Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jenderal Soedirman Tak Selalu Ditandu
JENDERAL Soedirman tak selalu ditandu ketika bergerilya. Dari Kompleks Mangkubumen Yogyakarta, dia dan pengawalnya naik mobil dan pick-up . Belanda mengetahui perjalanannya itu, sehingga pesawat cocor merah menghujani rombongan. “Rupanya mereka dapat mengetahui rombongan kami karena pada mobil yang kami tumpangi itu masih terpasang bendera Panglima Besar. Dalam keadaan gawat itu Pak Dirman saya dorong ke semak di pinggir jalan sehingga beliau terhindar dari bahaya maut,” kata Harsono Tjokroaminoto dalam otobiografinya Selaku Perintis Kemerdekaan . Harsono menjadi penasihat politik Soedirman selama bergerilya. Lolos dari bahaya, Soedirman melanjutkan perjalanan dengan mobil sampai Bantul, lalu Kretek. Untuk menghilangkan jejak, Kapten Tjokropranolo, pengawal Soedirman, memerintahkan mobil dan pick-up yang dipakai rombongan dibawa pergi sejauh mungkin, kalau perlu dirusak di lain tempat. Malam itu juga, Soedirman dan rombongan menyeberangi Kali Opak. Sesampainya di seberang kali, mereka dijemput lurah Mulyono Djiworedjo, dengan dokar namun tanpa kuda. “Tanpa pikir panjang, Pak Dirman dipersilakan untuk naik dokar dan sayalah yang menjadi kudanya, sedangkan para pengawal lain mendorong dari belakang,” kata Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia . Sejak dari Kelurahan Grogol, Soedirman harus ditandu yang diusung oleh penduduk secara bergantian. “Beliau harus ditandu karena kesehatannya tidak mengizinkan lagi untuk berjalan,” kata Harsono. “Di setiap tempat kami berhenti,” sambung Tjokropranolo, “dibuatkan tandu yang baru untuk membawa Panglima.” Bila tidak ditandu, Soedirman naik dokar, seperti dari Playen ke desa Semanu. Dari Semanu, Soedirman ditandu lagi sampai Bedoyo dan sambung lagi dengan dokar yang lengkap dengan kudanya. “Untunglah saya tidak perlu lagi jadi kuda,” kata Tjokropranolo. Bahkan, bila rutenya jalan raya, rombongan Soedirman memakai mobil, seperti dari Pracimantoro sampai Wonogiri dan Wonogiri menuju Ponorogo. Mobil itu kiriman Staf Divisi Kolonel Gatot Subroto dari Solo. Namun, bila medannya berat dan tidak bisa ditandu atau digendong, Soedirman pun jalan kaki, seperti saat menuju markas Gatot Subroto di Gunung Lawu. “Kita merasa sedih melihat Pak Dirman harus berjalan kaki sendiri menerobos hutan tanpa digendong atau ditandu, karena jalannya yang terjal dan sempit. Kursi sebagai tandu pun tidak ada. Adakalanya beliau harus kita dorong dari belakang kalau jalannya sangat tinggi dan harus ditarik dari atas kalau jalannya terlalu terjal,” kenang Tjokropranolo. Bahkan, ketika melalui jalan yang sulit di punggung bukit, Soedirman jatuh dari tandu karena seorang pemikul tergelincir. Seorang pengawal yang membawa perbekalan hendak menolongnya malah terpeleset dan bawaannya itu menimpa Soedirman. “Apa kamu mau membunuh saya,” kata Soedirman dalam Soedirman Prajurit TNI Teladan . Belanda terus memburu Soedirman. “Karena itu nama Soedirman harus lenyap. Sebagai gantinya dipergunakan nama Pak De,” tulis Sudirman Prajurit TNI Teladan . Selain itu, untuk mengelabui Belanda, dibuat “Soedirman palsu” yang dikawal Kapten Soepardjo Rustam, ajudan Soedirman. “Kebetulan dalam rombongan kami ada seorang pemuda bernama Heru Keser (seorang letnan muda Angkatan Laut- Red. ) yang wajah dan perawakannya mirip Pak Dirman. Maka Pak Dirman palsu ini kami beri mantel dan tutup kepala beliau dan tetap menempuh rute yang sudah ditentukan. Sedangkan Pak Dirman yang asli kami lewatkan ke rute lain sehingga rombongan terhindar dari sergapan tentara Belanda,” ungkap Harsono. Menurut Sudirman Prajurit TNI Teladan, taktik “Soedirman palsu” itu berhasil antara lain di Wonosari, dimana Kapten Nolly –panggilan Tjokropranolo– mengumumkan bahwa Soedirman ada di kota itu. Belanda pun menyerang besar-besaran dengan menerjunkan pasukan para di kota itu untuk menangkap Soedirman, yang ternyata palsu. Mujur, “Soedirman palsu” pun berhasil lolos. Strategi “Soedirman palsu” ini juga dilakukan ketika di Kediri. “Semalam-malaman Pak De didukung (digendong, red. ) Kapten Nolly, sedangkan Heru Keser, seperti biasa naik tandu,” tulis Sudirman Prajurit TNI Teladan. Dengan berbagai upaya tersebut, Soedirman berhasil dalam bergerilya. Dukuh Sobo di Pacitan menjadi tempat Soedirman memimpin gerilya paling lama (1 April-7 Juli 1949). Tiga hari kemudian, 10 Juli 1949, Soedirman tiba di Yogyakarta.*
- Ketika HOS Tjokroaminoto Dituduh Korupsi
PEMIMPIN Central Sarekat Islam (CSI), koordinator Sarekat Islam lokal, Haji Agus Salim dan Soerjopranoto, berusaha mendepak kaum komunis yang berada di SI Semarang, di bawah Semaun sekaligus pendiri dan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka menggelar pertemuan pimpinan CSI di Yogyakarta pada 30 September 1920, tanpa dihadiri ketua SI, HOS Tjokroaminoto, karena sedang menghadiri persidangan kasus Afdeling B, Cimareme, Garut. Semaun juga tidak hadir karena sedang di Moskow, dan mengutus Darsono untuk mewakilinya. Pimpinan CSI yang tidak hadir kebanyakan dari kelompok tengah dan kiri yang enggan berpisah dengan pihak komunis. Agus Salim dan Soerjopranoto menolak Darsono dengan alasan dia bukan anggota penuh CSI. Dalam Menjadi Indonesia , Parakitri T. Simbolon menulis bahwa rapat pimpinan CSI itu semacam kudeta terhadap Tjokroaminoto. Karena keputusan rapat ini mempreteli Tjokroaminoto hanya sebagai ketua kehormatan dengan tugas memimpin propaganda umum. Semua anggota pimpinan yang dekat dengannya dikeluarkan, sedangkan sekretariat CSI dipindahkan dari Surabaya ke Yogyakarta. Kepemimpinan baru CSI dipegang oleh Soerjopranoto (wakil ketua), Agus Salim (sekretaris), dan Fachrudin (bendahara). Putusan penting lain adalah menyelenggarakan kongres CSI dalam dua minggu kedepan sejak pertemuan diselenggarakan, yakni 16 Oktober 1920. Penetapan ini mengabaikan telegaram dari Tjokroaminoto agar menunda kongres CSI. Putusan tersebut, menurut Parakitri, tidak bisa dilaksanakan gara-gara tulisan Darsono di Sinar Hindia pada 6, 7, dan 9 Oktober 1920. Rangkaian tulisan ini menyerang Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo (wakil sekretaris) karena menyelewengkan uang CSI untuk kepentingan sendiri. Darsono menulis “karena kas CSI kosong, Tjokroaminoto meminjamkan uang 2.000 gulden untuk kas itu, tapi dengan jaminan mobil, yang sebenarnya dibeli oleh bendahara CSI untuk dipakai oleh ketua CSI. Baik bendahara maupun ketua CSI itu adalah Tjokroaminoto sendiri. Ketua CSI itu mampu pula membeli mobil seharga 3.000 gulden dan perhiasan untuk istrinya yang kedua. Demikian juga halnya dengan Brotosoehardjo, yang sering menggunakan uang kas CSI untuk keperluan sendiri.” Menurut Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia , sangatlah beralasan untuk menganggap tuduhan Darsono tersebut benar, karena kas CSI ternyata hampir kosong. Meskipun demikian, McVey mengakui, “tanggungjawab keuangan bukanlah kelebihan kepemimpinan SI dan pihak komunis pun tidak terbebas dari kelemahan keuangan semacam itu.” Dalam tulisanya terakhir, Darsono bertanya, “mengapa kas CSI hampir kosong tapi Tjokroaminoto banyak uang. Rakyat kecil (kromo) memerlukan pemimpin yang jujur, berbudi, kukuh pendirian, tinggi cita-cita dan perilaku tak tercela. Pergerakan bumiputra berada pada tahap yang sulit. Sudah waktunya memberesihkan diri sendiri, menebus kesalahan.” “Nama baik keduanya, terutama Tjokroaminoto, demikian hancur sampai istilah ‘men-Tjokro’ di kalangan SI berarti ‘menyeleweng’,” tulis Parakitri. Tuduhan Darsono itu merupakan pukulan berat bagi Tjokroaminoto di depan umum, karena dia dianggap seorang pemimpin ideal yang mewakili citra seorang Ratu Adil.*
- Tuduhan Korupsi Tak Terbukti, HOS Tjokroaminoto Maafkan Darsono
DARSONO tidak menyerang pemimpin Sarekat Islam Yogyakarta, seperti Haji Agus Salim dan Soerjopranoto, padahal mereka yang berusaha keras menendang kaum komunis dari SI, sebaliknya HOS Tjokroaminoto berupaya menjaga persatuan SI. “Meski demikian tuduhannya telah membahayakan posisi mereka karena mereka memerlukan prestise Tjokroaminoto sebagai pemimpin nonkomunis SI untuk memperoleh dukungan guna menyingkirkan kelompok kiri,” tulis McVey. Akhirnya, Tjokroaminoto dan pimpinan SI Yogyakarta berpolemik dengan SI Semarang yang dipicu oleh tudingan Darsono. “Mereka membuat pernyataan panjang yang menjelaskan tuduhan-tuduhan yang ditujukan pada diri mereka (yang dirasa akan dipercaya rakyat dan menentang lawan politik mereka), juga menerangkan butir-butir yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersalah,” tulis McVey. Kedua pihak, lanjut McVey, sama-sama menyatakan tidak memecah-belah Sarekat Islam, persatuan gerakan nasional harus tetap diutamakan dalam melawan kapitalisme. Namun, kedua pihak bersikeras ingin membersihkan organisasi; SI Semarang ingin menjauhkan SI dari pemimpin korup dan peragu; sedangkan SI Yogyakarta ingin menyingkirkan elemen komunis yang mengganggu. Menurut Parakitri, Tjokroaminoto menanggapi tuduhan Darsono itu sebagai tikaman dari belakang. Bagi Agus Salim dan Soerjopranoto, tanggapan itu berarti hubungan Tjokroaminoto dengan PKI sudah retak, sedang dengan mereka semakin kuat. “Segera sesudah itu kubu Yogyakarta mulai menghantam kubu Semarang dengan sekuat tenaga,” tulis Parakitri. Fachrudin menuduh Darsono memusuhi Islam sesuai dengan keputusan kongres kedua Komintern Juli 1920, yang menggariskan, partai komunis mendukung gerakan antikolonialisme di Asia tapi sekaligus melawan Pan-Islamisme. Dengan demikian, menurut mereka, komunis menentang “persatuan Islam” dan bukan –sebagaimana yang dikatakan oleh Semarang– “penyalahgunaan Islam”, yaitu penggunaan agama untuk membenarkan kerakusan dan penindasan. “Kaum komunis dengan keras membantah setiap ketidaksesuaian prinsip mereka dengan Islam,” tulis McVey. “Namun, dalam kongres PKI Desember 1920, PKI mengakui tidak ada cara cukup efektif untuk mengatasi serangan ini.” Pertentangan SI Semarang dengan SI Yogyakarta diselesaikan melalui kongres SI pada 2-6 Maret 1921. Menurut McVey, Semaun dan Agus Salim, menyusun suatu program berdasarkan prinsip-prinsip Islam dan komunis. Masalah tuduhan Darsono kepada Tjokroaminoto diselesaikan dengan baik dan bersahabat. Hasil rapat tertutup pada hari pertama kongres –banyak yang menghendaki rapat terbuka; memutuskan untuk memaafkan Darsono, tapi bukan substansi tuduhannya. Untuk itu, lanjut McVey, Darsono juga ditunjuk menjadi anggota komite yang menyelidiki penggunan dana CSI oleh Tjokroaminoto, “sehingga mengubur isu tersebut karena diperkirakan tidak akan ada yang dapat dibuktikan oleh investigasi.”*
- Van Heutsz, Pahlawan di Belanda Penjahat di Aceh
PADA 26 Maret 1873, kapal komando Citadel van Antwerpen melego jangkar di perairan Aceh. F.N. Neuwenhujzen, perwakilan Dewan Hindia Belanda memaklumatkan perang karena Kesultanan Aceh menolak tunduk pada kuasa kolonial. Berkobarlah Perang Aceh (1873-1914). Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924) hadir ketika pemerintah kolonial nyaris kehilangan akal sambil menghitung kerugian sumberdaya manusia dan ekonomi akibat Perang Aceh. Di awal perang Van Heutsz hanya seorang letnan dua, pangkatnya melesat menjadi gubernur militer di Aceh pada 1898. “Sukses Jenderal van Heutsz di Aceh membuatnya menjadi pahlawan ekspansionis yang populer, dan pendukungnya berhasil membungkam keraguan dan suara kritis (dari pendukung antiimperialisme) di media dan parlemen Belanda,” tulis sejarawan Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia . Untuk menaklukan Aceh, Van Heutsz tukar pikiran dengan Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Hasilnya, dia melakukan manuver mematikan mulai dari mengadu domba garda depan perlawanan gerilya rakyat Aceh, kaum ulama dan uleebalang (bangsawan); merestrukturisasi pasukan, dan strategi bumi hangus, sampai pembantaian. Berkat aksinya di Aceh, pamor Van Heutsz kian naik sampai puncak menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (1904-1909). Meski namanya kontroversial sebagai figur kolonialis dan imperialis Belanda, Van Heutsz tetap meninggalkan warisan ketokohan besar yang membuat namanya tetap dikenang dalam memori kolektif masyarakat Belanda. Namanya diabadikan mulai dari nama kapal sampai lagu mars. Kapal Kapal Van Heutsz diluncurkan pada Maret 1926. Kapal penumpang ini melayari rute Hindia Belanda ke Singapura dan Cina dalam naungan Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda (KPM). Selama Perang Dunia II, Van Heutsz disewakan kepada Kementrian Transportasi Perang Inggris terhitung sejak 25 Juni 1942, sebelum akhirnya berhenti beroperasi pada 1957. Dua tahun kemudian jadi besi tua. Monumen Pada 1932, monumen Van Heutsz didirikan di Aceh dan Batavia (sekarang Jakarta). Monumen di Batavia terletak di Menteng, begitu megah dengan relief orang Aceh, Jawa dan Papua yang melambangkan tuntasnya pasifikasi Belanda pada masa pemerintahan Van Heutsz. Sejak zaman pendudukan Jepang, monumen ini jadi sasaran perusakan karena melambangkan sentimen kolonial. Monumen ini dihancurkan pada 1953 dan di lahannya didirikan Masjid Cut Meutia. Pada 15 Juni 1935, Ratu Belanda Wilhelmina meresmikan monumen Van Heutsz di Amsterdam di tengah kritik keras dari kaum komunis dan sosialis. Monumen itu tingginya 18,7 meter, dengan patung perempuan memegang lembaran hukum, dan relief-relief lainnya. Pada 1943, anak Van Heutsz, seorang perwira SS Nazi, Johaan Bastiaan Heutsz, menulis surat kepada walikota Amsterdam meminta monumen itu dipugar. Setelah menjadi target vandalisme berulang kali, bahkan empat kali percobaan peledakan dengan dinamit, monumen ini akhirnya dipugar pada 2004 dan namanya diganti menjadi Monumen Belanda-Indonesia untuk mengenang hubungan historis kedua negara. “Semenjak awal, Monumen Van Heutsz menjadi fokus protes menentang pemerintahan kolonial, penindasan, dan bahkan dugaan kejahatan perang oleh pasukan Belanda,” tulis Willeke Wendrich, “Visualizing the Dynamics of Monumentality,” termuat dalam Approaching Monumentality in Archaeology suntingan James F. Osborne. “Namun tetap saja, ingatan kultural akan monumen yang ‘lama’ tetap terpatri, dan pada tahun 2011 sekali lagi monumen ini mengalami aksi perusakan,” tambahnya. Jalan Tak jauh dari Monumen Van Heutsz di Menteng, terdapat jalan Van Heutsz Boulevaard . Jalan raya lebar ini dibangun untuk memfasilitasi kawasan elite Menteng yang penuh dengan bangunan-bangunan mewah. Ketika Indonesia merdeka, Van Heutsz Boulevaard berganti nama menjadi Jalan Teuku Umar, pahlawan perang Aceh. Resimen Citra militeristik Van Heutsz hidup kembali dalam nama resimen infantri tentara Kerajaan Belanda, Regiment van Heutsz , yang dibentuk pada 1 Juli 1950. Resimen yang berperan dalam aksi pertahanan udara ini dibentuk sebagai “pembawa tradisi KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda)” dan dipersiapkan sebagai partisipasi Belanda dalam Perang Korea (1950-1953). “Pasukan yang personelnya terdiri dari beragam latar belakang itu dibentuk, termasuk dari mantan anggota resistansi (perlawanan), pasukan pembebas Belanda, bahkan mantan tentara Nazi. Mereka ditempatkan di Korea sampai 1954. Total 158 perwira dan 3.192 personel lainnya bertempur di Korea,” tulis Paul M. Edwards dalam United Nations Participants in the Korean War: The Contributions of 45 Member Countries. Resimen Van Heutz terlibat dalam tiga pertempuran kunci antara 1951-1953. Resimen ini mendapat medali penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat dan Belanda. Resimen ini masih aktif sampai sekarang dan tugas terakhirnya pada 2010 sebagai pasukan multinasional di Afghanistan. Mars Nama Van Heutsz turut diabadikan dalam sebuah mars militer, seperti tercantum dalam sebuah situs tentang Van Heutsz (vanheutsz.nl). Mars tersebut, yang dinamakan Mars Van Heutsz, diciptakan oleh A. Van Veluwen dan dipentaskan untuk kali pertama pada 1954. Mars ini menjadi mars milik Resimen Van Heutsz. Komposisi mars ini kemudian menginspirasi lagu yang populer di kalangan komunitas Indo-Belanda, berjudul “Ajoen."*
- Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832
PADA 7 Februari 1831, kapal dagang berbendera Amerika Serikat, Friendship , berlabuh di Kuala Batu, Aceh Barat Daya, untuk mengangkut lada. Kehadiran kapal-kapal dagang Amerika di pantai barat Sumatra sudah menjadi pemandangan biasa sejak pergantian abad ke-19. Namun kegiatan transaksi jual beli yang semestinya berjalan seperti biasa tersebut, lantas menjadi malapetaka bagi awak Friendship . Friendship melepas jangkarnya dari kota Salem, Massachusetts, salah satu kota pelabuhan terpenting Amerika dalam urusan perdagangan di Timur Jauh kala itu. Dalam misinya membeli lada ke Kuala Batu, Friendship dipimpin oleh Kapten Charles M. Endicott. Friendship berlabuh dan Endicott beserta beberapa anak buahnya turun untuk menegosiasikan harga. Situasi mulai terasa aneh ketika tiga perahu kayu penuh dengan penduduk yang bersenjata mengerubungi Friendship , dan kemudian menyerangnya. Awak kapal Friendship berhamburan, dan beberapa lainnya tewas. Friendship dirampas. “Melihat kekacauan tersebut dari pantai, Endicott dan awaknya yang tersisa melarikan diri dengan sampan ke Muki, meminta bantuan dari tiga kapten kapal lain di sana (yang juga berasal dari Salem) untuk merebut kembali Friendship ,” tulis David Foster Long dalam Gold Braid and Foreign Relations: Diplomatic Activities of U.S. Naval Officers 1798-1883 . Friendship dapat direbut kembali, namun kargonya yang terdiri dari lada, opium, dan lain-lain senilai US$50.000 lenyap. Protes keras dilayangkan kepada uleebalang (kaum bangsawan) di Kuala Batu, namun tak digubris. Perampasan Friendship ini menjadi sensasi di Amerika, yang direspons oleh Presiden Andrew Jackson dengan mengirim ekspedisi militer untuk menghukum penduduk Kuala Batu. Maka, dikirimlah Komodor John Downes, dengan menahkodai Potomac beserta lebih dari 300 prajuritnya ke Aceh pada 28 Agustus 1831. Ini menjadi intervensi militer Amerika Serikat pertama di Asia. Logo Kota Salem. Potomac berlabuh di Kuala Batu pada 5 Februari 1832, menyamarkan dirinya sebagai kapal dagang Denmark. Penduduk Kuala Batu tidak curiga. Downes dan 282 prajuritnya tiba-tiba menyerang. Kuala Batu dibombardir dan terbakar hebat, dan meski penduduknya telah melawan sekuat tenaga, perbedaan teknologi senjata membuat mereka akhirnya menyerah. Lebih dari 450 penduduk Kuala Batu, termasuk wanita dan anak-anak, tewas. Di pihak Amerika, dua prajurit tewas dan sebelas orang luka-luka. Potomac pun berlayar pulang setelah memberi peringatan keras terhadap penduduk yang menyerah untuk tidak lagi menyerang kapal-kapal Amerika. Nantinya, meski mendapat kritik keras publik di kampung halaman, keputusan Downes dianggap tepat oleh Presiden Andrew Jackson sendiri. Mengapa Penduduk Kuala Batu Menyerang Friendship? Salah satu sebab khususnya adalah karena mereka muak dengan pedagang Amerika yang suka mencurangi takaran timbangan. “Endicott menghabiskan banyak waktu dengan Po Adam, uleebalang setempat, yang memperingatkannya bahwa raja-raja lokal tengah marah karena turunnya harga lada dan kapten-kapten kapal yang kabur dengan tidak membayar penuh,” tulis Robert Booth dalam Death of an Empire: The Rise and Murderous Fall of Salem, America’s Richest City . Setelahnya, arus kapal-kapal dagang dari Salem ke Aceh kian intensif. Pada 1839, pemerintah kota Salem kemudian memutuskan untuk membuat logo kota bergambarkan sosok penduduk dengan pakaian khas Aceh dan kalimat berbahasa Latin: “Ke pelabuhan terjauh yang kaya di Timur.” “Logo tersebut merupakan contoh bagaimana Salem memaknai aktivitas dagangnya di Hindia sebagai simbol kejayaan dan keterlibatannya dalam dunia komersial internasional,” tulis Jessica Lanier, “Salem’s China Trade: Pretty Presents and Private Adventures,” termuat dalam Global Trade and Visual Arts in Federal New England suntingan Patricia Johnston dan Caroline Rank.*
- Air Mata Bung Karno Meleleh di Aceh
SEBAGAI upaya untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda, pada Juni 1948, Presiden Sukarno melakukan muhibah ke Aceh. Di ranah rencong tersebut, Sukarno disambut gempita oleh rakyat Aceh dan didapuk sebagai pemimpin oleh para tokoh setempat. Dalam sebuah pertemuan dengan Tengku Daud Beureuh, Sukarno berharap agar tokoh terkemuka Aceh itu mengajak rakyatnya dalam perjuangan melawan Belanda. Daud Beureuh menyambut ajakan Sukarno dengan senang hati. Dia menyatakan sanggup memenuhi permintaan tersebut asal perang dikobarkan adalah perang sabil, perang untuk menegakkan agama Allah. “Sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu, maka kami berarti mati syahid,” ujar Daud Beureuh dalam Kisah Kembalinya Tengku Muhammad Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia karya M. Nur El Ibrahimy. Sukarno mengiyakan permintaan Daud Beureuh. Dia mengajukan permohonan kedua bahwa apabila perang telah selesai, rakyat Aceh diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam. Permintaan ini juga dikabulkan oleh Sukarno. “Hal itu tak usah Kakak (panggilan akrab Sukarno kepada Daud Beureuh) khawatir, sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam,” kata Sukarno. “Tapi maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari saudara Presiden,” ujar Daud Beureuh. “Baiklah kalau demikian, saya setujui permintaan Kakak itu.” “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh, saya mengucapkan terimakasih banyak atas kebaikan Saudara Presiden. Kami mohon, sudilah kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini,” kata Daud Beureuh seraya menyodorkan selembar kertas kepada Sukarno. Alih-alih menyambut kertas itu, Sukarno malah terisak-isak dan lantas berkata pelan: “Kakak, kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” “Bukan kami tidak percaya Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak berperang,” jawab Daud Beureuh. Seraya menyeka air matanya, Sukarno berkata: “Wallah, Billah, kepada rakyat Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan mempergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syariat Islam di daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?” “Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hati Saudara Presiden,” ujar Daud Beureuh. Mendengar janji tersebut, tokoh-tokoh Aceh semakin mempercayai Sukarno. Sukarno dipersilakan menyebutkan kebutuhan urgen dari pemerintah. “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk membuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau…” kata Sukarno. Rakyat Aceh merogoh saku dan mencopot perhiasan yang ada di tubuh mereka. Begitu tingginya semangat untuk berkorban, hingga konon antrian para donatur, baik orang kaya maupun rakyat biasa, di beberapa masjid dan pusat pemerintahan Kotaradja (sekarang Banda Aceh) panjangnya sampai ratusan meter. Beberapa jam kemudian terkumpulah dana sebesar 120.000 straits dollar ditambah 20 kg emas. Dengan modal tersebut, Indonesia berhasil membeli RI-001 Seulawah (Gunung Emas), pesawat kepresidenan pertama dalam sejarah Indonesia. “Beureuh, setelah berhasil menghimpun dana untuk perjuangan RI, memohon kepada Sukarno agar mengizinkan diberlakukannya syariat Islam di Aceh. Bung Karno setuju, tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan Beureuh,” tulis Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syariat Islam Dari Indonesia sampai Nigeria . Sayangnya, Sukarno kemudian tidak menepati janjinya. Demi alasan persatuan, dia menolak pemberlakuan syariat Islam di wilayah manapun di Indonesia. Dia menegaskan dalam pidatonya di hadapan rakyat Amuntai, Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953: “Indonesia adalah sebuah negara nasional yang berideologi Pancasila, dan bukan sebuah negara teokrasi dengan haluan agama tertentu,” demikian dikutip Mimbar Penerangan , Tahun IV, No. 2, Februari 1953. Akibatnya, Aceh mengalami resistensi dan sebagai bentuk pertanggungjawaban politik, pada September 1953, Daud Beureuh memutuskan masuk hutan dan bergabung dengan DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Kekecewaan terhadap Sukarno tetap digenggamnya. Menurut Taufik dan Samsu, Beureuh bersedia turun gunung dengan syarat pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Pada 1960, Beureuh turun gunung disambut dengan pengumuman Konsepsi Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Daerah Istimewa Aceh. Pada 1961, keluar peraturan daerah No. 30/1961 yang membatasi penjualan minuman dan makanan di bulan Ramadan. Pada 1962, Pangdam I/Iskandar Muda, M. Jasin sebagai Penguasa Perang Daerah, mengeluarkan keputusan No. 061/3/1962 tentang berlakunya syariat Islam di Aceh dan pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Dan pada 1963, terbit peraturan daerah No. 1/1963 tentang pelaksanaan syiar agama Islam di Aceh. Sejak saat itu hingga sekarang pemerintah daerah mengeluarkan berbagai peraturan daerah terkait penerapan syariat Islam di Aceh.*
- Sadikin, Proklamator Tentara Nasional Indonesia
SEJARAH resmi mencatat bahwa Tentara Nasional Indonesia terbentuk pada 5 Oktober 1945 –diperingati sebagai hari ulangtahun TNI. Namun, ternyata proklamasi tentara Indonesia telah dilakukan sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sehari sebelumnya, 16 Agustus 1945, Sadikin, seorang bintara Heiho (pembantu prajurit Jepang) bagian artileri udara, mendapat kabar bahwa Jepang telah melakukan kapitulasi atau penyerahan terhadap Sekutu. Dia bersama teman-temannya meminta tentara Jepang untuk tetap di kantor. Dia mengambil-alih pimpinan upacara pengibaran bendera merah putih. “Pada upacara apel Sadikin berpidato bahwa Indonesia sudah merdeka dan Peta/Heiho jadi Tentara Nasional,” kata Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal. Di buku lain, Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai , Nasution bahkan menyatakan “Sadikin memproklamirkan Indonesia jauh lebih pagi daripada Bung Karno yang saat itu masih ragu-ragu.” Sadikin lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 11 April 1916. Dia menjadi sersan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dari 1939 sampai Jepang menduduki Indonesia. Dia kemudian bergabung dengan bagian artileri udara Heiho serta bertugas di Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Menurut Purbo S. Suwondo dalam PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, dalam pidato proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sukarno menghindari pembentukan tentara nasional. Salah satu alasannya karena Jepang dan Inggris (Sekutu) masih memiliki persenjataan lengkap. Baru pada 23 Agustus 1945, Sukarno mengumumkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dia mengundang bekas anggota Peta, Heiho, dan para pemuda untuk memasuki BKR sambil menunggu terbentuknya tentara nasional, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pada 5 Oktober 1945. TKR berubah menjadi Tentara Republik Indonesia pada Januari 1946 dan Tentara Nasional Indonesia pada 3 Juni 1947. Proklamasi tentara oleh Sadikin dijejaki oleh Inspektur I Moehammad Jasin, komandan Polisi Istimewa, yang memproklamasikan Polisi Republik Indonesia di halaman markas Polisi Istimewa, Jalan Coen Boelevard, Surabaya –kini Jalan Polisi Istimewa– pada 21 Agustus 1945. Baca juga: Komandan dan Polisi Istimewa Tonton juga: Komandan dan Polisi Istimewa Karier Sadikin terbilang cemerlang. Di masa revolusi, dia berturut-turut menjadi komandan Resimen 6 Cikampek, Brigade 4 Divisi Siliwangi di Tasikmalaya, Brigade 2 Divisi Siliwangi yang hijrah dan berkedudukan di Surakarta, dan kemudian komandan daerah militer Madiun setelah memadamkan peristiwa PKI Madiun. Puncaknya, dia menjabat panglima Divisi Siliwangi (1949-1951) dan panglima Tanjungpura (1951-1956). Setelah itu, dia menjadi inspektur jenderal teritorial dan perlawanan rakyat di markas besar AD. Di masa pensiun, Sadikin menjadi presiden direktur PT Bank Internasional Indonesia di Jakarta dan ketua BPC (Badan Pembina Citra) Siliwangi, Jakarta. Dia tutup usia di Jakarta pada 1 Maret 1986.
- Sukarno dan Yakuza
PRESIDEN Sukarno berencana mengunjungi Jepang awal 1958. Konsul Jenderal Indonesia di Tokyo, Iskandar Ishak, kelabakan mencarikan pengamanan yang memadai. Padahal beredar rumor bahwa kelompok anti-Sukarno diam-diam masuk Jepang dan mencoba membunuhnya. “Kelompok itu diduga dari PRRI/Permesta,” kata sejarawan Aiko Kurasawa kepada Historia beberapa waktu lalu. Namun, lanjut Aiko, Kepolisian Tokyo menolak menyediakan pengamanan dengan dalih Sukarno melakukan kunjungan tidak resmi. Menurut Masashi Nishihara dalam Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations, 1951-1966 , orang kepercayaan Sukarno, Kolonel Sambas Atmadinata, menteri muda urusan veteran, menghubungi kawannya semasa perang, Oguchi Masami. Dari Masami, dia mendapat saran menggunakan pengawal pribadi. Mengikuti saran ini, Ishak meminta Yoshio Kodama, tokoh sayap kanan dan organisasi bawah tanah yakuza. Kodama menyerahkan tugas itu kepada salah satu pengikutnya yang menonjol, Kobayashi Kusuo. Kobayashi adalah direktur utama Dai Nihon Kyogyo , perusahaan konstruksi Jepang –diduga kedok dari organisasi bawah tanah “Polisi Ginza” yang berkuasa di distrik Ginza, Tokyo. Kobayashi juga penasihat kelompok patriotik kekaisaran, Kusunoki Kodotai. “Kobayashi setuju untuk merekrut duapuluh anggota kelompok ini untuk menjaga Sukarno,” tulis Nishihara. “Kubo Masao kemudian diminta bertindak sebagai penghubung antara para gangster, polisi, dan presiden. Dia dipilih mungkin karena dia bisa berbicara bahasa Inggris dan bos Kobayashi, Kodama, adalah dewan direksi perusahaan milik Kubo, Tonichi Trading Company.” Keamanan Presiden Sukarno dan rombongannya pun terjamin selama delapan hari di Jepang. Selain itu, Sukarno mendapatkan hiburan dari perempuan-perempuan cantik. Dengan pengamanan dan hiburan yang diberikannya, Tonichi Trading Company mendapat banyak proyek pembangunan di Indonesia yang didanai dari pampasan perang. Di balik semua itu, Kodama bukan hanya menggandeng sayap kanan dan yakuza tapi juga dinas intelijen Amerika Serikat (CIA). Kodama adalah bekas penjahat perang yang kemudian menjadi agen CIA. Dia juga salah seorang pendiri Liga Antikomunis Rakyat Asia. Menurut Robert Whiting dalam Tokyo Underworld , Kodama menyalurkan dana CIA secara rahasia kepada orang-orang Partai Liberal Demokrat (LDP) dan kelompok-kelompok antikomunis. Dana tersebut berasal dari perusahaan pembuat pesawat terbang Amerika Serikat, Lockheed Aircraft Corporation. Selama puluhan tahun Lockheed mengalirkan uang lebih dari US$12,6 juta dolar ke Jepang; sebagian besar digunakan untuk menyuap tokoh-tokoh politik terkuat di Jepang. Tujuannya untuk memuluskan penjualan pesawat Lockheed senilai US$1 miliar ke perusahaan All Nippon Airlines dan Badan Pertahanan Jepang. Ketika Sukarno berkunjung ke Jepang, Kodama mendapat tugas menyediakan hiburan dan memberikan penilaian tentang potensi Sukarno sebagai pemimpin nasionalis populer beralih menjadi komunis. “Kodama juga merupakan salah satu pemrakarsa pernikahan Presiden Sukarno dengan Naoko Nemoto atau dikenal dengan nama Dewi Sukarno,” tulis Whiting. Menurut Peter Dale Scott dalam American War Machine , penggulingan Presiden Sukarno pada 1965 dicapai sebagian oleh bantuan rahasia melalui dana Lockheed Corporation dan sebagian lagi oleh intervensi Ryoichi Sasakawa, seorang agen CIA berpengaruh, bersama temannya Yoshio Kodama, serta yakuza di Jepang. Pada Mei 1965, lima bulan sebelum kudeta anti-Sukarno pada September 1965, dana Lockheed dialirkan melalui dua perantara yang mendukung Jenderal Soeharto.*
- Sukarno dan Anjingnya
UNTUK edisi Maulid April 1940, redaksi Pandji Islam meminta Sukarno menulis artikel tentang Maulid Nabi Muhammad Saw. Dia memenuhi permintaan itu dan menulis artikel berjudul “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara.” Sukarno membuka dan menutup tulisannya dengan tamsil yang mengejutkan: Pada suatu hari, anjingnya menjilat air di panci dekat sumur. Anak angkatnya, Ratna Djuami berteriak, “ Papie , si Ketuk menjilat air di dalam panci!” Sukarno menjawab, “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.” Ratna termenung sebentar, kemudian dia bertanya, “Tidakkah Nabi bersabda bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, di antaranya satu kali dengan tanah?” Sukarno menjelaskan, “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Ketika menjalani pembuangan di Bengkulu, Sukarno memiliki dua ekor anjing jenis Dachshund pemberian seorang pemuda Belanda, Jimmy, anak Residen Bengkulu. Anjing tersebut sebagai tanda terimakasih atas privat bahasa Jawa yang diberikan Sukarno. “Ah, aku benar-benar sayang pada anjing-anjing itu. Mereka tidur di kamarku. Aku memanggil mereka dengan mengetuk-ngetukkan lidahku. ‘Tuktuktuk’ dan karena aku tidak memberinya nama, mereka dikenal sebagai Ketuk Satu dan Ketuk Dua,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Ketika kecil, Sukarno juga merawat dan tidur bersama anjingnya. “…aku tidur dengan Kiar, blasteran fox terrier dengan sejenis anjing Indonesia –aku tidak tahu persis jenisnya,” kata Sukarno masih dalam otobiografinya. “Penganut agama Islam umumnya tidak menyukai anjing, tetapi aku mengaguminya.” Tidak hanya itu, Sukarno juga dengan berani menjadikan kisah anjingnya “Ketuk yang menjilat air di panci” sebagai perumpamaan dalam tulisannya untuk menunjukkan bahwa “ Islam is progress , Islam itu kemajuan; dan kemajuan tersebut menghasilkan ciptaan baru.” Sebagai masyarakat yang terus berubah, Sukarno menekankan bahwa “kini bukan masyarakat onta tetapi masayarakat kapal udara.” Sukarno juga mengecam orang-orang yang berislam dengan cara menonjolkan penampilan, seperti berjubah dan menggenggam tasbih, tetapi royal mengkafirkan pengetahuan dan penemuan dari Barat. Ini yang dimaksud oleh Sukarno sebagai “mengambil abu dan bukan apinya Islam.” Tulisan Sukarno tersebut, menurut Bernhard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan , salah satu di antara artikel-artikel Sukarno yang dimaksudkan sebagai suatu upaya menuju modernisasi Islam di Indonesia. Artikel yang menunjukkan “interpretasi-interpretasi yang merdeka” tersebut terang saja mendapatkan penentangan, salah satunya dari Mohammad Natsir. Bagi ulama muda yang dikagumi Sukarno karena pengetahuannya itu, tamsil yang tampaknya polos itu, membuka peluang untuk menunjukkan bahaya yang terkandung dalam cara berpikir "merdeka" dalam agama. Natsir tidak menyangkal manfaat berpikir yang bebas dari tradisi . Dia mengakui bahwa dengan berpikir merdeka, iman bisa diperkukuh dan banyak tahayul yang melekat belakangan pada agama dapat dihilangkan. Tetapi, “akal merdeka zonder (tanpa) disiplin menjadikan chaos yang centang perenang – vrijheid zonder gezag is anarchie (kemerdekaan tanpa otoritas adalah anarki).”*
- Tiga Investasi Sukarno
CALON Presiden Joko Widodo menulis artikel berjudul “Revolusi Mental” di harian Kompas (10/5). Menurut artikel yang menarik perhatian dan kritikan ini, revolusi mental dapat dilaksanakan dengan menggunakan konsep Trisakti yang dikemukakan Sukarno pada 1963: berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya. Sukarno sudah mengemukakan gagasannya terkait revolusi mental dalam pidato pada peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1956 di Jakarta. Dalam amanat yang berjudul “Berilah Isi Kepada Hidupmu” ini, Sukarno menyatakan bahwa Indonesia telah melampaui dua taraf perjuangan: taraf revolusi bersenjata (physical revolution) dan taraf mengatasi akibat-akibat perjuangan bersenjata (survival) . “Dan sekarang, kita berada dalam taraf investment , yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya, untuk pembangunan seterusnya. Dan telah saya jelaskan pula investment apa: investment of human skill, material investment, dan mental investment ,” kata Sukarno. Lebih lanjut Sukarno menguraikan bahwa investment of human skill adalah pemupukan modal berupa kejuruan (kepandaian khusus atau pertukangan, red ), keterampilan, keperigelan (pandai dan sigap dalam bekerja, red ). Material investment adalah pemupukan modal materi, barang, bahan, dan alat-alat. Dan mental investment adalah pemupukan modal mental berupa modal cara berpikir, pandangan hidup, tekad dan batin. “Untuk investment secara efisien, diperlukanlah iklim baik yang memungkinkan orang bekerja keras zonder (tanpa) gangguan-gangguan apapun juga,” kata Sukarno. Ganggung tersebut salahsatunya adalah kondisi politik. Sukarno menyinggung kerjasama partai-partai politik saat itu yang belum sesuai harapan. “Iklim baik itu harus diusahakan, antara lain dengan penyempurnaan hubungan antarpartai,” kata Sukarno. “Ya, sebenarnya hubungan antarpartai itu pun masuk dalam rangka mental investment yang saya maksudkan tadi. Mental kita harus berubah! Mental kita harus berevolusi! Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran (cakar-cakaran, red ) mempertengkarkan urusan tetek-bengek yang tidak penting.” Sukarno menyinggung hubungan partai politik tersebut karena pidatonya disampaikan pascapemilu 1955. Sukarno menyatakan, “parlemen pilihan rakyat telah tersusun, pemerintah koalisi telah terbentuk, program kerja pemerintah telah disetujui oleh seluruh DPR, mudah-mudahan kenyataan ini dapat memperbesar kemungkinan berkembangnya iklim yang baik, buat bekerja secara kontinyu guna memulai usaha-usaha investment dan pembangunan secara tingkat-meningkat dan berencana, menuju pelaksanaan cita-cita rakyat!” Kondisinya kurang lebih sama dengan keadaan sekarang menjelang pemilihan presiden dan pembentukan pemerintahan baru. Hubungan antarpartai atau koalisi partai harus berevolusi: dari transaksi politik bagi-bagi kekuasaan menjadi –seperti kata Joko Widodo– “kemurnian kerjasama” untuk mewujudkan Trisakti.*
- Alkisah Celeng, Celengan, dan Babi Ngepet dari Zaman Majapahit
CELENGAN banyak ditemukan di situs Trowulan, ibukota kerajaan Majapahit. Pembuatan celengan telah berkembang antara abad ke-13 dan 15. Celengan yang pernah ditemukan terdiri dari tiga bentuk: manusia berupa anak kecil, binatang (babi atau celeng, domba, kura-kura, dan gajah), dan yang terbanyak berupa guci. Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam “Tradisi Menabung dalam Masyarakat Majapahit: Telaah Pendahuluan Terhadap Celengan di Trowulan,” belum diketahui secara persis berapa banyak celengan yang dibuat untuk masing-masing bentuk binatang tersebut. “Tetapi ada kesan bahwa bentuk babi menempati jumlah terbanyak, kemudian domba, kura-kura, kuda, dan gajah,” tulis Supratikno, termuat dalam Monumen: Karya Persembahan untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Meskipun bentuknya bisa manusia, guci, atau binatang lain selain babi, namun sebutan yang dipilih adalah celengan. Sebutan ini digunakan sampai sekarang. Apakah masyarakat Majapahit juga menyebutnya dengan istilah celengan? Menurut Supratikno kata celengan agaknya baru diperkenalkan oleh orang Jawa pada masa kemudian, karena bahasa Jawa Kuno hanya mengenal kata celeng (babi atau babi hutan) dan pacelengan (kandang babi). Kamus Javaans-Nederlands Woordenboek karya Th. Pigeaud, memuat sejumlah kata Jawa yang berkaitan dengan aktivitas menabung, yaitu celengan berarti spaartpot (tempat menabung), dicelengi berarti opgespaard (disimpan), dan dicelengake berarti men spaart voor iemand (menabungkan untuk orang lain). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kata celengan berasal dari kata Jawa yang berarti tabung pekak untuk menyimpan uang; tabungan atau uang simpanan itu sendiri. “Kita masih belum tahu apakah kata-kata tersebut ada hubungan dengan kata celeng yang berarti babi hutan,” tulis Supratikno. Kalau memang celengan harus dikaitkan dengan binatang celeng, lanjut Supratikno, “dapatkah kita menghubungkan munculnya istilah itu dengan mitos babi ngepet atau celeng daden (babi jadi-jadian) yang berhubungan dengan upaya mencari kekayaan secara cepat seperti umum dikenal dalam tradisi Jawa atau Sunda?” Menurut sejarawan Denys Lombard, kebiasaan menabung dalam celengan pada masyarakat Jawa terpengaruh oleh orang Tionghoa. “Istilah celengan –yang dibentuk dari kata Nusantara (tepatnya Jawa, red ) celeng– jelas mengacu pada binatang pembawa rezeki dalam mitologi Cina yang semenjak zaman Majapahit telah memberi bentuk bulat pada celengan Jawa yang terbuat dari tanah liat,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya. Supratikno berbeda pendapat dengan Lombard. Menurutnya, celengan-celengan Trowulan terutama menggambarkan guci-guci dan beberapa figur anak kecil, mengingatkan pada dewa Kuwera. Tradisi Hindu-Budha di Nusantara mengenal konsep kemakmuran yang diwujudkan dalam bentuk arca dewa Kuwera atau Kubera, yang telah dikenal di Jawa Tengah sejak abad ke-9 atau sebelumnya. Sebagai simbol kemakmuran, Kuwera mewakili penguasa kehidupan duniawi yang bergelimang dengan barang-barang berharga dan mewah. Dewa ini digambarkan sebagai manusia dalam wujud anak kecil yang montok dan berperut gendut, sedang duduk di atas singgasana berhias bunga teratai, memegang pundi-pundi harta dan benda-benda lain yang melambangkan kekayaan dan kenikmatan duniawi. Di sekelilingnya terdapat guci-guci yang penuh dengan permata. Dengan demikian, menurut Supratikno “bukti-bukti di atas agaknya cukup masuk akal bila dipakai sebagai dasar anggapan bahwa bentuk-bentuk celengan Trowulan (juga celengan-celengan masa kini) sesungguhnya diilhami oleh bentuk arca Kuwera beserta atribut-atributnya.”*
- Perjalanan Ziarah Raja Majapahit
SETIAP tahun pada “akhir musim dingin” atau setelah panen, Hayam Wuruk raja Majapahit (1350-1389) bergelar Sri Rajasanagara berkeliling hingga ke luar ibukota. Dia pergi menggunakan pedati yang ditarik sapi, diiringi rombongan. Perjalanannya tercatat dalam teks Desawarnana (Nagarakretagama) karya Mpu Prapanca, yang turut dalam perjalanan tersebut. Bersandar pada teks Desawarnana , TH Pigeaud dalam Java in the 14th Century: A Study in Cultural History Vol. IV mencatat bahwa Hayam Wuruk melakukan enam kali perjalanan mengunjungi Pajang (1353), Lasem (1354), Lodaya (1357), Lumajang (1359), Tirib Sompur (1360), Palah Blitar (1361), dan Simping (1363). Dalam kunjungannya ke Lumajang pada bulan purnama dalam Bhadrapada tahun saka 1281 atau sekira minggu pertama September 1359 M, “merupakan kesempatan pertama bagi sang penyair (Mpu Prapanca, red ) untuk mendampingi rajanya dalam sebuah kunjungan kerja, sekaligus mengumpulkan bahan pokok untuk kakawin -nya,” tulis Nigel Bullough, naturalis Inggris yang bernama Jawa Hadi Sidomulya, dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca . Pigeaud beranggapan bahwa perjalanan Hayam Wuruk ke beberapa tempat bersifat keagamaan. Hal itu ditandai oleh kegiatan dan kunjungannya ke tempat suci guna menghormati leluhur dinasti Majapahit. Tempat-tempat yang mendapat perhatian khusus adalah Singhasari, Kagenengan, Kidal, dan Jajaghu (candi Jago). Di Singhasari, Hayam Wuruk melakukan puja bhakti di sebuah dharma atau candi pendharmaan milik buyutnya, Kertanegara, raja terakhir Singhasari. Kertanegara didharmakan di Singhasari dengan arca berwujud Siwa-Buddha . Setelah melakukan puja , raja beristirahat selama beberapa waktu sambil menikmati keindahan alam di Kedhung Biru dan Bureng . Dari Singhasari, raja beriringan ke arah selatan menuju Kagenengan. Di Kagenengan, raja melakukan puja pada candi pendharmaan Sri Ranggah Rajasa , Ken Angrok , raja pertama Tumapel dan pendiri wangsa Rajasa. Pagi harinya, Hayam Wuruk berkunjung ke pendharmaan candi Kidal, 11 km tenggara kota Malang, yang dibangun untuk Anusanatha (Anusapati), pengganti Ken Angrok yang wafat tahun 1170 saka atau 1248 M. Selepas memberi sembahan, Hayam Wuruk melanjutkan perjalanan dan tiba di desa Tumpang yang terletak 6 km sebelah timur Kidal. Terdapat sebuah bangunan pedharmaan (dharma Jajaghu) untuk Wisnuwardhana, raja ketiga Tumapel. Wisnuwardhana didharmakan sebagai Siwa di Waleri dan sebagai Buddha di candi Jago. Di candi Jago, hingga kini terdapat “sebuah arca Buddha dalam bentuk Amoghapasa , yang dianggap sebagai wujud Wisnuwardhana,” tulis Bernet Kempers, ahli purbakala, dalam Ancient Indonesian Art . “Perjalanan Rajasanagara (Hayam Wuruk, red ) itu sebagai dharmayatra , yaitu ‘ziarah ke kuil kuil,’ jadi sebagai perbuatan yang berdasarkan keagamaan,” ujar Stutterheim, dikutip dari Penulisan Sejarah Jawa karya C.C. Berg. Agus Aris Munandar, arkelog Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa saat Hayam Wuruk berkunjung ke beberapa tempat pendharmaan yang merupakan perwujudan dari wangsa Rajasa; Ken Angrok, Anusanatha, Wisnuwardhana, dan Kertanegara, dilakukan pembacaan mantra oleh para pendeta yang diikuti oleh sang raja. Air yang disertakan dalam puja kemudian dibalurkan pada candi pendharmaan. “Dalam perjalanan Hayam Wuruk, selain berkunjung ke pendharmaan, pathirtan, dan kadewaguruan yang bersifat keagamaan, dia juga memantau wilayah kekuasaannya dan berwisata di beberapa tempat yang dilaluinya, seperti di Blitar pada 1357 dengan menikmati pemandangan di pantai selatan,” ujar Agus.*






















