Hasil pencarian
9589 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet
PRESIDEN Sukarno gusar begitu mendengar kapal induk Belanda, Karel Doorman, memasuki Irian Barat. Hubungan Indonesia dan Belanda makin panas menuju ke arah perang. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Abdul Haris Nasution merangkap Menteri Pertahanan, dipanggil menghadap Sukarno Di Istana Negara, sebuah misi terucap dari Bung Karno. Dalam memoarnya, Nasution mengingat pembicaraan itu berlangsung sekira akhir November atau awal Desember 1960. “Nas, kamu saya utus ke Moskow. Persiapkan segala sesuatu,” demikian perintah lisan Sukarno kenang Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama. Presiden Sukarno meminta Nasution membeli senjata berat milik pemerintah Uni Soviet. Bagi Nasution, order itu ibarat menjilat ludah sendiri. Pemerintah Uni Soviet, sebelumnya telah menawarkan bantuan militer untuk menjual alat utama sistem persenjataannya kepada Indonesia. Tawaran tersebut disampaikan Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev dalam lawatannya ke Indonesia pada Februari 1960. Namun atas permintaan Angkatan Darat, tawaran Khrushchev ditangguhkan. Nasution masih berkeyakinan senjata berat yang dibutuhkan dapat diperoleh dari Amerika Serikat (AS). “PM Khrushchev membuka jalan untuk pembelian senjata bagi TNI. Tapi saya mendahulukan untuk memperoleh di AS,” ujar Nasution. “Misi Nasution” Pada Oktober 1960, Nasution mencoba melobi AS untuk memperoleh senjata berat ofensif. Walhasil Nasution pulang dengan tangan hampa. Presiden Eisenhower enggan menjual persenjataanya kepada Indonesia lantaran terikat persekutuan dengan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Bagi Presiden Sukarno tiba saatnya menempatkan Uni Soviet sebagai kekuatan penyeimbang. Jenderal Nasution diutus ke Moskow pada akhir Desember 1960. Selama seminggu proses negosiasi, persetujuan pembelian senjata berhasil rampung pada 6 Januari 1961. Diplomat kawakan Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno mencatat kerjasama militer itu tertera dalam piagam ”untuk membela perdamaian dan persaudaraan di Asia Tenggara”. Di Moskow, Nasution mendapat pelayanan yang menyenangkan dari pemerintah Uni Soviet. Kesempatan berpidato di Istana Kremlin digunakan Nasution untuk menyatakan terimakasih. Nasution juga mengapresisasi sikap bersahabat yang ditunjukan Nikita Khruschev terhadap dirinya. “Saya menyatakan bahwa RI dan Uni Soviet mempunyai ideologi dan sitem yang berbeda, yang satu adalah Pancasila dan yang lain adalah Marxisme. Namun terjadi kerja sama yang erat dengan dasar politik yang sama ialah anti-kolonialisme,” kata Nasution dihadapan petinggi pemerintah Soviet. Ketika Nasution kembali ke tempat duduknya, Khrushchev menyambut Nasution dengan kata-kata “orator, orator”. Misi Nasution pulang ke Indonesia dengan membawa peralatan tempur senilai $ 450 juta. Mekanisme pembayaran dilakukan secara kredit berjangka 20 tahun dengan bunga 2,5 persen. Kebutuhan Angkatan Laut dan Angkatan Udara menempati slot utama dalam agenda pembelian tersebut. “Yang terbesar ialah untuk AL,” ungkap Nasution. “Termasuk 12 kapal selam, belasan kapal roket cepat, pesawat-pesawat AL, helikopter-helikopter dan peralatan amfibi untuk KKO lebih kurang 3 resimen.” Angkatan Udara memperoleh pesawat jet tempur, pesawat pembom, dan sistem pertahanan udara beserta radarnya. Sedangkan untuk Angkatan Darat terbatas pada tank dan perlengkapan artileri. Kontrak tersebut masih akan terus disesuaikan kebutuhannya untuk satu semester ke depan. Pasalnya, sistem persenjataan Soviet yang dialihkan untuk Indonesia memerlukan waktu dalam operasionalnya yang meliputi: proses pengiriman, persiapan pangkalan udara dan laut, serta pelatihan teknisi. Oleh karenanya, Indonesia masih terikat untuk melanjutkan pembelian senjata dari Uni Soviet pada bulan Juni 1961. Angkatan Perang Terkuat Walaupun belum siap tempur, persenjataan dari Uni Soviet memberi suntikan moral bagi Angkatan Perang Indonesia. Menurut Johannes Soedjati Djiwandono dalam Konfrontasi Revisited: Indonesia Foreign Policy Under Soekarno, Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang memperoleh senjata berat termutakhir dari Uni Soviet. Beberapa diantaranya seperti pesawat bomber jarak menengah TU-16 dan pesawat jet tempur MIG-21. Untuk mengimbangi Kareel Doorman , Indonesia memesan sebuah kapal penjelajah Soviet yang kemudian dinamai KRI Irian berbobot 16640 ton. Tak ayal lagi, kekuatan militer Indonesia pada saat itu merupakan yang terkuat di belahan bumi bagian selatan. Sejarawan University of Connecticut, Bradley Simpsons yang mendalami kajian Asia menyebutkan keberhasilan misi Nasution berdampak besar terhadap pertarungan Perang Dingin. Pengaruh Soviet kian menguat di tubuh Angkatan Perang Indonesia. Pimpinan Angkatan Darat seperti Nasution yang antikomunis sekalipun bersimpati atas jasa Soviet memodernasi TNI. “Bantuan militer Soviet secara signifikan telah memperkuat posisi Moskow di Angkatan Laut dan Angkatan Udara Indonesia, dan perwira-perwira Angkatan Darat di Jawa seperti Jenderal Nasution, yang sudah lama mencurigai dukungan Amerika Serikat kepada PRRI,” tulis Simpsons dalam Economist with Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru . Di sisi lain, peran Soviet di Indonesia membuat Presiden AS John F. Kennedy yang baru terpilih jadi gelisah. Pemerintahan Sukarno yang condong ke blok Soviet mulai memaksa AS untuk ikut ambil bagian dalam konflik Irian Barat. Gedung Putih hanya akan dihadapkan pada dua pilihan: Indonesia atau Belanda.
- Akhir Tragis Seorang Atlet Prancis
SOROT matanya tajam. Meski posturnya hanya setinggi 5,5 kaki (165 cm), Violette Morris “memelihara” otot di berbagai bagian tubuhnya. Gadis Prancis itu perawakannya tak feminim. Hal itu membuat hidupnya kerap dikitari kontroversi. Namun, sejatinya dia dikenal sebagai atlet multitalenta. Atlet Multitalenta Lahir sebagai anak bungsu dari enam bersaudari pada 18 April 1893, Violette dianugerahi fisik yang atletis. “(Fisiknya) digambarkan seperti raksasa. Ukuran bisepsnya hampir 14 inci –seukuran rata-rata leher wanita. Namun sebenarnya tingginya hanya 5,5 kaki. Fisiknya sangat, sangat kuat,” ungkap sejarawan Anne Sebba dalam Les Parisiennes: How the Women of Paris Lived, Loved and Died in the 1940s . Sejak belia, dia menggandrungi beragam cabang olahraga. Kegandrungan itu terus berlanjut seiring bertambahnya usia. Namun, Violette terpaksa menghentikan hobinya menyusul pecahnya Perang Dunia I. Baru setelah perang usai Violette kembali menggeluti olahraga. Prestasi mulai berdatangan di cabang atletik nomor lempar lembing dan tolak peluru. Violette mulai menjadi pahlawan Prancis di tiga perhelatan Women’s World Games Monte Carlo: di edisi 1921, dia mendapat dua emas; pada 1922, meraih satu emas dan satu perak di nomor yang sama; dan di Women’s World Games 1923 Paris dia meraih satu perak. Violette tak hanya senang beragam olahraga tapi juga jago. Di luar atletik, dia pernah memperkuat tim polo air Prancis. Dia satu-satunya pemain perempuan lantaran saat itu belum ada tim polo air putri. Cabang-cabang lain yang digelutinya meliputi: gulat, tinju, renang, selam, tenis, panahan, berkuda, sepakbola putri hingga balap motor dan mobil. “ Ce qu’un homme fait, Violette peut le faire! ” atau “Apapun yang bisa dilakukan pria, Violette juga bisa!” begitu slogannya. Hingga 1926, Violette tercatat masuk di tim putri Femina Sports dan kemudian Olympique de Paris. “Dia juga bermain untuk tim nasional putri Prancis,” tulis Raymond Ruffin dalam Violette Morris: La Hyene de la Gestap. Nama Violette kian populer di Eropa dan Amerika setelah terjun ke arena balap. Terlebih, dia mampu memenangi Bol d’Or 1927. “Setelah empat tahun dimenangkan M Robert Senechal, balapan 24 jam Bol d’Or tahun ini dimenangkan pembalap putri, Madame Violette Morris dengan mobil BNC (kelas) 1.100cc yang melintasi trek sepanjang 1.006 mil,” tulis Tabloid Motor Sport edisi Juli 1927. Putar Haluan Di luar prestasi olahraga, kesenangan Violette tampil ke publik mengenakan celana panjang membuatnya jadi obrolan banyak orang. Kebiasaan itu dianggap sangat berani lantaran sejak era Napoleon, perempuan Prancis dilarang menggunakan celana panjang laiknya pria. Violette mulai melakukan itu sejak mengabdi di Palang Merah Prancis sebagai sopir ambulans pada Perang Dunia I (PD I). Bersama Cyprien Gouraud, pria yang menikahinya sesaat sebelum PD I, Violette terjun ke dalam perang. Sang suami sebagai infantri bertugas di garis depan sementara Violette bertugas sebagai perawat lalu sopir ambulans di Pertempuran Verdun dan Somme. Pernikahan keduanya bubar pada 1923. “Kemungkinan pernikahannya sudah diatur keluarga,” lanjut Sebba. Penampilan "kontroversial" Violette di depan publik terus berlanjut. Dia bahkan mulai senang mengenakan setelan jas pria, jadi perokok, dan dua kali melakukan bedah mastectomy untuk menghilangkan sepasang payudara besarnya. Publik juga mengetahui Violette sering hura-hura di Le Monocle, klub malam khusus lesbian di Paris. Pemerintah Prancis, yang menganggap gaya hidup Violette menyimpang, melarang dia tampil di Olimpiade 1928. Violette pun berang. Kemarahannya pada publik dan pers Prancis mendorongnya “merapat” ke Jerman yang sudah dikuasai Adolf Hitler dengan Nazisme-nya. Violette lantas direkrut organisasi intelijen Nazi, Sicherheits Dienst (SD), pada 1935. “Pada 1935 (Violette) Morris didekati Nazi dan diundang lewat permintaan pribadi oleh Hitler untuk mengunjungi Olimpiade Berlin 1936,” sambung Sebba. Violette menjadi mata-mata andalan Nazi jelang invasi ke Prancis. Jasa Violette sangat berarti dalam pengiriman berbagai informasi tentang titik-titik vital pertahanan Paris. Tidak ketinggalan, dia membocorkan rencana pertahanan Sekutu di Maginot Line, plus formasi tank-tank utama Prancis Somua S35. Pasca-Prancis diduduki, Violette didaulat jadi salah satu petinggi Carlingue, sayap organisasi Gestapo (Polisi Rahasia Nazi). Tugasnya, membongkar jaringan kontra-intelijen dan perlawanan La Resistance, organisasi bawah tanah anti-Nazi yang disokong Special Operations Executive (SOE) Inggris. Metode interogasi nan keji terhadap para anggota perlawanan Prancis yang tertangkap membuat Violette lekat dengan julukan “Hyena-nya Gestapo”. Kekejamannya di negeri sendiri menjadikan Violette sebagai target pembunuhan SOE dan beragam organisasi perlawanan bawah tanah Prancis. Violette akhirnya tutup usia pada 26 April 1944, setelah disergap di Normandia. “Pada malam itu (26 April 1944) ketika dia sedang berkendara bersama sebuah keluarga yang juga kolaborator Nazi, sejumlah anggota Resistance menyergap dari semak-semak dan menembakinya. Semua yang ada di mobil ikut terbunuh,” tandas Kelly Ricciardi Colvin dalam Gender and French Identity after the Second World War: 1944-1954 .
- Misteri Kematian Seorang Demonstran
CATATAN harian itu berbicara banyak. Sebagai salah satu pimpinan demonstran KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Yozar Anwar mengisahkan secara detail peristiwa demonstrasi di Jalan Merdeka Utara pada Kamis, 24 Februari 1966. “Jam 9 pagi, mahasiswa mulai berbondong-bondong dengan membawa jaket kuning yang berlumuran darah…” tulis Yozar dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa . Darah siapakah gerangan yang memenuhi jaket kebanggaan Universitas Indonesia (UI) itu? Menurut Yozar, darah yang berlumuran pada jaket kuning itu adalah milik Arief Rahman Hakim, seorang demonstran KAMI dari Fakultas Kedokteran UI yang tewas sehari sebelumnya. Ceritanya, Arief tengah berdemonstrasi di sekitar Lapangan Banteng ketika barisan demonstran didesak oleh aparat kemananan yang terdiri dari pasukan Resimen Pelopor (Menpor), Divisi Siliwangi (Batalyon 317 dan Batalyon 323) dan Resimen Tjakrabirawa sebagai lapis terakhir penjagaan Istana Negara. “Saya ingat di Istana Negara kala itu tengah diadakan rapat Kabinet Dwikora yang langsung dipimpin oleh Presiden Sukarno,” ujar Rushdy Hoesein, sejarawan sekaligus pelaku sejarah gerakan mahasiswa 1966. Arief Terbunuh Yozar mencatat begitu massa demonstran memasuki “ring satu” siang itu, aparat keamanan mulai membuat pagar yang sangat rapat. Mereka dengan memakai senjata bersangkur, berusaha menghalau para mahasiswa keluar dari kawasan Istana Negara. “Namun barisan tetap berdesak-desakan, teriakan tetap bergemuruh di angkasa…” ujar Yozar. Di tengah kepanikan dan situasi panas tersebut, dari lapis terakhir tetiba terdengar rentetan senjata AK (senjata otomatis buatan Uni Sovyet). Mahasiswa yang tidak menduga ditembaki, langsung bertiarap semua diikuti pula oleh para prajurit dari Menpor dan Divisi Siliwangi yang berada pada posisi paling depan, berhadapan dengan para demonstran. Suara tembakan masih terdengar ketika butiran-butiran prokyektil peluru mengenai tubuh beberapa demonstran. Salah seorang yang terkena adalah Arief Rahman Hakim. Begitu beberapa mahasiswa bergelimpangan di jalanan, tembakan baru berhenti. Spontan para mahasiswa yang tiarap bangkit dan memburu Arief yang kondisinya terlihat paling parah. Mata Arief terlihat nanar saat digotong untuk mendaparkan perawatan. Namun menurut Yozar, ia masih berteriak lemah: “Jaket kuning, maju terusss!!!” Menpor lantas memerintahkan para mahasiswa untuk mundur. Perintah tersebut direspon oleh mahasiswa secara malas-malasan. Akibatnya, aparat kemanan langsung merangsek. Massa mulai mundur seraya berteriak-teriak marah: “Tjakrabirawa anjing!” “Tjakrabirawa pembunuh!” “Tjakrabirawa menembak rakyat dengan peluru yang dibeli rakyat!” Nyawa Arief sendiri akhirnya tak tertolong. Sehari sesudah tubuhnya disasar peluru tajam, sang mahasiswa menghembuskan nafas terakhirnya pada jam 12.45. Sejak itulah, Arief menjadi simbol perlawanan mahasiswa terhadap rezim Sukarno. Jaketnya yang berlumuran darah, nyaris tiap hari diarak dalam setiap aksi demonstrasi: menjadikan situasi semakin panas dan suasana kebencian terhadap pemerintah menggumpal. Resimen Tjakrabirawa pun menjadi kambing hitam. Tjakra Membantah Masih segar dalam kenangan Rushdy orang-orang mengutuk Resimen Tjakrabirawa sebagai pembunuh mahasiswa. Mereka menyebut, Tjakra harus betanggungjawab terhadap aksi brutal mereka. Padahal menurut Yozar Anwar, saat bergerak ke arah Istana, mahasiswa ada dalam kondisi tertib dan tidak berniat membuat aksi-aksi anarki. Namun lain pendapat mahasiswa, lain pula pendapat prajurit Tjakra. Ketika saya mengkonfirmasi kejadian lebih dari setengah abad lalu itu kepada beberapa eks prajurit Tjakra yang kala itu tengah bertugas di Istana Negara, ceritanya tentu saja berlainan. Letnan Satu C.H. Sriyono masih ingat bagaimana situasi saat itu sangat kacau. Ketika massa berkerumun di sekitar Lapangan Banteng dan Merdeka Utara, dia sendiri memang mendengar rentetan tembakan yang menyalak secara mendadak. Namun anggota Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) Tjakra itu sangat yakin tembakan itu bukan berasal dari kesatuannya. “Tidak ada sama sekali perintah untuk menembak para demonstran. Kami ini pasukan yang terdidik untuk berlaku disiplin: jika diperintahkan tembak ya tembak tapi kalau diperintahkan diam saja ya diam…” ujar Sriyono kepada Historia . Kedisiplinan Tjakra terbukti saat menghadapi aksi nekad sekelompok mahasiswa yang lolos masuk ke halaman Istana Negara. Mereka yang tadinya akan menurunkan bendera merah putih untuk digantikan jaket kuning berlumuran darah, hanya diperintahkan untuk pergi saja. “Tapi karena awalnya mereka ngotot ya terpaksa kami menembakan senjata ke atas sebagai peringatan, baru mereka bubar…” kenang anggota Tjakra dari unsur CPM (Corps Polisi Militer) itu. Keterangan Sriyono diperkuat oleh Maulwi Saelan dalam otobiografinya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 . Menurut Saelan, kematian Arief Rahman Hakim secara disengaja diarahkan kepada kesatuannya sebagai penyebab. Dia ingat, bagaimana beberapa jam setelah kejadian itu ratusan mahasiswa dengan memakai truk-truk tentara mengelilingi jalan-jalan sekitar Istana Negara sambil mengibar-ngibarkan jaket kuning berlumuran darah. “Tjakra pembunuh! Tjakra pembunuh!” teriak para mahasiswa. Isu pun kemudian bertiup kencang: Arief tewas ditembak oleh seorang prajurit Tjakra di depan Gedung Pemuda, tepat di seberang markas DKP (Detasemen Kawal Pribadi) Resimen Tjakrabirawa. Demi mendengar teriakan-teriakan itu, Kapten Hidrosin (anggota DKP yang pasukannya tengah bertugas) langsung mengumpulkan anak buahnya. Salah seorang komandan kompi Tjakra itu langsung memeriksa satu persatu senjata para prajuritnya secara teliti. “Ternyata Hidrosin menemukan kenyataan tidak terdapat satu pun peluru yang keluar dan laras senjata semuanya bersih…” ujar Maulwi yang kala itu berpangkat kolonel. Lantas siapa yang menembak Arief? Maulwi punya versi sendiri. Ceritanya, setahun setelah kejadian (ketika dia sudah dipindahkan dari Resimen Tjakrabirawa ke PUSPOM ABRI) dia justru mendapat cerita dari beberapa anggota POM DAM V (Polisi Militer Daerah Militer V Jakarta) bahwa yang menembak Arief di Lapangan Banteng (bukan di seberang Markas DKP) adalah seorang prajurit dari POM DAM V yang saat itu sedang ditugaskan di kesatuan Garnizun Ibukota Jakarta. “Saya sendiri sudah meminta kepada Brigjen TNI dr. Rubiono, perwira sandi yang selalu bersama saya, agar segera mengusahakan visum et repertum Arief Rahman Hakim untuk dilaporkan kepada Presiden Sukarno…” ungkap Maulwi. Namun hingga Resimen Tjakrabirawa dibubarkan, tidak ada visum et repertum . Jadilah pendapat yang menyatakan bahwa pembunuh Arief Rahman Hakim adalah anggota Resimen Tjakrabirawa terus diyakini sebagian besar khalayak hingga kini. “Terlebih setelah Jenderal A.H. Nasution memuji-muji Arief sebagai Pahlawan AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat), anggapan itu seolah tak terbantahkan…” kata salah satu orang dekat Presiden Sukarno tersebut.
- Bisnis Senjata Keluarga Cendana
LAKSAMANA Madya TNI Soedibyo Rahardjo dilantik menjadi Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI pada Januari 1988. Beberapa hari kemudian ada permintaan menghadap dari Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut. Dia prioritaskan untuk menerima putri sulung Presiden Soeharto itu. Soedibyo kenal baik dan Mbak Tutut memanggilnya dengan sebutan “Mas.”
- Anggar untuk Hitler
HELENE Mayer hanya ingin terus eksis sebagai atlet anggar. Dia tak peduli negara mana yang diwakilinya. Bahkan ketika banyak orang mengatakan dia egois, oportunis, hingga pengkhianat, Helene tak acuh ketika harus beraksi di bawah panji Jerman-Nazi. Toh, Helene tetap diakui sebagai atlet anggar wanita terbaik abad ke-20. Dia menyandang titel itu berdasarkan catatan Sports Illustrated tahun 2000. Majalah olahraga terkemuka Amerika Serikat (AS) dan dunia itu juga menyelipkan namanya sebagai satu di antara 100 atlet wanita terbaik abad ke-20. Helene juga dibadikan di Hall of Fame USA Fencing atau Organisasi Anggar AS. Langganan Juara Sejak Remaja Lahir di Offenbach am Main, pinggiran kota Frankfurt, Jerman pada 20 Desember 1910, Helene Julie Mayer merupakan satu dari tiga bersaudara anak Ann Bertha Becker dan Ludwig Karl Mayer. Ann penganut Lutheran (Kristen Protestan) sementara Karl seorang Yahudi. Namun, Helene memiliki fisik tak lazimnya orang Yahudi melainkan seperti ras Arya Jerman: berambut pirang dan bermata biru. Helene sudah menggiati anggar di Offenbach Fencing Club sejak kecil. Bahkan ketika masih berusia 13 tahun, dia sudah memenangi Kejuaraan Anggar Nasional tahun 1924 di nomor foil (pedang floret) individu putri. Pun empat edisi berikutnya kejuaraan itu selalu dia menangi. Semyon Pinkhasov, sineas AS berdarah Rusia yang membuat dokumenter What if? The Helene Mayer Story , mengakui bahwa Helene punya bakat spektakuler. Skill- nya ciamik dan pergerakannya lincah dengan ditopang postur tubuh yang mumpuni. “Ketika saya melihat rekaman video anggarnya, saya sampai tak percaya. Talentanya luar biasa, fenomenal. Sulit dipercaya betapa sensitif tangannya. Tekniknya spektakuler. Jika dia masih hidup dan sedang berusia 20-30 tahun, dia pasti akan memenangkan olimpiade,” cetus Pinkhasov, dikutip The Guardian , 28 Juli 2016. J angankan sekarang, di masa hidup pun Helene mampu memenangkan olimpiade, tepatnya di Olimpiade Amsterdam 1928. Dia menyumbang satu emas buat kontingen Jerman di cabang anggar nomor floret individu putri. Saat itu usianya baru 18 tahun. Helene juga merajai Kejuaraan Eropa tahun 1929 dan 1931. Sayang, di Olimpiade Los Angeles (AS) 1932 dia gagal mendapat medali. Mentalnya Helene ambruk setelah dua kali ketiban duka. Ayahnya yang aktif di Organisasi Yahudi Jerman meninggal karena kanker pada 1931. Lantas dua jam sebelum bertanding di Olimpiade Los Angeles, pacarnya meninggal dalam pelatihan militer. Dilema di Rezim Hitler Perkembangan politik di Jerman yang didominasi ideologi Nazi nan anti-Yahudi membuat Helene tak bisa pulang. Dia terpaksa menetap sementara di Negeri Paman Sam sembari melanjutkan pendidikan di Scripps College, Claremont, California. Namun, kariernya di anggar berjalan terus lantaran diterima baik di USC Fencing Club (Klub Anggar University of Southern California). “Dia sulit dikalahkan atlet anggar manapun di masanya. Delapan kali menjadi juara nasional AS (1934-1946),” tulis Janet Woolum dalam Outstanding Women Athletes: Who They Are and How They Influenced Sports in America . Seiring kehidupannya di AS, Olimpiade 1936 berlangsung di tanah-airnya, Jerman (Olimpiade Berlin). Olimpiade yang acap disebut “Nazi Games” itu sarat kontroversi, yang paling menonjol adalah larangan keikutsertaan atlet Yahudi. Sejumlah pihak pun memprotes larangan itu. Salah satunya datang dari petinggi Komite Olimpiade AS Avery Brundage. Peran Brundage lah yang lantas membuat pemerintahan Hitler melonggarkan larangan. Memanfaatkan sosok Helene yang lebih mirip ras Arya, Brundage melakukan negosiasi politik hingga menginsyafkan pemerintah Jerman demi citra dan propaganda Nazi dalam Olimpiade. Alhasil, Presiden Komite Olimpiade Nazi Hans von Tschammer und Osten pada 26 September 1935 mengundang dua atlet berdarah Yahudi: Greta Bergmann (atlet loncat tinggi) dan Helene untuk pulang dan mewakili Jerman jelang persiapan Olimpiade Berlin 1936. “…Jika bersedia, saya harap Anda bersedia menetapkan diri Anda sebagai anggota seleksi tim Jerman yang akan menjalani serangkaian uji coba pada Musim Semi 1936,” bunyi petikan surat Von Tschammer, sebagaimana dikutip Milly Mogulof di biografi Foiled: Hitler’s Jewish Olympian, The Helene Mayer Story. Meski hati kecil Helene ingin kembali mewakili negerinya di olimpiade, sejumlah organisasi Yahudi menyarankannya untuk menolak. Dilema itu akhirnya membawa Helene pada keputusan mengabaikan saran organisasi Yahudi sekaligus tak memedulikan beragam kecaman dari organisasi Yahudi Amerika dan Jerman. Helene akhirnya pulang dan melepas kerinduan pada ibu dan kedua saudaranya: Eugene dan Ludwig, sekaligus mewakili Jerman di olimpiade. Sayang, di nomor floret individu putri yang jadi andalannya Helene dikalahkan Ilona Elek dari Hungaria di final. Ketika penyerahan medali di podium, Helene melakukan salam Nazi sebagaimana para atlet Jerman non-Yahudi. Tindakannya itu mendatangkan kecaman lebih keras hingga menyebutnya pengkhianat. Tapi Helene tak memedulikannya. Usai olimpiade, dia kembali ke AS demi menghindari rezim Nazi yang kian beringas pasca-olimpiade. Di AS, Helene memenangi Kejuaraan Anggar Dunia 1937 meski masih mewakili Jerman. Tahun 1940, Helene mendapatkan status kewarganegaraan AS. Dia kembali merajai kejuaraan anggar nasional periode 1937, 1938, 1939, 1941, 1942 dan 1946. Usai Perang Dunia II, Helene kembali ke Jerman pada 1952. Dia lalu menerima pinangan kawan lamanya, Erwin Falkner von Sonnenburg. Tetapi pernikahan itu tak berjalan lama karena pada Oktober 1953 Helene meninggal dunia di Heidelberg akibat kanker payudara.
- Kertanagara Melawan Kubilai Khan
MONGOL kian mendesak. Penaklukan Dinasti Song pada 1279 oleh tentara Mongol atas perintah Kubilai Khan membuat seluruh Tiongkok tunduk di bawah Dinasti Yuan. Berikutnya giliran wilayah Asia Tenggara yang diincar. Birma, Kamboja, Champa diserbu agar mau mengakui kekuasaan Mongol. Jawa pun tak luput dari incaran Mongol. Kertanegara, raja Singhasari yang menyadari kondisi itu, mempersiapkan diri demi membendung pengaruh Kubilai Khan. Beberapa kali Kubilai Khan mengirim utusan ke Jawa, pada 1280, 1281, dan 1286. Dia menuntut Kertanagara mengakui kekuasaannya dengan mengirimkan anggota keluarga Singhasari ke istananya di Beijing. Namun, Kertanagara justru merusak wajah Meng Qi, utusan Mongol terakhir pada 1289, sebagai wujud pernolakan. Mengapa Kertanagara berani melawan Kubilai Khan? “Kertanegara merasa dirinya cukup kuat dan cukup jauh dari China untuk dapat bertahan terhadap permintaan Mongol,” tulis arkeolog George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu. Keraguan pun muncul, bahwa Kertanagara sebenarnya tak tahu risiko perbuatannya. Dia tak sadar kekuatan Mongol waktu itu. Adalah ahli bahasa Jawa C.C. Berg dan filolog Stuart Robson pada tahun 60-an yang bertanya-tanya soal itu. Mereka bilang pendapat yang mengatakan Kertanagara tahu soal ekspedisi sang kaisar, siap dan mampu memperluas wilayahnya ke utara dan berkonflik langsung dengan Kubilai Khan adalah pendapat yang tak berbukti. Kertanagara memang merasa dirinya kuat. Tapi dia bukannya tak menyadari kekuatan Mongol. Menurut Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, ada hal yang tak banyak diketahui oleh para peneliti. Itu adalah watak Kertanagara yang ahangkara. Watak itu membuat dirinya bangga dengan kekuatan dirinya sendiri. Karenanya dia selalu ingin unggul dari musuh-musuhnya. “Aku ini kuat, raja besar, selalu ingin unggul dari musuh-musuhnya,” kata Agus kepada Historia . Hal itu diisyaratkan oleh Prasasti Camundi dari 1292 M. Di sebutkan di sana, Kertanegara telah puas dengan kemengan-kemenangannya di semua tempat dan menjadi payung pelindung seluruh dwipantara atau Nusantara. Sebagaimana disebut dalam Negarakrtagama , Kertanegara telah menguasai seluruh Jawa, Sunda, dan Madura. Ia mengirim ekspedisi militer ke Malayu, menguasai Pahang di Semenanjung Malayu, juga menaklukkan Bali dan memboyong rajanya sebagai tawanan pada 1284. Dia juga menguasai Gurun, pulau di wilayah timur Nusantara, dan Bakulapura atau Tanjungpura di barat daya Kalimantan. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang mengatakan, ada kemungkinan ekspedisi Kertanegara ke Malayu pada 1275 adalah untuk menjadikannya mitra sejajar. Itu dalam mengontrol Selat Malaka, dan khususnya menghadapi serangan Mongol. “Walaupun dalam Nagarakrtagama disebut menundukkan,” kata Dwi, “namun, menurut saya tidak ada pertempuran, kalau ada itu akan mempermudah Mongol masuk, karena energi berkurang. Menurut saya ini semacam MoU (memorandum of understanding) . Jika dua kekuatan itu berkoalisi, diharapkan bisa menghadapi musuh bersama, yaitu Mongol.” Singhasari di bawah kepemimpinannya memang menempatkan dirinya sebagai kerajaan besar. Selain di Nusantara, Kertanegara juga bersekutu dengan Champa untuk membendung serangan bangsa Tartar, sebutan Jawa untuk Mongol. Dalam Prasasti Po Sah di dekat Phanrang dari 1306 M disebutkan seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi, adik Kertanagara yang menikah dengan Raja Jaya Simhawarman III (1287-1307). Keuntungan yang didapat Kertanegara dari kerjasama itu muncul ketika rombongan Mongol ditolak menurunkan jangkarnya di pelabuhan Champa pada 1292. Saat itu mereka hanya berniat menambah perbekalan di tengah perjalanannya ke Jawa. “Memang (Kertanagara, red ) sudah memperkirakan sebelumnya soal kedatangan Mongol ini. Makanya Singhasari malah kosong ketika sebagian tentaranya dikirim ke Malayu dengan alasan mengawal Arca Amogapasha. Mereka di sana untuk mengawasi kalau ada (tentara Mongol, red. ) yang nyasar ke Sumatera,” kata Agus. Namun, yang terjadi di luar ekspektasi Kertanagara. Dia justru tewas sebelum benar-benar sempat berhadapan langsung dengan Mongol. Kubilai Khan membalas penghinaan Kertanagara dengan mengirim ekspedisi militer ke Jawa pada 1292. Namun, sesampainya di Jawa, Kertanagara telah mati di tangan Jayakatwang, raja Gelang Gelang, antara tanggal 18 Mei dan 15 Juni 1292. Raden Wijaya, menantu Kertanegara dan pendiri Majapahit, menggandeng pasukan Mongol untuk membalas dendam kepada Jayakatwang. Setelah menundukkan Jayakatwang pada 26 April 1293, Wijaya meminta izin kepada pasukan Mongol untuk kembali ke Majapahit mengambil upeti untuk Kubilai Khan. Namun, Wijaya malah menghabisi orang Mongol yang mengiringinya. Bersama pasukan Jawanya, dia kemudian menyerang pasukan Mongol di Kadiri dan memaksa mereka kembali ke kapalnya. Pada 31 Mei 1293, mereka kembali ke China dan sampai pada 8 Agustus 1293. “Ekspedisi Mongol yang dimaksudkan untuk menghukum Kertanagara akhirnya mempunyai akibat yang tidak terduga, yaitu mengembalikan ke atas takhta pewarisnya yang sah,” tulis Coedes. Kendati Wijaya mengusir pasukan Mongol setelah dimanfaatkan melawan Jayakatwang, “hubungan dengan China agaknya pulih kembali, sebab ada disebut empat utusan Jawa selama pemerintahan Kertarajasa (nama nama penobatan atau gelar Raden Wijaya, red .).”
- Panjang Umur Lembaga Sensor
BISMA Karisma harus rela adegan ciumannya dengan Andania Suri dalam film Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui (2018) dipotong Lembaga Sensor Film (LSF). Pemotongan adegan ciuman film yang rilis pada 18 Januari 2018 itu untuk memperluas jangkauan penonton dari semula kategori 21 tahun ke atas menjadi 13 tahun ke atas. Silariang menambah daftar film yang merasakan tajamnya gunting lembaga sensor. Sejak zaman penjajahan, lembaga sensor silih berganti muncul. Adegan-adegan seksual, adegan yang bertentangan dengan norma susila dan hukum yang berlaku, dan adegan yang dianggap berpotensi memberi pengaruh negatif menjadi sasaran berbagai lembaga sensor itu. Sensor Masa Penjajahan Penyensoran film pada masa kolonial bermula dari kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda terhadap banyaknya film, kala itu masih film bisu, yang masuk dan menampilkan adegan bercumbu atau kekerasan. Meski lumrah buat penonton Eropa, film-film itu jadi masalah bagi pemerintah karena ditonton juga oleh pribumi. Bahkan, acara nonton kerap diselenggarakan di desa-desa. Bagi pemerintah, yang merasa lebih beradab, beredarnya film dengan adegan kekerasan dan percumbuan bisa merusak cintra mereka di mata rakyat jajahan. Oleh karena itu pada 1916 pemerintah mengeluarkan Ordonansi Bioskop untuk mengendalikan peredaran film. Untuk pelaksanaannya, pemerintah membentuk Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF). Menurut Sarief Arief dalam Politik Film di Hindia Belanda, lembaga tersebut memiliki kewenangan menggunting film yang dianggap merusak kesusilaan umum, ketentuan umum, atau menyebabkan kemunculan gangguan umum yang dapat berpengaruh pada lingkungan. Namun, ada ketidakrincian kriteria tentang ketentuan umum dan kesusilaan umum dalam ordonansi itu. Akibatnya, KPF di Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya berjalan sendiri-sendiri sesuai interpretasi mereka terhadap ordonansi dan keadaan di wilayah masing-masing. Di masa pendudukan Jepang, sensor film bejalan amat ketat. Seluruh kegiatan pembuatan film di Asia Tenggara harus dikoordinasikan ke badan di Tokyo yang bernama Nichi’ei. Untuk mencegah studio film membuat film anti-Jepang, Penguasa Militer Pendudukan Jepang menggunakan panduan perfilman tahun 1940. Menurut panduan itu, film yang dibuat tak boleh mengandung unsur kebarat-baratan, kontennya harus berisi semangat kebangsaan, kebahagiaan keluarga, dan sopan santun. Panduan itu dengan tegas melarang film memuat adegan tentang tokoh borjuis kecil, perempuan merokok, adegan di cafe yang menyuguhkan minuman keras, dan sikap seenaknya. Di Indonesia, realisasi aturan itu dijalankan oleh Hodohan Nippon Sidosho atau Pusat Kebudayaan dan Propaganda Pemerintah Militer Jepang di Indonesia. Lembaga ini selain menjalankan koordinasi dengan Nichi’ei juga mengawasi hulu-hilir produksi film. Semua skrip film mesti masuk lembaga ini. Bila ada skrip tak sesuai Panduan Perfilman 1940, lembaga ini meminta pembuat film menulis ulang skrip. Hasilnya, tulis Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, tidak ada film-film masa Jepang yang keluar dari “kebijaksanaan nasional tentang film”. Mayoritas film yang beredar pada masa Jepang adalah film propaganda tanpa adegan bercumbu. Sensor Indonesia Penyensoran film berlanjut ketika Indonesia sudah berdiri, dijalankan oleh Panitia Sensor Pusat (PSP) yang dibentuk tahun 1950. Antara Bumi dan Langit (1950) karya sutradara Huyung, film Indonesia pertama yang memuat adegan ciuman, menjadi film pertama yang kena cekal. Adanya pemberitaan media massa yang memicu protes masyarakat membuat PSP menahan film itu selama dua tahun sekaligus meminta produsennya merevisi. Film itu baru bisa beredar setelah adegan ciuman dibuang dan judulnya diganti menjadi Frieda . Frieda meraih sukses besar. Namun, Armijn Pane sebagai penulis cerita menolak namanya dicantumkan dalam Frieda . Menyusul lesunya perfilman nasional usai transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah membuka keran impor film. Derasnya arus film impor membuat bioskop-bioskop kebanjiran penonton. Tapi di sisi lain, film impor mematikan perfilman nasional. Para sineas tanahair tak sanggup bersaing dengan film-film impor yang sebetulnya banyak memuat adegan seks dan kekerasan juga. Para sineas tanahair lalu minta diberi kebebasan menggunakan unsur seks dalam film-film garapan mereka. Permintaan itu dikabulkan pemerintah demi menjaga kelangsungan industri film nasional. Lembaga sensor yang baru, Badan Sensor Film (BSF), pun melonggarkan guntingnya mulai 1970-an. Film-film berkonten adegan cumbuan bermunculan sejak itu. Bernafas dalam Lumpur (1970) yang dibintangi Suzanna menjadi pionirnya. Film ini diangkat dari cerita bersambung “Berenang dalam Lumpur” yang dimuat Majalah Varia . Berbeda jauh dari nasib Frieda , Bernafas dalam Lumpur lolos dari gunting sensor meski di dalamnya sarat adegan dan dialog kasar serta tak senonoh. Hanya masyarakat Bandung yang tak bisa menikmati film itu akibat adanya larangan pemutaran film tersebut dari Komando Distrik Militer setempat. Menyusul kesuksesan Bernafas dalam Lumpur di pasaran, film-film serupa bermunculan. Setelah InsanKesepian (1971), ada Dara-Dara (1971), Bumi Makin Panas (1973), dan sederet judul film lainnya. Pembuatan film-film dengan adegan bercumbu merupakan cara para sineas tahun 1970-an untuk bertahan dan bersaing dengan film-film impor. “Film Indonesia yang laku adalah film-film yang dibuat dengan cerita dan penyajiannya serampangan tapi penuh dengan bumbu yang bisa mengimbangi kecabulan film impor kodian tipe ‘sex education’,” tulis Misbach Yusa Biran dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia . Namun, gunting BSF tetap tajam terhadap film-film non-konten seksual. Film-film macam Max Havelaar (1975), Bandot Tua (1977), atau Nyoman dan Presiden justru tertahan di BSF. Max Havelaar harus ngendon 10 tahun di BSF karena menampilkan sosok orang Eropa baik hati sementara penguasa pribumi ditampilkan sebagai antagonis. Hal itu jelas bertentangan dengan konsep nasionalisme “hitam-putih” yang dibangun Orde Baru. Bandot Tua, yang mengisahkan kecemburuan seorang pensiunan jenderal kepada selingkuhannya yang jadi model lukisan, tak kalah sial. Film ini mesti tiga kali ganti judul. Baru setelah jadi Cinta Biru film ini bisa beredar. Ketika BSF ganti nama jadi Lembaga Sensor Film (LSF) tahun 1994, ketajaman guntingnya tak berubah bahkan justru kian tumpul. Hal itu dibuktikan dari peredaran film di pasaran. Bila film-film tahun 1970-an dan 1980-an hanya menampilkan konten seksual, film-film 1990-an justru menampilkan konten seksual plus judul vulgar seperti Gairah Malam (1993), Bebas Bercinta (1995), Akibat Bebas Seks (1996). Usai reformasi, melalui UU No. 33 pemerintah mengatur perfilman mulai dari pendidikan hingga tata edar film Indonesia. Namun, konten seksual tetap hadir dalam film-film yang muncul dalam periode ini, seperti Buruan Cium Gue (2004), Hantu Puncak Datang Bulan (2010), Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011). LSF tak tinggal diam, tentu. Buruan Cium Gue dipaksa ganti judul jadi Satu Kecupan . Hantu Puncak Datang Bulan selain ganti judul jadi Dendam Pocong Mupeng juga harus kena gunting 28 adegan syur-nya hingga menyisakan durasi 64 menit dari sebelumnya 90 menit. Namun, bagi sebagian masyarakat sensor oleh badan-badan yang ada masih lemah. Beragam badan sensor yang ada seolah bertindak tebang pilih, mereka galak kepada film-film yang mengancam kekuasaan tapi lemah terhadap film-film komersil yang sebetulnya sarat konten kekerasan ataupun seksual. Akibatnya, self-censorship di masyarakat menguat. Saat Pembalasan Ratu Laut Selatan dirilis tahun 1988, masyarakat memprotes keras. Protes itu memaksa BSF memeriksa ulang film tersebut agar bisa beredar lagi. Di Cianjur, masyarakat melarang beredarnya film Bumi Makin Panas . Pasca-Reformasi, dai Abdullah Gymnastiar lantang mengecam Buruan Cium Gue . Enam tahun kemudian, MUI mencekal Hantu Puncak Datang Bulan .
- Aroma Kolonial dalam UU MD3
UNDANG-UNDANG No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yang baru saja disahkan menuai kontroversi. Terutama dalam pasal 122 huruf k berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Sebelum pengesahan UU MD3, pasal penghinaan terhadap presiden yang termaktub di dalam pasal 263 dan 264 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga mengundang kritik masyarakat. Baik pasal 122 huruf k UU MD3 maupun pasal 263 dan 264 RKUHP lebih terlihat mewarisi aturan zaman kolonial ketimbang negeri merdeka yang demokratis. Pada masa kolonial, pasal-pasal pembungkaman lebih banyak diberlakukan di negara koloni ketimbang di negeri induknya. Seringkali hukuman jauh lebih berat di negeri koloni ketimbang di negeri tuan penjajah. Ironi standar ganda pemberlakuan hukum tersebut memperlihatkan secara tegas mana negeri jajahan dan mana negeri yang merdeka. Mohammad Hatta adalah korban dari pemberlakuan standar ganda hukum kolonial tersebut. Pada 23 September 1927, sepulangnya mengikuti Konferensi Liga Internasional Wanita di Swiss, polisi mendatangi rumah Mohammad Hatta di Den Haag dan membawanya ke penahanan. Tak hanya Hatta, tiga aktivis Perhimpunan Indonesia lainnya juga turut digiring ke penjara, yakni Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamontjak dan Abdul Madjid Djojodiningrat. Polisi Den Haag menahan mereka atas tuduhan menghasut orang untuk menentang Kerajaan Belanda, terlibat dalam organisasi terlarang dan makar. Setelah lima bulan setengah melalui penahanan preventif, pada 22 Maret 1928 mahkamah hakim pengadilan negeri Den Haag memvonis Hatta cum suis bebas dari semua tuduhan jaksa. Dalam pledoinya yang terkenal, Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka), Hatta menyampaikan keberatannya atas tuduhan jaksa. Menurut Hatta, Belanda adalah negeri yang bebas dan menjamin kebebasan warganya. “Kepada Tuan-tuan aku berani bertanya dengan kepercayaan: apakah tindakan itu tidak melanggar kebabasan yang diakui oleh Undang-undang Dasar?” ujar Hatta di muka pengadilan melontarkan pertanyaan retoris kepada hakim. Hakim menerima argumentasi Hatta, mengacu pada konstitusi Belanda yang menjamin setiap warganya untuk berpendapat dan bergerak secara bebas. Namun nasib Hatta di Belanda, negeri merdeka yang tak dijajah siapa-siapa, berbeda jauh ketika dia pulang ke Indonesia. Aktivitas politiknya diawasi, pidatonya dihentikan oleh Dinas Pengawasan Politik ( Politieke Inlichtingen Dienst , PID), pertemuan dibubarkan dan akhirnya Hatta ditangkap pada 25 Februari 1934. Tanpa melalui pengadilan, Hatta dibuang ke Boven Digul, bersama ratusan tahanan politik lainnya. Tuduhan hakim pengadilan negeri Bandung terhadap Sukarno pada 1930 pun tak jauh berbeda dari apa yang diterima Hatta ketika dia diadili di pengadilan negeri Den Haag. Jaksa menuduh Sukarno “menghasut dan mengikuti perkumpulan terlarang”. Berbeda dari vonis bebas yang diterima Hatta di Den Haag, hakim pengadilan negeri Bandung memutus Sukarno bersalah atas tindakan makar dan menghasut orang untuk melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Atas vonis itu Sukarno diganjar hukuman badan, dibui mulai dari Sukamiskin sampai dengan dibuang ke Ende, Flores. Dari Maria Ullfah, menteri sosial era Kabinet Sjahrir II dan III (1946-1947), juga diperoleh kisah kontradiksi iklim kebebasan di negeri induk dengan negeri jajahannya. Dari biografinya, Maria Ullfah Subadio, Pembela Kaumnya karya Gadis Rasjid, dikisahkan betapa terkejut dan senangnya Maria saat dia menemukan buku pledoi Sukarno, Indonesia Menggugat ( Indonesia Aanklacht ) dijual bebas di sebuah toko buku di Leiden sementara hal yang sama tak mungkin ditemukan di Indonesia. “Pidato Bung Karno diterbitkannya dalam bentuk buku dengan judul “Indonesia klaagt aan.” Halaman mukanya dengan lukisan disain berwarna merah-putih dengan gambar Jenderal Van Heutsz yang menaklukkan Aceh dan gambar mayat rakyat Aceh. Padahal di Hindia Belanda sendiri bendera “Merah-Putih” yang oleh pejuang kemerdekaan dipilih sebagai bendera kebangsaan dilarang dikibarkan di depan umum,” tulis Gadis Rasyid mengutip cerita Maria. Ketika kuliah di Belanda, Maria merasa ada perbedaan jauh antara negeri merdeka dengan negeri jajahan. Maria menuturkan kepada Gadis, “Di negeri Belanda ia baru mulai sadar apa artinya hidup di suatu negara yang merdeka. Di mana orang tidak usah takut terhadap penguasa, selama tidak melakukan kejahatan. Di mana orang dapat bergerak dengan bebas, melakukan apa saja yang disenangi, di mana semua manusia sama di dalam hukum.” Indonesianis Daniel S. Lev dalam tulisannya, “Hukum Kolonial dan Asal Usul Negara Indonesia” mengatakan sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum kolonial. Penguasa kolonial menurut Daniel Lev menggunakan hukum sebagai alat untuk mencapai kepentingan kekuasaannya. Dengan cara ini Mas Marco Kartodikromo, Sukarno, Hatta, Sjahrir dan banyak pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia lainnya dibungkam dan dipenjara. Dan hari ini, 72 tahun lebih setelah Indonesia merdeka, 20 tahun setelah rezim otoriter Soeharto tumbang, cara berpikir kaum kolonial masih bisa dikenali dari cara mereka menyusun undang-undang. Tidak terkecuali dalam UU MD3 yang berpotensi menghalangi kebebasan setiap orang untuk melancarkan kritik sekeras-kerasnya terhadap wakil pilihan mereka di DPR.
- Etalase Nazi di Olimpiade
TERPILIHNYA Berlin menjadi tuan rumah Olimpiade 1936 mendapat sambutan antusias dari Adolf Hitler yang sejak 1933 berkuasa lewat ketetapan Ermachtigungsgesetz. Pemimpin fasis itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan menjadi tuan rumah Olimpiade untuk mempropagandakan Naziisme, yang di dalamnya memuat supremasi ras Arya, kepada dunia. Berlin terpilih sebagai tuan rumah setelah memenangkan voting rapat petinggi International Olympic Committee (IOC) pada 1931, saat Hitler masih belum berkuasa. Berlin menyingkirkan Barcelona (Spanyol), Alexandria (Mesir), Buenos Aires (Argentina), Dublin (Irlandia), Helsinki (Finlandia), Lausanne (Swiss), Rio de Janeiro (Brasil), Budapest (Hungaria), Roma (Italia), dan tiga kota Jerman lain: Koln, Frankfurt, dan Nurnberg. Hitler langsung mempersiapkan Olimpiade Berlin dengan serius, tak peduli adanya boikot dari Spanyol dan Uni Soviet yang tak terima keputusan IOC. Meski ekonomi Jerman belum pulih dari kehancuran akibat Perang Dunia I, Hitler mengucurkan dana dalam jumlah besar untuk membuat olimpiade-nya lebih akbar dari Olimpiade 1932 di Los Angeles. Andrew Nagorski dalam Hitlerland: American Eyewitness to the Nazi Rise to Power menyebutkan, Hitler membuat megaproyek renovasi Deutsches Stadion menjadi Olympiastadion yang mampu menampung 110 ribu penonton. Dia menunjuk Menteri Olahraga Hans von Tschammer und Osten sebagai penanggungjawab dan Albert Speer bersama kakak-adik Werner dan Walter March sebagai arstiteknya. Proyek yang memakan biaya 43 juta Reichsmark itu berjalan selama dua tahun. Bukan hanya itu, Hitler juga membangun Reichssportfeld atau kompleks olahraga di sekeliling Olympiastadion. Di antaranya, arena Maifeld (kapasitas 50 ribu orang), amfiteater Waldbuhne (25 ribu), dan fasilitas serta venue lain untuk cabang-cabang renang, berkuda, dan hoki di sisi utara. Tak ketinggalan, pembangunan wisma atlet di Elstal, Wustermark, sebuah distrik 30 kilometer di barat Berlin. Hitler juga mengucurkan tujuh juta dolar Amerika untuk produksi film tentang olimpiade. Film itu digarap sineas Leni Refenstahl. Agar hegemoni Nazi lebih terasa, Hitler membuat siaran televisi Olimpiade Berlin yang menjangkau puluhan negara. Menurut David Clay Large dalam Nazi Games: The Olympics of 1936 , Hitler menggunakan peralatan siaran Telefunken untuk menayangkan 70 jam perhelatan olimpiade yang digelar 1-16 Agustus 1936. Transmisi tayangannya menjangkau 41 negara melalui stasiun TV Paul Nipkow. Olimpiade Berlin 1936 menjadi hajatan olahraga multicabang akbar pertama yang disiarkan stasiun televisi. Sebagai medium propaganda Naziisme, Hitler melarang olimpiade itu diikuti atlet Yahudi, termasuk di kontingen Jerman. Dia menginginkan kontingen Jerman hanya berisi atlet ras Arya. Kecuali atlet anggar Jerman Helene Mayer, yang akhirnya dimasukkan dalam kontingen karena rambut pirang dan mata birunya membuat dia dianggap ras Arya meski “setengah” darahnya Yahudi, atlet-atlet tuan rumah seperti petinju Erich Seeling, petenis Daniel Prenn, hingga peloncat tinggi Gretel Bergmann akhirnya dicoret dari kontingen karena berdarah Yahudi. Kepada para atlet negara lain, pemerintahan Hitler kemudian mengendurkan aturan dengan mengizinkan beberapa negara membawa atlet Yahudi mereka. Pun begitu, banyak atlet tetap tak boleh tampil. Dua pelari estafet AS, Sam Stroller dan Marty Glickman, mesti merelakan posisi mereka digantikan Jesse Owens dan satu pelari lain karena keturunan Yahudi. Terlepas dari soal rasisme, setelah semua persiapan rampung, Hitler puas dan membuka olimpiade dengan memamerkan kemegahan balon udara LZ 129 Hindenburg yang terbang di atas Olympiastadion. Sekira tiga ribu merpati dilepas bersamaan dengan defile 5000 atlet dari 51 negara peserta –termasuk AS yang batal memboikot– mengitari stadion dan memberikan gestur Olympic Salute atau gerak tangan yang nyatanya menyerupai salam Nazi. “Saya menyatakan, perlombaan Berlin, merayakan Olimpiade ke-11 di era modern, resmi dibuka,” kata Hitler dalam pidatonya, dikutip Philip Gavin dalam The Triumph of Hitler . Api abadi olimpiade dinyalakan pembawa obor dan disusul pengumandangan himne olimpiade gubahan komposer Jerman Richard Strauss. Olimpiade Berlin berjalan sukses. Hitler berhasil mendapatkan citra supremasi ras Arya yang diinginkannya. Terlebih, Jerman menjadi juara umum dengan 33 medali emas, 26 perak, dan 30 perunggu. “Olimpiade itu menjadi etalase Hitler. Keuntungan besar dalam propaganda baginya,” ujar sejarawan Barbara Burstin, dilansir Time , 1 Agustus 2016. Lepas dari beragam kontroversi yang mengitarinya, olimpiade itu mewarisi beberapa hal yang masih bertahan hingga kini. Dua di antaranya, siaran televisi dan tradisi obor olimpiade. “Dua hal itu menetapkan bab baru dalam olimpiade yang kita ketahui sekarang. Sebagaimana juga keterlibatan politik dan nasionalisme ekstrem dan itu berlanjut sampai sekarang. Tidak diragukan lagi bahwa nasionalisme merupakan bagian yang paling fundamental dari itu semua,” lanjut Large. Meski penyalaan api olimpiade sudah eksis sejak Olimpiade Amsterdam 1928, tradisi pawai obor pertama itu digagas Carl Diem (penasihat politik Hitler). Pawai dimulai dari Gunung Olimpus di Yunani menuju Berlin dengan jarak 3.187 kilometer. Obor itu dibawa bergantian oleh 3.331 atlet selama 12 hari melintasi enam negara: Yunani, Bulgaria, Yugoslavia, Hungaria, Cekoslovakia, Austria dan Jerman. Atlet atletik Jerman, Fritz Schilgen terpilih jadi pembawa obor terakhir sebelum disulut ke wadah api abadi di Olympiastadion. “Pertandingan secara ksatria dan sportif membangkitkan karakter terbaik manusia. Karakter yang bukan memisahkan, melainkan menyatukan para peserta dalam satu pemahaman dan respek. Juga membantu menyambung semangat perdamaian antarnegara. Itu alasannya kenapa api olimpiade tak boleh padam,” ungkap Hitler, dikutip David Arscott dalam The Olympics: A Very Peculiar History.
- Pertempuran Dua Jurnalis Perang
PERTIKAIAN antara Indonesia dengan Belanda selama empat tahun (1945-1949) ternyata tidak hanya melibatkan para prajurit di medan laga atau para politisi di arena diplomasi, namun juga telah merebak ke dunia media. Adalah Rosihan Anwar dan Alfred van Sprang yang memulai “pertempuran” tersebut dalam majalah berbahasa Belanda Het Inzicht (milik Kementerian Penerangan RI). Pertempuran pena diawali oleh Alfred van Sprang dengan menulis surat terbuka ( open brief ) yang ditujukan kepada Rosihan Anwar dan jurnalis-jurnalis Indonesia lainnya. Seperti dikutip oleh Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Indonesia Jilid VII: Kisah-Kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan , Sprang mengkritik prilaku para jurnalis Indonesia yang terlanjur mabuk dalam semangat revolusi. Ia pun menyebut Rosihan dan kawan-kawan telah ikut membesarkan api permusuhan di antara bangsa Belanda dengan bangsa Indonesia. “Yang dalam tahun-tahun belakangan (api itu) menyala dalam kalbu kalian…” tulisnya. Sprang berkesimpulan bahwa saking begitu bersemangatnya para jurnalis Indonesia membela kepentingan negaranya hingga melupakan semangat dasar jurnalisme: mengikat seluruh manusia dalam kemanusiaan itu sendiri. Menurutnya, surat kabar adalah salah satu daripada bahan-bahan untuk mempersatukan nilai-nilai tersebut. “Akan tetapi tangan-tangan yang tidak ahli menjadikannya suatu bahan yang tidak mengikat, akan tetapi justru selalu membuat persatuan jatuh berderai-derai ke dalam penggalan-penggalan yang tak berharga…” ujar Sprang. Empatbelas hari kemudian, “serangan” Sprang tersebut dibalas Rosihan secara terbuka dalam majalah yang sama. Dalam bahasa yang lugas, Rosihan memulai serangannya dengan kisah pengalamannya ketika berada di sebuah medan pertempuran yang ada di wilayah Tangerang. Dia berkata menyaksikan suatu perkelahian hidup dan mati. Ia menjadi saksi betapa pejuang-pejuang pembebasan Indonesia menjadi bulan-bulanan mortir dan mitraliur militer Belanda yang serba modern. Selanjutnya, Rosihan “mengejek” Sprang sebagai telah “buta” dalam menyikapi konflik Indonesia-Belanda. Jika Sprang memang mengangungkan hati nurani dan kemanusiaan, kata Rosihan, maka dia seharusnya sadar bahwa peperangan yang terjadi bukanlah semata-mata karena anak-anak muda Indonesia telah terganja dengan semangat revolusi untuk membunuh orang-orang di luar mereka. Hal-hal yang mengerikan seperti terjadi di palagan Tangerang adalah bukti bahwa musuh yang ingin menghalangi kemerdekaan Indonesia itu jelas ada. “Betapa kau sama sekali telah gagal melihat segala sesuatu dalam cahaya yang sebenarnya…” tulis Rosihan. Dalam situasi demikian, Rosihan menyebut adalah suatu kemustahilan bagi dirinya untuk tidak bersikap jelas. Dia menyatakan tidak mungkin baginya untuk menulis segala sesuatu seolah-olah berjalan lancar antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Indonesia. “Atau kau menginginkanku menjadi seorang hipokrit, Fred?” tanya Rosihan dalam nada sinis. Di akhir tulisan, Rosihan menyatakan selama masih ada pertempuran seperti di Tangerang dan selama kapal-kapal perang Tromp dan Tijgerhaaien masih terus merompak di panta-pantai Indonesia, maka dia akan terus “menggunakan bahan yang dipercayakan ke tangannya” untuk terus menulis dan menulis sesuatu yang bisa membebaskan Indonesia. “Aku akan bercerita kepada bangsaku bagaimana duduk perkara yang sebenarnya…” kata Rosihan. Setelah surat terbuka pada 22 Juni 1946 itu, tidak ada tanggapan lebih lanjut dari Alfred van Sprang. “Kami menjadi sibuk disergap oleh pekerjaan wartawan yang harus mengejar deadline …” tulis eks redaktur surat kabar Merdeka tersebut. Alfred van Sprang merupakan jurnalis perang yang bisa disebut sangat aktif dan gesit dalam melaksanakan tugasnya. Ketika bertugas di Indonesia (1946-1949), Sprang tercatat sebagai jurnalis yang bekerja untuk kantor berita Amerika Serikat, United Pers . Sebagai orang yang berkebangsaan Belanda, Sprang sejak di Indonesia bisa menjadi jurnalis yang melekat di setiap gerakan militer Belanda. Kisah-kisahnya selama mengikuti gerakan militer Belanda di Jawa, dia catat dalam sebuah buku berjudul Wij Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil). Tidak berbeda dengan Sprang, Rosihan Anwar pun sangat terlibat dalam setiap pertempuran-pertempuran terkemuka di Jawa. Tercatat dia pernah melaporkan situasi perang yang terjadi di Surabaya, Tangerang, Batavia, Karawang, Bekasi dan tempat-tempat membara lainnya. Rosihan pula yang dicatat dalam sejarah sebagai jurnalis pertama yang bisa mewawancarai Panglima Besar Soedirman di tempat sang jenderal bergerilya.
- Yang Disiksa Sejak Zaman Belanda
Penyiksaan terhadap pembantu rumah tangga selalu terjadi ketika si majikan tidak memperlakukan pekerjanya laiknya manusia. Hal semacam ini sudah terjadi sejak era kolonial. Para majikan Eropa, dalam catatan perjalanan Jean Baptiste Tavernier yang dihimpun Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis, kerap menyiksa pembantu rumah tangga yang mereka sebut babu atau jongos. Babu dan jongos bekerja sebagai pengurus rumah dan keperluan si tuan, dan banyak dari mereka juga mengasuh anak majikan. Mereka bekerja seperti pembantu rumah tangga di masa sekarang namun status mereka adalah budak. “Pada masa itu tidak ada tenaga kerja bebas. Hal ini terlihat dari kebiasaan sejumlah pemilik budak untuk menyewakan budaknya,” kata Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Catatan Tavernier yang ditulis abad ke-17 itu menyebut penyiksaan terhadap babu banyak dilakukan orang Eropa. Istri seorang mayor di Batavia, misalnya, pernah menyeret babunya yang gadis pribumi. Setelah mengikat si babu di meja, dia menyiksanya hingga si babu meninggal. Penyebab kemarahan si majikan sebenarnya sepele, cemburu karena melihat si babu tersenyum pada tuannya ketika memberikan mantel. Berkaca pada kehidupan lelaki Belanda di Batavia yang kawin dengan pembantunya, nyonya itu curiga ada hubungan khusus antara si babu dan mayor. Setelah si babu tewas dengan tubuh terikat, nyonya itu berencana mencincang tubuhnya dan memasaknya. Dia ingin menjadikan tubuh si gadis sebagai santapan malam suaminya. Namun, rencana itu urung dilaksanakan karena babu-babu lain di rumahnya mengancam akan melaporkan itu pada tuannya. Meski begitu, si nyonya tak kena hukuman apapun. Kasus lain yang diceritakan Tavernier tak kalah kejam. Seorang nyonya terganggu oleh senda gurau babu perempuannya dengan seorang jongos pria. Nyonya itu merasa tawa si babu genit. Si nyonya yang marah langsung menyeret babunya ke dapur, memaksanya masuk ke dalam martavane , gentong air yang terbuat dari tanah liat. Martavane memiliki bentuk kecil di bagian mulut, membesar di bagian tengah dan mengecil lagi di bagian dasar sehingga sulit sebetulnya memasukkan manusia ke dalamnya. Tapi begitu si nyonya berhasil memaksa babunya masuk, dia menyiramkan air mendidih sedikit demi sedikit sampai martavane itu penuh. Si babu pun meninggal terendam dalam air panas. Meski nyonya itu kemudian mendapat hukuman, hukumannya hanya denda sebanyak f.200yang dibayarkan kepada petugas pajak. Bila majikan perempuan menyiksa babunya hingga tewas, majikan pria menyiksa budaknya dengan memperkerjakan mereka tanpa istirahat. Budak-budak itu akhirnya bunuh diri karena kelelahan dan putus asa. Ada yang bunuh diri dengan menenggelamkan diri karena mengira itu cara yang paling tidak menyakitkan, ada juga yang menggorok leher atau memilih gantung diri. Banyak bukti perlakuan buruk orang Eropa terhadap pembantunya, terutama pada abad ke-17. Namun, Francis Gouda dalam Dutch Culture Overseas tak sependapat dengan banyaknya kekejaman terhadap babu seperti yang dicatat Tavernier. Menurutnya, hanya sedikit nyonya-nyonya Hindia yang menyiksa secara fisik atau menyakiti dan memukuli pelayan-pelayan pribumi mereka. “Kadang-kadang nyonya-nyonya itu menampar pembantunya atau mempermalukan mereka secara psikologis dan melecehkan harga diri mereka,” tulis Gouda. Kondisi perbudakan baru sedikit membaik ketika ide pencerahan mulai menyebar pada abad ke-18. Meski penyiksaan terhadap budak tetap berlangsung, itu terjadi melalui jalur hukum. Setelah ada laporan dari majikan tentang perilaku pembantu atau budak mereka, hukum kemudian mengeksekusi babu atau budak itu dengan dicambuk atau dipenjara. Pun majikan mulai menerima hukuman meski tidak berat. Seperti dalam kasus Belanda kaya yang menembak mati budaknya dan menyiksa tiga budak lain pada 1742. Majikan itu dihukum keluar dari seluruh wilayah VOC. Bentuk hukuman bisa pula berupa pencabutan hak kepemilikan budak karena memperlakukan budak dengan sangat kejam. “Pada akhirnya penguasa Belanda mulai serius memikirkan nasib budak,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia. Toh, adanya hukuman terhadap penyiksa pembantu atau budak tak signifikan mengurangi kekejaman terhadap babu dan budak. Babu yang diperlakukan tidak manusiawi terus bermunculan. Pada abad ke-20, Pinah salah satu korbannya. Babu berusia 10 tahun yang dibawa majikannya ke Belanda itu harus siap melayani majikan 24 jam tiap hari. Majikannya memperlakukan Pinah secara kasar dan pelit. “Perempuan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda menampilkan sikap yang penuh kebencian, asusila, dan rasis,” tulis Rudy Kousbroek dikutip Gouda.





















