demonstrasi massa untuk membubarkan PKI memuncak, Subandrio mengeluarkan pernyataan yang menyulut konflik lebih tajam: membalas teror dengan kontra-teror. Subandrio yang memegang tiga jabatan strategis boleh jadi seorang politisi ulung. Dalam Kabinet Dwikora, dia menjabat Wakil Perdana Menteri III merangkap Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Namun Kemal Idris, Panglima Kostrad saat itu, meragukan bila Subandrio terindikasi PKI. “Dia (Subandrio) memang bermaksud menjadi tokoh politik yang besar. Sedangkan satu-satunya cara yang bisa menjadikan dia tokoh politik hanya melalui PKI. Tapi, apakah dia seratus persen PKI? Buat saya sebenarnya dia hanya ikut-ikutan saja,” ujar Kemal dalam Bertarung dalam Revolusi. Angkatan Darat kian memusuhi Subandrio mengingat dirinya sebagai tangan kanan Presiden Sukarno. Di tengah kecamuk gerakan anti Sukarno, Subandrio menjadi orang pertama yang menghimpun kekuatan massa pendukung Sukarno sebagai Barisan Sukarno. Hubungan rapat Subandrio dengan Bung Karno di satu pihak dan tuntutan massa mengganyangnya di lain pihak, membuat aparat intelijen dan keamanan ekstra cemas. Yoga Sugomo, perwira intelijen Kostrad saat itu mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun pihak-pihak tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati bertindak nekat. Membunuh Subandrio, misalnya. Bila hal ini terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno akan marah besar dan membela Subandrio habis-habisan. “Itu berarti menyulut perang saudara yang sulit diperhitungkan kapan berakhirnya,” tutur Yoga kepada B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin dalam Memori Jenderal Yoga . “Mengatasi Subandrio betul-betul ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.” Vonis Mati Pada 1967, proses hukum terhadap Subandrio digelar dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Anehnya, dakwaan buat Subandrio bukan karena terindikasi PKI atau terlibat G30S. Pengadilan memutuskan Subandrio bersalah karena dianggap subversif terkait ucapannya membalas teror dengan kontra-teror. Sidang berlangsung singkat. Subandrio dijatuhi hukuman mati. Bagi Subandrio pengadilan itu tak lebih dari sandiwara. “Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ‘konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini,” ujar Subandrio dalam memoarnya Kesaksianku Tentang G30S . “Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.” Namun nasib mujur masih menyertai Subandrio yang tercatat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi Subandrio sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri menghindari dirinya dari senapan regu tembak. Kawat dari Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris, Elizabeth mengintervensi proses hukum Subandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup. Selama hampir 30 tahun, Subandrio menjadi penghuni penjara di sel isolasi, terpisah dari narapidana lain sebagai tahanan politik. Mulai Rumah Tahanan Salemba, LP Cimahi, dan LP Cipinang. Di masa-masa itu dia mengalami depresi. Pada 1978, tatkala masih meringkuk dalam penjara, anak tunggal Subandrio, Budojo meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, istri Subandrio Hurustiati menyusul. Subandrio bebas dari penjara pada 1995. Ketika pemerintahan Orde Baru runtuh pada 1998, kebebasan bersuara terbuka bagi siapa saja. Termasuk pula untuk mereka, yang dulu pernah dibungkam oleh rezim Soeharto. Tak terkecuali bagi Subandrio. “Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno," kata Subandrio. "Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu menjadi tekad saya. Dan ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.”
- Genderang Perang Indonesia-Belanda di Negeri Piramida
DUA pemuda pejuang berlarian ke dalam hutan diburu serdadu Jepang. Langkah kaki mereka lambat laun tak sinkron dengan irama nafas akibat kelelahan. Mereka akhirnya tertembak. Salah satu yang tewas adalah Ahmad Sjauket (Hadil), putra H. Agus Salim. Adegan pengejaran dan penembakan itu mengawali film roman sejarah bertema perjuangan diplomatik Indonesia di Mesir. Dengan tajuk Moonrise over Egypt (Bulan Sabit di Langit Mesir), sutradara Pandu Adiputra melukiskan bagaimana delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri (Menlu) H Agus Salim (Pritt Timothy) jempalitan untuk memetik pengakuan internasional pertama, dari Kerajaan Mesir medio 1947. Delegasi Indonesia, terdiri dari Menteri Muda Penerangan AR Baswedan (Vikri Rahmat), HM Rasyidi (Satria Mulia), dan Nazir Datuk Pamuncak (Drh. Ganda), awalnya disambut hangat karena memenuhi undangan Sekretaris Jenderal Liga Arab Abdul Rahman Hassan Azzam atau dikenal Azzam Pasha (James Dixon). Azzam mendampingi mereka sampai ke Hotel Continental di Kairo dan memandu mereka menemui Perdana Menteri Mesir Mahmoud El Nokrashy Pasha (Mark Sungkar). “Kami ingin melihat negara dengan populasi muslim terbesar meraih kemerdekaannya. Agar menjadi tonggak bagi negara-negara lainnya lepas dari cengkeraman kolonialisme,” cetus El Nokrashy saat beramah-tamah. Namun, pertemuan delegasi Indonesia –yang ditambah dua mahasiswa PPKI di Kairo, Zein Hasan (Reza Anugrah) dan Hisyam (Bhisma Wijaya)– itu terdengar Duta Besar (Dubes) Belanda untuk Mesir Willem van Rechteren Limpurg (Harry Bond Jr.) dan Dubes Keliling Belanda Cornelis Adriaanse (Alex Jhunnany). Mereka langsung bergerak. Drama pun dimulai. Konflik demi konflik nan seru silih berganti hadir memenuhi film sepanjang 113 menit ini. Konflik antara Indonesia dan Belanda itu akhirnya menyeret Mesir. Bahkan PM El Nokrashy sampai dijadikan target pembunuhan oleh Jansen (Cris de Lima), intel yang digunakan oleh Adriaanse. Dalam suasana sulit itu, Agus Salim memasrahkan diri kepada Allah SWT. Dia mengirim surat kepada El Nokrashy. Hasil upaya itu menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan misi diplomatik Indonesia. Dan, sutradara berhasil menutup film dengan ending apik berupa konflik El Nokrashy-Jansen-Hisyam. Konflik yang menjadi klimaks film itu merupakan personifikasi genial sang sutradara untuk menggambarkan konflik dua bangsa yang berseteru (Indonesia dan Belanda) dan menyeret tuan rumah. Hasilnya? Silahkan tunggu tanggal mainnya. Menarget Generasi Zaman Now Film ini bisa dibilang film pertama tentang perjuangan diplomasi Indonesia. Film yang akan ditayangkan serentak di berbagai bioskop pada 22 Maret 2018 ini cukup apik sebagai entertainment lantaran kaya bumbu dan sarat konflik. Sutradara tak takut menyelipkan beberapa scene fiktif, termasuk kisah percintaan Hisyam dengan Zahra, seorang mahasiswi Malaya (Ina Marika), agar lebih ‘ nge-pop ’ dan bisa dicerna generasi muda dari usia 13 tahun. “Memang film ini kita sesuaikan juga dengan selera generasi zaman now. Namun bukan berarti keluar dari pakem sejarah yang sesuai kejadian nyata, meski ada dramatisasinya,” cetus Amir Sambodo sang produser eksekutif. Kritikus film Salim Said turut menyanjung bahwa kisah pertempuran diplomatik Indonesia vs Belanda di Mesir itu dikemas cukup apik. “Film ini enak ditonton. Dibikin dan dimainkan dengan bagus. Yang harus kita perhatikan juga adalah dimensi diplomatik dalam film ini. Bagaimana Agus Salim menggunakan sentimen Islam dalam mencari dukungan,” ujar Salim Said dalam konferensi pers usai penayangan screening film. Senada dengan Salim, sejarawan Rushdy Hoesein memuji tim produksi yang berani mengangkat perjuangan RI di arena diplomasi, meski ditambah sejumlah alur cerita fiktif. “Seperti Titanic saja, itu kan juga roman sejarah. Ada cerita-cerita fiktif baru yang diselipkan. Tidak ada salahnya. Acungan jempol, saya bilang ini keberanian. Tapi nanti baru akan terbukti setelah ditonton banyak orang. Kita lihat reaksi mereka,” timpal Rushdy. Yang Menyimpang Terlepas dari scene - scene fiktifnya, ada sejumlah adegan film ini tak sesuai fakta historis, terutama menyangkut detail sebagaimana terdapat di film-film perjuangan lain macam Soekarno atau Jenderal Soedirman . Bagi penonton yang paham sejarah, ketidakakuratan detail cukup mengganggu. Di adegan pembuka, misalnya, ketidakakuratan detail terjadi pada properti dan wardrobe . Salahsatu tentara Jepang yang mengejar pejuang digambarkan memakai helm M1. Helm itu buatan Amerika Serikat, musuh Jepang di Perang Pasifik. Ketidakakuratan terjadi juga di scene eksekusi Sjauket. Sang eksekutor menggunakan pistol Luger buatan Jerman, bukan Nambu –pistol khas perwira Jepang. Sebelumnya, dua pejuang yang dikejar Jepang berlarian sambil menenteng senapan semi-otomatis M1 Garand. Padahal, senjata buatan Amerika itu baru tersebar di Indonesia seiring masuknya serdadu Belanda-NICA. Artinya, M1 Garand masuk setelah Jepang hengkang. “Seharusnya adegan pembuka itu tak perlu dihadirkan. Kesan saya seperti adegan perang-perangan amatiran,” ujar Salim Said. Lebih parah lagi, adegan terbunuhnya Sjauket itu digambarkan tak sesuai fakta sejarah, di mana dia tewas saat dikejar Jepang di dalam hutan. Faktanya, “Sjauket itu kan meninggal ditembak Jepang, ketika dia dan rombongannya hendak melucuti dan mengambil persenjataan Jepang,” jelas Rushdy. Lepas dari fakta, teknis film ini sengaja dibuat up to date . Musik dan tata suara, misalnya, sebagaimana dijelaskan produser, dibuat agak kekinian agar bisa menarik minat penonton muda. Beberapa lagu yang ditampilkan cenderung jazzy dan kadang nada rock. Sayangnya, film ini gagal menyuguhkan atmosfer Kairo di era 1947. Meski beberapa adegan syuting langsung di Kairo, berbagai perabotan kurang mendukung sensasi “jadul” film. Beberapa efek visual yang digunakan untuk mendukungnya pun masih kasar. Tak butuh orang jago kritik film untuk membedakan suasana di beberapa adegan asli atau rekaan visual. Satu keganjilan yang kocak terpancar dari scene ketika Thariq (Donny Fadhli), pengajar Indonesia di Al Azhar, memberi uang kepada Hisyam. Cangkir kopi yang diangkat Thariq tampak masih tertempel label ber- bar code . Well , sepertinya zaman itu (1947) produk-produk perabotan belum ada yang harus dicek harga di kasir dengan barcode. Mungkin sebelum syuting tim properti luput mencopotnya. Wallahu a'lam .
- Xi Jinping dan Kekuasaan Pemimpin Cina
SESI Pertama Kongres Rakyat Nasional Ke-13 ( Di shisan jie Quanguo Renda Yi ci Huiyi ) menggelar Rapat Paripurna Ketiga pada 11 Maret 2018 untuk mem- voting “Draf Amandemen Konstitusi Cina” ( Zhonghua Renmin Gonghehuo Xianfa Xiuzheng’an Cao’an ) yang disusun oleh Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (KRN). Ramai diberitakan, rapat paripurna tersebut telah mengegolkan rancangan amandemen 21 butir Konstitusi Cina 1982 dengan memanen 2.958 suara setuju, 2 orang menolak, 3 abstain, dan 1 tidak sah.
- Menyelami Sejarah Busana Muslim
Suatu hari, aktris senior Ida Royani kedatangan lima orang pengelola Sarinah, termasuk direktris Sarinah Thamrin. Mereka menawarkan kerjasama kepada pasangan duet Benyamin Sueb itu. "Saya lihat baju dan kerudung Mbak Ida Royani bagus-bagus, fancy-fancy . Terus saya dengar juga Mbak Ida mendesain baju. Tolong dong, bisa nggak dimasukin ke Sarinah, soalnya belum ada yang jual," kata Ida Royani, pionir bisnis busana muslim Indonesia, menirukan pihak manajemen Sarinah Thamrin, kepada Historia.id . "Saya kan baru bikin buat saya saja. Saya bikinnya baru satu-satu, nggak banyak," jawab Ida. " Nggak apa-apa. Kita tunggu sampai banyak, nanti dimasukin ke tempat kita. Jadi masukinnya kita beli putus saja." Tawaran pengelola Sarinah itu menjadi titik awal Ida menggeluti bisnis busana muslim. Kala itu, Ida baru saja memutuskan berhenti menyanyi menyusul keputusannya memakai jilbab tahun 1978. Meski harus perang batin karena harus meninggalkan profesi yang dicintainya itu, Ida akhirnya menemukan profesi baru yang tak kalah dia gandrungi. "Aku sama Benyamin kan lagi populer-populernya. Tapi aku nekat saja karena suara itu aurat, jadi harus berhenti nyanyi. Perang batin itu. Tapi Allah kasih jalan dan aku memang suka desain," kata Ida. Untuk mewujudkan keinginannya membuka butik, Ida mencari penjahit untuk mengeksekusi desain bajunya. Satu demi satu desain yang ia buat rampung dikerjakan. Satu desain baju tidak dia produksi masal, tapi hanya satu dua potong. Begitu baju yang diproduksi cukup banyak, butik pertama yang menjual baju muslim akhirnya buka di Sarinah Thamrin pada awal 1980-an. Tapi, busana muslim rancangan Ida bukan tanpa cela. Kala itu busana muslim belum menjadi pilihan pakaian yang lumrah. "Yang ngatain banyak banget. Itu kok baju muslim warnanya merah, kuning, hijau, biru. Kok bajunya aneh-aneh gitu. Dipikiran orang-orang itu baju muslim harus putih," kata Ida. Ida tak gentar. Yang terpenting baginya adalah busana muslim yang menutupi aurat dan tidak ketat. Ketika mendesain busana muslim berkain tipis, Ida tak habis akal. Ia menambahkan furing , kain tambahan di bagian dalam pakaian agar tidak tembus pandang. Pertengahan 1980-an, Ida membuka butik keduanya di Pasaraya Blok M. Mall busana itu tak hanya mewah dan elit, tapi sekaligus pusat mode ibukota sebelum ada Sogo, Seibu, atau Metro. Bisnis pakaian muslim Ida berkembang. Dia kerap menggelar pameran busana di beberapa negara, mulai Malaysia hingga Rusia. "Terus setelah itu baru Anne Rufaidah, Ida Leman, itu mulai masuk Pasaraya. Anne Rufaidah juga salah satu pionir," kata Ida. Anne Rufaidah pada 1985 sudah mengekspor rancangannya ke Arab Saudi. Desain-desainnya terkenal hingga mancanegara melalui berbagai pagelaran busana, seperti di Malaysia, Aljazair, Dubai, dan India. Alhasil, popularitas busana muslim meningkat pada 1990-an. Peningkatan itu terjadi tak lepas dari makin diterimanya identitas keislaman oleh rezim Orde Baru. Setelah "pecah kongsi" dengan Benny Moerdani, Soeharto mendekat ke kalangan Islam. Hal itu, menurut Eva F. Amrullah dalam "Indonesian Muslim Fashion Styles & Designs" yang dimuat dalam ISIM Review No. 22, 2008, mengakibatkan jumlah kelompok pengajian naik pada 1990-an. Kelompok-kelompok itu seringkali dipimpin mubalighah seleb yang tentu berpenampilan modis. Selain Ida sendiri, ada Neno Warisman yang memutuskan berjilbab pada 1990-an. Di kalangan pria, ada kiai muda Abdullah Gymnastiar, Jefry al-Buchori, atau Ahmad al-Hasby yang menjadi ikon busana muslim pria. Mereka menjadi faktor penting yang menarik masyarakat menggunakan busana muslim, terutama busana muslim modis. Ida memanfaatkan betul posisi itu untuk bisnisnya. "Kebetulan aku public figure , jadi lebih cepet terkenal brand -nya daripada orang biasa. Itu keuntungan aku," kata pasangan duet Benyamin Sueb itu. Ida kemudian tak hanya membuat busana muslim untuk perempuan. Mukena, baju koko, dan baju muslim anak merupakan varian produk bisnis busana muslimnya. Ketika pasar jilbab dan busana muslim ramai, banyak pihak ikut terjun ke dalamnya. Brand-brand seperti Zoya, Rabbani, Elzatta, bahkan brand kenamaan seperti Dolce and Gabbana, DKNY, atau Zara bermunculan. Mereka tak hanya menawarkan beragam model jilbab tapi juga kemewahan dan status lewat citra mereka di masyarakat. "Ketika pasar mulai naik, orang-orang banyak yang ikut bikin baju muslim. Ketika sudah banyak yang bikin, aku tidak merasa tersaingi karena aku punya desain sendiri, karakter sendiri. Customer aku tetap ke aku. Terutama jahitan, jahitannya harus rapi," kata Ida. Kemajuan mode, adanya ikon busana muslim, dan peningkatan bisnis busana muslim menyediakan pilihan bagi para konsumen. Namun di sisi lain, menurut Wiwiek Sushartami dalam disertasinya, Representation and Beyond: Female Victims in Post-Suharto Media , perkembangan busana muslim di perkotaan Indonesia pada 1990-an menodai niat berjilbab dan menjadikan mereka korban konsumerisme.
- Meninjau Kembali Wilayah Kekuasaan Majapahit
KAKAWIN Nagarakrtagama menyebut pengaruh Kerajaan Majapahit sangat luas, meliputi hampir seluruh negara Indonesia sekarang, dari daerah di Pulau Sumatra di bagian barat, sampai ke Maluku di bagian timur. Luasnya daerah yang terpengaruh Majapahit itu dikuatkan oleh penjelajah Portugis, Tome Pires . Menurutnya, sampai kira-kira awal abad 15, pengaruh Majapahit masih menguasai hampir seluruh Nusantara. “Di masa itu Negeri Jawa sangat berkuasa karena kekuatan dan kekayaan yang dimilikinya, juga karena kerajaan ini melakukan pelayaran ke berbagai tempat yang jauh,” kata Tome Pires dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental . Meski begitu, C.C. Berg, ahli bahasa Jawa, dalam banyak tulisannya menegaskan bahwa Majapahit tak pernah memiliki wilayah seluas Indonesia sekarang. Wilayahnya hanya Jawa Timur, Bali, dan Madura. Sementara daerah-daerah di seluruh Nusantara hanya merupakan cita-cita semata. Terlepas dari itu, menurut arkeolog Hasan Djafar, harus diakui Majapahit pada waktu itu merupakan sebuah kerajaan besar dengan basis ekonominya yang bersifat agraris semikomersial. Hubungan dengan kerajaan lain di Nusantara merupakan hubungan kerja sama regional yang saling menguntungkan. Majapahit berkepentingan memperoleh komoditas perdagangan dan daerah pemasaran untuk produk agrarisnya. Oleh karena itu, Majapahit berkewajiban melindungi daerah-daerah di Nusantara itu untuk menjaga kestabilan, khususnya di bidang sosial ekonomi. “ Nagarakrtagama menyebut daerah di Nusantara itu merupakan daerah yang dilindungi oleh Sri Maharaja Majapahit,” tulis Hasan dalam Masa Akhir Majapahit . Apalagi dengan negara-negara di Asia Tenggara. Hubungan dengan negara-negara itu lebih kepada hubungan persahabatan ( mitra satata ). Tak tercermin dalam kakawin itu kalau wilayah Nusantara dan kerajaan lain di kawasan Asia Tenggara seperti, Syanka, Ayodhyapura, Dharmmanagari, Marutma, Rajapura, Singha-nagari, Champa dan Kamboja merupakan wilayah kekuasaan atau jajahan Majapahit. “Pengaruhnya, setidaknya pengaruh kultural. Penguasa Majapahit waktu itu telah berhasil menegakkan kesatuan politik dalam suatu wilayah yang luasnya belum pernah terjadi pada masa sebelumnya,” lanjut Hasan. Majapahit sebenarnya merupakan kerajaan yang terdiri dari kesatuan negara-daerah atau provinsi. Di bawah seorang raja Majapahit, ada sejumlah penguasa yang masing-masing berkuasa di sebuah negara-daerah sebagai paduka bhattara yang biasanya kerabat raja. Jumlah negara-daerah yang berada di lingkungan Majapahit tidak selalu sama. Misalnya, berdasarkan Prasasti Waringinpitu (1447), ketika masa pemerintahan Dyah Kertawijaya, setidaknya ada 14 negara-daerah. Banyaknya negara-daerah yang disebut dalam prasasti tergantung berapa banyak kerabat raja yang punya kedudukan sebagai penguasa. Dalam prasasti, para paduka bhattara itu biasanya disebut sebagai pejabat tinggi yang mengiringi perintah raja. Berdasarkan Prasasti Waringinpitu, Prasasti Trawulan III, dan Nagarakrtagama , sejak masa keemasan Majapahit, pernah ada 21 negara-daerah yang menjadi bagian Majapahit. Ke-21 negara-daerah itu antara lain Daha, Jagaraga, Kahuripan, Tanjungpura, Pajang, Kembangjenar, Wengker, Kabalan, Tumapel, Singhapura, Matahun, Wirabhumi, Keling, Kalingapura, Pandansalas, Paguhan, Pamotan, Mataram, Lasem, Pakembangan, dan Pawawanawwan. Sayangnya, beberapa daerah itu masih ada yang belum diketahui letaknya sampai sekarang.*
- Kisah Kang Aeng dan Bung Karno
SUATU pagi di tahun 1920-an, Sukarno mengayuh sepeda tak tentu arah dan tujuan. Hingga tanpa sadar dia sudah ada di pelosok Bandung bagian selatan. Pandangannya membentur sosok petani yang tengah mencangkul sawah. Dia menghentikan sepedanya dan mendekati sang petani. Terjadilah dialog yang cukup akrab sebagaimana dikisahkan dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?” tanya Sukarno. “Saya, Juragan,” jawab sang petani. “Apakah kau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?” “Oh tidak, Gan. Saya memilikinya sendiri.” “Apa kau membeli tanah ini?” “Tidak. Tanah ini diwariskan secara turun temurun dari orangtua saya.” “Bagaimana dengan sekopmu? Milikmu juga?” “Ya, Gan.” “Dan cangkul itu?” “Milik saya juga, Gan.” “Bajak?” “Juga milik saya.” “Lalu hasilnya untuk siapa?” “Untuk saya, Gan.” “Apakah hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?” “Bagaimana mungkin sawah yang begitu sempit ini bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anak?” “Tapi semua ini milikmu?” “Iya, Gan.” Sukarno terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini memenuhi benaknya. Pada bagian akhir pertanyaannya, dia teringat teori yang dilontarkan ahli ekonomi tentang suatu kelas yang disebut sebagai “penderita minimum”. Inikah dia? “Siapa namamu?” “Marhaen.” Simbol Ideologi Sejak bertemu dengan Marhaen, Sukarno kerap menyebut ajaran-ajarannya sebagai marhaenisme. Ide ini bertolak dari sosialisme dan keyakinan Sukarno akan penemuan kembali kepribadian rakyat Indonesia. “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek,” ujar Sukarno. Menurut jurnalis sejarah Peter A. Rohi, mengangkat nama Marhaen merupakan upaya Sukarno untuk membuat suatu simbol ideologi yang kuat dan mengakar di kalangan masyarakat Indonesia. Secara cerdas, dia tidak mengambil mentah-mentah ide-ide yang datang dari luar lalu menerapkannya, tetapi justru dia terlebih dahulu “mengindonesiakannya”. “Bung Karno itu kan penyuka simbol-simbol. Dia sangat paham untuk melawan kolonialisme diperlukan simbol-simbol yang mengakar,” ungkap Peter kepada Historia . Peter sangat yakin bahwa secara politis, pemilihan nama Marhaen sendiri tak lepas dari dramatisasi. Sebagai contoh, saat dia menelusuri kisah Marhaen ini ke selatan Bandung, nama Marhaen sendiri tak dikenal di sana. Kepada Peter, salah seorang cucu Marhaen yang masih hidup mengisahkan bahwa nama Marhaen sebetulnya hanya kreasi Bung Karno. Yang benar nama moyangnya itu adalah Aeng, bukan Marhaen. Lantas mengapa Bung Karno memutuskan untuk mengubah nama Aeng menjadi Marhaen? “Tepatnya saya tidak tahu, tapi untuk membuat simbol ideologi yang kuat, itu jelas,” ujar salah satu anggota tim riset pembuatan film dokumenter Jejak-Jejak Bung Karno tersebut. Tahun 1966, muncul pendapat yang menyebut bahwa Marhaen merupakan kependekan dari Marx, Hegel, Engels. Menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Kepolitikannya , kali pertama pendapat tersebut muncul dipicu oleh editorial surat kabar Angkatan Bersenjata yang langsung dijawab oleh Osa Maliki dari Tim Lembaga Pembinaan Marhaen. Namun, masuknya unsur marxisme dalam marhaenisme bisa jadi memang benar. Menurut sejarawan Peter Kasenda, kalau ada yang mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme gaya Indonesia, itu beralasan. Sukarno sendiri kerap mengatakan orang tidak akan paham marhaenisme jika dia tidak mengerti marxisme. “Berulangkali Sukarno bilang bahwa dirinya seorang marxis dan pernah menyatakan bahwa 'marxisme adalah pembakar Sukarno punya jiwa',” ungkap Peter Kasenda dalam makalah "Sukarno, Sejarah dan Kontroversi." Terlepas dari polemik tersebut, Sukarno tetap memperhatikan nasib Marhaen alias Kang Aeng. Berbagai kunjungan dilakukan ke tempat Marhaen. Bahkan pada 1950-an, menurut Peter Rohi, Sukarno secara khusus mengundang orang yang namanya dijadikan simbol ideologi PNI (Partai Nasional Indonesia) itu ke Istana Negara. “Sayang dokumentasi pertemuan tersebut tak ada lagi di tangan keluarga Kang Aeng,” ujar Peter Rohi.*
- Membuka Bab Sejarah Jilbab
Suatu hari, aktris senior Ida Royani merasakan keganjilan ketika berbelanja di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan. Orang-orang menatapnya dengan pandangan aneh. Tapi, pasangan duet Benyamin Sueb itu tak peduli. Dia menikmati shopping time -nya. Ida mafhum orang-orang kaget terhadap penampilannya. Hal itu membuatnya tetap enjoy ketika merasakan pengalaman serupa di sebuah acara pernikahan yang dia datangi. "Tahun 1978 itu aku pergi ke pesta kawin. Nggak ada satu pun orang pakai jilbab, cuma aku sendiri. Orang ya pada aneh ngelihatin ," ujarnya kepada Historia.id ketika ditemui di rumahnya, Cinere, Jakarta Selatan. Ida mulai memakai jilbab pada 1978 ketika banyak orang belum tahu apa itu jilbab. Keputusan itu membongkar citranya di masyarakat. Saat kerap tampil bareng Benyamin, penampilan Ida bak koboi: bawahan hotpants , baju yukensi, dan sepatu lars. Maka ketika memutuskan berjilbab, Ida berhenti menyanyi. Anak Kandung Revolusi Hingga 1970-an, jilbab –pakaian muslimah yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan– belum populer di Indonesia. Kebanyakan perempuan mengenakan kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke pundak, dengan leher masih terlihat. Selain Ibu Negara Fatmawati, istri-istri ulama mengenakan kerudung. " Kelompok Islam sejak awal ada di Indonesia sampai tahun 1970-an, kerudung yang populer," kata Samsul Maarif, peneliti di Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM). Jilbab baru mulai dikenal pada 1980-an. Hal itu bermula dari pengaruh Revolusi Iran, 1979. Penyebarluasan berita kemenangan Ayatollah Khomeini yang berhasil mendirikan Republik Islam Iran mendorong rasa solidaritas dunia Islam, termasuk Indonesia. Pada 1980-an, tulis Wiwiek Sushartami dalam disertasinya di Universitas Leiden yang berjudul Representation and Beyond: Female Victims in Post Suharto Media , kelompok diskusi informal di kalangan pelajar dan mahasiswa muslim mulai berkembang dibarengi dengan penerbitan buku-buku Islam. Semangat Revolusi Iran yang anti-Barat masuk ke Indonesia dan menyebar lewat kelompok diskusi mahasiswa Islam. Hal itu mendorong para aktivis Islam menunjukkan identitas keislaman mereka, salah satunya dengan penggunaan jilbab. "Setelah Revolusi Iran, identitas Islam hadir bukan hanya merespons konteks nasional tapi internasional," kata Samsul. "Gerakan kampus mulai berkembang akibat pengaruh gerakan Islam dari Timur Tengah, khususnya Persaudaraan Islam ( Islam Brotherhood ) makin merebak tahun 1980-an. Itu yang memopulerkan model jilbab," kata Samsul. Makin populernya penggunaan jilbab membuat pemerintah, yang sedang galak terhadap Islam, melarang penggunaannya di sekolah umum lewat SK 052/C/Kep/D.82. Keputusan itu memicu protes dari para cendekiawan dan aktivis Islam. Di sisi lain, pelarangan itu justru kian mempopulerkan jilbab. "Jilbab salah satu wujud pemberontakan di era Orde Baru. Menjadi perlawanan identitas Islam di nasional juga internasional," kata Samsul. Baru pada 1991 pemerintah mengizinkan kembali penggunaan jilbab di sekolah umum. Hal itu tak bisa dilepaskan dari mendekatnya Soeharto ke kalangan Islam setelah "pecah kongsi" dengan Benny Moerdani. Jilbab Era Reformasi Pasca Reformasi, ketika pemaknaan atas identitas keislaman makin beragam dan mendapat ruang di muka publik, komersialisasi pun memasuki jilbab. Sebagai bagian dari sebuah mode, model jilbab dan pakaian muslim berkermbang pesat mulai jilbab segi empat sampai burka (pakaian muslimah bercadar). "Karena terbukanya kondisi pasca Reformasi, kehadiran jilbab menjadi politik identitas yang memfasilitasi munculnya berbagai ekspresi. Artinya, banyak kelompok punya berbagai cara mengekspresikan identitas keislamannya, mulai dari yang politis sampai untuk kesalehan, atau yang jilbabnya besar sampai cadar," lanjut Samsul. Meski masih memegang arti penting secara politis, jelas Wiwiek, wujud, praktik penggunaan, dan motif penggunaan jilbab sudah beragam. Jilbab tak lagi sebatas simbol pengabdian terhadap keyakinan beragama dan perlawanan pada suatu rezim, ia juga hadir sebagai ekspresi status kelas dan kesadaran mode. "Kalau dulu awal 1980-an yang jualan jilbab masih jarang. Di Sarinah, Thamrin baru aku. Sekarang banyak banget. Sekarang juga banyak anak muda pakai kerudung. Kalau dulu, orang pakai kerudung disangka norak, kepalanya kutuan. Wah, macam-macam," kata Ida Royani yang memelopori bisnis busana muslim.
- Alam Semesta Menjemput Stephen Hawking
ENTAH dari mana masyarakat dunia bisa lebih mendalami ilmu alam semesta modern jika Stephen Hawking tak lahir atas kehendak Yang Kuasa. Namun pada Rabu (14/3/2018) dini hari waktu setempat, ilmuwan cemerlang berkursi roda itu dijemput “alam semesta” di usia 76 tahun di kediamannya, Cambridge, Inggris. Hawking meninggal akibat komplikasi syaraf tubuh. “Mendiang adalah ilmuwan besar dan pria yang luar biasa, di mana hasil pekerjaan dan warisannya akan bertahan bertahun-tahun mendatang. Keberanian, kegigihan, kecerdasan dan humornya menginspirasi orang-orang di seluruh dunia. Kami akan selalu merindukannya,” ucap ketiga anak Hawking, Lucy, Robert dan Tim, disitat BBC , Rabu (14/3/2018). Stephen William Hawking lahir di Oxford, Inggris dari pasutri Frank Hawking dan Isobel Walker pada 8 Januari 1942. Ada keterkaitan angka antara momen lahir dan kematian Hawking dengan dua ilmuwan terdahulu, Galileo Galilei dan Albert Einstein. Hawking lahir 8 Januari 1942, bertepatan dengan 300 tahun kematian Galileo. Sementara 14 Maret adalah hari lahir Einstein. “Kematian Stephen (Hawking) terjadi pada hari ulang tahun ke-139 Albert Einstein,” cuit astronom Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics Jonathan McDowell di akun Twitter -nya @planet4589 , Rabu (14/3/2018). Keenceran otak Hawking sudah terlihat di usia sekolah dasar. Kitty Ferguson dalam Stephen Hawking: His Life and Work menyebutkan, di sekolahnya Hawking sudah dijuluki “Einstein Kecil”. Nahas, pada 1963 sebuah musibah menerpanya. Tak lama setelah merayakan ulang tahun ke-21, Hawking dinyatakan mengidap penyakit syaraf motorik atau Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Tim dokter memvonis Hawking hanya bisa bertahan hidup dua tahun. “Semua harapan saya langsung jatuh ke titik nol saat saya berusia 21 tahun. Sejak itu, semuanya merupakan bonus,” ujar Hawking menjawab pertanyaan The New York Times Magazine . Hawking pun memuaskan hasrat sainsnya sekadar untuk mengisi hari-hari yang ujungnya sudah terperi. Namun, prediksi tim dokter ternyata meleset. Hawking bertahan sampai usia 76 tahun. Dalam rentang waktu nan panjang itu, Hawking menghasilkan banyak temuan. Alhasil, musibah yang menimpanya justru menjadikannya dikenal seperti sekarang: ilmuwan besar berkursi roda dan bersuara dengan bantuan sistem komputer sejak usia muda. Ilmu Alam Semesta Modern dan Warisannya Penyakit tak menghambat antusiasme Hawking pada ilmu alam. Dia tetap bisa menyelesaikan pendidikan di University College di Oxford, kemudian di Trinity Hall, Cambridge. Berkat sejumlah riset dan karyanya, Hawking bahkan menjadi ilmuwan paling dikenal sejak era Einstein. Tidak hanya di bidang fisika, Hawking juga dikenal sebagai kosmolog, astronom, dan pakar matematika ternama. “Karyanya, A Brief History of Time , terjual lebih dari 10 juta copy,” tulis CNN , Rabu (14/3/2018). Bersama fisikawan Roger Penrose, pada 1970 Hawking memadukan Teori Relativitas (karya Einstein) dengan Teori Mekanis Kuantum. Inti karyanya itu bermuara pada gagasan bahwa alam semesta tercipta dari sebuah dentuman besar ( Big Bang Theory) dan akan berakhir akibat Lubang Hitam. Hawking amat vokal –walau mesti dengan alat bantu– terhadap sejumlah isu dunia, terutama menyangkut perdebatan ilmu pengetahuan vs filosofi, agama, politik, dan masa depan umat manusia. Hawking berulangkali memaparkan bahwa manusia sulit untuk bertahan hidup di bumi dalam jangka waktu 100 tahun ke depan, mengingat ancaman perang nuklir hingga invasi alien. “Jika alien mengunjungi kita, hasilnya takkan jauh dari saat (Christopher) Colombus mendarat di Amerika, di mana pribumi Amerika nasibnya tak begitu baik,” cetusnya kepada BBC , 25 April 2010. Dari sederetan karyanya, Hawking menuai segudang gelar dan anugerah penghormatan. Selain gelar CBE pada 1982 dari Kerajaan Inggris atas kontribusinya dalam ilmu pengetahuan, Hawking juga menerima Presidential Medal of Freedom, penghargaan tertinggi untuk sipil di Amerika Serikat, dari Presiden Barack Obama pada 2009. Maka, meninggalnya Hawking menjadi sebuah kehilangan besar bagi dunia. “Sebuah bintang telah pergi ke alam semesta. Kita telah kehilangan seorang manusia yang luar biasa. Hawking menaklukkan alam semesta dengan berani selama 76 tahun dan mengajari kita bahwa kita patut berbangga sebagai umat manusia,” cetus fisikawan dan kosmolog Lawrence M. Krauss di Twitter -nya, @LKrauss1 , Rabu (14/3/2018).
- Perang Dua Pangeran Banten
MAULANA Yusuf, sultan Banten kedua, wafat pada 1580, meninggalkan putra mahkota, Pangeran Muhammad yang baru berusia sembilan tahun. Pangeran Jepara juga mengincar takhta yang ditinggalkan kakaknya itu. Pangeran Jepara merupakan sebutan untuk Pangeran Arya, putra bungsu Maulana Hasanuddin, sultan Banten pertama. Ketika kecil, dia diangkat anak oleh bibinya dari pihak ibu, yaitu Ratu Kalinyamat, yang tak memiliki anak. Setelah meninggal, dia menggantikannya sebagai penguasa Jepara sehingga disebut Pangeran Jepara. Kendati demikian, dia tetap menginginkan takhta Kesultanan Banten. Untuk itu, dia datang ke Banten bersama pasukan bersenjata termasuk di antaranya Kiai Demang Laksamana yang memimpin pertempuran melawan Portugis di Malaka pada 1574. Penggantian Maulana Yusuf, menurut sejarawan Claude Guillot, juga mengakibatkan terbaginya kelompok terkemuka dalam masyarakat menjadi kaum bangsawan dan kaum pedagang. Kaum bangsawan mendukung Pangeran Jepara yang telah dewasa dan berharap mampu mengembalikan hak istimewa para bangsawan dan membatasi pengaruh kaum pedagang dalam pemerintahan Banten. Sedangkan kaum pedagang mendukung Pangeran Muhammad agar dapat mempertahankan kendali politik atas pemerintahan Banten. Javanolog H.J. De Graaf mencatat bahwa dalam usaha merampas takhta dari kemenakannya, Pangeran Jepara mendapat bantuan rahasia dari patih Kesultanan Banten –tak disebut namanya. Usaha itu hampir berhasil. Namun, patih pengkhianat itu, setelah menerima isyarat tertulis dari salah seorang wali raja, merasa menyesal akan perbuatannya, dan selanjutnya justru mengkhianati Pangeran Jepara. Setelah itu, pecahlah pertempuran yang hebat. “Kiai Demang Laksamana tewas . Karena kehilangan abdinya yang terpenting, Pangeran Jepara memutuskan kembali ke Jepara,” tulis De Graaf dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Di pihak kaum pedagang, tokoh utamanya adalah Kiai Wijamanggala. Pedagang asal Mailapore, Tamil ini, bertahan sebagai syahbandar selama lebih dari 20 tahun dan memegang peran besar dalam berbagai peristiwa politik di Kesultanan Banten. “Kiai Wijamanggala bersama empat tokoh penting dari kalangan pedagang berhasil mengusir Pangeran Jepara, dan membentuk dewan kewalirajaan. Tujuan mereka yang bersekutu dengan para pejabat tinggi pemerintahan ( ponggawa ) untuk menguasai kewalirajaan yang tak lain adalah pimpinan negara sampai Muhammad mencapai dewasa,” tulis Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Tak lama setelah naik takhta, Pangeran Muhammad meninggal dunia dalam penyerangan ke Palembang pada 1596. Dia meninggalkan putranya, Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir, yang berusia beberapa bulan sebagai pewaris takhta. Kewalirajaan yang kedua ini ditandai dengan banyak pertikaian antara kaum pedagang dan ponggawa melawan kaum bangsawan yang berusaha merebut kembali pengaruh atas Kesultanan Banten. Puncaknya pada 1609 terjadi perang saudara selama beberapa bulan. Kaum pedagang di bawah tiga orang Tamil berkubu di sekitar pelabuhan. Kaum bangsawan menang mudah karena terbiasa menggunakan senjata dan memiliki banyak pendukung. Syahbandar Wijamanggala terbunuh dan sekitar 7000 orang, terutama para pedagang, meninggalkan Banten menuju Batavia. Akhirnya, kaum bangsawan di bawah Pangeran Ranamanggala mengambilalih pimpinan kewalirajaan. Namun, dia ditentang pedagang Belanda dan Inggris karena memutuskan untuk menghentikan seluruh perdagangan internasional dan melarang penanaman lada. “Kejadian ini berdampak besar,” tulis Guillot. “Kekalahan para pedagang mengakhiri setengah abad kebijakan perdagangan bebas yang berhasil dilaksanakan oleh Banten.”
- Kematian Stalin dalam Banyolan
KUNTSEVO, Uni Soviet, suatu malam di awal Maret 1953. Di ruang kerjanya di dacha (rumah peristirahatan), Joseph Stalin (Adrian McLoughlin) terbahak-bahak begitu membaca sebuah pesan yang terselip di sesela kiriman rekaman piringan hitam. Pesan itu pesan sarkasme dari pianis cantik Maria Yudina (Olga Kurylenko). Saking tergelitiknya membaca pesan itu, Stalin sampai tak bisa menguasai dirinya. Sekejap kemudian, dia ambruk ke lantai. Adegan itu membuka The Death of Stalin besutan Armando Iannucci. Meski mengisahkan detik-detik terakhir Stalin dan beragam intrik yang mengitarinya, Ianucci tak mengisahkannya dengan penuh adegan ketegangan tapi justru mengemasnya sebagai sebuah slapstick . Adegan berganti. Lavrenty Beria (Simon Russel Beale), kepala Polisi Rahasia Uni Soviet NKVD, mengunjungi Stalin yang tersungkur dengan air kencing membasahi karpet akibat pendarahan otak. Beria langsung memanfaatkan momen sepi itu dengan mengutil sejumlah dokumen penting yang ada di ruang Stalin. Beria “menang”. Aksinya selesai sebelum para kamerad Stalin seperti Georgy Malenkov (Jeffrey Tambor), deputi Sekjen Central Committee (CC) Partai Komunis Uni Soviet; Nikita Khrushchev (Steve Buscemi), ketua PK Moskow; dan Nikolai Bulganin (Paul Chahidi), menteri pertahanan, tiba. Stalin, yang sempat siuman pada 5 Maret 1953, kembali tumbang. Tim dokter menyatakan dia meninggal. Kematiannya membuat konflik dan intrik yang mengitari kekuasaannya, terutama antara Beria dan Khrushchev, mengemuka. Adegan-adegan konflik keduanya langsung mendominasi film. Baik Beria maupun Khrushchev sama-sama berupaya menarik kamerad-kamerad lain untuk berkubu di belakangnya. Beria, yang mengklaim punya semua dokumen yang bisa merugikan citra para politisi, berada di atas angin. Dia memerintahkan NKVD mengawasi markas-markas tentara di Moscow dan sekitarnya. Namun, keputusan Beria mengizinkan para uskup Kristen Ortodoks memberi penghormatan pada jenazah Stalian sebelum dikuburkan pada 9 Maret 1953 menjadi titik balik bagi langkah politiknya. Khrushchev memanfaatkan betul momen itu setelah sebelumnya berhasil menggaet panglima tentara Marsekal Georgy Zhukov (Jason Isaacs) ke dalam kubunya. Zhukov kecewa terhadap Beria lantaran serdadunya dilarang secara sepihak oleh NKVD memasuki Moscow. Bersama Zhukov, Khrushchev merancang kudeta. Dalam sebuah rapat CC partai yang dipimpin Malenkov (Michael Palin) dan Beria, Zhukov dan serdadunya berhasil menangkap Beria. Moscow direbut Tentara Merah. Khrushchev-Zhukov menang. Kemenangan itu langsung diikuti aksi eksekusi Tentara Merah terhadap para loyalis Beria. Beria sendiri menjalani sidang darurat di sebuah gudang. Khrushchev membacakan sejumlah tuduhan terhadapnya, termasuk pemerkosaan Beria terhadap sejumlah gadis, bahkan anak di bawah umur. Dan, sutradara menutup film dengan ending klimaks yang tak terlalu baik. Adegan-adegannya mudah ditebak. Semuanya bermuara pada kemudahan Khruschchev, yang anti-Stalin, dan kubunya; di sisi lain, kubu lawan politik, termasuk keturunan Stalin, memasuki masa kegelapan. Kontroversi, Akurasi, dan Militansi Meski baru tayang di Amerika Serikat pada 9 Maret 2018 lalu, premier drama-satir ini berlangsung pada 8 September 2017 di Inggris. Film berdurasi 107 menit ini menimbulkan kontroversi di kalangan pemerintah Rusia sehingga tak mendapat izin tayang. “Saya tak pernah melihat film yang lebih menjijikkan dari ini. Filmnya mengandung elemen-elemen ekstrimis,” ujar Yelena Drapeko, anggota Komite Kebudayaan Parlemen Rusia, sebagaimana dilansir RBK , 24 Januari 2018. Kemarahan pemerintah Rusia bersumber dari sejumlah adegan komedi-fiktif yang sengaja dihadirkan Iannucci. Adegan ketika Malenkov menyiapkan fotonya yang berpose meniru Stalin –berfoto dengan seorang gadis cilik, misalnya, amat mengolok bagi pemerintah Rusia. Sebagai film sejarah pun, Iannucci acap terpeleset dalam hal fakta. Sebagai contoh, adegan penyidangan Beria, digambarkan dilakukan secara darurat di sebuah gudang. Faktanya, Beria menjalani persidangan secara formal beberapakali, terakhir di Mahkamah Agung Luar Biasa, 23 Desember 1953. Dakwaan yang dituduhkan kepada Beria pun bukan sebagaimana disajikan dalam film, pemerkosaan dan pedofilia. Beria faktanya didakwa dengan pasal pengkhianatan, terorisme, dan kontra-revolusioner –tak ada sama sekali catatan dakwaan pemerkosaan atau pedofilia. Toh, film sejarah bukanlah buku sejarah yang melulu berisi fakta dan analisa. Terlepas dari biasanya plot dan alur plus pandangan miring “kacamata” Rusia, Iannucci berhasil menghadirkan sebuah drama apik dari sebuah masa di mana intrik amat kuat di berbagai tempat. Hebatnya, Iannucci berani mendobrak. Dengan kemasan slapstick -nya, dia berhasil menampilkan fakta mengerikan yang lama “gelap” dari sebuah periode historis sekaligus mengolok-olok pihak yang di masanya amat ditakuti banyak orang. Kritikus film Masha Gessen sampai memuji film ini di artikelnya yang dimuat The New Yorker , 6 Maret 2018. “Dalam 15 menit pertama, mungkin Ianucci menggambarkan suasana kehidupan yang paling akurat di bawah rezim teror Soviet,” ujar Gessen.





















