top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Gila Basket di Filipina

    TAK ada laser sebagaimana upacara pembukaan ajang olahraga pada umumnya, upacara pembukaan SEA Games 2019 pada Sabtu (30/11/2019) malam justru menarik karena diisi beraneka ragam atraksi seni dari bermacam budaya yang ada di Filipina. Menariknya lagi, upacara pembukaan bukan digelar di stadion sepakbola sebagaimana umumnya, namun stadion indoor  Philipine Arena. Venue  berkapasitas 55 ribu tempat duduk itu arena  indoor  terbesar di dunia dan kebanggaan rakyat Filipina. Sejak dirampungkan 2014 silam, stadion itu digunakan untuk bola basket yang menjadi olahraga nomor satu di “Tanah Pinoy” itu. Sejak masa kolonial, Filipina sudah dikenal sebagai negeri yang gila basket. Dari masa ke masa, perkembangannya begitu pesat. Levelnya sudah Asia dan dunia, jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di ASEAN. Sebagai bukti, Filipina sudah menjuarai basket Asian Games pada 1951. Jauh sebelum itu, Filipina sudah mengirim tim basketnya ke Olimpiade Berlin 1936 dan tercatat sebagai tim Asia dengan hasil terbaik. Pada 1975, Filipina dengan PBA-nya (Asosiasi Basket Profesional) menjadi negeri pertama di luar Amerika Serikat yang memiliki liga basket profesional. Basket dalam Amerikanisasi Filipina Kendati olahraga bola basket diciptakan orang Kanada, Profesor James Naismith, pada 1891, namun di Amerika-lah basket berkembang pesat. Maka Amerika pula yang mempopulerkan basket (berbarengan dengan bisbol) ke rakyat Filipina, semasa menduduki negeri itu. Basket dan bisbol jadi dua dari sekian program olahraga modern untuk menggarap “Amerikanisasi” di negeri yang sebelumnya dijajah Spanyol itu. Pada 1910 Amerika membawa basket ke Filipina lewat YMCA (Young Men’s Christian Association) –dan Young Women’s Christian Association untuk pemudi Filipina empat tahun kemudian. Direktur Elwood Brown turun tangan langsung ke Manila bersama sejumlah instruktur olahraga selain basket: bola voli, dan bisbol. Mulanya, olahraga-olahraga itu dimainkan para tentara Amerika sebagai giat promosinya. “Orang-orang Filipina peniru yang luar biasa. Saat mereka melihat para serdadu bermain, segera mereka memainkannya pula, sekaligus menggantikan permainan dan olahraga konyol mereka seperti sipà  (permainan mirip sepaktakraw) dan sabung ayam,” cetus Brown, dikutip sejarawan olahraga North Central College Profesor Gerald R. Gems dalam Sport and the American Occupation of the Philippines: Bats, Balls, and Bayonets. Direktur YMCA Elwood Brown dan tim basket Filipina (kanan) di Far Eastern Championship Games 1917 (Foto: Wikipedia) Dengan restu Gubernur Jenderal William Forbes, Brown mengerahkan para staf dan instruktur YMCA menggarap program edukasi publik tentang olahraga-olahraga modern itu, serta memasukkannya dalam kurikulum pendidikan di Filipina. Sesaat kemudian, olahraga-olahraga itu pun digemari orang Filipina. Basket paling populer. “Perubahan kegemaran orang Filipina dari permainan tradisional ke olahraga modern, tak diragukan lagi karena fakta bahwa olahraga modern ini menstimulasi kesetaraan dalam kehidupan sosial. Di arena basket semua dianggap setara di mata regulasi olahraganya, baik si penjajah maupun yang terjajah,” ujar sejarawan politik Amerika-Asia Timur Sayuri Guthrie-Shimizu, dinukil Ryan Reft dalam “From Perpetual Foreigner to Paficic Rim Entrepreneur: The U.S. Military, Asian Americans, and the Circuitous Path of Sport” yang dimuat Asian American Sporting Cultures. Alasan lebih teknis mengapa basket lebih digemari ketimbang olahraga impor lain diungkapkan pengamat olahraga dan kolumnis Joaquin M. Henson, dimuat The Philippine Star , 22 Maret 2016. “(Basket, red .) Mudah dimainkan. Alur permainannya juga cepat dan orang Filipina senang dengan olahraga yang dinamis, taktis, dan menghibur. Dari sisi arena, penonton bisa lebih dekat melihat, bahkan mengenal para pemainnya. Orang Filipina juga senang olahraga fisik tanpa harus mengenakan perlengkapan pelindung,” kata Henson. “Kalau sepakbola penontonnya jauh (dari lapangan). Kalau basket kan dekat. Jadi komunikasi dan interaksi dengan penonton terasa sama kita. Jadi meningkat semangat kita untuk jadi pahlawan di lapangan. Kalau di sepakbola, paling kalau kebobolan saja terdengar cacian penonton,” kata Ary Sudarsono, point guard timnas basket Indonesia pada 1970-an cum wasit internasional pada 1980-an, kepada Historia. Linimasa Prestasi Basket Filipina Sebelum Kejuaraan Asia dan Asian Games ada, Filipina sudah bolak-balik jadi tim superior di ajang Far Eastern Champioship Games (FECG) sejak 1913. Dalam 10 gelaran ajang yang dianggap sebagai cikal-bakal Asian Games itu, 1913-1934, tim basket putra Filipina hanya sekali gagal memetik emas, yakni di tahun 1921. Saat timnas Filipina pertama terbentuk untuk berlaga di FEGC 1913, belum ada induk organisasi bola basket nasionalnya. Perbasketan Filipina masih dikendalikan YMCA. Baru pada 1924 Filipina punya induk, National Collegiate Athletic Association (NCAA), meski hanya sementara. Kolase tim basket Filipina saat melawan Meksiko di Olimpiade Berlin 1936 (Foto: olympic.org ) Induk organisasi basket baru dimiliki Filipina pada 1936 dengan berdirinya Basketball Association of the Philippines (BAP) –pada 2007 digantikan Samahang Basketbol ng Pilipinas. Di tahun yang sama, Filipina diterima menjadi anggota Federasi Basket Interasional (FIBA) kendati masih sebagai koloni Amerika. Di tahun itu pula Filipina menunjukkan tajinya sebagai tim terbaik di Asia, walau tetap harus mengakui “sang kakak”, Amerika di babak perempatfinal Olimpiade Berlin 1936. Di Kejuaraan Dunia FIBA, raihan terbaik Filipina dipetik pada 1954 dengan menjadi juara ketiga. Adapun di Kejuaraan FIBA Asia, sudah lima juara diraih Filipina (1960, 1963, 1967, 1973, dan 1985). Selain itu, empat kali Filipina membawa pulang emas Asian Games(1951, 1954, 1958, dan 1962). Di Kejuaraan SEABA, sejak 1994 hingga 2017 Filipina delapan kali memetik emas dan hanya sekali meraih perak. Pun di pentas SEA Games. Sejak 1977-2017, hanya dua kali Filipina gagal memetik emas (perak di 1979 dan 1989). Namun catatan di atas hanya prestasi di basket putra. Timnas senior putri Filipina bisa dibilang bagai langit dan bumi. Di Kejuaraan SEABA sejak 1995, “Perlas Pilipinas” –julukan timnas putri Filipina– baru bisa juara dua kali di edisi 2010 dan 2016. Di SEA Games (1977-2017) pun sekadar langganan perak (enam) atau perunggu (lima).

  • Tak Ada Ras, Semua Manusia dari Afrika

    PERDEBATAN lawas tentang asal-usul orang Indonesia kembali mengemuka setelah Agnes Monica dalam sebuah wawancara mengatakan tak punya darah Indonesia tapi punya leluhur dari Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Warganet menuding Agnes tidak nasionalis dan enggan mengakui “darah Indonesia”-nya. Padahal, dalam wawancara tersebut, Agnes membicarakan “darah Indonesia” sebagai asal-usul keturunan (biologis), bukan statusnya sebagai warga negara (politis). Apa yang dikatakan Agnes bisa jadi benar. Dari Proyek DNA yang dilakukan Historia bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ditemukan bahwa leluhur orang Indonesia datang dari berbagai wilayah di dunia. Jurnalis Najwa Shihab, misalnya, dalam DNA-nya terlacak punya leluhur dari 10 tempat berbeda. Usaha para ilmuwan untuk meneliti keragaman dan evolusi manusia sudah dilakukan berabad lalu. Sejak abad ke-17 dan 18, para ilmuwan berusaha mengidentifikasi flora, fauna, dan manusia. Ilmuwan yang hidup di abad ke- 18, seperti Carolus Linnaeus, Johann Friedrich Blumenbach, dan Comte de Buffon berusaha mengklasifikasi semua makhluk hidup yang mereka teliti dalam kerangka kerja sistematis. Dalam berbagai sistem, manusia dikelompokkan menjadi subspesies berdasarkan geografi, warna kulit, dan sifat fisik. Usaha ini mulanya murni untuk kebutuhan penelitian biologi. Dalam perkembangannya, arus intelektual tentang manusia berubah dan berusaha mengklasifikasi manusia berdasarkan ras (ciri fisik). “Orang punya ide tentang ras itu baru di abad ke-19. Ide tentang ras yang disampaikan Samuel Morton, muncul sebelum teori evolusi ada,” kata pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Roslan Yusni Hasan atau yang populer dengan Ryu Hasan pada Historia. Pada 1838, antropolog JC Prichard memberi kuliah tentang kepunahan ras manusia. Menurutnya, ras lemah tidak mungkin bertahan dan itu adalah hukum alam. Ilmuwan lain yang mengemukakan ide yang berkaitan dengan ras ialah Samuel Morton. Menurut Morton, di dunia ini terdapat lima ras. Ras Kaukasia dianggap yang paling mulia, di bawahnya ras Mongoloid karena bisa dilatih namun masih kalah pintar. Di bawah ras Mongoloid ada orang Asia Tenggara lalu pribumi Amerika, dan yang menurut Morton paling rendah adalah orang Ethiopia atau yang berkulit hitam. Teori Morton ini dipegang oleh pendukung perbudakan di Amerika. Ketika Charles Darwin mengeluarkan teori evolusi pada 1859, para ilmuwan sosial memelencengkannya dan menggunakan teori ini untuk menjustifikasi rasisme. Teori Darwin pada dasarnya tidak rasis. Ia percaya bahwa seleksi alam berpengaruh pada perkembangan spesies, yang tidak cocok akan mati dan yang bisa beradaptasi akan bertahan. Pemelencengan teori Darwin ini kemudian dikenal dengan Social Darwinism, dan berimplikasi amat brutal dalam sejarah perbudakan dan penjajahan. Ada banyak contoh pemikiran seperti ditulis David Rogers dan Moira Bowman dalam “A History: The Construction of Race and Racism”. Pada 1864, W Winwood Reade, ahli geografi dan anggota kelompok antropolog di London, menerbitkan Savage Africa . Dalam buku itu Reade menulis bahwa Inggris dan Prancis akan menguasai Afrika. Orang Afrika akan menggali parit untuk mengairi gurun. Kerja keras ini akan membuat orang Afrika punah. Sementara pada 1866, Frederick Farrar, penulis Inggris yang lahir di Mumbai, menjabarkan “Aptitude of Races” dengan membaginya menjadi tiga grup: ras barbar (Afrika dan orang dengan kulit berwarna), agak beradab (orang-orang mongoloid), dan beradab (orang Eropa, Arya, dan bangsa Semit). Cara pikir Farrar mirip dengan politik segregasi yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda di wilayahnya. Penduduk dibagi dalam tiga kelompok, yakni Eropa, Timur Jauh (Arab dan Tiongkok), dan terbawah pribumi. Politik segregasi ini masih bertahan di Indonesia hingga kini, dengan fakta adanya identifikasi siapa yang paling pribumi. “Namun kemudian muncul teori evolusi dan genetika yang membuktikan teori Morton dan sejenisnya salah,” kata Ryu. Pada pertengahan 1980-an, teori “Out of Africa” muncul dan menjabarkan asal-usul manusia modern. Ahli paleoantropologi seperti Gunter Brauer di Jerman dan Chris Stringer di Inggris membuktikan bahwa fosil paling awal yang menyerupai spesies manusia modern berasal dari Afrika selatan dan timur. Ian Tattersall dalam “Human Origins: Out of Africa” menjelaskan lebih lanjut bahwa gagasan tentang leluhur tunggal dari Afrika ( single African origin ) meng- counter teori multiregional bahwa manusia modern berevolusi dari para pendahulunya, yaitu Homo Erectus yang muncul di masing-masing wilayah. Mulanya, gagasan tentang “single African origin” ditolak lantaran orang Eropa ogah mengakui leluhur mereka berasal dari Afrika. Namun teori ini makin diperkuat ketika penelitian DNA dan penemuan fosil-fosil membuktikan bahwa Afrika menjadi sumber utama populasi manusia modern di seluruh dunia. Manusia modern (Homo Sapien) Afrika ini muncul sejak 150.000 sampai 100.000 tahun lalu. Pada sekira 100.000 tahun lalu, manusia modern ini meninggalkan Afrika dan menyebar ke berbagai arah. Sebagian migrasi ini mencapai Asia dan Australia sekira 70.000 lalu, sampai ke Barat Eurasia sekira 50.000 tahun lalu, dan masuk ke benua Amerika pada 15.000 sampai 30.000 tahun lalu. Ahli genetika Italia Luigi Luca Cavalli-Sforza berpendapat bahwa orang Eropa merupakan hasil migrasi manusia dari Timur Tengah pada 10,000 tahun lalu. Dalam gelombang migrasi ini, lokasi dan lama tinggal berpengaruh pada keberagaman fisik manusia. Dikemukakan Charles Hirschman dalam “The Origins and Demise of the Concept of Race”, bentuk fisik manusia berkembang sesuai kondisi geografis dan lama waktu mereka tinggal di suatu tempat. Contohnya, warna kulit dan ukuran tubuh manusia dipengaruhi seleksi alam atas kondisi iklim. Manusia yang tinggal di garis katulistiwa secara alami akan mengembangkan pigmen kulit mereka. Sementara manusia yang tinggal di posisi garis lintang utara punya kulit lebih cerah. Para manusia pemakan sereal itu tidak menerima cukup asupan vitamin D sehingga dalam proses evolusi, kulit mereka memutih. Kulit terang ini bagian dari upaya bertahan hidup karena memudahkan penyerapan sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan vitamin D. Perbedaan fitur tubuh itu membantu para peneliti menduga asal mereka. Gelombang migrasi besar pada masa berikutnya berkontribusi pada penyebaran keberagaman fitur tersebut. Alhasil manusia modern merupakan percampuran dari manusia asal Afrika yang berevolusi di wilayah yang berbeda. Hal serupa juga terjadi di Indonesia yang mengalami empat gelombang migrasi. Gelombang migrasi pertama dari Afrika terjadi 50.000 tahun lalu; migrasi kedua, dari Asia daratan, terjadi sekira 30.000 tahun lalu; migrasi ketiga, dari Taiwan, diperkirakan pada 6.000 tahun lalu; dan keempat pada masa awal perdagangan dan pelayaran. “Secara genetika ras enggak ada. Adanya varian populasi…. Faktanya kita semua dari Afrika,” kata Ryu.

  • Mengenang Bioskop Drive-In ala Ciputra

    Ciputra, konglomerat bidang properti dan konstruksi, telah berpulang 27 November 2019 lalu. Dia meninggalkan banyak karya. Dari pertokoan, perumahan, perkantoran, museum seni, kota satelit, sampai tempat rekreasi dan hiburan. Sebagian besar karyanya masih bertahan. Segelintir kecil lainnya sudah tak ada lagi atau bersalin rupa. Misalnya drive-in theatre atau teater kendara. Ciputra mulai membangun teater kendara di Pantai Binaria (sekarang Ancol), Jakarta, pada 1 April 1970. Pembangunannya seiring dengan pengembangan Ancol sebagai daerah perumahan, industri, dan rekreasi oleh PT Pembangunan Jaya, perusahaan di mana Ciputra menjadi salah satu direkturnya. Tadinya Ancol hanyalah sebuah rawa-rawa dan hutan. Penuh kera, ular, dan nyamuk. Tapi ada saja orang nekat menembus hutan dan rawa-rawa demi menikmati keindahan Pantai Ancol. Pemerintah DKI Jakarta telah merencanakan pengembangan wilayah itu menjadi perumahan, industri, dan rekreasi sejak 1962. Tetapi rencana mereka tak berjalan mulus. Ciputra memberanikan diri untuk menangani proyek itu di bawah Pembangunan Jaya. Dia menjanjikan bila proyek itu untung, Pembangunan Jaya akan berbagi cuan dengan Pemda. Tapi kalau proyek itu malah rugi, Pembangunan Jaya sendirian akan menanggungnya. Gubernur Jakarta (1966—1977), Ali Sadikin, menyepakati perjanjian itu. Tapi beberapa staf Ciputra keberatan dengan keputusan tersebut. Ciputra meyakinkan mereka. “Kita bisa mengembangkan Ancol menjadi pantai yang nomor satu. Itu akan menjadi pantai emas,” kata Ciputra, seperti dituturkan Bondan Winarno dalam Tantangan Jadi Peluang : Kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya Selama 25 Tahun . Sepulang melihat Amerika Pengembangan Ancol berjalan bertahap. Mula-mula rawa-rawa diurug, jalan-jalan diperlebar, penerangan ditambah, lalu tempat berteduh didirikan. Pembangunan Jaya memasang pagar pembatas dan menerapkan karcis masuk sebagai kompensasi pengembangan Ancol. Orang pun berduyun-duyun datang menikmati suasana baru Pantai Ancol. Ciputra belum puas. Dia masih punya rencana lain. Mimpinya adalah menjadikan Ancol pusat rekreasi baru bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Ancol tidak hanya akan menjadi tempat rekreasi alam, tapi juga tempat rekreasi berbasis mekanik dan teknologi. Di Ancol bakal ada sirkuit balap, akuarium, bioskop, dan drive-in. Jenis terakhir bahkan belum pernah ada di Indonesia. Ciputra memperoleh ide membangun teater kendara setelah melihatnya di New York, Amerika Serikat. Demikian catatan mingguan Djaja nomor 440 tahun 1970. Di negeri inilah teater kendara pertama di dunia muncul pada 1933. Konsep teater kendara berbeda dari bioskop tertutup. Teater kendara membuka kesempatan bagi para penonton menyaksikan film di ruang terbuka dari mobilnya masing-masing. Konsep ini berasal dari Richard Hollingshead. Dia mengajukan konsep ini setelah melihat ibunya tidak nyaman menonton di dalam bioskop tertutup. Richard membuka teater kendara kali pertama di New Jersey pada 6 Juni 1933. Orang-orang menyukai konsepnya. Richard kemudian mematenkan konsepnya hingga 1949.   Setelah paten Richard habis, teater kendara tumbuh cepat di antero Amerika Serikat. Salah satu yang terbesar berada di New York. Teater kendara itu mampu menampung 2.500 mobil di atas lahan seluas 11 hektar. Teater kendara pertama di dunia dibuka pada 6 Juni 1933. (Wikimedia). Teater kendara kemudian merambah keluar Amerika Serikat. Eropa, Australia, dan Asia Tenggara. Pasar utama teater kendara adalah keluarga dan anak muda bermobil. Ciputra melihat pasar ini telah mengada di Jakarta. Perbaikan ekonomi pada awal Orde Baru memunculkan kelas menengah baru. Mereka cukup mampu membeli mobil pribadi. Jalanan Jakarta pun semarak oleh kehadiran mobil. “Hal ini didorong dengan pembukaan beberapa perusahaan asembling mobil di sekitar Jakarta, terutama merek Jepang seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, Suzuki, Mazda, dan Subaru yang merajai jalanan di 1970-an, di samping mobil merek Amerika dan Eropa yang jumlahnya lebih sedikit,” catat Firman Lubis dalam Jakarta 1970-an . Rekreasi Kaum Berpunya Melihat kondisi pasar seperti itu, Ciputra tak ragu menghadirkan teater kendara pertama di Indonesia. Luasnya lima hektar dan mampu menampung 800 mobil. “Bioskop terbuka itu merupakan drive-in cinema terbesar di Asia Tenggara,” catat Kompas , 2 Mei 1970. Semua jenis mobil boleh masuk, kecuali pick-up dan truk. Ciputra berupaya mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk membangun teater kendara. Dia melibatkan 340 pekerja. Terdiri dari orang-orang Batalion Zeni Konstruksi Angkatan Darat, PT Technik Indonesia, dan PT Jaya Steel (anak perusahaan Pembangunan Jaya). Para pekerja giat siang-malam untuk memasang layar raksasa dengan ukuran sebagai berikut: panjang 40 meter, lebar 19 meter, dan tinggi 27 meter. Ukuran demikian mampu dilihat orang hingga jarak 200 meter. Aspal dibuat bergelombang agar mobil dapat mengarah ke layar. Jarak parkir antar mobil diperhitungkan secara teliti supaya pengendara dapat keluar-masuk tanpa kesulitan. Teater kendara terbesar di Asia Tenggara itu menghabiskan 20.000 meter kubik pasir, 10.000 meter kubik batu, 2.000 drum aspal, 200 meter kubik beton, dan 85 ton besi konstruksi. Alat-alat pemutar filmnya dibeli dari perusahaan Toshiba, Jepang. Untuk semua pembangunan itu, Pembangunan Jaya mengeluarkan Rp260 juta, atau setara dengan Rp10,4 miliar nilai uang sekarang. Peresmian teater kendara ( drive-in theatre ) di Pantai Binaria (Ancol) pada 11 Juli 1970. (Perpusnas RI). Seluruh pengerjaan teater kendara selesai pada Juni 1970. Sebermula Ciputra hendak meresmikan teater kendara tepat saat hari ulang tahun ke-443 Jakarta pada 22 Juni 1970. Tetapi harapannya meleset hampir sebulan. Teater kendara mulai terbuka untuk umum pada 11 Juli 1970. Ratusan mobil undangan memenuhi teater kendara. Ali Sadikin memuji upaya Ciputra memberikan rekreasi terbaik kepada warga Jakarta. “Rekreasi sangat penting untuk keseimbangan hidup,” kata Ali dalam peresmian teater kendara, dikutip Kompas , 13 Juli 1970. Wajahnya terpampang jelas di layar raksasa teater kendara. Tapi Ali mengingatkan bahwa teater kendara sesungguhnya hanya untuk kaum the haves (orang berpunya) saja. “Sebab yang nonton cuma orang bermobil,” lanjut Ali. Untuk mengurangi kesan teater kendara hanya punya kaum the haves saja, Pembangunan Jaya menekan harga tiket. Hitungannya per orang, bukan per kendaraan. Dewasa kena Rp500, sedangkan anak-anak Rp300 atau senilai US1 dolar. Harga ini masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk Jakarta kala itu. Anne Booth dan R.M Sundrum dalam “Distribusi Pendapatan” termuat di Ekonomi Orde Baru dengan detail menjabarkan tingkat penghasilan bulanan penduduk di sembilan kota, termasuk Jakarta, selama 1968—1969. Penghasilan mereka berkisar dari Rp1.482—Rp4.479 per bulan. Tiket seharga Rp500 dan Rp300 itu memungkinkan pengunjung untuk menonton dua film dalam semalam. Sesuai jadwal teater kendara. Biasanya pemutaran film selesai pukul 00.00. Enak buat Bergoyang Kebanyakan pengunjung teater kendara adalah muda-mudi. Mereka lebih asyik berpelukan. Tenggelam dalam asmara di bawah langit gemintang Jakarta ketimbang menyaksikan filmnya. “Sering terlihat samar-samar mobil yang diparkir bergoyang-goyang karena penumpang di dalamnya juga ikut bermain film!” kata Firman Lubis dalam Jakarta 1970-an . Ciputra mengakui stok filmnya lebih banyak untuk orang dewasa. “Hanya sayang bahwa film anak-anak sangat kurang,” kata Ciputra dikutip Djaja . Tapi itu tak mengurangi minat orang-orang bermobil datang ke teater kendara. Ada keluarga membawa anak-anak meski film yang diputar tak khusus untuk anak-anak. Bagi Pembangunan Jaya, kedatangan keluarga ke teater kendara bagus untuk menguatkan kesan Ancol sebagai tempat rekreasi keluarga. Bukan hanya tempat muda-mudi pacaran. Dengan begitu, orang-orang pun tak sungkan datang ke Ancol dan teater kendara. “Dibangunnya bioskop terbuka drive-in di Ancol makin menambah arus pengunjung ke Ancol,” kata Bondan Winarno. Ini berarti keuntungan untuk Pembangunan Jaya sebagai pengelola kawasan rekreasi Ancol. Selama hampir 20 tahun teater kendara menarik orang-orang bermobil. Ia juga menghasilkan pendapatan Rp40 juta per tahun bagi Pembangunan Jaya. Tapi Ciputra menghitung pendapatan itu masih rendah. “Dibanding luas tanah yang ada penghasilan sebesar itu tak sebanding lagi,” kata Ciputra dalam Warta Ekonomi, 4 Desember 1989. Menyiasati kondisi itu, Ciputra membuat strategi baru. Teater kendara dibuka untuk konser musik. Di tempat inilah Stevie Wonder, musisi tunanetra kesohor, menggelar konser pada 21 Mei 1988. "Malam ini kita semua keluarga.  Drive-in  adalah rumah kita. Kita bergembira. Pak polisi juga bergembira," begitu Stevie membuka konsernya. Kemudian mengalunlah lagu-lagu Stevie Wonder. Dia mendedikasikan lagu  " I Just Called to Say I Love You" dan "It's Wrong" untuk melawan politik apartheid di Afrika Selatan dan mendukung Nelson Mandela, tokoh penentang apartheid. Dari teater kendara, dia sebarkan cinta, perdamaian, dan persatuan kepada 20.000 penonton. Tapi strategi menggelar konser musik di teater kendara tetap tak mengerek pendapatannya. Masa jaya teater kendara berakhir pada awal 1990-an. Ciputra menutupnya, mengubah total rupanya menjadi pusat belanja busana berbahan denim atau jeans, Cahaya Jeans Centre. “ Trend dunia yang ada saat ini ialah berekreasi sambil belanja, dan belanja sambil berekreasi,” ungkap Ciputra.  Tak ada lagi teater kendara "rumah kita". Hanya kenangan akan Ciputra, muda-mudi menggoyangkan mobil dari dalam, dan lantunan suara khas Stevie Wonder yang melekat abadi.

  • Pemuda Aceh Raih Sartono Kartodirdjo Award

    Masykur Syafruddin, pemuda 22 tahun dari Pidie, Aceh, mendapat Sartono Kartodirjo Award dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah penghargaan untuk mengapresiasi kerja-kerja sejarah oleh individu maupun komunitas. Penghargaan ini diberikan bersamaan dengan rangkaian Peringatan Hari Sejarah 2019 bertema "Membayangkan Indonesia di Hari Depan" yang berlangsung pada 4-6 Desember 2019, di Jakarta. Masykur lahir di Blang Glong, Pidie pada 5 Juli 1997. Sejak usia 14 tahun, ia sudah tertarik mengumpulkan koin-koin kuno yang banyak ditemukan di sekitar tempat tinggalnya. Kegemaran itu kemudian menjadi lebih serius ketika pada 2014 ia mendengar berita mengenai banyaknya naskah kuno yang dijual ke luar negeri. “Kan timbul pertanyaan, kenapa ini bisa di luar negeri? Okelah kalau di Belanda karena rampasan perang pada masa kolonial. Tapi yang di Malaysia segala macam kenapa bisa di luar negeri? Kan itu asli kebudayaan kita. Nah, itu yang menjadi tanggung jawab kita, tanggung jawab saya untuk menyelamatkan itu agar tidak dijual ke luar negeri,” ungkap Masykur kepada Historia . Sejak itu, Masykur mulai mencari dan mengumpulkan naskah-naskah dan benda-benda bersejarah yang hendak dijual ke luar negeri. Ia lalu mendirikan Museum Pedir tahun itu juga. “Awalnya kita melacak barang-barang yang sudah dibeli oleh agen barang antik yang akan dijual ke luar negeri. Jadi sebelum dijual ke luar, kita beli,” sebut Masykur. Tak sampai di situ, Museum Pedir kemudian juga melacak benda-benda bersejarah dari Aceh yang sudah dijual ke luar negeri. “Kita beli lagi, bawa pulang ke Aceh. Kita juga lacak semua di media-media, kemudian di toko-toko antik,” kata mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh ini. Setelah dibawa kembali ke Aceh, naskah-naskah kuno itu didigitalisasi dan dipublikasikan lagi. Selain itu, kini Masykur dan para relawan Pedir Museum tidak hanya membeli benda-benda yang akan dan sudah dijual ke luar negeri. Mereka juga mencari dan mengumpulkan benda-benda bernilai sejarah yang tersebar di masyarakat dan perlu mendapat perawatan yang baik. “Tidak mesti kita beli semua. Ada masyarakat yang tahu tujuan kita menyelamatkan itu. Dihibahkan juga ada. Ketika sudah dijual ke luar, sulit sekali untuk memulangkan itu. Beda dengan yang ada di masyarakat. Misalnya koleksi-koleksi mata uang, perhiasan, senjata segala macam itu, ada juga memang masyarakat yang memberikan,” terang Masykur. Pedir Museum selama ini juga melakukan pembiayaan secara mandiri. Mulai dari pembiayaan, perawatan, pencarian koleksi, hingga keperluan penelitian. “Semua kita biayai dengan uang pribadi dan sumbangan dari masyarakat. Kita belum yayasan, belum mendapatkan biaya dari pemerintah,” sebut Masykur. Beberapa kali Masykur telah mengajukan proposal kepada pemerintah daerah. Namun, menurut Masykur, prosesnya begitu lamban dan pihak pemerintah daerah dirasa memang kurang perhatian. “Kita nggak  menunggu ada uang dulu, kita langsung gerak saja,” ungkapnya. Saat ini, Museum Pedir memiliki 2.870 koleksi. 462 di antaranya merupakan koleksi naskah manuskrip. Sementara itu, mata uang kuno dari abad ke-12 hingga 19 mencapai 1.000 koleksi. Selain itu, Museum Pedir juga menyimpan perhiasan, senjata, arsip kesultanan, kain dan tekstil, benda-benda etnografi dan arkeologi, hingga temuan-temuan fosil. Museum Pedir saat ini masih menggunakan rumah orang tua Masykur di Pidie Jaya yang ke depan akan dibangun menjadi museum. Meski demikian, Museum Pedir telah memiliki cabang di Banda Aceh. Cabang museum di Banda Aceh didirikan untuk memudahkan akses para peneliti dan tamu dari luar negeri.

  • Jaap Kunst Mengabdi pada Musik Tradisi

    Pada musim semi 1919, seorang sarjana hukum sekaligus pemain biola dari Belanda, bersama dua temannya, penyanyi dan pianis, berlayar ke Hindia Belanda. Mereka melakukan tur musik selama delapan bulan ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Pada Mei 1920, harusnya mereka bertiga pulang ke Belanda. Namun sejak Natal 1919, sang pemain biola terpikat pada alunan gamelan yang didengarnya di Keraton Pakualaman Yogyakarta. Pengalaman itu membuatnya memutuskan untuk tetap tinggal. Orang itu adalah Jaap Kunst, yang kemudian jatuh cinta dengan musik tradisi Nusantara dan menjadi pelopor etnomusikologi. Jakob Kunst (Jaap Kunst) lahir di Groningen, 12 Agustus 1891, dari keluarga musikus, ayahnya guru piano, praktisi dan kritikus musik, dan ibunya seorang pianis. Sedangkan Jaap Kunst memilih biola sebagai alat musik favoritnya. Saat remaja Jaap Kunst belajar biola pada W. Dehé, E.C. Schroder, dan Louis Zimmerman di Amsterdam. Pada 1911, ia justru menempuh sekolah hukum di Universitas Groningen dan lulus pada 1917. Namun, saat kuliah ia mulai tertarik melakukan riset seni musik lokal, seperti lagu-lagu rakyat pulau Terschelling, Belanda. Jaap Kunst sempat bekerja di bank dan kantor walikota Amsterdam. Ketertarikannya pada musik membuatnya tak bertahan lama bekerja di sektor formal. Pada 1919, dia bersama dua rekannya, penyanyi Kitty Roelants-de Vogel dan pianis Jan Wagenaar, mengadakan tur musik ke Hindia Belanda. Setelah tur musik ke berbagai daerah di Hindia Belnda, dua rekan Jaap Kunst kembali ke Belanda. Ia sendiri tetap tinggal dan memulai penelitiannya mengenai musik tradisi. Ia kemudian bekerja di departemen pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu pada 1921, ia menikah dengan Kathy van Wely, yang mendukungnya dalam penelitian etnomusikologi. Nusi Lisabilla, Kepala Bagian Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional yang juga kurator pameran “Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu” mengatakan bahwa Jaap Kunst mulai merekam alat musik tradisi pada 1922. Saat itu, ia mereka tujuh lagu yang dimainkan dengan gamelan. “Meskipun nanti kalau Mas dengar suaranya terlalu halus. Kurang terdengar dengan jelas, seperti dengungan saja,” kata Nusi kepada Historia. Pada 1926, Jaap Kunst menjadi wakil sekretaris Dewan Rekonsiliasi untuk Kereta Api dan Trem di Jawa dan Madura yang berkantor di Bandung. Di luar pekerjaannya, dia menyempatkan waktu untuk melakukan riset etnomusikologi. Ia lalu menjadi peneliti dalam penelitian musikologis sistematis pada 1930. Hingga 1932, Jaap Kunst melakukan penelitian dan pendokumentasian kegiatan seni di Hindia Belanda, mulai dari Batak, Nias, Bengkulu, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua. Kerja penelitian Jaap Kunst dilakukan atas keinginannya sendiri. Ia merasa khawatir jika suatu saat banyak alat musik, lagu atau produk seni musik tradisi punah. “Orang yang begitu peduli pada masa itu. Peduli bahwa suatu saat musik tradisi di Indonesia itu akan hilang. Itu sebabnya kenapa akhirnya ia memutuskan untuk menginventarisasi, mendokumentasi, baik dalam audio maupun visual,” ujar Nusi. Bahkan ketika datang pertama kali ke Nias pada 1930, Jaap Kunst merasa sangat menyesal karena banyak tradisi yang sudah punah dan tak ada generasi yang bisa melestarikannya. “1930 itu dari sekarang sudah berapa tahun ya? Itu berpuluh tahun yang lalu, dia merasa sudah telat datang ke Nias. Karena ia melihat sudah banyak hal-hal yang hilang. Tradisi yang hilang,” ungkap Nusi. Jaap Kunst menetap di Bandung hingga 1932. Selama di Bandung, ia membuat arsip musik yang berisi koleksi alat musik, rekaman, foto hingga film. “Dia mengumpulkan pribadi, dari uang pribadi. Sampai-sampai katanya ia mengurangi jatah makannya untuk bisa membeli macam-macam dan bisa pergi ke mana-mana,” sebut Nusi. Foto-foto Jaap Kunst yang dipamerkan dalam "Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu" di Museum Nasional. (Fernando Randy/Historia). Pada 1932, Jaap Kunst pindah ke Batavia. Ia menjadi kurator alat musik di Koninklijk Bataviaasch Genoatschap van Kunsten en Watenschappen (kini Museum Nasional). Rumahnya, di Jalan Kebon Sirih No. 14, menjadi tempatnya bekerja dan menyimpan ribuan koleksi yang ia pindahkan dari Bandung. Palmer Keen, musikolog yang mengikuti jejak Jaap Kunst dalam penelitian musik tradisi Nusantara menyebut bahwa kerja-kerja penelitian Kunst sangat penting. Terlebih, ia adalah perintis etnomusikologi. “Penelitian ia sangat penting buat etnomusikologi karena sebelum ia keliling Nusantara meneliti musik, mengoleksi alat musik, bikin rekaman dan foto, tidak pernah ada yang meneliti musik (tradisi) secara dalam,” kata Palmer Keen kepada Historia . Bahkan, menurut Keen, hingga dekade 1980-an, belum ada lagi yang melakukan penelitian serupa. “Setelah itu tahun 1920-an 1930-an tidak ada lagi yang seperti dia. Sampai tahun 1980-an 1990-an mulai ada etnomusikolog seperti Margareth Kartomi dari Australia dan Philip Yampolsky dari Amerika yang mulai meneliti musik secara lengkap di Indonesia,” terang Keen. Keen menyebut kini telah banyak peneliti musik klasik atau musik keraton yang berfokus pada Keraton Yogyakarta, Keraton Solo serta musik di Bali. Namun, masih sangat jarang dilakukan penelitian terhadap seni musik di daerah-daerah terpencil. “Tapi yang meneliti musik rakyat, folk music , di luar daerah itu (Yogyakarta, Solo dan Bali) dan di pulau-pulau kecil di Sulawesi, Kalimantan, tidak ada orang sama sekali yang pernah meneliti itu. Jadi walau penelitian itu sudah 100 tahun lalu, itu tetap sangat berguna sampai sekarang,” ujar Keen. Pada 7 Maret 1934, bersama keluarganya, Jaap Kunst mengambil cuti ke Eropa dan berencana kembali pada November. Sebelum ke Belanda, ia telah memindahkan koleksi arsip musikologi yang dikelolanya. Sekitar 1000 alat musik, 325 rekaman silinder lilin, 700 positif kaca dan 450 slide dipindahkan ke Koninklijk Bataviaasch Genoatschap van Kunsten en Watenschappen. Rencana Jaap Kunst untuk kembali pada November ternyata gagal. Alasan kesehatan dan tidak tersedianya anggaran penelitian membuatnya tak bisa kembali lagi ke Hindia Belanda. Meski demikian, di Amsterdam, ia menjadi kurator di Departemen Antropologi Budaya pada Koloniaal Instituut (Tropenmuseum) yang diidam-idamkannya. Jaap Kunst sempat akan ke Jawa selama enam bulan untuk sebuah pekerjaan dengan perusahaan radio Hindia Belanda, NIROM. Mereka berencana merekam musik kadipaten, musik Sunda, Bali, dan mungkin Madura. Namun, Perang Dunia II membuatnya gagal ke Hindia Belanda untuk kedua kalinya. Pada 1942, Jaap Kunst menjadi dosen khusus (tanpa gaji) mengajar mata kuliah Sejarah dan Teori Musik Jawa di Jurusan Musikologi Komparatif di Universitas Amsterdam. Ia juga mengajar di Prancis, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Ia pernah menulis surat untuk R. Goris pada 1926 yang mengatakan bahwa jika pensiun ia ingin menetap di Bali atau Terschelling. “Hati saya selalu berada di kedua tempat itu,” tulis Kunst. Namun, keinginannya itu tak pernah terwujud. Jaap Kunst meninggal dunia akibat kanker pada 7 Desember 1960. Ia meninggalkan ribuan koleksi dan bahan penelitian, serta lusinan buku tentang musik tradisi.

  • Anti Jepang Gaya Bupati Magetan

    SUATU pagi pada 1943. Kesibukan di kantor Kabupaten Magetan tetiba berubah jadi mencekam. Para pegawai kabupaten ketakutan dan menghindar kala seorang perwira militer Jepang marah-marah sambil menghunus gunto , pedang panjang khas negeri matahari terbit. Tak jelas benar apa yang menyebabkan perwira Jepang itu murka dan menebar ancaman, namun yang pasti tak ada satu pun orang-orang di sana saat itu yang berani bereaksi kecuali Raden Mas Tumenggung Aryo Soerjo, sang bupati Magetan. Alih-alih gentar, Soerjo justru mendekati perwira yang tengah kalap tersebut. Dalam nada yang keras namun berwibawa, ia memarahi sang perwira yang sudah mengganggu ketenteraman lingkungan kerjanya. “Saudara ini sudah datang tanpa permisi dan mengenalkan diri, membuat kericuhan pula di sini! Saudara harus tahu, karena saya merasa benar saya tidak takut sama sekali kepada anda!” bentaknya. Dihadapi dengan sikap berani dan elegan seperti itu, sebagai seorang samurai, si perwira Jepang menjadi malu. Ia pun menurunkan tensi dan coba membicarakan masalah yang ia hadapi secara baik-baik. Masalah berakhir setelah perwira Jepang minta maaf karena mengganggu ketentraman orang-orang yang bekerja di kabupaten. “Itulah Eyang Soerjo, ia tak pernah ragu sama sekali dalam bertindak jika melihat sesuatu yang menurutnya salah,” ujar Donny Ariotedjo, salah seorang cucu Soerjo. Tersebutlah pada awal Maret 1942, balatentara Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda. Kendati KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) coba menahan laju tentara Jepang, namun mereka tak berdaya dalam setiap pertempuran. Akhirnya, pada 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi KNIL Jenderal Hein ter Poorten menyerah kepada Panglima Tentara Jepang Ke-16 Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati, Jawa Barat. Sejak itu Hindia Belanda di bawah kuasa militer Jepang. Menurut sejarawan Aiko Kurosawa, kedatangan Jepang yang mengklaim sebagai “saudara tua” itu semula disambut baik oleh rakyat Hindia yang sedang rindu akan kemerdekaan. Sambutan itu kemudian dibalas oleh penguasa militer Jepang dengan mengizinkan orang Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih serta mengumandangkan lagu Indonesia Raya . “Bahasa Belanda sebagai bahasa resmi sebelumnya diganti oleh bahasa Indonesia dan jabatan-jabatan strategis segera berpindah tangan ke orang-orang Jepang dan bumiputera,” ungkap profesor emerita dari Universitas Keio, Tokyo itu. Namun di Magetan, situasi agak berbeda. Alih-alih memberikan sambutan meriah seperti di kota-kota besar, masyarakat Magetan pada awalnya merasa bingung dan ketakutan. Nyaris hari demi hari, rakyat Magetan tak berani untuk keluar rumah. Mereka hanya bisa menunggu dengan cemas, apa yang akan terjadi kemudian. Menurut Sutjiatiningsih dalam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo , sebagai bupati Magetan, Soerjo berupaya agar “kelumpuhan aktivitas” tersebut segera berakhir. Atas insiatif sendiri, ia menyerukan kepada rakyat Magetan untuk tidak perlu takut. Pernyataan tersebut diikuti dengan contoh yang ia berikan sendiri: setiap pagi bersama sang istri, Soerjo berjalan-jalan di alun-alun Magetan. “Kebiasaan itu merupakan simbol bahwa dalam kondisi yang tak menentu sekali pun, sang pemimpin sama sekali tak meninggalkan rakyatnya,” tulis Sutjiatiningsih. Menyaksikan bupatinya berada di tengah-tengah mereka, masyarakat Magetan mulai berani keluar rumah untuk menjalankan kembali kewajiban mereka sehari-hari. Kehidupan pun berjalan seperti sediakala. Berita keberhasilan Bupati Soerjo mengembalikan kepercayaan diri rakyatnya didengar pejabat militer Jepang di Magetan. Ia pun tetap didapuk untuk memimpin rakyat Magetan. Bupati Soerjo sejatinya sangat membenci perilaku penguasa militer Jepang, namun  ia sadar sementara dirinya tidak berbuat apa-apa selain menerima uluran kerja sama dengan mereka. Namun Soerjo yakin bahwa keberadaan orang-orang Jepang di Indonesia tidak akan lama. Selain melihat kondisi perang yang pelan-pelan menyudutkan posisi Jepang, terutama setelah Amerika Serikat terlibat, jauh sebelumnya para orang tua di Jawa sudah meramalkan bahwa “orang-orang kate bermata sipit itu” tak akan lama berada di Nusantara. Hari demi hari, Bupati Soerjo tetap memimpin rakyat Magetan dalam suka dan duka. Kendati memutuskan untuk bekerja sama dengan penguasa militer Jepang, sikap Soerjo jauh dari watak seorang penjilat. Itu dibuktikan dengan tidak sudinya ia memenuhi permintaan penguasa militer Jepang mengumpulkan perempuan muda untuk diserahkan kepada para serdadu sebagai pelampiasan nafsu mereka. Sikap tegas sang Bupati tidak saja dianut sendiri, namun kerap ia katakan sebagai perintah resmi kepada bawahannya. “Eyang Soerjo selalu menekankan kepada para bawahannya jangan sampai mau disuruh-suruh mencarikan perempuan oleh orang-orang Jepang itu,” tutur Witjaksono, salah seorang cucu Soerjo. Penguasa militer Jepang benar-benar menjadikan wilayah bekas jajahan Belanda sebagai modal perang melawan Sekutu. Dengan memanfaatkan tanah subur dan produktif, mereka memaksa rakyat untuk memberikan sebagian besar hasil pertanian kepada penguasa militer Jepang. Padi yang merupakan makanan pokok penduduk pun tak lepas dari incaran mereka. Akibatnya rakyat tak bisa menikmati hasil jerih payahnya dan terpaksa hidup miskin karena tak memiliki apa-apa lagi. Bukan hal yang aneh jika saat itu rakyat hanya mengkonsumsi singkong, jagung bahkan akar pohon pisang untuk pengganti nasi. Sebagai lauknya, mereka terpaksa memakan bekicot, tikus sawah dan belalang. Ketiadaan uang membuat rakyat juga tak memiliki daya beli. Untuk pakaian sehari-hari, mereka terpaksa menjadikan karung goni sebagai bahan baju dan celana. “Kalau dipakai rasanya tidak enak dan gatal luar biasa karena pakaian goni yang kami pakai sering dijadikan sarang kutu busuk,” ujar Kasmijo (93), penduduk Magetan yang pernah mengalami masa penjajahan Jepang. Selain menjadikannya tenaga logistik, penguasa militer Jepang memaksa orang-orang yang masih muda terlibat dalam persiapan perang. Puluhan ribu kaum lelaki produktif dijadikan romusha (prajurit pekerja) dan dikirim ke berbagai fron terdepan untuk membangun benteng pertahanan, jalan kereta api, lapangan terbang, jembatan dan dermaga. Khusus bagi para pemuda, mereka direkrut menjadi tenaga tempur dalam berbagai kesatuan “sukarelawan” semacam Heiho, Sainedan, Keibodan, dan tentara Peta atau Pembela Tanah Air. Kaum perempuan pun tak lepas dari kesewenang-wenangan penguasa militer Jepang. Dengan dalih akan dipekerjakan di bagian administrasi, mereka dipaksa sebagai pemuas nafsu para serdadu yang baru pulang dari medan laga. Jumlah jugun ianfu (perempuan penghibur, arti harfiahnya: asisten tentara) ini sangat banyak, hingga mencapai puluhan ribu. Bukan hanya di wilayah eks jajahan Belanda, mereka pun disebar ke wilayah-wilayah luar yang dikuasai oleh militer Jepang seperti Singapura, Malaya dan Burma.   Sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan yang dikendalikan militer Jepang, Soerjo menghadapi dilema dalam situasi yang suram itu. Bisa dipastikan, menghadapi kesewenang-wenangan serdadu Jepang terhadap rakyatnya, Soerjo sendiri nyaris tak bisa berbuat banyak. Hanya satu yang berani ia lakukan yaitu menolak mentah-mentah permintaan penguasa militer Jepang untuk menyerahkan kaum perempuan sebagai jugun ianfu . Anehnya, militer Jepang sendiri tak berani menindak “pembangkangan” Soerjo itu. “Mungkin mereka sadar Eyang Soerjo adalah tokoh yang sangat dicintai rakyatnya hingga jika menangkapnya hanya akan menimbulkan gejolak,” ujar Donny Ariotejo.

  • Kisah Hamka dan Si Kuning

    SUATU subuh tahun 1950-an, Hamka dikejutkan dengan erangan seekor kucing kecil di sekitar rumahnya. Sedari malam suara kucing memang sudah terdengar oleh keluarga Hamka tetapi karena jauh mereka mengabaikannya. Namun kini suaranya sudah sangat dekat, seperti ada di depan teras rumah. Suara itu benar-benar mengganggu kekhusyukan shalat Hamka dan keluarganya. Selepas shalat, Hamka buru-buru mendatangi sumber suara tersebut. Dan benar saja, di depan pintu rumahnya sudah ada seekor anak kucing domestik berwarna kuning yang tampak kotor dan kurus. Kondisinya cukup memperihatinkan. Diceritakan oleh putra ke-5 Hamka, Irfan Hamka dalam Ayah: Kisah Buya Hamka , kucing itu segera dibawa masuk dan dibersihkan oleh ayahnya. Tidak lupa secangkir susu dan beberapa potongan kain disiapkan untuk si kucing. Hamka terlihat begitu senang melihat kucing kurus itu terlelap setelah menghabiskan susu yang ia siapkan. “Si Kuning” begitulah Hamka memanggil peliharaan barunya itu. Empat bulan berlalu, Si Kuning yang saat ditemukan sangat lusuh telah tumbuh menjadi kucing remaja yang begitu sehat. Ia mempunyai tugas khusus di keluarga Hamka: berburu tikus. Sejak ada si Kuning, kata Irfan, rumah di Gang Toa Hong II, Kebon Jeruk itu terbebas dari tikus-tikus yang selama ini sangat mengganggu. “Si Kuning sangat menurut pada Ayah. Pernah ketika Ayah berpergian ke Amerika selama empat bulan, Si Kuning tampak kesepian. Ia mengeong terus mencari-cari Ayah,” ucap Irfan. Pada pertengahan tahun 1956, Hamka dan keluarganya pindah rumah ke Jalan Raden Fatah. Tidak lupa mereka membawa serta Si Kuning. Kucing itu ditempatkan di dalam sebuah sangkar besi. Namun karena proses pindahan menyita banyak waktu, Si Kuning hampir dua hari tidak dikeluarkan. Mereka khawatir si Kuning akan berkeliaran dan mengganggu. Sorenya, entah siapa yang membuka, kucing itu sudah ada di luar kandangnya. Ia berlarian kesana kemari. Karena fokus seluruh keluarga sedang teralihkan, Si Kuning tidak ada yang memantau. Hingga akhirnya mereka sadar kalau kucing kesayangan Hamka telah hilang. Irfan dan seluruh anggota keluarga lalu mencari Si Kuning di sekitar rumah mereka. Namun tetap tidak ditemukan. Sang ayah, yang saat itu bekerja di Kementerian Agama, sedang melakukan perjalanan dinas. Ia sama sekali belum tahu kabar hilangnya Si Kuning. “Sampai malam Si Kuning tidak ditemukan. Ayah marah ketika mendengar kucing kesayangannya hilang,” kata Irfan. Dua minggu berlalu. Si Kuning masih belum juga ditemukan. Keluarga pun sudah pasrah dengan kepergian kucing itu. Namun tanpa diduga, kabar keberadaan Si Kuning kembali terdengar. Ketika itu Irfan dan sang ibu sedang berkunjung ke beberapa tetangga di rumahnya dulu di Gang Toa Hong. Menurut para tetangga, kucing Hamka terlihat berkeliaran selama beberapa hari di bekas rumah mereka. Kemudian kembali menghilang. Irfan terkejut sekaligus heran mendengar kabar tersebut. Bagaimana bisa Si Kuning tahu jalan ke rumah itu, mengingat ketika proses pindahan kucing itu ditempatkan di dalam truk bersama perabotan lainnya. Dua bulan sudah si Kuning hilang. Kabar dari para tetangga sebelumnya tidak cukup membantu keluarga Hamka menemukan si kucing. Namun suatu sore, ketika seluruh anggota keluarga sedang bersantai, terdengar suara kucing di depan rumah. Sontak semua orang terbangun dan berlari keluar. Bukan main, dugaan mereka tepat kalau kucing itu adalah Si Kuning. “Kami mengenal betul suara Si Kuning. Dengan lemas, kucing jantang berbulu kuning itu muncul di depan pintu yang terbuka. Melihat kedatangan Si Kuning, ayah yang sedang turut menikmati mi rebus langsung berjongkok dan memangku kucing kesayangan itu dengan terharu,” kenang Irfan. Si Kuning segera diberi makan dan diobati. Ia begitu kurus dan terdapat sejumlah luka di tubuhnya. Dalam beberapa hari, kondisi Si Kuning sudah mulai membaik. Ia sudah kembali berlarian kesana kemari seperti biasa. Semua orang masih dibuat tidak percaya. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana perjuangan Si Kuning kembali ke rumah itu. Terlebih jarak rumah sebelumnya dan tempat tinggalnya sekarang yang cukup jauh, hampir 50 kilometer jauhnya. Ada beberapa kebiasaan unik Si Kuning ketika bersama Hamka. Setiap malam kucing itu tidur di kamar Hamka. Tempat kesukaannya: sudut tempat tidur, dekat kaki Hamka. Selain itu Si Kuning juga sering duduk di pangkuan Hamka ketika sedang menulis karangannya. Kebiasaan lain Si Kuning yang sangat diingat Irfan adalah kebiasaan ikut Hamka ke masjid. “Bila berjalan, ia selalu di muka Ayah. Baik pergi maupun pulang. Waktu shubuh, maghrib, ataupun isya, selama Ayah dan kami shalat, Si Kuning selalu menunggu dengan setia di dekat pintu masjid. Banyak jamaah yang terheran menyaksikan kesetiaan si Kuning pada Ayah,” kata Irfan. Pada 1964, Si Kuning dan Hamka sempat terpisah dalam waktu yang cukup lama. Tuduhan pemerintah terhadap Hamka membuat ia terpaksa harus mendekam di balik jeruji besi. Pada masa-masa tersebut, Si Kuning bertingkah aneh. Menurut Irfan kucing itu jarang pulang. Hanya pada waktu makan saja ia kembali ke rumah, kemudian menghilang lagi. Tetangga sering melihatnya berkeliaran di sekitar masjid tempat Hamka biasa shalat. Ketika Hamka dibebaskan, Si Kuning kembali bertingkah normal. Ia lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Namun posisinya sebagai hewan paling disayang mulai sedikit tergantikan. Selain perhatian dari Hamka yang berkurang karena kesibukan, kemunculan kucing lain pun menjadi sebab utamanya. Kucing putih berjenis Angora pemberian seorang kawan telah menjadi primadona baru di keluarga tersebut. “Sejak kehadiran kucing berbulu gimbal warna putih itu, Si Kuning tidak pernah lagi masuk ke dalam rumah Ayah. Tampaknya Ibu (ibu tiri Irfan) kami tidak membolehkan Si Kuning datang. Mungkin takut berkelahi dengan kucing Angora yang menjadi kesayangan Ibu,” terang Irfan. Setelah Hamka wafat, Si Kuning kembali meninggalkan rumah. Kali ini kepergiannya tidak diketahui oleh siapapun. Dari keterangan adiknya, Hilmi, Irfan mengetahui kalau beberapa orang pernah melihat keberadaan kucing itu sekitar masjid. Kondisinya sudah sangat lemah. Tetangga mereka yang pernah berziarah ke makam Hamka juga bertutur jika melihat Si Kuning di dekat pusara Hamka. Kucing itu sudah sangat dikenal di lingkungan rumah Hamka sehingga orang-orang pasti akan langsung mengenali dirinya. “Karena penasaran, selesai shalat Jum’at aku langsung menuju Tanah Kusir (makam Hamka). Di sana, aku tidak melihat Si Kuning. Kujelajahi area pemakaman namun tidak juga kujumpai Si Kuning. Ada memang beberapa ekor kucing yang kutemui, namun Si Kuning tidak ada. Beberapa kali lagi aku ziarah ke makam Ayah, tetap Si Kuning tak lagi kujumpai,” tutur Irfan.

  • Ingin Mulai Aksi Massa, Aktivis Malah Ditangkap Massa

    BERITA kekalahan Jepang membuat para pemuda yang dimotori Chairul Saleh, Sukarni, Wikana, Adam Malik, Maruto Nitimihardjo tak sabar ingin kemerdekaan segera diumumkan. Untuk itulah mereka mendesak pemimpin nasional golongan tua, yang diwakili Sukarno-Hatta, segera memproklamasikan kemerdekaan. Sambil terus memajukan kehendaknya, para pemuda terus bergerak menyelesaikan segala rencana yang bakal dilakukan ketika kemerdekaan telah dicapai. Mereka mencetak dan menyebarkan pamflet-pamflet kemerdekaan, menggalang massa, dan mengatur siasat untuk bergerak begitu Indonesia telah dicetuskan. Kesibukan para pemuda di situasi yang bergerak cepat itu membuat BM Diah, wartawan Asia Raya  yang ikut bergabung bersama kelompok pemuda nasionalis, bingung begitu keluar dari tahanan Jepang. “Tanggal 15 Agustus pagi saya berada di luar penjara Jepang, di udara bebas. Segera setelah di luar, saya menemui keluarga saya. Kemudian mencari kawan-kawan yang bergerak dalam Angkatan Baru. Saya mencari Sukarni di rumahnya. Tidak ada. Dikatakan bahwa ia menyembunyikan diri karena bersama saya delapan hari lalu banyak pemuda diburu polisi Jepang. Kemudian saya mencari Chairul Saleh. Juga saya tidak mendapatkannya di rumahnya. Saya mencari Supeno dan Soediro di Cikini, di tempat kami kadang-kadang berkumpul. Juga mereka tidak saya temukan,” kata BM Diah memoarnya, Catatan BM Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45 . Kesibukan itulah yang membuat tokoh-tokoh pemuda justru alpa di Hari-H proklamasi. “Pada hari proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, kawan-kawan tidak ada yang hadir di Pegangsaan 56. Kami masing-masing sibuk. Saya dengan Pandu meroneo pamflet proklamasi. Sedangkan Chairul katanya diamankan orangnya Kaigun di Jln. Kebon Sirih 71, dengan alasan untuk menghindari penangkapan dari orang-orangnya Gunseikanbu (semacam garnisun). Sukarni, saya tidak tahu dia di mana, Adam Malik sedang sibuk menyiarkan proklamasi lewat kantor berita Domei  bersama Syarudin. Pendek kata, kami tidak ada yang hadir,” kata Maruto Nitimihardjo dalam testimoninya di biografi Chairul,  Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Sore setelah proklamasi dibacakan, Maruto, Chairul, Adam, Wikana dan beberapa anak buahnya, serta Jawoto berkumpul kembali di sekolahnya Jawoto. “Kita semua groggy , frustasi,” sambung Maruto. Keadaan berlainan dari yang mereka rencanakan sebelumnya membuat mereka frustasi. “Kita sudah capai-capai kok tidak ada aksi kelanjutan?” Saking frustrasinya, Pandu Kartawiguna bahkan sampai stres dan mengamuk. Kerisnya dia cabut dari sarungnya dan dia coba bunuh siapapun yang kebetulan melintas di dekatnya. “Dengan susah payah kita menenangkan Bung Pandu.” Setelah beristirahat dan suasana tenang, mereka kembali berembuk. Diputuskan bahwa keesokan harinya, 18 Agustus, mereka kembali bergerak. Sasarannya Gedung Raad van India (kini Gedung BP-7 di Kompleks Kemenlu, Pejambon). Di sanalah para anggota PPKI bersidang. Pada Hari-H, para pemuda yang sudah pindah markas ke Prapatan 10, lalu menyabot sidang PPKI dengan menculik beberapa pemimpinnya. “Kita boikot, karena kita anggap bahwa badan tersebut berbau Jepang,” sambung Maruto. Selain Sukarno-Hatta, anggota PPKI yang hadir memenuhi permintaan pemuda ke Prapatan 10 antara lain Achmad Subarjo, Teuku Moh. Hasan, dan Mr. Ketut Puja. Sutan Sjahrir kemudian datang setelah dijemput Abubakar Lubis dan kawan-kawan penghuni Prapatan 10 yang pengikut Sjahrir. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan melaksanakan apa yang tercantum dalam proklamasi: pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Selain itu, menggerakkan rakyat di ibukota untuk menunjukkan Indonesia sudah merdeka. Untuk itu, isyarat pembuka gerakan pun ditetapkan berupa: tembakan meriam penangkis udara di Kemayoran, pembakaran di Jatinegara, dan penggerakan satu batalyon Heiho di Jatinegara untuk menguasai Jakarta. Namun, kurangnya koordinasi dan adanya miskomunikasi membuat aksi-aksi yang ditetapkan berjalan sendiri-sendiri dan berakhir tanpa sesuai rencana. “Pamflet proklamasi yang sudah kita sebarkan pun tidak kita ketahui, apa sudah tersebar ke pelosok-pelosok dan bagaimana reaksi masyarakat? Tanda berkobarnya api di Jatinegara yang sedianya dinyalakan oleh Saudara Jamil dengan membakar rumah WTS di Kebonpala, berkesudahan Jamil ditangkap oleh rakyat di sekitarnya. Pendek kata, semua gagal,” kata Maruto.

  • Asal-Usul Nama Candi Borobudur

    Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, langsung tertarik ketika Tan Jin Sing, bercerita soal candi besar di Desa Bumisegoro, dekat Muntilan. Ia pun meminta Tan Jing Sing melihat candi itu. Sesampainya di sana, Tan Jing Sing mengajak warga desa bernama Paimin sebagai penunjuk jalan. “Menurut Paimin namanya candi Borobudur,” tulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta . Niken Wirasanti, arkeolog Universitas Gadjah Mada, dalam “B orobudur: Misteri Batu Tak Berujung ” termuat di  200 Tahun Penemuan Candi Borobudur , menyebut entah bagaimana asal asulnya candi itu sudah bernama Borobudur. Begitu banyak misteri soal Borobudur hingga persoalan nama pun telah banyak menarik perhatian para ahli dan pemerhati seni untuk menelusurinya .    Rafflesdalam  History of Java menulis berdasarkan cerita penduduk desa di sekitar candi bahwa Borobudur berasal dari kata  boro  dan  budur . Budur artinya "purba". Karenanya Borobudur dapat diartikan "boro purba". Sementara Raffles sendiri berpendapat Borobudur berasal dari kata  boro artinya "agung" dan  budur dari kata Buddha. Jadi, arti Borobudur adalah "Buddha yang Agung". Pakar sastra Jawa Kuno, R.M. Ng. Poerbatjaraka, menerjemahkan  boro  dengan "biara" karena ada nama tempat yang diawali dengan kata  boro , yaitu Boro Kidul, artinya "Biara di Selatan". Kemudian arkeolog Belanda, Willem Frederik Stutterheim mengartikan Borobudur sebagai "biara di atas bukit" karena buḍur  berasal dari bahasa Minangkabau, buduā , artinya "sedikit menonjol" atau "bukit". Sedangkan J.L. Moens mengatakan Borobudur merupakan nama Jawa. Asalnya dari kata  bhārabudhūr  dalam bahasa India Selatan yang artinya "kota". Jadi, Borobudur artinya "kota Buddha". Berbeda lagi dengan filolog Belanda, J.G. de Casparis. Ia mengaitkan Candi Borobudur dengan Prasasti Sri Kahulunan yang dikeluarkan pada 824. Telaahnya menghasilkan istilah bhumisambarabhudara . Nama itulah yang menjadi nama Borobudur. Interpretasi Casparis itu kemudian populer dan terus dirujuk sebagai acuan tentang berdirinya Candi Borobudur. Pendapatnya mendapat dukungan dari John N. Miksic, peneliti dari Southeast Asian Studies Department, National University of Singapore. Ia juga menyebut kalau kata Borobudur berasal dari bhumisambhara ( -bbudhara ). Pun sejarawan Slamet Muljana yang menyebut Borobudur berasal dari kata Kamulān Bhūmisambhara . “Di lingkungan masyarakat ilmiah pendapat itu masih dipermasalahkan dan tetap menjadi misteri yang hingga kini tak henti-hentinya diteliti,” jelas Niken. Karenanya hingga kini asal-usul nama Borobudur masih belum jelas dan masih membuka banyak pendapat. Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam “Reinterpretasi Nama Candi Borobudur” termuat di  Jurnal Amerta Vol 30. No. I, Juni 2018, berpendapat dalam mencari arti kata Borobudur, langkah awal adalah mencari kata  boro  dan  budur  yang terdapat di dalam data tekstual. Utamanya dalam karya sastra dari masa Jawa Kuno. Itu baik berupa prosa, kidung, maupun kakawin. Candi Borobudur dalam Berbagai Sumber Secara umum, sumber candi dan sumber tekstual sering tak saling mendukung. Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto dalam “Kewaspadaan Terhadap Candi Borobudur Berdasarkan Data Epigrafis”, termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur, menyebut satu-satunya candi yang dapat dikaitkan secara langsung dengan sumber prasasti adalah Candi Kalasan di Yogyakarta, yaitu dengan Prasasti Kalasan dari 778. prasasti itu “Tempat pemujaan bagi Tarabhawana, sebuah bangunan suci yang bernama Kalasa sebagai tempat pemujaan umatnya,” kata prasasti itu. Bangunan suci yang dikaitkan dengan prasasti umumnya hanya berupa penafsiran kecocokan di antara keduanya. “(Contohnya, red .) Uraian gugusan candi yang terdapat dalam prasasti Siwagrha dari 856 dapat disesuaikan dengan susunan kompleks percandian Lara Jonggrang atau Prambanan,” jelas Joko. Selain dengan keterangan Prasasti Sri Kahulunan, Borobudur juga dihubungkan dengan Prasasti Karangtengah. Di dalamnya terdapat keterangan seorang raja bernama Samaratungga. Putrinya, Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya dan Wenuwana. Casparis mengaitkan Wenuwana dengan Candi Mendut. Sedangkan arkeolog Soekmono mengidentifikasinya sebagai Candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama. Adapun Jinalaya diduga merujuk pada Candi Borobudur. Selain dengan prasasti, ada juga karya sastra yang menyebut Borobudur, di antaranya Babad Tanah Jawi. Karya inidiperkirakanditulis pada abad ke-18. Di dalamnya ada cerita pemberontak Ki Mas Dana yang melarikan diri ke Bukit Borobudur. Pringgalaya mengejar dan menangkapnya, kemudian dihadapkan ke sunan untuk menerima hukuman yang kejam. J.L.A Brandes, filolog dan sejarawan seni asal Belanda, sebagaimana dikutip J.F. Scheltema dalam  Monumental Java , meyakini Bukit Borobudur itu adalah Candi Borobudur yang terdapat di Magelang, Jawa Tengah. Karena tak ada lokasi lain yang punya nama semirip itu. Rujukan tentang candi ini diduga yang dimaksud oleh Mpu Pranpanca dalam Nagarakrtagama dari masa Majapahit . Di sana disebutkan salah satu bangunan suci Buddha yang bernama Budur. Ini sesuai dengan tulisan Raffles,  History of Java , yang menyebut Candi Borobudur berada di Distrik Budur. “Demikianlah kasugatan kabajradharan (bangunan suci Buddha Bajradhara) adalah sebagai berikut… yang lainnya yaitu Budur, Wirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watukura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wangkali, dan Beru, Lembah, Dalinan, Pangadwan, adalah daerah perdikan pertama yang ditetapkan,” catat Mpu Prapanca. Namun, Titi mengatakan bahwa kata Budur, selain sebagai nama bangunan suci, juga merujuk pada salah satu jenis minuman keras. Dalam tulisannya yang lain, “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno”, yang termuat dalam  Proceeding Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. II.B,  Titi mendaftar semua jenis minuman keras, yang ada dalam data tekstual, termasuk budur seperti disebut dalam teks  Ādiparwa . “…Brāhmaṇa tidak makan daging babi yang diternakkan, tidak minum minuman keras, surāpāna namanya minuman keras dan sejenisnya yang disebut tuak, waragaŋ, baḍyag, tuak tal, buḍur, demikian (disebutkan dalam) kitab suci Bagawān Śukra,” catat teks itu. Ada lagi dalam teks  Calon Arang : “Tidak lama datang apa yang diminta: tuak, nasik, laukpauk, tampo, brěm, kilang, dan yang lainnya sampai srěbat-buḍur." Kemudian dalam  Kidung Harsawijaya: “Makanan, minuman keras tidak ketinggalan, tuak, badeg, siwalan, buḍur dan mrěsi, sěrbat bersama dengan arak harum." Dengan lebih jelas, Kakawin Kāṇḍawawanadahana  (Terbakarnya Hutan Kāṇḍawa), yaitu naskah yang sampai saat ini belum diterjemahkan, menjelaskan asal usul budur. “Membuat perumahan sementara...dengan atap dari daun buḍur." Titi pun menyimpulkan bahwa buḍur  adalah nama tumbuhan sejenis aren atau enau. Airnya bisa dibuat minuman keras dan daunnya dijadikan atap rumah. Karenanya, menurut Titi, tak aneh jika Borobudur bisa diartikan sebagai "biara yang ada di Budur" atau biara yang ada di tempat yang banyak ditumbuhi pohon budur . Di Indonesia banyak ditemukan nama tempat yang menggunakan nama tumbuhan. Misalnya, seperti di Jakarta, ada Kampung Rambutan, Kebon Nanas, Kebon Kacang, dan Kemang. Penamaan itu sudah terjadi dulu. Titi mengatakan dalam prasasti banyak nama desa yang memakai nama tanaman. Contohnya Poh (mangga), Bungur , dan Nyū (kelapa). “Saya setuju dengan pendapat Poerbatjaraka yang menyebut Borobudur adalah biara di Buḍur. Kata Buḍur diambil dari sejenis tanaman aren, yang mungkin pada saat itu banyak ditemukan di tempat itu,” jelas dia.

  • Pierre Tendean, Si Galak yang Memikat

    Pada hari Jumat terakhir sebelum tragedi 1 Oktober 1965, Jenderal Abdul Haris Nasution berkunjung ke Bandung. Nasution diundang memberikan ceramah kepada anggota Resimen Mahasiswa Batalyon Universitas Padjajaran. Dalam acara itu, Nasution dikawal oleh seorang ajudannya yang berparas indo. “Yang mendampingi saya adalah adalah ajudan yang paling muda, Letnan Satu Pierre Tendean. Ia terhitung pemuda yang ganteng, dan terus ia saja menjadi sasaran kerumunan para mahasiswa,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru. Tercatat 15 April 1965, Pierre resmi menjadi ajudan Nasution yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Pierre merupakan ajudan termuda yang berpangkat letnan satu. Sementara tiga ajudan Nasution lainnya sudah berpangkat kapten. Mengemban tugas sebagai ajudan mengharuskan Pierre ikut ke mana saja Nasution bertugas. Menurut biografi resmi Pierre Tendean dalam Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi , kegiatan Nasution yang paling sering di kawal Pierre adalah agenda main tenis. Keluarga Nasution biasanya main tenis dua kali seminggu di lapangan tenis Menteng dan Senayan. Menurut Saifuddin Sofyan, mantan pemungut bola ( ball boy ) lapangan tenis Senayan, Pierre termasuk orang yang pendiam. Bicara hanya seperlunya saja. Pierre juga tidak segan menindak petugas lapangan tenis apabila berbuat lalai. Misalnya, saat ikatan net kurang kencang. Biasanya, Saifuddin dan kawan-kawannya kena hukuman oleh Pierre berupa push up di tempat. Lain waktu, Nasution pulang dinas dari Bandara Kemayoran menuju ke rumahnya di Jalan Teuku Umar No. 40. Saat itu mobil Nasution terjebak macet. Pierre yang mendampingi segera berinisiatif turun dari mobil dan turun ke jalan. Jadilah Pierre Tendean menjadi petugas lalu lintas dadakan. Akibat ulah Pierre, mobil yang ditumpangi Nasution akhirnya bisa melengos di jalan sekaligus mengurai kemacetan yang ada.   Di kediaman Nasution, Pierre menempati paviliun khusus tempat tinggal para ajudan. Pierre sering diledek “Jawa Londo” oleh anak-anak Menteng sekitar kediaman Nasution. Olokan tersebut lantaran fisik Pierre yang berkulit putih, berhidung mancung, dan postur jangkung 175 cm. Tapi kalau sudah berbicara, maka Pierre terdengar medok dengan logat Jawa-Semarangnya yang sangat kental. Kepada putri-putri Nasution, Pierre menampilkan perangai yang berbeda. Terhadap si sulung Yanti yang kala itu beranjak remaja, Pierre bersikap tegas, disipilin, dan terkesan galak. Yanti kerap kena tegur Pierre kalau menginap di rumah kawannya atau ketahuan coba-coba belajar menyetir mobil. Namun kalau berhadapan dengan sang adik, Ade Irma, Pierre luluh. Pierre cenderung melunak dan memanjakan putri bungsu Nasution ini. Saban sore, Pierre selalu menemani Ade bermain sepeda di halaman belakang rumah. Sementara istri Nas, Sunarti, kerap kali berperan menjadi pamong yang selalu menasihati Pierre, terutama soal percintaannya dengan Rukmini. “Walaupun demikian, Yanti mengakui bahwa wajah Pierre ganteng luar biasa, yang memesona lawan jenis. Namun, dengan kekakuannya, Pierre jarang tampak genit di depan kaum hawa,” catat tim penulis biograsi resmi Pierre Tendean yang disunting Abie Besman. Selain kegiatan di dalam kota, Pierre pun harus siaga sewaktu-waktu Nasution dinas ke kota lain. Nasution acap kali menjadi tamu undangan sebagai pembicara dalam konferensi atau seminar nasional. Biasanya, Pierre lah yang sering diminta Nasution untuk mendampingi dalam kunjungan di luar kota. Di saat Nasution menjadi pembicara, sosok Pierre ternyata menjadi pusat perhatian. Paras tampan Pierre selalu jadi magnet peserta seminar terutama peserta dari kalangan kaum hawa. Bukan sebuah pemandangan lazim jika seorang pria keturunan Indonesia-Prancis berbadan tegap mengawal seorang jenderal penting di jajaran angkatan bersenjata. Para perempuan yang penasaran sering berbisik dan bertanya, siapa sosok pemuda tampan yang mengajudani Jenderal Nasution itu? Hal yang sama pun terjadi ketika Pierre mendampingi Nasution di Bandung, yang menjadi tugas terakhir pengawalannya. Para peserta memang mendengar pidato atau ceramah dari sang jenderal tetapi mata mereka teralihkan ketika melihat sosok Pierre Tendean. Kiranya, dari sinilah muncul istilah yang populer saat itu, “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.”

  • Ketika Bangsa Eropa Memperebutkan Maluku

    DAYA tarik Kepulauan Maluku seolah tidak akan ada habisnya. Rempah kebanggan mereka (pala dan cengkeh) telah membuka jalan bagi kepulauan di sebelah timur Makassar itu bergaul dengan bangsa dari belahan bumi lain. Berjalan cukup baik di awal, namun berubah kacau kemudian. Bangsa asing itu perlahan memperlihatkan kerakusannya. Tercatat ada empat bangsa Eropa yang secara gamblang berlomba menarik hati rakyat Maluku, yakni Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris. Semuanya datang dalam waktu yang cukup berdekatan. Setiap kali satu kekuatan runtuh, kekuatan lain dengan sigap mengambil alih. Maluku tidak pernah sepi dari para pencari kekuasaan. Inggris menjadi yang paling dicintai, sementara Belanda yang paling dicaci. Sejak abad ke-16 hingga empat abad setelahnya, Maluku secara langsung terlibat dalam ajang pergumulan orang-orang Eropa tersebut.  Wilayah Ambon, Bacan, Banda, Ternate, dan Tidore menjadi pusat kegiatan para pendatang itu. Berawal dari penemuan jalur menuju Nusantara oleh bangsa Portugis, petualangan mereka mencari aneka bumbu yang mewah di Eropa itu pun dimulai. Dari hasil penelitian sejarawan Meta Sekar Puji Astuti diketahui bahwa orang-orang Eropa itu datang karena dorongan sebuah dongeng yang sengaja dibuat di tempat mereka. Dongeng yang berasal dari para pedagang Arab itu menyebut sebuah tanaman yang dapat memberi cita rasa untuk segala jenis makanan. Bahkan dipercaya mampu menyembuhkan beberapa jenis penyakit yang saat itu mewabah di daratan Eropa. Namun yang paling menarik perhatian rakyat Benua Biru adalah harganya. “Selama bertahun-tahun pala diperdagangkan di Jalur Sutra oleh orang-orang Arab dengan harga ribuan kali lipat dari wilayah asalnya,” kata Meta kepada Historia. Gabungan Kekuatan Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang tiba di Maluku. Para pelaut dari barat daya Eropa ini merapatkan kapalnya pada 1512, setelah setahun sebelumnya memastikan penguasaan Malaka. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental , para penjelajah Portugis tiba di bawah pimpinan Fransisco Serrao, salah satu kapten kapal dalam ekspedisi Antonio de Abreu. Dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di wilayah Maluku. Kedatangan Serrao di Maluku mendapat sambutan yang hangat dari penduduk. Meski sejumlah hambatan, utamanya komunikasi, sempat membatasi hubungan kedua bangsa ini, dengan cepat halangan tersebut diatasi. Orang-orang Portugis mampu beradaptasi dengan baik. Belum lama mereka tinggal, kepercayaan rakyat sudah berhasil didapat. Penduduk Ternate, kata Pires, menjadi kawan terdekat bangsa Portugis di Maluku. Pemimpinnya, Sultan Bayanullah, banyak memberikan bantuan. “Kabarnya raja ini sangat memegang teguh keadilan. Ia menjaga rakyatnya agar tetap patuh. Ia berkata bahwa ia akan sangat senang bertemu dengan pendeta Kristen, karena apabila keyakinan kita tampak lebih baik di matanya maka ia akan meninggalkan sektenya (agama Islam), kemudian memeluk agama Kristen.” Perlahan namun pasti, orang-orang Portugis mulai menyebarkan pengaruhnya di Maluku. Mula-mula Ternate dikuasai, baik secara politik maupun budaya, kemudian daerah-daerah di sekitarnya turut menjadi incaran. Namun hambatan besar mulai dirasakan saat mereka mencoba menguasai Tidore. Wilayah yang sejak lama berselisih dengan Ternate itu menolak kehadiran mereka. Portugis pun lantas menggunakan cara keras dalam usaha menguasai kerajaan milik ayah Sultan Bayanullah tersebut. Tekanan dari Portugis membuat posisi Tidore terpojok. Gempuran persenjataan lengkap bangsa Eropa itu sangat menyulitkan. Tidore membutuhkan bantuan besar. Dalam penelitian Hubert Jacobs, A Treatise on the Moluccas: Probably the Prellminary Version of Antonio Galvao’s Lost , disebutkan bahwa pertolongan tak terduga tiba pada 8 November 1521. Dua orang pelaut Spanyol, Carvalhinho dan Goncalo Gomes, tiba di Tidore bersama sejumlah pasukan. Mereka diterima dengan baik ketika memasuki pelabuhan Tidore. Spanyol pun praktis terlibat dalam perselisihan Tidore-Ternate. Sekaligus menantang musuh bebuyutannya di Eropa yakni Portugis dalam perebutan kuasa atas rempah Maluku. “Dengan demikian dalam perang itu terdapat di satu pihak Tidore yang dibantu orang-orang Spanyol dan di lain pihak Ternate yang dibantu orang-orang Portugis,” Sartono Kartodirdjo, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jilid 3 . Perang di Maluku terjadi dalam suasana yang serba tidak menentu. Meski dalam sejumlah peperangan kekuatan Ternate bersama kawan-kawan Portugisnya lebih unggul, tetapi mereka tidak bisa mempertahankan keutuhan dari dalam. Koalisi Tidore-Spanyol dan Ternate-Portugis ternyata tidak bertahan lama. Semakin lama rakyat semakin melihat sifat buruk orang-orang Eropa itu, yang sedari awal hanya mengincar rempah-rempah milik mereka dengan cara memecah belah penduduk Maluku. Keruntuhan kuasa Spanyol dan Portugis di Maluku semakin terlihat setelah kedua negara itu menyepakati Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529. Di tambah sejumlah peristiwa di dalam masing-masing kerajaan yang melibatkan bangsa asing, membuat suasana semakin keruh. Ikut campurnya mereka dalam urusan politik kerajaan adalah sebab utama rakyat ingin kedua bangsa itu keluar dari Maluku. Sejumlah perlawanan mulai digelorakan rakyat di beberapa tempat. Meski dua tokoh utama, Ternate dan Tidore, belum berbaikan, tetapi perlawanan yang terpecah itu mulai merepotkan kedudukan Portugis dan Spanyol. Rakyat berhasil menduduki benteng pertahanan, dan melucuti persenjataan keduanya. Portugis bahkan terusir dari tanah Ternate pada 28 Desember 1577. Mereka pun terpaksa mengungsi ke pulau-pulau sekitar untuk mengamankan diri. “Portugis dan Spanyol disatukan di bawah Raja Felipe II, dan raja ini menyuruh Gubernur Jenderal Spanyol yang berkedudukan di Filipina untuk memberi bantuan kepada orang-orang Portugis di Maluku,” tulis Kartodirdjo. Dibantu tentara Spanyol, Portugis berusaha merebut kembali Ternate. Namun sayang pada 1605, Belanda keburu datang mengacaukan jalannya perang di perairan Maluku. Kekuatan gabungan Portugis-Spanyol pun akhirnya teralihkan ke Belanda. Rakyat Maluku yang sudah muak dengan dua bangsa Eropa tersebut lantas memberi bantuan kepada Belanda. Meski tidak tahu bagaimana perangai para pendatang ini. Gabungan kekuatan Ternate-Belanda mampu memukul mundur Spanyol dari Ternate dan Tidore. Segera Belanda membangun benteng-benteng pertahanan di beberapa tempat strategis. Pada 1620-an Belanda sudah berhasil mengamankan posisinya di Perairan Maluku. Mereka akhirnya bisa mulai memonopoli rempah dengan tenang. Menuju Perjalanan Panjang Rupanya ketenangan dalam proses monopoli ini tidak begitu saja didapat. Meski Portugis dan Spanyol telah disingkirkan, Belanda kembali dipusingkan dengan keberadaan orang-orang Inggris. Pasukan Raja James itu telah menempati perairan Maluku sejak 1605. Namun mereka tidak ikut serta dalam konflik Portugis-Spanyol. Inggris sibuk membangun wilayah koloninya, seperti terlihat di pulau Run. Menurut I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura , rakyat Maluku dipaksa berhutang budi kepada Belanda ketika proses pengusiran Portugis dan Spanyol. Akibatnya mereka harus menuruti segala permintaan Belanda, termasuk melarang penduduk menjual rempah-rempahnya kepada bangsa lain. Semua perdagangan rempah diatur dengan menempatkan Belanda sebagai prioritas. Para penguasa diikat oleh kontrak agar Belanda dapat mudah memonopoli rempah-rempah. Mereka juga mulai membangun pertahanan, dan menyiagakan banyak armada di perairan Maluku. Hal itu dilakukan guna menghalau serangan dari Inggris yang sudah menguasai Banda. Dalam The Banda Islands: Hidden Histories and Mirackles of Nature , Jan Russell menyebut jika Belanda sulit menembus pertahanan Inggris di Banda. Mereka pun sementara hanya bisa menancapkan pengaruhnya di Ambon, Saparua, dan sebagian Maluku Tengah. “Orang Banda itu cukup cerdik. Mereka lebih suka berbisnis dengan orang Inggris dibandingkan dengan orang Belanda,” ucap Meta. Kebencian rakyat terhadap orang-orang Belanda mulai muncul setelah pemerintahan asing itu membuat kebijakan yang memberatkan rakyat. Perlakuan semena-mena, ditambah sistem tanam paksa yang menyengsarakan, membuat rakyat Maluku semakin menutup hatinya untuk para kompeni. Rakyat semakin yakin bahwa orang-orang ini tidak lebih baik dari Portugis dan Spanyol. Tahun 1796 terjadi keributan di Ambon. Kehadiran kapal-kapal berbendera Inggris membuat rakyat bertanya-tanya tentang situasai yang terjadi. Bendera Belanda yang semula berkibar di benteng Victoria juga sudah berganti menjadi ‘Union Jack’ milik Inggris. Ratusan tentara bersenjata lengkap ada di seluruh penjuru kota. Rupanya telah terjadi pergantian kekuasaan antara Belanda dan Inggris atas perairan Maluku. Perang yang berkecamuk di Eropa antara Inggris dan Prancis memaksa kerajaan Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya di Afrika dan Asia kepada Inggris. “Banyak di antara mereka yang tidak dapat mengerti keterangan itu. Pengetahuan mereka tentang Eropa yang begitu jauh letaknya tidak seberapa. Apalagi mau mengerti pergolakan apa yang sedang terjadi di sana,” tulis Nanulaitta. Kepanikan melanda rakyat Maluku. Mereka khawatir tentang nasibnya di bawah penjajah baru ini. Tindakan nekat pun akhirnya menjadi pilihan. Sejumlah orang mencoba menyerang benteng pertahanan Inggris. Namun pada akhirnya perlawanan tersebut dapat dihalau. Sebagai konsekuensi, para pemberontak itu dieksekusi. Perlahan Inggris membangun pemerintahan di seluruh perairan Maluku. Pengalaman selama di Banda dan Run, ditambah informasi tentang cara Belanda memerintah, membuat Inggris cukup berhati-hati dalam membuat kebijakan. Melalui peraturan yang dibuat, Inggris melakukan pendekatan terhadap rakyat dengan cara yang berbeda. Beberapa peraturan perdagangan yang sebelumnya sangat memberatkan mulai diperlunak. Kerja rodi tetap dipertahankan namun diperingan. Rakyat juga diberi kebebasan dalam berbagai aktifitas. Bahkan Inggris melibatkan penduduk dalam sistem militer mereka, dan membentuk kesatuan khusus untuk rakyat. “Harapan baru akan hidup yang lebih baik timbul lagi. Kebun-kebun cengkih dan pala memberi harapan besar. Perniagaan menjadi ramai. Hanya terhadap penyelundupan Inggris bertindak keras juga,” kata Nanulaitta. Namun kesedihan kembali harus dirasakan rakyat Maluku. Tujuh tahun kebebasan di bawah pemerintah Inggris sirna begitu saja ketika mengetahui orang-orang Belanda kembali menerima hak atas tanah Maluku. Keresahan melanda seluruh negeri. Kepergian bangsa yang memberi kedamaian sangat diratapi rakyat Maluku. Tahun-tahun berikutnya konflik antara Inggris dan Belanda atas Maluku terus terjadi. Keduanya bergantian memberi pengaruh di tanah kelahiran Pattimura tersebut. Sampai pada kondisi di mana Inggris sudah tidak dapat lagi menginjakkan kakinya di sana. Sebuah perjanjian tahun 1816, Traktat London, menyelesaikan konflik Inggris-Belanda di Maluku untuk selama-lamanya. Dengan gagahnya Belanda mampu menyingkirkan tiga pesaing berat, dan berkuasa penuh atas Maluku.

  • Ciputra dan Proyek Senen

    Ciputra, konglomerat Indonesia, wafat pada 27 November 2019 dalam usia 88 tahun. Hidupnya cukup panjang untuk ukuran manusia abad ini. Dia melewati bermacam zaman dan era pemerintahan. Dari kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, era Sukarno, otoritarianisme Soeharto, sampai masa Reformasi. Rina Ciputra Sastrawinata, anak tertua Ciputra, mengatakan ayahnya tidak mengidap penyakit serius sebelum wafat. “Ayah saya meninggal karena usianya,” kata Rina dalam konferensi pers di Artpreneur Ciputra, Jakarta, Kamis 28 November 2019. Ciputra bekerja menangani puluhan perusahaan hingga usia senja. Dia tercatat jarang sakit dan dirawat. Dia lebih sering terlihat sehat dan bugar dalam beragam kesempatan. Sembari berkelakar, dia sempat berbagi rahasia hidup sehat dan bugar. “Saya sukses, tetapi setiap hari saya hanya makan rumput. Soalnya saya hanya makan nasi, roti, dan sayur-sayuran yang tidak mengandung zat purin, penyebab perkapuran. Hahaha…” kata Ciputra dalam Eksekutif , Agustus 1996. Ketika itu usianya sudah 65 tahun dan duduk sebagai Direktur Utama PT Pembangunan Jaya. Ciputra juga rutin bermeditasi dan melakukan waitankung (Senam Sehat Indonesia). “Setiap hari saya bermeditasi dan berolahraga,” kata Ciputra. Karena tak ingin membuat senam itu hanya bermanfaat bagi dirinya, dia sebarkan waitankung kepada karyawan dan direksi di Grup Pembangunan Jaya, grup perusahaan yang dia pimpin selama hampir 35 tahun. “Ciputra selalu punya keinginan agar hal-hal baik yang dinikmatinya juga dinikmati oleh orang lain,” catat Bondan Winarno dalam Kiat Menjadi Konglomerat: Pengalaman Grup Jaya . Dari prinsip berbagi kenikmatan itulah, dia terlibat meremajakan Pasar Senen, proyek pertamanya di PT Pembangunan Jaya. Tapi kadang niat berbagi kenikmatan itu tak selalu laras dengan keinginan banyak orang. Menunggu Gubernur PT Pembangunan Jaya berdiri di Jakarta pada 3 September 1961. Ciputra selalu mengisahkan awal keterlibatannya di Pembangunan Jaya, bermula dari membaca Star Weekly pada 1961. Dia katakan Star Weekly memuat maklumat Soemarno, Gubernur Jakarta 1960—1964, kepada pihak swasta agar turut membangun Jakarta. “Saya ingin mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam usaha pembangunan besar-besaran Jakarta Raya. Dan saya tahu dan yakin, bahwa masyarakat ibu kota mempunyai potensi yang besar, baik dalam hal manajemen, maupun dalam modal (keuangan),” kata Soemarno dalam Star Weekly, 15 April 1961. Jakarta tengah giat dengan aneka pembangunan fisik pada dekade awal 1960-an. Sukarno membayangkan Jakarta akan menjadi wajah muka Indonesia baru. Dia rencanakan pembangunan gedung-gedung bertingkat, jalan-jalan lebar nan lapang, jembatan layang modern, dan kompleks olahraga megah.   Ciputra kepincut dengan ajakan Soemarno dan terkesan pada semangat menggebu Sukarno. Dia pun ambil koper, berangkat dari Bandung menuju Jakarta. Dia bilang tak akan melupakan dua temannya jika memperoleh proyek di Jakarta. Ciputra meninggalkan sementara pekerjaannya di CV Daja Tjipta. Dia telah merintis perusahaan itu bersama dua kawannya sejak masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada pertengahan dekade 1950-an. Perkembangannya bagus, tetapi lambat. “Moda bisnisnya juga begitu-begitu saja. Menerima order, tawar-menawar, dan pembangunan pun berjalan sesuai biaya yang disepakati,” kata Ciputra kepada Alberthiene Endah dalam The Passion of My Life . Ciputra menginginkan perusahaannya melompat lebih jauh dan berkembang melampaui bisnis kontraktor atau jasa konsultan arsitek. Ciputra beberapa kali berjalan melihat sudut-sudut kota Bandung dan Jakarta. Pasarnya becek, bangunannya rusak, rapuh dimakan usia, dan tak elok dipandang mata. Dia membayangkan keadaan buruk itu masih bisa berubah jadi lebih baik. Dia menikmati mimpinya dan bertekad mewujudkannya. Caranya dengan mengubah perusahaannya menjelma pengembang wilayah (developer ). Kesempatan itu terbuka luas di Jakarta, kota yang tengah gandrung dengan pembangunan fisik di banyak sudut, tetapi sudut lainnya justru bobrok dan jauh dari pembangunan. Tapi menemui Soemarno bukanlah perkara mudah. Ciputra seorang arsitek piyik . Baru lulus dari ITB dan cuma punya perusahaan kecil. Selain itu, jadwal Soemarno pun sangat padat. Di kota sebesar Jakarta, reputasi Ciputra benar-benar nolpothol . Tak punya nama. Dia harus menunggu berhari-hari di kantor gubernur hanya untuk bertemu dengan Soemarno. Tapi kesabarannya terbayar. “Melalui seorang keluarga, saya bisa menemui Pak Marno di rumahnya pukul 9 malam. Di situ saya sampaikan bahwa saya ingin membantu pemda,” kata Ciputra dalam Eksekutif . Soemarno bertanya apa konsep Ciputra tentang pembangunan Jakarta. “Saya katakan bahwa sebuah kota bisa dipercantik dan terlihat lebih modern dengan peremajaan, selain juga membangun properti baru. Konsep pembangunan harus sebesar-besarnya menonjolkan daya guna, dengan biaya efisien tapi hasil bangunannya kokoh,” kata Ciputra dalam The Passion of My Life . Konsep Ciputra rupanya klop dengan rencana Soemarno meremajakan Pasar Senen. “Pasar Senen ini sibuknya dan kotornya bukan main, siang dan malam, dua puluh empat jam terus menerus,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945— 1966. Maka Soemarno meminta Ciputra bikin rencana peremajaan Pasar Senen. Saham 3 Persen Ciputra meminjam sepeda motor. Dia mengelilingi Pasar Senen saban terang tanah untuk mengumpulkan bahan. Malam hari, dia tidur di rumah sepupunya. Sempit, tetapi cukup dekat dengan Pasar Senen. Menghemat jarak tempuh dan membuat kerjanya mangkus. Setelah bahan terkumpul, Ciputra kembali ke Bandung untuk menyelesaikan rencananya dengan bantuan dua temannya. “Dalam dua minggu mereka sudah merampungkan rencana yang siap diajukan kepada Gubernur Soemarno,” ungkap Bondan Winarno dalam Tantangan Jadi Peluang: Kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya Selama 25 Tahun . Soemarno menyetujui rencana Ciputra, lantas membawanya ke Sukarno untuk presentasi. Sukarno manggut-manggut dan mengajukan dua pertanyaan: pengelolaan sampah dan cara membangun pasar sebesar Senen. Ciputra merencanakan sampah pasar akan dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diangkut oleh Dinas Kebersihan. Tentang cara membangun, dia jelaskan tahapannya. Dari pembebasan lahan, pembangunan toko-toko darurat atau penampungan sementara di sekitar Senen, sampai pembangunan blok demi blok. Semua rapi dan terencana. “Presiden Sukarno lalu menyetujui agar proyek itu segera dilaksanakan,” lanjut Bondan. Masalahnya kemudian adalah uang. Rencana Ciputra bagus, tapi uang untuk mengkonkretkan rencana itu darimana? Ciputra angkat tangan. Soemarno juga pusing dengan soal uang. Karena itu, dia mengajak pihak swasta dan tokoh bisnis lainnya. Mereka adalah J.D. Massie, R.A.B. Massie, Jusuf Muda Dalam, S.S. Amidharmo, Hasjim Ning, dan A.M. Dasaad. Mereka seiya sekata untuk membiayai Proyek Senen melalui pendirian perusahaan. Syaratnya, perusahaan itu tidak dikelola pemerintah pusat atau daerah. “Perusahaan negara terikat oleh begitu banyak birokrasi sehingga akan lamban dalam menangani pekerjaan seperti itu. Selain itu, perusahaan negara tidak terlalu berani menyerempet bahaya karena pertanggungjawaban administratifnya repot,” kata mereka.   Soemarno tak bisa menampiknya. Dia merestui pendirian perusahaan itu. Inilah PT Pembangunan Jaya, pelaksana teknis Proyek Senen. Modal awalnya Rp10 juta setara dengan Rp93 juta nilai uang sekarang. Hasil patungan pengusaha kakap tadi. Mereka mendapat saham sesuai dengan porsi setorannya. Hasjim Ning menjadi direktur utamanya. Pemerintah Daerah Jakarta tidak keluar uang sepicis pun. Tetapi sebagai pemegang otoritas Proyek Senen, mereka memperoleh saham 25 persen dalam PT Pembangunan Jaya. Kepemilikan ini tak berlangsung lama. Sebab UU No. 5 Tahun 1962 melarang keterlibatan pemerintah dalam usaha swasta. Pemerintah daerah menyerahkan kembali saham tersebut. Ciputra hanya memegang saham sebanyak tiga persen. Itu pun dari meminjam dana pengusaha lainnya. Saham itu juga masih harus dibagi dengan dua temannya di CV Daja Tjipta. Kepikiran yang Digusur Kekuatan dana awal Pembangunan Jaya sebenarnya tak cukup untuk membiayai Proyek Senen. Ciputra mengusulkan pengalihan dana untuk pembangunan rumah di Slipi, Jakarta Tengah. Sebab jika menunggu uang terkumpul, nilai uang akan tergerus inflasi. Keuntungan dari Proyek Slipi digunakan untuk membiayai Proyek Senen. "Peranan proyek-proyek pembantu adalah efektif untuk kebutuhan keuangan Proyek Senen," catat Soemarno. Proyek Senen mulai bergulir pada 26 April 1964. Warga sekitar dikumpulkan. Pengumuman diberikan. Lahan-lahan akan dibebaskan. Rumah-rumah bakal dihancurkan. Ganti rugi segera disiapkan. Toko-toko darurat nantinya didirikan. Bahkan makam-makam pun harus ikut dipindahkan. Ciputra sebagai pemimpin proyek kerap memperoleh kritik warga. Seorang warga datang padanya dan mengaku pensiunan tentara. Dia menodongkan pistol ke Ciputra. Alasannya tidak puas dengan proses ganti rugi. Padahal proses ganti rugi dan pembebasan lahan sepenuhnya urusan pemerintah daerah. “Saya lelah dikritik, Pak,” curhat Ciputra ke Hasjim Ning. Selain kritik, datang pula peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ketegangan merebak di mana-mana. Perekonomian lumpuh. Kerja berhenti sementara. Tapi tahun 1966 menjadi titik balik. Ali Sadikin menjabat gubernur Jakarta. Perekonomian bergeliat lagi. Proyek Senen dimulai kembali. Proyek berjalan cepat. Pasar Senen tampil dengan wajah baru. Sebuah gedung empat lantai dengan luas 28.551 m2. “Jakarta terkesima. Bung Karno dan Bang Ali merasa puas,” kata Ciputra. Ada rasa bangga dalam dirinya. Tapi dia kepikiran juga dengan penduduk yang tergusur. Orang-orang yang marah. Orang-orang yang kehidupannya tak akan pernah sama lagi. “Barangkali ada ratusan keluarga yang kemudian hidupnya menjadi mundur bahkan terpuruk setelah kami paksa pindah. Siapa yang tahu?” kenang Ciputra kepada Alberthiene Endah. Prinsip berbagi kenikmatan tidak selalu berjalan mulus. Ciputra memutuskan mundur dari Proyek Senen dan bertekad hanya kerja sebagai pengembang. Dia memutuskan kerja selanjutnya  adalah mencari lahan kosong dan nganggur. Lalu mengubahnya bernilai guna.

bottom of page