Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Makanan Jiwa dari Sang Pematung
Bagi sebagian besar warga Jakarta, patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia, patung Dirgantara di Pancoran, atau patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng tentu tak asing lagi. Seniman Edhi Sunarso menjadi pelaksana penggarapan ketiga patung monumental tersebut. Lahir di Salatiga, 2 Juli 1933, perjalanan Edhi di dunia seni menyimpan kisah unik. Dalam katalog pameran “The Monumen”, digelar di Galeri Salihara, Agustus 2010, Edhi menceritakan, menjadi seniman tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
- Terowongan Neyama Romusha
PADA 17 November 1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian. Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh penduduk setempat disebut “campur darat.” Untuk mengatasinya, pemerintah Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan makanan tentaranya di medan perang.
- Kain Kulit Kayu
SEHELAI kulit kayu ivo terentang di atas balok kayu kanore . Farida, berusia 54 tahun, memukulkan ike di genggaman tangannya ke lembaran kulit kayu itu. Irama pukulannya statis, layaknya sedang menumbuk padi. Terhantam ike , kulit kayu menipis dan melebar. "Ini baru tahap awal setelah pemotongan dan pengeratan kulit kayu dari tungkainya. Proses pemukulan dengan ike memakan waktu sehari," ujar Farida, seorang pengrajin kulit kayu asal Desa Pandere, Sulawesi Tengah, saat dijumpai di Museum Tekstil, Jakarta.
- Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai
PADI yang ditanam di Jawa sebelum perang secara kasar dikelompokkan menjadi dua jenis: pade cere (padi tak berambut) dan padi bulu (padi berambut). Orang Jawa lebih menghargai padi bulu ketimbang padi cere karena lebih enak dan dianggap bermutu lebih tinggi, sehingga harganya pun lebih mahal. Ketika menduduki Indonesia, pemerintah militer Jepang mendorong petani agar menanam padi cere yang lebih produktif. Setiap hektarnya, padi cere bisa menghasilkan panen lebih tinggi karena tahan terhadap musim kering dan bisa tumbuh di tanah yang kurang subur.
- Si Putih yang Mendunia
KEMEJA Arrow pernah bikin Sukarno dan Sjahrir bertengkar semasa sama-sama jadi tawanan Belanda. Peristiwa tersebut terjadi saat Sukarno meminta kemeja Arrow kepada penjaga tahanan. Karena jenggah, Sjahrir berucap: "Kamu ini kan presiden, kenapa minta-minta seperti itu? Jaga martabat, Bung!" Kisah tersebut memang hanyalah fiksi, tertulis dalam novel Presiden Prawiranegara garapan Akmal Nasery Basral. Meski demikian, kecintaan Bung Karno terhadap kemeja Arrow adalah sebuah kenyataan. Dalam Menyingkap Tirai Sejarah Bung Karno & Kemeja Arrow , sejarawan Asvi Warman Adam merujuk catatan Maulwi Saelan, ajudan Presiden Sukarno, yang menuliskan saat keluar istana Bung Karno meninggalkan banyak buku dan benda lainnya seperti arloji dan kemeja Arrow.
- Gejolak Revolusi di Selatan Jakarta
JEANETTE Tholense mengenangnya sebagai peristiwa kelam dalam hidupnya. Suatu siang Oktober 1945, segerombolan pemuda bersenjata menggeruduk rumah orangtuanya di Kerkstraat (kini Jalan Pemuda), Depok. Selain merampok, para pemuda prokemerdekaan itu membunuh salah seorang saudaranya, Hendrick Tholense. Merasa tak aman lagi, Jeanette dan keluarganya mengungsi ke rumah saudara di Jalan Bungur. Alih-alih terlindungi, mereka malah menjadi tawanan para pemuda. “Semua disuruh buka baju. Yang lelaki tinggal pakai celana kolor dan yang perempuan tinggal pakaian dalam saja. Kami digiring ke Stasiun Depok Lama,” ujar perempuan kelahiran Bandung, hampir 76 tahun lalu.
- Berlayar Sampai Madagaskar
Orang Indonesia adalah nenek moyang penduduk Madagaskar, demikian penelitian yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B , 21 Maret 2012. Ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox, memimpin penelitian untuk menganalisis DNA mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar (Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina. Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3/2012), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.
- Nusantara dalam Kitab Tiongkok
SEJARAH kuno Indonesia tak bisa dilepaskan dari sumber-sumber Tiongkok. Selama ini, sejarah ditulis berdasarkan sumber Tiongkok yang dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes on Two Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Resources (1880), yang baru-baru ini diterjemahkan menjadi Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Berdasarkan buku ini pula disusunlah buku babon Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (1975 dan 1984). Dibanding karya Groeneveldt, buku karya Prof Liang Liji ini, menggunakan sumber-sumber primer yang lebih kaya, yaitu kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.
- Dari Buaya Keroncong hingga Buaya Darat
BAGI penikmat dunia hiburan tanah di zaman baheula, namanya tentu tak asing lagi. Dia tergolong artis serba-bisa. Menyanyi. Berakting. Tampil di atas panggung. Padahal kariernya dimulai dari seorang kacung dalam sebuah rombongan sandiwara di Bandung, melakukan pekerjaan menyapu hingga membersihkan alat musik. Tan Tjeng Bok masih berumur 13 tahun kala itu. Di rombongan sandiwara De Goudvissen ini, dia tak mendapat gaji. Hanya makannya ditanggung. Imbalan paling berarti baginya adalah alunan suara dari sang penyanyi pujaan Ben Oeng (Beng). Tjeng Bok memendam hasrat pada dunia tarik suara.
- Kekecewaan Seorang Jepang
Pada 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro. Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan: "Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno."
- Kisah Amir Sjarifoeddin dalam Pelarian
DI tengah pelarian, Amir Sjarifoeddin jengkel terhadap kelakuan anak buahnya. Waktu itu mereka –yang sedang kekurangan makanan– menyinggahi sebuah desa yang tak memusuhi kelompok Amir. Menyaksikan hamparan pohon kelapa yang luas ditambah rasa dahaga, pasukan rombongan Amir jadi kalap. Beberapa orang memanjat pohon kelapa dan mengambil buahnya. “Mengetahui itu, Bung Amir bukan berterimakasih tetapi malah marah. Ia bergegas keluar rumah, lalu pestolnya dimuntahkannya ke atas tiga kali,” kenang Fransisca Fanggidaej dalam Memoar Perempuan Revolusioner. Turun! Turun! Amir berteriak seraya mengancam akan menembak anak buahnya yang memanjat dan memetik kelapa di pekarangan desa itu jika tak mau turun. Dalam pandangan Fransisca –aktivis Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang ikut long march rombongan Amir– meski sebagai buronan politik kelas kakap, Amir masih memperlihatkan keluhurannya sebagai seorang negarawan. Di tengah pelarian kelompoknya dari kejaran tentara Republik, Amir menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi. Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak mencatat instruksi Amir, antara lain: desa-desa yang telah diduduki penduduknya harus dihormati; kerusakan di tempat pemondokan harus diganti rugi; sebelum berangkat meninggalkan rumah persinggahan harus dibersihkan terlebih dahulu; semua makan-minum yang didapat harus dibayar kembali. Menurut Fransisca ketentuan-ketentuan itu dilakukan dengan sadar dan patuh selama dua bulan masa pelarian. Bukan saja oleh anggota pasukan tapi juga oleh seluruh anggota rombongan. Tidak boleh ada satu batang lidi pun yang diambil dari rakyat. “Itulah sekilas tentang Bung Amir. Kepribadiannya yang demikian luhur itu membuatku segan untuk mendekat. Tidak berani! Bukan takut, tapi segan,” ujar Fransisca. Kodrat Alam Banyak yang heran atas pilihan politik Amir; bersekutu dengan Musso dan melawan Republik. Keputusan itu kelak menjerumuskan dirinya dari kedudukan terhormat menuju akhir hidup yang tragis. Sebelum terjun dalam petualangan yang penuh bahaya di Madiun, Amir Sjarifoeddin sejatinya adalah figur cemerlang. Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan mencatat, Amir Sjarifoeddin merintis namanya di pentas pergerakan nasional takala menjadi bendahara dalam Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Dalam perhelatan akbar itu, Amir yang bermarga Harahap mewakili organisasi Jong Batak . Kemudian, dia menjadi pengikut Sukarno dalam Partai Indonesia (Partindo) dan akhirnya memimpin Gerakan Rakyat Indoneisa (Gerindo). “Ia seorang Muslim yang menjadi Kristen,” tulis Gie. Pada zaman Jepang, Amir dipenjarakan karena ikut gerakan bawah tanah. Di masa perang kemerdekaan, antara 1947–1948, Amir menjabat sebagai Perdana Menteri RI merangkap Menteri Pertahanan. Mundur dari pemerintahan, Amir terlibat dalam gerakan PKI Musso di Madiun. Di struktur partai, dia adalah anggota Politbiro CC PKI. Presiden Sukarno dalam rapat kabinet yang akan memutuskan tindakan terhadap para “pemberontak” Madiun, sesungguhnya merasa terkejut dengan keterlibatan Amir dalam Insiden Madiun 1948. “ Wat wil die Amir toch ?” (Amir itu maunya apa?), tanya Sukarno sebagaimana disaksikan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Simatupang sendiri adalah perwira tinggi TNI yang menaruh hormat secara pribadi terhadap Amir yang dinilainya sebagai seorang pemikir yang brilian. Seorang orator yang dalam keulungan berpidato hanya kalah oleh Bung Karno. Seorang pejuang dan pekerja yang tabah dan tidak memikirkan kepentingan diri sendiri. “Mereka yang pernah mengenalnya dari dekat akan tetap memelihara kenang-kenangan kepada seorang manusia yang baik dan peramah,” tutur Simatupang dalam otobiografinya Laporan dari Banaran . Hal senada juga dikenangkan Abu Hanifah, rekan Amir di masa muda yang menjadi tokoh Partai Masyumi. Amir dianggapnya sebagai pribadi menyenangkan: kawan yang baik, suami yang setia, dan bapak yang penyayang. Di sisi lain, kelemahan Amir terletak pada emosi dan ambisinya yang sering menjadi pedoman yang salah bagi sikap dan perbuatannya. “Ia seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah airnya. Rasanya ia mengharap terlalu banyak dari manusia-manusia sekelilingnya,” ungkap Abu Hanifah dalam “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifoeddin” termuat di Manusia dalam Kemelut Sejarah . Menurut Simatupang, pasca menandatangi Perjanjian Renville, akhir Januari 1948, Amir mengalami kekecewaan besar. Perjanjian itu dianggap merugikan Republik sementara Masjumi, partai yang menyokong kabinet Amir Sjarifoeddin, menarik dukungannya. Amir lantas menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri dan menjadi oposisi. Belakangan ketika Amir sampai di dalam tahanan Yogya, orang tanya padanya, mengapa dia lakukan pemberontakan. Sebagaimana dilansir koresponden khusus Sin Po 5 Februari 1949, Amir cuma jawab: “sudah kodrat alam”. Di Hadapan Gatot Soebroto Ketika tertangkap di desa Klambu, Grobogan, akhir November 1948, Amir dibawa ke Solo. Di Solo, Amir dan beberapa rekannya dihadapkan kepada Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Di rumah Gubernur Militer, Amir berpakaian piyama compang-camping. Sementara Gatot, berpakaian perwira militer lengkap dan duduk di kursi yang empuk dan serba mewah. Sembari menyuguhkan kopi, Gatot menginterogasi tawanan-tawanan politik yang dipimpin Amir. Gatot bertanya mengenai berbagai hal terkait gerakan Madiun. Alih-alih memberikan jawaban, Amir memilih bungkam. “Bung Amir tutup mulut,” ujar Fransisca. “Aku menyaksikan sikap mereka, orang-orang yang kalah, tapi begitu penuh harga diri.”*
- Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik
KETENANGAN di Pangkalan Udara (Lanud) Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Maguwo, Yogyakarta sekira pukul 6 pagi, 19 Desember 1948, itu mendadak berganti kegaduhan. Alarm peringatan meraung-raung seiring mulai menyalaknya meriam-meriam anti-udara. Tetapi perlawanan pasukan pangkalan itu segera dijinakkan pesawat-pesawat tempur P-40 Kittyhawk dan P-51 Mustang dari Skadron ke-18 Commando Java Koninklijke Luchmaacht (Angkatan Udara Kerajaan Belanda Komando Jawa). Sejurus perlawanan dari Lanud Maguwo mulai mereda, sekira pukul 6.44 para prajurit Korps Speciale Troepen (KST) mulai terjun dari pesawat-pesawat angkut Dakota alias C-47 Skytrain dan pesawat-pesawat pembom B-25 Mitchell. Operatie Kraai alias Operasi Gagak telah dimulai dimulai militer Belanda. Panglima Tentara Hindia Belanda Letjen Simon Hendrik Spoor turut mengawasi operasi itu dari salah satu pesawat pembom Mitchell. Sang legercommandant pagi itu ditemani direktur Centraal Militaire Intellegence Kolonel J.M. Somer. “Saya beruntung mengikuti Djati (nama sandi Spoor, red. ) untuk menyaksikan keberangkatan pasukan para dengan pesawat B-25. Kami sampai di atas Maguwo pada jam 6.40 dan menyaksikan pasukan para terjun tepat jam 6.45. Pasukan para mendarat dengan aman tanpa ada kerusakan pada landasan terbang,” kata Somer dalam laporannya via telegram bernomor 370-N “ zeer geheim ” (sangat rahasia), dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta: Jenderal Spoor (Operatie Kraai) versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat no. 1). Kolonel Somer di atas kota Yogyakarta dengan pesawat pengebom B-25 Mitchell. (nationaalarchief.nl). Lanud Maguwo sendiri akhirnya dikuasai setelah sejam perlawanan pasukan pangkalan AURI dengan harga mahal, 41 prajurit gugur. Usai merebut Lanud Maguwo, pasukan para Belanda yang sudah terhubung dengan kolone kavaleri dan infanteri dari T-Brigade (Tijgerbrigade) –berkuatan 2.600 personel pimpinan Kolonel Dirk van Langen– yang bergerak dari Semarang itu segera merangsek ke dalam kota Yogyakarta mulai pukul 2 siang. Kota Yogyakarta praktis nyaris tanpa kekuatan tentara republik yang sedang latihan perang di luar kota. Hanya tersisa pasukan kompi markas Brigade X pimpinan Letkol Soeharto dibantu pasukan kadet Militaire Academie (MA), Laskar Seberang pimpinan Mayor Pelupessy, dan kesatuan Mobil Brigade (Mobrig, kini Brimob Polri) pimpinan Inspektur Johan Suparno. “Di Semaki mereka (pasukan Belanda) dicegat oleh pasukan kadet MA. Dekat Ambarukmo dan Gedung Kuning terlibat pertempuran melawan kesatuan polisi di bawah Johan Suparno. Sebelumnya di sekitar Maguwo pasukan Mayor Pelupessy pun mencoba menghalangi gerakan Belanda,” tulis Dinas Pembinaan Mental TNI AD (Disbintalad) dalam Perjuangan Gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman . Letkol Soeharto menginstruksikan Peleton Marjuki menghadang di Jalan Solo dan Peleton Dimyati di sepanjang rel keretaapi di Lempuyangan. Namun keunggulan persenjataan dan dukungan kekuatan udara Belanda membuat pertempuran-pertempuran tidak imbang. Operatie Pelikaan secara prinsip sebagai percepatan Operatie Kraai untuk menduduki Yogyakarta sebagai ibukota Republik pun dimulai. Pucuk komandan Belanda saat Agresi Militer II, Kolonel Dirk Reinhard Adelbert van Langen. (nationaalarchief.nl). Bendera Putih di Istana Kepresidenan Jika Operatie Kraai disusun Kepala Staf Umum Mayjen Buurman van Vreeden sejak Januari 1948 –seiring Perjanjian Renville yang mengakhiri Agresi Militer I (1947), Operatie Pelikaan diusulkan kepada Jenderal Spoor pada awal September 1948. Tujuan Operasi Pelikan yakni mempercepat pendudukan Yogyakarta dan menangkap para pimpinan republik. “Untuk melaksanakan operasi ini, dikerahkan satu Kompi Para dan tiga kompi komando dari KST. Sedangkan pasukan susulan akan didaratkan dua batalyon dari Tijgerbrigade. Rencana Operatie Pelikaan ini disetujui oleh Spoor,” tulis Wawan Kurniawan Joehanda dalam Djocjakarta: Mereka (Pernah) di Sini, Des 1948-Juni 1949. Setelah mendapat lampu hijau dari Spoor, lanjut Wawan, Kolonel A.J. Thompson menuangkannya dalam instruksi operasional No. 1117/GS 03, “ De aanvullende operationele instructive voor de versnelde fase van Operatie Kraai ” bertanggal 9 September 1948, untuk kemudian dikirim kepada para komandan divisi dan brigade Koninklijke Landmaacht (AD Belanda) dan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) se-Jawa dan Sumatera. Selain Spoor, Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Louis Beel juga menyetujuinya meski Gubernur Jenderal Hubertus van Mook masih ragu. Tapi beberapa pekan kemudian, Kabinet Perdana Menteri (PM) Willem Drees di Den Haag menolak usulan itu. Kala itu negosiasi antara Belanda dan Republik Indonesia pasca-Perjanjian Renville belum menemui jalan buntu. Terlebih pemerintah Indonesia sedang disibukkan “pasifikasi” barisan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang melancarkan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun (18 September-19 Desember 1948). Beel dan Spoor menganggap pemberontakan PKI jadi momen tepat untuk merebut Yogyakarta karena pemerintah Republik sedang “digembosi” dari dalam. Sementara, PM Drees justru beranggapan jika upaya pemerintah Indonesia memadamkan pemberontakan PKI itu direcoki agresi, dikhawatirkan akan jadi backfire bagi Belanda berupa kecaman-kecaman dunia internasional. “Pertimbangan PM Drees, selama pemerintah (Perdana Menteri, Mohammad) Hatta masih menguasai Yogyakarta dan RI bertekad menyelesaikan pemberontakan PKI/Moeso dengan kekuatannya sendiri, ia dan kabinet dalam sidangnya mengajukan alternatif penggunaan kekuatan militer untuk menduduki beberapa wilayah RI yang ‘bersahabat’ dengan Belanda,” tulis Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Soekarno, “Rebut Kembali Madiun”: Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moeso 1948. Presiden Sukarno saat menjadi tahanan rumah di Gedung Agung (kiri) & saat hendak diterbangkan ke Sumatra. (NIMH/defensie.nl). Operatie Pelikaan yang ingin dilancarkan Beel dan Spoor sebelum Desember 1948 memang batal terlaksana. Namun, tujuan-tujuan utamanya membidik para pucuk pimpinan republik tetap terlaksana sejurus Operasi Gagak. Maka ketika langit Yogyakarta mulai meredup pada sore 19 Desember 1948, pasukan Belanda dengan superioritas persenjataannya sudah mampu menembus kubu-kubu pertahanan tentara Republik. Istana Kepresidenan Gedung Agung di seberang Benteng Vredeburg pun sudah di depan mata. “Pergerakan pasukan Belanda menuju kota Yogyakarta terbagi dalam dua kolone, yaitu Kolone A dan Kolone B. Kolone A melambung ke utara dan Kolone B bergerak dari selatan yang akhirnya bertemu di satu titik di pusat kota. Kolone B yang terdiri dari pasukan KST pada jam 15.00 telah mencapai depan Istana Presiden, Gedung Agung. Sedangkan Kolone A bergerak menyusuri rel dan berakhir di Stasiun Tugu,” sambung Wawan. Beberapa barisan dari dua kolone pimpinan Kolonel Van Langen itu juga menyebar dengan posisi tempur ke Gedung Kantor Pos, Pasar Beringharjo, dan Benteng Vredeburg untuk mengepung Istana Kepresidenan. Maka, dalam keadaan terkepung pasukan republik yang berjaga di Gedung Agung pun tak mampu memberi perlawanan. “Pasukan yang menjaga Istana Presiden saat itu adalah Kompi II dari Polisi Militer dengan kekuatan kurang dari satu peleton. Menghadapi perlawanan tak seimbang, pasukan itu mundur dan masuk ke dalam istana. Letnan Kemal Tobing berganti pakaian biasa dan atas perintah Presiden Sukarno, dia kembali keluar sambil membawa bendera putih,” sambung Wawan. Sementara, di dalam istana mulai gaduh. Beberapa dokumen penting diputuskan untuk dibakar meski naskah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bisa diselamatkan. Presiden Sukarno juga memerintahkan Husein Mutahar, protokol istana yang juga pencipta lagu “Hari Kemerdekaan”, untuk menyembunyikan Sang Saka Merah Putih sebelum pimpinan pasukan Belanda masuk istana. Komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden AKBP Mangil Martowidjojo lalu menjadi orang pertama yang menemui utusan pasukan Belanda, Letkol Van Beek. Dalam todongan senjata, Mangil diinstruksikan untuk menginfokan bahwa Presiden Sukarno mesti menghadap Van Langen di depan Gedung Kantor Pos. “Itu adalah saat-saat paling mendebarkan dari keseluruhan operasi yang sedang berlangsung. Saat paling dramatis dalam konfrontasi antara Belanda dengan Indonesia,” tulis sejarawan Louis Zweers dalam Agressi II, Operatie Kraai: De vergeten beelden van de tweede politionale actie. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan pemimpin pemerintahan Republik lain yang ikut ditawan kala Agresi Militer Belanda II. (NIMH/defensie.nl). Dalam pembicaraannya kemudian, Van Langen merayu Sukarno untuk berdiri di barisan Belanda dengan menjadi kepala pemerintahan federal. Sudah barang tentu rayuan itu ditolak. Selebihnya, Van Langen menyatakan Sukarno sebagai tahanan rumah di istana selama tiga hari. “Langkah membiarkan diri tertawan itu merupakan langkah politik yang berakibat baik bagi perjuangan kita,” ungkap buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan terbitan LVRI. Pada 22 Desember 1948, Sukarno bersama Sutan Sjahrir, Kepala Staf AURI Komodor Suryadi Suryadharma, PM merangkap Wakil Presiden Moh. Hatta, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim diterbangkan ke pengasingan di Sumatera via Lanud Maguwo. “Presiden Sukarno dibawa ke salah satu markas pasukan Belanda di Terban Taman (kini Museum Dharma Wiratama Angkatan Darat). Tiga hari setelah ditahan sebagai tahanan rumah, Sukarno dan para pemimpin Republik diterbangkan dengan pesawat B-25 tanpa tujuan jelas. Pilot hanya mengetahui tujuan penerbangan setelah membuka surat perintah di dalam pesawat,” tambah Wawan. Selain Panglima TNI Jenderal Sudirman yang sudah lebih dulu keluar kota untuk bergerilya, hanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) selaku menteri pertahanan yang tak diangkut Belanda. Sultan HB IX yang bersahabat dengan Ratu Belanda Juliana ini pun sempat disatroni langsung oleh Jenderal Spoor di dalam keraton. Spoor juga merayu sultan untuk memihak Belanda, namun ditolak mentah-mentah. Sebelumnya, sultan didatangi perwira tinggi Belanda Jenderal Meijer dan beberapa pejabat sipil Belanda, tapi menolak ajakan mereka. Kemudian, Spoor sendiri yang mendatanginya dengan tank ringan M3 Stuart sambil mengancam akan menerobos penghalang di gerbang keraton. “Sultan segera meminta Spoor turun dari tanknya dan jalan kaki ke dalam keraton. Kedatangan Spoor hendak membicarakan tentang ‘kerjasama’ dan apa yang akan diberikan sebagai imbalan. Tetapi satu-satunya yang ingin dibicarakan Sultan adalah penarikan mundur pasukan Belanda dari Yogyakarta dan setelah berbicara 10 menit, Spoor beranjak meninggalkan pertemuan,” tandas Wawan.*






















