top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Aturan Bersepeda pada Masa Lampau

    Kring, Kring, Kring ada sepeda Sepedaku roda tiga Ku dapat dari Ayah Karena rajin belajar. Anda ingat penggalan lagu tadi? Lagu ciptaan Pak Kasur, pendidik anak-anak, pada 1960-an. Dia biasa menggunakan lagu ini untuk mengiringi anak-anak masuk kelas Kebun Kanak-Kanak, sebuah lembaga pendidikan buatannya. Kala itu banyak anak bersepeda dengan riang menuju Kebun Kanak-Kanak sembari membunyikan suara "kring" dari bel sepeda. Bel sepeda berguna untuk memberikan tanda kepada orang lain. Penggunaan bel meluas tak lama setelah sepeda masuk ke Hindia Belanda pada 1910-an. Bel biasanya terpasang pada sisi kanan stang. Bel masih menjadi incaran para pesepeda hingga sekarang. Bel sebenarnya tidak termuat dalam aturan kelengkapan bersepeda, tapi terpasang di banyak sepeda anak-anak atau dewasa. Berbeda dari aturan kendaraan bermotor, aturan tentang sepeda dan kelengkapannya tak banyak diketahui orang. Seiring dengan tingginya gairah bersepeda dan pembuatan lajur khusus sepeda di beberapa kota Indonesia, penting untuk mengenal aturan bersepeda. “Perlu clear  lajur dan rambunya, sosialisasinya, perlengkapan safety- nya, dan kalau perlu ada lisensinya,” ujar Gamma Riantori (38 tahun), karyawan swasta penggemar sepeda. Menilik sejarah, aturan bersepeda sebenarnya sudah pernah ada dan diterapkan demi keselamatan bersama pengguna jalan. Awal sepeda masuk Hindia Belanda pada 1910-an, aturan tentang penggunaan sepeda dan alat-alatnya belum ada. Aturan terkait hal itu muncul pada 1930-an seiring dengan terbitnya Wegverkeers Ordonanntie 1933 ( Staatsblaad  1933 No. 68) atau Undang-Undang Lalu Lintas Jalan. Angkat Tangan Sebelum Belok Pokok-pokok aturan itu terangkum dalam buku karya Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergern berjudul Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja  terbitan 1939. Pesepeda wajib berjalan di lajur kiri jalan, di samping kanan pejalan kaki dan gerobak pedati. “Kereta angin sekali-kali tidak boleh lalu di tengah-tengah jalan,” catat Sandbergen. Kereta angin adalah sebutan untuk sepeda pada masa itu. Lajur sebelah kanan pesepeda digunakan untuk kendaraan lebih cepat seperti delman, sado, sepeda motor roda dua, dan auto (mobil). Pesepeda dilarang pula mengambil lajur pejalan kaki dan kendaraan lebih lambat. Jika pesepeda ingin berbelok ke kiri atau kanan, dia wajib mengangkat tangan ke arah tujuannya.   Untuk memberitahu pengguna jalan lain bahwa pesepeda akan melambat atau berhenti, dia juga harus menggunakan tangannya sebagai isyarat. “Jika hendak melambatkan jalan, gerakkanlah tangan ke atas-ke bawah. Jika hendak berhenti, acungkanlah tangan ke atas lurus-lurus,” tulis Sandbergen. Selama melaju, pesepeda tidak boleh berpegangan pada kendaraan lain. Menurut Sandbergen, tindakan itu sangat berbahaya. “Jika tidak tergiling oleh kendaraan tempat berpegang itu, boleh jadi digiling oleh kereta yang datang dari belakang.” Larangan lain bagi pesepeda ialah membawa seorang atau lebih dalam satu sepeda jika tak ada alat boncengan. Jika seorang penumpang sepeda berdiri di atas jalu roda belakang, pesepeda akan terkena pelanggaran lalu-lintas. Demi keamanan dirinya, pesepeda wajib melengkapi kendaraannya dengan lampu putih, reflektor (mika pemantul cahaya), dan tanda khusus bagi pesepeda tuli atau kurang pendengaran. Lampu putih terpasang di bagian depan dan menyorot ke bawah. Lampu itu tidak boleh mengarah ke pengguna jalan lain. Reflektor terletak di belakang. Pemasangan reflektor tak bisa sembarangan. “Pada kereta angin hanya boleh dipakai kaca merah (reflektor) yang sudah disahkan,” sebut Sandbergen. Direktur Transportasi dan Manajemen Air ( Verkeer en Waterstaat ) Hindia Belanda   menyusun senarai untuk reflektor sepeda. Senarai berisi 56 jenis reflektor dari beragam jenama dan pabrikan. Pesepeda harus memilih salah satunya. Dia tak bisa memasang reflektor di luar senarai resmi pemerintah. Pajak Sepeda Kelengkapan wajib lainnya adalah peneng atau tanda lunas pajak sepeda. Ini luput dari penjelasan Sandbergen. Padahal tanda ini wajib dipasang di depan sepeda. Sejak 1930-an, pemerintah kolonial menerapkan pajak kepada tiap pemilik sepeda. Selayaknya kepada pemilik kendaraan tak bermotor lain seperti delman, sado, dan gerobak. Pengecualian kepada pesepeda dari kepolisian dan militer. Besaran pajak sepeda berbeda di tiap wilayah, sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905. Pemerintah kolonial menggunakan pajak ini untuk merawat jalan. Tapi pesepeda protes tersebab lajur untuk mereka mudah rusak. “Lajur yang disediakan penuh lubang,” catat P.K. Ojong dalam Kompas , 7 April 1967. Berbeda dari lajur kendaraan bermotor, mulus. Padahal sama-sama bayar pajak. Pemerintah pendudukan Jepang mempertahankan penerapan pajak. Tapi tujuannya untuk membiayai perang. Pengumuman terhadap besaran dan batas waktu pembayaran pajak sepeda kerap muncul di surat kabar. Cara ini bertahan hingga Indonesia masuk masa merdeka. Bedanya, penggunaan pajak kembali untuk perawatan jalan. Pesepeda harus membawa sepedanya ke Balai Kota atau kantor bendahara kota. Orang tak menganggap berat pajak sepeda. “Orang-orang terutama anak-anak sekolah, mengantre dengan sepedanya di Balai Kota (atau haminte ) di Jalan Kebon Sirih untuk membayar peneng,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an . Pesepeda memang tidak perlu surat izin mengemudi ( rijbewijs ) . Tidak pula ada batasan umur untuk pesepeda.   Tapi mereka tetap wajib mematuhi aturan bersepeda dan kelengkapan sepeda. Termasuk pula pembayaran pajak. Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan diganjar hukuman dari polisi atau pemerintah. Bentuknya bervariasi: penjara, denda, dan penghentian sementara operasional sepeda. “Semua sepeda yang tidak memakai peneng tahun 1950 yang berada di jalanan umum, akan ditahan,” ucap R. Soewirjo, walikota Jakarta dalam Java Bode , 18 April 1950. Sedangkan di Semarang, hukumannya denda sebesar 100 florin. Padahal pajaknya hanya 2,25 florin setahun. Jika tak mampu membayar denda, pemilik sepeda akan masuk penjara selama-lamanya sebulan. Demikian keterangan dari De Locomotiev , 18 Juli 1950. Penerapan pajak sepeda mulai kendor seiring menghilangnya sepeda dari jalanan kota-kota besar Indonesia pada 1970-an. Orang pun enggan membayarnya. Maka pemerintah kota menurunkan petugas hingga ke Rukun Tetangga/Kampung untuk menarik pajak sepeda. Ternyata hasil penarikan pajak sepeda lebih kecil daripada biaya operasional untuk petugas. Semangat pemerintah kota pun ikut kendor. Secara formal, pajak sepeda tidak berlaku lagi setelah terbit UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Sejumlah kewajiban pesepeda pada masa lampau juga hilang atau tak tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan. Misalnya tentang reflektor, tanda isyarat tangan, dan lampu. Tapi beberapa aturan lain masih bertahan seperti kewajiban tanda khusus untuk pesepeda tuli atau kurang pendengaran dan larangan membawa penumpang tanpa alat boncengan.

  • Bukti Leluhur Austronesia Tertua di Taiwan dan Cina Selatan

    Bahasa merupakan warisan utama penutur Austronesia untuk populasi seluas setengah bola dunia, khususnya yang ada di Nusantara. Selain bahasa, jejak mereka juga terlacak lewat warisan biologis dan budaya lainnya. Rumpun bahasa Austronesia bisa jadi terbesar di dunia. Ada sekira 1.200 bahasa dan sekitar 270 juta penutur.  Menurut Peter Bellwood   dalam  “The Austronesians in History: Common Origins and Diverse Transformations”, termuat di  The Austronesians, Historical and Comparative Perspectives, itu berkisar dari bahasa dengan puluhan juta penutur, seperti Melayu, Jawa, Tagalog, hingga sejumlah besar bahasa dengan hanya sedikit penutur, yaitu ratusan.  “Yang terakhir ini sangat lazim di Oceania,” catat dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University itu. Orang-orang yang skeptis mungkin mempertanyakan apakah 270 juta penutur itu berbagi leluhur budaya dan biologis yang sama? Lalu bagaimana orang-orang yang berbicara bahasa dalam rumpun Austronesia saat ini tidak identik secara fisik? Menurut Bellwood pertanyaan itu sulit dijawab secara absolut karena setiap masyarakat Austronesia memiliki sejarah yang berbeda. Bagaimana pun masyarakat Austronesia juga sangat bervariasi bahkan pada masa lalu.  Namun, orang pastinya harus menolak penjelasan kalau bahasa Austronesia menyebar dengan cara meminjam bahasa oleh masyarakat menetap yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, orang-orang yang menetap ini menerima keberagaman. Kendati contoh penyebaran semacam ini mungkin terjadi, terutama di Melanesia barat. Pasalnya, jika memang begitu yang terjadi, pola distribusi sebagaimana yang ditemukan tak mungkin bisa sedemikian tak terputus dan bebas kantong. Masyarakat Austronesia jelas telah menyebar dan menjadi kian beragam dengan cara yang rumit. Namun, kata Bellwood, jejak mereka tetap bisa terlacak, selain lewat bukti linguistik, juga secara biologis dan arkeologis. Bukti inilah yang menunjukkan adanya asal-usul bersama dari wilayah-wilayah penyebaran budaya Austronesia. Semuanya dapat dirunut kembali hingga sekira 6.000 tahun yang lalu. Persebaran bahasa Austronesia mulai dari Madagaskar di barat hingga ke Pulau Paskah di timur. Secara universal bahasa ini dipakai di Indonesia, Filipina, Singapura, dan Malaysia, serta penduduk asli Taiwan. Bahasa ini juga digunakan oleh populasi minoritas di Vietnam, Kamboja, dan Kepulauan Mergui di lepas pantai Myanmar. Lebih jauh ke timur, bahasa-bahasa Austronesia menempati hampir semua pulau-pulau Oceania. Ini dengan pengecualian di pedalaman dan sebagian besar wilayah pesisir pulau besar Papua. Warisan bahasa Austronesia ditandai dengan kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna. Beberapa kata, seperti bilangan satu sampai sepuluh di berbagai kawasan persebaran Austronesia menunjukkan adanya kekerabatan itu. Misalnya, dalam bahasa Jawa kuno, hitungan dua sampai sepuluh, yaitu:  rwa, telu, pat, lima, nem, pitu, wwalu, sanga, sapuluh . Dalam bahasa Minangkabau, hitungan dua sampai sepuluh, yaitu: duo, tigo, ampek, limo, anam, tujuah, salapan, sambilan, sapuluah.  Dalam bahasa Bugis, hitungannya menjadi dua, tellu, eppa, lima, enneng, pitu, aruwa, asera, seppulo . Itu tak jauh berbeda dengan bahasa Tagalog yang kini menjadi bahasa resmi di Filipina, yaitu:  dalawa, tatló, ápat, lima, ánim, pitó, waló, siyám, sampû . Contoh lain lagi milsanya kata manuk dalam bahasa Jawa yang berarti burung, dalam bahasa Tagalog disebut manok. Orang Fiji menyebutnya manumanu. Sementara bagi orang Samoa itu adalah manu. Bahasa-bahasa yang mirip satu sama lain itu bisa dirunut dari induknya yang berada di Taiwan. Dalam bukunya, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia , Bellwood menjelaskan ciri budaya dan bahasa ini telah ada di Taiwan 1.000 tahun sebelum muncul di pulau-pulau sebelah setelannya. Sebagaimana juga dijelaskan Paul Jen-kuei Li, pakar bahasa Formosa dari Institute of Lingustics, Academia Sinica, di Taipei   dalam tulisannya “The Great Diversity of Foromosan Languages” yang termuat di Jurnal Language and Linguistics. Menurutnya bahasa Formosa di Taiwan sangat beragam di semua tingkat linguistik, mulai dari aspek fonologi, morfologi, sampai sintaksis. “Sebenarnya bahasa Formosa adalah yang paling beragam dari seluruh keluarga bahasa Austronesia,” katanya. “Keanekaragaman linguistik ini menunjukkan tingkat lamanya permukiman di pulau itu, yang mana menjadikan Taiwan sebagai pusat penyebaran bahasa Austronesia.” Model gerabah dari Situs Ban Chiang, Thailand. ( thaiwebsites.com ) Bukti Tertua Soal asal usul, Sofwan Noerwidi, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta dalam “Migrasi Austronesia dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia” termuat di Amerta menjelaskan, teori Out of Taiwan meraih banyak dukungan. Ini sebagaimana yang didukung pula oleh Peter Bellwood. Bellwood mengajukan penjelasan kalau para penutur Austronesia tersebar dari Taiwan dan bermula dari kawasan di pantai Cina bagian selatan. Namun, kata Sofwan, ada teori asal usul Austronesia lainnya yang juga berkembang. “Ada tiga kubu model rekonstruksi, Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan, dan dari kawasan Melanesia,” jelasnya. Teori Out of Taiwan lebih banyak pendukung karena ditopang pula oleh bukti arkeologis. Sejauh ini diketahui kalau Taiwan menyimpan bukti budaya Austronesia yang tua. Sebelum sampai dan menetap di sana, rupanya menurut Bellwood orang Austronesia pertama diyakini berasal dari wilayah Cina Selatan. Itu seperti yang ditemukan di Situs Hemudu, Teluk Hangzou, Provinsi Zhejiang, di Cina Selatan dari 7.000 tahun lalu. Di Hemudu ditemukan sisa-sisa tembikar, alat pertanian kayu dan tulang, bukti untuk pertukangan dan pembuatan kapal, dayung, kumparan pemintal benang ( spindle whorl ) untuk menenun, anyaman, tali, dan sejumlah besar padi yang dipanen. Di situs itu juga digali tulang babi peliharaan, anjing, ayam, dan kerbau peliharaan. Menurut Peter Bellwood dalam “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation”, termuat di The Austronesians, Historical and Comparative Perspectives , temuan-temuan itu menunjukkan adanya pergeseran dari gaya hidup berburu yang diduga berasal dari masa Paleolitik Asia Timur ke kehidupan menetap sambil bertani dan beternak.  Berikutnya, penduduk Hemudu dan permukiman pertanian Cina kontemporer lainnya pun hidup selama satu episode evolusi budaya. Ini yang pada akhirnya memiliki dampak terhadap seluruh wilayah Asia Timur dan Pasifik beriklim sedang dan tropis. “Salah satu dampak ini adalah ekspansi penutur bahasa Austronesia yang pada akhirnya fenomenal, meskipun yang mengembangkan momentum pertamanya 1.000 km atau lebih di selatan Hemudu ( Pulau Taiwan, red. ),” kata Bellwood. Sementara catatan arkeologis Neolitik di Taiwan dimulai dari sekira 5.000-6.000 tahun lalu. Itu ditunjukkan dengan kumpulan temuan arkeologis bertipe Cina Selatan. “Mungkin pada awalnya dibuat oleh sekelompok kecil pemukim pertanian yang melintasi Selat Formosa dari Fujian,” kata Bellwood. Tipe temuan Cina Selatan yang dimaksud seperti tembikar berhias motif tali, alat batu yang dipoles, dan mata tombak. Sementara barang-barang lain seperti kumparan pemintal benang ( spindle whorl ) untuk menenun, kemungkinan tiba beberapa waktu kemudian. Pun di Taiwan, ada bukti pertanian beras dari sisa serbuk sari berumur 5.000 tahun yang lalu. Juga diketahui adanya pembukaan hutan untuk pertanian. “Di Taiwan, mereka hidup relatif tidak terganggu selama beberapa waktu. Itu sebelum salah satu komunitas Taiwan-Austronesia pindah ke selatan ke Filipina,” jelas Bellwood. Sebagian para penutur Austronesia dari Taiwan kemudian bergerak menembus kepulauan Filipina. Dari sana satu kelompok bergerak ke barat daya, melalui Kalimantan dan kemudian Sumatra dan Jawa. Itu dengan cabang-cabang menembus Semenanjung Melayu, bagian timur Vietnam dan Kamboja. Kelompok lainnya dari Filipina pindah ke selatan ke Sulawesi. Rupanya Sulawesi adalah lokasi koloni Austronesia tertua di Nusantara. Berdasarkan hasil penelitian terbaru diketahui awal kolonisasi Austronesia di Kepulauan Nusantara adalah sekira 3.500 tahun yang lalu. Ini diperoleh dari pertanggalan Situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat. Dari Sulawesi, baru kemudian secara gradual semakin lebih muda ke barat menuju Sumatera dan Jawa. Yang ke selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil. Sementara yang ke timur menuju Maluku dan Pasifik. Perjalanan ini diketahui berkat bukti material bertipe sama yang juga tercatat ada di pulau-pulau Asia Tenggara. Semuanya muncul di lokasi penggalian yang tersebar luas antara 6.000 dan 3.500 tahun yang lalu. Tampilan temuan itu menunjukkan tren yang mulanya berkembang di wilayah Cina, Taiwan, dan Luzon. Umur temuan yang setipe ditemukan semakin ke selatan semakin muda, yaitu menuju Indonesia dan Oseania barat. Di antaranya adalah tembikar berslip merah yang berusia 4.500-3.500 tahun lalu, muncul di daerah pesisir dan pedalaman Filipina, Sulawesi, Kalimantan Utara, dan Halmahera. Sementara penelitian serbuk sari di dataran tinggi Jawa Barat dan Sumatra menunjukkan bahwa beberapa pembukaan hutan yang cukup intensif untuk pertanian, sudah berlangsung setidaknya 4.000 tahun lalu. Bahkan mungkin sebelumnya. Pada 1.500 SM, koloni petani ini telah menyebar ke perbatasan barat Melanesia. Ekspansi terus-menerus melalui Melanesia ke Polinesia barat. Ini yang kemudian diwakili oleh budaya Lapita, khususnya berupa tembikar berslip merah dengan berbagai ukiran. Persebaran ini tampaknya lebih cepat daripada gerakan sebelumnya. “Itu mungkin karena produksi makanan yang dilakukan populasi berbahasa Papua (populasi pendahulu penutur Austronesia, red . ) sudah menempati beberapa wilayah pantai yang besar pulau New Guinea, Bismarck, dan Solomon,” lanjut Bellwood. Sementara keterkaitan dengan Austronesia yang secara biologis ditandai dengan keberadaan ras Mongoloid Selatan di wilayah persebarannya, di luar Melanesia dan sebagian Filipina. Secara genetis keterkaitan orang-orang di Nusantara khususnya di bagian barat dengan Taiwan dan Cina Selatan juga terbukti. Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, menjelaskan paling tidak DNA orang-orang Indonesia bagian barat, khususnya Kalimantan, Sumatra, dan Jawa terpengaruh oleh DNA leluhur penutur Austronesia. Ini dapat dilacak sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetis, menurut Hera, datangnya penutur Austronesia ini adalah gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. “Termasuk dari Cina Daratan masuk ke Formosa, ke Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” kata Hera. Warisan bersama juga terlihat lewat kebiasaan seperti seni tato, penggunaan cadik pada kano, dan karakteristik sosial seperti perhatian terhadap urutan kelahiran saudara kandung dan penghormatan untuk pendiri suku dan leluhur. Pada akhirnya setelah terpisah dan tersebar, masing-masing para penutur bahasa Austronesia mengembangkan bahasanya dan mulai meninggalkan kebiasaan lama. Seiring penyesuaian mereka dengan lingkungan dan budaya berbeda, setiap kelompok akhirnya menemukan nama baru bagi kelompoknya masing-masing.

  • Kisah Cinta Rohana dan Abdul Kudus: Dua Sejoli dari Tanah Minang

    SAMBIL saling menggenggam tangan, Rohana dan Abdul Kudus gelar Pamuncak Sutan barjalan beriringan berkeliling desa untuk mengunjungi rumah sanak familinya. Aktivitas bersilaturahmi sambil mengenalkan pasangan baru tersebut menjadi rutinitas Rohana dan Abdul ketika pengantin baru. Namun, tingkah pasangan pengantin baru itu justru jadi bahan gunjingan orang-orang. Di Koto Gadang saat itu amat jarang ditemui sepasang suami istri jalan beriringan sambil bergandeng tangan. Orang-orang yang tidak suka Rohana pun menjadikan hal itu sebagai “amunisi” untuk menghinanya. “Hoi, pengantin baru tapi tak punya emas berlian,” kata mereka mencibir, dikutip Fitriyanti dalam Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus . Rohana tak ambil pusing. Cibiran itu dijadikannya sebagai bahan candaan dengan suaminya. Rohana dan Abdul menikah pada 1908. Kala itu, Rohana berusia 24 tahun. Rohana mulanya tak tahu-menahu siapa lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Ia percaya pilihan Tuo Sini, adik neneknya, yang begitu dekat dengannya. Rohana yakin, Tuo Sini yang ia sayangi tak mungkin memilihkan lelaki yang salah, dan Abdul adalah jodoh usulan Tuo Sini yang disetujui seluruh keluarga. Abdul sebenarnya masih punya hubungan saudara dengan Rohana. Ia merupakan sepupu jauh Rohana dari pihak ayah. Abdul merupakan anak dari Sutan Dinagari Laras, seorang Hoofd IV Koto (semacam camat). Abdul juga seorang yang aktif dalam pergerakan dan partai politik. Ia lulusan sekolah hukum di Batavia dan fasih berbahasa Belanda. Begitu lulus, ia kembali ke Koto Gadang, menolak bekerja pada pemerintah Belanda dan lebih pilih jadi notaris independen. Ia juga rutin menulis di berbagai suratkabar yang terbit di Jawa dan Sumatera. Rohana hidup bahagia setelah menikah. Ia merasa amat beruntung mendapatkan “partner in crime” yang pas dengan pemikiran dan pergerakannya lantaran Abdul bukanlah tipe suami kolot yang menginginkan istri hanya menjadi buntut suami. Meski bukan orang yang berlimpah harta, Abdul lelaki progresif yang memberi Rohana kebebasan untuk mengejar cita-cita dan mendukung Rohana sepenuh hati. Dengan dukungan Abdul, cita-cita Rohana untuk memajukan nasib kaum perempuan jadi lebih besar. Namun, rumahtangga bukanlah Danau Maninjau yang tenang airnya. Keaktifan Abdul dalam pergerakan anti-Belanda menimbulkan rintangan bagi keluarga muda itu. Tulisan-tulisan Abdul seringkali mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak pro-pribumi. Tindakan itu membuat penduduk kampung khawatir anak gadis mereka terpengaruh dan aktif pula dalam oraganisasi politik yang diikuti Abdul. Rohana sempat terpuruk dengan tekanan dari masyarakat, namun keberadaan dan dorongan Abdul membuatnya kembali bersemangat. Rohana pun tak gentar meski beberapa muridnya memutuskan keluar dari sekolahnya karena tidak mendapat izin orangtua. Rohana terus berusaha membangun pendidikan yang baik untuk perempuan dan anak lelaki miskin di Koto Gadang. Ketika Rohana merasa tak cukup hanya berjuang di bidang pendidikan, ia mendiskusikannya dengan Abdul yang merupakan tempat Rohana menumpahkan segala keresahannya tentang perjuangan untuk perbaikan nasib kaum perempuan. Menurut Rohana, bila hanya mengajar di Sekolah Kerajinan Amai Setia, ilmunya hanya berguna untuk murid-muridnya saja. Rohana ingin usahanya menjangkau lebih luas. “Apa yang bisa saya bantu untuk mewujudkan cita-cita, Adik?” kata Abdul pada Rohana.  “Saya ingin sekali rasanya berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan di daerah lain sehingga bisa membantu lebih banyak lagi. Bagaimana caranya?” kata Rohana. “Mungkin Adik bisa melakukannya dengan menulis di surat kabar.” kata Abdul. Menurut Abdul, dengan menulis, ilmu yang Rohana miliki akan tersebar lebih luas. Abdul pun menyarankan Rohana untuk menyurati beberapa pemimpin redaksi suratkabar. “Mungkin ada yang bisa memberikan jalan keluar,” kata Abdul. Bagi Abdul, apapun keinginan istrinya asalkan demi kemajuan perempuan Koto Gadang akan dia dukung sepenuh hati. Saran Abdul manjur. Surat Rohana, sebagaimana diceritakan Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, ditanggapi oleh pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe Sutan Maharaja. Maharaja bahkan ingin bertemu langsung dengan Rohana. Pertemuan itulah yang menghasilkan terbitnya Soenting Melajoe, tempat Rohana mulai menulis dan menuangkan segala buah pikirnya tentang pendidikan dan kemandirian perempuan. Rohana mendapat banyak bantuan dari Abdul, yang sudah lebih dulu aktif dalam dunia literasi untuk soal tulis-menulis. Namun, penduduk Koto Gadang yang kebanyakan buta huruf dan masih kolot menganggap aneh Abdul, sebagai suami hanya berdiam di rumah dan tidak pergi bekerja di kantor, terlebih lulusan hukum. Fitnah pun mendera pasangan Rohana dan Abdul. Orang-orang menganggap Abdul hanya memanfaatkan isterinya lantaran tidak punya pekerjaan tetap. Rohana buka suara mengetahui suaminya dituduh yang bukan-bukan. Meski Abdul tidak memiliki penghasilan tetap, upah yang didapat dari layanan sebagai notaris independen dan honor tulisan-tulisannya cukup untuk membiayai kebutuhan rumahtangga mereka. Walaupun tak kaya atau berpenghasilan tetap, Abdul tak pernah terpikir untuk memperalat isterinya. Momen-momen seperti itulah yang menguji rasa cinta Rohana dan Abdul, yang tetap saling percaya dan memahami. Di masa perjuangan kemerdekaan, Rohana dan Abdul tetap saling menjaga. Sebagai anggota National Indische Partij dan juga aktif dalam gerakan bawah tanah melawan kolonial Belanda, Abdul jadi salah satu orang yang masuk daftar pencarian polisi kolonial. Rohana tak sedikitpun mengeluhkannya. Rohana sendiri menyediakan rumahnya untuk dapur umum sementara, sebuah unit perjuangan yang sering dipandang sepele namun menentukan jalan-tidaknya gerakan. Di tumpukan bahan makanan itulah Rohana menyembunyikan senjata-senjata yang diselundupkan untuk para pejuang di Bukittinggi.   Kisah-kasih Rohana dan Abdul bertahan hingga akhir hayat. Abdul berpulang pada 1951 dan Rohana menyusulnya pada 1972.

  • KKo Terjebak di Gunung Wian

    SENIN, 11 Januari 1960. Situasi mencekam dirasakan oleh Letnan Dua (KKo) Kahpi Soeriadiredja, saat dia dan dua peleton pasukan KKo-AL dari Detasemen Pendarat (DETAP) memasuki  kawasan Gunung Wian, sebuah bukit kecil di Tatelu, Minahasa Utara. Tiap kaki melangkah, selalu saja para prajurit KKo-AL mendapat gangguan, baik tembakan dari regu musuh maupun tembakan bidik dari para sniper gerilyawan Permesta. Pergerakan dua peleton DETAP pimpinan Wakil Komandan Kompi Letnan Dua Kahpi sesungguhnya merupakan pasukan bantuan. Beberapa jam sebelumnya, satu peleton DETAP pimpinan Letnan Muda Soetedi Senaputra (yang tak lain adalah adik sepupu Kahpi) telah dikirim untuk menguasai Gunung Wian. Namun, alih-alih dapat membereskan bukit kecil tersebut, peleton Letnan Muda Tedi malah masuk dalam jebakan zone pembantaian ( killing ground ) para gerilyawan Permesta. “(Yang dapat dilakukan), pasukan KKo-AL ini hanya diperintahkan berdiam diri sambil menunggu bantuan datang,” demikian menurut buku 60 Tahun Pengabdian Korps Marinir  yang ditulis oleh Mayor Laut (KH) Drs. Junaedi, Mayor Laut (KH) Drs. Margoyono dan Sersan Satu Marinir M. Syafrudin,SH.   Begitu sampai di kaki Gunung Wian, pasukan pimpinan Kahpi langsung melakukan pendakian. Saat itulah, tetiba peluru-peluru Mitraliur 12,7 milik musuh berhamburan ke arah mereka. Sebagian peluru bahkan menggasak akar-akar gantung pohon beringin raksasa yang menjadi tempat perlindungan pasukan DETAP hingga kulit-kulitnya terlihat putih mengelupas. “Kami sendiri tak bisa sama sekali melihat posisi musuh karena lereng-lerengnya ditumbuhi pepohonan yang sangat rapat,” ujar Kahpi dalam otobiografinya, Mengukir Jejak Langkah: Pengabdian Sebagai Prajurit Marinir. Situasi benar-benar kritis buat para prajurit KKo-AL. Kedua peleton DETAP tidak bisa bergerak kemana-mana. Jangankan bergerak maju, untuk merayap perlahan pun situasi sangat tidak memungkinkan karena setiap jengkal tanah seolah disiram hujan peluru. Namun sebagai komandan, Kahpi tidak bisa berdiam diri saja. Dengan setengah nekat, dia meloncat dari pohon ke pohon, berjibaku menghadapi hujan peluru. Di sebuah pohon beringin raksasa, Kahpi bertahan bersama beberapa anak buahnya, sementara para gerilyawan Permesta dengan seenaknya menembaki mereka dari atas seraya berteriak-teriak mengejek anak-anak KKo. Dalam situasi demikian, tetiba dari arah samping, Kahpi mendengar seseorang berteriak. “Letna Tedi kena! Letnan Tedi kena tembak!” Tanpa banyak pertimbangan, Kahpi langsung merangsek sendirian, memburu datangnya sumber teriakan itu. Dilihatnya Letnan Tedi sedang tergeletak. Setelah Kahpi memeriksa lukanya, ternyata peluru masuk ke perut namun tidak tembus ke belakang. Saat itulah, Kahpi baru sadar bahwa mereka tinggal bertiga saja di garis terdepan karena anggota peleton lainnya telah melakukan gerakan mundur. “Saya langsung angkat dia walaupun berat…” kenang Kahpi. Selama bergerak mundur, Tedi selalu meracau. Dalam pangkuan Kahpi, sang adik sepupu itu berkisah banyak hal mengenai kenangan-kenangan masa lalu, terutama mengenai nenek mereka. Anehnya Tedi mengigau dalam bahasa Inggris. “Akhirnya dalam pangkuan saya, dia menghembuskan nafas trakhir…”kenang Kahpi. Kendati gagal menguasai Gunung Wian saat itu, namun setidaknya Kahpi berhasil membawa pulang peleton KKo yang terjebak dalam zone pembantaian. Gerakan pasukan kemudian dialihkan ke wilayah Wasian-Tatelu guna melakukan pembersihan. Gunung Wian baru berhasil dikuasai oleh tentara pemerintah beberapa hari kemudian, lewat suatu pertempuran yang juga sangat brutal. Letnan Muda Soetedi Senaputra sendiri kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Manado, Sulawesi Utara. Pangkatnya dinaikan menjadi kapten (anumerta). Mengapa kapten? Sebenarnya, saat akan melakukan gerakan ke Gunung Wian, Letnan Muda Tedi baru saja mendapatkan telegram tentang kenaikan pangkatnya menjadi letnan dua. “Namun karena (saat itu) tidak tersedia tanda pangkat, maka ketika gugur dia masih memakai tanda pangkat letnan muda…” ungkap Komandan Korps Marinir AL yang ke-6 itu.

  • Dirikan Media, Cara Murba Tangkis Komunis

    SUATU hari, Hasjim Ning, pengusaha nasional berjuluk "Raja Mobil Indonesia" sekaligus kepoanakan Bung Hatta, kedatangan seorang dari Angkatan Darat (AD). Orang itu mengajak Hasjim mendirikan media untuk mengisi kekosongan media-media non-komunis pasca-pembredelan oleh pemerintah pada awal 1960-an.  Hilangnya media-media non-komunis membuat banyak pihak, terutama AD selaku lawan politik PKI, khawatir terhadap semakin menguatnya media-media kiri. Oleh karena itu AD getol mengajak berbagai pihak untuk mendirikan media baru guna mengimbangi media-media kiri. Namun, Hasjim tak bisa memenuhi ajakan tersebut. “Menerbitkan surat kabar penuh mengandung risiko,” kata Hasjim dalam otobiografi berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Pendirian Hasjim baru goyah ketika suatu hari dia didatangi sahabatnya, Waperdam III Chairul Saleh. “Barulah ketika Chairul Saleh membicarakannya, hatiku tergerak,” sambung Hasjim. Penjelasan panjang-lebar Chairul yang merupakan tokoh Murba membuat Hasjim tertarik untuk membuat media cetak. Namun, Hasjim yang buta tentang pers, bingung siapa orang yang bisa dipercayainya untuk memimpin. “Tengku Sjahril bisa. Ia tidak terlibat menentang Bung Karno. Ia dipecat dari Antara karena bertentangan dengan Djawoto,” jawab Chairul. Mendengar nama yang disebutkan Chairul, Hasjim pun lega. Tengku Sjahril merupakan orang yang sudah dikenal Hasjim secara pribadi. Hasjim pun mengundang yang bersangkutan beberapa hari kemudian. Namun, Sjahril tak bisa memberi kepastian saat itu juga apakah bersedia memimpin media yang akan didirikan Hasjim. Dia meminta waktu untuk memikirkan lebih masak. Beberapa nama yang dikenalnya dekat, seperti Marthias Dusky Pandoe, mantan wartawan Abadi , lalu diajaknya bergabung. “Sekitar tahun 1961 saya diajak Tengku Sjahril (mantan Ketua PWI Pusat) mendirikan surat kabar Semesta . Beliau datang sendiri ke rumah saya di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Tengku Sjahril berusaha menampung beberapa wartawan surat kabar yang diberangus. Saya diangkat jadi redaktur pelaksana,” ujar Marthias Dusky Pandoe dalam memoar berjudul Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Bersama Pandoe dan lain-lain, Sjahril kembali ke rumah Hasjim beberapa waktu kemudian sekaligus membawa konsep. Konsep itu matching di kepala Hasjim. “Setelah aku serahkan modal kerja sebagaimana yang aku janjikan, tak lama kemudian terbitlah surat kabar mereka itu. Semesta namanya. Kepada Tengku Sjahril aku pun memberinya sebuah sedan Fiat, agar ia kelihatan representatif sebagai pemimpin redaksi. Dan aku juga menyerahkan sebuah mobil van, yang akan dapat digunakan macam-macam keperluan redaksi dan administrasi oleh Marthias Pandoe,” kata Hasjim. Berbagai cara dilakukan para awak yang bekerja keras mengembangkan Semesta . Antara lain dengan mengajak kenalan-kenalan untuk mengirimkan tulisan. “Saya ingat Buya Mansjur Daud Datuk Palimo Kayo, mantan Duta Besar RI untuk Irak, kami minta mengisi Mimbar Agama setiap hari Jumat di Semesta . Dalam tulisan sekali seminggu itu beliau menggunakan nama samaran Abu Zaim,” kata Pandoe. Sementara Semesta berjalan, Chairul kembali mendatangi Hasjim. Dia minta Hasjim membuat sebuah media baru lagi khusus untuk di Sumatera Barat. “Orang Minangkabau telah mati kutu semenjak PRRI telah dikalahkan. Kepala mereka harus ditegakkan lagi. Di sana mesti ada koran yang antikomunis,” kata Chairul, dikutip Hasjim. Kali ini Hasjim langsung tertarik, namun dia tak tahu siapa yang akan menjalankannya. Beberapa hari kemudian, empat “orang” Chairul, yakni Darmalis ( Antara ); Syaifullah Alimin dan M. Hamidy (dinas penerangan angkatan laut), dan Marthias Pandoe ( Semesta ), bertandang ke rumah Hasjim membawa konsep-konsep yang akan digunakan untuk media baru itu. Hasjim terpikat dengan konsep yang mereka paparkan. Dana untuk modal pun langsung dikeluarkannya. “Surat kabar itu namanya AmanMakmur dan diterbitkan pada tahun 1963,” kata Hasjim. Chairul Harun, mantan redaktur Sinar Masa , dipercaya menjadi pemimpin redaksi. Harun Zain (Gubernur Sumbar 1966-1977) diikutsertakan dengan menjadi penasehat. Seperti Semesta , tulisan-tulisan di Aman Makmur dibuat oleh para penulisnya dan para kontributor. Novelis AA Navis dan wartawan Rosihan Anwar merupakan di antara kontributor yang rutin mengirim tulisan. Rosihan menggunakan nama pena Muttaqa’id – berarti orang yang sedang berdiam diri– di media tersebut. Dalam waktu singkat, Aman Makmur tumbuh pesat. Popularitasnya melesat di kalangan pembaca lokal. Sementara roda kehidupan AmanMakmur bergulir lancar, Semesta punya jalan beda. “Nasib buruk menimpa harian Semesta . Menteri Penerangan Orde Lama Achmadi menggunakan tangan besi memberangus surat kabar ini selama-lamanya,” tulis Pandoe. Seperti di Semesta , para awak Aman Makmur juga terus bersiasat dalam menjalankan roda medianya lantaran tujuan utama pendiriannya memang politis. “Selain mengelola surat kabar kami selalu menghubungi para cendikiawan, mahasiswa, terutama dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang memang kini diyakini antikomunis,” kata Harun Zain dikutip buku yang dieditori Abrar Yusra, Tokoh Yang Berhati Rakyat: Biografi Harun Zain . Aman Makmur juga mendukung Barisan Pendukung Sukarnoisme, organisasi bentukan Murba untuk melawan komunis, yang diketuai Adam Malik. Balutan permainan politik dengan output kritik-kritik pedas terhadap pemerintah yang hampir selalu muncul di artikel-artikelnya membuat AmanMakmur akhirnya tercium lawan politik. “Orang-orang PKI menciumnya, hingga dilontarkan pulalah tuduhan bahwa Aman Makmur korannya PSI (Partai Sosialis Indonesia), partai politik musuh buyutan PKI,” sambung Harun. Pada Maret 1965, Aman Makmur akhirnya menyusul Semesta . “Setelah terbit beberapa tahun, tangan Achmadi jua yang memberangusnya. Alasannya kami anti-Nasakom (nasionalis-agama-komunis), tegasnya antikomunis. Ketiga unsur politik ini sangat berkuasa waktu itu,” tulis Pandoe.

  • Arek Malang Jagoan Raket Telah Berpulang

    SEBELUM bulutangkis jadi cabang resmi di olimpiade pada 1992, All England jadi patokan prestasi paling bergengsi. Publik mengenang Rudy Hartono, Liem Swie King, atau Haryanto Arbi sebagai langganan juaranya. Namun, sedikit orang yang mengenal satu legenda lain yang juga “jawara” di All England: Johan Wahyudi. Namanya yang lama terbenam oleh waktu baru mencuat lagi pada Jumat, 15 November 2019. Namun, dalam kabut duka. Johan dikabarkan tutup umur di usia 66 tahun di kampung halamannya, Malang akibat demam berdarah yang diperparah kondisi lemah jantung. Johan lahir dengan nama Ang Joe Liang di Malang, 10 Februari 1953. Mengutip Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982 , Johan merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Mangku Prayitno, mengajarinya bulutangkis sejak umur empat tahun. Sang ayah yang pedagang itu merupakanpebulutangkis amatir tingkat kota. Selepas lulus sekolah dasar di usia 13 tahun, Johan lebih serius mendalami bulutangkis dengan masuk klub Gajah Putih. Ketika usianya masuk SMA, Johan kian bergabung dengan klub Radjawali, Surabaya –yang juga melahirkan maestro Rudy Hartono– untuk makin mengasah skill -nya. Di situlah Johan yang mesti memilih antara bulutangkis dan pendidikan akhirnya menetapkan jalan hidupnya. Dia meninggalkan pendidikannya yang sudah semester satu di Universitas Trisakti untuk lebih giat di berlatih bulutangkis di klubnya dan mengikuti berbagai kejuaraan lokal. Kerja kerasnya tak sia-sia. Malang-melintang di beragam kejuaraan junior se-Jawa Timur, arek Malang itu kerap menjadi juara. Ia bakan sampai jadi salah satu idola Liem Swie King muda. “Aku sebetulnya bercita-cita bertemu dengan Johan Wahyudi, pelajar SMA di Malang yang juara bulutangkis yunior se-Jawa Timur. Tetapi sayangnya tidak kesampaian karena POPSI (Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) se-Indonesia tak digelar lagi. Nama Johan Wahyudi sangat populer, dalam bulutangkis Johan ‘adik seperguruan’ Rudy Hartono, Muljadi, Indra Gunawan di Radjawali Surabaya,” sanjung Swie King dalam otobiografinya, Panggil Aku King. Langganan Juara Bersama Tjun Tjun Johan sudah jadi pemain ganda putra berpasangan dengan Ganda Wijaya sejak 1971. Di turnamen Wahono Cup, tahun itu juga, ia jadi runner-up . Prestasi itu membuat Johan dipanggil ke pelatnas PBSI, Jakarta untuk mengikuti seleksi jelang Djakarta Badminton Open Tournament, turnamen kejuaraan dunia pertama dengan label “invitasi”. Di Pelatnas itulah Johan bertemu Tjun Tjun. Dalam persiapan tim, Tjun Tjun akan dipasangkan dengan Rudy. Namun Rudy ingin lebih fokus di tunggal putra agar tak pecah konsentrasi gara-gara ikut di dua nomor. Johan akhirnya dipilih sebagai “ super-sub ”, alias pemain pengganti yang gemilang. Pasangan Johan/Tjun Tjun langsung bikin kejutan. Duet jawara All England 1972 Christian Hadinata/Ade Chandra dibekuk di final turnamen yang lantas jadi cikal bakal Kejuaraan Dunia BWF itu. Kolase kiprah Johan Wahyudi/Tjun Tjun (Foto: BWF Virtual Museum/The Guinness Book of Badminton/The Encyclopaedia of Badminton) Partai di final itu jadi permulaan rivalitas Johan/Tjun Tjun dengan Christian/Ade. Sempat keok pada All England 1973 dari bebuyutannya itu, Johan/Tjun Tjun menebusnya di All England 1974, 1977, 1978, serta 1980. Tidak hanya di All England, Johan/Tjun Tjun pun sukses “mengangkangi” Christian/Ade untuk jadi juara dunia pertama asal Indonesia. “Mereka jadi pasangan yang diperhitungkan dalam setiap pertandingan internasional. Bahkan ketika regu Indonesia terpukul parah dalam Kejuaraan Dunia 1977 di Malmö, Swedia, pasangan andalan ini tetap pulang memboyong gelar,” tulis buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982. Ajang itu jadi Kejuaraan Dunia pertama di bawah IBF (kini BWF). Hampir semua pebulutangkis Indonesia yang mengikutinya berguguran sebelum semifinal. Wakil tunggal putra Iie Sumirat pun hanya berkalung perunggu. Namun, pasangan Johan/Tjun Tjun dan Christian/Ade mampu mencapai final ganda putra. Di partai puncak, Johan/Tjun Tjun kembali mengalahkan rivalnya itu dengan 15-6 dan 15-4. Selain Kejuaraan Dunia, prestasi Johan/Tjun Tjun antara lain medali emas Asian Games 1974, dan dua emas SEA Games 1977 (kategori individu dan beregu). Prestasi beregu paling prestisius yang digapai Johan/Tjun Tjun adalah Thomas Cup 1976 dan 1979. Namun, kisah Johan/Tjun Tjun tak melulu kisah manis. Di semifinal All England 1979, Johan/Tjun Tjun nyaris tak membawa pulang gelar gegara dinyatakan kalah WO ( walk out ). Beruntung keputusan itu dibatalkan berkat peran pengurus PBSI dan BAC (Badminton Asia Confederation) RAJ Gosal. “Rayuan mautnya kepada honorary referee , Herbert Scheele dalam final All England 1979, berujung sukses Indonesia memboyong empat gelar. Rayuan terpaksa diluncurkan Gosal yang kala itu bertindak sebagai manajer tim, karena keterlambatan Tjun Tjun/Johan Wahyudi masuk lapangan pada gim ketiga, pasangan itu dinyatakan kalah WO oleh umpire . Berkat diplomasi Gosal, pertandingan bisa diteruskan dan setelah umpire diganti, Tjun Tjun/Johan akhirnya juara,” ungkap Jurnalis olahraga Broto Happy Wondomisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia . Setahun sebelumnya, Johan/Tjun Tjun juga bikin gerah hati sejumlah pengurus PBSI dan Kemenpora gara-gara “mengadu” kepada sejumlah media bahwa kompensasi yang mereka dapatkan untuk kehidupan mereka tak berbanding lurus dengan prestasi mereka. Johan/Tjun Tjun lantas dicoret dari tim dalam persiapan pelatnas jelang Asian Games 1978 Bangkok. Johan Wahyudi saat turut menjadi tim pencari bakat Audisi Umum Beasiswa PB Djarum (Foto: pbdjarum.org ) PBSI punya pernyataan lain soal itu. “Pengurus PBSI mengatakan ia, ‘tidak menghiraukan panggilan pengurus’, sementara Han (panggilan Johan) bercerita bahwa ia sudah datang ke (pelatnas) Senayan, tapi tak menemukan siapa-siapa. Lalu ia ke Surabaya, menjenguk kakaknya yang akan menjalani operasi,” sambung Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982 . Karier Johan mulai terbenam pada 1981. Johan/Tjun Tjun gagal mencetak rekor tujuh gelar All England setelah di final dibekuk duet Kartono/Rudy Heryanto. Johan lantas memilih pensiun tahun berikutnya. Sempat menjauh dari dunia bulutangkis, pada 1986 Johan berkenan jadi manajer tim pada All England 1986. Namun, kiprah ini tak berjalan baik lantaran wakil Indonesia, Ardy B. Wiranata dan Hermawan Susanto hanya memijak perdelapan final.Sempat pula di masa senjanya Johan “turun gunung” dengan menjadi anggota tim pencari bakat Audisi Umum Beasiswa PB Djarum pada 2015. Namun, penghargaan terhadap kiprah pasangan Johan/Tjun Tjun justru lebih dulu diberikan dunia internasional ketimbang pemerintah Indonesia. BWF memasukkan pasangan itu ke Hall of Fame pada 2009. Sementara, Kemenpora baru mengakui kiprahnya pada 2013 dalam rangka Haornas 2013, dengan penghargaan barupa hadiah rumah. Selamat jalan, Johan Wahyudi…

  • Kepala Kampung Jawa Dihukum Mati dengan Keji

    Penguasa VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) di Batavia mengelompokkan pemukim pribumi berdasarkan suku. Kampung-kampung dibangun di luar Kastil dan tembok kota. Sisa-sisa permukiman mereka dapat dikenali melalui nama-nama kampung tua, seperti Kampung Bali (Jakarta Pusat), Kampung Melayu (Jakarta Timur), dan Kampung Jawa (Jakarta Barat). Menurut sumber Belanda, orang Jawa mencakup orang dari Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Kampung Jawa di Palembang. Mereka dicurigai karena Kompeni bermusuhan dengan Kerajaan Mataram dan Kesultanan Banten. Sejarawan dan arsiparis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, menyebut bahwa VOC tidak bisa membedakan apakah orang yang datang ke kota Batavia itu orang Banten, orang Mataram, atau orang Jawa dari kawasan lain. “Di mata penguasa VOC itu, semuanya adalah orang Jawa yang mereka sebut Javanen ,” tulis Mona. Ensikopedi Jakarta mendata Kampung Jawa terletak di kawasan Mangga Dua, Jakarta Barat. Dalam peta tahun 1682 buatan penjelajah Belanda Johan Nieuhof, lokasi Kampung Jawa tergambar di seberang daerah Jl. Kaum (sekarang Jl. Jatinegara Kaum), yakni satu jalan menuju ke makam Pangeran Jayakarta di Jakarta Timur. Memang, pada masa VOC, Kampung Jawa terletak di dua tempat. Kampung Jawa di sebelah barat kota ( wester-Javanen ) dan Kampung Jawa di sebelah timur kota ( ooster-Javanen ). Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII , menyebut Kampung Jawa di sebelah barat kota didirikan pada 1643 dengan membuka lahan berukuran 917 x 30 roeden (1 roede kurang lebih 3,75 meter) dan direncanakan untuk menjadi sebuah Kampung Jawa yang cukup besar. Lahan besar itu ditumbuhi pepohonan kelapa dan dimaksudkan untuk menampung para penebang pohon Jawa yang selama itu berdagang kayu di sebelah selatan Parit Harimau bahkan juga di sepanjang tembok kota. Kampung Jawa di sebelah barat kota dipimpin oleh seorang Nasrani asal Ternate, Jan Pekel atau Jan Cleyn. Menurut Mona, kepala kampung memiliki wewenang mengatur berbagai hal, seperti administrasi, ekonomi, dan keamanan. Kepala permukiman ini oleh penguasa VOC diberi pangkat kapiten atau letnan. Jabatan mereka disebut inlandsche commandant atau komandan pribumi. Gelar dan jabatan itu diberikan atas dasar bahwa para pemukim itu pada awalnya adalah serdadu yang ikut serta dalam pasukan VOC. Di waktu damai, atau saat VOC tidak melakukan peperangan atau ekspedisi militer, mereka mengelola daerahnya untuk pertanian. Oleh karena itu, Jan Cleyn pernah memimpin warganya dalam ekspedisi militer VOC. Hendrik mencatat, Jan Cleyn dan warganya dikenal setia. Dia bersama 20 orang Jawa turut berperang bersama serdadu VOC di Sailan (Srilanka). Dia juga membantu dalam pengepungan Kota Malaka tahun 1641. Namun, tiga tahu kemudian VOC mendakwanya telah menjalin hubungan rahasia dengan Banten dan Mataram. Dia ditengarai bekerja sama dengan Kiai Mas Goula, tokoh Moor (dari Bahasa Portugis: mouro artinya orang muslim) di Batavia. Dakwaan itu membuat penduduk semakin takut terhadap orang Jawa yang mereka anggap tidak dapat dipercaya, cepat mengamuk, dan keras kepala. Mas Goula mengaku sebagai keturunan termuda dari sebuah keluarga Arab dari Surat, India, yaitu keluarga para ulama yang merupakan nenek moyang para pangeran Jayakarta. Dia memutuskan kembali ke Batavia karena Sultan Mataram memerintahkannya untuk memasok serdadu. Karena itu, dia kesulitan mendapatkan izin dari pemerintahan VOC kendati dia bersumpah selama hidupnya tidak akan memusuhi Batavia dan orang Belanda. Akhirnya, pada Januari 1644, dengan bantuan Jan Cleyn, Mas Goula mendapat izin untuk bermukim di kawasan ommelanden (luar tembok kota) bersama keluarga dan budaknya. Syaratnya dia harus lapor ke kastil setiap bulan. Pada Agustus 1644, Jan Cleyn dan Mas Goula didakwa melakukan makar. Menurut dakwaan, Jan Cleyn menanggalkan agama Nasrani yang dipeluknya sejak kecil di Batavia. Karena dia bersedia disunat, maka orang hilang kepercayaan terhadapnya. Menurut Hendrik, dalam dakwaan disebut Jan Cleyn dengan 500 orang Banten dan 1.000 orang Cirebon bersenjata akan menyerang Gubernur Jenderal dan penduduk Batavia. Rencananya mereka akan membunuh Gubernur Jenderal Antonio van Diemen saat bertamu dengan dalih hendak memberikan hadiah. Lalu pasukan Banten akan memanjat tembok kota kemudian menyerbu serta merebut kota dan kastil. Dakwaan itu mengingatkan kembali masyarakat pada serangan Mataram (1628-1629) sehingga Jan Cleyn dijatuhi hukuman berat dan mengerikan. “Tubuhnya dicincang, kepalanya dipenggal, dan bagian-bagian tubuhnya dipotong empat dan dipertontonkan di empat penjuru angin untuk membuat orang lain jera,” tulis Hendrik. Mas Goula mengalami nasib yang sama kendati kapiten orang Melayu, Encik Amath, sudah memohon agar dipancung saja lalu dikebumikan dengan terhormat mengingat latar belakang keluarganya. Sejumlah orang lain yang ditengarai terlibat dalam komplotan juga digantung.

  • Budaya Sepeda Orang Indonesia

    Lelaki itu turun dari sepeda gunung putih. Dia memarkirkannya di halaman tempat kerja. Ada puluhan kendaraan bermotor roda dua. Sepeda itu satu-satunya di parkiran. Lalu dia membuka helm, masker, dan menyeka peluh di dahi. Dia biasa menempuh jarak 20 kilometer dari rumah menuju tempat kerja. Dia bilang jarak segitu tidak melelahkan. Sepedanya sudah modifikasi sana-sini sesuai kebutuhan dan gambaran tentang kenyamanan. “Biar enak dipakai dan daya jelajah kekuatan sepeda saya bisa sampai puluhan sampai dengan ratusan kilometer,” kata Hendry Gustian, (33 tahun), pengajar di sebuah bimbingan belajar di Jakarta Timur. Hendry telah menghabiskan jutaan rupiah demi kenyamanan bersepeda. Bagi dia, bersepeda tak bisa seadanya saja dan sepeda bukan cuma alat transportasi. Kenyamanan butuh harga dan sepeda adalah alat dia mencapai tujuannya. “Umur bertambah, kesehatan harus dijaga,” katanya. Hal serupa diutarakan oleh Arman Widyastama, karyawan swasta di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Dia bersepeda sejauh 20 kilometer dari rumah ke kantornya. Menurutnya, sepeda adalah investasi kesehatan. “Sehat itu mahal. Lebih baik mencegah daripada mengobati,” katanya. Seperti Hendry, dia pun telah memodifikasi sepedanya senyaman mungkin. Hendry dan Arman adalah sedikit contoh dari orang-orang yang memandang sepeda lebih dari alat transportasi. Mereka melihat sepeda juga sebagai alat untuk mencapai cita-cita pribadinya dan menuangkan gagasannya tentang sesuatu. Sejarah sepeda di Indonesia pun mengungkap hal serupa. Pembeda Golongan Sepeda masuk ke Hindia Belanda pada 1910-an. “Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, selanjutnya juga oleh para misionaris dan saudagar kaya,” ungkap Hermanu dalam Pit Onthel . Harga sepeda sangat mahal. Setara dengan 1 ons (28,35 gram) emas atau sekarang berharga Rp19 juta. Maka penggunanya pun berasal dari kalangan elite. Jelata kebanyakan hanya mampu membayangkan menaiki kereta angin, sebutan untuk sepeda pada masa kolonial. Kepemilikan sepeda pada segelintir elite menjadikan barang ini sebagai simbol status. “Menjadi simbol pembeda kelas antara pribumi dengan kalangan penjajah atau antara jelata dengan priyayi,” ungkap Ahmad Arif dalam Melihat Indonesia dari Sepeda. Di sini sepeda telah menjelma lebih dari alat transportasi ke kantor, pasar, atau sebatas jalan-jalan. Karena sepeda di kaki para penjajah dan kaum elite menjadi alat penindasan, maka perlawanan dari rakyat terjajah pun juga datang melalui penggunaan sepeda. Ini dikisahkan Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan 1978 – 1983, kelahiran Medan, Sumatra Utara, 8 Agustus 1926. Daoed mempunyai ibu bernama Siti Jasiah. Ketika masih kanak-kanak, Daoed menyaksikan ibunya bertekad memiliki sepeda. Ibunya mengutarakan keinginan itu di tengah makan malam keluarganya. Moehammad Joesoef, ayah Daoed, terkejut mendengar tekad Jasiah. “Untuk apa?” tanya Moehammad. “Untuk bisa pergi lebih jauh dalam waktu yang lebih singkat dan bisa membawa belanjaan yang agak banyak,” tanggap Jasiah. Moehammad kurang berkenan dengan keinginan Jasiah. “Nik, kita ini tidak muda lagi,” kata Moehammad. Tapi Jasiah menampiknya. Tak ada pembatasan umur untuk bersepeda dalam aturan lalu-lintas kolonial. Jasiah juga bilang nyonya-nyonya Belanda kesana-kemari dengan kereta angin. Badannya gemuk-gemuk dan usianya pun sudah tua. “Mereka lain sih…” kata Moehammad, mencari alasan. “Lain bagaimana? Mereka dan kita sama-sama manusia. Bedanya kan cuma di warna kulit. Akan saya buktikan bahwa saya pun bisa berkereta angin seperti perempuan-perempuan Belanda itu,” balas Jasiah, tak mau kalah. Moehammad meluruskan kekhawatirannya. Bukan soal perempuan Belandanya, melainkan dia merasa tak enak hati dengan perempuan-perempuan di kampungnya jika melihat seorang perempuan bumiputra belajar naik sepeda. Jasiah menegaskan, “Biarkan perempuan-perempuan sini menggunjing di belakang saya. Heran, kok mereka begitu benci pada kemajuan. Picik bagai katak di bawah tempurung.” Daoed mengungkap kisah ini dalam biografi ibunya. Judulnya Emak . Daoed melanjutkan, ayahnya tak bisa mempertahankan pendapatnya lagi. Dia membiarkan istrinya belajar kendarai sepeda. Jasiah membeli sepeda bekas dari uang tabungannya. Dia jatuh bangun demi bisa bersepeda. Sesuai dugaan Moehammad, orang-orang kampung menggunjing istrinya begitu melihat istrinya belajar naik sepeda. “Tingkah lakunya seperti noni dan nyonya Belanda saja,” kata seorang tetangga. Tetangga lainnya mencibir. “Tak tahu diri!” Perempuan-perempuan kampung berkumpul melihat Jasiah bersepeda. Berharap dia terus jatuh. Kalau dia jatuh, mereka akan bertempik sorak. Semua cibiran tak berarti banyak buat Jasiah. Dia akhirnya lancar bersepeda keliling kampung dan kota Medan. Orang-orang kampung terdiam, sedangkan perempuan Belanda ternganga melihat perempuan bumiputra mahir bersepeda. Menurut Daoed, jarang sekali perempuan bumiputra naik kereta angin kala itu, baik di kampung maupun di kota Medan. Kemudian Jasiah pergi ke toko sepeda hendak membeli sepeda baru. Dia ingin sepeda yang kuat dan tangguh. Pilihannya tiga: Fonger, Gazelle, dan Raleigh. Dua buatan Belanda dan satu dari Inggris. Harga ketiganya hampir setara. Jasiah memilih Raleigh, menolak Fonger dan Gazelle. “Saya pilih yang bukan buatan Belanda. Supaya si Belanda ini tahu kita tidak mau terus membebek kepadanya. Belanda ini kan setali tiga uang dengan Kompeni (VOC, red. ),” kata Jasiah. Dengan sepeda, Jasiah telah menghantam dua bentuk penindasan: imperialisme asing dan kebekuan berpikir kaum bumiputra. Nasionalisme Sepeda Zaman mesin tiba. Auto (mobil) dan sepeda motor masuk ke Hindia Belanda pada 1920-an. Kepemilikan atas keduanya menjadi kebanggaan baru kaum elite. Sepeda sudah tak lagi menarik kaum elite. Sebaliknya, banyak kaum bumiputra mulai memiliki sepeda. Karena jumlahnya kian banyak, sepeda tak lagi menjadi barang eksklusif. Ia justru jadi sumber pamasukan baru bagi pemerintah kolonial. Caranya dengan mengenakan pajak kepada tiap rumah tangga pemilik sepeda. Ini berlaku umum di seluruh wilayah Hindia Belanda, tetapi besaran pajaknya bergantung kepada pemerintah daerah. Sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905. Pajak sepeda masih berlaku hingga masa Indonesia merdeka. Sebagai bukti sepeda itu sudah lunas pajak, pemilik akan memperoleh tanda ( penning ) di bagian depan sepeda. Dengan begitu, pesepeda tidak akan dihentikan oleh polisi. Orang tak menganggap pajak ini memberatkan. Penjualan sepeda tetap tinggi dan menjadi alat transportasi andalan masyarakat Indonesia pada dekade 1950-an. Dalam dekade ini, hasrat orang menggunakan sepeda berkembang lagi lebih dari alat transportasi harian. Saleh Kamah, pemuda berusia 20 tahun asal Manado, menjadikan sepeda sebagai alat untuk mewujudkan impiannya: berkeliling dunia. Dia juga berkasad memperkenalkan Indonesia kepada warga dunia di tiap persinggahannya.  “Bawalah Merah Putih ke seluruh penjuru dunia. Tepuklah dadamu dan katakanlah inilah Indonesia!” kata Sukarno ketika menerima kedatangan Saleh Kamah di Istana Negara, Jakarta, 8 Januari 1955. Sukarno menghadiahkan sepeda Philips untuk Saleh agar bisa menuntaskan misinya. Tapi Saleh gagal memenuhi impiannya. Dia terempas di Burma pada Februari 1955. Sepeda Mahal Lalu orang berpaling dari sepeda sekian lama. Hingga datang kembali kegandrungan terhadap sepeda pada pengujung dekade 1980-an. Pemerintah mengkampanyekan sepeda sebagai alat transportasi untuk mengisi slogan ‘Hidup Sederhana’. Masa ini harga minyak naik. Begitu pula dengan harga bahan kebutuhan pokok. Sepeda dianggap turut meringankan beban hidup masyarakat. Maka berlomba-lombalah pejabat negara eksis dengan sepeda. Supaya rakyat turut pula bersepeda. Lomba bersepeda dengan gembira ( fun bike ) juga marak demi memasyarakatkan sepeda Klub penggemar sepeda pun terbentuk, seperti Ikatan Penggemar Sepeda Jakarta. Federal, anak perusahaan grup otomotif Astra, menangkap kegandrungan orang terhadap sepeda dengan memproduksi sepeda. Orang-orang kaya ikut tertular gandrung sepeda. Tetapi mereka enggan asal membeli sepeda. Mereka ingin sepeda yang berbeda dari kebanyakan punya orang. Eksklusivitas adalah kata kunci sebelum membeli. Sepeda-sepeda terbatas berharga mahal adalah incaran mereka. “Kalau mobilnya sudah Mercedes atau BMW, masa sepedanya Rp2 jutaan. Kan nggak pantas?” kata Johnie, seorang pemilik sepeda mahal, seperti dikutip Tempo, 19 Oktober 1991, dalam “Gila Sepeda Berjuta Harganya”. Garasi rumah Johnie terisi empat Mercedes, satu BMW, dan satu Volvo. Maka sepeda mahal bukanlah masalah baginya. Sering harga sepeda edisi terbatas lebih tinggi dari motor atau bahkan mobil. Orang-orang kaya membanggakan sepeda itu di hadapan koleganya dan menjadikannya sebagai simbol status. “Mirip ketika awal-awal orang-orang Belanda di Hindia Belanda memiliki sepeda,” kata Sofian Purnama, dosen di Universitas Indonesia yang sehari-hari bersepeda. Pengujung dekade 1980-an, pemakaian sepeda mahal hanya terbatas pada hari libur atau untuk melobi kolega. Tak ubahnya seperti olahraga golf. Tahun-tahun belakangan ini, kegandrungan terhadap sepeda berulang kembali. Sebagian besar orang menggunakannya untuk kebutuhan transportasi harian. Tingkat harga sepedanya masuk kategori murah dan menengah. Terjangkau oleh kebanyakan orang. Selingkaran lainnya mampu membayar lebih untuk sepeda yang harganya jauh dari jangkauan kebanyakan orang. Bedanya dengan generasi lampau, mereka pakai sepeda mahal itu untuk pergi ke kantor. Bukan hanya untuk pamer. “Bisa dilipat masuk kolong meja kantor,” kata Arman. Yang dia maksud adalah sepeda lipat premium. "Layaknya Jaguar. Rolls Royce-lah. Handmade ,” lanjut Arman, mengibaratkannya dengan merk mobil mahal. Apa kelebihan sepeda lipat premium itu? "Anti murah dan meningkatkan strata sosial," canda Gamma Riantori (38 tahun), salah satu penggemar sepeda yang telah menjajal banyak jenis sepeda, dari yang termurah sampai yang termahal. Pengguna sepeda mahal sudah jamak tersua di dalam kereta Moda Raya Terpadu (MRT) dan Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta. Menandakan adanya pertumbuhan kelas atas di Jakarta. Mereka juga membentuk komunitas berdasarkan merk sepeda. Buat mereka, sepeda bukanlah sekadar alat transportasi. Sejarah terus berulang. Meski itu dilihat dari sebuah sepeda.

  • Zainal Beta, Sang Pelukis Tanah Air

    BANGUNAN di tengah-tengah Benteng Rotterdam itu tampak sepi. Jendela-jendela di lantai duanya tertutup, tanda-tanda tak ada kehidupan. Padahal, maksud hati ke situs ikonik di Makassar itu ingin menemui seniman nyentrik, Zainal Beta namanya. Di gedung itulah pada Maret 2017 saya bersua dirinya pertama kali, di sela-sela acara sebuah ekspedisi otomotif. Namun, perjumpaan itu hanya sesaat. Nyaris putus asa setelah gagal mencarinya di sekitar benteng, pasca-salat ashar tetiba sosok lelaki tua berambut gondrong yang sudah memutih melangkah di depan mata dari gerbang depan. Saya dan Irvan Nursyam, teman dari Makassar, mengikuti dia yang kemudian masuk ke sebuah ruangan kecil bekas penjara bawah tanah di salah satu sudut benteng.  “Fort Rotterdam Art Gallery”, demikian bunyi tulisan yang terpampang di pintu masuk ruangan yang makin ke dalam semakin pendek itu. Di tempat itulah Beta memajang beberapa karya-karyanya. Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi Usai perkenalan singkat, ia menuturkan bahwa ruangan itu secara cuma-cuma memang khusus dilowongkan untuk Beta berkarya. Itu merupakan bentuk apresiasi pemda setempat kepadanya. Beta dikenal sebagai seniman sekaligus penemu sejak pertengahan 1980-an. Ia diakui dunia sebagai pelukis pertama yang berkarya dengan media tanah dan air, bukan cat air atau cat minyak sebagaimana lazimnya pelukis. Ia bahkan sempat dianggap gila. Namun beberapa cibiran dari sesama seniman luntur seiring datangnya pujian dari maestro Affandi 33 tahun lampau. Jiwa Pemberontak Seniman nyentrik itu punya nama asli Arifin. Ia kelahiran Makassar, 19 April 1960. Ia sudah getol menggambar sejak usia sekolah dasar. Terkadang dinding rumah atau buku-buku milik kakaknya jadi media buat Beta “berkarya”. Maklum, sejak tingkat SD sampai SMP, Beta tak menemukan satupun sekolah di Makassar yang punya mata pelajaran seni rupa. “Lucunya, tiba-tiba ada sekolah malam. Jadi setelah sekolah (di tingkat SMP umum), sorenya saya lanjut ke sekolah itu jam 5 sore sampai jam 10 malam. Karena saya sudah pintar menggambar, saya diminta mengajar menggambar. Enggak diupah. Hanya kebanggaan saja saya mengajar jadi guru. Padahal saya masih SMP juga,” kata Beta mengenang. Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr Zainal Beta berkisah mulanya ia diangap gila sebelum melahirkan seni lukis dengan metode baru (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, hobi melukisnya tak didukung keluarganya. “Orang tua ingin saya sekolah biasa dan kemudian lulus untuk jadi pegawai negeri. Kalau jadi pelukis, dibilang orang tua saya nanti masa depannya suram. Apa yang bisa diharapkan?” lanjutnya. Karena tak mendapat restu itulah ia menggunakan nama beken Zainal Beta atau kadang dipanggil Daeng Beta. Tujuannya supaya aktivitas berkeseniannya tak diketahui keluarganya. “Dari kecil saya sudah jadi pemberontak.” Selepas lulus SMP dan masih mengajar di SMP PGRI 4, Beta bergabung ke Sanggar Jumpandang pimpinan Bachtiar Hafid. Wadah beragam kesenian itu ia temukan saat sedang jalan-jalan ke Benteng Rotterdam. Ia pun mendaftar untuk bidang seni rupa. Ia tak dipungut biaya sebagai ganti ikut mengajar di sanggar itu. Kala itu, di Jumpandang belum ada mentor untuk seni lukis selain Bachtiar. “Itu juga masih sembunyi-sembunyi dari orang tua. Kalau pulang dan bawa hasil lukisan, buru-buru saya taruh di kolong tempat tidur. Saya di sanggar juga kemudian diangkat jadi salah satu pembina. Padahal baru lulus SMP. Selain seni lukis, saya juga kemudian belajar seni patung di sanggar,” sambung Beta. Penemuan dari Ketidaksengajaan Medio 1980, Beta didorong Bachtiar untuk ikut memamerkan karya mewakili Sanggar Jumpandang di sebuah pameran besar yang digelar Dewan Kesenian Makassar. Jelang pameran, Beta tak sengaja menemukan “masterpiece”-nya. “Saya sedang bawa beberapa kertas waktu mau pulang ke rumah. Saat itu hujan. Tidak sengaja kertas yang dibawa jatuh ke tanah yang becek. Saat saya bersihkan, saya seperti melihat ada obyek di dalamnya. Saya coba hapus-hapus lagi, kelihatan ada obyek atau siluet lagi,” tuturnya. Baca juga: Karya-Karya Sang Perupa Sederhana Selama beberapa hari di rumahnya, Beta mencoba ulang dengan membasahi tanah dan menggoreskannya di atas kertas. “Saya belum ada pikiran akan jadi suatu media baru. Sempat ketahuan keluarga bahwa saya melukis pakai tanah. ‘Ah kau sudah gila!’, begitu kata keluarga saya.” Eksperimennya dengan media tanah-air itu menyita waktunya. Hingga dua pekan sebelum pameran, ia belum membuat satupun karya dari media mainstream : cat air atau cat minyak. Maka saat pameran tiba, ia terpaksa men- display 10 karya lukisan tanah liat hasil coba-cobanya. “Dari 10 yang saya bawa, akhirnya hanya lima yang saya pajang. Itupun saya taruh di belakang pintu (ruang pameran, red. ). Karena saya hindari. Saya masih minder waktu itu. Tapi wartawan dari (harian) Fajar , Sinansari Ecip, dia lihat di belakang pintu,” tambah Beta. Ecip penasaran dan mulai insyaf bahwa yang dipakai dalam lukisan itu bukan cat minyak atau air. Saat diberitahu lukisan-lukisan itu dari media tanah dan air, jurnalis senior itu justru memuji. “Dia bilang, ada mutiara terselip di belakang pintu. Anda ini penemu. Ibarat wanita melahirkan manusia baru, saya dikatakan melahirkan media baru. Besoknya mulai tersebar di media-media,” ujarnya. Baca juga: Seniman Balik Patung Jenderal Ahmad Yani Zainal Beta memamerkan salah satu dari sejumlah karya lukisan tanah liat buatannya (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Beta yang mulanya minder, jadi bangga. Terlebih, satu dari lima lukisan tanah liat itu langsung dibeli sang jurnalis. “Ya Sinansari Ecip itu pembeli karya (tanah liat) pertama saya. Lupa lukisan gambar apa yang dia beli. Waktu itu dia hargai Rp50 ribu. Sudah besar nilainya di zaman itu. Sampai saya bisa beli sepeda karena saya juga hobi main sepeda,” kata Beta. Namun, semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula anginnya. Rekan-rekan pelukis lain hampir tak ada yang mengakui karya Beta tergolong seni lukis. Pengakuan baru diterima Beta enam tahun kemudian lewat apresiasi maestro Affandi. Beta sampai dijuluki satu-satunya pelukis “tanah air” lantaran pakai media tanah liat dan air. Sepanjang kurun itu, Beta mengaku terus menyempurnakan metodenya, terutama soal jenis-jenis dan warna-warna tanah untuk dipakai melukis. “Dari mana ia dapatkan bahan-bahan pewarna itu? Tanah hijau ditemukannya di dataran tinggi Soppeng. Tanah merah dari Mandar. Warna hitam didapat dari 25 daun-daun surga (dedaunan tanaman liar),” ungkap Agung Puspito dalam Islam dan Seni Rupa: Daun-Daun Surga . Beta biasanya menyempurnakan metodenya saat mencari inspirasi di banyak tempat di Sulawesi. “Tanah pertama saya pakai, itu tanah (dari) Maros. Setahun-dua tahun belum ketemu sempurnanya. Pertamakali dalam rentang setahun lukisan saya retak. Tapi kemudian saya belajar untuk mengolah tanahnya lagi,” ujar Beta. Baca juga: Goodbye Stan Lee! Di kemudian hari, Beta bereksperimen tidak hanya dengan tanah liat namun dengan media-media lain. Itu lantas ia tularkan ke anak-anak didiknya hingga kini. “Saya pernah juga coba pakai media aspal. Kadang dedaunan untuk dipakai getahnya. Saya juga tekankan ke murid-murid saya bahwa coba tengok ke daerah lain di mana banyak hasil tambang, hasil bumi, dan sebagainya. Bisa pakai media kelapa sawit, misalnya. Intinya, saya mencoba mengajarkan untuk memerhatikan alam di daerah masing-masing untuk jadi inspirasi,” tandasnya.

  • Gaya PKI Memikat Rakyat

    SEBELUM menjadi partai terlarang, PKI mengusung citra sebagai partai rakyat. Penabalan ini bukan bualan belaka. Di berbagai daerah, PKI cekatan menangkap kegelisahan masyarakat. Program partai berlambang palu arit ini secara umum ditujukan untuk meninggikan harkat hidup wong cilik. Mulai dari upah kerja yang layak, pembagian tanah, jaminan kesehatan, pendidikan, hingga rekreasi. “Meski kebijakannya sentralistik, pendekatan PKI di daerah amat disesuaikan dengan kondisi masyarakat,” kata sosiolog Arbi Sanit, penulis buku Badai Revolusi: Sketsa Politik Kekuatan PKI di Jawa Tengah & Jawa Timur kepada Historia . Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jadi basis utama, PKI tampil penuh totalitas. Biaya besar tidak segan digelontorkan untuk mendanai kegiatan. Dengan garis komando terpadu mulai dari Central Comite (CC) hingga tingkat resort (desa), program PKI tidak kesulitan peminat. Sanit menerangkan, saat terjadi bencana kelaparan di Gunung Kidul, Jawa Tengah pada pertengahan 1950, misalnya. Di daerah itu, orang banyak makan singkong karena tanah di Gunung Kidul tidak cukup baik untuk tumbuhan padi. PKI segera meresponnya dengan membuat program penanaman singkong. “Kalau lagi musim mainan anak layang-layang, PKI bagi-bagi layangan gratis. Nanti keluarga yang terima layang-layang itu, dicatat sebagai penerima dan terdaftar sebagai anggota PKI. Siapa yang pernah terdaftar ada urusannya dengan PKI, itu dianggap jadi anggota,” ujar Sanit. Salah satu program PKI untuk rakyat tersua dalam berita Harian Rakjat, 25 Juli 1957 yang menggarap isu kesenian dan kesehatan.  “Program pengembangan kesenian daerah (ludruk) dan program air minum bersih,” demikian tulis Harian Rakjat yang merupakan koran partisan PKI tersebut.  Agenda itu merupakan sedikit dari program PKI di daerah Jawa Timur yang dikemas secara populis. Di beberapa daerah basis Masjumi, PKI memancing simpati. Menyikapi gerakan Darul Islam (DI) yang meresahkan petani di Aceh dan Jawa Barat, PKI menyerukan penyitaan tanah milik para pengikut DI. Sembari menjanjikan pembagian tanah tersebut kepada petani miskin, Pemuda Rakyat dimobilisasi sebagai mitra TNI. Kotagede, sebuah kota kecil di Yogyakarta yang juga basis Masjumi, penetrasi PKI juga ikut masuk. Di sana, menurut Mutiah Amini dalam “Komunis di Kota Santri: Politik Lokal Kotagede Pada 1950-1960-an” termuat di buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia tahun 1950-an , aksi sosial PKI bahkan tidak pandang bulu. Kader PKI secara terang-terangan membantu Muhammadiyah dengan membangun sarana publik seperti rumah bersalin dan balai kesejahteraan ibu dan anak. Hal ini dilakukan sebagai tanda terimakasih para kader yang pernah mengenyam pendidikan dasar Muhammadiyah di kota itu. Sementara di Sumatra, basis massa PKI meliputi buruh-buruh perkebunan. Pengaruh komunis berkembang pesat di kawasan transmigrasi, seperti di Sumatra Timur (kawasan Deli), Sumatra Selatan, dan Lampung. Hampir sama seperti di Jawa, PKI giat memperjuangkan nasib buruh kebun ini melalui serikat buruh partisannya, Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI). Di Kalimantan, PKI bergerak lebih fleksibel. Kendati anti-sukuisme yang cenderung feodal, PKI berupaya menarik simpati etnis Dayak dengan menyokong pembentukan provinsi Kalimantan Tengah. Sikap ini, menurut Gery van Klinken dalam “Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan” masih dalam Antara Daerah dan Negara , didorong oleh keinginan untuk membendung pengaruh Masjumi yang kuat di Kalimantan Selatan. Ketika provinsi Kalimantan Tengah terbentuk pada 1957, cabang PKI telah punya basis yang kuat di Barito. Yang menarik, mayoritas massa PKI adalah petani Dayak yang punya tanah dan orang-orang Kristen. “Sampai tahun 1959, ternyata sudah banyak anggota jemaat yang menjadi anggota PKI dan malahan hampir semua tokoh pimpinan PKI di daerah Kalimantan Tengah adalah orang-orang Kristen,” tulis Pdt. Dr. Fridolin Ukur dalam Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835. Merentang ke Timur, isu utama yang dihadapi rakyat setempat adalah feodalisme. Di Sulawesi, PKI mengakomodasi gugatan masyarakat terhadap elite tradisional yang menguasai sebagai besar lahan tani. Sejak tahun 1954, dalam waktu yang tidak terlalu lama PKI mendapat dukungan yang besar dari masyarakat Toraja, Sulawesi Selatan. “PKI sangat berhasil memobilisasi pengikut dan mengangkat masalah tanah di Tanah Toraja sebagai isu pokok,” tulis Diks Pasande dalam “Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja” termuat di kumpulan tulisan Antara Daerah dan Negara suntingan Sita  van Bemmelen dan Remco Raben. Di Nusa Tenggara Barat dan Timur, PKI gencar menentang perbudakan yang masih dipraktikkan raja-raja lokal sejak zaman kolonial. PKI memperjuangkan tuntutan sederhana tetapi tidak mampu disuarakan rakyat NusaTenggara, seperti: hak menggunakan pelana kuda bagi rakyat biasa, penggunaan celana panjang bagi petani, serta pelarangan kerja rodi dan kawin paksa. Hasil kinerja yang apik di berbagai daerah itu semakin ditujang lewat agitasi propaganda media. Dalam pemenuhan asupan informasi di daerah, awak media PKI paling militan kinerjanya dibanding corong partai yang lain. Penerbitan media PKI menjangkau penjuru tanah air bahkan hingga ke pelosok negeri.    “Jaringan Harian Rakjat itu sampai ke kota Tanjung Balai (150 km dari Medan) diangkut pakai (pesawat) Garuda. Ke pelosok NTT sekira 4 hari dan kalau Ambon bisa 2-3 hari,” kata Martin Aleida, mantan wartawan Harian Rakjat kepada Historia . Melalui program kerja dan propaganda, jaringan PKI berkembang pesat. Wajar jika basis massa PKI di tingkat akar rumput bertumbuh dengan subur. Maka tidak heran, ketika memasuki tahun 1960, PKI menjelma sebagai partai politik terkuat di Indonesia, bahkan dunia.

  • M Bloc dari Gudang Kosong Jadi Tempat Nongkrong

    Ada banyak tempat nongkrong anak muda di Jakarta. Yang cukup ikonik dan bersejarah adalah kawasan Melawai, Blok M. Kemunculan kawasan ini tak lepas dari perkembangan Kebayoran Baru, wilayah yang tadinya diniatkan sebagai kota satelit Jakarta pada 1950-an. Permukiman di Kebayoran Baru terbagi atas beberapa blok, dari A sampai S. Termasuk di dalamnya Blok M. Salah satu bekas gudang uang milik Peruri di kawasan M Bloc. (Fernando Randy/Historia) Kiri: Batu bata sisa renovasi di M Bloc. Kanan: Suasana di depan M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Kemudian Kebayoran Baru justru menjadi bagian dari Jakarta. Blok M pun berubah. Tak lagi hanya permukiman, tapi juga pertokoan dan bisnis. Bahkan konsep rumah toko (ruko) muncul kali pertama di Blok M pada 1970-an. Memasuki 1980-an, Blok M berkembang jadi kawasan hiburan. Ada berbagai tempat makan, pusat perbelanjaan, dan diskotek di sini. Tak heran kawasan ini selalu ramai tiap hari, kala siang atau malam. Orang Jepang menghabiskan malam di tempat ini untuk mencari hiburan. Maka Blok M pun berjuluk “Little Tokyo”. Sejumlah pekerja saat merapikan bagian atap M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Film Catatan Si Boy menjadi salah satu film laris pada era 1980-an. Syutingnya di daerah Melawai, Blok M. Boy adalah seorang anak muda kaya raya, tampan, tanggap zaman, dan rajin ibadah. Film itu turut mengangkat citra Blok M sebagai tempat nongkrong anak muda.    Kiri: Seorang pengunjung di salah satu kedai M Bloc. Kanan: Para pekerja di M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Namun seiring waktu, pamor Blok M sebagai tempat nongkrong anak muda mulai meredup. Jakarta punya tempat nongkrong lain. Tempat-tempat itu menawarkan berbagai konsep baru dan kreatif yang menyaingi Blok M. Sisa-sisa karat tampak di berbagai sudut M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Hingga datanglah gagasan dari Perusahaan Umum Percetakan Uang Negara (Peruri) untuk membangun ruang kreatif baru di bekas lahan perumahan karyawannya di Blok M. Sekaligus upaya menghidupkan kembali kawasan Blok M sebagai tempat nongkrong generasi milenial. Kebetulan pula Blok M mulai berdenyut lagi seiring selesainya pembangunan Moda Raya Terpadu (MRT). Dekorasi uang kuno di salah satu kedai di M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Peruri menggandeng Ruang Riang Milenial (RRM), perusahaan jasa kreatif yang digawangi oleh Handoko Hendroprayono, Jacob Gatot Sura, Lance Mengong, Mario Sugianto, Wendi Putranto, dan Glen Fredly. Mereka menamai proyek di atas lahan seluas 7.000 meter persegi tersebut dengan M Bloc. Seorang pegawai kedai saat beraktifitas di kedai Oeang M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Proyek M Bloc memungkinkan generasi milenial menyewa gerai–gerai untuk usaha mereka yang tergolong unik dan beragam. Mulai Union Well yang berfokus pada baju, otomotif, dan pangkas rambut; Demajors untuk berjualan rilisan fisik dari musisi lokal seluruh Indonesia; Tokyo Skipjack, Rumah Lestari, dan Padang Tugo yang menawarkan makanan; sampai Connectoon bagi para penggila kartun. Suasana sore hari di M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Tapi proyek utama di M Bloc adalah pertunjukan musik di ruang terbuka yang mampu menampung 350 hingga 500 penonton. Pertunjukannya akan digelar tiap hari. Dengan pertunjukan ini M Bloc diharapkan menjadi ruang berbagai genre musik di tanah air. Seperti dikutip beritagar.id, Wendi, programme director M Bloc, mengatakan akan menyaring setiap musisi yang ingin tampil di M Bloc agar kualitas musik yang ditampilkan tetap terjaga. “Kami tidak ingin konser gratis. Tujuannya untuk edukasi ke penggemar bahwa kalian harus membayar kalau ingin mendapatkan hiburan. Ada kualitas, ada harga," tuturnya. Para pengunjung yang menikmati berbagai tempat makan dan minum di M Bloc. (Fernando Randy/Historia). Proyek M-Bloc disambut baik. Tari (23), seorang pengunjung, mengatakan keberadaan M Bloc membangkitkan kenangan akan tempat nongkrong orangtuanya saat muda dulu. “Iya mama sering cerita kalo dulu sering nongkrong di Blok M Melawai. Saya kesini juga sama mama, katanya mau nostalgia saat muda.”  M Bloc menjadi salah satu tempat nongkrong baru di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Pengunjung lain, Hafid (25) yang berprofesi sebagai jurnalis, mengatakan “Ruang kreatif seperti M Bloc gini, penting untuk diperbanyak di Jakarta. Kita sudah bosen nongkrong di mall. M Bloc memberikan alternatif untuk mencari ide atau pun nongkrong bersama teman.”  Dengan semangat kreativitas di M Bloc, bukan tidak mungkin akan mengembalikan pamor Blok M yang sempat memudar digerus zaman.

bottom of page