top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI

    RAPAT dibuka. Supeni yang duduk di depan para kader PNI langsung memimpin rapat strategi kampanye untuk memenangkan pemilu 1955. Tugas itu dia lakoni sebagai bagian dari tugasnya menangani pemilu 1955, tugas yang dipikulnya sejak bergabung dengan PNI pada 1946. Selain memimpin rapat-rapat, Supeni rutin berkunjung ke cabang-cabang PNI di daerah untuk memberi ceramah. Tapi tugas yang menghampiri Supeni bukan hanya dari partai. Sejak awal 1950-an, lewat panitia persiapan pemilu, Supeni ditugaskan pemerintah untuk mempelajari penyelenggaraan pemilu di berbagai negara, seperti India dan Amerika Serikat (AS). Kala itu, ia berangkat bersama tim kecil yang diketuai Subagio Reksodiputi. Selain mempelajari penyelenggaraan pemilu, tim kecil ini juga ditugaskan merancang UU pemilu. Selama dua bulan tinggal di India, Supeni menemukan kesamaan kondisi penyelenggaraan pemilu di negeri itu dan di Indonesia. Kedua negara mayoritas rakyatnya masih buta huruf, awam pada model pemilihan langsung, dan sama-sama baru keluar dari penjajahan. Saking banyaknya hal yang didapatkannya dari kunjungan ke India, Supeni sampai membukukannya dengan judul Pemilihan Umum di India, terbit 1952. Pada Oktober 1952, Supeni berangkat ke AS untuk memenuhi undangan pemerintah negeri itu mempelajari pemilihan presiden dan sistem dua partai di sana. Kunjungan selama tiga bulan itu dimanfaatkannya untuk bertemu tokoh-tokoh seperti Dr. Polock (guru besar politik Universitas Michigan), Eleanor Roosevelt, dan League of Women Voters. Kunjungan dan diskusi dengan para tokoh politik itu juga membuahkan buku yang terbit pada 1954, Wanita dan Pemilihan Umum . Setelah kunjungan ke dua negara tersebut, Supeni bersama tim kecil berkonsentrasi membuat rancangan UU pemilu yang kemudian disahkan tahun 1953. Setelah tugasnya selesai, Supeni diangkat oleh menteri Kehakiman dan menteri Dalam Negeri sebagai Ketua Penitia Pemilihan Daerah Jakarta Raya. Kecakapan Supeni dalam memahami pemilu membuatnya dipercaya sebagai Ketua Badan Pekerja Aksi Pemilihan Umum PNI (PAPU PNI). Supenilah otak di balik strategi pemenangan PNI dalam pemilu 1955. Informasi tentang penyelenggaraan pemilu di India dan Amerika dia sebarkan ke kader-kader PNI melalui ceramah dan rapat strategi pemenangan PNI. Hasilnya, luar biasa. PNI menjadi peraih suara terbesar dalam pemilihan anggota DPR. Kemenangan itu membawa Supeni duduk di DPR dan Dewan Konstituante bersama tiga perempuan lain dari Fraksi PNI. Supeni dipercaya menjadi ketua Seksi Luar Negeri di sana. Supeni pula yang ditunjuk mewakili PNI dalam Dewan Konstituante yang rapatnya dilakukan di Bandung.

  • Meluruskan Fakta Pertemuan Soeharto dan Sultan

    LANGIT Kota Yogyakarta sudah gulita. Malam itu, 13 Februari 1949, sekira pukul 11, Lettu Marsudi “menyelundupkan” Overste (letnan kolonel) Soeharto masuk kota dan keraton. Komandan Wehrkreise (WK) III sekaligus komandan Brigade X-Mataramitu dibawa menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dalam sebuah pertemuan klandestin.

  • Seorang Menak di Garis Depan

    SEJARAWAN Rushdy Hoesein mengenang Achmad Wiranatakusumah sebagai sosok yang menyenangkan. Sebagai narasumber sejarah, Achmad hampir tak pernah menyimpan rahasia tentang segala sesuatu yang pernah dialami dalam hidupnya. Terutama yang terkait dengan kiprah menak Sunda itu di era revolusi. “Saya ingat sebulan sekali dia kerap mengundang saya untuk sekadar sarapan pagi sambil bercerita di sebuah hotel di Jakarta,” ujar Rushdy. Kendati seorang priyayi, Achmad dikenal sebagai seorang egaliter. Lahir di Bandung pada 11 Oktober 1925, putra pertama dari Dalem Bandung R.A.A. Haji Muharam Wiranatakusumah dengan Raden Ayu Sangkaningrat itu sejak remaja bergaul dengan siapa saja tanpa memilah-milah kasta. Bisa jadi itu disebabkan oleh pengaruh sang ibu yang seorang nasionalis sekaligus tokoh perempuan Sunda yang merakyat. “Dia cerita kepada saya bahwa kebenciannya kepada kolonialisme karena cerita-cerita ibunya,”ungkap Rushdy. Membentuk Pasukan Menginjak usia remaja, Achmad bersama saudara dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi kepanduan bernama PJT (Padjadjaran Jeugd Troep). Berbeda dengan organisasi kepanduan lainnya di era itu, PJT lebih mengutamakan ketrampilan militer bagi para anggotanya. Secara rutin, PJT mempelajari  cara menggunakan senjata, taktik pertempuran dan survival. “Achmad menyewa seorang sersan Belanda bernama Schouten untuk melatih kemiliteran,” tulis Aam Taram, R.H. Sastranegara, Iip D. Yahya dalam Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah: Komandan Siluman Merah . Saat militer Jepang menyerang Jawa pada Maret 1942, PJT diperbantukan sebagai pasukan bantuan. Tugas utama mereka adalah memantau pergerakan tentara Jepang di sekitar Bandung. Saat itulah, Achmad sempat memergoki sepasukan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang sudah putus asa dan membuang senjata-senjata itu ke sungai. “Setelah prajurit-prajurit KNIL itu pergi, Achmad dan kawan-kawannya kemudian mengambil senjata-senjata tersebut dan kemudian menyembunyikannya di beberapa gua dan sebagian dikubur di tempat-tempat tersembunyi,”tutur Rushdy. Singkat cerita, pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada militer Jepang. Achmad sendiri sempat ditahan oleh Bepang, sejenis unit intelijen militer Jepang, karena ketahuan menyembunyikan senjata. Untunglah senjata-senjata tersembunyi yang diketahui militer Jepang itu hanya sebagian kecil saja. Sebagian besar tetap ada di tempat aman. Senjata-senjata itu baru dibongkar oleh Achmad ketika militer Jepang sudah bertekuk lutut kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Bermodalkan senjata-senjata itulah, Achmad membentuk sebuah pasukan di Ciwideuy pada 7 Oktober 1945, lengkap dengan seragamnya yang terbuat dari karung goni “kualitas terbaik”. Karena seragam unik itulah ketika pasukan Achmad berbaris menuju Soreang, Bandung, orang-orang menjulukinya sebagai “Pasukan Karung”. Sejarah mencatat Pasukan Karung kemudian banyak terlibat dalam kontak senjata melawan tentara Jepang dan tentara Sekutu di Bandung. Akhir 1946, saat proses evakuasi para prajurit Jepang dan masalah para interniran (tawanan Jepang) sudah selesai, pasukan ini juga terbilang aktif menyerang kedudukan pasukan Belanda. Termasuk ketika mereka menyandang nama baru: Batalyon 26 Brigade Guntur Divisi Siliwangi. Batalyon Siluman Merah Selaku seorang komandan, Achmad tak pernah absen di garis depan. Kendati sangat dekat dengan para prajuritnya, namun layaknya saat memimpin PJT, tradisi disiplin tetap berlaku tanpa kompromi. Karena itu tak heran jika Batalyon 26 yang dipimpin Mayor Achmad Wiranatakusumah diperhitungkan oleh militer Belanda. Para serdadu Belanda mengenal batalyon yang dipimpin Achmad sebagai suatu pasukan yang tak pernah terdeteksi ketika akan menyerang. Pada saat lengah, secara mendadak mereka muncul dengan serbuan yang dasyat dan mematikan. Namun sebelum pasukan Belanda sadar dan bisa berkoordinasi, anak buah Achmad sudah menghilang. Itulah yang menyebabkan militer Belanda menjuluki pasukan Achmad sebagai pasukan siluman. Menghadapi gerakan Batalyon 26 di wilayah Soreang dan sekitarnya, militer Belanda tak mau lagi kecolongan. Mereka lantas berinsiatif memburu kedudukan pasukan Achmad dengan dukungan banyak pasukan dan persenjataan lengkap nan mutakhir. Akibatnya, Batalyon 26 harus mundur ke Gunung Sadu. Di Gunung Sadu, Achmad lantas menasbihkan nama pasukannya dengan nama “Siluman Merah”. Kata “merah” ditambahkan oleh Achmad dari Red Devil. Itu nama kesatuan baret merah resimen pasukan para Inggris. Sebagai lambang, dipilih gambar kepala siluman berwarna merah dengan dasar bintang kuning dan latar hijau. Ster (lambang bintang) mengikuti lambang 2rd Infantry Division Indianhead. Bedanya simbol kesatuan itu yang berupa kepala ketua suku Indian diganti dengan kepala siluman merah yang digambar oleh seorang prajurit Batalyon 26 bernama Oyo Kartawilaya. (Bersambung).

  • Babi dalam Masyarakat Nusantara

    Ketika pengikut Magellan berkunjung ke Tidore, raja meminta kami untuk membunuh semua babi yang kami bawa dalam kapal. Itu demi menunjukkan cinta kami kepadanya. Padahal dalam hal-hal lainnya dia tak begitu taat. Itu meski dia telah lima puluh tahun memeluk agama Islam. Sebagai gantinya, sang raja pun bilang akan memberi kami kambing serta ayam dalam jumlah yang sama. Kami membunuh babi-babi itu demi menyenangkan hatinya dan menggantungnya di bawah dek.  "Kalau orang-orang itu kebetulan melihat babi mereka menutup muka agar tak melihat atau mencium baunya," tulis Pigafetta, penjelajah Venesia, dalam catatannya pada 1524.  Menurut Anthony Reid dalam  Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2 , pada masa lalu pantang makan daging babi adalah isyarat pertama yang paling mencolok jika seseorang taat pada Islam. Padahal babi sudah sejak lama menjadi salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat yang hidup di Nusantara. Beberapa jenis babi purba diketahui telah ada di Nusantara sejak ratusan ribu tahun lalu. Di Sangiran misalnya, jenis  Sus macrognathus, Sus brachynathus, Sus terhaari,  dan  Sus stremmi  ditemukan dalam bentuk fosil di lapisan kabuh yang berusia sekira 780.000 tahun. Temuan fosil itu biasanya berupa fragmen gigi dan fragmen tulang kaki. Citranya juga ditemukan di dinding goa di Maros, Sulawesi Selatan. Salah satunya di Leang PattaE Kere, yaitu gambar babi rusa yang bercampur dengan lukisan cap tangan. Diketahui juga hewan itu sudah diternakkan paling tidak sejak 3.500-4.000 tahun yang lalu. Demikian menurut Peter Bellwood, dkk., dalam “A 4000 Year-old Introduction of Domestic Pigs into the Philippine Archipelago: Implications for Understanding Routes of Human Imigration through Island Southeast Asia and Wallacea” yang terbit dalam jurnal  Antiquity tahun 2009. Babi juga terpahat dalam panil relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. "Masyarakat Jawa pada masa itu mungkin telah terbiasa beternak babi," tulis Kresno Yulianto Sukardi, arkeolog Universitas Indonesia dalam "Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi", termuat dalam  Pertemuan Ilmiah arkeologi IV.  Babi dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Babi termasuk dalam daging yang paling banyak tersedia selain ayam dan kerbau. "Babi adalah pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging. Ia merupakan sumber utama daging di daerah di mana Islam belum masuk," tulis Reid. Nagarakrtagama  yang ditulis Mpu Prapanca pada abad ke-14 menyebutkan jenis daging yang dihidangkan di Keraton Majapahit. Babi liar disebutkan selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek.  Menurut berbagai data prasasti babi termasuk dalam daging yang sering dikonsumsi. Di antaranya babi ternak ( celeng ) dan babi hutan ( wok ). Pada masa Jawa Kuno, agama telah membatasi masyarakat dalam kehidupan sosial. Namun, tak berlaku ketat dalam hal makanan. Dalam  Nagarakrtagama  tercatat adanya konsumsi daging yang “tak biasa” di Keraton Majapahit. Hidangan itu tak dihidangkan kepada orang yang taat karena pantangan Hindu. “Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, ikan, telur, domba, menurut adat agama dari zaman purba, makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus, keledai, dan katak. Jika dilanggar, mengakibatkan hinaan musuh, mati, dan noda,” tulis Mpu Prapanca. Makanan pantangan pun tetap disajikan bagi yang menyukainya dan rupanya digemari rakyat biasa “karena asalnya dari berbagai desa. Mereka diberi kegemaran biar puas…,” kata Prapanca lagi. Tak heran jika kemudian kebiasaan makan babi menjadi hambatan utama masuk Islam. Itu kejadian umum di Asia Tenggara. "Babi adalah sumber daging utama dan unsur utama dalam upacara," sebut Reid. Islam mengharuskan perubahan dalam hal makanan, pakaian, dan gaya rambut. Karenanya pengislaman sering dilihat sebagai perubahan status etnik. "Meninggalkan babi menjadi satu ciri masuknya Islam masyarakat Nusantara, selain menyunat dan meninggalkan berhala," lanjut Reid. Dalam  Hikayat Patani  dari awal abad ke-16 misalnya disebutkan penguasa Patani telah menerima Islam. Hikayat itu menyinggung zaman raja berikutnya, yang membangun masjid pertama, penduduk kota telah dengan mudah meninggalkan kebiasaan makan babi dan benda pemujaan tetapi tetap menyembah pohon, batu, dan roh. Babi pun nampaknya menjadi simbol orang kafir. Mendes Pinto, penjelajah Portugis pada 1578, menyebut raja-raja Aceh dan Demak sebagai pahlawan antikafir. Dikatakan kalau Pahang tak akan membiarkan orang Portugis dimakamkan di daratan.  “Tanah akan menjadi terkutuk dan… tidak ada yang bisa tumbuh lagi karena mayat-mayat belum dibersihkan dari daging babi yang banyak dimakan,” tulisnya seperti dikutip Reid. Pada abad ke-16, orang Makassar terkenal menolak Islam karena babi merupakan sumber daging mereka. Kata Reid, menurut kronik setempat dari Bulo-bulo di daerah Sindjai, distrik ini sempat diajak menerima Islam dengan ancaman perang oleh raja Makassar pada abad ke-17. Seorang penguasa terkemuka setempat pun berkata menantang kalau dia tidak akan memeluk Islam meski sungai penuh dengan darah. Itu selama masih ada babi yang bisa dimakan di hutan Bulo-bulo. "Anehnya, menurut cerita ini, seluruh babi di hutan lenyap malam itu juga. Sang penguasa pun beserta semua pengikutnya harus masuk Islam," tulis Reid. Selain babi, di beberapa tempat, anjing juga dimakan. Itu sangat berbeda dengan kucing, yang tidak pernah dimakan dan sering dipandang setengah suci karena melindungi padi dari hewan pengerat.  Setelah Islam masuk, anjing bersama babi, kodok, dan ular kemudian dipandang sebagai hewan yang haram untuk dimakan. Menurut Reid, larangan atas sumber daging semacam itu, khususnya babi, dinilai mengakibatkan berkurangnya konsumsi protein hewani. "Telah dibuktikan di Borneo pada abad ke-20, orang Dayak Ngaju yang menjadi penganut Islam lebih sedikit makan daging dibandingkan dengan penganut animisme. Itu meski mereka umumnya lebih kaya," tulis Reid. Islam juga mengurangi perlunya pengorbanan hewan dalam ritus penghormatan leluhur. Hal ini pun bisa ikut berperan dalam mengurangi konsumsi protein hewani pada makanan Asia Tenggara di masa yang lebih modern. Sekalipun begitu, bagi Reid, Islam begitu egaliter. Karenanya bisa lebih efektif menerapkan larangan-larangannya. "Terlepas dari popularitas daging babi, semangat pantang bagi orang Islam dalam menghindarinya tampaknya cukup meyakinkan banyak orang yang bukan Islam bahwa daging babi pastilah mengandung sesuatu yang buruk," tulis Reid.

  • Captain Marvel, Antara Nostalgia dan Isu Feminisme

    KEKALUTAN mengacaukan sebuah misi rahasia. Alih-alih menyelamatkan mata-mata, Vers (Brie Larson) dan rekan-rekan militer bangsa Kree justru disergap. Vers sempat ditangkap dan diinterogasi Talos (Ben Mendelsohn), pemimpin bangsa Skrull, tapi lantas bisa melarikan diri meski harus terdampar ke planet C-53 alias bumi. Adegan itu jadi pilihan duet sutradara Anna Boden dan Ryan Fleck untuk membuka film bertajuk Captain Marvel . Keduanya ingin lebih dulu menghadirkan asal-usul sang jagoan yang superhero perempuan terkuat di Marvel Cinematic Universe (MCU) yang berpusar pada rentang masa 1995. Kedatangan Vers di bumi tak pelak menarik perhatian bos agen SHIELD, Nick Fury (Samuel L. Jackson). Walau harus melewati “perkenalan” rumit, Vers dan Fury akhirnya bisa akur dan bertandem untuk meladeni Talos dan anak-anak buahnya yang juga mengejar Vers ke bumi.  Seiring petualangan menghadapi Talos dkk., Vers dan Fury lamat-lamat mendapati pemahamanbahwa apa yang dilakukannya bersama pasukan Kree pimpinan Yonn-Rogg (Jude Law) dalam memerangi bangsa Skrullternyata tak seperti dugaannya. Sepanjang perjalanannya, Vers juga mengetahui bahwa dirinya bukanlah bangsa asli Kree, melainkan bangsa manusia asal bumi bernama Carol Danvers yang sebelumnya merupakan pilot tempur Angkatan Udara Amerika Serikat (AU AS). Untuk lebih detail tentang keseruannya, jauh lebih baik menyaksikannya langsung di bioskop-bioskop tanah air, di mana produksi ke-21 MCU ini sudah tayang sejak 6 Maret 2019. Di film ini juga Anda akan tahu sedikit-banyak tentang mua sal “Avengers Initiative” yang jadi core seri-seri “Avengers”. Jangan pula segera beranjak dari kursi bioskop saat film usai lantaran ada dua adegan post-credit di pengujung film yang akan berkelindan dengan produksi MCU berikutnya yang juga patut dinanti – Avengers: Endgame. Selain apiknya efek visual, film berdurasi 124 menit itu juga akan membawa Anda sedikit-banyak bernostalgia dengan sejumlah hal di era 1990-an. Era 1990-an hadir mulai dari musicscoring , suasana,hingga teknologinya. Eksistensi komputer jadul dengan loading yang leletkala Vers dan Fury mencoba mengakses sebuah CD ( compact disc ),misalnya. CD sudah beredar sejak 1982 meski baru jadi perangkat penyimpanan populer menggantikan floppy disc alis disket pada 2000-an. Di beberapa adegan lain, penonton yang tumbuh di era 1990-anakan dimanjakan selipan-selipan lagu sohor era itu, seperti “Come as You Are” (Nirvana), “Only Happy When It Rains” (Garbage), “Man on the Moon” (REM) hingga “Just a Girl” (No Doubt). Di sisi lain, beberapa pembeda akan sangat terasa ketimbang 20 produksi MCU terdahulu. Selain tetap ada selingan-selingan komedi yang menyegarkan dan menjadi film terakhir dengan (mendiang) Stan Lee sebagai cameo , Captain Marvel sarat akan isu feminisme. Sarat Agenda Feminisme Di negara asalnya, AS, Captain Marvel baru resmi rilis pada 8 Maret 2019, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Bukan kebetulan, lantaran jadwal rilis Marvel semula 2 November 2018. Captain Marvel juga menjadi film superhero perempuan solo pertama dari MCU, yang tak mau kalah dari DC Entertainment yang lebih dulu menelurkan Wonder Woman (2017). MCU selama ini hanya menghadirkan para jagoan perempuan macam Black Widow, The Wasp, Shuri, Scarlet Witch , atau Valkyrie sebagai sidekicks . Dalam 20 produksi sebelum Captain Marvel, MCU juga belum pernah mempercayakan penggarapannya pada sineas perempuan. “(Captain Marvel) ini jadi film pertama dengan karakter utama jagoan perempuan dan yang pertama digarap sutradara perempuan (Anna Boden). Tentu ini pertaruhan yang besar tapi film ini sangat layak dinanti. Paketan dua jam tentang pemberdayaan perempuan dengan kekuatan visual yang Anda harapkan dari sebuah blockbuster Marvel,” ungkap Patricia Puentes dalam ulasannya di CNET , Minggu (10/3/2019). Dalam salah satu adegan, Anna Boden menggambarkan bagaimana diskriminasi gender pernah dialami Carol Danvers dalam masa lalunya saat menjalani orientasi untuk menjadi pilot perempuanAU AS. Dalam riset dan pendalamannya, Brie Larson, pemeran Carlon Danvers, berkonsultasi langsung dengan para pilot tempur AU AS dan Brigjen Jeannie Leavitt, perempuan pilot AS pertama yang mendobrak hegemoni kaum adam pada 1993. Para pemeran film Captain Marvel bersama Brigjen Jeannie Leavitt (Foto: defense.gov) “Saya sangat respek tentang betapa seriusnya dia (Brie Larson) mendalami perannya. Dalam film, mereka bekerjasama sebagai sebuah tim dan itu yang kami lakukan di AU. Memiliki teladan yang positif, seseorang yang bekerja keras dan berjibaku demi kebebasan dan keadilan, itu yang kami lakukan di AU dan Captain Marvel menjadi role model yang patut dicontoh para pilot muda kami,” ujar Brigjen Leavitt di situs Kemenhan AS, defense.gov , 8 Maret 2019. Satu dari Sekian Versi Karakter Captain Marvel merupakan karya mendiang Stan Lee dan ilustrator Gene Colan. Sosoknya pertamakali dimunculkan dalam komik Marvel Super-Heroes edisi ke-12 pada Desember 1967. Tom DeFalco dan Gilber Laura dalam Marvel Chronicle: A Year by Year History mengungkapkan, versi pertama Captain Marvel bukanlah seorang manusia bernama Carol Danvers, melainkan pahlawan alien laki-laki yang dijuluki Captain Mar-Vell. “Captain Mar-Vell adalah perwira militer Kree yang dikirim sebagai mata-mata ke bumi. Tetapi kemudian oleh Kree dia dianggap pengkhianat dan seterusnya bertarung melindungi bumi dari segala ancaman jahat dari lain semesta.” Hingga kini, setidakada tujuh versi Captain Marvel. Khusus di film ke-21 MCU, karakter yang diambil adalah versi Carol Susan JaneDanvers yang aslinya punya julukan Ms. Marvel, buah karya penulis Roy Thomas yang didampingi ilustrator Gene Colan. Carol Danvers muncul pertamakali di komik Marvel Super-Heroes edisi ke-13 pada Maret 1968, sebagai kepala keamanan pangkalan udara AU Cape Canaveral. Danvers mendapatkan kekuatannya setelah DNA-nya terpapar ledakan peralatan teknologi yang sedang dikembangkan Dr. Walter Lawson alias Captain Marvel, ilmuwan alien Kree yang menyamar di bumi. Captain Marvel edisi awal (1968) dengan seragam superhero berwarna perak dan hijau ciptaan Roy Thomas Tapi seperti yang diketahui bersama, produser tim penulis (Nicole Perlman dan Meg LeFauve) justru membawa karakter Danvers sebagai Captain Marvel itu sendiri meski basis ceritanya tetap mengacu pada versi Carol Danvers ciptaan Roy Thomas. Terkait improvisasi ini, Roy Thomas mengaku tak keberatan. “Saya mengenalkan sosoknya (Carol Danvers) sebagai kepala keamanan di Cape Canaveral, namun identitasnya (dalam film) sebagai pilot tempur masih masuk akal. Mulanya aneh melihat karakter yang saya ciptakan bersama Gene Colan dikembangkan setelah 50 tahun oleh orang-orang berbakat, sampai dia menjadi pahlawan utama Marvel. Tapi mereka patut dipuji dan saya senang bisa memberi sesuatu (karakter Carol Danvers) untuk bisa mereka kembangkan,” tutur Roy Thomas saat diwawancara Majalah Trip Wire , 13 Februari 2019.

  • Perempuan dalam Pemilu Pertama

    MENJELANG pemilu nasional pertama, 1955, beragam manuver politik dilakukan partai politik. Salah satunya, usaha menjaring pemilih perempuan. Beberapa partai politik mengambil cara dengan membentuk organisasi sayap perempuan. Partai Murba membentuk Perwamu (Persatuan Wanita Murba), Partai Kebangsaan Indonesia mendirikan Parkiwa (Partai Kebangsaan Indonesia bagian Wanita), Partai Indonesia Raya membentuk Wanita Nasional, dan Wanita Demokrat Indonesia berafiliasi dengan PNI. “Setelah Pemerintah RI kembali ke Jakarta, partai politik mengadakan perkumpulan-perkumpulan wanita. Mungkin untuk membantu perolehan suara dalam pemilihan umum,” kata Sujatin Kartowijono dalam memoarnya Mencari Makna Hidupku . Organisasi sayap perempuan ini bertugas memperkenalkan partai pada kelompok-kelompok perempuan dan menyebarluaskan ideologi mereka. Kegiatan yang dilakukan beragam, seperti bakti sosial atau kegiatan perkumpulan perempuan di kampung-kampung. Usaha kedua, seringnya cukup efektif lantaran anggota yang kadung masuk akan merasa sungkan bila tidak memilih partai yang berafiliasi dengan organisasinya. Keaktifan organisasi perempuan sayap partai ditambah dengan rutinnya mereka bersinggungan dengan rakyat bawah otomatis membuat citra partai menjadi baik di mata rakyat. Rakyat yang terkesan kemudian menyumbangkan suara mereka dalam pemilu. “Suara rakyat ini menjadi jalan utama partai untuk mendudukkan wakilnya yang mayoritas laki-laki di parlemen, padahal kerja-kerja akar rumput tersebut dilakukan oleh perempuan,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Organisasi sayap perempuan yang sudah dibentuk jauh sebelum pemilu 1955, seperti Aisyiyah dan Wanita Katolik, juga digunakan untuk mendulang suara. Aisyiyah yang berada dalam naungan Muhammadiyah, menjadi agen kampanye Masyumi sebagai wadah politik organisasi Islam. Pun dengan Wanita Katolik yang merupakan sayap perempuan Partai Katolik. Selain pembentukan sayap perempuan, partai politik juga menjalin relasi dengan organisasi perempuan yang ada. Sukanti Suryochondro dalam Potret Pergerakan Wanita Indoesia menyebut PKI menjadi dekat dengan Gerwani (semula bernama Gerwis) menjelang pemilu 1955. Kedekatan antara parpol dan organisasi perempuan tak semata untuk penjaringan suara. Kanal-kanal ini menjadi perantara suara-suara perempuan dalam politik. Beberapa anggota Gerwani, seperti Nyonya Mudikdo dan Umi Sarjono, masuk DPR dari Fraksi PKI. Bhayangkari, organisasi istri polisi, juga mendapat jalan untuk menyalurkan suaranya. Bhayangkari memang memutuskan tidak ikut pemilu 1955 secara mandiri melainkan berkampanye untuk angkatan kepolisian. Sebagai imbalan dari dukungan Bhayangkari, kepolisan menambahkan tiga butir tuntutan dalam kampanye mereka: UU perkawinan yang adil, menolak Peraturan Presiden No. 19 tahun 1952 tentang Uang Pensiun Janda PNS, dan pembuatan lembaga pengadilan anak. Berbeda lagi dengan Perwari yang sejak semula tak mau ikut andil dalam pemilu. Alih-alih merapat ke partai politik seperti Gerwani, Perwari mengirimkan program perjuangan yang berisi penghapusan buta huruf, pembentukan UU perkawinan yang adil, dan kesejahteraan nasib buruh ke 15 parpol. Namun hanya PSI dan PNI yang menyetujui program tersebut. Meski secara organisasi Perwari tidak mendekat ke partai mana pun, beberapa anggota Perwari masuk ke PNI. Supeni, yang kemudian hari menjadi duta besar RI keliling, salah satunya. Dalam tubuh PNI, Supeni duduk sebagai Ketua Badan Pekerja Aksi Pemilihan Umum PNI (PAPU PNI). Tugasnya mengunjungi daerah-daerah untuk memberi penjelasan tentang pemilu. Seringkali Supeni memberi ceramah politik pada kader-kader PNI tentang tata cara kampanye untuk memenangkan PNI dalam pemilu. Hasilnya tak sia-sia, PNI menjadi partai dengan suara terbesar dalam pemilu. Namun, pemilihan umum itu mengecewakan kaum perempuan karena sangat sedikit wakil perempuan yang dipilih. Dari 257 kursi di DPR, hanya ada 19 perempuan yang terpilih, yakni 4 orang dari PNI dan Masyumi, 5 dari NU, serta 1 dari PSI.

  • Razia Homoseksual Zaman Kolonial

    Tiga perempuan ditetapkan sebagai tersangka karena kampanye hitam. Dalam video yang viral, mereka menyebut jika Joko Widodo terpilih kembali menjadi presiden maka azan akan dilarang dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) akan dilegalkan. Selama ini memang kelompok LGBT mendapat penolakan dari berbagai kalangan dalam bentuk aturan yang diterbitkan pemerintah-pemerintah daerah, persekusi, pemidanaan, pembubaran acara, dan sejumlah kekerasan lainnya. Penolakan itu dengan berbagai alasan. Mulai soal moral, penyebab bencana, sampai keyakinan kalau kelompok LGBT telah dirasuki jin sehingga harus di- ruqyah . Upaya menghapus kelompok LGBT dari masyarakat bukan hal baru di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda bahkan membentuk satuan khusus Polisi Susila (z edenpolitie ) untuk menangkap pria-pria homoseksual. Peristiwa itu dikenal sebagai Skandal Susila ( zedenschandaal ). Sejarawan Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, menulis antara Desember 1938 dan Mei 1939, polisi di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap lebih dari 200 pria. Kebanyakan mereka adalah warga Eropa, termasuk di dalamnya pejabat tinggi. Mereka dicurigai bersalah karena berhubungan seks dengan anak laki-laki di bawah umur. Perbuatan itu, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, diancam pidana. Sekalipun larangan demikian sebenarnya sudah berlaku sejak 1918. Dari 223 yang ditahan, 171 dinyatakan terbukti bersalah. Mereka dijatuhi hukuman. Koran-koran dengan penuh perhatian mengikuti razia kaum homoseksual itu. Sebab, sebelumnya belum pernah digelar operasi besar-besaran semacam itu. “Aksi itu dalam pemberitaan dirujuk sebagai aksi atau operasi pembersihan rumah besar-besaran, pembersihan akhlak, atau proses pembersihan,” tulis Marieke. Secara formal, razia polisi memang menyasar pria yang berhubungan badan dengan anak laki-laki di bawah umur (di bawah 21 tahun). Karena ini memang diatur dalam Pasal 292 Wetboek van Strafrecht  (Kitab Undang-Undang Pidana Hindia Belada). Pedofilia adalah tindak pidana.  Namun, menurut Marieke sebenarnya operasi ini memberikan kewenangan kepada polisi untuk memberantas homoseksualitas. Pasalnya, sebelum 1938 jarang orang dituntut karena hal itu. “Kemudian sangat jelas pula kalau sasaran kepolisian umumnya adalah para homoseksual, khususnya pria,” tulis Marieke. Sebelumnya, meskipun masyarakat memandang berdasarkan norma Kristiani sebagai tidak alamiah, abnormal, dan haram, homoseksualitas di Hindia Belanda dibiarkan saja. Homoseksual tidak termasuk perbuatan yang diancam pidana.  Persoalan moral yang didengungkan sebelum 1938 lebih menargetkan praktik  prostitusi yang terkait perdagangan perempuan dewasa dan anak. Baru setelah dibentuk Polisi Susila, kaum homoseksual menjadi sasaran utama. "Homoseksualitas dipandang tidak hanya sebagai aib yang mencemari akhlak mulia masyarakat, namun juga dimaknai sebagai suatu kejahatan," tulis Marieke. Polisi Susila dibentuk pula di sejumlah kota. Ia menjadi bagian dari reserse. Di Surabaya misalnya, prakarsa pembentukannya datang dari pejabat menengah dan tinggi kepolisian yang beranggapan bahwa kesusilaan umum adalah ciri masyarakat modern. Sej umlah dokter spesialis juga menulis artikel terkait dengan penyimpangan perilaku seksual.  “Sikap lemah lembut dan halus yang diasosiasikan dengan homoseksual tentu saja dianggap tidak pantas bagi sarana kekerasan yang sekaligus mencitrakan wajah negara kolonial,” tulis Marieke. Homoseksual juga ternyata ada di lingkungan kepolisian. Ada empat pejabat polisi menjadi terdakwa, ditahan, dan dituntut. Tiga darinya dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.  “Bagi kepolisian, skandal kesusilaan itu mebuka peluang untuk menunjukkan bukan kelemahannya, namun justru kekuatan dan akhlak mulianya. Dengan cara itu pula, kekuatan dan akhlak mulia dari negara,” tulis Marieke. Antihomoseksual dan Politik Skandal kesusilaan di Hindia Belanda tak berdiri sendiri. Skandal serupa muncul juga di tempat lain pada 1930-an. Di Malaya-Inggris, Belanda, dan Jerman-Nazi. “Meski dengan skala berbeda, semuanya menunjukkan kemiripan pola,” catat Marieke. Menurutnya, aksi perburuan homoseksual muncul dalam periode ketidakpastian politik ekonomi. Ditambah lagi, masyarakat tengah terpecah oleh pertentangan politik internal yang tajam. Ketika sentimen antihomoseksual meruak di Belanda, pengaruh Nazi tengah merasuk. Banyak pejabat tinggi Belanda bersimpati pada pandangan politik Nazi, termasuk soal kebencian mereka terhadap kaum homoseksual. Sentimen antihomoseksual itu pun terbawa ke negara jajahannya, bahkan lebih masif. Menurut sejarawan Onghokham,kampanye itu tak sepenuhnya bisa dilaksanakan di Belanda karena harus berhadapan dengan masalah hak asasi kelompok borjuis yang sedang tumbuh. Sementara di Hindia Belanda, para elite politik Belanda bisa menerapkan kebijakan dan politik yang berkedok pada moralitas puritan itu. “Di koloni, politik represif itu dapat dilancarkan tanpa kritik dan tantangan yang berarti dari pemerintah kolonial,” tulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan Seksualitas,” Prisma , Juli 1991. Aksi Polisi Susila kemudian terkesan berkaitan dengan persaingan dan perebutan kekuasaan. Mulanya aksi itu menyasar pejabat-pejabat tinggi atau anggota partai-partai politik. Berawal dari desas-desus kemudian ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung dugaan itu.   Ditambah lagi pemikiran masyarakat umum yang memandang homoseksualitas sebagai kelemahan dan kelembekan karakter laki-laki. Maka, pria homoseksual dianggap tak layak diberi kepercayaan untuk mengemban tugas memimpin masyarakat di zaman yang penuh ketidakpastian saat itu. Dari kurun waktu kemunculannya, gerakan antihomoseksual di Hindia Belanda dan Jerman seolah muncul saling bersambungan. Di Jerman, homoseksual menjadi musuh negara. Perburuannya sejak 1936 menjadi kebijakan resmi negara.

  • Bandit-bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya

    BELUM hilang kenangan penduduk tentang sosok Si Tjonat, Si Pitung, dan Si Ronda, penduduk Batavia dan Ommelanden  mesti berkarib lagi dengan sosok bandit lainnya. Mereka adalah Si Gantang, Si Kesen, dan Si Oesoep. Nama mereka sohor sepanjang 1900-1930-an.

  • Monumen yang Ternoda

    SETELAH jadi sasaran aksi vandalisme pada Jumat (15/2/19), sekira 25relief di Monumen Serangan Umum 1 Maret,Kompleks Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta sudah kembali tampak kinclong pada 4 Maret 2019. Hal itu dikarenakan tim Konservator Museum Benteng Vredeburg yang dipimpin Darsono langsung bergerak cepat membersihkannya. “Kurang lebih seminggu kita bersihkan dengan berbagai cara. Karena noda catnya sudah lengket sekali, satu-satunya cara kami cat ulang. Tapi di bagian penyangga selasar dan patung tidak kami cat karena itu terbuat dari batuan andesit. Kami kesulitan meski sudah kami coba pakai minyak. Pakai pengencer cat juga kurang maksimal, pun begitu dengan semprotan air bertekanan tinggi. Catnya sudah masuk ke pori-pori batu,” terang Darsono kepada Historia. Aksi tak terpuji itu jelas merugikan. Pasalnya, benda yang jadi sasaran merupakan benda bersejarah. “Kita tidak bisa menghitung kerugian karena itu merupakan bagian sejarah yang sangat penting yang ada di Yogya. Semua pihak, termasuk Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X turut prihatin. Beliau berpesan, agar ke depannya jangan terulang lagi bagaimanapun caranya,” sa mbu ng nya. Tim Darsono mengebut pembersihan itu lantaran plasa monumen akan dijadikan tempat upacara sebagai salah satu rangkaian peringatan 70 tahun Serangan Umum pada Jumat, 1 Maret 2019. Meski belum 100 persen, sekira 25 relief itu sudah tampak kinclong pada Minggu (4/3/19) lalu. Di Balik Monumen 1 Maret Gagasan TNI manunggal dengan rakyat sangat terlihat dari lima patung yang ada di Monumen 1 Maret:tiga sosok tentara bersenjata diapit dua sipil. Sementara di 25 relief di bawahnya, dituturkan Darsono, mengisahkan perang gerilya pasca-Agresi Militer Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret 1949. “Karena Serangan Umum (1 Maret 1949) itu di Yogya merupakan peristiwa yang sangat heroik. Apalagi peringatannya kini sedang diajukan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY ke pemerintah pusat, untuk dijadikan hari besar nasional,” paparnya. Monumen yang dibuat lima tahun setelah Soeharto menjadi presiden itu merupakan karya Saptoto, seniman yang juga membuat Monumen Pancasila Sakti. “Monumen, patung, dan reliefnya dibuat seniman dari ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Saptoto. Dibuatnya ya dari permintaan tokoh-tokoh seperti Pak Harto dsb.,” lanjut Darsono. Bagian selasar dan penyangga patung di Monumen 1 Maret yang belum bisa dibersihkan (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Soeharto berperan besar dalam pembangunan monumen yang menelan biaya sebesar Rp20.870.000,00 itu. Sebagaimana dicatat RB Soegiantoro dalam “Pengalaman Semasa Gerilya”, termuat di Warisan (daripada) Soeharto , dia menyumbang Rp5 juta. Begitu pembangunan rampung, Soeharto turun tangan meresmikannya. “ Tepatnya 1 Maret 1973 , diresmikan langsung oleh Soeharto ,” ujar Darsono. Dalam peresmiannya, Soeharto untuk kali pertama berbagi kisah pengalamannya bergerilya di luar kota Yogyakarta selaku komandan Brigade X-Mataram berpangkat overste (letnan kolonel), kepadapublik. Selain baku tembak untuk menahan ofensif Belanda di Kampung Nyutran pada 19 Desember 1948 (Agresi Militer II), dia juga menceritakan upayanya menyerang Belanda 10 hari setelah Yogyakarta direbut Belanda, dan nyaris tertangkap Belanda di Imogiri medio Februari 1949. “Persis jam satu malam, rumah yang saya tempati dilewati kompi Belanda yang akan menyerang Imogiri. Tapi entah mengapa, satu jam sebelumnya lampu yang ada di muka rumah tiba-tiba mati. Sehingga musuh tidak tahu. Rumah itu terletak antara Kotagede dan Imogiri,” kenang Soeharto. Soeharto juga menceritakan tentang inspeksi terakhirnyake sejumlah basis pasukan republik pada malam 29 Februari 1949 jelang serangan umum. “Anak buah saya percaya bahwa saya kebal peluru. Sekalipun tidak benar, tapi saya tidak membantahnya. Karena dapat membantu menyusun moril prajurit-prajurit,” lanjutnya. Upacara peresmian monumen itu ditutup dengan penyalaan api perjuangan yang apinya diambil dari Desa Bibis, Bantul. Di masa revolusi, desa itu jadi markas Soeharto di luar kota. “Sejak peresmian, mulanya monumen itu berada di bawah pengawasan dan pemeliharan diserahkan oleh pihak Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogyakarta), bukan Museum Benteng Vredeburg. Dulu itu sempat tak terawat, banyak rumput panjang di sekitarnya. Mulai tahun 2000 pengelolaannya diserahkan ke museum karena memang masih di areal museumsehingga sekarang sudah bisa terkondisikan dan dinikmati pengunjung,” kataDarsono. Monumen Indoktrinatif Sosok Soeharto begitu menyolok di mayoritas relief itu ketimbang figur-figur lain macam Sukarno, Sri Sultan HB IX, atau Panglima besar Sudirman. Di tiga adegan terakhir relief bahkan terpahat gambar-gambar yang mendeskripsikan Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” saat sudah menjadi Presiden kedua RI. Monumen dan relief ini hanyalah satu dari sejumlah proyek Seminar Angkatan Darat III pada 1972. Seminar ini, menurut Katharine E. McGregor dalam Ketika Sejarah Berseragam , merupakan upaya pertama framing peran militer dalam revolusi kemerdekaan. Utamanya, framing politis berbalut motif Jawa kuno terkait sosok Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru. Sekira 25 adegan relief di selasar Monumen Serangan Umum 1 Maret (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Selain lewat pembangunan monumen, upaya framing dilakukan dengan pembuatan beberapa film perjuangan, termasuk Janur Kuning (1979) yang sangat mempahlawankan Soeharto. “Salah satu instruksi yang diberikan oleh Seminar Angkatan Darat 1972 kepada militer ialah agar mereka mengedarkan versi mereka sendiri melalui museum, monumen, film dan buku pelajaran sekolah,” tulis McGregor. Detail-detail di berbagai monumen maupun relief yang dibuat, dengan demikian, merupakan medium penyampai pesan politis penguasa. Semisal, lima patung yang menggambarkan seorang prajurit, pelajar, pedagang, petani, dan perempuan sebagai perwakilan golongan dalam revolusi kemerdekaan. Lalu, patung singa perlambang angka satu (tanggal satu), patung api berlidah tiga dengan makna bulan tiga atau Maret, tulisan Jer Basuki Mawa Beya yang berarti kemenangan membutuhkan pengorbanan, serta Tetesing Ludiro Kusumoning Bawono yang merujuk angka 1949.  “Relief di monumen juga sebagai cara memberikan narasi historis kepada pesan utama monumen, atau untuk mengendalikan tafsiran-tafsiran terhadap pesan monumen. Pesan terkait peran Soeharto dalam Serangan Umum dan kembalinya (panglima) Sudirman ke Yogyakarta (dari gerilya),” tambah McGregor.

  • Kisah Bowo Anak Kebayoran

    Kiprah Prabowo Subianto begitu mentereng sebagai prajurit TNI. Potretnya yang gagah acapkali terlihat dalam balutan seragam Kopassus. Namun cerita masa kecil calon presiden kita ini tak banyak dikulik kepada publik. Bagaimana kisah masa kecil Bowo –panggilan akrab Prabowo?   “Waktu itu (masa kecil), saya banyak dipengaruhi kakek saya, Pak Margono seorang pejuang perintis kemerdekaan,” kata Prabowo kepada tabloid The Politic dilansir Gerindra TV . Trah Prabowo berasal dari keluarga aristokrat yang ikut mewarnai perjalanan sejarah negeri ini. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo adalah pengikut Budi Utomo, anggota BPUPKI, dan pendiri Bank Negara Indonesia (BNI). Nama kedua Prabowo diambil dari nama pamannya, Subianto Djojohadikusumo, perwira yang gugur dalam Pertempuran Lengkong di Tanggerang, Januari 1946. "Akhirnya waktu saya lahir, saya diberikan nama Prabowo Subianto agar seolah-olah menggantikan anaknya (Margono) yang gugur, untuk meneruskan cita-cita mereka," tutur Prabowo. Hidup Berpindah-pindah Prabowo Subianto Djojohadikusumo lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951. Anak ketiga dari pasangan Sumitro Djojohadikusmo dengan Dora Sigar. Nama saudari-saudaranya antara lain Maryani, Biantiningsih, dan Hashim Djojohadikusmo. Prabowo bertumbuh sebagai anak Kebayoran yang tinggal di Jalan Sisingamangaraja, ketika kawasan itu belum seramai dan semacet sekarang. Ayah Prabowo, Sumitro juga bukan orang sembarangan. Sumitro merupakan guru besar bergelar profesor di Fakultas Ekonomi UI dan menjabat sebagai dekan di sana. Prabowo kecil sering diajak Sumitro main ke kampus tempatnya mengajar di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Di zaman Sukarno, Sumitro lebih dikenal sebagai politisi kawakan dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Di tengah perjuangan politiknya, Sumitro memilih membelot bersama sejumlah panglima militer pembangkang dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (Permesta). Bergelut dalam gerakan yang menentang pemerintah menyebabkan Sumitro terpaksa melarikan diri dari Indonesia. Sumitro hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain mengindari penangkapan. Dalam pelariannya, Sumitro difasilitasi oleh diplomat senior Des Alwi yang juga sama-sama pentolan PSI. Di balik “petualangan” ini, ada istri dan anak-anak yang ikut kena imbas sepak terjang politik Sumitro. “Ayah mereka (Sumitro) terus giat melanjutkan perjuangan dan sekaligus menghindari kemungkinan tertangkap oleh pihak Jakarta yang terus mengintai ke mana keluarga ini pergi. Inilah mengapa keluarga Sumitro tak pernah menetap lebih dari dua tahun,” tulis tim penulis biografi Sumitro Jejak Perlawanan Begawan Pejuang: Sumitro Djojohadikusumo. Prabowo waktu kecil. Tampan dan imut. Foto: Prabowo Subianto/Instagram Usia Prabowo baru menginjak lima tahun saat Sumitro memilih jalan terjal sebagai buronan negara. Selama masa pelarian ayahnya, Prabowo menginjakan kaki di berbagai berbagai belahan dunia. Berturut-turut, Prabowo bermukim di Singapura selama dua tahun, di Hongkong setahun, di Malaysia dua tahun, di Swiss dua tahun, dan di Inggris dua tahun.  “Ia mengikuti ayahnya yang berpindah-pindah dalam masa pengasingan. Tak heran, sikapnya pun kebarat-baratan dan cenderung arogan,” tulis Femi Adi Soempeno dalam Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana. Menurut Prabowo, dirinya kerap mengalami diskriminasi di negara-negara yang disinggahinya. Sedari kecil, dia terbiasa hidup dalam lingkungan minoritas. Lambat laun, Bowo tumbuh menjadi anak yang tangguh.  “Waktu saya sekolah di luar negeri, seringkali saya satu-satunya anak yang bukan kulit putih. Bagi saya itu adalah suatu pengalaman yang sangat mendidik,” kenang Prabowo. “Di sekolah saya sering dihina. Saya merasakan bagaimana hidup sebagai minoritas.” Anak Brilian Singapura menjadi negeri asing pertama yang disinggahi Prabowo. Di kawasan Bukit Timah, keluarga Sumitro tinggal berdekatan bersama sepuluh keluarga pelarian PRRI-Permesta yang lain. Keluarga Sumitro bermukim di Delkeith Road. Tak banyak cerita yang diperoleh dari Singapura. Sekira tahun 1959, Prabowo pindah ke Hongkong. Tersebutlah nama Kolonel Jacob Frederick Warouw yang berjasa mempersiapkan perpindahan ini. Warow adalah atase militer Indonesia di Beijing, yang juga menjabat sebagai wakil perdana menteri Permesta. Warouw menyediakan flat berkamar tiga yang cukup besar untuk ditempati Sumitro bersama istri, anak perempuannya, dan juga Prabowo. Prabowo bersama ibunya, Dora Sigar dan saudari-saudaranya: Maryani, Bianti, dan Hashim. Foto: Prabowo Subianto/Instagram Dilansir laman resmi prabowosubianto.info. di Hongkong, Prabowo senang main perang-perangan bersama anak sebayanya. Ketika Prabowo mengetahui bahwa salah satu teman mainnya ada yang anak tentara, Prabowo meminta izin untuk dipinjami bedil milik ayahnya. Menurut teman-temannya semasa di Hongkong , Prabowo adalah anak yang pemberani dan cenderung cepat marah. Sisi temperamental Bowo mulai terlihat. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1960, Prabowo pindah lagi ke Malaysia. Di sana, Bowo tinggal bersama keluarganya di daerah Petaling Jaya, Kuala Lumpur. Sumitro membuka pabrik perakitan alat elektronik untuk menghidupi keluarganya. Sementara itu, Bowo kecil bersekolah di Victoria Institution, sekolah Inggris paling bergengsi di Malaysia. Usianya masih menginjak sembilan tahun. Saat itu, hubungan Indonesia dengan Malaysia mulai memburuk. Bowo acapkali mendapat olok-olok dari teman sekolahnya yang berisi umpatan kepada Presiden Indonesia, Sukarno. Ledekan itu malah bikin Bowo jadi berang pada ayahnya. Bowo mempertanyakan alasan mengapa keluarganya memilih tinggal di Malaysia seraya melontarkan ultimatum. “Saya tahu Papi berseberangan dengan Sukarno. Tapi saya tidak tahan, semua meledek negara kita. Kalau sampai satu tahun lagi saya di sini, saya akan menjadi pro Sukarno,” demikian ucapan Bowo sebagaimana tercatat dalam biografi Sumitro. Memasuki masa remaja, Prabowo hijrah ke Eropa. Dia dan keluarganya menetap di Swiss. Bowo bersekolah di International School yang terletak di Zurich. Sebagian besar yang bersekolah di sana adalah anak-anak dari Amerika.   Hari pertama masuk sekolah, lagi-lagi Bowo dilecehkan. Sebagai anak baru, Bowo memperkenalkan dirinya berasal dari Indonesia. Seseorang kemudian menanyakan dirinya apakah rakyat Indonesia masih tinggal diatas pohon. Pengalaman itu tak bisa dilupakan oleh Prabowo sampai kapanpun. “Saya akhirnya lebih merasakan kita harus belajar dari Barat. Kita harus akui keunggulan-keunggulan mereka tapi kita juga harus bertekad suatu saat untuk membangun negara kita untuk tidak kalah dengan bangsa lain,” kata Prabowo. Dari Swiss, Prabowo pindah lagi ke Inggris. Pada usianya yang ke-16, Prabowo menamatkan pendidikan bangku sekolah di American School, London. Memasuki perguruan tinggi, Prabowo bahkan diterima sebagai mahasiswa di tiga universitas terkemuka di Amerika Serikat, salah satunya Colorado University. Secara intelegensi, Prabowo tergolong anak brilian. Kecerdasannya di atas rata-rata orang Indonesia saat itu. Itu tak mengherankan sebab Prabowo mengenyam pendidikan di negara maju. Dari segi mentalitas, wataknya cukup keras karena pengalaman bertahan hidup di negeri asing sebagai minoritas. Sumitro kemudian menyarankan Prabowo untuk pulang ke Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar Prabowo memperluas jaringan dan relasi, serta pengalaman bergaul dengan sesama aktivis muda dari kalangan PSI. Siapa nyana, pada akhirnya Prabowo memutuskan untuk menjadi prajurit TNI.

  • Pencipta Mars ABRI

    Robertus Robet, aktivis demokrasi dan HAM, ditangkap polisi terkait orasinya dalam aksi Kamisan pada 28 Februari 2019. Dosen dan ketua jurusan sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu lantang menentang masuknya kembali militer aktif ke pemerintahan seperti pada masa lalu yang disebut dwifungsi ABRI. Dalam orasinya, Robet mengajak teman-teman muda untuk mengingat lagu yang dinyanyikan pada masa Reformasi tahun 1998. Lagu ini sudah populer sejak 1990-an. Robet menyanyikannya: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak berguna Bubarkan saja Diganti Menwa Kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota gak pernah bayar Apalagi makan di warung Tegal “Lanjutannya terlalu sensitif,” kata Robet. “Tapi, lagu ini jangan-jangan mesti kita ingat kembali. Kenapa? Karena ada ancaman yang muncul di depan kita. Generasi-genarasi baru yang muncul mesti mulai mencipta lagu-lagu semacam ini untuk menghadapi tantangan-tantangan zamannya.” Penggalan video orasi Robet yang direkam dan diunggah di akun Youtube Jakartanicus, kemudian menyebar di media sosial. Robet ditangkap pada Kamis dini hari (7/3). Polri menetapkannya sebagai tersangka ujaran kebencian karena menghina TNI. Lagu yang dinyanyikan Robet itu plesetan dari Mars ABRI. Selain di kalangan ABRI, lagu inibiasanya dipakai untuk siaran khusus di RRI atau TVRI. Lagu ini juga biasa menjadi pembuka acara “Kamera Ria” di TVRI . Bait awalnya begini: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Setiap saat siap sedia Mempertahankan, menyelamatkan Negara Republik Indonesia Lagu dan aransemen “Mars ABRI” diciptakan seorang anggota ABRI kelahiran Tarutung, Sumatra Utara, bernama Mangasa Adil Tampubolon. Dia mempelajari musik selama empat tahun di Akademi Musik Yogyakarta. Setelah lulus pada 1960, dia menandatangani ikatan dinas dengan TNI-AD. Pada saat yang sama, dia menyunting putri Solo bernama S. Rohima. Mereka dikaruniai tiga anak: Yendro Ario Damero, Arino Lakso, dan Tri Ria Utami. Dalam majalah Dharmasena edisi Februari 1992 terbitan Pusat Penerangan Hankam, disebutkan M.A. Tampubolon pernah bertugas cukup lama di Pusat Penerangan Hankam (sekarang Puspen ABRI). Sesuai  profesi yang ditekuninya, dia memegang jabatan terakhir sebagai kepala Biro Musik Paban IV Spersman (Staf Personel, Pembinaan Tenaga Manusia, dan Pendidikan) Hankam sebelum pensiun tahun 1985. Selain Mars ABRI, M.A. Tampubolon juga menciptakan Mars dan Hymne Persit Kartika Candra Kirana (Organisasi Istri Anggota TNI-AD), Mars dan Hymne Ikatan Kesejahteraan Keluarga ABRI, ABRI Masuk Desa Manunggal, dan Taman Mini Indonesia Indah. “Kedua lagu terakhir (ABRI Masuk Desa dan  Taman Mini Indonesia Indah) diciptakan almarhum memenuhi permintaan Ibu Tien Soeharto, namun belum sempat dipopulerkan karena masih harus diadakan revisi/penyempurnaan di beberapa bagian,” tulis Dharmasena . Selain itu, dia  juga mengarang kurang lebih 40 lagu Pop (lagu-lagu remaja), tetapi masih dalam koleksi pribadi dan belum sempat dipasarkan. M.A. Tampubolon meninggal dunia dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel Caj. pada Minggu, 19 Januari 1992. Dia memiliki empat tanda penghargaan: Bintang Gerilya, Satya Lencana Kemerdekaan I dan II, dan Satya Lencana Penegak.

  • Senasib Sepenjajahan

    KETIKA dalam perjalanan kembali dari Bandung ke Jakarta, Jang Yunwon, pencari suaka asal Korea, sekonyong-konyong dihampiri polisi militer Jepang. Ia ditangkap dan dibawa ke markas polisi militer ke-16 di Thamrin, Jakarta. Penangkapan itu terjadi tak lama setelah Jepang menguasai Indonesia. Jang Yunwon menjadi salah satu korban tahap pertama operasi Pencarian Pengkhianat yang dilancarkan Tentara ke-16 AD Jepang. Ia, menurut Kim Moon Hwan, kolumnis harian berbahasa Korea di Indonesia Hanin News, merupakan orang Korea pertama yang menetap di Indonesia. Jang Yunwon menjadi buron setelah memberikan bantuan dana untuk gerakan perlawanan rakyat Korea pada 1 Maret 1919. Dia kemudian mencari suaka ke Beijing sampai akhirnya menetap di Batavia dan menjadi penasihat Gubernur Jenderal Hindia untuk urusan Jepang sebelum akhirnya ditangkap. Jang Yunwon yang ditahan selama beberapa hari di Markas Polisi Militer di Thamrin, mengalami penyiksaan dan pemukulan sebelum dipindah ke Penjara Glodok. Beberapa hari setelahnya, Jang Yunwon dipindahkan ke Penjara Salemba. Bersama 50 tahanan lain yang sebagian orang kulit putih, Jang dipaksa berjalan kaki dari Glodok ke Salemba. “Ini adalah cara Jepang mempermalukan orang kulit putih,” kata Kim Moon Hwan dalam Seminar Memperingati 100 tahun Pergerakan 1 Maret 1919 di Unika Atma Jaya (4/03/2019). Sementara Jang Yunwon dipenjara, orang-orang Korea ditugaskan oleh tentara Jepang untuk menjadi sipir bagi tahanan perang. Ada sekira 14 ribu orang Korea yang dikirim Jepang ke Indonesia untuk keperluan menjaga penjara di Jakarta, Bandung, Cilacap, Surabaya, dan Malang. Namun, orang-orang Korea yang dikirim ke Indonesia tak semua bertugas menjaga penjara. “Selama bertugas di Indonesia, mereka juga jadi pengajar Heiho. Lewat sana orang-orang Korea berinteraksi dengan orang Indonesia. Mereka berbagi nasib yang sama, dijajah Jepang,” kata Rostineu, Dosen Bahasa dan Budaya Korea UI, yang juga menjadi pembicara seminar. Para sipir Korea itu tak tahan dengan sikap semena-mena Jepang. Ketika Jepang makin terdesak dalam Perang Dunia II, kontrak kerja mereka diperpanjang sepihak oleh Jepang. Para sipir Korea itu pun melawan, namun kalah dan dihukum. Meski berpakaian militer Jepang, sebagian dari mereka antipati terhadap Jepang. Perasaan senasib sebagai kaum terjajah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh Jepang ini membuat beberapa orang Korea memilih ikut andil dalam perjuangan Indonesia. Faktor geografis tak jadi penghalang untuk melawan penjajahan bersama bangsa lain. “Di Garut empat orang Korea terlibat dalam perlawanan terhadap Jepang. Mereka ikut terjun ke medan perang,” kata Hendi Johari, pembicara seminar. Pasca-kekalahan Jepang, orang-orang Korea di Indonesia ini mengalami masa sulit. Di satu sisi, mereka khawatir dibabat habis tentara Sekutu sebagai pemenang perang, di sisi lain, kembali ke kampung halaman menjadi hal yang muskil dilakukan. Jang Yunwon yang kemudian bebas setelah Jepang kalah, mendirikan HImpunan Rakyat Korea di Jawa pada 1 September 1945. Himpunan ini menyatukan orang-orang Korea yang berusaha kembali ke negerinya. Meski demikian, sedikit yang berhasil pulang. Jang Yunwon sendiri tetap tinggal di Jakarta sampai meninggal tahun 1947.

bottom of page