top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mula Cacar Menyebar

    DI masa kini, cacar bukanlah penyakit menakutkan. Orang bisa dengan tenang menghadapinya lantaran akses layanan kesehatan sudah terjangkau dan makin mutakhir. Paling banter, orang akan merisaukan bekas lepuhan yang berubah jadi koreng lantaran sulit hilang. Kerisauan akan penyakit ini cenderung rendah sekarang. Hal itu berbeda jauh dari zaman dulu. Mereka amat menakutinya. Sebelum masyarakat mengetahui cacar, mereka menganggap kemunculan cacar akibat ulah makhluk halus yang datang dari laut. Penduduk Pulau Buru bahkan sampai punya kepercayaan untuk menghindari pantai dan laut. Untuk mencegah cacar masuk ke desa, mereka melakukan ritual dengan membangun rakit kecil untuk melarung penyakit ke tempat asalnya. Di Kubu, Sumatera dan orang Dayak di Borneo percaya untuk menghindari cacar mereka dilarang pergi ke dataran rendah dan berada di sekitar orang asing. Bila harus melakukan transaksi, mereka akan melakukan barter bisu, melakukannya dari jarak jauh, dan menghindari dataran rendah. Kebiasaan itu berhasil menghindarkan orang Kubu dari epidemi cacar. Dalam seabad, tercatat hanya tiga kali Kubu terserang wabah cacar, jauh lebih sedikit dibanding daerah lain. Di Aceh, Bali, Batak, dan Sulawesi, orang memilih meninggalkan desa selama bertahun-tahun untuk menghindari cacar. Begitu tahu ada salah seorang penduduk desa yang terkena cacar, mereka langsung cepat-cepat kabur dan mencari tempat tinggal baru. Usaha itu dilakukan karena mereka belum tahu cacar penyakit menular, melainkan kutukan roh halus. Di Bali, Borneo, dan Sulawesi Tengah, orang-orang yang mati karena cacar dianggap sebagai kematian yang buruk. Mereka tidak akan diterima di surga atau alam kematian dan dikeluarkan dari lingkungan leluhur. Di Halmahera, pemakaman korban cacar akan dilakukan tanpa ritual, sedangkan di Batak, makamnya tidak boleh kelihatan. Hal berbeda terjadi di Jawa. Ketika wabah cacar menyerang, orang tetap tinggal karena sudah terbiasa menghadapi penyakit menular. “Beberapa etnis yang paham bahwa cacar adalah penyakit menular tidak berusaha meninggalkan desa ketika epidemi terjadi,” tulis Peter Boomgard dalam “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica”. Ia menduga, keputusan penduduk untuk tinggal karena mereka sudah terbiasa dengan penyakit mematikan dan pindah desa adalah hal sia-sia. Cacar sendiri, menurut catatan paling awal, muncul pertamakali tahun 1558 di Ternate dan Ambon. Dalam periode tersebut, cacar sudah jadi penyakit endemik di beberapa wilayah Asia Tenggara. Para pelaut Portugis mencatat, cacar mewabah di Fillipina pada 1574 dan 1591. Antara 10-20 persen penduduk terbunuh oleh cacar pada abad ke-16. Dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa” yang dimuat Jurnal Humaniora Oktober 2006, Baha’Udin menyebut cacar pertamakali masuk ke Batavia pada 1644. Tom Harrison dalam “Prehistory of Borneo” berpendapat bahwa penyakit cacar dibawa oleh pedagang Eropa ke Borneo. Namun pendapat ini dibantah Boomgard, yang mengatakan cacar sudah dikenal lama oleh penduduk Tiongkok dan India. Dua negeri ini sudah menjalin kontak dengan banyak kerajaan di Nusantara jauh sebelum bangsa Eropa datang. Sagat sulit untuk tidak membawa serta cacar (tanpa sengaja) dalam hubungan antarnegara tersebut. Keganasan cacar tentu tak hanya menyerang pribumi. Pada 1658 di Banda, beberapa orang kulit putih terkena cacar. Namun, penderitaan mereka tak separah kaum terjajah. Orang-orang Eropa relatif lebih resisten terhadap cacar lantaran kualitas lingkungan hidup yang bersih dan makanan yang bergizi. Pun akses kesehatan bagi mereka terbuka lebar, berbanding terbalik dengan pribumi. Orang Belanda menyebut cacar sebagai cacar anak atau penyakit anak-anak ( kinderziekte ) lantaran kebanyakan menyerang anak di bawah 12 tahun. Ada anggapan bahwa orang Eropa lebih kebal pada cacar lantaran sudah mengenal penyakit ini lebih dulu sehingga imun tubuhnya pelan-pelan terbentuk untuk resisten pada cacar. Petugas kesehatan di Batavia juga berpikir bahwa etnisitas berpengaruh pada daya tahan penyakit tiap orang. Budak-budak dari Bugis dan Bali punya daya tahan tubuh lebih kuat menghadapi cacar dibanding budak dari Nias. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk dan kemungkinan terpapar cacar di tempat asal para budak. Bugis dan Bali berpenduduk padat, sementara Nias lebih jarang. “Nias terpapar cacar lebih jarang dibanding Bali dan Bugis sehingga punya daya imun lebih rendah,” tulis Boomgard.

  • Akhir Tragis Kapal Greenpeace Penentang Nuklir Prancis

    HARI ini, 10 Juli, 34 tahun silam. Kesunyian dermaga Pelabuhan Auckland, Selandia Baru seketika berganti jadi menakutkan pada pukul 23.45 waktu setempat. Dentuman keras mengagetkan orang-orang di kapal-kapal yang bersandar maupun yang berada di daratan. “Suara apa itu? Jelas bukan bagian dari kebisingan rutin kapal. Bahkan, tidak ada suara normal kapal yang bisa didengar. Generator, yang memasok listrik ke kapal, anehnya sunyi. Gempa bumi kah?” kata Peter Willcox, kapten kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace yang merupakan salah satu kapal di dermaga itu, dalam memoarnya yang dimuat dalam Greenpeace Captain: My Adventures in Protecting the Future of Our Planet . Garda Terdepan Anti-Nuklir Rainbow Warrior merupakan kapal Greenpeace, organisasi pemerhati lingkungan yang berasal dari Kanada, yang dibeli pada 1978. Bekas kapal Sir William Hardy milik Skotlandia itu lalu direparasi ulang agar berfungsi untuk pekerjaan lingkungan. Untuk menyelaraskan dengan misi yang diembannya, cat kapal didominasi warna putih dan hijau tua. Tak lama setelah melakukan pelayaran perdana usai reparasi ulang, Rainbow Warrior langsung melakukan pelayaran berbahaya dengan mencegat kapal pengangkut sampah nuklir milik Inggris, Gem, yang mengotori perairan internasional. Selang beberapa waktu kemudian, Rainbow Warrior berhasil menggagalkan perburuan anjing laut Norwegia di Kepulauan Orkney. Dua pelayaran berbahaya nan heroik itu membuka ratusan pelayaran Rainbow Warrior berikutnya dalam menjaga kelestarian bumi. “Greenpeace telah menjadi terkenal karena eksploitasi keberanian dan aksi dramatisnya, yang semuanya dimaksudkan untuk menarik perhatian pada penghancuran bumi dan semua mahluk di atasnya yang sistematis oleh industri,” tulis Steven McFadden dan Ven. Dhyani Ywahoo dalam Legend of the Rainbow Warriors . Ketika intensitas ujicoba senjata nuklir Amerika Serikat dan Prancis di Pasifik meningkat pada 1970-an, Greenpeace bergabung dalam barisan penentangnya. “ Gerakan untuk Pasifik bebas-nuklir dimulai di Fiji pada 1970 dengan pembentukan komite ATOM (Against Tests on Moruroa) untuk memprotes pengujian nuklir Prancis. Didukung oleh Konferensi Gereja-Gereja Pasifik, ATOM menyelenggarakan konferensi pertama untuk Pasifik bebas nuklir di Fiji pada 1975, dan sebuah konferensi lanjutan penting di Pulau Pohmpein di Mikronesia pada 1978,” tulis Arnold Leibowitz dalam Embattled Island: Palau’s Struggle for Independence . Dalam kampanye menentang ujicoba nuklir Prancis di Moruroa itulah Rainbow Warrior menjadi andalan Greenpeace. Dari turnya ke berbagai tempat, kapal itu kemudian menuju Auckland, Selandia Baru. Selandia Baru dianggap para aktivis lingkungan sebagai rekan. “Awak kapal berencana untuk mengumpulkan dukungan dari para simpatisan di Selandia Baru dan kemudian bergabung dengan armada perdamaian yang akan berlayar ke Atol Moruroa, di mana Prancis secara terus-menerus menguji bom-bom nuklirnya sejak 1966,” sambung McFadden dan Ywahoo. Tiba di Pelabuhan Auckland pada 7 Juli 1985, Rainbow Warrior mendapat sambutan meriah. Realitas itu membuat Prancis gerah. Sudah empat kali Prancis dibuat malu Greenpeace dengan protes kerasnya atas ujicoba nuklir di Pasifik. Protes kelima yang akan dilakukan Greenpeace, dengan dukungan yang lebih kuat, oleh karena itu harus digagalkan. “Pada 10 Juli 1985 di Pelabuhan Auckland, pasukan komando Prancis menanam bahan peledak di bawah lambung kapal,” tulis Elzbieta Posluszna dalam Environmental and Animal Rights Extremism, Terrorism, and National Security . Ledakan pertama,15 menit sebelum pergantian hari ke tanggal 11 Juli, merobek bagian tengah bawah lambung kapal. Generator RainbowWarrior langsung tak berfungsi, kapal pun gelap. Setelah memerintahkan para awak untuk meninggalkan kapal, Kapten Willcox yang hanya mengenakan handuk langsung menyelamatkan diri ke dermaga. “Kapal sudah tenggelam ke titik di mana aku harus memanjat dari dek untuk bisa sampai ke dermaga,” kata Willcox dalam memoarnya. Willcox kemudian mulai menghitung para awaknya. Davey, rekannya yang datang kemudian, memberitahu Willcox bahwa Fernando Pereira, fotografer resmi Rainbow Warrior ,  masih di dalam kapal. Sang kapten dan Davey langsung ke bagian tertinggi kapal untuk mencoba menyelamatkan rekan mereka. Namun, situasi membahayakan membuat mereka urung melanjutkannya. Ledakan kedua, dekat baling-baling kapal, muncul saat itu. Semua awak Rainbow Warrior makin bingung. “ Kami masih belum tahu tentang apa yang menyebabkan semua kerusakan iru. Tidak ada kapal lain yang bisa bertabrakan dengan kami. Bahan bakar kapal adalah diesel, yang tidak mudah meledak. Satu-satunya bahan peledak yang ada di atas adalah tangki oksigen dan asetilena yang digunakan untuk pengelasan, tetapi itu disimpan jauh di depan dan jauh dari tempat kerusakan terjadi. Saya benar-benar bingung,” kata Willcox. Menjelang subuh, Willcox dibawa polisi ke TKP untuk mengidentifikasi jenazah di RainbowWarrior yang diambil lima penyelam AL Selandia Baru. Benar saja, jenazah itu merupakan Fernando Pereira. “Dia berada di kabinnya sekitar 20 detik ketika ledakan kedua terjadi tepat di bawahnya,” sambung Willcox.   Setelah menjalani interogasi di kantor kepolisian setempat, para awak Rainbow Warrior lalu dibebaskan. “Fakta bahwa ada dua ledakan –terpisah hanya beberapa menit di dua lokasi berbeda– mengindikasikan ini adalah upaya disengaja untuk menenggelamkan Rainbow Warrior ,” kata Willcox. Dua hari kemudian, Kepolisian Selandia Baru menangkap sepasang suami-istri asal Prancis, Alain Turenge dan Sophie Turenge. Investigasi lebih lanjut menyatakan keduanya adalah Mayor Alain Mafart dan Kapten Dominique Prieur, perwira militer Prancis yang di-BKO-kan ke Direction Generale de le Securite Exterieure (DGSE). Keterilbatan militer Prancis membuat publik marah dan pers mencecar pemerintahan Francois Mitterand. Laporan yang dirilisnya pada 27 Agustus tetap tak memuaskan permintaan pers akan kebenaran. Suara pelengseran Mitterand makin kuat. Setelah Menhan Charles Hernu mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban, pada 22 September PM Prancis Laurent Fabius buka suara tentang keterlibatan DGSE. “Perdana Menteri Laurent Fabius mengakui DGSE telah memerintahkan ‘netralisasi’ Rainbow Warrior dalam apa yang disebut, ‘Operation Satanic’,” tulis John E. Lewis dalam Terrorist Attacks and Clandestine Wars .

  • Kisah Pemenggal Prajurit Gurkha

    FOTO usang milik IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) itu memang sangat legendaris.  Lima remaja era revolusi di sebuah mobil terbuka nampak tengah bergaya. Salah satu gadis muda berambut kepang yang tengah membawa senjata diidentifikasi sebagai Toeti Amir Kartabrata. Kelak beberapa tahun kemudian dia menjadi Kepala Brigade I Laswi (Lasjkar Wanita Indonesia). “Dia merupakan kader militer Husein Wangsaatmadja, instruktur militer di TKR Bandung yang kelak menjabat sebagai walikota Bandung (1978-1983)," tulis Irna H.N. Hadi Soewito dalam Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. Toeti dikenal sebagai prajurit perempuan pemberani. Dia bukan hanya bisa bergaya namun juga  kerap berhadapan langsung dengan bahaya. Suatu siang pada Agustus 1946, entah datangnya dari mana tiba-tiba muncul seorang penjual cendol di depan Markas Laswi di Majalaya. Tak lama kemudian, pesawat Inggris muncul dan membombardir tempat tersebut. Toeti yang saat itu sedang tidur-tiduran sontak meloncat dan menerobos kepulan asap untuk mencari jalan keluar. Begitu di luar, dia melihat rekannya Saartje dengan kepala berdarah-darah. "Asrama Laswi kena!" teriak Saartje. Akibat pemboman itu, Markas Laswi hancur lebur. Empat anggota Laswi gugur dan 10 orang lainnya luka-luka termasuk Saartje. "Sampai masa tuanya, dia pendengarannya tidak normal, gendang telinganya pecah," kata Toeti kala masih hidup. Aksi pengeboman itu memang termasuk "tidak biasa" bagi mereka. Selama bermarkas di Majalaya, Toeti dan kawan-kawannya selalu merasa aman-aman saja. Belakangan diketahui bahwa tempat itu "bocor" karena ada mata-mata. Dan mata-mata itu tak lain adalah tukang cendol yang kata Toeti langsung diadili dan ditembak mati oleh para pemuda Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia) wilayah Soreang. Salah satu nama beken lain dari Laswi adalah Soesilowati. Laiknya pejuang lelaki, ia pun terlibat langsung di garis depan. Bahkan Soesilowati tak sungkan-sungkan untuk bertarung satu lawan satu dengan prajurit musuh. Salah satu korban dari kegarangan “maung bikang” (macan betina) ini adalah seorang perwira muda dari Gurkha Riffles, sebuah kesatuan elite BIA (British India Army) yang diturunkan di palagan Bandung. Dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I: Kenangan Masa Muda , Jenderal (Purn) A.H. Nasution mengisahkan bahwa para pejuang Bandung sempat jengah dengan kehadiran para perempuan di medan laga. Dikhawatirkan mereka hanya membuat kesulitan saja dan akan mudah ditangkap oleh musuh. Dalam situasi tersebut, pada suatu pagi di tahun 1946, markas Nasution di Jalan Kepatihan, Bandung tetiba didatangi oleh seorang perempuan muda. “Dia datang dengan menunggang seekor kuda,” kenang A.H. Nasution. Begitu sampai di depan pintu, perempuan yang tak lain adalah Soesilowati itu, masuk dan langsung menemui Nasution. Tanpa banyak cakap, dia melemparkan sebuah bungkusan di atas meja Kepala Staf Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut. Begitu Nasution membukanya, langsung terperanjat. Di dalam bungkusan, nampak kepala seorang perwira Gurkha yang masih segar lengkap dengan pita-pita tanda kepangkatannya. “Wajahnya simpatik dan nampak dia masih sangat muda namun sayang harus menjadi korban pergolakan politik negeri orang lain yang tak memiliki hubungan apapun dengan negaranya,” ujar Nasution. Sejak itulah Nasution paham akan keberanian para mojang  Bandung. Dia tak ragu lagi melibatkan mereka dalam setiap tugas dan pertempuran. Soesilowati sendiri, kata Nasution, secara sukarela kadang menjadi pengawal Nasution dalam setiap kegiatan komandemen. “Yang saya masih ingat dari dia adalah kebiasaannya jika tengah melakukan pengawalan: duduk  tegap di atas kap mobil,” kenang sang jenderal. Selain Soesilowati, satu lagi anggota Laswi yang dikenal sebagai tukang penggal kepala tentara Gurkha di front Bandung adalah Willy Soekirman. Dalam buku Saya Pilih Mengungsi  karya Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo dan Ummy Latifah Widodo, disebutkan nyaris pada setiap pertempuran kota di Bandung, Willy yang menggunakan sebilah pedang kecil sering terlibat perkelahian satu lawan satu dengan prajurit Gurkha yang bersenjata khukri  (sejenis pisau tajam yang berbentuk melengkung) dan selalu berhasil memenggal kepala lawannya. “Saya selalu tak sadar jika sedang memenggal kepala musuh. Tahu-tahu aja ada darah segar mengalir di tangan saya dan kawan-kawan di sekitar berteriak histeris menyemangati saya,” ungkapnya. Willy masih ingat sebuah duel yang dilakukannya dengan seorang prajurit Gurkha yang terus memburunya di dekat jembatan Viaduct. Ceritanya, Willy bersama pasukannya dalam suatu pertempuran terdesak dan menghindar. Namun begitu sampai jembatan Viaduct, dia sadar tak ada jalan lain. Tanpa banyak cakap, Willy mengeluarkan pedang kecilnya dan mengamuk. Perkelahian satu lawan satu pun dimenangkan Willy dengan disaksikan para pejuang lainnya. Sejak itulah nama Willy menjadi terkenal di kalangan pejuang Bandung.*

  • Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno

    Sanjaya dalam waktu yang lama menderita karena sakit panas. Badannya lemah, lemas, dan kehabisan tenaga. Guru atau pembimbing raja tak dapat menyembuhkannya. Maka setelah penderitaan itu dan kesedihannya selama delapan hari, dia pun masuk surga. Anaknya, Śaṅkara, setelah ayahnya meninggal lagi-lagi dia tak sadarkan diri. Dia yang karena takut kepada guru ayahnya yang dianggapnya tidak benar dan mengingat janjinya kepada mendiang ayahnya, lalu meninggalkan kebaktian kepada Dewa Siwa dan yang lain-lain. Dia pun menjadi penganut Buddha Mahayana. Demikian kisah dalam Prasasti Śaṅkara yang menurut Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, sangat mungkin berasal dari pertengahan abad ke-8. Raja Sanjaya wafat karena sakit panas yang dideritanya tak mampu disembuhkan. Penanganan penyakit pada zaman kuno cukup banyak petunjuknya. Misalnya, adegan-adegan praktik pengobatan dimunculkan, di antaranya dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Dalam salah satu relief, seorang lelaki nampaknya sakit cukup parah sampai harus ditangani beberapa orang. Ada yang memegang kepalanya, mungkin sedang memijat. Beberapa yang lain memegang lengan dan kakinya. Sementara orang-orang di sekitarnya nampak sedih. Di panil lainnya, seorang laki-laki lainnya juga sedang diberi pertolongan. Kepalanya dipijat. Perut dan dadanya digosok. Seorang perempuan memegangi obat untuknya. Ada lagi dalam panil lainnya, dua lelaki yang sepertinya sakit kepala. Kepalanya tengah dipijat. Laki-laki lainnya yang juga terlihat sakit sedang dirawat seorang perempuan yang memegang lengannya. Beberapa jenis penyakit disebutkan dalam prasasti. Prasasti Wiharu II (851 Saka atau 929) menyebutkan ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak ( matya busunga ) dan adanya penderita ayan ( ayana ). Kendati dalam prasasti tak jelas bagaimana proses mengobati penyakit itu, paling tidak bisa diketahui kepada siapa orang Jawa Kuno mengadu ketika merasa tak enak badan. Berbagai profesi yang dihubungkan dengan dunia kesehatan disebutkan dalam beberapa prasasti. Dalam Prasasti Balawi (1305) muncul istilah tuha nambi , yang artinya tukang obat. Kemudian terdapat istilah kdi (dukun wanita) dan walyan (tabib). Profesi tuha nambi juga muncul dalam Prasasti Sidoteka (1323). Prasasti ini juga menyebut wli tamba atau orang yang mengobati penyakit. Sedangkan dalam Prasasti Bendosari (1360) disebutkan keberadaan tabib desa atau disebut janggan. Adapun padadah atau pemijatan mungkin merujuk pada tukang pijat, yang menurut Prasasti Biluluk dari masa Hayam Wuruk adalah salah satu pekerjaan yang dibebaskan dari segala macam bea cukai. Dari masa Majapahit lainnya, ada Prasasti Madhawapura, yang menyebut profesi penjual jamu ( acaraki ). Penanganan penyakit disebutkan singkat di Pararaton. Jayanagara menderita penyakit, yang oleh Sejarawan Kanada, Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni,  diartikan sebagai tumor yang membuat sang raja sulit bergerak. Tanca diantar ke kamar tidur raja untuk menyembuhkannya. Setelah beberapa kali mencoba membedah raja tetapi gagal terus. Akhirnya operasi berhasil setelah sang prabu menanggalkan pelindungnya. Selain lewat operasi, penyakit pada masa itu salah satunya disembuhkan dengan obat. Dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU, epigraf Riboet Darmosoetopo mencatat kalau pada masa Jawa Kuno, obat-obatan dan kosmetika sudah diperhatikan. Mereka terutama memanfaatkan beberapa tumbuhan, di antaranya buah jana, buah maja, buah jujube, pulai, dan buah mengkudu. Di antara itu ada obat yang bentuknya berupa bedak. “Orang sakit influenza cukup dibedaki hidungnya,” jelas Riboet. Rupanya kewenangan mengobati orang sakit pada masa lalu pun tak sembarangan. Dalam Kitab Agama diatur jika ada orang yang mengobati tanpa memiliki pengetahuan tentang obat-obatan, tanpa banyak mengetahui mantra, tanpa mengetahui soal penyakit, tetapi hanya menghendaki hadiah dari orang yang sakit, orang itu akan diperlakukan bagai seorang pencuri. “Pengobatan semacam itu tak akan berhasil,” sebut undang-undang dari masa Majapahit itu. Hukuman berat justru menantinya. Jika dia mengobati binatang, dan binantangnya mati, pelakunya mesti didenda empat kali tiga atak . Sementara jika manusia yang dia obati, dan malah tak sembuh tetapi kemudian mati, dendanya selaksa . Lalu jika yang diobati seorang brahmana yang kemudian mati, dia bakal diganjar hukuman mati oleh raja yang berkuasa.

  • Serba-serbi Tradisi Wimbledon

    SETELAH serve -nya bisa dikembalikan Julia Görges, Serena Williams membalas lagi dengan forehand keras menyilang. Di poin kritis itu, Serena kemudian diselamatkan “dewi fortuna” ketika pengembalian bola Görges menyangkut di net. “Match, Williams,” kata sang wasit, yang artinya laga berakhir dengan kemenangan Serena di babak ketiga turnamen grand slam Wimbledon, Sabtu (6/7/2019), itu. Sekilas, tidak ada yang aneh dari pertunjukan itu. Namun jika diperhatikan, ada yang berbeda dari Wimbledon ke-133 ini, yakni soal penyebutan panggilan dari wasit kepada pemain putri. Bila dulu wasit memanggil pemain putri yang belum menikah dengan “Miss” dan pemain yang sudah menikah dengan “Mistress” diikuti nama suami, kini gelar itu tidak ada lagi. Panitia melarang tradisi berbau patriarkis yang sudah bertahan 135 tahun itu. Maka saat Serena menang, wasit tak memanggilnya “Match, Mrs. Ohanian” lantaran Serena sudah menjadi istri Alexis Ohanian sejak 2017. Wasit langsung memanggil nama belakangnya tanpa menyebut status atau nama belakang suaminya. Hal serupa diberlakukan di sektor putra. Alexandra Willis, juru bicara Wimbledon, menyatakan perubahan sejak babak pertama Wimbledon salah satunya dalam rangka penyetaraan gender. “Kita harus melangkah maju seiring waktu,” katanya kepada The Sun , 2 Juli 2019. Ada yang setuju, ada pula yang menyayangkan penanggalan tradisi lebih dari satu abad itu. Petenis tuan rumah Heather Watson menyatakan, “Kesetaraan selalu merupakan hal yang bagus.” Sementara, pernyataan berseberangan datang juara bertahan tunggal putra Novak Djokovic. “Saya pikir tradisi itu sangat unik dan istimewa. Saya cukup terkejut mereka menanggalkanya,” kata Djokovic. Sebagai turnamen tenis tertua, Wimbledon punya banyak tradisi. Panggilan pemain hanya salah satunya kendati kini sudah ditiadakan. Berikut empat tradisi Wimbledon yang masih dipertahankan: Busana Serba Putih Semua pemain yang bertandingdi Wimbledon diwajibkan mengenakan busana all-white alias serba putih dan sopan, terlepas dari warna hijau tua dan ungu yang jadi warna tradisional Wimbledon. Warna berbeda hanya dibolehkan untuk corak atau motif yang tak mendominasi busana. Kewajiban all white yang dikeluarkan sejak 1963 bukan hanya meliputi atasan dan bawahan, tapi juga kaus kaki, sepatu, body stocking , dan topi/bandana. Kewajiban yang sudah muncul sejak Wimbledon pertama pada 1877 itu namun baru diresmikan pada 1963. Kenapa putih? John Barret dalam Wimbledon: The Official History of the Championships mengungkap, warna putih adalah warna tradisional paling dibanggakan Inggris Raya sejak era Victoria. Dalam praktiknya, tidak sedikit pemain yang melanggarnya. Pada 1949, Gertrude Moran mengenakan dalaman rok yang warnanya menyerupai warna kulit. Pada 1989, Boris Becker diperintahkan wasit mengganti kausnya yang berwarna hijau bergaris biru. Larangan itu amat mengekang bagi para pemain yang sadar mode. Petenis flamboyan Andre Agassi sejak 1988 sampai memboikot Wimbledon lantaran enggan pakai serba putih. Namun ia mengentaskan boikotnya saat edisi 1992 sekaligus memenangkan Wimbledon pertamanya. Keluarga Kerajaan Bukan Wimbledon namanya kalau tak dihadiri anggota Kerajaan Inggris Raya di Royal Box di Centre Court atau lapangan utama. Meski sudah dimulai sejak 1877, Wimbledon baru jadi tontonan wajib keluarga kerajaan pada 1907. Bruce Tarran mengungkapkan dalam George Hillyard: The Man Who Moved Wimbledon , tradisi itu bermula dari permintaan George Hillyard, sekretaris All England Club, kepada Pangeran George, presiden All England Club, untuk menyerahkan trofi kepada pemenang turnamen. “Tiga tahun kemudian, 1910, sang pangeran menjadi Raja George V dan menjadi ‘Bapak All England Club’ – meresmikan tradisi kehadiran keluarga kerajaan sampai sekarang,” tulis Tarran. Alhasil, setiap pemain mesti lebih dulu hormat dengan membungkukkan badan ke Royal Box setiap ada keluarga kerajaan yang nonton. Tapi sejak 2003 diputuskan pemain hanya wajib membungkuk jika yang hadir adalah Ratu Elizabeth II atau suaminya, Pangeran Philip. Barisan Serdadu Tradisi barisan serdadu di tiap lapangan jadi pemandangan unik dalam turnamen Wimbledon. Menukil situs resmi pemerintah Inggris, gov.uk , 2 Juli 2010, tradisi barisan serdadu yang berjaga di antara lapangan dan tribun penonton bermula pasca-Perang Dunia II pada 1946. Gagasannya adalah All England Club ingin membantu para serdadu aktif maupun yang baru pensiun agar bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan sipil selepas bertugas di medan perang. Mulanya, barisan serdadu didatangkan hanya dari Angkatan Laut untuk menjadi Service Stewards atau pengawal turnamen. Seiring waktu, Angkatan Darat dan Udara juga turut disertakan. Para serdadu itu merupakan 300 serdadu pilihan yang melewati proses seleksi. Mereka bisa mencicipi lagi rasanya hidup di tengah-tengah masyarakat dan bahkan tak jarang jadi sasaran permintaan foto dari para penonton. Hal itu membuat gairah hidup mereka terjaga. “Mulanya sulit menyesuaikan diri setelah setahun selesai bertugas di Irak. Berada di Wimbledon dengan seragam kebanggaan di hadapan publik, saya merasa masyarakat bisa melihat Angkatan Laut yang sebenarnya lewat keberadaan saya. Memang Wimbledon adalah turnamen tenis, tapi buat saya lebih kepada kebanggaan saya bisa berada di tengah publik,” ujar kelasi Stuart Linnahan, serdadu yang bertugas di Irak pada 2004 dan pernah bertugas di Wimbledon. Stroberi dan Krim Sampai sekarang, banyak sejarawan Inggris kesulitan mengaitkan hubungan antara tenis dan hidangan stroberi dan krim. Namun, stroberi dan krim tak pernah absen jadi suguhan yang disediakan penyelenggara kepada penonton dan pemain setiap edisi Wimbledon. “Fakta turnamen dan stroberi dan krim yang beriringan mempertahankan aroma pesta kebun khas Inggris. Tradisinya memberi kesan kualitas, karakter, dan imej yang unik terkait Wimbledon,” ungkap Stephan Wagg dalam “The Wimbledon Effect: The Tennis Championships as Changing National Symbol”, dirangkum dalam Routledge Handbook of Tennis: History, Culture and Politics . Suguhan Stroberi dan Krim itu sendiri merupakan salah satu sajian favorit di tiap-tiap pesta kerajaan sejak abad ke-16. Tetapi tetap saja misteri tentang keterkaitannya masih sangat rancu sejak jadi tradisi di Wimbledon pertama. “Ada dua kemungkinan: kebetulan stroberi sedang musim panen saat turnamen (Wimbledon) digelar dan sejak era Victoria, stroberi menjadi makanan yang sedang tren untuk dikonsumsi,” kata Kepala Humas All England Club Johnny Perkins kepada CNN , 17 Juni 2015.

  • Cerita di Balik Gedung Mabes Polri

    TAK banyak yang tahu bangunan Markas Besar (Mabes) Polri merupakan salah satu aset sejarah bangsa yang ada di kawasan Jakarta Selatan. Siapa saja yang melintasi Jalan Trunojoyo tentu akan melihat bangunan tersebut. Lokasi persis Mabes Polri terletak di Jalan Trunojoyo No. 3. Dibangun pada masa kepemimpinan Kapolri pertama, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. “(Gedung) itu dibangun ta h un 19 50 - an. Pernah dikatakan gila lho sama yang lain ,” kata Ambar Wulan sejarawan yang mengkaji kepolisian kepada Historia . “Soekanto berpikir membuat Mabes yang bisa menampung ribuan polisi. Tentara s aja itu belum punya. Ya di Trunojoyo itu. ” Memasuki tahun 1950, tugas kepolisian kian meningkat. Soekanto yang menjabat Kepala Kepolisian Nasional (KKN) merasa jawatan kepolisian yang dipimpinnya perlugedung sendiri. Sebab sebelumnya, markas kepolisian masih menyatu dengan Kementerian Dalam Negeri di Jalan Vetaran. Pemerintah akhirnya memberikan lahan seluas 40 ha di Kebayoran Baru yang kini menjadi Mabes Polri. Pembangunannya ditandai dengan penanaman pohon beringin yang dilakukan Soekanto pada 17 Maret 1952. Harian Abadi , 6 Juli 1953, menyebut Soekanto dengan penuh perhatian melaksanakan pengawasan terhadap proyek tersebut. Kendati sempat dikritik Menteri Pekerjaan Umum Ir. Laoh karena dianggap berlebihan, aksi Soekanto didukung Presiden Sukarno. Pembangunan gedung berlantai tiga itu rampung pada 1955. Peresmian dihelat di Lapangan Banteng, Jakarta, bersamaan perayaan ulang tahun DKN (Djawatan Kepolisian Nasional) pada 1 Juli 1955. Pada acara itu secara simbolis Presiden Sukarno menyerahkan pataka Kepolisian RI kepada Soekanto. Ketika baru berdiri, Mabes Polri terbilang bangunan mewah pada zamannya. Mabes Polri menjadi gedung perkantoran pertama yang menggunakan konstruksi besi di Indonesia. “Di zamannya Pak Soekanto, Mabes selalu bersih. Lantai mengkilat,” kenang mendiang Awaloedin Djamin mantan Kapolri periode 1978—82 dua tahun silam kepada Historia . Tatkala DKN memiliki gedung sendiri, Soekanto memerintahkan memasang tulisan “Departemen Kepolisian Negara” di atas pintu masuk. Sekali waktu, sebagaimana terkisah dalam Ensiklopedi Kapolri: R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo , Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melintas di Jalan Trunojoyo dan melihat tulisan itu. Keesokan harinya, Soekanto dipanggil dan diperintahkan segera mengganti tulisan menjadi “Djawatan Kepolisian Negara”. Harapan Soekanto menjadikan kepolisian sebagai kementerian tersendiri kandas. Harapan itu baru terwujud setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Status DKN diubah menjadi Departemen Kepolisian. Soekanto selaku kepala DKN diangkat menjadi menteri muda kepolisian. Namun kegembiraan Soekanto tak berlangsung lama. Sukarno membentuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terdiri dari angkatan perang dan angkatan kepolisian. Soekanto yang keberatan dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian pun diberhentikan.

  • Kisah Tanah Kuno Leluhur Barus

    BERTEMPAT di antara dua muara kuno, Aek Busuk dan Aek Maco, Lobu Tua mendiami daerah pesisir di kawasan pantai barat pulau Sumatera. Keberadaannya amat penting dalam mengungkap jaringan laut internasional abad ke-6 hingga ke-11 di Nusantara. Para peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Indonesia, bekerja sama dengan École française d’Extrême-Orient tahun 1995-2000, telah membuka kurang lebih lahan seluas 1000 m² di situs Lobu Tua. Mereka pernah menemukan ribuan benda kuno, seperti perhiasan, emas, mata uang, prasasti, keramik, kaca, tembikar, dan lain sebagainya. “Dari jumlah pecahan, artefak kaca merupakan salah satu jenis temuan yang paling banyak di Lobu Tua. Jumlah seluruh temuan kaca mendekati seribu buah,” tulis Calude Guillot dan Sonny Ch. Wibisono dalam “Temuan Kaca di Lobu Tua: Tinjauan Awal” dimuat Lobu Tua Sejarah Awal Barus . Dahulu Lobu Tua adalah sebuah kota berbenteng yang memiliki luas area dalam sekitar 14 hektar. Dengan 7,5 hektar di antaranya digunakan sebagai tempat bermukim. Sementara sisanya digunakan untuk parit dan dinding yang menjadi pertahanan kota. Benteng pertahanan Lobu Tua di masa lalu membentang hingga ke tebing di bibir pantai. Namun sebagian besar dindingnya telah hilang, terkikis oleh mata air di sekitar kota maupun longsor di sekitar tebing. Kini hanya tersisa jejak-jejak fondasi benteng yang pernah membelah kota menjadi dua bagian. “Sistem pertahanan sejenis ini sering ditemukan di dunia Melayu barat, khususnya di Sumatera dan di Semenanjung Melayu. Sebaliknya, ciri ini jarang sekali ditemukan di Jawa, kecuali Banten Girang,” tulis Claude Guillot dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu . Hasil penggalian di sana menunjukkan bahwa pemukiman masyarakat Barus tidak hanya terbatas di dalam benteng saja. Mereka menemukan sisa-sisa pemukiman di luar benteng dalam bentuk yang lebih kecil. Diperkirakan kawasan luar benteng itu dihuni oleh para pedagang yang tinggal sementara di wilayah Barus. Namun tidak menutup kemungkinan digunakan oleh masyarakat pedesaan dengan status sosial lebih rendah, ataupun buangan dari dalam benteng. Sehingga jika ditotal, keseluruhan wilayah kota kuno Lobu Tua mencapai 200 hektar. Meliputi pusat pemukiman di dalam benteng hingga desa-desa kecil di sekitar muara Aek Busuk dan Aek Maco. Wilayah kota, baik di dalam maupun di luar benteng, dipenuhi oleh bangunan kayu beratap daun yang menjadi ciri khas rumah-rumah di Melayu pada waktu itu. Di Lobu Tua tidak ada satupun rumah yang dibuat dari bahan permanen (batu bata, semen, atau beton), kecuali satu bangunan yang digunakan sebagai tempat beribadah. Keberadaan tempat ibadah itu memperkuat kedudukan para pedagang Tamil di Barus. Menurut laporan pemerintah Hindia Belanda di Barus, pada abad ke-19 ditemukan prasasti Tamil dan arca dari granit yang digambarkan sebagai Bodhisatwa. Saat ditemukan pertama kali, keadaan bangunan itu telah hancur, tetapi arca dan prasastinya masih dalam kondisi yang cukup baik. “Jika hipotesis kami benar, kecuali tempat ibadat yang kecil, maka semua bangunan lain terbuat dari bahan-bahan organik,” tulis Claude. Selain struktur pemukiman, Lobu Tua juga meninggalkan jejak pelayaran yang amat penting. Di sekitar Aek Busuk dan Aek Maco ditemukan bekas kanal yang langsung mengarah ke laut. Karena dahulu letaknya tidak di pinggir pantai seperti sekarang, Lobu Tua memiliki akses berlabuh bagi kapal-kapal dagang di sepanjang kanalnya tersebut. Walau tidak diperuntukan bagi kapal besar, tetapi akses kanal daerah itu cukup untuk menjadikan Lobu Tua sebagai pusat peradaban Barus di jaringan dagang interasional. Setiap tahunnya Lobu Tua hanya menerima 3 kapal dagang dari Gujarat. Namun meski begitu, satu kilogram kamper memiliki nilai yang sama dengan satu kilogram emas. Sehingga tidak heran jika kamper wilayah Barus tekenal hingga ke Jazirah Arab. Pada 1856, Herman Neubronner van der Tuuk, seorang ahli bahasa dari Belanda, melakukan sebuah pengamatan di Barus. Dalam laporannya, van der Tuuk menyebut wilayah pantai barat Barus, terutama di Karesidenan Tapanuli, dikuasai oleh orang-orang Tionghoa dan Koromandel (orang Keling). Mereka mendominasi sebagian besar sektor perdagangan di sana. Penelitian van der Tuuk itu membuka fakta bahwa Barus tidak hanya dihuni oleh orang Batak dan Melayu saja. Melainkan banyak suku bangsa yang membangun peradabannya di sana. Bahkan masyarakat Tionghoa terbilang baru jika dibandingkan orang Keling yang telah membangun pemukiman berabad-abad sebelumnya. Dalam Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah dari Barus , Jane Drakard mengatakan bahwa kemajuan Barus banyak disebabkan oleh orang-orang India. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perkakas dan tembikar bermotif yang biasa ditemukan di kawasan Asia Selatan. Mereka membawanya langsung dari India untuk kebutuhan sehari-hari karena di Lobu Tua tidak ada kebudayaan membuat tembikar. “Singkatnya, dari semua unsur ini dapat disimpulkan bahwa kotanya bersuasana India dan Barus muncul sebagai satu tempat perdagangan India di Sumatera,” tulis Claude. Tidak hanya orang-orang dari India, Lobu Tua dahulu dihuni oleh penduduk dari Timur Dekat. Salah satu bukti paling kuat adalah temuan “wadah darah”, yang di Timur Tengah digunakan para tabib untuk menampung darah saat mengobati pasiennya. Selain itu nama “Fansur” yang ditulis dalam beberapa teks berbahasa Arab semakin memperkuat keberadaan orang-orang dari Timur Dekat. Claude meyakini bahwa orang-orang Timur Dekat itu didominasi oleh penduduk dari Teluk Persia. Wilayah Siraf, Oman, Mesopotamia, Tus, dan Neyshabur cukup mudah mencapai Barus. Mereka dapat melakukan pelayaran melalui Basrah. Sehingga terciptalah jalur perdagangan dan pelayaran besar menuju pantai Sumatera. Beberapa temuan artefak kaca dan perhiasan pun mengarah langsung ke wilayah-wilayah tersebut. Selain penduduk asing, orang-orang Jawa pun banyak menetap di Lobu Tua. Dari hasil temuan prasasti berbahasa Jawa Kuno di Barus, diketahui bahwa orang Jawa menempati wilayah tersebut pada abad ke-11. Pengaruh terbesar Jawa di Barus adalah peredaran mata uang emas berukirkan bunga cendana yang saat itu menjadi ciri mata uang kerajaan-kerajaan di Jawa. Berbeda dengan keberadaan orang-orang asing yang cukup mudah dianalisis berkat peninggalannya, para peneliti kesulitan menggambarkan penduduk lokal di Lobu Tua. Tetapi mereka meyakini bahwa mayoritas berasal dari Minangkabau dan Batak. “Dalam legenda mengenai pendirian kotanya, kronik Batak mencatat bahwa kerja sama cepat terjalin, bahkan orang asing tidak keberatan mengakui kekuasaan raja Batak,” tulis Claude.

  • Kisah Hubungan Sukarno dan Dosennya

    Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) menyimpan awal kisah hubungan abadi antara dosen dan mahasiswanya pada masa kolonial. Saat masih bernama Technische Hoogeschool Bandung (THB), seorang dosen arsitektur berkebangsaan Belanda bernama Prof. Charles Prosper (C.P.) Wolff Schoemaker memiliki mahasiswa favorit. Dialah pemuda Sukarno. Sukarno mulai berkuliah di THB pada 1 Juli 1921. Schoemaker mengajar setahun berselang. Semula kedatangan Schoemaker ke THB melecut semangat para mahasiswa mengikuti kuliah. Dia arsitek terpandang, berpengetahuan luas mengenai kebudayaan Timur, dan lincah menulis kritik arsitektur kolonial di majalah. Tetapi semangat itu langsung ciut begitu mahasiswa mengikuti kuliahnya. Cara Schoemaker menyampaikan kuliah tidak sebagus tulisannya. Dia juga terlalu cepat menjelaskan sesuatu. Para mahasiswa sukar menangkap inti ceramahnya. “Sebagian dari mereka beranggapan bahwa kuliah yang dia berikan tidak jelas dan bertele-tele. Alhasil, banyak dari mereka menganggap perkuliahannya sulit untuk diikuti,” tulis C.J. van Dullemen dalam Arsitektur Tropis ModernKarya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker . Sukarno tidak mengalami kesulitan seperti mahasiswa umumnya. Dia menunjukkan kepandaiannya dalam kelas Schoemaker. Ini membuat Schoemaker menyukainya. “Aku menghargai kemampuanmu,” kata Schoemaker kepada Sukarno dalam otobiografi  Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Belajar bareng Ular Sukarno pun menghormati pandangan-pandangan Schoemaker tentang kemanusiaan dan masyarakat Hindia Belanda. Bagi Sukarno, Schoemaker adalah dosen yang komunikatif dan mempunyai wawasan terbuka. “Salah seorang dosenku, Profesor Ir. Wolff Schoemaker, adalah orang besar. Baginya tidak ada orang kulit putih atau kulit sawo matang. Tidak ada orang Belanda atau orang Indonesia. Tidak ada penjajah atau orang merdeka,” kata Sukarno. Usia Schoemaker dan Sukarno berjarak cukup jauh. Beda 20 tahun. Tetapi gagasan tentang kemanusiaan mendekatkan mereka. Dari sini hubungan mereka bertumbuh akrab. “Dua orang yang saling bersahabat,” demikian pendapat Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek . Selain itu, mereka mempunyai beberapa kesamaan minat. “Arsitektur, seni, dan perempuan cantik,” ungkap Dullemen. Klop. Sukarno kerap datang ke rumah Schoemaker. Banyak benda seni dan binatang liar seperti macan kumbang dan ular di rumah Schoemaker. Beberapa mahasiswa Schoemaker ketakutan ketika melihat ular-ular berbisa peliharaannya di studio. Schoemaker bilang bahwa dia punya cukup anti racun jika ular-ular peliharaannya lepas dan menggigit tetamunya. Tetapi tetamu tidak lantas percaya dan berani setelah mendengar hal tersebut. Mereka lintang-pukang meninggalkan rumah Schoemaker. Di rumah seperti itulah Schoemaker memberi Sukarno ilmu menggambar secara khusus. Sukarno berupaya melawan ketakutannya berada di rumah profesor eksentrik demi memperoleh ilmu tersebut. Hasil belajar Sukarno memuaskan Schoemaker. Ketika lulus kuliah pada 1926, Sukarno diajak oleh Schoemaker untuk menjadi asisten dosen. Tetapi Sukarno menolak. “Memang benar bahwa menjadi asisten dosen di Sekolah Tinggi Teknik merupakan suatu kehormatan bagi seorang muda yang baru lulus, tetapi untuk sementara waktu kegiatan itu tidak akan menghasilkan uang,” tulis Lambert Giebels dalam  Soekarno Biografi 1901-1950. Sukarno butuh uang. Bantuan keuangan dari keluarganya tidak lagi ada sejak dia wisuda. Inggit Garnasih, istrinya, bahkan harus menjual beberapa perhiasannya untuk mendapatkan uang belanja. Kemudian tawaran Schoemaker datang lagi ke Sukarno. Kali ini menghasilkan uang.  “Engkau memiliki pemikiran yang kreatif. Aku minta engkau bekerja di pemerintahan,” kata Schoemaker kepada Sukarno. Dia merekomendasikan Sukarno kepada Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau Pekerjaan Sipil Umum. Kerjaan Sukarno adalah merancang rumah bupati di Jawa Barat. Berbagi Order Pilihan sulit bagi Sukarno. Di satu sisi, dia butuh uang. Sisi lainnya, dia enggan bekerja sebagai bawahan orang Belanda. Apalagi menurut Sukarno, calon atasannya tidak tahu sama sekali mengenai kehidupan kalangan anak negeri. Sukarno sampaikan pendapatnya secara blak-blakan kepada Schoemaker. “Profesor, aku menolak untuk bekerja sama, supaya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Bila aku bekerja pada pemerintah Hindia Belanda, secara diam-diam aku membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu,” kata Sukarno. Sukarno mengutarakan keinginannya mendirikan biro arsitek sendiri. Schoemaker mendengarkan semua keberatan dan keinginan Sukarno. Sudah itu, giliran dia bicara. Dia berusaha meyakinkan Sukarno bahwa biro arsitek buatan anak negeri akan sulit berkembang. “Itu akan memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa maju. Hanya orang-orang Belanda yang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintah yang bisa berhasil mendirikan biro arsitek,” ujar Schoemaker. Schoemaker bilang kepada Sukarno bahwa dia tak perlu bekerja di BOW untuk selamanya. Tak perlu juga jadi pegawai tetap jika dia tidak suka di sana. Schoemaker memohon Sukarno untuk menyelesaikan satu pekerjaan saja, yaitu merancang rumah Bupati. Pekerjaan itu, menurut Schoemaker, penting bagi seorang insinyur muda untuk mengasah dan mengembangkan bakatnya. “Cobalah kerjakan untuk memenuhi permintaanku,” pinta Schoemaker. Atas dasar adab murid kepada gurunya, Sukarno menerima pekerjaan itu. Kerja Sukarno amat mengesankan orang-orang di BOW. “Pekerjaan ini sangat berhasil dan aku dibanjiri dengan permintaan untuk mengerjakan karya teknik semacam itu untuk pejabat-pejabat lain,” kenang Sukarno. Sukarno menampik semua tawaran itu dan lekas keluar dari BOW. Dia bilang kepada Schoemaker bahwa kelak dia ingin membangun sebuah rumah besar, yaitu sebuah negara dari usahanya sendiri. Schoemaker tidak bisa menahannya lagi. Kini Sukarno bekerja di biro arsiteknya sendiri di Jalan Regentsweg Nomor 22, Bandung, bersama kawannya, Anwari. Pasar bagi insinyur terbuka lebar. Bandung sedang mengalami peningkatan jumlah penduduk. Kerja konstruksi dan sipil ikut meningkat. Tetapi order untuk biro arsitek Sukarno dan Anwari jauh dari biaya operasional bulanan. Sementara itu, Schoemaker justru kebanjiran order. Dia melimpahkan sebagian order itu untuk Sukarno. Salah satunya renovasi Hotel Grand Preanger. Surat-menyurat Setelah itu, hubungan Schoemaker dan Sukarno masuk periode tegang. Sukarno makin gencar mengkritik pemerintah kolonial. Itu menyebabkan dia terkena hukuman penjara dan pengasingan. Schoemaker sangat menyayangkan penangkapan dan pengasingan itu. Schoemaker dan Sukarno terpisah jarak dan harus berkirim surat untuk berhubungan. Dalam surat kepada Sukarno, Schoemaker menulis keberatannya terhadap aktivitas dan ide politik Sukarno. Surat itu berbalas jawaban cukup keras dari Sukarno. “Dia menuduh bekas profesornya telah mengkhianati rakyatnya,” terang Dullemen. Tetapi jawaban keras itu bukanlah tanda putusnya hubungan murid dengan gurunya. Sukarno tetap menghormati Schoemaker. Pada masa pendudukan Jepang, Sukarno telah bebas dan memperoleh kedudukan istimewa. Orang-orang Belanda menjadi paria. Bahkan Schoemaker pun ditahan tentara Jepang meski tidak lama. Dullemen menduga ada peran Sukarno dalam pembebasan Schoemaker. Sebab Sukarno mengunjungi Schoemaker beberapa kali setelah pembebasan itu. Kemerdekaan Indonesia pada 1945 menyibukkan Sukarno. Keduanya terpisah jarak lagi. Sukarno telah mewujudkan keinginan yang dulu disampaikan kepada Schoemaker. Dia telah membangun sebuah rumah besar bernama Republik Indonesia. Sedangkan Schoemaker berada di posisi sulit. Rumahnya dibakar gerombolan anti-Belanda. Konflik Indonesia dan Belanda selama 1945—1949 menempatkan Schoemaker dalam posisi dimusuhi oleh dua kelompok: pro-Republik dan pro-Belanda. Kedekatannya dengan Sukarno tidak membuat kaum pro-Republik simpati dengannya. Sebaliknya, orang-orang Belanda menganggapnya musuh negara lantaran dekat dengan Sukarno. Selama perang, Sukarno dan Schoemaker masih berkirim surat. Isinya seputar pekerjaan, perkembangan arsitektur, Islam, dan curhat Schoemaker tentang penyakitnya. Schoemaker pergi mendahului Sukarno menghadap Tuhan pada 22 Mei 1949. Sukarno memberikan penghormatan terakhir pada sang guru dengan merancang nisan untuknya. Nisan itu berdiri tegak di makam Schoemaker di Ereveld Pandu, Bandung, hingga sekarang. Tanda abadi khidmat murid kepada gurunya.

  • Raja Nusantara di Penobatan Ratu Belanda

    KABAR akan naiknya Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau (putri Raja Willem III) ke takhta tertinggi Kerajaan Belanda telah santer terdengar betahun-tahun sebelum hari penobatan. Persiapannya pun dilakukan sedini mungkin oleh para pejabat Belanda agar pesta berjalan megah. Rupanya di tanah jajahan mereka juga akan diadakan perayaan untuk menyambut penobatan sang ratu. Pemerintah Hindia Belanda segera membuat persiapan untuk melangsungkan perayaan besar di Batavia. Undangannya terbuka bagi semua orang. “Pelabuhan dan kapal-kapal di Tanjung Priok diterangi lampu-lampu. Gudang arang pun dihias. Menurut rencana akan ada pesta kembang api, tapi ternyata sampai pukul 21.00 belum muncul,” tulis Threes Susilastuti dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe . Berita penobatan itu sampai juga ke telinga raja-raja pribumi yang oleh media-media Belanda disebut “sekutu dan vazal” kerajaan Belanda. Koran Hindia Belanda di Surabaya, Soerabaiasch Handelsblad , pun membuat sebuah artikel berisi gagasan untuk menghadirkan para raja tersebut ke negeri Belanda. Mereka membandingkan penobatan ratu Belanda itu dengan Tzar Rusia yang mengundang para vazal dari Asia sebagai bentuk apresiasi karena telah mengakui kekuasaan Rusia di negerinya. Menurutnya, pemimpin daerah di Hindia yang setia kepada ratu jumlahnya banyak sehingga tidak boleh disia-siakan. “Apabila Hindia hendak ambil bagian dalam pesta penobatan yang khidmat itu, itu harus terjadi dengan cara yang lebih pantas.” tulis Soerabaiasch Handelsblad . Gagasan itu didukung oleh koran-koran Belanda lainnya. Mereka berharap kerajaan Belanda melayangkan undangan resmi agar para pemimpin daerah dapat diberi kesempatan mengucapkan selamat secara langsung kepada Wilhelmina. Adanya berita mendatangkan perwakilan dari Hindia ternyata mengusik rakyat Belanda. Pada 1897, masalah tersebut dibicarakan di Tweede Kamer (Majelis Rendah) Belanda. Sebanyak 22 anggota majelis mengusulkan anggaran sebesar ƒ75.000 untuk keperluan para wakil Hindia selama di Belanda. Namun gagasan itu ditentang oleh Cremer, Menteri Daerah Jajahan Kerajaan Belanda, karena merasa bukan keharusan untuk mengundang raja-raja di tanah jajahan. Selain itu, kebiasaan hidup mewah yang takutnya dibawa dalam perjalanan mereka ke Belanda akan membebani keuangan pemerintah Belanda. “Tidak ada maksud pemerintah Hindia maupun kabinet untuk mengundang raja-raja pribumi datang ke sini, dan tidak ada juga desakan kepada mereka untuk datang. Kalau mereka datang kemari, maka mereka datang atas kehendak sendiri dan biaya sendiri,” kata Cremer dikutip Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 karya Harry A. Poeze. Setelah Cremer mengungkapkan pendapatnya, terjadi kebimbangan di tubuh Tweede Kamer. Lebih dari setengah anggota majelis berubah pikiran dan menerima tanggapan sang menteri. Perdebatan yang cukup alot pun terjadi. Akhirnya disepakati bahwa undangan untuk para perwakilan tanah jajahan tetap dilakukan. Tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit, yang bahkan tidak merepresentasikan banyaknya kepala daerah yang setia kepada Kerajaan Belanda. “Seluruh perkara dan argumen-argumen yang dikemukakan oleh Cremer memperlihatkan kecongkakan imperial dan kepelitan orang Belanda yang terkenal itu,” tulis Harry. Perwakilan yang datang, antara lain: Pangeran Ario Mataram dari Kasunanan Surakarta, yang didampingi beberapa putranya; Sultan Syarif Hasyim dari Kesultanan Siak; dan dua putra Aji Muhammad Sulaiman, Amidin dan Hassanoedin, dari Kesultanan Kutai. Umumnya para wakil raja-raja dari Hindia itu mendapat sambutan yang hangat dari penduduk Belanda. Salah satu alasannya adalah karena rasa penasaran penduduk kepada pemimpin di wilayah yang sedang mereka jajah. Media-media setempat pun berlomba memburu para perwakilan tersebut guna mendapat wawancara secara eksklusif. Selama di sana, seorang amtenar (pegawai pemerintah) bernama Van Senden  bertanggung jawab mengurusi semua kebutuhan raja dan pangeran dari Hindia. Ia mengatur semua jadwal kegiatan dan kunjungan yang akan dilakukan, termasuk urusan makan. Masing-masing perwakilan juga mendapat pemandunya sendiri. Mereka akan didampingi seorang ahli bahasa orang Belanda dan beberapa pembantu yang khusus dibawa dari kerajaannya. Bahkan Pangeran Ario membawa serta beberapa orang penari dan pembatik dari kotanya untuk tampil di depan ratu. “Para utusan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengunjungi negeri-negeri tetangga, dan di sana mereka mengagumi bermacam hal yang lain dari pada yang lain di Eropa.” tulis Harry.

  • Penolakan Vaksin Dulu dan Kini

    SEJAK beberapa tahun bekalangan, gerakan anti-vaksin muncul di tanah air. Alasan di balik gerakan beragam. Ada yang beranggapan vaksin mengganggu sistem kekebalan anak, dilarang agama, atau mengira vaksin jadi penyebab autisme anak. Meski klaim terakhir telah dibantah para ilmuwan, gerakan ini tak lantas surut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut keraguan penggunaan vaksin jadi satu dari sepuluh ancaman terbesar pada kesehatan global 2019. Buntut penolakan ini tak sepele, ada kemunculan kembali penyakit yang sebetulnya dapat dicegah dengan vaksin. Padahal beberapa penyakit pernah hampir diberantas di masa lalu. "Ada infeksi yang belum pernah kita lihat selama bertahun-tahun atau kita tidak ingat kapan terakhir kali kita melihatnya," kata Michael Angarone, asisten profesor kedokteran di Northwestern University Feinberg School of Medicine di Chicago, Amerika Serikat, seperti ditulis Beritagar . id . Kealpaan pengetahuan tentang ganasnya penyakit inilah yang membuat orang enteng saja menolak vaksin. Padahal salah satu penyakit yang dicegah vaksin, cacar, pernah jadi ancaman mematikan pada abad ke-17. Wabah cacar menyerang Ambon, Maluku tengah, Jawa, dan Sumatera. Peter Boomgard dalam “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica” menyebut pada 1613 cacar menyerang Malaka dan membunuh seperenam populasi. Wabah berikutnya muncul pada 1651 yang menghilangkan nyawa sepertiga penduduknya. Untuk menanggulangi keganasan cacar di berbagai daerah, pemerintah kolonial menggratiskan vaksinasi cacar di semua daerah sejak 1818. Dua tahun berikutnya, pemerintah mengeluarkan Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst (peraturan mengenai Dinas Kesehatan Publik) dan Reglement op de Uitoefening der Keoepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (peraturan pelaksanaan vaksinasi cacar). Dari situlah pengorganisasian program vaksin dimulai. Petugas kesehatan yang khusus menangani cacar dikepalai seorang inspektur, dibantu pengawas di tiap karesidenan yang biasanya diisi oleh dokter. Untuk wilayah yang jauh dan terpelosok, dikirim mantri cacar. Tiap minggu mantri cacar membuat tiga laporan tentang vaksinasi cacar di daerahnya dan diserahkan pada bupati dan pengawas, lalu diteruskan kepada residen dan inspektur. Enam bulan sekali, inspektur akan memeriksa hasil kerja mantri. Jika ada kasus penyakit cacar, anak dari keluarga terjangkit dilarang masuk sekolah. Semua anak di lembaga yang disubsidi pemerintah harus divaksinasi dan semua penderita cacar tidak diizinkan  keluar rumah. Perbaikan vaksinasi terjadi pada 1850 dengan dikeluarkannya pencacaran sirkulir, agar akses masyarakat pada vaksin cukup dekat. Untuk meratakan persebaran vaksinasi, pemerintah membuat pembagian area sebaran vaksin. Satu karesidenan dibagi ke dalam beberapa distrik, tergantung jumlah penduduknya. Jawa dan Madura dibagi menjadi 166 distrik. Namun karena padatnya penduduk, pada tahun berikutnya diubah lagi jadi 123 distrik. Setiap distrik dibagi menjadi tiga lingkaran. Setiap lingkaran ini dijaga satu pos vaksinasi dengan beberapa petugas kesehatan seperti dokter Jawa sebagai pengawas dan mantri cacar. Program vaksinasi menyasar anak usia 7-9 tahun. Tiap Senin, vaksinasi dilakukan untuk lingkaran dalam, Selasa untuk lingkaran tengah, dan Rabu lingkaran luar. Pada hari Kamis, mantri cacar membuat perencanaan, seperti memilih pos berikutnya, dan menyiapkan desa-desa di sekitarnya. Setiap pos harus mencakup desa-desa yang jaraknya 1,5 kilometer. Para mantri cacar menjadi agen perluasan vaksinasi di Jawa pada abad ke-19. Mereka diharuskan tinggal di distrik-distrik yang dipilih untuk penyelenggaraan program cacar. Aktivitas pencacaran dilakukan di desa induk agar masyarakat mudah menjangkau. Di Surabaya, pencacaran dipimpin dr. Gray yang dibantu dua vaccinateur dari Belanda dan 14 mantri cacar. Para petugas kesehatan ini disebar ke distrik-distrik, tiap distrik ditangani dua orang mantri cacar yang akan membuat laporan pencacaran. Dokter Gray tidak ikut terjun ke lapangan, ia sebatas mengawasi kinerja para mantri lewat laporan tersebut. Tugas mantri cacar jadi cukup berat karena selain melakukan pencacaran juga harus melakukan kontrol di wilayah kerjanya. Model pencacaran secara sirkular ini bertahan hingga abad ke-20. Dengan keberadaan pos vaksin yang dekat ini, masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk mendapat vaksin cacar. Namun program vaksin cacar ini sempat mengalami kendala. Penduduk yang sebagian besar masih buta huruf menyulitkan mantri cacar. “Rasa enggan penduduk terhadap sesuatu yang belum dikenalnya serta jarak tempuh untuk mencapai tempat pencacaran juga jadi alasan kuat penduduk untuk tidak melakukan pencacaran,” tulis Baha’Udin dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa” yang dimuat Jurnal Humaniora Oktober 2006. Kegagalan itu terjadi di Surabaya (1824), Pasuruan (1828), Kedu (1823), dan Banyumas (1835). Beberapa orang tua enggan mengantarkan anak mereka untuk divaksinasi. Pada 1821, penolakan vaksin terjadi di Pulau Bawean. Seluruh penduduk tidak mau menerima vaksin karena tidak disetujui ulama. Di Madiun pada 1831, para orang tua enggan mencacarkan anak mereka lantaran tersebar kabar bahwa vaksinasi hanya akal bulus residen yang ingin menjadikan anak-anak kampung sebagai makanan untuk buaya peliharaannya. Begitu kabar ini beredar, para ibu di Madiun langsung melarikan anak mereka untuk bersembunyi ke hutan. Beberapa penduduk punya alasan lebih masuk akal. Mereka meragukan efektivitas vaksin karana ada beberapa anak yang tetap tertular cacar meski sudah divaksin. Vaksin memang kemungkinan tidak befungsi bila terpapar udara tropis dan tidak segera digunakan begitu tiba dari Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, kualitas vaksin makin mutakhir untuk memerangi penyakit. Gerakan penolakan yang massif malah akan membuat penyakit itu muncul kembali.

  • Raja Demak Terakhir Dimakamkan di Banten

    Maulana Muhammad, sultan Banten yang masih muda, bertanya kepada penasihatnya, Pangeran Mas, negara mana yang pertama-tama harus diserang. Pangeran Mas menyarankan agar menyerang Palembang karena di sana ada seorang abdan bernama Soro yang tidak setia lagi dan sudah lama tidak memberikan upeti.  Abdan Soro adalah Kiai Gedeng Sura, pendiri Dinasti Palembang yang berakhir pada 1821. Dia melarikan diri dari Surabaya ketika Demak ditaklukkan Pajang. Dia mulai berkuasa di Palembang pada 1572. Menurut H.J. de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram , Pangeran Mas menyarankan Maulana Muhammad untuk menyerang Palembang karena menganggap pada dirinya melekat hak raja Demak . Maka, Kiai Gedeng Sura yang berasal dari Surabaya dan dulu tunduk pada Demak , dianggap sebagai abdinya. “Dalam peperangan menyerbu Palembang itulah sultan wafat akibat terkena tembakan meriam. Peristiwa gugurnya Maulana Muhammad ini terjadi pada tahun 1596 berdasarkan candrasengkala prabu lepas tataning prang ,” demikian disebut dalam Ragam Pusaka Budaya Banten . Ada penjelasan berbeda tentang Pangeran Mas. Masjid Agung Banten. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons) Ragam Pusaka Budaya Banten menyebut Pangeran Mas adalah seorang pangeran dari Demak bernama Aria Pangiri, putra dari Sunan Prawata atau Pangeran Mu’min. Pangeran Mas tersisih dua kali dari haknya menjadi raja di Demak. Pangeran ini diketahui memiliki niat untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram sehingga Raja Mataram Sutawijaya hendak membunuhnya. Namun, hal itu urung dilakukan karena bujukan istrinya. Dia kemudian berjanji tidak akan kembali ke daerah Mataram untuk selamanya. Akhirnya, dia menetap di Banten sampai wafat. Sedangkan H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa , menjelaskan bahwa Pangeran Aria Pangiri atau Pangeran Kediri adalah anak Pangeran Lepen, kemenakan Susuhunan Prawata, dan cucu Sultan Tranggana, raja Demak ketiga, yang putrinya menikah dengan Sultan Pajang. Setelah Susuhunan Prawata meninggal, Pangeran Mas memegang kekuasaan sekadarnya di Demak . Namun, dia kemudian menjadi Raja Pajang setelah Sultan Adiwijaya meninggal dunia pada 1587. Penunjukannya atas permintaan Sunan Kudus yang menggunakan wibawa kerohaniannya. Hubungan Pangeran Mas dengan Pajang adalah sebagai menantu sekaligus kemenakan dari pihak ibu Raja Pajang. Putra mahkota, Pangeran Benawa, kemudian bersekutu dengan Senapati Mataram dan orang-orang di Pajang yang tak puas. Setelah pertempuran singkat pada 1588, mereka berhasil mengusir Pangeran Mas. Nyawanya selamat berkat permintaan belas kasihan istrinya, seorang putri Pajang. Setelah itu, menurut De Graaf, Pangeran Mas pergi ke Malaka. Orang Portugis memandangnya sebagai Raja Demak ( Raja D’auma ). Dia cukup lama tinggal di jajahan Portugis itu, dari 1588 sampai 1596. Dia ditemani dua putranya (seorang berusia 20 tahun), salah satunya bernama Pangeran Mas I atau Pangeran Juruh. Pangeran Mas kemudian tiba di Banten pada 1 Juli 1596. “Di sana dia disambut dengan hormat oleh kerabatnya, raja Banten. Haknya atas kekuasaan di Demak diakui, dan dia menerima penghormatan sebagai bangsawan, sesuai dengan asal usulnya. Di Banten dia tinggal dalam perumahan di luar kota. Kiranya dia juga lama tinggal di Jakarta yang pada waktu itu di bawah kekuasaan raja Banten,” tulis De Graaf. Ragam Pusaka Budaya Banten menyebut Pangeran Mas membuat “Kreta Singa” yang dipergunakan oleh sultan-sultan Keraton Kasepuhan, Cirebon. Dalam sejarah Banten, diadikenal berkaitan dengan peristiwa penyerangan ke Palembang. Dia membujuk Maulana Muhammad agar menyerang Palembang. Sultan gugur akibat terkena tembakan meriam. Penyerbuan itu tidak membawa hasil apa-apa untuk Banten. Pasukan ditarik mundur, begitu pula Pangeran Mas kembali ke Banten. Namun masyarakat Banten tidak menerimanya dengan baik. Dia dianggap sebagai penyebab wafatnya Maulana Muhammad. Wakil Inggris di Banten, Edmund Scott, memberitakan akhir kehidupan Pangeran Mas. Pada November 1604, dalam pelayaran dari Banten ke tempat lain di pantai utara, Pangeran Mas dibunuh dengan keris oleh salah seorang putranya di tempat tidur. Menurut De Graaf dan Pigeaud, kemungkinan besar Pangeran Mas pada 1604 atau sekitarnya berlayar dari Banten ke Demak untuk memimpin pengikutnya memberontak pada Mataram. “Apa yang menjadi alasan sampai dia dibunuh, kiranya tetap merupakan rahasia.” Pangeran Mas dimakamkan di Kampung Pangkalan Nangka , Banten . Dia pun dikenal sebagai Sultan Pangkalan Nangka.

bottom of page