Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Puasa Zaman Gajah Mada
GAJAH MADA menyerukan sumpahnya dengan lantang di balairung kedaton, pada sebuah pertemuan yang dihadiri para pejabat tinggi Majapahit. Dia berkata jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik telah mengakui kejayaan Majapahit, pada waktu itulah dia amukti palapa. Tak ada yang tahu pasti apa maksud amukti palapa. Namun, ada yang menafsirkan Gajah Mada tengah bernazar. Dia akan melakukan puasa mutih demi tercapai angan-angannya. “Ada yang menafsirkan hamukti palapa sebagai tindakan makan nasi saja, tanpa lauk, tanpa perasa, santan. Ada yang menafsirkan begitu,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, kepada Historia. Filolog dan sejarawan Slamet Muljana termasuk yang berpandangan serupa. Dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit , dia menyamakan amukti palapa dengan bertapa. Orang yang sedang ngalapa bisa dikatakan sedang mutih karena biasanya mereka makan nasi tanpa garam atau perasa apapun. Apa yang dilakukan Gajah Mada itu, masih dilakukan beberapa orang khususnya para penghayat Kejawen. Untuk menggapai keingginannya, mereka akan mutih, pantang mengkonsumsi apapun selalin nasi putih dan air putih. Puasa mutih hanyalah satu di antara banyak jenis puasa yang dikenal orang Jawa. Ada yang disebut puasa patigeni , yaitu tak makan dan minum, lalu mengunci diri dalam ruang tertutup tanpa cahaya apapun. Ada pula puasa ngrowot yang hanya makan buah-buahan. Kemudian puasa weton untuk memperingati hari lahir seseorang. Belum bisa dipastikan sejak kapan persisnya praktik yang kemudian disebut puasa itu dikenal di Nusantara, khususnya Jawa. Namun, sebagai sebuah tindakan, konsep puasa bukanlah hal yang baru saja diterima ketika ajaran Nabi Muhammad Saw masuk. Dimulai dari bahasa, Dwi menjelaskan, kata ‘puasa’ berasal dari bahasa Jawa, yaitu poso. Sementara poso berasal dari pasa, yang ditemukan dalam bahasa Jawa Tengahan dan Jawa Kuno. “Ini pun serapan dari bahasa Sanskerta yang secara harfiah berarti jerat, ikatan, dan kekangan. Bisa untuk fisik maupun nonfisik, seperti pengekangan nafsu, hasrat, dan keinginan,” kata Dwi. Istilah baru kemudian meluas ketika pengaruh Islam masuk. Orang Jawa selanjutnya mengenal istilah shaum atau shiyam , yang merupakan bahasa Arab. Namun, istilah ini tak begitu saja menggantikan istilah poso. Di Jawa, siam menjadi penghalusan dari kata poso. “Padahal siam ini secara etimologis dari bahasa Arab, shiyam, tapi keduanya direlasikan merujuk pada hal yang sama karena konsepnya hampir sama, pengendalian diri dari nafsu,” ujar Dwi. Dalam pengertian yang seperti itu, pada masa lalu bentuk puasa atau pasa bisa dilakukan dalam bentuk tapa. Baik dalam melakukan puasa, pasa, tirakat, maupun tapa, seseorang harus punya kemampuan menghadapi godaan, mengendalikan nafsu, demi mencapai suatu tujuan. “Ini digambarkan di sumber tekstual dan relief, sebagai jejak awal konsep pengendalian atau pengekangan diri,” ujar Dwi. Dalam sumber kesusastraan kata pasa ditemukan dalam Kakawin Ramayana. Menurut pakar sastra Jawa Kuno, Poerbatjaraka, Ramayana versi Jawa Kuno berasal dari masa sebelum pemerintahan Mpu Sindok di Medang abad 10. Di dalamnya terdapat istilah pasa-brata, yang berarti aktivitas pasa . Di sini, pasabrata diarahkan pada penyikapan atas kedurjanaan. “Untuk menghadapi kedurjanaan dilakukan upaya pengekangan diri. Dalam konsep Ramayana , usaha ini butuh kekuatan diri yang sangat besar. Puasa kan memang tidak mudah,” jelas Dwi. Konsep pengendalian hawa nafsu ini juga ditemukan dalam Kakawin Arjunawiwaha . Karya gubahan Mpu Kanwa ini ditulis pada era Airlangga, penguasa Kahuripan pada awal abad 11. Dikisahkan Arjuna melakukan tapa di Gunung Indrakila demi bisa membantu saudaranya Yudhistira merebut kerajaannya kembali. Sebagaimana diabadikan pula dalam relief Candi Surawana dari abad 14 di Pare, Kediri, dalam tapanya, Arjuna harus melawan segala macam godaan. Termasuk rayuan bidadari-bidadari kiriman surga. Dua yang tercantik adalah Suprabha dan Tilottama. “Puasa, pasa atau tapa itu kan bagaimana menghadapi segala godaan, bukan cuma makan dan minum, tapi nafsu seks, nafsu marah, serakah, dan lainnya,” jelas Dwi. Dalam karyanya itu, Mpu Kanwa juga menyelipkan pesannya. Katanya, lancang bagi orang yang memohon kesenangan dan kebahagiaan pada Tuhan tanpa pernah melakukan brata-yoga-tapa. Bukannya terkabul, justru yang akan diterima adalah penderitaan dan sakit hati. Ada lagi kisah Lubdaka dalam Kakawin Siwaratrikalpa. Karya Mpu Tanakung ini dibuat pada masa Majapahit akhir abad 15. Dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka terpaksa harus bermalam di atas pohon Bilwa di tengah hutan, setelah seharian tak dapat hasil. Dia pun selama sehari penuh berpuasa tak makan dan minum. Malam itu rupanya bertepatan dengan Siwaratri, malam pemujaan bagi Dewa Siwa. Dia pun seakan sedang melakukan puja karena tak sengaja menjatuhkan daun dan air ke atas lingga yang ada di bawahnya. Amalan yang dia lakukan itu, meski tanpa disadari, akhirnya membawanya pada kemuliaan di alam Siwaloka. Puasa atau tirakat bagi kehidupan masyarakat Jawa Kuno merupakan bagian dari ajaran hidup. Menurut Dwi, dalam karesian dan kadewaguruan , tapa menjadi salah satu materi pelajaran. Kemampuan untuk mengendalikan nafsu dinilai penting, terutama bagi seseorang yang akan terjun ke dunia nyata. Dalam catur asrama , atau empat tahapan kehidupan sebelum mencapai moksa, fase itu akan dilalui sebagai seorang Brahmacari. Tapa merupakan tahapan paling awal. Seseorang akan kembali menjalani tapanya ketika mencapai fase yang ketiga, wanaprasta. Pada tahap ini, seorang kepala rumah tangga harus meninggalkan dunianya menuju kesunyian di tempat-tempat terpencil. “Aktivitas pengendalian diri ini memang lebih sering dilakukan ketika masuk masa transisi, ketika muda mau terjun ke dunia, atau ketika menjelang tuanya,” jelas Dwi. Contohnya adalah Airlangga. Seperti diuraikan dalam Prasasti Pucangan (1042), raja itu juga memulai karier politiknya setelah lebih dulu hidup di kalangan pertapa. Sebelum dinobatkan sebagai raja pada 1009, Airlangga selama dua tahun melakukan latihan rohani di Gunung Pucangan yang ada di perbatasan Lamongan dan Jombang. Pada masa akhir pemerintahannya, dia pun kembali menjalani tapanya. Setelah dia membagi kerajaannya menjadi dua: Janggala dan Panjalu. “Airlangga menjadikan tokoh Arjuna (dalam Arjunawiwaha, ) sebagai model. Ini juga kenapa kisah Arjuna muncul pada era Airlangga,” ujar Dwi. Aktivitas semacam ini makin subur mendekati era akhir Majapahit. Pusat-pusat keagamaan banyak bermunculan di lereng gunung yang terpencil. Ada sebuah prasasti pendek dari Gunung Nyamil yang berasal dari masa Majapahit akhir. Di dalamnya disebutkan beragam jenis bentuk tapa. Salah satunya disebutkan kata-kata hatapa racut, yang berkaitan dengan usaha pelepasan diri dari segala dosa. Lalu ada lagi relief di Candi Gambar Wetan, Blitar. Di sana digambarkan seorang perempuan yang sedang bersemadi sambil duduk telanjang. Perilaku yang sama diwujudkan oleh seorang pertapa laki-laki dalam relief di Candi Kedaton, Probolinggo. Topo ngalong, bertapa dengan posisi kaki di atas, kepala di bawah seperti kalong juga mungkin dikenal sejak itu. Ada relief yang menggambarkannya di Candi Cetho, Karanganyar. “Artinya, kegiatan ini dulu sangat beragam. Kalaupun sekarang adanya poso patigeni , mutih , kungkum, itu hanya sisa dulu yang beragam, dulu subur dilakukan,” ujar Dwi. Mengakarnya konsep ini di tengah masyarakat Nusantara membuat konsep puasa yang dibawa oleh penyebar agama Islam tak sulit diterima. Masyarakat Nusantara sudah tak kaget lagi ketika mendapat perintah Rukun Islam yang salah satunya mengharuskan menahan diri dari segala nafsu.*
- Mula Turnamen Para Juara
Meski hanya diikuti klub-klub top Eropa, Liga Champions mampu menghipnotis pecinta sepakbola dari berbagai penjuru dunia. Prestis Liga Champions tak kalah hebat dari Piala Dunia. Real Madrid menjadi klub pertama yang menjuarai Liga Champions tahun 1956 kala turnamen itu bernama European Champion Club's Cup. Hingga kini, klub ibu kota Spanyol itu juga pengoleksi terbanyak trofi Liga Champions. Bagaimana sebetulnya awal mula Liga Champions? Pentas Akbar yang Dibidani Suratkabar Kejuaraan sepakbola antarklub Eropa berakar dari Challenge Cup. Kejuaraan antarklub amatir ini dicetuskan John Gramlick, pendiri klub Vienna FC, pada 1897. Namun, partisipan ajang ini masih terbatas untuk tim-tim di Kekaisaran Austria-Hungaria. Seiring perjalanan waktu, muncul pula Mitropa Cup yang dibidani tokoh sepakbola Austria Hugo Meisl. Turnamen ini mengadu klub-klub Eropa Tengah. Lalu, ada pula Coupe des Nations pada 1930, dan Latin Cup pada 1949. Namun, turnamen-turnamen itu lingkup dan gregetnya dirasa kurang oleh Gabriel Hanot, editor suratkabar Prancis L’Equipe, dan rekannya Jacques Ferran. Terlebih setelah dibandingkan dengan kehebohan Campeonato Sudmamericano de Campeones musim 1948 yang diliput Ferran. Turnamen Campeonato, tulis Jose Carluccio dalam Historia y Futbol , merupakan turnamen akbar berlingkup benua pertama di dunia. Turnamen ini cikal-bakal Copa Libertadores –Liga Champions-nya Amerika Selatan. Logo European Cup (kiri) dan logo Liga Champions (kanan) yang diperkenalkan pada 1992. (fifamuseum.com dan Wikipedia) Di luar kurang gregetnya turnamen-turnamen Eropa tadi, klaim sebagai juara dunia oleh juara Liga Inggris Wolverhampton Wanderers setelah mengalahkan Budapest Hanved FC 3-2 di Stadion Molineux, 13 Desember 1954 amat menjengkelkan Hanot. Hal itu mendorong Hanot dan Ferran meracik cetak biru sebuah turnamen antarklub Eropa baru. Formatnya mengadopsi Campeonato. Pada 2-3 April 1955, L’Equipe menghelat pertemuan antarklub Eropa yang dihadiri 16 perwakilan. Di pertempuan inilah Hanot mengajukan cetak biru turnamennya. Mayoritas perwakilan yang hadir menyetujuinya. L’Equipe membawa hasil kesepakatan itu ke Kongres UEFA di Wina, Austria, hingga ke pertemuan FIFA di London, 9 Mei 1955. Ide turnamen antarklub Eropa akhirnya mendapat lampu hijau. “Proposal ini akan sangat menarik dan akan jadi kesuksesan besar,” cetus Presiden FIFA Rodolphe Seeldrayers, dikutip Alan Tomlinson dalam A Dictionary of Sports Studies. Label Turnamen dan Trofi Prestisius Untuk mewujudkan turnamen itu, dibuat sebuah komite swasta dengan pemimpin Ernest Bedrignans. Komite ini membahas nama turnamen, format, dan trofinya. Bedrignans sempat mengusulkan nama turnamen dengan La Coupe du President Seeldrayers. Namun, presiden FIFA enggan namanya diabadikan untuk turnamen itu lantaran turnamen tak berskala global. Komite yang mempersiapkan helatan pertama musim 1955/1956 itu akhirnya menyepakati European Champion Club’s Cup sebagai nama turnamen. Sistem turnamennya menggunakan format dua leg (tandang-kandang) dan babak knockout . Untuk hadiah utamanya, L’Equipe menyediakan trofi perak mirip trofi Henry Delaunay (Piala Eropa). Sementara Hanot kembali membawa hasil itu ke pertemuan UEFA, komite mengundang 16 klub top Eropa. Menurut situs resmi UEFA, ke-16 tim yang berlaga adalah AC Milan (Italia), AGF Aarhus (Denmark), Anderlecht (Belgia), Djurgarden (Swedia), Gwardia Warszawa (Polandia), Hibernian (Skotlandia), Partizan Belgrade (Yugoslavia), PSV Eindhoven (Belanda), Rapid Wien (Austria), Rot-Weiss Essen (Jerman Barat), Saarbrucken (Saar), Servette (Swiss), Sporting Lisbon (Portugal), Stade de Reims (Prancis), Voros Lobogo (Hungaria), dan Real Madrid (Spanyol). Trofi pertamaLiga Champions atau European Cup jadi milik Real Madrid. (fifamuseum.com) Madrid menjadi pemegang pertama turnamen tersebut. Trofi pertama ini akhirnya jadi milik Madrid selamanya setelah berhasil memenangi European Cup untuk keenam kalinya pada musim 1966/1967. Trofi pengganti, untuk “digilir”, diperkenalkan musim berikutnya. Menurut UEFA Direct , trofi baru didesain pakar pembuat perhiasan asal Swiss Jorg Stadelmann. Berbahan perak setinggi 74 cm dan berbobot 11 kilogram, trofi dibuat dengan biaya 10 ribu Franc Swiss. Desain pegangannya yang mirip telinga menjadi ikon sampai sekarang hingga trofi itu dijuluki The Big Ear . Setiap pemenang hanya bisa menyimpan secara permanen replikanya buatan GDE Bertoni. Trofi asli baru bisa dimiliki secara permanen bila sebuah klub bisa enam kali memenangkannya. Sepanjang sejarah, baru lima klub yang bisa memiliki trofi asli: Real Madrid, Ajax Amsterdam, Bayern Munich, AC Milan, dan Liverpool. Pada 1992, European Cup bertransformasi menjadi UEFA Champions League. Tim partisipan tak lagi pemuncak liga masing-masing, tapi cukup tiga besar. Alhasil jumlah partisipan tiap musim mencapai 32 tim. Pada tahun itu juga UEFA memperkenalkan theme song bertajuk “Champions League” karya komposer Inggris Tony Britten, yang diperdengarkan setiap jelang kickoff . Menurut Johan Fornas dalam Signifying Europe , “Champions League ” merupakan adaptasi dari “Zadok the Priest” karya George Frideric Handel. Sementara, format turnamen berubah jadi bersistem delapan grup. Per musim 2016/2017, mereka (finalis) tak lagi hanya berebut trofi, tapi juga bonus uang mencapai 15,5 juta euro (juara) dan 11 juta euro.
- Kolaborasi Lagu Religi
Penceramah asal Semarang dan mantan pengurus Nahdlatul Ulama Jawa Tengah, Ahmad Buchori Masruri, wafat pada 17 Mei lalu dalam usia 70 tahun. Masruri juga merupakan pencipta lagu “Perdamaian” yang dipopulerkan grup kasidah Nasida Ria. Lagu “Perdamaian” memang khusus dibuat Masruri untuk Nasida Ria demi memenuhi permintaan H.M. Zain, sahabat karibnya yang juga pendiri Nasida Ria. Di lagu itu, Masruri menggunakan nama samaran Abu Ali Haedar. Lagu ini masuk dalam album Perdamaian yang dirilis 1982 dan laku keras. Liriknya yang kuat, mengkritik peperangan di pentas global, membuat lagu “Perdamaian” terus relevan hingga kini. Lagu ini pernah diaransemen ulang grup musik rock Gigi untuk album Raihlah Perdamaian (2005). Selain itu, kolaborasi antara Nasida Ria dan Masruri, menghasilkan lagu, di antaranya “Damailah Palestina”, “Dunia Dalam Berita”, “Merdeka Membangun”, dan “Mesjid Tua”. Kasidah Modern Kolaborasi juga pernah terjadi antara grup musik Bimbo dan sastrawan Taufiq Ismail. Kelompok musik yang terdiri dari Sam, Acil, Jaka, dan Iin ini dibentuk pada 1967. Mereka mulai mengeluarkan lagu-lagu bernapaskan Islam pada 1970-an. Menurut buku Musisiku, Taufiq dipilih Bimbo menjadi kolaborator untuk menghasilkan lagu-lagu Islami. Dari kolaborasi tersebut, muncul lagu-lagu kasidah yang hingga sekarang masih dikenang, seperti “Rindu Rasul”, “Qasidah Matahari dan Rembulan”, dan “Sajadah Panjang.” Lagu “Anak Bertanya pada Bapaknya”, yang juga hasil kolaborasi Bimbo dan Taufiq, mungkin yang paling banyak diputar saat Ramadan. Sejumlah lagu hasil kolaborasi itu sanggup membuat orang yang mendengarkannya tergerak. “Seperti (lagu) ‘Tuhan’ yang diceritakan Ebiet G Ade sempat membuat rekannya terharu dan lantas minta diajari sembahyang,” tulis majalah Hai, edisi 26 April-2 Mei 1998. Lagu hasil kolaborasi Bimbo dan Taufiq lainnya, “Rindu Rasul”, juga mampu membuat salah seorang personel Bimbo, Iin Parlina, menangis. “Iin Parlina selalu saja menangis jika menyanyikan lagu Rindu Rasul itu,” kata Sam Bimbo kepada Hai, 26 April-2 Mei 1988. Menurut Moeflich Hasbullah dalam Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara, kasidah Bimbo telah mempelopori kelahiran sebuah genre musik baru sebagai identitas religius kultural masyarakat, yang sedang mengalami transformasi sosial-kultural dengan menyediakan citra estetis kelompok Islam perkotaan. Pengamat musik Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia menulis Bimbo mampu keluar dari persaingan antargrup musik, yang tiba-tiba menggarap musik kasidah modern pada 1970-an. Denny Sakrie memberi contoh Koes Plus yang antara lain merilis “Nabi Terakhir”, “Ya Allah”, dan “Sejahtera dan Bahagia.” Begitu pula kelompok musik rock AKA dari Surabaya, yang membuat album kasidah modern. Namun, berkat kolaborasi dengan Taufiq, Bimbo mencuat namanya dan mendapat predikat dari publik sebagai grup musik religius. Kala Ramadan Taufiq bukan hanya bekerja sama dengan Bimbo. Penyair kondang ini pun pernah berkolaborasi dengan penyanyi pop Chrisye. Lagu yang diciptakan Taufiq berjudul “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”, termuat dalam album Kala Cinta Menggoda (1997). “Lirik yang dibuat Taufiq Ismail adalah satu-satunya lirik dahsyat sepanjang karier, yang menggetarkan sekujur tubuh saya. Ada kekuatan misterius yang tersimpan dalam lirik itu,” kata Chrisye dalam otobiografinya yang ditulis Alberthiene Endah, Chrisye Sebuah Memoar Musikal. Selain Taufiq, budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal dengan nama Cak Nun, juga berkolaborasi dengan 20 musisi dari berbagai aliran. Kolaborasi yang terjadi pada 1996 ini menghasilkan sebuah kelompok musik bernama Kiai Kanjeng. Menurut Moeflich Hasbullah , Kiai Kanjeng meluncurkan album perdana Kado Muhammad yang berisi salawatan dan musikalisasi puisi yang dipersembahkan untuk Nabi Muhammad. Cak Nun dan Kiai Kanjeng memadukan musik tradisional gamelan Jawa dengan instrumen musik modern, lalu mentransformasikannya jadi sebuah orkestra. Lagu-lagu hasil kolaborasi pendakwah atau sastrawan tak punah dimakan zaman, “Perdamaian” atau “Anak Bertanya pada Bapaknya” bakal terus diputar, terutama kala Ramadan tiba.
- Puncak Kebangkitan (Kembali) Feminisme
SAMBIL membawa bunga ungu, Wardah Hafidz (ketua Urban Poor Consortium) dan rekan-rekannya berjalan dari Kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jalan Gatot Subroto ke Senayan. Perjalanan sejauh tiga kilometer itu mereka lakukan untuk bergabung dengan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR untuk merobohkan rezim militeristik Soeharto, Mei 1998. “Komando aksi di DPR kan dipegang mahasiswa, kami bergabung di sana,” kata Wardah. Ketika sampai di depan pagar DPR, Wardah menaruh setangkai bunga di lubang senjata tentara yang berjaga. Ada ribuan perempuan yang ikut dalam aksi yang menandai puncak kebangkitan kembali feminisme dan gerakan perempuan Indonesia. Sebelumnya, rezim Soeharto atau Orde Baru (Orba) menekan aktivisme perempuan. Pasca-G30S, Orba mengampanyekan feminisme dan politik perempuan sebagai sesuatu yang buruk. Gerakan perempuan secara sistematis diredam melalui Kowani yang anggotanya terdiri dari Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan organisasi perempuan yang berdiri sebelum kemerdekaan. Soeharto berhasil menjinakkan Kowani lewat Kongres Luar Biasa Kowani tahun 1966 sehingga federasi itu mendukung pemerintahannya. Penjinakan itu menandai lumpuhnya gerakan perempuan. Nunuk Murniarti dalam Getar Gender menulis, periode 1966-1980 adalah masa suram bagi gerakan perempuan ketika Soeharto berhasil “melumpuhkan” Kowani. Semua organisasi perempuan diwajibkan masuk ke dalam Kowani, semua perempuan desa diwajibkan mengikuti PKK, dan semua istri pegawai negeri diwajibkan mengikuti Dharma Wanita. “Sanksinya berat kalau ketahuan tidak memilih Golkar dan istri tidak ikut Dharma Wanita. Jabatan suami bisa diturunkan,” kata Julia Suryakusuma, penulis Ibuisme Negara, kepada Historia . Angin segar bagi gerakan perempuan untuk tumbuh kembali muncul pada dekade 1970-an seiring menguatnya pembicaraan tentang isu perempuan dalam pembangunan di kalangan feminis Barat. Isu itu akhirnya mendapat legalitas setelah pemerintah Amerika Serikat (AS) membuat Undang-Undang tentang Bantuan Luar Negeri (The Percy Amandement to the 1973 Foreign Assistance). Aturan tersebut, tulis Ritu Sharma dalam Woman and Development Aid, membuat Badan Bantuan Pembangunan Internasional AS (USAID) hanya mau memberi bantuan pada negara-negara yang serius menangani masalah perempuan. Untuk mengawalnya, Departemen Luar Negeri AS mengawasi kemajuan penanganan isu perempuan sebelum memberi pendanaan pada organisasi internasional seperti PBB dan Bank Dunia. Kuatnya pendanaan AS pada PBB membikin organisasi dunia ini ikut menyoroti isu perempuan dalam pembangunan yang menyasar negara berkembang. PBB lalu menetapkan tahun 1975 sebagai Tahun Perempuan Internasional lewat penyelenggaraan Kongres Perempuan Sedunia di Meksiko City. “Ini sebenarnya keberhasilan gerakan perempuan di negara dunia pertama. Mereka berhasil memasukkan agendanya ke PBB,” kata Ruth Indiah Rahayu, pendiri Tutur Perempuan. Sebagai anggota PBB sekaligus pengutang pada Bank Dunia, Indonesia mengikuti rekomendasi PBB membentuk departemen yang khusus menangani masalah perempuan. Pada 1978, pemerintah membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita (Kemenmud UPW) yang pada 1983 menjadi Kementerian Negara UPW. Sejalan dengannya, publikasi penelitian para cendekiawan feminis di Kongres Perempuan Sedunia masuk ke Indonesia. Bacaan tentang perempuan dan feminisme menginspirasi ilmuwan Indonesia membentuk kelompok studi. Melly G Tan dan Tapi Omas Ihromi, menurut Saparinah Sadli dalam BerbedaTetapi Setara, mempelopori dengan membentuk kelompok diskusi feminisme. Tapi Omas bahkan ikut mendirikan Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia pada 1979. Gelombang kelompok studi feminisme berkembang pesat sejak itu. Organisasi nonpemerintah (ornop) sebagai wujud etika kepedulian para feminis Indonesia, bermunculan. Penelitian tentang efek pembangunan terhadap perempuan banyak dilakukan, salah satunya bekerjasama dengan sosiolog amerika Hanna Papannek. Gelombang kedua organisasi perempuan era Orba muncul pada 1980-1998, ditandai dengan berdirinya Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) di Yogyakarta tahun 1982, Kalyanamitra di Jakarta (1985), dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) setahun kemudian. Di periode ini, gerakan perempuan terbelah. Organisasi perempuan yang sejalan dengan program rezim Soeharto, menurut Nunuk, masuk ke dalam Kowani. Sementara ornop yang menjunjung keadilan gender, berdiri sendiri. “Arus balik gerakan perempuan yang melawan organisasi perempuan Orba muncul pada dekade 1980-an. Pusatnya di ornop perempuan karena di masa Orba bentuk ornop yang mungkin dilakukan. Hal itu terus dilakukan sampai 1998,” kata Ruth. Kemunculan ornop perempuan ini terus meningkat hingga pada 1990-an hadir gelombang besar gerakan perempuan. Ornop baru tumbuh subur, seperti Forum Diskusi Perempuan Yogya (FDPY), Solidaritas Perempuan, Yayasan Perempuan Mardika, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), Lembaga Bantuan Hukum APIK, dan Rifka Anissa. Bersama elemen-elemen masyarakat lain, mereka terus melawan pemerintah Orba. Aksi turun ke jalan terus bermunculan, misalnya Koalisi Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP) ketika merespon pembredelan media massa pada 1994 dan aksi Suara Ibu Peduli (SIP) pada Februari 1998 sebagai wujud kepedulian atas krisis ekonomi. “Setelah SIP, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang lebih politis didirikan. Niat pendiriannya memang ingin Soeharto turun,” kata Julia. Puncak dari gelombang besar feminisme yang mulai tumbuh kembali sejak 1980-an ini, terjadi pada Mei 1998. Ribuan perempuan turun ke jalan, ikut menduduki DPR. SIP membagikan nasi bungkus kepada mahasiswa sebagai bentuk dukungan, khas politik perempuan yang berpegang pada etika kepedulian. “Maunya 1998 ini puncak perubahan. Soeharto harus turun. Setelahnya, kami (KPI) melakukan kongres untuk membuat agenda Reformasi pada Desember 1998,” kata Ruth.
- Libur Puasa Anak Sekolah Zaman Belanda
SABAN datang bulan puasa, anak sekolah kebagian jatah libur cukup banyak. Mereka libur pada jelang puasa sampai hari-hari awal puasa. Kemudian mereka masuk sekolah lagi beberapa hari. Mereka kembali libur ketika dekat lebaran sampai seminggu lepas lebaran. Bagaimana sejarahnya? Libur puasa anak sekolah bermula ketika sistem pendidikan modern masuk ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sistem ini garapan pemerintah kolonial dan berada di bawah naungan Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan yang kemudian berubah jadi Departemen Pendidikan dan Agama pada 1912. Pemerintah kolonial menimbang perlu memberi orang-orang tempatan pendidikan demi menciptakan tenaga-tenaga terampil di lapangan kesehatan, birokrasi, pertukangan, pertanian, dan teknik. Kebetulan orang-orang tempatan yang mengecap pendidikan kolonial mayoritas beragama Islam dan ada yang menjalankan ibadah puasa selama Ramadan. Pemerintah kolonial meliburkan semua sekolah binaan mereka dari tingkat dasar (HIS) sampai tingkat menengah atas (HBS dan AMS) selama bulan puasa dan beberapa hari setelah lebaran. “HIS zaman Belanda dulu libur pada bulan puasa,” kata Aziz Halim, tamatan HIS, dalam Pelita , 2 Mei 1979. Lama libur puasa anak sekolah sekira 39 hari. “Sekarang boleh pulang, sampai ketemu habis lebaran,” kata Menir van Dalen seperti dikutip Mahbub Djunaidi, cendekiawan kelahiran tanah Betawi, dalam Asal Usul: Catatan-Catatan Pilihan , mengenang ucapan gurunya menjelang bulan puasa pada 1930-an. Kebijakan libur sekolah pada bulan puasa beralas dari cara pandang pemerintah kolonial terhadap Islam dalam bidang pendidikan. Dr. N. Andriani, penasihat Urusan Bumiputera, pernah menyampaikan pertimbangannya tentang kedudukan Islam dalam bidang pendidikan kepada J.A.C. Hazeu, direktur Pendidikan dan Agama, pada 1913. “Islam adalah satu-satunya milik mereka yang tak dapat dihilangkan dan tidak dapat diganggu gugat. Mereka ingin tetap memiliki Islam, juga bagi anak-anak mereka. Mereka tidak menginginkan pelajaran agama dari Belanda,” kata Andriani seperti dikutip S.L. van der Wal dalam Kebijaksanaan Pendidikan di Hindia Belanda 1900-1940. Andriani juga mengingatkan pemerintah kolonial jangan main paksa melepaskan Islam dari penduduk tempatan. Sepanjang menyangkut urusan peribadatan seperti puasa, lebih baik kasih kesempatan luas bagi anak-anak sekolah yang beragama Islam untuk menjalankannya. Apalagi anak-anak sekolah kadung senang dengan kedatangan bulan puasa. Sejak gelap hari mereka membangunkan orang sahur dengan bebunyian kaleng rombeng. Siang hari mereka jumpalitan di pohon belimbing. Menjelang sore hingga magrib, anak-anak sekolah itu tidur-tiduran di langgar. “Jika saat berbuka tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi,” begitu cerita Mahbub Djunaidi tentang keriangan anak-anak pada zamannya kecil dulu selama bulan puasa. Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, yang masa kecilnya jadi siswa HIS di Kotanopan, Sumatra Utara, pada 1930-an, menceritakan pengalamannya libur sekolah selama bulan puasa pada masa kolonial. “Bagi anak desa, bulan puasa dan lebaran adalah saat-saat yang paling berbahagia. Berlibur, orang-orang pada pulang kampung dari perantauan, malam hari beramai-ramai di masjid mengaji… Siang hari anak-anak mengembara di bukit-bukit atau bermain-main di kali mencari ikan,” kata Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Semasa Muda . Tapi tak semua anak-anak pada masa kolonial menghabiskan libur puasa dengan beribadah saja. Deliar Noer, ilmuan politik sohor Indonesia yang dulu sempat mengenyam sekolah HIS pada 1930-an, mempunyai pengalaman libur sekolah selama bulan puasa. Sekali waktu dia pergi ke kebun mangga di belakang sebuah masjid raya dekat pekuburan. Bersama teman-teman, Deliar memanjat pohon mangga, memetik buahnya, dan memakannya. Padahal mereka sedang berpuasa. “Masing-masing kami setelah sampai di rumah dari pekuburan yang berpohon mangga itu, mengaku masih tetap puasa; kami juga berbuka bersama ketika magrib,” kenang Deliar dalam . Pada kemudian hari, Deliar mengaku menyesali perbuatan tipu ini. Ibnu Sura Maesti, mantan redaktur majalah Muhammadiyah pada zaman pergerakan nasional, juga punya kisah mirip dengan Deliar Noer. Ketika Ibnu masih bersekolah di HIS Cikaso, Kuningan, Jawa Barat, pada 1910-an, dia telah menjadi pujaan orang kampung lantaran kefasihannya membaca Alquran dan kesediannya membantu kerjaan rumah orangtua dan neneknya. Dia menikmati puja-puji dari orang kampung dan berusaha terus mempertahankannya dengan giat aktivitas sana-sini. Upaya Ibnu ternyata berdiri di atas dusta. Dia sering batal puasa sebelum azan magrib berkumandang. Tanpa diketahui oleh keluarga dan orang sekitarnya pula. Hingga datanglah saatnya dia ketahuan secara tak sengaja oleh keluarga dan orang sekitarnya bahwa dia telah bolong puasa. “Benar-benar waktu itu aku sangat merasa malu dan menyesal, serta berjanji dalam hatiku, tidak akan berdusta dan berbuat sesuatu untuk mendapat pujian belaka,” tulis Ibnu dalam “Dari Asuhan Nenek hingga ‘Ayah’ Belanda” termuat di Perjalanan Anak Bangsa: Asuhan dan Sosialisasi dalam Pengungkapan Diri suntingan Aswab Mahasin dan kawan-kawan. Begitulah anak-anak zaman kolonial menghabiskan libur sekolah sepanjang bulan puasa. Kebijakan yang bertahan terus sampai masa merdeka. Kelak kebijakan libur sekolah lebih dari sebulan ini kena gugat Daoed Joesoef, menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada 1978.
- Kesaksian Dua Jenderal
Letjen (Purn.) M. Jasin berusia 77 tahun ketika rezim Soeharto tumbang pada Mei 1998. Selama berkuasa, pemerintah Orde Baru mencekal Jasin dan mempersulit kehidupannya. Menjalani masa sulit sebagai pesakitan politik, Jasin hanya mengingat pesan Mr. Hardi, wakil perdana menteri sewaktu dirinya masih mengemban jabatan Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh. “Pesan Pak Hardi hanya satu, yang terpenting jaga kesehatan, agar nanti bisa menyaksikan durian jatuh,” kata Jasin kepada wartawan senior Julius Pour dalam “M. Jasin, Figur Seorang Perwira” termuat dikumpulan tulisan Warisan (daripada) Soeharto . Tanpa mengubah nada bicaranya, Jasin menambahkan, “Benar’kan, duriannya sekarang sudah lengser kebawah.” Durian yang dimaksud Jasin tak lain Presiden Soeharto. Meski Soeharto lengser, Jasin belum cukup puas. Baginya kebenaran tetap harus tersingkap. Menurutnya, tak berbilang lagi jumlah orang yang masuk penjara akibat tangan besi pemerintahan Soeharto. Juga yang lenyap entah kemana. “Masyarakat dipimpin dengan menyebarkan berbagai rekayasa yang menciptakan ketakutan. Stabilitas politik dijalankan dengan represi,” kata Jasin dalam pengantar otobiografinya M. Jasin: Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto . Mengadili Soeharto Reformasi bergulir. Muncul wacana untuk menyeret Soeharto ke pengadilan. Jasin menjadi salah satu tokoh sepuh militer yang mendukung proses hukum terhadap Soeharto. Dia pun menolak tegas wacana amnesti terhadap Soeharto dengan syarat menyerahkan 55 persen harta kekayannya kepada negara. Untuk mengadili Soeharto, Jasin menyurati sejumlah tokoh-tokoh penting. Mereka diantaranya adalah Presiden Habibie, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Jaksa Agung Letjen Andi Muhammad Ghalib, Wakil Jaksa Agung Ismudjoko hingga mantan wakil presiden Try Sutrisno. Jasin juga menuliskan pendapatnya mengenai Soeharto di beberapa suratkabar. Kepada Presiden Habibie, misalnya. Dalam surat bertanggal 26 Mei 1998 itu, Jasin berpesan agar Habibie jangan ketularan nepotisme seperti Soeharto dan terus menegakkan reformasi. Jasin juga meminta diadakan pengusutan terhadap harta kekayaan Soeharto yang dananya tersimpan di sejumlah yayasan. Selain itu, Jasin mengangkat kembali kasus peternakan Soeharto di Tapos dan Ciomas yang sarat penyimpangan kekuasaan. Hal itu disampaikannya kepada Andi Muhammad Ghalib dan Ismudjoko. “Serahkanlah pemimpin yang bersalah kepada hukum yang berlaku, sama seperti semua Warga Negara Indonesia lainnya. Tidak perlu diberikan keistimewaan berlebihan,” tulis Jasin kepada Jenderal Wiranto dalam surat bertanggal 8 Juni 1998. Proses hukum itu tak kunjung tiba hingga Soeharto wafat pada 2008 menyusul kemudian Jasin pada 2013. Loyalitas Tanpa Batas Lain Jasin, lain pula Benny Moerdani. Pada awal 1990, Soeharto yang mulai merapat ke kalangan Islam tak lagi membutuhkan Benny sebagai “penjaga” sekaligus orang kepercayaan. Benny terdepak lantaran menyarankan Soeharto untuk memperhatikan bisnis anak-anak dan mantunya yang sudah “keluar jalur”. Merasa keluarganya diserang, Soeharto tersinggung. Pelan-pelan, peran Benny dilucuti. Si Raja Intel pun tersingkir. Roda hidup terus berputar. Mei 1998, giliran Soeharto yang tersingkir dari tampuk kekuasaan. Bagaimana sikap Benny? Alih-alih ikut menjungkalkan Soeharto, Benny tetap memperlihatkan diri sebagai loyalis. Menurut Jusuf Wanandi, orang dekat Benny di lembaga CSIS, kesetiaan Benny kepada Soeharto berlaku selamanya. “Setelah ia turun dari jabatannya pun, Benny tidak pernah menjelek-jelekkan Soeharto,” ujar Jusuf Wanandi dalam memoar Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998. “Ia selalu setia, seorang tentara yang loyal, karena ia bukan politikus.” Kendati keadaan telah berubah, Benny masih menjadikan Soeharto sebagai junjungannya. Benny akan menghardik dengan suara keras tiap kali ada pembicaraan yang bernada kritik menuju Soeharto. “Begitu kerasnya, sehingga teman-temannya ketakutan dan langsung menutup pembicaraan,” tulis Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis. Jusuf Wanandi menyaksikan betapa marahnya Benny kepada Fikri Jufri - wartawan Tempo - yang menceritakan lelucon mengenai Soeharto di depan Benny. "Dia mengancam Fikri dengan pistol, padahal waktu itu Benny sudah lama pensiun," tutur Wanandi. Pada 15 Desember 1998, Soeharto dan Benny bertemu di rumah Jalan Cendana atas perantaraan Mbak Tutut. Pertemuan itu adalah kali pertama setelah acara pemakaman Ibu Tien Soeharto pada April 1996. Reuni berjalin diantara keduanya. Soeharto bingung memahami apa yang terjadi pada kekuasaannya. Sebagaimana dikisahkan Jusuf Wanandi, satu-satunya pertanyaan yang disampaikan Soeharto adalah, “Ben, bagaimana ini bisa terjadi? Apa sebenarnya yang terjadi?” Benny lantas menceritakan semuanya selama satu setengah jam. “Bapak sekarang tahu, karena Bapak tidak percaya kami,” jawab Benny. Yang dimaksud "kami" oleh Benny tentu saja adalah ABRI. Patron dan klien yang sempat menjauh itu itu pada akhirnya berdamai. Pada 29 Agustus 2004, Soeharto menyempatkan melayat ke rumah Benny. Di depan jenazah Benny yang telah mendahului, Soeharto membacakan doa buat loyalisnya yang sempat dia "buang" tersebut. “Kesetiaan Benny kepada Pak Harto tidak pernah luntur dan tetap dengan kesetiaan luar biasa dia bawa sampai ke liang kubur,” tulis Julius Pour.
- Dari Hijab hingga Hijrah
BEBERAPA tahun belakangan, banyak artis tanah air menyatakan hijrah. Terbaru ada nama beken seperti Arie Untung, Fenita Arie, Muhammad Hamzah (Bjah The Fly), dan Cinta Penelope. Mereka memproklamirkan diri sudah berubah ke arah yang lebih baik alias hijrah. Menurut Irna Mutiara dalam Hijrah Story: Always Fashionable , istilah hijrah berasal dari bahasa Arab, yang artinya berpisah, pindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Mengutip seorang pakar hadist dan penulis biografi Rasulullah, Munawar Khalif, Irna mendefinisikan hijrah dalam tiga pengertian. Salah satunya, pindah dari kebiasaan mengerjakan perbuatan buruk kepada kebiasaan mengerjakan perbuatan baik. Defenisi hijrah itu pula yang bisa dilekatkan pada sejumlah artis tanah air. Artis lelaki biasanya tampil dengan jenggot yang dibiarkan tumbuh lebat dan panjang. Celana mereka pun cingkrang, dengan dahi yang kehitaman. Sementara perempuannya mengenakan jilbab panjang, bahkan ada yang menutupi wajahnya dengan cadar. Selain penampilan, mereka bahkan ada yang melepaskan sejumlah pekerjaan di dunia hiburan, demi memantapkan niatnya untuk berhijrah. Islamisasi Ary Budiyanto, antropolog dan peneliti Center for Culture and Frontiers Studies (CCFS) Universitas Brawijaya, mengatakan fenomena artis hijrah baru ada pada 1990-an. “Salah satu yang paling saya ingat ya Astri Ivo. Baru kemudian ada artis generasi Inneke Koesherawati,” kata Ary kepada Historia. Mereka muncul dengan penampilan baru, berhijab. Namun, saat itu, belum menegaskan istilah hijrah. Menurut Ariel Heryanto dalam Identitas Kenikmatan, pada 1990-an Islamisasi di Indonesia menguat. Hal ini terjadi saat Rezim Soeharto mulai memberi angin kepada kelompok-kelompok Islam dari berbagai orientasi ideologi untuk masuk ke pemerintahan. Hal ini berbeda jauh dari strategi politik Soeharto terhadap Islam pada tahun-tahun sebelumnya. Di sisi lain, Ariel menulis, pertumbuhan pesat industri busana Muslim sudah mencolok pada akhir 1990-an. Pemakaian jilbab memperoleh nilai politik dan kebaruan sebagai ungkapan pemberontakan pada puncak pemerintahan Orde Baru. “Kemudian pemakaian jilbab bertransformasi menjadi tren mode berpakaian sejak dekade 1990-an, lantas menjadi bentuk kepatutan politik sejak peralihan abad,” tulis Ariel . Kedekatan masyarakat dengan agama, ternyata juga ada korelasinya dengan keadaan ekonomi. Majalah Panji Masyarakat edisi 1-10 Agustus 1991 menulis, seiring membaiknya penghasilan masyarakat, kesadaran perlunya agama juga makin bertumbuh. Sebagian golongan berpunya mulai menyadari pentingnya agama. Hal ini pun menyentuh kehidupan para artis di masa 1990-an, yang termasuk golongan menengah ke atas. Mereka, salah satunya, mewujudkan kesadaran agama itu dengan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Islam. “Para artis juga menyerahkan putra-putrinya sekolah di Al-Azhar, antara lain anak Eros Djarot, Leni Marlina, dan lain-lain,” tulis Panji Masyarakat . Budaya Populer Menurut Ary Budiyanto, acara-acara infotainment dan program khusus Ramadan di layar kaca selama tiga tahun belakangan ikut mempopulerkan istilah hijrah para artis. Istilah hijrah juga dipopulerkan gerakan Islam masa kini seperti Partai Keadilan Sejahtera, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Tabligh, dan sebagainya. Budaya populer seperti film, kata Ary, sedikit-banyak juga mempengaruhi hijrah para artis. Salah satunya dan cukup berpengaruh adalah film Ayat-ayat Cinta (2008). Ariel menulis, film Ayat-ayat Cinta dianggap publik sebagai titik balik kehadiran budaya populer Islam di dalam film. Film yang berdasarkan novel laris berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy ini mampu menyedot tiga juta penonton saat beberapa pekan pertama penayangannya di bioskop. Kisah dalam film ini terjadi di Mesir, dengan musik latar dan adegan-adegan di sepanjang film yang memperlihatkan karakter Timur Tengah dan Islami. “ Ayat-ayat Cinta adalah puncak nge-pop-nya gaya hijrah artis generasi 2000-an. Sebelum Ayat-ayat Cinta, sinetron Islami ala Hidayah Ilahi pertengahan 1990-an juga berperan menggiring istilah hijrah artis,” kata Ary. Selanjutnya, Ary melihat, pemberitaan soal artis yang hijrah didorong fakta umat Islam adalah pasar bisnis yang luas. Sensasi yang diperluas akan membuat rating menjadi kuat. “Ini penting bagi bisnis media,” katanya. Ary mengatakan, euforia ramai berhijrah boleh jadi karena alasan keimanan pribadi. Namun, sejak Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia terbaca oleh media sebagai pasar potensial, media semakin membidik dan menggarap lahan potensial dalam tingkat maksimal. “Hal ini kelihatan bahwa bisnis ‘keislaman’ yang kebanyakan produk perempuan berangkat dari komunitas Muslim, dalam hal ini kasus artis yang hijrah itu sendiri,” kata Ary. “Proses inilah yang disebut kapitalisasi atau komodifikasi agama.” Begitu pentingnya isu hijrah artis di negeri ini, sehingga menjadi komoditas berita. Bukan hanya mereka yang menyatakan diri sudah hijrah; artis yang lepas hijab, pindah agama, dan kembali ke dunia hiburan usai menyatakan sudah hijrah pun menjadi konsumsi media yang masif.*
- Prahara 1998 Bikin Kacau Sepakbola
TAK hanya mempengaruhi kehidupan politik dan ekonomi, kerusuhan 1998 juga mengakibatkan sepakbola tanah air terganggu. Keadaan itu masih diingat betul oleh mantan kapten Persib Robby Darwis. “Ya, terhenti itu tahun 1998. Kalau tidak salah ketika itu kita (Persib Bandung) harusnya ada pertandingan lawan PSIS (di Penyisihan Divisi Tengah Liga Indonesia IV),” kata Robby kepada Historia. Persib, yang saat itu menempati urutan lima klasemen Divisi Tengah, masih harus berjuang karena baru 15 kali tampil. Tentu bukan hanya Persib, jadwal semua tim terpaksa ditunda sebelum kompetisi benar-benar dihentikan pada 25 Mei 1998. Ini menjadi klimaks kekacauan sepakbola nasional yang bibitnya sudah muncul musim sebelumnya. Di Liga Indonesia III, 1996/1997, beberapa tim sudah terimbas krisis moneter. Yang terparah, Bandung Raya (BR). Runner-up Divisi Utama Liga Indonesia III ini terpaksa mundur di musim berikutnya. Ambruknya BR menjadi berkah buat Persija. Bak “ketiban durian runtuh”, banyak pilar andalan BR, seperti Budiman Yunus, Nuralim, dan Olinga Atangana, memilih hijrah ke ibukota. Menurut Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila, Panglima Gajah, Manajer Juara , para pemain Bandung Raya yang sudah bubar secara khusus direkrut Gubernur DKI Sutiyoso yang sedang getol membangun Persija. Persija bahkan merekrut pilar senior BR, Herry Kiswanto, jadi asisten pelatih dan AB Fafie, mantan pelatih BR. Sayang, kondisi on fire Persija, yang juga mengancam pemuncak Divisi Barat Persebaya, seketika harus padam lantaran kompetisi dihentikan. “Persija sempat merangsek ke puncak klasemen. Namun kompetisi dihentikan dan ketika liga disetop, Persija berada di peringkat dua wilayah Barat dengan 27 poin dari 15 partai,” ujar Manila. Dihentikannya kompetisi membuat banyak penggila bola berang. Di beberapa tempat, mereka berbuat anarkis. Di Bandung, batalnya laga Persib lawan PSIS di Stadion Siliwangi berhilir pada aksi demonstrasi Bobotoh. Suporter Persib itu menyatu dengan elemen masyarakat lain di Gedung Sate. Aksi itu diduga terinspirasi dari aksi anarkis suporter terhadap klub Arseto Solo di Stadion Sriwedari Solo, 6 Mei 1998. Arseto dijadikan sasaran amuk gara-gara pemiliknya adalah putra Soeharto, Sigit Harjoyudanto. Semua yang berbau Soeharto kala itu dijadikan sasaran kemarahan. Arseto pun bubar tak lama setelah menggulirkan laga terakhir kontra Pelita Jaya di matchday ke-14 Divisi Tengah. Berhentinya kompetisi berimbas pada nasib para pesepakbola yang mencari penghidupan dari merumput bersama klub-klub. “Banyak yang akhirnya main di luar (kompetisi), ya seperti event-event lokal. Semacam tarkam-lah (antarkampung). Saya juga pernah, walau tidak sering. Pas kompetisi terhenti, saya kembali kerja lagi (di BNI 46), karena memang sejak bela Persib, saya juga dikaryakan di sini,” ujar Robby Darwis. Kompetisi baru dibuka kembali pada 1 November 1998 setelah ketua umum PSSI baru Agum Gumelar susah-payah menggerakkan lagi roda kompetisi. Kompetisi Liga Indonesia V 1998-1999 bergulir dari subsidi PSSI pada klub-klub peserta dengan total kucuran uang Rp2,8 miliar. Sayang, sejumlah warisan negatif seperti anarkisme suporter masih tetap bertahan di kompetisi baru. “Khusus soal anarkisme suporter, ya itu memang imbas dari berakhirnya Orde Baru. Suporter jadi lebih berani terhadap aparat. Bentrokan dengan aparat kan hal yang sangat jarang terjadi dalam sepakbola di masa Orde Baru,” tandas peneliti hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto.
- Dari Sraddha ke Sadran
PADA tahun Saka seekor-naga-menelan-bulan, Sri Nata meninggalkan Majapahit berpesiar keliling seluruh negara menuju Kota Lumajang. Ia naik kereta diiringi semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi menteri, tanda , pendeta, pujangga, dan semua para pembesar. Peristiwa yang diabadikan Nagarakrtagama dalam bentuk candrasengkala yang berarti 1281 saka (1359 M) itu mengisahkan perjalanan Hayam Wuruk, raja Majapahit, mengunjungi candi-candi leluhurnya. Dalam kakawin itu, Hayam Wuruk secara beruntun melakukan enam kali perjalanan keliling kerajaan. Dia pergi ke Pajang (1353 M), Lasem (1354 M), Lodaya (1357 M), Lumajang (1359 M), Tirib Sompur (1360 M), Palah Blitar (1361 M), dan Simping (1363 M). Dari semua yang dikunjunginya, di antaranya disebut Singhasari, Kagenengan, Kidal, dan Jajagu. Di Singhasari, sang raja memberikan hormat di bawah kaki patung Siwa Buddha perwujudan terakhir Kertanagara, raja pamungkas Singhasari. Di Kagenengan, bersama para pengiringnya, dia membawa sejumlah harta, makanan, bunga, dan berbagai perlengkapan untuk menunjukkan baktinya di hadapan candi. Candi ini merupakan pendharmaan bagi moyangnya, Sri Rajasa, pendiri Singhasari dan leluhur Dinasti Rajasa. Upacara itu nampaknya berlangsung besar-besaran. Usai nyekar, sang Narapati keluar dikerumuni rakyatnya, pendeta Siwa-Buddha, dan para bangsawan. Segenap rakyat girang menerima anugerah dari rajanya berupa bahan pakaian yang indah. Di Kidal, baginda raja mengunjungi candi pendharmaan Anusapati, raja kedua Singhasari. Sementara di Jajagu, terdapat bangunan suci untuk menghormat Wisnuwardhana, raja keempat Singhasari. Berbeda dengan di Kagenengan, di kedua tempat ini upacara pemujaan digambarkan lebih sederhana. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, melihat apa yang dilakukan Hayam Wuruk tak berbeda jauh dengan tradisi ziarah ke makam leluhur pada masa kini. Tak hanya berziarah, bahkan Hayam Wuruk juga memugar candi-candi pendharmaan leluhurnya itu. Raja terbesar Majapahit itu bahkan sampai memugar 27 candi. “Ini gambaran bagaimana kesadaran trah atau silsilah sudah tergambar pada masa Hayam Wuruk dengan menapak tilas tempat-tempat pendharmaan leluhurunya,” jelas Dwi kepada Historia. Selain menyambangi candi-candi leluhur, Hayam Wuruk juga melakukan upacara peringatan khusus bagi keluarganya yang telah meninggal. Pada masa sekarang mungkin dikenal sebagai ritual nyadran. Dulu, aktivitas ini disebut dengan istilah yang mirip, yaitu sraddha. Upacara ini dideskripsikan panjang lebar dalam Nagarakrtagama atau oleh pengarangnya disebut Desawarnana . Upacara sraddha pada masa itu dilakukan untuk memperingari 12 tahun wafatnya seorang tokoh. Adalah Rajapatni atau Gayatri, nenek Hayam Wuruk, yang kematiannya diperingati secara besar-besaran dan dicatat secara runtut oleh Mpu Prapanca . Rangkaian upacaranya berlangsung delapan hari berturut-turut. Di antaranya dimulai dengan menghias singgasana yang akan digunakan sebagai tempat duduk arca lambang Rajapatni. Sehari menjelang acara, upacara pemujaan dilakukan oleh para pendeta untuk memanggil arwah Gayatri. Pagi harinya, arca dikeluarkan dengan iringan musik. Arca yang dibuat seukuran manusia itu lalu didudukan di atas singgasana. Pemujaan arca pun dilakukan oleh seluruh anggota keluarga kerajaan dan pejabat. Setelahnya penyampaian sesaji berupa makanan dan benda berharga lainnya dilakukan. Dikemukakan juga adanya acara makan-makan bagi seluruh pegawai kerajaan hingga para abdinya. Sang raja juga membagikan hartanya dan makanan untuk masyarakat, terutama pendeta. Upacara kemudian diakhiri dengan penempatan arca Prajnaparamitha ke dalam candi pendharmaan Rajapatni. Peringatan kematian Rajapatni ini juga diinfokan dalam Pararaton . Hal ini, menurut arkeolog Supratikno Rahardjo, bisa jadi karena upacara bagi anggota kerajaan lain tak semeriah yang dilakukan bagi Gayatri. Dalam Peradaban Jawa, Supratikno mencatat bahwa Gayatri mungkin dianggap sebagai penyambung Singhasari dan Majapahit. Dia adalah salah satu putri Kertanagara yang kawin dengan Wijaya, pendiri Majapahit. Rajapatni bukanlah permaisuri. Namun, darinya lahir Tribhuwana Tunggadewi, ibu Hayam Wuruk. Sejauh ini, penyebutan upacara sraddha hanya ditemukan dalam sumber-sumber dari periode Jawa Timur, khususnya dari masa Majapahit. Selain dalam naskah, sraddha disebut singkat dalam prasasti dari masa Majapahit Akhir (1486 M). Upacara itu dilakukan oleh Raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya bagi Sri Paduka ring Dahanapura, raja yang mangkat di Indrabhawana. Oleh para sarjana, tokoh Bhattara ring Dahanapuraini diidentifikasikan dengan Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabawa Sri Singhawikramawarddhana. Kini, menjelang puasa biasanya masyarakat beramai-ramai ke makam leluhurnya. Mereka membersihkan makam, menaburinya dengan bunga, lalu memanjatkan doa bagi para pendahulunya. Tak jauh berbeda dengan masa lalu, dalam aktivitas nyadran itu mereka menutupnya dengan makan bersama. “Upacara sadran yang sekarang dijumpai di beberapa daerah diduga merupakan pengejawantahan sisa-sisa perayaan srada yang tertinggal dan masih diingat orang kini,” tulis Mien Ahmad Rifai dalam Desawarnana, Saduran Kakawin Nagarakrtagama.
- Perempuan Kembali Menghadapi Domestifikasi
SETELAH 20 tahun Reformasi, gerakan perempuan menghadapi tantangan yang hampir serupa dengan rezim otoriter Soeharto. Bila masa Orde Baru (Orba) “Ibuisme” yang menjadi tantangan, kini gerakan perempuan menghadapi tantangan konservatisme agama seperti domestifikasi perempuan, poligami, dan pernikahan dini. Konservatisme agama telah menggeser dominasi negara terhadap perempuan. Ia menghendaki perempuan menjadi istri yang saleh dengan menjadi ibu yang baik dan juga bersedia dipoligami. Hal semacam ini juga menjadi dasar ideologi “Ibuisme” Soeharto meski Orba melarang poligami. “Perempuan yang ideal kembali digeser untuk mengisi ranah domestik. Padahal itu yang gerakan perempuan lawan ketika masa Orba. Ketika Reformasi, ide (domestifikasi, red. ) itu diharapkan hilang. Sekarang berusaha ditarik mundur,” kata Atnike Nova Sigiro, direktur eksekutif Jurnal Perempuan dalam Media Briefing yang diselenggarakan Komnas Perempuan, Minggu (20/04/28). Dalam “Ibuisme”, perempuan yang baik dicitrakan patuh, diam, dan perawat keluarga. Soeharto berusaha membungkam politik perempuan dan menempatkan peran perempuan hanya sebagai konco wingking , pasangan bapak yang berperan di garis belakang: dapur, kasur, dan sumur. “Relasi perempuan dengan negara seperti relasi perempuan dengan bapakisme negara. Representasinya ada dalam organisasi wanita, Dharma Wanita dan PKK,“ kata Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena). Organisasi istri yang sejalan dengan ideologi gender Orba ini tidak mempunyai visi politik tentang pembebasan perempuan, kesetaraan, dan keadilan. Akibatnya, organisasi tersebut tidak akan bisa berbuat apapun pada problem perempuan seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), kesejahteraan perempuan, dan akses perempuan terhadap politik. Adanya permasalahan fundamental itu menjadi alasan berdirinya Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), Kalyanamitra, dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita pada 1980-an. Organisasi-organisasi perempuan berbasis feminisme itu muncul untuk mengubah ideologi gender Orba di samping berupaya menurunkan pemimpin Orba-nya yang sudah terlalu lama berkuasa. Keberadaan mereka memicu gelombang kemunculan gerakan perempuan meningkat pesat pada 1990-an. Solidaritas Perempuan, Yayasan Perempuan Mardika, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), dan Lembaga Bantuan Hukum APIK menambah kekuatan gerakan perempuan yang muncul sedekade sebelumnya. Dalam perjuangannya, gerakan perempuan membangun emosi poitik. Politik empati yang sumbernya dari etika kepedulian digunakan untuk melawan otoritarianisme yang patriarkis dan militeristik. Aksi turun ke jalan Koalisi Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), misalnya, ditujukan untuk menentang pembredelan pers tahun 1994. Hal serupa dilakukan Suara Ibu Peduli (SIP) lewat demonstrasi untuk merespons krisis ekonomi 1997, yang dibentuk untuk memobilisasi empati massa dan membangun kepedulian pada para ibu yang tak sanggup membeli susu anak. Aksi SIP, menurut Ruth, menampilkan kekhasan politik perempuan, yaitu perlawanan pada krisis ekonomi-politik yang berdasar etika kepedulian. Kampanye SIP menarik kepedulian publik dan memperkuat kekuatan massa untuk melawan rezim otoriter Soeharto. Gerakan perempuan terus tumbuh, puncaknya pada Reformasi 1998. Para perempuan ingin mengubah idelogi patriarki menjadi egaliter. Gerakan perempuan mengupayakan agar negara tidak lagi menempatkan posisi perempuan sebagai konco wingking tapi memberi akses politik dan kesejahteraan sosial. Perubahan yang diperjuangkan gerakan perempuan itu semua dilandasi etika kepedulian. Reformasi dan demokrasi yang dilandasi oleh etika kepedulian, menghindari egoisme kelompok, kebrutalan, kesewenang-wenangan, dan diskriminasi baik terhadap perempuan maupun kelompok marginal. Budaya politik yang ingin ditumbuhkan gerakan perempuan, pernyataan Komnas Perempuan dalam rilisan persnya, adalah demokrasi sejati bukan demokrasi yang otoriter dan fasis. Selama 20 tahun pasca-jatuhnya Suharto, menurut Ruth, gerakan perempuan sibuk mengisi kebijakan, ide pembangunan ramah perempuan tetapi justru lalai pada serangan terhadap perempuan di ranah sosial. Akibatnya, nilai-nilai intoleransi dan ide konservatifisme yang cenderung menyasar perempuan meningkat liar tanpa pengawasan. “Reformasi 20 tahun ini terlalu banyak digunakan untuk mendorong perempuan ke lingkup publik. Kita melupakan arena privat yang diintervensi oleh kekuatan konservatif fundamentalis,” kata Atnike.
- Di Balik Pendudukan Gedung DPR
JAKARTA, 19 Mei 1998. Fadli mulai merasa tegang ketika memasuki kawasan Senayan. Bersama sekira 6.000 mahasiswa Front Nasional (gabungan dari tiga perguruan tinggi: Universitas Nasional Jakarta, Universitas Jayabaya Jakarta dan Universitas Pakuan Bogor), ia merasa menghadapi situasi hidup dan mati. “Sebelumnya kami mendapat informasi, Gedung DPR/MPR dijaga ketat oleh tentara. Jadi untuk memasukinya kami harus bertempur dulu dengan mereka,” kenang eks mahasiswa Universitas Pakuan tersebut. Begitu rombongan bus dan kendaraan yang memuat rombongan Front Nasional mencapai kawasan Taman Ria, situasi ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan para mahasiswa. Memang ada beberapa panser milik Korps Kavaleri AD dan sekira dua kompi prajurit Korps Marinir AL yang tengah berjaga-jaga. Namun, mereka membiarkan begitu saja rombongan mahasiswa melaju ke Gedung DPR/MPR. “Situasi begitu absurd, kami yang sudah siap bertempur ternyata dibiarkan begitu saja. Tak ada bentrok dan tak ada sama sekali suara tembakan,” ungkap Faizal Hoesein, Koordinator KM UNAS (Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional). Setiba di muka pintu gerbang Gedung DPR MPR, alih-alih dihadang, rombongan mahasiswa malah disambut secara baik-baik oleh pasukan Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat). Para prajurit berbaret hijau itu menyilakan para korlap (koordinator lapangan) untuk mengatur secara tertib barisannya. Mereka lantas menyilakan para mahasiswa untuk masuk secara berbanjar. Sementara di kanan kiri, para prajurit bersenjata lengkap mengawal. “Baru setelah semua kawan-kawan masuk, kami dilepas,” ujar Faizal. Apa yang menyebabkan tentara membiarkan para mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR? Tidak Biasa Secara politis, sejatinya para mahasiswa memerlukan untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Menurut Muchtar E. Harahap dan Andris Basril, pendudukan itu harus mereka lakukan guna mendesakkan isu penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR. “Ada semacam persepsi di kalangan para pimpinan mahasiswa bahwa tidak ada cara lain untuk melakukan desakan secara konstitusional kecuali melalui para wakil rakyat yang berada di Gedung DPR/MPR,” tulis Muchtar dan Andris dalam Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia. Maka sejak 19 Mei 1998, arus kedatangan mahasiswa terus mengalir deras ke Gedung DPR/MPR. Mereka tidak hanya datang dari kawasan Jabodetabek semata, tapi juga ada yang dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur bahkan ada yang khusus datang dari luar pulau Jawa. Hingga menjelang detik-detik pengunduran diri Soeharto sebagai presiden, massa mahasiswa yang sudah terkumpul mencapai jumlah kira-kira 60.000 orang. Bagi Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sintong Panjaitan, fenomena tersebut sesungguhnya tidak biasa. Menurut eks perwira Kopassus itu, dalam situasi kacau seperti pada Mei 1998, seharusnya ABRI tidak membolehkan seorang pun masuk ke Gedung DPR/MPR. “Karena itu, saya heran mengapa Gedung DPR/MPR bisa diduduki secara mudah oleh massa mahasiswa kala itu?” ujar Sintong. Dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando , Sintong sangat meyakini bahwa tidak terlalu sulit bagi ABRI saat itu untuk mencegah massa mahasiswa masuk ke Gedung DPR/MPR. Namun nyatanya mereka tidak melakukan upaya pencegahan tersebut. Padahal saat itu kekuatan ABRI di Jakarta sangat besar dan Presiden Soeharto yakin mereka ada di belakangnya. “Presiden Soeharto sudah mempercayakan masalah-masalah keamanan dan ketertiban kepada ABRI,” ujar Sintong seperti disampaikan kepada penulis Hendro Subroto. Campur Tangan Elite Bisa jadi melonggarnya penjagaan Gedung DPR/MPR terkait dengan alotnya pergumulan yang terjadi di tingkat elit termasuk elit militer. Edward Aspinal, pengamat politik Indonesia asal Australia berpendapat, menjelang kejatuhan Soeharto, sejatinya militer Indonesia tidak lagi ada dalam suatu kesatuan sikap. “Orang bilang di sekitar Soeharto ada kelompok 'tentara hijau' yang lebih cenderung berpihak ke Islam dan kelompok 'tentara merah-putih' yang lebih nasionalis,” ungkap Edward dalam suatu diskusi di PIJAR Indonesia pada 1997. X-Pos edisi 28 Februari-6 Maret 1998 malah secara gamblang menyebut perseteruan dua kelompok itu mengerucut kepada nama Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan Jenderal Wiranto. Menurut buletin yang beredar secara gelap menjelang kejatuhan Presiden Soeharto tersebut, Prabowo sangat kuat di Jakarta sedangkan Wiranto menguasai Markas Besar ABRI. Dalam konteks seperti itu, keberhasilan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR tidak terlepas dari berjalannya secara efektif lobi-lobi politik yang dilakukan oleh para intelektual yang memiliki kedekatan dengan para mahasiswa. Majalah Time edisi 30 Maret 1998, menyebut adalah Hermawan Sulistyo dan Daniel Sparingga yang beberapa kali menjalin kontak rahasia dengan elit militer. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengukur sejauh mana para mahasiswa dapat diperbolehkan melakukan aksinya. Namun analisa yang dilansir oleh Time itu dibantah oleh keduanya dalam majalah Gamma edisi 8 Agustus 1999. Yang jelas pendudukan mahasiswa terhadap Gedung DPR/MPR tidaklah berlangsung lama. Dua hari setelah lengsernya Soeharto sebagai presiden, nyatanya massa mahasiswa bisa “diusir” secara mudah oleh tentara.





















