top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Muslihat Opsus di Papua

    BAGI Ali Moertopo, Irian Barat bukanlah medan tempur yang asing. Pada saat Operasi Mandala berkecamuk, dia pernah ditugaskan sebagai perwira telik sandi di sana.  Saat itu, Ali masih berpangkat mayor dan menjadi asisten Mayjen Soeharto - panglima Komando Mandala - untuk operasi intelijen. Pada Mei 1967, Brigjen Ali Murtopo kembali bertugas di Irian Barat. Misi Operasi Khusus (Opsus) kali ini dalam rangka memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua (nama lama Irian Barat). Tak hanya tentara, cendekiawan dari kalangan sipil ikut ambil bagian dalam rencana operasi. “Kita tidak bisa membiarkan presiden kehilangan Irian Barat,” kata Ali Murtopo kepada stafnya Jusuf Wanandi. Skema operasi disiapkan. Mulai dari operasi intelijen hingga proyek sipil untuk membangun kegiatan ekonomi. Misi Opsus didahului dengan mencari fakta tentang kondisi masyarakat setempat. “Kami mulai bekerja pada pertengahan tahun 1967 dan bekerja terus selama hampir dua tahun sebelum Pepera diadakan pada pertengahan 1969,” kenang Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998 .  Cacat di Mata Rakyat Menurut Jusuf Wanandi, citra Soeharto semakin buruk kalau gagal mempertahankan Irian Barat hanya karena mangkir melaksanakan Pepera. Namun di lapangan, tim Opsus melihat sendiri betapa termarjinalkan rakyat Papua. Selama masa peralihan antara Perjanjian New York hingga menjelang Pepera, kesejahteraan masyarakat disana kurang mendapat perhatian pemerintah. Di Irian Barat, bahan makanan cukup langka. Penduduk kelaparan. Harga barang kebutuhan menjulang tinggi. ABRI menjarah seluruh wilayah lantaran memburuknya kondisi ekonomi Indonesia. “Sampai botol bir dan alat-alat listrik di perumahan pun dibawa ke Jawa atau daerah lain di Indonesia,” kata Jusuf. “Belanda meninggalkan begitu banyak dan kita mengambil semuanya.” Pengakuan Jusuf Wanandi seturut dengan penuturan pamong praja Papua. Dalam buku Bakti Pamong PrajaPapua, Dorus Rumbiak, saat itu pejabat kontrolir di Wamena menyaksikan rumah-rumah peninggalan milik orang Belanda dimasuki oleh pegawai Indonesia dari luar Irian Barat. Harta benda di dalamnya kemudian diambil.   “Waktu itu saya saksikan sendiri penjarahan secara besar-besaran. Kami marah-marah karena semua yang dianggap penting dibawa pergi oleh orang-orang Indonesia,” tutur Dorus dalam “Dua Kunci Memikat Orang Baliem”. Laku pongah para pendatang ini meninggalkan rasa jengkel di hati rakyat rakyat Papua. Kepada Ali Murtopo Jusuf Wanandi mengatakan, terang saja orang Papua membenci Indonesia. Kalau Pepera diadakan pada waktu itu juga, Indonesia pasti kalah.   Transistor dan Uang Tim Opsus mengakalinya dengan mendatangkan barang-barang yang disenangi orang Papua. Beberapa diantaranya seperti tembakau merek Van Nelle de Weduwe dan setumpuk minuman bir. Semua itu dipesan langsung dari Singapura. Beberapa kapal memuatnya sampai berlimpah. Pendekatan juga dilakukan terhadap institusi Gereja Katolik dan Protestan. Upaya ini bertujuan agar kelompok gereja terlibat dalam meyakinkan rakyat Papua yang mayoritas beragama Kristen untuk memihak Indonesia. Selain itu, Opsus mengirimkan korps sukarelawan mahasiswa sebagai program pengabdian sosial terhadap masyarakat Papua. Sebanyak 250 mahasiswa diterjunkan ke setiap distrik. Wajah ramah Indonesia diperlihatkan. Mereka membagikan barang-barang kebutuhan pokok, membangun rumah di beberapa kabupaten, mengajarkan pendidikan ala sekolah kepada anak-anak, dan memastikan sarana perhubungan penting seperti pesawat tersedia.   a Cara demikian cukup berhasil mengambil hati rakyat Papua buat sementara waktu. Meski begitu, tidak semua rakyat terbuai. Kaum elite yang memiliki kesadaran politik tetap enggan bergabung dan lebih memilih merdeka. Mendekati Pepera, cara persuasif plus intrik dan intimidasi pun dilakukan.   Pada 1968, susunan dewan provinsi ditinjau kembali secara drastis. Sejarawan Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri mengatakan, orang-orang yang diragukan loyalitasnya ditangkap atau diganti. Salah satu diantaranya adalah Elias Jan Bonay, mantan gubernur Irian Barat yang kritis terhadap pemerintah. Ketika Pepera berlangsung, terjadi beberapa insiden berupa protes maupun demonstrasi massa. JRG Djopari menyebutkan, kerusuhan di Merauke pada 14 Juli 1969; Nabire 9 Juli; Fak-fak 23 Juli; Manokwari 29 Juli. Selain ABRI dan polisi, Opsus turut campur tangan menaggulangi gerakan pengacau. Dewan Musyawarah Papua (DMP) dijaga ketat. Mereka terus digiring untuk membulatkan tekad berintegrasi. Dalam hal ini, Opsus mempunyai peranan yang sangat besar dan berhasil. Sebagai imbalan, setiap anggota DMP diberikan sejumlah uang dan satu buah transistor 4 ban merek National. Selama menjalani karantina di penampungan, anggota DMP mendapat servis yang sangat memuaskan. Pelayanan ini termasuk pemberian minuman keras dan pesta saban malam setelah menerima pengarahan dari pejabat pemerintah Indonesia. “Dalam masa konsinyasi itu, kebanyakan anggota DMP bingung dan kemudian baru menyadari apa yang telah diputuskannya, namun mereka menerima dengan sadar akan keputusan itu,” tulis Djopari dalam Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka . Cemohan Ali Pepera usai. Indonesia memenangi suara mayoritas rakyat Papua. Irian Barat menjadi salah satu provinsi Indonesia. Misi Opsus berakhir sukses.   Pada kesempatan lain, Ali Murtopo justru mengatakan, “Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua melainkan wilayahnya.” Perkataan itu disampaikan Ali Murtopo di hadapan anggota DMP di Jayapura. Dalam ingatan seorang pendeta anggota DMP Jayapura bernama Hokujoku, Ali Murtopo mengucapkannya seraya tertawa mencemooh. “Jika orang Papua ingin mandiri,” kata Ali ditirukan Hokujoku, “Lebih baik bertanya kepada Tuhan apakah Dia bisa memberikan orang Papua sebuah pulau di Pasifik tempat untuk beremigrasi.” Menurut Hokojoku dalam wawancara kepada jurnalis Belanda, pernyataan Ali Murtopo itu begitu merendahkan harga dirinya sebagai orang Papua. Dia pun membenarkan adanya ancaman terhadap mereka yang menentang pemerintah Indonesia. Suratkabar Belanda De Tijd , 14 Agustus 1969 memberitakan seruan Ali Murtopo yang akan menindak tegas orang-orang yang tidak memberikan suaranya untuk Indonesia. Sejarawan Inggris spesialis kajian Asia Tenggara, John Saltford menyingkap kecurangan lain selama Pepera. Menurut Saltford berdasarkan kesaksian Hokojoku yang ditelitinya, anggota DMP yang dipilih untuk berbicara dalam sidang Pepera telah diberikan instruksi tertulis tentang apa yang harus dikatakan.    “Mereka kemudian dibuat untuk latihan berpidato di depan pejabat,” tulis Saltford dalam disertasinya yang dibukukan berjudul The United Nations and the Indonesia Takeover of West Papua, 1961--1969: The Anatomy of Betrayal . “Orang yang menolak itu diduga dibawa pergi dan dibunuh.”

  • Kala Belanda Bangun Rumahsakit Jiwa

    KETIKA FH Bauer dan WM Smit, dua orang dokter di Hindia Belanda, ditugasi meneliti kondisi kesehatan jiwa di negara jajahan, bukan hanya keduanya yang mendapatkan hal baru. Seluruh jajaran pemerintahan Hindia Belanda jadi tahu kondisi kesehatan jiwa di Jawa lewat hasil penelitian Bauer-Smit yang dirilis pada 1868. Penelitian itu menemukan ada sekira 550 orang dengan gangguan kesehatan jiwa. Kondisi mayoritas mereka begitu memprihatinkan. Ada yang dipasung, ditelantarkan, ada pula yang dirawat di rumahsakit militer yang tidak dikhususkan untuk perawatan jiwa. Oleh pemerintah, hasil penelitian Bauer-Smit dijadikan dasar pembentukan layanan kesehatan mental di Hindia Belanda. Pada 1881, pemerintah membuka Rumahsakit Jiwa (RSJ) pertama di Bogor dengan nama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg (kini Rumah Sakit dr. H Marzoeki Mahdi). RSJ kedua menyusul dibuka di Lawang, Malang pada 1902 (kini RSJ Dr.Radjiman Wediodiningrat), diikuti pembukaan Krankzinningengesticht Kramat (RSJ Prof. Dr. Soerojo) di Magelang pada 1912, dan di Sabang pada 1922 (kini RS TNI Angkatan Laut). RSJ-RSJ tersebut awalnya hanya untuk keluarga Eropa yang kerabatnya terkena gangguan jiwa. Sejak 1830-an, pemerintah mulai berpikir untuk membangun fasilitas laiknya negeri sendiri lantaran pandangan bahwa negeri jajahan sebagai wilayah yang diperintah, bukan semata kongsi dagang yang hanya memiliki infrastuktur perdagangan seperti pelabuhan dan kantor perdagangan. Perawatan kesehatan mental yang dibangun, dibuat semirip mungkin dengan perawatan kesehatan mental di Eropa. “Belanda ingin menunjukkan diri sebagai bangsa yang beradab. Belanda juga mulanya hanya memikirkan kebutuhan mereka sendiri,” kata Sebastiaan Broere, yang meneliti tentang RSJ Magelang, sambil terkekeh kepada Historia . Namun, anggapan penyakit jiwa merupakan aib amat mengganggu pemerintah. “Memiliki orang Eropa yang kena gangguan jiwa bisa menurunkan citra Belanda. Akhirnya, pribumi juga bisa menjadi pasien,” sambungnya. Beberapa tahun kemudian, orang pribumi diperbolehkan menjadi pasien di RSJ. “Jadi, (pemerintah, red .) ingin menunjukkan yang bisa terkena gangguan jiwa bukan cuma orang Belanda.” Semangat itu membuat segregasi tetap hadir dalam layanan tersebut. Kondisi bangsal untuk pasien bumiputra jauh lebih buruk dari bangsal untuk pasien Eropa. Broere menjelaskan lebih lanjut, ketika gelombang kedatangan orang Eropa ke Hinida Belanda makin massif pada paruh akhir abad ke-19, isu kesehatan mental dan keamanan menjadi perhatian khusus pemerintah. Hai itu disebabkan oleh ketakutan para pendatang –yang semakin beragam dengan beragam tujuan pula; banyak yang datang untuk membuka usaha– sewaktu-waktu dibunuh oleh penderita gangguan jiwa yang terlantar, orang yang terserang amok, atau buruh yang mengamuk lantaran dipaksa melulu bekerja. Untuk mempertahankan kedamaian dan ketertiban ( rust en orde ), pemerintah memperbaiki sistem kepolisian. Eksesnya, penjara jadi makin penuh. Beberapa di antara penghuni penjara adalah penderita gangguan jiwa. Mereka dikurung setelah sebelumnya ditangkap karena mengacau. Baru ketika sipir menyadari ada yang ganjil, mereka dirawat di RSJ secara cuma-cuma. “Di Hindia Belanda, seperti di negeri jajahan lain, pintu masuk utama ke RSJ untuk rakyat pribumi memang melalui pengadilan dan penjara. Mereka tidak cukup menderita penyakit mental tapi juga perlu mengganggu tatanan sosial untuk bisa dirawat di RSJ,” tulis Hans Pols dalam artikel “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies.” Pemerintah menjadikan biaya dari pasien Eropa, priyayi, atau Tionghoa kaya untuk mensubsidi seluruh operasional RSJ, termasuk membiayai para penderita gangguan jiwa yang ditangkap polisi. Semua pasien ditempatkan pada rumah sakit yang sama meski bangsal untuk pasien yang dirawat seacara gratis hanya terbuat dari bambu, bukan batu bata. Dari empat RSJ yang ada di Hindia Belanda, bisa ditampung 9000 pasien. Dibandingkan dengan negara jajahan lain, perawatan kesehatan mental di Hindia Belanda terhitung bagus. Indochina, misalnya, hanya memiliki satu RSJ berkapasitas 600 pasien, sementara Filipina juga hanya satu RSJ dengan 1.700 tempat tidur. Bahkan meski sempat terserang krisis, Hindia Belanda masih menjadi pemimpin dalam penelitian medis. Perawatan kesehatan mental sudah jauh lebih maju dibanding negara jajahan lain. “Ada persaingan internasional antara negara-negara kolonial untuk menjadi penjajah paling beradab. Semacam imperialisme yang layak. Dengan memberikan pelayanan kesehatan yang baik, misalnya. Itu membuktikan kalau Belanda penjajah yang baik, lebih mending dari Prancis di Indochina, misalnya. Tapi tetap saja, namanya juga penjajah,” kata Broere menutup pembicaraan.

  • Sumber Hukum Masa Jawa Kuno

    RAKYAT Desa Balingawan makin melarat. Mereka sering menanggung denda atas kejahatan yang tak mereka ketahui. Tak jarang warga menemukan darah berceceran. Sesekali sesosok mayat tergeletak begitu saja di tegalan Gurubhakti pada pagi hari. Namun, tak diketahui siapa pelakunya. Malangnya, tegalan itu masuk wilayah desa mereka. Warga pun mesti membayar denda atas  rāh kasawur  (darah berceceran) dan  wankay kabunan  (mayat yang terkena embun). Mereka lalu memohon pada Rakryān Kanuruhan melalui tiga patih Desa Balingawan. Permohonan itu dikabulkan. Tegalan Gurubhakti ditetapkan sebagai sima. Warga desa tak lagi takut. Jalanan aman. Demikian yang diberitakan Prasasti Balingawan yang dikeluarkan tahun 891 M. Epigraf Boechari dalam "Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuno" termuat di  Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti  mengatakan apa yang terjadi pada warga Balingawan itu terjelaskan lewat naskah Hindu  Sārasamuccaya.  Penduduk Balingawan harus bayar denda karena lalai atas terjadinya pembunuhan di malam hari. Sampai-sampai pembunuhan itu tak diketahui siapa pun sehingga mayatnya terkena embun di pagi hari. Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo keputusan hukum pada masa lalu dilakukan berdasarkan kitab hukum tertulis yang bersifat nasional, hukum adat yang masih dijadikan sumber aturan tambahan, dan pengetahuan tentang hukum formal telah dikenal oleh penduduk pedesaan. Itu diketahui khususnya pada masa Majapahit. Prasasti Bendosari (1360 M) dan Parung memuat keterangannya.   "Prasasti dari masa Majapahit, Bendosari dan Parung, memuat keterangan bahwa permasalahan hendaknya dapat diselesaikan menurut ketentuan yang termuat dalam kitab hukum, pendapat umum (adat?), kasus serupa yang terjadi sebelumnya, isi kitab  Kutaramanawa , dan kebiasaan pejabat kehakiman yang ahli sejak dulu kala," tulis Supratikno dalam  Peradaban Jawa. Supratikno menjelaskan penyusunan kitab hukum secara sistematis muncul sejalan dengan makin bervariasinya jenis sanksi. Paling tidak ada tiga jenis hukuman yang pernah diterapkan di Jawa Kuno: kutukan yang mengerikan, denda uang, dan hukuman badan. Namun, ada kecenderungan penekanan yang berbeda pada tiap zaman. Sumber prasasti dari periode Mataram hingga masa Tamwlang-Kahuripan, sebelum abad ke-12, umumnya menekankan kutukan terutama terhadap pelanggar ketentuan  sima. Pada masa Mataram, sejauh ini belum ditemukan naskah hukumnya. Sementara prasasti periode Kadiri, memasuki abad ke-12, mulai menyebutkan sanksi dalam bentuk uang. Sanksi kutukan tetap berlaku sebagaimana dalam mantra kutukan  pancamahabhuta  (lima kutukan besar) atau  jagadupa-drawa  (kemalangan di dunia). "Belum diketahui apakah pembakuan hukum sudah dikenal atau belum dalam periode ini," tulis Supratikno. Dari sana dapat dilihat kalau masa Kadiri mulai terjadi perubahan pandangan soal sanksi, dari memberikan efek takut bersifat magis ke efek jera. Ini, menurut Supratikno, bisa dianggap sebagai bentuk pengawasan yang lebih ketat ketimbang sekadar kutukan yang mengandalkan kesadaran.  "Itu berupa sanksi tindakan nyata, seperti denda emas dalam jumlah satuan  kati  dan  suwarna, " tulis Supratikno. Pada masa Singhasari dan Majapahit, sanksi kutukan dan denda tetap dipertahankan. Namun, hukuman badan mulai berjalan. Pada periode ini pula bentuk pelanggaran tertentu diatur dalam undang-undang hukum antara lain termuat dalam Kutaramanawa, Purwadigama, dan Rjapatigundala. "Meski kitab aturan hukum itu dinyatakan secara jelas pada masa Majapahit, tetapi tidak harus berarti pada masa itu pula baru dilakukan kodifikasi," tulis Supratikno. Berkaitan dengan hal itu, berita Tiongkok tentang Jawa pada abad ke-12 dan ke-13 menyebut waktu itu orang bersalah didenda dengan sejumlah emas. Sedangkan merampok atau mencuri dihukum mati. Menurut Supratikno keterangan itu memberikan petunjuk awal penyusunan kitab hukum mungkin telah dimulai sejak masa Kadiri. Walaupun sejumlah naskah hukum yang kini masih bertahan hampir semuanya ditulis pada masa pasca-Majapahit. Alasannya, menurut Boechari dalam “Kerajaan Mataram dari Prasasti" termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, banyak naskah dari masa sebelum itu tak bertahan hingga kini. Mungkin naskah hukum itu tak ditulis di bahan yang awet dan mudah rusak seperti daun lontar atau karas. Setelah berpuluh tahun naskah pun rusak. Alasan lain karena rusak naskah perlu disalin. Tentunya butuh penyesuaian terhadap perkembangan masyarakat dan bahasa. Naskah hukum yang sampai pada masa sekarang, meski berbahasa Jawa Kuno, memuat istilah dari kerajaan di Bali pasca-Majapahit, seperti awig-awig dan  bandesa. Adapun di era Majapahit, peranan hukum nampaknya makin penting. Naskah seperti Kutaramanawa, Dewagama, Adigama, Swarajambhu, Canakya, Kemandaka, Kertopati, Dharmmopapati, Dustakalabaya, Dewadanda, Purwadigama,  dan  Sarasamuchaya diduga dibuat pada masa itu. Sayangnya, baru sebagian kecil yang diterbitkan, yaitu  Dewandanda, Kutaramanawa, Krtopapati, Wratisasana, dan Sarasamuccaya. Selebihnya hanya ada deskripsi dan ikhtisar isi naskah dalam katalog naskah di Leiden dan di Museum Nasional.   Bagaimanapun, menurut Boechari, naskah hukum merupakan unsur yang wajib ada dalam institusi kerajaan. Ini mengambil kebiasaan dari institusi kerajaan di India. Jadi, bukan berarti pada masa sebelum Majapahit hingga Majapahit tidak ada naskah tertulis yang digunakan dalam institusi pengadilan.   “Semua kerajaan kuno di Nusantara menggunakan naskah hukum dalam bahasa negaranya yang merupakan terjemahan dari naskah hukum India,” tulis Boechari. Buktinya, besaran denda ada dalam satuan uang dari India seperti krsnala dan pana. Dua satuan ini tak pernah muncul dalam prasasti berbahasa sanskerta dan Jawa Kuno yang ditemukan di Nusantara. Biasanya istilah yang digunakan adalah  swarna, masa, dharana, dan kupang.

  • JPO Pertama di Indonesia

    PEMERINTAH berpikir zebra cross mampu menjawab kebutuhan pejalan kaki untuk menyeberang. Namun, perilaku berkendara di Jakarta membuyarkan pikiran tersebut. “Pengendara Jakarta kalau mendekati zebra cross bukan mengurangi kecepatan mobil, tapi justru mempercepatnya untuk mendahului si pejalan kaki yang mau menyeberang,” tulis Kompas , 12 Oktober 1965. Muncul pikiran lain untuk memecahkan urusan menyeberangkan orang di jalan besar dan ramai. Di jalan-jalan semacam inilah nyawa pejalan kaki sering melayang. Orang menyebutnya ‘jalan setan’. Antara lain di Jalan Matraman, Salemba, Hayam Wuruk-Gajah Mada, Sudirman, dan Thamrin. "Penyeberangan manusia pada tempat-tempat ramai sejak adanya lalu-lintas modern merupakan masalah rumit dan sulit. Ribuan warga kota telah menjadi korban keganasan lalu-lintas," F Bodmer dan Moh. Ali dalam  Djakarta Djaja Sepandjang Masa , terbitan 1969. Ada alat bantu lain untuk menyeberang bernama flicker lights atau lampu kedip di sejumlah simpangan ramai. Pengendara harus melambatkan kendaraannya saat melewati flicker lights lantaran banyak pejalan kaki menyeberang. Tapi flicker lights juga gagal menggugah kesadaran pengendara mobil dan motor agar mengutamakan pejalan kaki. “Mereka main serobot dan ngebut saja tanpa mempedulikan pejalan kaki,” tulis Kompas , 24 Juni 1967. Ahli transportasi mengatakan zebra cross tak cocok lagi berada di jalan-jalan besar dan ramai. Mereka mengajukan dua usul untuk mengganti zebra cross . Usul pertama berupa terowongan bawah tanah seperti di kota Paris, Prancis, dan Roma, Italia. Usul kedua berkutat pada jembatan penyeberangan orang berbentuk huruf H ( viaduct ) meniru penerapan di kota-kota besar Amerika Serikat dan Jepang. Selain aman bagi pejalan kaki, ada pula keindahan kota yang bisa dinikmati dari atas jembatan. "Jembatan penyeberangan manusia di atas jalan-jalan ramai menyelematkan sesama manusia dari kecerobohan lalu-lintas di kota internasional. Dengan aman dan tenteram kesibukan dan keramaian kota besar dinikmati oleh setiap warga kota," tulis F. Bodmer dan Moh. Ali. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966-1977, menolak usul terowongan bawah tanah. Biaya pembangunannya kelewat mahal. Dia juga khawatir banjir dan para gelandangan suatu saat akan memenuhi terowongan. Maka usul kedua, jembatan penyeberangan, menjadi pilihan terbaik untuk diwujudkan. Jembatan penyeberangan itu mulai berdiri kokoh pada 21 April 1968. Letaknya persis di depan Sarinah, toko-serba-ada-modern pertama di Jakarta, di Jalan M.H. Thamrin. Pada hari peresmian, Ali Sadikin menamakannya ‘Jembatan Kartini’, sebab bertepatan dengan tanggal kelahiran R.A. Kartini, Pahlawan Nasional. Jembatan Kartini mempunyai panjang 15 meter dan tinggi 8 meter. Bentuknya menyerupai huruf H. Terdapat dua tangga pada masing-masing sisi jalan sehingga totalnya empat tangga. Konstruksinya terbuat dari baja dan menelan biaya sebesar Rp2,3 juta setara Rp200 juta pada masa sekarang. Ratusan orang bergantian menjajal jembatan itu pada hari-hari awal penggunaannya. Inilah jembatan penyeberangan orang pertama di Jakarta dan Indonesia. Ia menjadi lambang perkembangan pesat Jakarta sebagai metropolitan. Dan salah satu ciri metropolitan adalah perilaku tertib warga kotanya. “Dengan dibukanya jembatan seberangan ini, semoga warga kota akan menjadi warga yang baik dengan mematuhi peraturan-peraturan serta mengunakan jembatan itu dengan baik pula,” kata Ali Sadikin dalam Kompas , 22 April 1968. Jadi Sarang Kere Pemda Jakarta sebenarnya tak punya dana untuk membangun ‘Jembatan Kartini'. Mereka melemparnya ke perusahaan swasta. Sebagai kompensasinya, perusahaan swasta boleh memasang reklame di badan jembatan penyeberangan selama lima tahun. Hal demikian berlaku pula untuk pembangunan jembatan penyeberangan orang berikutnya. Hingga 1972, Jakarta telah memiliki 16 jembatan penyeberangan. Semuanya bernasib sama: ramai pengguna pada hari-hari awal, sepi ketika masuk hari-hari berikutnya. Pejalan kaki rupanya cepat bosan menggunakan jembatan penyeberangan. Mereka rusak pagar pembatas di bawah JPO dan lebih senang menyeberang di jalan sembari menggantungkan hidup pada kebaikan pengendara mobil atau motor untuk melambatkan kendaraannya. Tapi para gelandangan dan pengangguran justru girang dengan keberadaan jembatan penyeberangan. Itulah rumah mereka, tempat mereka berkeluh-kesah dengan sesamanya tentang beratnya hidup keseharian di Jakarta. Sebuah cerpen berjudul “Djembatan Penjeberangan” terbit di harian Kompas 16 Mei 1972. Kisahnya tentang dua lelaki pengangguran. Mereka bertemu saban sore di jembatan penyeberangan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dari atas jembatan penyeberangan, dua lelaki itu melihat mobil keluaran terbaru mengalir bak arus sungai. “Menghanyutkan orang-orang berpunya ke muara kesenangan.” Mereka kemudian berniat menyudahi hidup dengan melompat dari jembatan. Selain menjadi rumah untuk para kere, jembatan penyeberangan adalah sarang para penyamun. Para penodong melakukan aksi kriminalnya di sana. Misalnya di JPO Medan Merdeka Barat, tak jauh dari dari Istana Merdeka. Warga pun semakin enggan melewatinya. Pemerintah daerah juga tak punya dana untuk merawat dan mengawasnya. Lama-lama banyak jembatan penyeberangan rusak. “Anak tangga hilang, dicopot tangan usil,” tulis , 28 Mei 1971. Kemudian zaman bergerak cepat pada milenium baru. Warga kota terhimpit oleh waktu. Pengendara mobil dan motor saling berebut ruang di jalan demi cepat sampai di tempat tujuan. Melupakan benda berwujud rem dan makhluk bernama pejalan kaki. Maka di Jakarta menyeberang juga sebentuk perjuangan merebut ruang dan hak, baik itu melalui zebra cross atau lewat jembatan penyeberangan.

  • Awal Mula Zebra Cross di Indonesia

    TAK ada lagi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di satu sudut Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta telah merobohkannya. JPO diganti pelican crossing, sejenis zebra cross dengan tombol dan lampu pengatur lalu-lintas. Ada empat petugas dinas perhubungan berjaga di sekitar pelican crossing untuk mengatur penyeberangan orang. Pelican Crossing menandakan cara orang menyeberang di Jakarta telah masuk era baru. Orang menyeberang semakin perlu panduan petugas dan alat. Pada awal abad ke-20, orang bisa menyeberang dengan mudah tanpa panduan. Jalanan masih lengang. Tak ada marka jalan dan zebra cross . Kendaraan paling banyak hilir-mudik di jalan adalah sado dan sepeda. Mobil tampak satu-dua saja. Trem melintas sesekali. Demikian tersua dalam album foto kartu pos Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 karya Scott Merrillees. Pertambahan kendaraan bermotor pada dekade 1930-an mengubah suasana jalan Batavia. Polisi mulai tampak di persimpangan jalan besar untuk mengatur lalu-lintas kendaraan. Pejalan kaki mesti lebih awas memperhatikan kanan-kiri jalan jika ingin menyeberang. Belum ada lampu isyarat petunjuk lalu-lintas di Batavia pada dekade 1930-an. Kota Malang justru lebih dulu menggunakan lampu pengatur lalu lintas dibanding Batavia. “Di tengah persimpangan diletakkan sebuah lentera sebesar sangkar burung dengan tiga rupa tanda satu di atas yang lain : ‘Stop’, ‘Awas’, dan ‘Djalan’ yang masing-masing menggunakan warna merah, kuning, dan hijau,” tulis Olivier Johannes dalam Kota di Jawa Tempo Doeloe . Batavia hanya mengenal alat petunjuk lalu-lintas berupa tiang putar bertuliskan vrij (bebas atau isyarat berjalan bagi kendaraan) dan stop (berhenti). Polisi lalu-lintas memutarnya secara manual. Jika terbaca tanda stop , kendaraan harus berhenti untuk memberi pejalan kaki atau pengendara dari arah lain kesempatan menyeberang. Masuk zaman kemerdekaan, jalan-jalan Jakarta kian penuh kendaraan. “Menurut catatan pertengahan tahun 1952 untuk seluruh Jakarta Raya terdapatlah sebanyak 26.444 kendaraan bermotor,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raja . Jumlah ini belum termasuk sepeda dan becak. Pertambahan kendaraan menyulitkan pejalan kaki untuk menyeberang. Ada kisah dari seorang penulis bernama Buntarman tentang dua orang anak ingin menyeberang di Jakarta. Anak pertama pendatang baru di Jakarta, sedangkan anak kedua sudah beberapa lama tinggal. “Di sini lalu-lintasnya sangat ramai. Lihatlah mobil dan kendaraan lainnya yang tak putus-putusnya bersimpang siur. Kata ayah, lalu-lintas di Jakarta kini lebih ramai daripada di waktu sebelum perang,” kata anak kedua kepada anak pertama, tulis Buntarman dalam Djakarta Kota Lambang Kemerdekaan , terbitan 1958. Anak pertama menghitung telah ada 10 mobil melewatinya hanya dari satu arah. Belum terhitung becak dan sepeda. “Kedua anak itu harus menunggu satu-dua menit untuk dapat menyeberang jalan,” tulis Buntarman. Kepadatan di jalan melahirkan cara baru pengaturan lalu-lintas. “Sedapat mungkin diatur sedemikian rupa, sehingga masing-masing kendaraan yang beraneka ragam macamnya, bermotor dan tidak bermotor, orang-orang jalan kaki, disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing,” tulis Kotapradja , 15 Maret 1953. Pemerintah Kotapraja Jakarta menaruh alat petunjuk lalu-lintas di persimpangan ramai untuk kelancaran kendaraan dan menghindari kecelakaan. Pemerintah juga memperkenalkan zebra cross . “Tanda hitam-putih yang melintang di jalan bagi becak, sepeda dan orang jalan,” tulis Buntarman. Pamor zebra cross sebagai rambu untuk memandu orang menyeberang meluas pada 1960-an. Saat itu Jakarta bersiap menjadi tuan rumah Asian Games pada 1962. Pemerintah melebarkan jalan utama seperti Jalan Sudirman dan Thamrin. Bersama itu pula pengecatan zebra cross berlangsung di persimpangan-persimpangan ramai sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin.

  • Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi, Siapa Peduli?

    KENDATI mentari di atas Alun-alun Kota Bekasi amat terik Minggu (5/8/2018) siang itu, beberapa muda-mudi asyik nongkrong. Tak jauh dari mereka, sekumpulan siswa SMA anggota pasukan pengibar bendera sedang berlatih untuk persiapan HUT RI ke-73. Para perantau asal Palembang yang sedang mengadakan gathering, menambah keramaian suasana di sekitar sebuah monumen yang tegak berdiri setinggi lima meter. Kondisi monumen begitu memprihatinkan. Coretan memenuhi tubuhnya. Sampah mulai dedaunan, bakas pembalut, hingga kondom bekas pakai menutupi areal di sekitar kaki monumen. Tak ada yang peduli keadaan monumen bernama Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi tersebut. Jangankan mereka yang hobi hang-out di sekitar alun-alun, pemerintah daerah setempat pun tutup mata. Sisi Belakang Monumen yang dinodai coret-coretan. Nampak di sudut kanan sekumpulan siswa SMA pun tiada peduli (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Namun di antara sikap masa bodoh itu, ada kepedulian dari dua pemuda: Beny Rusmawan dan Rochman Ahsan dari komunitas reka ulang dan penggiat sejarah Front Bekassi. “Awalnya enggak sengaja, sebetulnya. Beberapa hari lalu setelah pulang dari luar kota, ikut acara reka ulang sejarah juga di Jogja (Yogyakarta), saya ngeliat itu monumen kondisinya miris,” cetus Beny kepada Historia. Pemuda kerempeng yang sejatinya ber-KTP Jakarta itupun coba mem-viralkannya via Facebook . “Ya namanya punya banyak teman di Bekasi dan memang sering bersosialisasinya di Bekasi, apa salahnya untuk peduli. Kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?” imbuhnya. Dari posting -an Beny, muncul beragam reaksi simpati. Dia lalu mengajak beberapa kawannya membuat aksi bersih-bersih monumen secara swadaya. “Ya kita ngumpulin bareng-bareng aja . Ada juga dibantu satu-dua orang juga yang enggak mau disebut namanya. Cuma sekadar beli cat, thinner, dan kuas. Habis itu, pastinya kita bikin surat izin juga ke Polres (Polres Metro Bekasi Kota) sebelum kita bikin kegiatan ini,” lanjut Beny. Limbah-Limbah Domestik berserakan di Kaki Monumen (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Berbekal surat izin, tiga kaleng cat putih, sekaleng cat hitam, kuas, dan thinner , mereka memulai aksinya dengan membersihkan bagian dalam monumen yang dikelilingi pagar satu meter dari beragam sampah. Kala petang menjelang, pekerjaan remeh namun sangat bermakna itu pun rampung. Monumen kembali “tampan”. MuasalMonumen Ada cerita di balik pendirian monumen di sisi selatan alun-alun dan di seberang Polres Metro Bekasi Kota itu. Sebuah plakat di dekatnya menginformasikan: “Pembuatan monumen ini diprakarsai oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam rangka memperingati HUT RI ke-10 dan HUT ke-5 Kabupaten Bekasi dan diresmikan pada 5 Juli 1955. Pembuatannya berkaitan dengan beberapa peristiwa yang terjadi di Bekasi, di antaranya peristiwa bulan Agustus dan peristiwa awal Februari 1950.” Coret-Coretan di Badan Monumen Mulai Ditutupi Cat Baru (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Namun, jangankan untuk generasi zaman now , informasi sesingkat itu untuk menjelaskan tiga peristiwa yang dimaksud kepada generasi yang lebih dulu pun amat kurang. Perlu usaha lebih untuk mendapatkan penjelasan lebih memadai. Beruntung, masih ada orang seperti Abdul Khoir, budayawan Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi cum dosen di Universitas Islam 45 Bekasi (Unisma), yang punya perhatian besar terhadap sejarah tanah tempat tinggalnya. Dari keterangannyalah diketahui bahwa monumen itu didirikan saat Bekasi belum lama mengubah nama dari Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi pada 1950. Sementara Pemerintah Kota (administratif) Bekasi baru lahir pada 1981 dan diresmikan setahun setelahnya. Abdul Khoir juga memaparkan bahwa sebelumnya pembahasan soal itu sudah disusunnya bersama Bambang Widyatmoko dan Ita Qonita dalam Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Bekasi . Pendirian monumen berbentuk segi lima sebagai perlambang Pancasila itu dilatarbelakangi tiga kisah historis. Pertama, peristiwa penyebaran kabar proklamasi 17 Agustus 1945 kepada penduduk Bekasi. Di alun-alun itulah kabar itu disebarluaskan oleh para pemuda Bekasi yang sebelumnya mendapat kabar dari Jakarta secara berantai. Plakat di Depan Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Awalnya, pada 16 Agustus 1945 para pemuda pelopor dari Jakarta datang ke Bekasi, mengabarkan bahwa tanggal 17 Agustus di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas) akan berlangsung rapat raksasa. Maka berangkatlah para pemuda Bekasi. Namun setibanya di Jakarta, mereka dapat kabar rapat di Ikada tak jadi dilaksanakan, hingga (proklamasi) dialihkan ke Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Setelah mereka kembali ke Bekasi, mereka menyebarluaskan berita itu kepada masyarakat,” ungkap Abdul Khoir. Peristiwa kedua , pertempuran antara serdadu Sekutu dan NICA (Belanda) melawan para pejuang di Alun-Alun Bekasi, medio Juni 1946. Pertempuran tak seimbang itu memaksa garis pertahanan laskar dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) mundur hingga bantaran timur Kali Bekasi. Pertahanan di Bekasi yang acap disebut “Gerbang Republik” di masa itu akhirnya jebol pada Agresi Militer I, 21 Juli 1947. Peristiwa ketiga berkaitan dengan berdirinya Kabupaten Bekasi yang mandiri. Pendirian itu bermula dari rapat umum di Alun-Alun Bekasi yang dihadiri elemen tokoh dan masyarakat Bekasi, termasuk ulama-pejuang KH. Noer Ali. Rapat yang menghasilkan “Resolusi Rakyat Bekasi” itu dibawa Panitia Amanat Rakyat Bekasi ke Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) cum Wakil Presiden RI Mohammad Hatta. Pemerintah pusat mengabulkan permintaan warga Bekasi. Daerah Bekasi yang tadinya merupakan bagian dari Kabupaten Jatinegara sejak itu berubah jadi Kabupaten Bekasi dengan “payung” Undang-Undang Nomor 14 tahun 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Tanggal itu lalu dijadikan hari lahir Pemkab Bekasi. Kondisi Monumen yang Sedikit Lebih Baik setelah dibersihkan dan dicat seadanya untuk menutupi coretan-coretan vandalis (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Tiga peristiwa penting di balik alasan pendirian monumen itu jelas lebih dari cukup untuk membangkitkan kepedulian, terutama pemerintah kota, terhadapnya. “Itulah, perhatian pemerintah (kota) lebih sering ke pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur lainnya yang secara finansial lebih seksi ketimbang pemeliharaan monumen dan taman kota. Padahal Kota Bekasi menyantolkan ‘Patriot’ sebagai identitas kotanya. Yang bertanggungjawab tentu saja Pemerintah Kota Bekasi karena institusi itu yang dititipi anggaran oleh rakyatnya,” tandas Abdul Khoir.

  • Hukuman bagi Penjahat pada Zaman Kuno

    SEORANG penjahat dengan pisau menyerang tiga orang. Seorang terjatuh, dua menghindar. Pada adegan lain, seorang perempuan sambil menggendong anak diganggu empat orang. Seorang penyerang terjatuh sambil mengelak dari pukulan tongkat. Dua penjahat lainnya menunjuk ke arah perempuan. Di bagian lain, dua orang berkelahi. Seorang memegang pedang. Di bagian lain juga ada adegan perkelahian tapi tanpa senjata.  Itulah beberapa kasus kejahatan di Jawa Kuno yang terbaca dalam Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Menurut arkeolog UGM Slamet Pinardi dalam “Upaya pencegahan Kejahatan dalam Jaman Mataram Kuno” termuat di Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, selain mengajarkan hukum sebab akibat, relief itu juga dapat dianggap sebagai upaya mengurangi dan mencegah kejahatan pada masanya. Selain dari relief, kejahatan dan pencegahannya juga tersirat dalam prasasti. Sayangnya, menurut Supratikno Rahardjo dalam  Peradaban Jawa , seringkali tindakan kriminal itu disebut dengan istilah Jawa Kuno yang tak sepenuhnya dipahami. Hanya sebagian yang diketahui maksudnya dengan baik terutama setelah dituliskan dalam kitab hukum. Boechari dalam “Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuno” termuat di  Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti  menjelaskan di prasasti tindak pidana disebut sukhaduhkha.  Paling tidak, ada tiga penanganan bagi para pelanggarnya: denda, hukuman mati/badan, dan disumpahi dengan kata-kata yang menyeramkan (kutukan). Kejahatan dalam  sukhaduhkha  yang dikenai denda misalnya  wankai kabūnan, wākcapala, hastacapala, amuk, dan amungpang .  Wankai kabunan  artinya “mayat yang terkena embun.” Naskah Hindu,  Sārasamuccaya, menjelaskan perbuatan itu mendapat denda akibat kelalaian atas terjadinya pembunuhan di malam hari. Sampai-sampai pembunuhan itu tak diketahui siapa pun sehingga mayatnya terkena embun di pagi hari.  “Sedang tindak pidana pembunuhannya sendiri tentunya mendapat pidana yang sangat berat,” jelas Pinardi. Berdasarkan undang-undang Kutaramanawadharmasastra pasal astadusta, pembunuh hukumannya mati. Seperti Lembu Sora, Patih Daha era Majapahit, dituntut pidana mati setelah membunuh Kebo Anabrang, perwira Kerajaan Singhasari dan Majapahit dalam Pemberontakan Ranggalawe. Sementara  wākcapala artinya memaki-maki atau mengumpat. Perbuatan ini dikenai denda tergantung tingkatan atau derajat orang yang memaki dan dimaki. Pada masa Majapahit, perbuatan ini dijelaskan dalam kitab  Āgama  pasal 220 sampai 225. Misalnya, seorang ksatria memaki brahmana didenda dua  tali;  waisya (petani) memaki brahmana didenda lima  tali; sedangkan sudra dihukum mati.  “Kenakanlah pidana mati oleh sang prabhu, pedagang yang memaki brahmana,” tulis Slamet Muljana dalam  Perundang-Undangan Majapahit,  mengutip kitab  Āgama.  Tindak pidana lain yang dikenai denda adalah  hastacapala( perkelahian dengan pukul-memukul atau baku hantam), mamuk ( mengamuk membabi buta hingga membahayakan orang lain), dan amungpang  atau  mamungpang  (merampas, merampok, dan memperkosa). Sanksi denda dalam bentuk emas. Supratikno mencatat, dalam Prasasti Patakan (sekira abad ke-11 M) disebutkan jumlah terkecil adalah  ma ( satu),  ka ( lima),  su  (sekitar 592,51 gram). Sedangkan Prasasti Panggumulan (926 M) menyebut yang terbesar adalah  ma ( lima),  ka ( satu),  su  (sekira 3812,9 gram). Prasasti yang menyebutkan kasus kejahatan contohnya Prasasti Mantyasih dari 829 saka (907 M). Ceritanya, Rakai Watukura Dyah Balitung memberikan anugerah  sima  kepada lima orang patih Mantyasih secara bergantian. Mereka berjasa, salah satunya, menjaga keamanan di jalanan Desa Kuning.  “Dari keterangan itu memberi kesan bahwa sebelumnya jalanan di Desa Kuning tak aman dan banyak gangguan perampok atau penjahat lainnya,” tulis Boechari.  (Baca: Begal di Jawa Kuno) Prasasti Kaladi dari 831 Saka (909M) menyebut kasus pembegalan menimpa pedagang dan nelayan yang lewat hutan Araņan. Hutan ini memisahkan Desa Gayām dan Pyapya. Sementara Prasasti Rukam dari 829 saka (907 M) menyebut dua istilah  samahala . Sesuai konteks kalimatnya, yang pertama berarti para petani.  Kedua , kelompok orang yang suka mengganggu keamanan. Pelecehan Seksual Masyarakat lampau juga punya cara mengatasi kasus pelecehan seksual. Paling jelas pada masa Majapahit diatur dalam prasasti dan undang-undang  Agama. Prasasti Cangu (1358 M) berisi aturan tempat penyeberangan di Bengawan Solo. Namun, ia juga memuat keterangan tersirat hukuman berat bagi pelaku pelecehan seksual yang disebut  strisanggrahana. Sementara dalam teks undang-undang  Agama,  ada bab  paradara artinya istri orang lain atau perbuatan serong. Di sini disebutkan berbagai jenis hukuman dan denda bagi laki-laki yang mengganggu perempuan. Pemerkosa istri orang lain didenda sesuai kedudukan sang perempuan dalam kasta. Perempuan kasta tinggi, dendanya dua  laksa ; kasta menengah, dendanya  selaksa ; dan kasta rendah, dendanya lima  tali . Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam  Perempuan Jawa  menjelaskan, penentu jumlah denda adalah raja dan penerima denda adalah si suami. “Jika sedang memperkosa tertangkap basah oleh sang suami, pemerkosa boleh dibunuh,” tulisnya.  Prasasti juga memuat kasus penyelewangan pajak. Misalnya, Prasasti Palepangan dari 828 Saka (906 M) dan Prasasti Luitan dari 823 Saka (901 M). Salah satunya dilakukan oleh penarik pajak di desa ( nayaka ). Beberapa kali si nayaka lalai menghitung luas sawah petani. Akibatnya rakyat membayar pajak lebih besar dari seharusnya. Sayangnya, prasasti itu tak menyebutkan sanksi apa yang diberlakukan pada pelaku. Pengganggu Sima Selain menindak pengganggu ketenteraman sosial, ada pula tindak pidana terkait aturan  sima.  Jenis pelanggaran itu tidak rinci. Di prasasti hanya disebut dengan istilah yang mempunyai arti sama, yaitu mengganggu. Beberapa istilah yang biasa digunakan adalah  umulahulah  atau  ulahula, langgana, mungkil-mungkil,  dan  angruddha. Sejumlah prasasti juga menyebut daftar orang-orang yang dilarang mengganggu  sima  dan sanksinya. Meski memang sima  tak boleh diganggu siapa pun. Dalam prasasti disebutkan:  wang kabeh mageng admit sakwirnya.  Lalu diikuti dengan rinciannya yang terdiri atas caturasrama  ( brahmacari, grhasta, wanaprasta, biksuka ),  caturwarna  (Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra), pejabat desa ( apinghay, akurug ), dan terutama oleh raja dan  mantri . Pelakunya diancam dengan kutukan mengerikan. Dalam prasasti, kutukan ditemukan di bagian  sapatha.  Prasasti Pangumulan A dari 824 saka (902 M) misalnya. Di sana ada ancaman bagi yang merusak, mengusik tanah perdikan di desa Pangumulan, yang termasuk wilayah Puluwati. Itu terutama bagi yang melenyapkannya. Ia akan menemui  pañcamahāpātaka , lamanya seperti bulan berada di angkasa menerangi dunia .  Pinardi menjelaskan  pañcamahāpātaka  adalah lima dosa besar dan hukumannya. Prasasti Mantyāsih dari 829 Saka (907 M) menjelaskan lima dosa besar itu adalah membunuh seorang brahmana, melakukan  lamwukanyā  (?), durhaka kepada guru, membunuh janin, berhubungan dengan orang yang melakukan empat kejahatan di atas.  Pinardi mengatakan sanksi kutuk biasanya akan dibacakan pemimpin upacara ( sang akudur ) sambil memperlihatkan tindakan simbolik dengan memotong leher ayam di atas landasan  watu kalumpang  dan membanting telur di atas  watu sima.  Terkadang juga sambil menaburkan abu. Itu seperti yang ada dalam Prasasti Balitung II (Prasasti Wukajana) dari 830 Saka (908 M): “barangsiapa berani mengusik  sima  di Wukajana ibarat kepala ayam yang putus dari badannya dan takkan kembali lagi. Ia ibarat telur yang hancur lebur takkan kembali utuh. Ia juga bakal bernasib seperti kayu yang jadi abu karena hangus terbakar.” Ditambah lagi dengan ancaman “bila orang yang bersalah pergi ke hutan ia akan dipatuk ular. Bila pergi ke ladang, ia akan disambar petir, meski hari itu tak hujan. Bila datang ke sungai agar dibelit  tuwiran  (binatang air). Selanjutnya, ia akan menanggung lima dosa yang sangat besar  pañcamahāpātaka.” “Tampaklah ada upaya mencegah kejahatan yang akan ditujukan terhadap keabsahan prasasti, karena prasasti tersebut berlaku sepanjang zaman ( dlaha ning dlaha,  red),” jelas Pinardi.

  • Cara Belanda Tangani Penderita Gangguan Jiwa

    Dimin kesal, lantas mengamuk. Dia hendak membakar rumah tetangganya. Ribut-ribut tak dapat dihindarkan. Akhirnya, Dimin ditangkap polisi lantaran dianggap pengacau dan mengancam keselamatan keluarga juga para tetangganya. Tak berapa lama dikurung di Penjara Rembang, petugas penjara menemukan ada yang ganjil pada Dimin. Seorang dokter kemudian dipanggil untuk memeriksanya. Rupanya, Dimin bukan seorang kriminal melainkan penderita gangguan kesehatan jiwa. Maka, Dimin dipindahkan ke Layanan Kesehatan Jiwa Magelang yang dibiayai pemerintah Belanda. “Dimin datang dari keluarga petani. Dia tidak harus membayar biaya pengobatan karena itu digratiskan,” kata Sebastiaan Broere yang meneliti tentang Rumah Sakit Jiwa di Magelang dan Yogyakarta pada Historia . Dimin termasuk penderita gangguan jiwa yang beruntung. Orang lain yang seperti Dimin ada yang dikurung, dipasung, bahkan dibunuh karena dinggap amat mengganggu dan membahayakan masyarakat. Mereka yang bernasib mujur, bertemu atau dilaporkan polisi, berakhir di layanan kesehatan pemerintah kolonial. Tapi mereka yang “kurang mengganggu dan mengancam” masyarakat tidak bisa mendapat layanan ini. Dari penelusuran Broere, sekira 30 persen pasien di Layanan Kesehatan Jiwa Magelang merupakan penderita gangguan jiwa yang menjadi gelandangan. Kebanyakan kasusnya seperti Dimin, mengamuk lantas ditangkap polisi dan dimasukkan ke penjara terlebih dulu. Mereka dirawat secara cuma-cuma dan menjadi tanggungan pemerintah Belanda. “Saya pikir mereka (orang Belanda) juga merasa takut. Mereka merasa tidak aman di Hindia. Saya kira mereka begitu ketakutan pada orang Indonesia yang menderita gangguan mental atau orang yang terserang amok, bisa membunuh mereka, makanya dibentuklah layanan kesehatan mental,” kata Broere. Jika Dimin masuk karena dianggap mengganggu, lain lagi dengan Raden Mas Hardjosentono yang masuk Layanan Kesehatan Jiwa Magelang diantar oleh salah satu anaknya. Sejak mengalami kesulitan finansial, Hardjisentono stres dan berujung depresi. Anaknya menyebut Hardjosentono bingung. Atas saran dari keluarga besar yang merupakan priyayi ini, anaknya mengantar Hardjosentono ke Magelang. Keluarga berharap Hardjosentono bisa sembuh dari gangguan jiwanya dan kembali seperti semula. Dimin dan Hardjosentono (keduanya nama rekaan dalam penelitian Broere) masuk pada 1930-an ketika pelayanan kesehatan mental Hindia-Belanda sudah cukup mapan. Layanan kesehatan jiwa di masa ini sudah terintegrasi dengan rumahsakit transit (sebelum masuk ke Magelang) dan jaringan perkebunan yang digunakan sebagai masa percobaan sebelum pasien dilepas kembali ke masyarakat. Pasien-pasien pada layanan kesehatan jiwa di Magelang datang dari kondisi seperti Dimin dan Hardjosentono. Namun ada pula yang dirawat sambil didampingi keluarga mereka meski pada akhirnya dititipkan di sana lantaran keluarga tak bisa seterusnya menunggui mereka. Hans Pols dalam artikelnya “The Development of Psychiatry in Indonesia: From Colonial to Modern Times” menyebut pasien pribumi sembuh lebih cepat dibanding pasien-pasien Eropa. Pols mengutip dokter Belanda, PMH Travaligno, yang menyelidiki gejala skizofrenia di Jawa, bahwa halusinasi lewat penglihatan dan pendengaran jarang terjadi di kalangan penderita skizofrenia Jawa. Penderita skizofrenia Jawa, menurut Travaglino, biasanya berperilaku agresif dengan mengamuk. Mereka juga bicara sendiri, berteriak, bernyanyi, dan memaki. Terkadang, mereka terlibat keributan karena mengganggu orang dengan merobek pakaian orang lain, merusak barang, atau memukul orang. Pasien-pasien ini mengalami disorientasi, kurang konsentrasi, sangat gelisah, dan histeris. Namun, kutip Pols, sebagian besar pasien pulih dalam waktu seminggu. Ketika pasien gangguan jiwa di Magelang dianggap sudah sembuh, petugas kesehatan akan megirimkan surat, memberi kabar kesembuhan pasien. Keluarga pasien juga bisa mengajukan pembebasan rehabilitasi. Mereka yang masuk karena ditangkap polisi akan dibebaskan dengan diberi keterampilan bertani. Namun bila pasien gangguan jiwa masih suka mengamuk dan berpotensi mengancam lingkungan sekitar, mereka tidak akan dilepaskan. Kehadiran layanan kesehatan mental di Magelang menjadi titik cerah untuk para penderita gangguan mental terhindar dari pasungan juga penelantaran. “Layanan kesehatan jiwa Magelang menjadi tempat aman bagi para pasien agar bisa pulih dari masalah mental dan menemukan jalan kembali ke masyarakat,” tulis Broere dalam penelitiannya,  In and Out of Magelang Asylum.

  • Museum PDRI Riwayatmu Kini

    KETIKA berpidato membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional RKP 2019 di Grand Sahid Jaya, Jakarta pengujung April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung banyaknya pembangunan yang dijalankan dengan perencaan tak matang. “Ada pelabuhan nggak ada jalannya. Banyak, ada 30 pelabuhan, ada pelabuhan nggak ada jalannya. Ini perencanaan nggak ada waduk, dan nggak ada irigasinya. Hati-hati yang namanya perencanaan. Ada museum di tengah hutan,” ungkap Presiden Jokowi. Museum di tengah hutan yang disebut Presiden Jokowi merujuk pada bangunan terlantar di Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Berjarak 48 km dari kota Payakumbuh, lokasinya berada di rimba Aia Angek. Untuk mencapainya, pengunjung harus melintasi jalan kecil beraspal tipis terkelupas di sana-sini diselingi lubang menganga. Setibanya di lokasi, dari kejauhan tampak dua bangunan mirip Tongkonan –rumah adat suku Toraja. Keduanya masih berbentuk kerangka dirambati tumbuhan liar, berdiri di atas tanah merah, menyembul di antara lebat pepohonan. Tak jauh dari dua bangunan utama yang berlawanan kutub itu, dua barak pekerja kondisinya sudah lusuh. Di dalamnya serba berantakan. Berada di areal seluas 20 hektar hibah dari Zainir Datuak Pajuang, tokoh masyarakat setempat yang keluarganya turut dalam perjuangan PDRI, bangunan yang digadang-gadang sebagai situs kunjungan wisata sejarah itu kini terbengkalai. Kendati demikian, pemerintah Provinsi Sumatera Barat berkukuh proyek pembangunan tersebut tidak mangkrak dengan argumen: “lemahnya komitmen penganggaran dari kementerian yang terlibat sejak awal.” Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit menegaskan proyek pembangunan museum PDRI tidak bisa disebut mangkrak. “Tidak mangkrak, kita sudah lakukan pertemuan beberapa waktu, dengan hasil tahun ini dialokasikan Rp5 milyar. Selama ini dikelola oleh kabupaten (Limapuluh Kota), kita mau tarik ke provinsi dengan Dinas PUPR mengelola berikutnya, sehingga ada yang bertanggung jawab penuh. Kami berharap enam kementerian untuk bisa menyalurkan dana sesuai komitmen awal,” kata Nasrul Abit. Mengacu pada keputusan Menteri Pertahanan nomor: KEP/741/M/VIII/2012 tentang Penetapan Tim Teknis Pembangunan Monumen Bela Negara, dan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 180/723/Huk/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 460-15-2011 tentang Pembentukan Panitia Pembangunan Monumen dan Tugu Bela Negara di tingkat Provinsi Sumatera Barat, sumber pembiayaan disepakati dari APBN yang dialokasikan dalam anggaran Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Sosial. Dari dokumen yang diterbitkan pemerintah provinsi Sumatera Barat tentang perkembangan pembangunan Monumen Bela Negara di Koto Tinggi, estimasi anggaran yang dibutuhkan menyentuh angka Rp.553,5 miliar. Sementara, hingga saat ini realisasinya baru Rp49,5 milyar. Rinciannya anggaran yang telah dialokasikan berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp40,8 milyar. Anggaran tersebut dialokasikan secara bertahap dalam rentang 2012-2016. Informasi jumlah alokasi dana yang diperoleh dari dokumen Pemprov Sumbar berbeda dari keterangan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Hilmar Farid saat mengunjungi Koto Tinggi tahun lalu. Dia mengungkapkan, hingga 2016 pembangunan museum PDRI telah menelan anggaran Rp52,5 milyar. “Total anggaran pembangunan museum hingga 2019, akan menelan Rp80 miliar,” katanya. Tahun 2017, sama sekali tidak ada gelontoran dana dari Kemendikbud.  “Tidak berlanjut atau off pada tahun 2017. Tahun ini (anggaran 2018) mau masuk,” ujar Nasrul Abit. Sementara, Pemda Sumatera Barat telah menggelontorkan dana Rp6,5 milyar sejak 2012 sampai 2017. Lalu, Pemkab Limapuluh Kota mengucurkan dana APBD sebesar Rp2,2 milyar. Menurut Nasrul, anggaran dari Kemendikbud dipergunakan untuk pembangunan museum. Sementara APBD dari provinsi digunakan untuk pembukaan lajur jalan, termasuk jalan lingkungan. Sedangkan dana ABPD Kabupaten Limapuluh Kota ditujukan untuk pembangunan jalan dan pembebasan lahan. Berharap Rimba Jadi Kawasan Wisata Pola penganggaran semakin menampakkan semangat yang menaungi proyek ini. Cara pandang pemerintah Sumatera Barat, proyek ini mengerek pembangunan yang kurang menyentuh daerah di punggukan Bukit Barisan ini. Muaranya, keberadaan museum diharapkan memacu pariwisata, menggeliatkan ekonomi. Berhubung di level pusat Kemendikbud bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA), sehingga turunannya, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Limapuluh Kota menjadi instansi yang didaulat mengurusi proyek ini di masa awal, sebelum diserahkan ke provinsi. Zulhikmi, kepala dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Limapuluh Kota di masa awal (2012), ditunjuk menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Zulhikmi menjelaskan, pada 2012, pembangunan museum baru sekadar penanda yakni peletakan batu pertama. Di tahun itu juga Dinas PU meneroka dan menapaki jalan lingkung. Setahun berikutnya, cerita Zulhikmi, Kemendikbud mencairkan dana Rp.20 miliar untuk pembangunan fisik museum. “Tidak terserap semua. Yang habis 16 miliar, sesuai nilai kontrak,” tukasnya. “Kegunaannya untuk pembangunan (yang terlihat sekarang). Tapi itu sudah bertambah. Sudah tiga tahun berjalan. Saya tahun pertama (sebagai KPA),” ujar Zulhikmi saat ditemui di kediamannya di sisi GOR Singa Harau, Sarilamak, Kabupaten Limapuluh Kota. Seturut yang dia ketahui, hingga tahun 2015 pembangunan masih berjalan. Dia juga menyebutkan, pada masa awal, proyek dikerjakan oleh kontraktor asal Bandung. Saat itu, Irjen juga melakukan pemeriksaan. Zulhikmi mengaku, membangun proyek menumental tersebut di lahan yang mesti diteroka teramatlah sulit. Terlebih, tanah merahnya pasti lembek jika hujan turun. “Tahun pertama, akses jalan susah. Hari penghujan. Susah alat berat masuk. Mobilisasi susah,” bebernya. Dia merasa, mangkraknya pembangunan museum lantaran lembaga yang terlibat tidak seayun. Dia mencontohkan, kenapa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang seakan-akan punya proyek tersendiri, padahal koordinator awalnya Kemenhan. Pada 24 April 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajjir Effendy dan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Hilmar Farid meninjau Aia Angek, Koto Tinggi. Kedatangan mereka untuk mengevaluasi kelayakan dan melihat berbagai sisi antara dana yang dikeluarkan dengan manfaat yang didapatkan dari proyek museum tersebut. “Ini perintah langsung Presiden Joko Widodo. Melihat proyek yang belum selesai,” ujar Muhajjir. Secara keseluruhan, Muhajjir mengatakan, terdapat 13 pembangunan museum yang akan dievaluasi, dan Museum PDRI merupakan salah satu yang turut ditinjau ulang. “Indikator evaluasi berupa besar alokasi dana yang dikeluarkan dengan manfaat yang akan didapatkan bagi masyarakat,” sebutnya. Sementara, Hilmar mengatakan, meski pembangunan Museum PDRI melibatkan inisiasi lima kementerian, hanya Kemendikbud yang menampakkan komitmennya. “Baru Kemendikbud yang menggelontorkan anggaran, sementara kementerian lain belum. Kita lihat langsung hasil tinjauan ini dan akan membawa langsung kepada kementerian-kementerian yang bersepakat itu. Nantinya, hasil ini akan dibawa ke rapat terbatas presiden,” ujar Himar. Mendikbud Muhajjir yang pasti menggarisbawahi alokasi anggaran untuk pembangunan Museum PDRI sudah dihentikan sejak tahun lalu, untuk menunggu keputusan dari evaluasi pembangunan museum tersebut. Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan tidak sepakat jika sengkarut anggaran musabab tidak berlanjutnya pembangunan Museum PDRI. Kondisi yang terhampar saat ini, menurutnya, bentuk ketidakseriusan pemerintah. Separuh hati menunaikan konpensasi atau penghargaan pada basis dan orang-orang PDRI. Sekretaris Yayasan Peduli Pejuang (YPP) PDRI tahun 1948-1949 Sumatera Barat itu menegaskan, mestinya pemerintah (pusat) membuka mata betapa basis (kantong) PDRI masih tertinggal, sehingga pembangunan Museum PDRI penting untuk menyulut percepatan pembangunan infrastruktur. “Mestinya konsep 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) memasukkan Koto Tinggi dan basis lain dengan membangun infrastruktur. Kemampuan YPP PDRI hanya seminar dan menerbitkan buku,” ujarnya. Baginya, pernyataan Mendikbud Muhajjir Effendy yang memberi sinyal bakal mengevaluasi atau tidak melanjutkan pembangunan ‘Monas’ (Museum) PDRI sebagai penghianatan terhadap sejarah. “Selaku putra daerah yang juga pengurus YPP-PDRI tahun 1948-1949, kami tentu keberatan mendengar sinyal Pak Mendikbud. Pak menteri seyogianya lebih memahami sejarah PDRI dan ikut mendorong melanjutkan proyek yang tengah mangkrak. Bahasanya jangan dihentikan, karena Pak Mendikbud bisa menghianati sejarah,” kata Ferizal. Ferizal mengaku akan sangat kecewa dan menyesalkan apabila pihak kementerian mengambil langkah penghentian pembangunan monumen PDRI di Kototinggi hanya karena alasan teknis pengerjaan oleh perusahaan pelaksana proyek. Karena, itu merupakan tanggung-jawab penuh perusahaan pelaksana proyek. “Tentu saja, banyak tokoh dan masyarakat di daerah kami akan dirugikan jika saja pembangunan monumen (PDRI) dihentikan. Karena tidak sedikit upaya yang sudah dilakukan guna memperjuangkan serta mengupayakan pelurusan sejarah bangsa ini. Jangan hanya karena muak melihat satu tikus, lalu lumbung dibakar,” tutur Ferizal. Dia mengharapkan Kementerian jangan hanya mempertimbangkan tata-letak koordinat atau masalah kegagalan teknisnya. “Tapi mendikbud kiranya perlu mempertimbangkan dan evaluasi atas kelanjutan anggaran atau kompensasi lainnya sesuai komitmen yang sudah dibuat,” tukas Ferizal. Ferizal mengajak mendikbud memahami sejarah tentang PDRI 1948-1949 yang menjadi mata rantai agenda nasional, yakni Bela Negara. “Harusnya, mendikbud bisa mengedukasi masyarakat melalui tupoksinya, bagaimana mengupayakan pemuatan sejarah PDRI di kurikulum pendidikan,” pungkas Ferizal. Penulis adalah kontributor Historia di Sumatra Barat.

  • Menanti Museum PDRI yang Tak Kunjung Berdiri

    SEMBILAN belas Desember tiga tahun setelah Indonesia merdeka, dalam Agresi Militer II, Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Tiga hari kemudian, Sjafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Demi mengabadikan peristiwa bersejarah itu, pada 2012 pemerintah provinsi Sumatra Barat, Kementrian Pertahanan (Kemenhan), Kemendikbud, Kementrian Sosial (Kemensos), dan Universitas Pertahanan (Unhan) menyusun rencana pembangunan kawasan luas bernama Monumen dan Tugu Bela Negara di Koto Tinggi, Gunung Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Monumen itu dibuat sebagai penanda di kawasan tersebut pernah berdiri PDRI selama 1948-1949. Berbagai fasilitas akan dibangun di sana, terutama sebuah Museum PDRI yang megah. Namun, sejak digagas pada 2012 yang lampau kawasan seluas 50 hektare itu tak banyak mengalami perubahan dari kondisi semula. Padahal hingga 2017, demi membangun museum PDRI, pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 44,03 milyar. Sebuah bangunan setengah rampung berdiri mencuat di tengahnya, jadi yang paling mencolok. Itulah gedung museum yang terlihat terbengkalai di tengah hutan Koto Tinggi. Pembangunan yang tak kunjung rampung menuai banyak kritik. Hingga kini Museum PDRI dicap khalayak sebagai proyek mangkrak. Bukan cuma itu, penentuan lokasi yang berjarak 80 km dari Kota Bukittinggi dan 250 km dari kota Padang itu pun dipermasalahkan. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Harry Widianto menjelaskan, museum merupakan satu bagian dari pembangunan Kawasan Monumen dan Tugu Bela Negara. Pembukaan areal baru ini diharapkan bisa menjadi tujuan wisata baru di Sumatra Barat. “Jadi sebenarnya pembukaan areal untuk PDRI ini tidak hanya ada museum di situ,” lanjut Harry, ketika ditemui Mei lalu di kantornya. Gagasan pembangunan Kawasan Monumen dan Tugu Bela Negara itu diawali dengan rapat koordinasi pada 2012 yang dihadiri Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat, Kemenhan, Kemendikbud, Kemensos, dan Universitas Pertahanan. “Museum ini dimulai dengan ide. Pada 2012 sudah dirapatkan, kami setuju dan ini merupakan kerja bersama kementrian dan lembaga lain,” katanya. Dari sana, Kemendikbud kebagian tugas untuk membangun Museum PDRI. Selain Kemendikbud, ada lima kementrian lain yang diberi tugas, yaitu Kemenhan, Kemensos, Kemen PUPR, Kementrian Dalam Negeri, dan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “Museumnya dibuat oleh kemendikbud. Buka lahan oleh Kemen PUPR, pariwisata oleh Kemenpar, tentang historis oleh Kemenhan. Leading sector di Kemenhan. Kalau dibayangkan ini tuh kerja kolektif beberapa lembaga,” jelas Harry. Sayangnya, di antara semua kementrian itu, hingga kini hanya tinggal Kemendikbud yang masih melanjutkan tugasnya. Setiap tahun sejak 2012 pihaknya terus menganggarkan dana agar proyek itu segerta terselesaikan. Namun, kata Harry, karena mencolok sebagai satu-satunya bangunan besar di kawasan itu, Museum PDRI pun nampak seperti bangunan yang mangkrak di tengah antah-berantah. “Ketika dibawa ke rapat teras, presiden bilang kok Kemendikbud bangun museum di tengah hutan? itu kelihatannya sekarang, karena semua nggak gerak. Hanya Kemendikbud yang tetap pada kesepakatan 2012,” ucapnya. Soal lokasi, penetuannya pun bukan asal. Ini dilakukan melalui seminar yang dihadiri oleh para pakar. Dari seminar itu ditunjuk lokasi yang dianggap paling historis dalam PDRI. “Itu recommended, given dari pemerintah sana (Pemprov, Red.). Jatuhnya memang jadi jauh dari kota,” jelas Harry. Ia pun menjamin koleksi yang akan dipajang di museum nantinya sudah jelas. Dengan adanya tim ahli, pengisian koleksi di Museum PDRI sudah melalui kajian. Meski memang, sejauh ini keberadaan koleksi masih tersebar. Sebagian masih ada di perguruan tinggi, legiun veteran, dan masyarakat, terutama dari keturunan pelaku sejarah terkait PDRI. Walaupun dalam kajian sudah diamanatkan, koleksi belum berani dikumpulkan karena tempat belum siap. “Ketika bangunan jadi pasti sudah ada. Nggak ada kendala soal ini. Kalau nggak ada koleksi ngapain bikin museum?” ujar dia. Lalu kapan rampungnya? Kata Harry, itu tergantung dari dana yang tersedia. Hingga saat ini pihaknya membutuhkan dana sekira Rp 200-an milyar untuk menyelesaikan delapan museum, termasuk PDRI. Sementara anggaran untuk pembangunan museum per tahunnya tak mencukupi untuk menyelesaikan semuanya. “Semua museum per tahun, nggak bisa multiyear. Duit dibagi-bagi ke museum lain. Idealnya museum buatnya satu tahun selesai. Tapi kan nggak , kita sharing ,” terangnya. Misalnya, dalam suatu proyek dana yang dibutuhkan mencapai Rp 60 milyar. Dalam setahun dana yang turun hanya Rp 10 milyar. Akibatnya, proyek baru bisa terselesaikan dalam enam tahun. Untuk Museum PDRI, rencana anggarannya memang tak sedikit. Proyek ini mencapai Rp85 milyar. Artinya dengan rancangan anggaran sebesar itu dan banyaknya dana yang sudah digelontorkan masih butuh dana sekira Rp40,9 milyar lagi. Di samping lokasinya yang jauh, volume bangunannya juga besar. Sampai kini, pemerintah baru berhasil mewujudkan 50 persen bangunannya. “Museum PDRI tidak terlantar, diteruskan. Jadi bukan mangkrak,” lanjutnya. Namun, untuk mempercepat agar keseluruhan Kawasan Monuman dan Tugu Bela Negara terselesaikan sesuai cita-cita 2012 silam, menurutnya sangat dibutuhkan adanya Keputusan Presiden (Keppres). Keppres ini pula yang dinilai bisa mendorong kementrian lainnya untuk merealisasikan komitmen enam tahun lalu. “Ini kan jadinya kami yang paling kerja sendirian, kami yang kena getahnya. Kalau semua kementrian gerak ini daerah pasti sudah bagus,” ucap Harry.

  • Jalan Panjang Menuju Museum PDRI

    HINGGA saat ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI membutuhkan dana hingga Rp200 miliar untuk merampungkan pembangunan delapan museum, termasuk Museum PDRI. Sejak digagas enam tahun lalu, museum di Koto Tinggi, Gunung Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat itu tak kunjung selesai dibangun. “Kalau dikasih 200 milyar pasti selesai. Kemarin ada pembahasan, alokasi 2017 sudah dikasih, belum ada jadwal menyelesaikan semua,” ujar Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto, ketika ditemui di kantornya. Ia menjelaskan, anggaran untuk pembangunan museum per tahunnya tak mencukupi untuk menyelesaikan semuanya. Untuk Museum PDRI, rencana anggarannya memang tak sedikit. Rencana anggaran proyek ini mencapai Rp85 milyar. Di samping lokasinya yang jauh, volume bangunannya juga besar. Sampai kini, pemerintah baru berhasil mewujudkan 50 persen bangunannya. “Semua museum per tahun, nggak bisa multiyear . Dana dibagi-bagi ke museum lain. Idealnya museum buatnya satu tahun selesai. Tapi kan nggak, kita sharing,” terangnya. Terkait pengerjaan Museum PDRI, berdasarkan data Ditjen PCBM, pihaknya telah mengucurkan dana hingga Rp44 milyar. Pembangunannya dimulai sejak 2012, didahului dengan penyusunan rencana induk hingga seminar nasional, baik di Padang maupun di Jakarta, pada 2012. Setahun setelahnya, prosesnya diserahkan kepada Pemkab Lima Puluh Kota. Pekerjaan fisik museum dimulai pada 2013 dengan anggaran sebesar Rp20 milyar. Waktu itu yang dikerjakan adalah pematangan lahan, membuat auditorium, yaitu bagian pondasi, lantai, dan kolom setinggi 6 meter, membuat pondasi, lantai, kolom lantai untuk museumnya, serta pekerjaan turab. Dari web Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemkab Lima Puluh Kota, diketahui pekerjaan konstruksi dilakukan oleh PT. Delima Agung Utama. Pada 2014, pembangunan tahap kedua dilanjutkan dengan anggaran mencapai Rp10 milyar. Lelang pekerjaan konstruksi tahun ini dimenangkan oleh PT. Tasya Total Persada. Pekerjaan yang dilakukan melanjutkan pembangunan auditorium dan museum. Pembangunan museum masih berlanjut pada 2015, dengan anggaran sebesar Rp12,5 milyar. Pekerjaan konstruksinya dilakukan oleh PT. Betania Prima. Pada tahap ketiga pekerjaan ini, masih melanjutkan membangun bagian auditorium, rangka atap, dan penutup atap. Pada 2016 tidak ada pelaksanaan fisik karena terjadi penghematan (Self bloking) sebesar Rp 8,5 milyar. Pekerjaan yang dilakukan adalah meninjau kembali (review) detail engineering desaign (DED). Alasannya, perencanaan yang telah ada dinilai sangat umum. Beberapa pekerjaan tak dijabarkan detil. “Pekerjaan itu baru diserahterimakan pada 26 Oktober 2016, sehingga tidak cukup waktu untuk lelang dan pelaksanaan fisik,” tulis keterangan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) PCBM tahun 2016. Pada tahun-tahun sebelumnya, lelang biasanya dilakukan di pertengahan tahun, sekira Juni-Juli oleh Pemkab. Dalam laporan itu dijelaskan pula keterlambatan pekerjaan perencanaan DED ini disebabkan terlambat datangnya dokumen konsep awal dari pemenang sayembara. “Masalah dokumen perencanaan, kami melakukan diskusi, rapat dengan pemenang sayembara dan PT. Hardja Moekti Consultant,” tulis laporan itu. Pada 2017, pekerjaan fisik tak dilakukan juga. Pemkab Lima Puluh Kota menyatakan diri tak sanggup melanjutkan pembangunan. Karenanya, anggaran sebesar Rp5 milyar dialihkan pada pembangunan museum lainnya. “Tiap tahun ada alokasi, kecuali 2017 kemarin dikembalikan lagi ke kami, karena (Pemkab, red. ) nggak sanggup. Nggak tau, ini ada masalah internal jadi dioper ke propinsi,” jelas Harry. Terakhir, pada 2018 berdasarkan publikasi laman Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah, Direktorat Perencanaan dan evaluasi pengadaan (Sirup LKPP), pembangunan fisik Museum PDRI dilanjutkan. Tercantum di sana dana sebesar Rp5 milyar telah dianggarkan oleh Kemendikbud. “Jadi, museum PDRI tidak terlantar. Diteruskan,” tegas Harry.

  • Mangkraknya Museum Kami

    PEJABAT dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Provinsi Sumatera Barat bersikukuh bahwa pembangunan Museum Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)  di Koto Tinggi bukan mangkrak namun hanya “membutuhkan dana dan komitmen besar” dari berbagai pihak yang terlibat dalam pekerjaan ini. Untuk mewujudkan ide pembangunan museum yang digagas sejak 2012 itu, pemerintah Provinsi Sumatera Barat bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kemendikbud, Kementrian Sosial (Kemensos), dan Universitas Pertahanan (Unhan).  Dana yang sudah digelontorkan pun fantastis jumlahnya: Rp44 milyar dari total kebutuhan sekitar Rp85 milyar.   Mengapa untuk membangun museum butuh dana sebesar itu? Ternyata lokasi bersejarah PDRI berada di tengah hutan rimba. Pemerintah mendesain kawasan seluas 50 hektar itu sebagai tujuan wisata baru yang diharapkan bisa membuka akses wilayah sekaligus membawa dampak ekonomi bagi warga sekitar. Jadi tak hanya museum yang dibangun, melainkan pula fasilitas jalan raya untuk menembus hutan menuju lokasi. Dan memang ketika Mr. Sjafruddin Prawiranegara memutuskan mengambilalih tanggungjawab Sukarno sebagai pemimpin Republik Indonesia, dia harus berlindung di balik pepohonan lebat di tengah hutan itu. Sampai-sampai ada istilah guyonan waktu itu kalau pemerintah Republik Indonesia dikendalikan dari “Somewhere in the jungle”, sebuah tempat di hutan entah di mana. Kini, proyek pembangunan terhenti. Baiklah, bukan mangkrak. Berhenti karena dana yang tak kunjung mengalir dan komitmen yang kurang kuat di antara pelaksana gagasan besar itu. Pertanyaannya, apakah tidak sejak awal diperhitungkan segala risikonya? Bagaimana dengan animo masyarakat untuk berkunjung ke lokasi museum? Seyakin apa penggagas museum terhadap antusiasme warga untuk berkunjung ke sana dan meramaikan museum? Terakhir: apakah situs bersejarah yang penting artinya untuk republik ini harus selalu diwujudkan dengan museum megah? Historia.id memilih tema pembangunan Museum PDRI yang terhenti ini sebagai tema laporan khusus. Ini penting karena dari beberapa museum yang dibangun pemerintah sejak 2013, sebut semisal Museum Morotai dan Museum Api Abadi di Grobogan, Jawa Tengah, proses penyelesaiannya macet. Menyisakan sejumlah pertanyaan tentang manajemen proyek yang terkesan kurang perhitungan dan lagi-lagi keseriusan pengerjaannya. Selamat membaca. Berikut ini laporan khusus museum mangkrak: Jalan Panjang Menuju Museum PDRI Menanti Museum PDRI yang Tak Kunjung Berdiri Museum PDRI Riwayatmu Kini

bottom of page