top of page

Hasil pencarian

9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Hiburan Masyarakat Jawa Kuno

    DI Jawa, seni pertunjukan jalanan sudah ada sejak abad 9. Kesenian itu dipertontonkan di kerumunan pasar dan di keramaian jalanan. Begitu pula dengan pertunjukan wayang yang semula digelar saat penetapan sima (tanah bebas pajak), kemudian hadir dalam pesta perkawinan rakyat. Arkeolog Puslit Arkenas Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa menjelaskan, dalam prasasti dikenal juga pertunjukkan keliling. Para pemainnya disebut menmen. Candi Borobudur, melalui reliefnya memperlihatkan suasana bagaimana tarian pinggir jalan dilakukan sebagaimana pengamen jalanan di masa kini. Mereka mendapatkan penghasilan dari para penonton. Berikut ini keterangan dari prasasti, naskah kesusastraan, dan relief di candi, mengenai hiburan masyarakat Jawa Kuno. Sinden Kata mangidung dijumpai dalam Prasasti Waharu I (873 M) . Widu mangidung dapat diartikan sebagai penyanyi perempuan atau pesindhen. Kata widu , dalam Bahasa Indonesia sekarang artinya biduan. Profesi ini termasuk pejabat kerajaan yang disebut watak i jro atau golongan dalam ( abdidalem ) . Mereka termasuk profesi yang memperoleh gaji dari kraton. Wayang Bukti tertua yang menyebut kata dalang ( haringgit ) adalah Prasasti Kuti (840 M) yang ditemukan di Joho, Sidoarjo. Haringgit merupakan bentuk halus dari kata ringgit. Kata ini sampai sekarang masih ada dalam Bahasa Jawa, yang berarti wayang. Dalam Prasasti Kuti, haringgit dimasukkan ke dalam kelompok wargga i dalem artinya berada di lingkungan istana. Prasasti Wukajana dari masa Balitung menyebut pertunjukkan lakon Bhimma Kumara, sebuah cerita sempalan dari Mahabharata. Kisahnya tentang Kicaka yang dimabuk asmara terhadap Drupadi. Menurut prasasti itu, sang dalang menampilkan lakon Bhimma Kumara untuk hyang . Sejauh ini Bhima Kumara adalah satu-satunya lakon wayang yang disebutkan dalam prasasti. Tak hanya wayang kulit. Ada pula wayang orang dan wayang beber. Istilah wayang wwang (wayang orang) muncul pertama kali dalam Prasasti Dhimanasrama dari masa Mpu Sindok. Sementara informasi tentang wayang beber muncul dalam berita Cina, Ying-yai Sheng-lan. Disebutkan adanya pertunjukkan seorang laki-laki yang mempertontonkan gulungan bergambar yang disangga dengan dua batang kayu. Ia berbicara dengan suara keras, menjelaskan kisah dalam gulungan itu kepada penonton. Di atas gulungan itu ada gambar manusia, burung, binatang buas, rajawali, atau serangga. Tarian Beberapa prasasti meyebutkan seni tari. Kemungkinan pada masa Jawa Kuno dikenal dua jenis tarian. Manigel adalah tarian yang tidak menggunakan topeng. Tarian yang menggunakan topeng, seperti disebut dalam Prasasti Kuti, istilahnya mangrakat, matapukan, dan manapal . Tarian ini bisa dilakukan oleh orang yang berprofesi sebagai penari maupun masyarakat yang menarikan tarian tertentu. Dalam naskah Nagarakrtagama disebutkan istilah Juru I angina yang merujuk pada penari perempuan. Ia bertugas menyanyi dan menari, menghibur para petinggi kerajaan. Dalam Prasasti Paradah (943 M) dan Prasasti Alasantan (939 M) disebutkan adanya tarian yang dilakukan oleh para pejabat. Tarian ini dilakukan dengan mengikuti aturan tertentu. Jenis tarian yang disebut ada tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Tarian ini merupakan tarian adat yang biasa ditarikan dalam upacara penetapan sima . Tarian lainnya yang dilakukan untuk hiburan disebutkan juga dalam Prasasti Poh (905 M). Digambarkan adanya tiga perempuan penari keliling. Mereka menari sambil diiringi oleh laki-laki. “Mungkin sejenis penari thledek ,” tulis Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa. Lawak Prasasti Poh menyebutkan adanya juru lawak. Selain penabuh gamelan dan penari, mereka pun diundang sebagai saksi dalam upacara penetapan sima . Setidaknya ada dua pelawak, Si Lugundung dari Desa Rasuk dan Si Kulika dari Desa Lunglang. Mereka diberi upah kain 1 yugala dan emas 6 masa . Paling tidak ada dua jenis lawakan. Marirus adalah lawakan yang disampaikan dengan menggunakan kata-kata. Sedangkan mabanol adalah lawakan yang diekspresikan dengan gerakan. Musik Prasasti Waharu I juga mencatat adanya mapadahi. Profesi ini masuk dalam daftar pejabat kerajaan atau watak i jro atau golongan dalam. Mereka adalah abdi dalem yang digaji kraton. Adapun mapadahi berasal dari padahi, artinya kendang. Mapadahi merujuk pada pengendang. Dalam upacara penetapan sima , pengendang ini akan hadir dan menabuh kendang setelah acara pesta makan bersama. “Setelah mereka selesai makan demikian lama, kemudian jnu skar maju dan sang penabuh kendang menabuh kendang,” tulis arkeolog Universitas Gadjah Mada, Timbul Haryono, “Masyarakat Jawa Kuno dan Lingkungannya pada masa Borobudur”, dalam 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur. Para penabuh kendang ini ada yang bergabung membentuk kelompok. Terbukti dalam satu baris kalimat Prasasti Mulak (878 M), mengenai tokoh Si Kuwuk yang hadir dalam upacara sima . Ia merupakan pimpinan pengendang. Akrobat Pertunjukkan ini bisa dilihat melalui relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Relief ini memperlihatkan beberapa orang sedang mengadakan pertunjukkan. Salah seorang meletakkan benda panjang dan tipis seperti papan di atas dagunya. Papan itu diberdirikan secara vertikal. Si seniman terlihat seperti berjoget tanpa menjatuhkan papan itu. Penonton duduk di bawah pohon menyaksikan dengan gembira dan bertepuk tangan. Salah seorang membawa anak yang diangkat agar bisa menonton pertunjukkan dengan lebih jelas. Seniman Profesional Di lingkungan istana, ada jabatan Rakryan Demang. Tugasnya memastikan agar sang raja gembira. Dalam teks Nawanatya , yang berisi ajaran kepemimpinan, Rakryan Demang harus menjaga tujuh nada, nyanyian, tarian, selain menjaga aspek keindahan lainnya di istana. Ia pula yang bertugas menyediakan gamelan, terutama saron dan gendang, membuat kakawin, serta mengatur keindahan tarian. Para seniman pada masa Jawa Kuno, tak hanya profesi di lingkungan istana. Beberapa menjalaninya dengan profesional sebagai mata pencaharian. Prasasti Wanua Tengah III (908 M) menyebut seorang pemimpin kelompok penari topeng dari Desa Hinor yang diberi upah emas 2 kupang. Dua orang penari topeng juga diberi upah emas sedangkan enam orang pemusik masing-masing diberi emas 1 kupang. Seniman profesional dikenakan pajak. Prasasti Cane (921 M), Prasasti Turun Hyan A (1036 M), Prasasti Patakan yang mungkin dikeluarkan masa Airlangga menyebut profesi awayang atau aringgit sebagai warga kilalan yaitu penduduk yang mempunyai kewajiban membayar pajak. Pertunjukkan seni tak hanya ketika upacara penetapan sima . Tak jauh beda dengan sekarang, masyarakat yang sedang merayakan pesta pernikahan juga menggelar pertunjukkan seni. Teks Sumanasantaka melukiskan suasana sebuah pesta pernikahan yang diselingi pertunjukkan wwayang wang. Warga berbondong-bondong menontonnya. Ada yang membawa kekasih dan keluarganya. Mereka menonton sambil menikmati jajanan di tengah keramaian itu.

  • Menjaga Kelestarian Lewat Pameran

    GADIS cilik itu asik bermain lompat tali. Di dekatnya bocah lelaki sedang balap karung. Keduanya bukan anak manusia, tapi patung karya Bambang Win. Tak jauh dari keduanya, gadis lain berdiri dekat pintu masuk sambil membawa satu vas berisi bunga. Seakan hendak menyambut para tamu dan memberi hadiah bunga, gadis dalam lukisan Remy Sylado berjudul “Katakan dengan bunga” itu mengawali deretan lukisan yang mengisi pameran bertajuk “Solidarity, Peace, and Justice” yang digelar di Balai Budaya, Jakarta, 4-11 Januari 2018. Ada 30 seniman yang berpartisipasi dalam pameran tersebut. Mereka berasal dari generasi berbeda-beda, mulai dari yang senior seperti Aisul Yanto, Cak Kandar, Remy Sylado, Ika Ismurdiyahwati, hingga yang muda macam Chrysnanda Dwilaksana dan Idris Brandy. Selain lukisan dan patung, pameran juga memajang karya instalasi Edi Bonetsky. Berada di sudut kanan seberang pintu masuk, Edi meminta pengunjung menggambar apapun di atas buku sejarah berbahasa Jerman. Tema “Solidarity, Peace, and Justice” dipilih untuk merespon keadaan baik keseharian maupun konflik besar yang terjadi dewasa ini. Sementara, Balai Budaya dipilih sebagai tempat pameran karena memiliki banyak nilai sejarah untuk perkembangan seni Indonesia. “Jadi kita mengingat kembali hal-hal yang sudah lalu. Kami terharu dengan adanya Balai Budaya Jakarta yang sudah sangat tua tapi sangat bersejarah, jadi kami berusaha supaya ini diingat lagi. Harus ada aktivitas,” kata Ika Ismurdiyahwati, kurator pameran. Balai Budaya merupakan titik nol kebudayaan Indonesia pasca-proklamasi, kata Aisul, yang juga merupakan sekretaris jenderal Balai Budaya. “Tahun 1954, waktu itu Mohammad Yamin memfasilitasi seniman. Salah satunya dengan gedung ini. Di gedung ini, para seniman melahirkan berbagai pemikiran dan praktik kebudayaan yang ada di Indonesia,” katanya kepada Historia . Di antara seniman besar yang pernah memamerkan karya seni di Balai Budaya, ada Sudjojono, Basuki Resobowo, Affandi, dan Rendra. Arsip koran milik IVAA-online.org antara lain menulis, Gerakan Seni Rupa Baru –sebuah gerakan yang mendobrak konservatisme seni rupa di Indonesia– pernah melakukan pameran di Balai Budaya pada Agustus 1976. Pameran yang diikuti para seniman muda dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta ini dihelat dalam rangka merayakan setahun kelahiran Seni Rupa Baru. Di Balai Budaya pula pelukis Nashar menjadi besar. Pada Juni 1983, dia menggelar pameran tunggal di sana. Pemeran yang memajang 30 karya itu disponsori Cak Kandar, pelukis yang juga aktivis seni. “Ada Manifesto Kebudayaan, pameran tunggal, pementasan karya, dan petisi 50 di sini. Pusat kesenian Jakarta juga lahir di sini. Markas Malari juga di sini. Di sinilah sumber dari pusat peristiwa kesenian dan kebudayaan yang menjadi tonggak maupun kelahiran organisasi-organisasi kesenian dan kebudayan. Jadi gedungnya sendiri bersejarah walaupun secara fisik sederhana,” kata Aisul.

  • Senandung Cinta Susi

    YON kali pertama menulis lagu untuk album To The So Called The Guilties (1967). Judulnya “Rasa Hati”. Isinya curah hatinya pada Susi Nander (Sioe Tjuan), penggebuk drum Dara Puspita, kelompok musik asal Surabaya yang semua personelnya perempuan. Susi Nander bukan asing bagi personel Koes Bersaudara. Dara Puspita dan Koes Bersaudara sering tampil satu pangung, termasuk ketika keduanya tampil dalam sebuah acara di Petamburan, salah satu yang memicu penangkapan dan penahanan Koes Bersaudara. Yon juga pernah terlibat dalam pembuatan album pertama Dara Puspita, Jang Pertama . Dalam album itu Yon membantu menulis lirik lagu berjudul “Kenangan Yang Indah”. Mereka sempat berpacaran, meski akhirnya tak berujung ke pelaminan. Pada Juli 1968, Dara Puspita melakoni tour ke luar negeri, dari Iran hingga Belanda, dalam waktu yang lama. Kerinduan Yon memuncak dan tak tertahankan. Apalagi saudara-saudaranya sudah menikah, meski mereka tetap tinggal di kompleks keluarga Koeswoyo di Haji Nawi, Jakarta Selatan. Yon pun menciptakan lagu “Hidup Yang Sepi” yang masuk album Koes Plus Volume 2 (1970) Kisah cinta Yon dan Susi Nander juga mengilhami Tonny menulis lagu “Andaikan Kau Datang” yang juga mengisi album Koes Plus Volume 2 . Yon akhirnya menikah dengan Damiana Sustrini (Susi), salah satu fans dari Yogyakarta, pada 1970. Karena Koes Plus tengah berada di puncak popularitas, Yon hampir jarang di rumah. Sibuk latihan, rekaman, dan manggung. Dara Puspita kembali ke Indonesia pada September 1971. Mereka bikin tour keliling Jawa, yang ditutup dengan pertunjukan di Jakarta pada Maret 1972. Dalam moment inilah Dara Puspita tampil satu panggung dengan Koes Plus, yang punya arti khusus bagi Susi dan Yon. Kendati sudah menikah, Yon tak bisa melupakan Susi Nander, cinta pertamanya. Kegalauan hatinya ditumpahkan dalam lagu “Hatiku Beku” untuk album Koes Plus Volume 9 (1973). Damiana Sustrini memberikannya seorang putra, Ulung Gariyas dan Otmar Veda (David). Pernikahan mereka kandas di tengah jalan. Setelah lama menduda, Yon menikah lagi dengan Bonita Angela dan dikaruniai dua anak, Aron dan Kenas. Pasangan ini kemudian tinggal di Pamulang, Banten. Bonita selalu mengiringi ke manapun Yon manggung. Tentu tak hanya romansa. Yon juga melirik tema lainnya. Salah satunya lagu berbahasa Jawa dengan judul “Jo Podo Nelongso” yang masuk dalam album Koes Plus Album Pop Jawa I (1973). Yon menyoroti kondisi sosial-ekonomi negeri ini. Yon pernah mengatakan setidaknya menciptakan 300-an lagu. Dia merasa beruntung seorang penggemarnya berinisiatif mematenkan 79 lagu ciptaannya. Namanya Siong Chung Lukman, pengacara asal Bandung. Yon tak perlu keluar biaya. “Saya malah dapat duit Rp40 juta. Kalau begitu satu lagu saya harganya Rp 500 ribu,” ujar Yon. Yon Koeswoyo telah berpulang. Selamat jalan.*

  • Selamat Tinggal Penyanyi Tua

    KENDATI selera musik berganti, para penggemar lamanya dimakan usia, Yon Koeswoyo masih bernyanyi dari panggung ke panggung. Dia ingin mengabadikan lagu-lagu Koes Bersaudara/Koes Plus, kelompok musik legendaris Indonesia yang pernah berjaya di era 1960 hingga 1980-an. “Saya ingin lagu-lagu Koes Plus abadi sampai seribu tahun nanti,” ujarnya. Yon Koeswoyo lahir dengan nama Koesjono di Tuban, Jawa Timur, pada 27 September 1940, dari pasangan Koeswojo dan Atmini. Koeswojo seorang priyayi; terakhir bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri. Atmini ibu rumah tangga. Yon anak keenam dari sembilan bersaudara. Yon belajar musik secara otodidak. Ia bisa memainkan gitar ( rhytm ). Tapi, berkat gemblengan Tonny Koewoyo, kakaknya, dia jadi penyanyi handal. Suaranya bening. Kadang nakal. Bersama saudara-saudara lelakinya, Yon membentuk sebuah kelompok musik menjelang tahun 1960-an. Mula-mula namanya Koes Bross, lalu ganti Koes Brothers, Koes Bersaudara, dan akhirnya Koes Plus. Yon jadi vokalis dan memainkan rhythm , Tonny (melodi), Nomo (drum), dan Yok (bass, vokal). Masuknya Murry, orang dari luar keluarga besar sebagai pengganti Nomo, menjadi dasar pemilihan nama Koes Plus. Koes Bersaudara merilis album (piringan hitam) pertama Angin Laut pada 1963. Sambutannya lumayan tapi belum cukup untuk membantu kebutuhan keluarga besar ini. Untuk menambah penghasilan, mereka mengamen dari rumah ke rumah dan pentas dari panggung ke panggung. Kala itu Indonesia dilanda demam musik ngak-ngik-ngok , istilah yang dipakai Presiden Sukarno untuk menyebut musik Barat. Demi mendorong kepribadian dan kebudayaan nasional, pemerintah melarang musik ngak-ngik-ngok . Meski ada larangan, Koes Bersaudara kerap menyanyikan lagu-lagu Barat demi memenuhi keinginan penggemar. Dampaknya, pada 29 Juni 1965, personel Koes Bersaudara ditangkap dan dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus Glodok. Mereka dibebaskan sekira tiga bulan kemudian. Yon sempat kuliah di jurusan arsitektur Universitas Res Publica (kini, Universitas Trisakti). Ketika Tonny, kakaknya, menantangnya untuk memilih kuliah atau musik, Yon memutuskan berhenti kuliah. Lagian situasi politik lagi tak menentu. Universitas Res Publica jadi sasaran demo. Mahasiswa-mahasiswanya kena screening , upaya penguasa untuk menyaring mahasiswa-mahasiswa yang diduga komunis. Pada 1967, Koes Bersaudara sempat merilis dua album (piringan hitam), Jadikan Aku Dombamu dan To Tell So Called the Gulties , yang berisikan sejumlah lagu yang mereka ciptakan selama di penjara. Namun kondisi ekonomi lesu. Udangan pentas sepi. Koes Bersaudara vakum. Para personelnya, yang sudah berkeluarga, harus mencari cara untuk bertahan hidup. Yon sendiri melakoni jual-beli celana. Sempat pula membeli Fiat 1100 dan menjadikannya taksi gelap. Tapi mereka tetap latihan, kecuali Nomo. Tonny akhirnya mendepak Nomo sebagai pemain drum dan menggantikannya dengan Murry. Pada 1969, Koes Bersaudara ganti nama jadi Koes Plus. Perlahan Koes Plus menapaki puncak popularitas. Setelah Tonny meninggal dunia pada 1987, Koes Plus nyaris tenggelam. Pada 1993 Koes Plus mencoba bangkit, sekalipun harus bongkar-pasang personel. Ketika Yok dan Murry akhirnya mundur, Yon menjadi satu-satunya personel Koes Plus yang masih bertahan. “Saya tidak meninggalkan mereka tapi saya yang ditinggalkan,” ujar Yon. Bersama sejumlah anak muda, Yon bermain dari panggung ke panggung; membawakan lagu-lagu Koes Plus. Sesekali dia membuat dan menyanyikan lagu-lagu anyar. Sempat pula tampil sebagai penyanyi solo lewat album Hanya Mimpi dan Lantaran . Zaman berganti. Namun Yon terus berdendang, melawan tubuh dan suaranya yang menua. Mirip lagu yang dibawakannya. Oh penyanyi tua lagumu sederhana Lagu dari hatinya terdengar dimana mana Oh penyanyi tua lagumu sederhana Mulutnya pun tak ada dan anehnya banyak penggemarnya O siapa itu o ku tak tahu Pagi, 5 Januari 2018, Yon Koeswoyo tutup usia. Selamat jalan.*

  • Apa dan Siapa Islandia?

    PECINTA sepakbola tanah air boleh berbangga renovasi Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK) telah selesai. Renovasi yang dilakukan dalam rangka Asian Games 2018 itu tak hanya alakadar macam renovasi-renovasi sebelumnya, tapi menyulap GBK menjadi stadion modern nan canggih. Yang membanggakan lagi, ujicoba pertama GBK pasca-renovasi akan menyuguhkan dua tontonan menarik pada 11 dan 14 Januari mendatang. Pada tanggal 11, kesebelasan Indonesia Selection akan menjamu kuda hitam Islandia. Tiga hari berikutnya, giliran timnas Indonesia yang meladeni timnas Islandia. Islandia? “Ya kalau 10-20 tahun lalu kita bicara Islandia, pasti diketawain. Siapa mereka? Namun dalam 10 tahun terakhir itu juga mereka melakukan pembenahan serius,” kata pelatih dan mantan pemain Persiba Balikpapan Timo Scheunemann kepada Historia (5/1). Jangankan prestasi sepakbola, nama Islandia pun masing asing di telinga publik tanah air. Negeri-pulau yang terletak dekat Kutub Utara itu memang kurang “bermasyarakat” dalam lingkungan global. Selain sebagai tujuan wisata populer sebagian kecil orang Eropa, Islandia hanya terkenal sebagai penghasil ikan laut. Karena ikan itu pula Islandia pernah perang melawan Inggris. Dalam sepakbola, tak banyak yang bisa diketahui dari negeri itu selain nama Gylfi Sigurdsson atau Eidur Gudjohnsen. Nama terakhir begitu dikenal publik, terutama media-media asal Inggris dan Spanyol, lantaran punya prestasi dua gelar Premier League semasa membela klub Chelsea FC dan La Liga, Copa del Rey, serta Champions League saat berseragam FC Barcelona. Namun, sebagai bangsa Viking, yang dikenal ulet dan gigih, Islandia tak pernah menyerah sehingga namanya lamat-lamat mulai terdengar dalam dunia sepakbola global. Prestasi bagusnya di Euro 2016 lalu meroketkan nama Islandia. Di masa lalu, Islandia baru mengenal sepakbola pada akhir abad ke-19. Meski berkembang lambat, pada 1912 Islandia sudah punya liga bernama Urvalsdeild, yang hanya diikuti tiga klub. Laga internasional pertama Islandia berlangsung 29 Juli 1930 kala mengalahkan Kepulauan Faroe 1-0. Namun, karena kedua negara belum masuk FIFA, laga itu tak masuk sebagai laga resmi FIFA. FIFA baru mengakui laga resmi internasional Islandia pada 17 Juli 1946, saat Islandia dikalahkan Denmark 0-3 di Reykjavik. Sementara, UEFA (badan sepakbola Eropa) dalam situs resminya menyatakan baru mengabulkan pengajuan Islandia untuk mendaftar pada 1954. Itu berarti Islandia baru menjadi bagian sepakbola Eropa tujuh tahun setelah memiliki induk organisasi sepakbola (KSI). Meski dalam berbagai ajang, baik Piala Eropa, Piala Dunia maupun Olimpiade, Islandia dianggap “anak bawang” nirprestasi, negeri itu tak pernah berhenti belajar dan berusaha. Sejak awal tahun 2000-an, Islandia berbenah. Menurut Brian Koh dalam artikelnya di Soccer Politics, salah satu situs di bawah naungan Duke University, North Carolina, Amerika Serikat mengungkapkan, Islandia memulai proyek jangka panjang dengan beragam program. Selain membenahi fasilitas, seperti dibangunnya banyak lapangan indoor , Islandia membenahi pembinaan pemain muda dan kepelatihan. “Hasilnya, mereka mengawali sukses dengan lolos kualifikasi untuk Piala Eropa U-21 untuk pertama kalinya pada 2011,” tulis Koh. Generasi yang sama turut membawa Islandia sampai ke perempatfinal Euro 2016 lalu di Prancis. “Mereka menjadikan impossible menjadi possible. Di Euro 2016, mereka jadi giant killer (pembunuh raksasa). Melawan Portugal mereka imbang, juga mengalahkan Inggris di (babak) 16 besar,” Koh melanjutkan. “Ya maklum saja. Mereka pegang rekor negara terkecil dari segi jumlah penduduk dan wilayah negara yang lolos Euro (2016) kemarin. Sekarang pegang rekor negara terkecil juga yang masuk Piala Dunia. Makanya kita enggak pernah dengar,” lanjut Timo. Di Piala Dunia 2018 mendatang di Rusia, keikutsertaan Islandia bahkan sudah tercatat sejak jauh hari. Ia mengalahkan raksasa macam Italia atau Belanda, yang gagal lolos. Jelas bukan faktor pembinaan semata yang membuat Islandia meroket. Menurut Timo, faktor mental dan kultur bangsa Islandia berperan penting. Mental yang pantang menyerah dan tak pernah puas jadi modal berharga Islandia berkembang hingga seperti sekarang. “Prestasi mereka di Euro tak menjadikan mereka lupa diri. Malah mereka merasa under-perform dan tidak menampilkan permainan sebagaimana yang mestinya mereka tampilkan. Itu yang saya bilang kultur dan mental. Ibaratnya ada tanah yang tandus dan subur. Nah , Islandia seperti halnya Jerman, itu tanahnya subur. Mentalnya luar biasa dan mereka jadi contoh yang sangat bagus buat Indonesia,” tandas Coach Timo.

  • Maling Pun Ikut Revolusi

    Yogyakarta pasca proklamasi adalah kota yang rawan tindak kejahatan. Selain maraknya para maling, di siang hari para pencopet pun kerap berkeliaran. Kehidupan zaman perang yang serba sulit membuat sebagian orang nekad lantas mencari jalan pintas dengan mengakrabi dunia hitam. Bukan hanya itu, praktek pelacuran pun marak di berbagai sudut kota. “Kehidupan sosial menjadi kacau dan serba kumuh,” kenang Satya Graha, jurnalis tua yang pernah menghabiskan masa remajanya di kota gudeg tersebut. Situasi itu pula yang dikeluhkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX di hadapan Mayor Jenderal Moestopo. Kepada penasehat khusus militer Presiden Sukarno itu, Sri Sultan meminta solusi supaya kota yang dipimpinnya kembali aman dan tentram. Entah bagaimana awalnya, Mustopo kemudian memiliki ide nyeleneh : memberdayakan para maling, copet dan pelacur itu untuk terlibat dalam revolusi. Caranya: dengan mengirimkan mereka ke daerah pendudukan Belanda dan berpraktek di sana. Tujuannya selain mengacaukan kondisi sosial juga untuk menurunkan daya tempur para prajurit Belanda. “Istilah Pak Moes, mereka itu dilibatkan dalam psywar (perang psikologis),” ujar sejarawan Moehkardi kepada Historia . Moestopo kemudian mengumpulkan para copet, maling dan pelacur di seluruh Yogyakarta. Sebagian bahkan diambil dari Surabaya dan Gresik, di mana dia berasal. Para pelaku dunia hitam itu diajarinya hidup disiplin dan ilmu perang. Tak tanggung-tanggung, Moestopo mengangkat para instruktur militer untuk membimbing langsung para pencopet, maling dan pelacur itu. Salah satunya adalah Kolonel T.B. Simatupang. Masih segar dalam ingatan Simatupang, suatu malam dia dijemput oleh Moestopo. Sang jenderal menyatakan bahwa sejak malam itu Simatupang harus memberikan pelajaran mengenai dasar-dasar ilmu perang kepada suatu kelompok yang sedang disiapkan menjalankan tugas di daerah musuh. “Waktu itu saya diajak memasuki suatu ruang pelajaran yang setengah gelap dan di hadapan saya telah berdiri sejumlah perempuan muda yang semua matanya ditutup sehingga saya tak bisa mengenal mereka,” ujar Simatupang seperti dikisahkan kepada Sinar Harapan edisi 30 September 1986. Seiring berjalannya “pendidikan” terhadap para pelaku dunia hitam, pada pertengahan 1946, Markas Besar Tentara (MBT) memindahkan Moestopo ke front Subang di Jawa Barat. Di front yang juga dikenal sebagai Sektor Bandung Utara-Timur ini, uniknya Moestopo ada di bawah komando seorang “letnan kolonel” yakni Sukanda Bratamanggala. Namun tak ada yang tidak mungkin di era revolusi. Apapun bisa diadakan, termasuk seorang letnan kolonel yang membawahi seorang mayor jenderal. Singkat cerita, Moestopo pindah ke front Subang. Bersamanya, ikut pula sekitar 100 prajurit dunia hitam-nya. Dia menamakan pasukannya sebagai Pasukan TERATE (Tentara Rahasia Tertinggi), yang terdiri dari dua unit: BM (Barisan Maling) dan BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Menurut sejarawan Robert B. Cribb, sebagai komandan lapangan, Moestopo menempatkan para kadet Akademi Militer Yogyakarta yang tengah belajar praktek tempur. Selaku salah satu instruktur di akademi militer tersebut, Moestopo memang memiliki wewenang itu. “Dua unit itu kemudia dioperasikan di dalam kota Bandung. Tugasnya selain untuk mencuri senjata, pakaian dan alat-alat tempur juga menimbulkan kekacauan dan kebingungan di kalangan tentara Belanda,”tulis Cribb dalam Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949. Pada awal-awal operasi, BM dan BWP dapat bekerja secara baik. Menurut Himawan Soetanto dalam Menjadi TNI , tak jarang mereka membawa hasil yang lumayan saat pulang ke markas. Selain senjata, pakaian dan teropong, sebagai bukti mereka pun kerap membawa bendera Si Tiga Warna yang langsung diturunkan dari tiang bendera di depan markas Belanda. Pendek kata, mereka memang terdiri dari para pemberani. Namun lambat laut, kedisiplinan mereka mulai melumer. Alih-alih mengacaukan keamanan wilayah pendudukan musuh dan melemahkan moril tentara Belanda, kehadiran BM dan BWP justru berimbas negatif ke basis para gerilyawan. “Yang terjangkit penyakit kotor, justru kebanyakan malah dari prajurit kita” ungkap Moehkardi. Begitu juga dengan para “prajurit maling”. Mereka tak lagi selektif dalam menjalankan operasinya. Tidak cukup beroperasi di wilayah pendudukan, wilayah rakyat dan basis gerilyawan sendiri pun mereka sikat. Ada kisah lucu terkait soal ini. Suatu pagi, Mayjen Moestopo melapor kepada Letkol Sukanda Bratamanggala. Dengan gaya bicaranya yang khas, Moestopo mengeluh kopor pakaiannya semalam telah hilang. Alih-alih terkejut, Bratamanggala malah ngakak . Yang dilapori, tentu saja menjadi heran. “ Kok Overste malah ketawa?” ujar Moestopo. Ditanya demikian, Bratamanggala semakin ngakak . Seraya mengusap air mata yang keluar saking gelinya, senior Divisi Siliwangi itu berkata: “ Siapa lagi yang mengambil kopor Jenderal, kalau bukan anak buah Jenderal sendiri? Ini mungkin yang disebut senjata makan tuan?” Beberapa waktu sejak kejadian itu, Moestopo akhirnya menarik kedua unit andalannya tersebut dari front dan membubarkannya. Maka sejak itu, berakhirlah kiprah para maling, copet dan pelacur dalam revolusi.

  • Media Komunikasi dalam Lagu

    KECEWA lantaran sang kekasih manja, aktivis perempuan Sujatin langsung menulis surat. Dari Yogyakarta, dia mengirim surat itu ke Batavia, tempat sang kekasih berada. Lewat surat itu, hubungan cinta keduanya pun berakhir. Pada 1930-an itu, surat menjadi andalan komunikasi jarak jauh orang dari berbagai tempat. Ia digunakan untuk beragam keperluan mulai dari urusan pribadi hingga pemerintahan maupun relasi antarnegara. Popularitas surat sebagai media penyampai pesan itu menginspirasi banyak musisi untuk membuat lagu bertema surat atau menyertakan surat di dalam lirik-liriknya. Di Indonesia saja, lagu yang memuat surat tak terhitung jumlahnya. Lagu “Surat Cinta” Nur Afni Octavia (rilis tahun 1970-an), “Kau Tercipta Bukan Untukku” ciptaan Obbie Messakh yang dibawakan Ratih Purwasih (1980-an), atau “Kangen”-nya Dewa 19 (1990-an) hanyalah satu dari sekian banyak lagu bersurat dari tiap dekade. Selain berkirim surat, orang-orang pra-era komunikasi satelit berkomunikasi dengan menggunakan telepon. Penggunaan alat komunikasi yang dikembangkan dari radio itu juga menginspirasi para musisi untuk menjadikannya sebagai tema lagu-lagu mereka. Gombloh, musisi asal Surabaya yang beken pada 1980-an, salah satunya. Lewat lagu “Kugadaikan Cintaku”, yang dirilis pada 1986 dalam album Semakin Gila , dia tak hanya meraup sukses dengan meledaknya lagu itu tapi sekaligus menjadikan komunikasi telepon sebagai penanda zaman. “Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu. Kutelepon, di rumahmu, sedang apa sayangku,” demikian penggalan lirik lagu tersebut. Bagi muda-mudi, penggunaan telepon untuk komunikasi dengan kekasih atau perempuan yang jadi incaran untuk dijadikan pacar amat penting dan mengasyikkan. Meski hanya bisa mendengarkan suara, suara gadis pujaan di telepon mampu membunuh rindu dalam kalbu. Sampai pertengahan 1990-an, ketika pemerintah belum menggalakkan pemasangan telepon rumah, telepon umum pun jadi tempat tujuan banyak orang. Telepon umum koin mulai muncul di Indonesia pada 1981. Antara 1983-1988, Telkom memasang 5.724 unit di berbagai daerah. Setelah itu, Telkom mengembangkan dengan telepon umum kartu. Mulai dipasang pada 1988, telepon umum kartu awalnya hanya dipasang Telkom sebanyak 95 unit. Jumlah itu pun terus bertambah. Hingga 1993, jumlah telepon umum kartu telah mencapai 7.835 unit. Di telepon umum-telepon umum itulah muda-mudi dari berbagai kota di Indonesia sering melepas rindu pada kekasih. Meski kerap harus mengantri, mereka rela demi mendengar suara pujaan hati. Fenomena itu yang menginspirasi diciptakannya lagu “Telepon Umum” milik Wiwiek Sumbogo (1987). Lagu ini mengisahkan orang-orang yang menelepon untuk membunuh jenuh saat menunggu bis datang. Kebetulan, kala mengantri telepon umum, si penyanyi bertemu pujaan hati. Kala radio panggil atau pager mulai booming pada akhir 1990-an, muncul pula lagu yang mengiringinya, “ Tididit”. Lagu yang dinyanyikan grup Sweet Martabak ini liriknya berbunyi, “Tididit pagerku berbunyi, tididit begitu bunyinya.” Menurut WartaEkonomi, pada 1997 ada sekira 60.000 pelanggan yang dilayani PT Persada Komindo. Perusahaan yang dipimpin Hengky Liem ini mengelola Nusapage, operator pager yang bekerjasama dengan Motorola. Pada Februari di tahun yang sama, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Menparpostel) Joop Ave meresmikan PT Metro Media Raya. Perusahaan dalam negeri ini memproduksi radio panggil dengan merek Falcon. Harapannya, operator radio panggil dalam negeri akan bekerjasama dengan pabrikan dalam negeri dibanding pabrikan luar. Meski tak masuk ke semua lapisan masyarakat, pager amat berguna bagi penggunanya. Aktivis HAM Usman Hamid dalam Digital Nation Movement mengingat, saat demo 1998 para mahasiswa menggunakan pager atau HT untuk memudahkan koordinasi. Kejayaan pager tergusur begitu telepon seluler (ponsel) mulai dijual murah pada tahun 2000-an. Pada akhir 1990-an pager mampu bertahan karena ponsel di Indonesia masih mahal baik harga perangkatnya maupun biaya operasionalnya. Pesan singkat atau SMS (Short Messages Service) sebagai salah satu fitur dalam ponsel menjadi media paling diandalkan untuk berkomunikasi jarak jauh karena berbiaya murah. Asa Briggs menulis dalam Sejarah Sosial Media , di Amerika Serikat layanan pesan singkat mulai dikenalkan tahun 2000. Meski awalnya SMS tak mendapat sambutan antusias, pada 2001, tulis SundayTimes, para remaja kecanduan untuk saling berkirim pesan singkat. Bahkan, seorang remaja bisa mengirim sampai 1000 SMS dalam sebulan. Di Indonesia sendiri, pada 2006 pelanggan jasa telepon selular dengan berbagai platform dari semua operator mencapai 64 juta. Di tahun yang sama, lagu “SMS” yang dinyanyikan Ria Amelia muncul dengan lirik, “Bang, SMS siapa ini, Bang.” Kemunculan Facebook pada paruh kedua 2000-an ikut mempengaruhi pola komunikasi di Indonesia. Dengan jumlah pengguna yang terus meningkat, dari 322 ribu orang pada 2008 menjadi 26,8 juta pada 2010, Facebook kini menjadi salah satu media komunikasi utama lintas-usia dan lintas-gender. Sebagai media komunikasi yang menandakan sebuah zaman, Facebook menginspirasi band Gigi merilis lagu berjudul “My Facebook” pada Agustus 2009. Lagu tersebut mengisahkan pertemuan mantan kekasih melalui Facebook .

  • Tuntutan Merdeka 100%

    Hari ini, tujuh puluh tahun silam, di kota sejuk Purwokerto, Jawa Tengah, berlangsung pertemuan besar yang dihadiri sekitar 300 orang dari pengurus partai, badan-badan perjuangan, dan perkumpulan pemuda. Wakil-wakil pengurus partai yang hadir dari Partai Boeroeh Indonesia, Masyumi, Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia. Lalu dari perkumpulan lain seperti pucuk pimpinan Serikat Rakyat Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia, Persatuan Wanita Republik Indonesia, Partai Revolusioner Indonesia, Pesindo, KRIS, Hizbullah. Dua tokoh utama yang hadir adalah Tan Malaka dan Panglima Besar Jenderal Soedirman. “Tidak ada siaran pers. Semua yang hadir mendapat undangan pribadi atau melalui organisasi yang diwakilinya,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946 . Mereka berkumpul untuk merapatkan barisan dan membuat kesepakatan mengenai arah perjuangan, apalagi pusat pemerintahan sudah berpindah ke Yogyakarta dari Jakarta. Pertemuan besar dengan ketua penyelenggara Sastro Suwirjo dan sekretaris Sukarni ini, digelar dua hari, 4-5 Januari 1946. Hari pertama pertemuan berisi laporan-laporan barisan pemuda yang sudah melakukan perjuangan di daerah. “Suasana Jawa Timur tak lain diliputi oleh suasana pertempuran yang hendak mengenyahkan segala upaya kaum penjajah. Oleh karena perjuangan rakyat Jawa Timur itulah, perjuangan rakyat Indonesia terdengar ke seluruh dunia. Karena diplomasi pemerintah kita, maka perjuangan rakyat Surabaya yang tadinya sangat menguntungkan menjadi kurang menguntungkan karena musuh mendapat tempo menyusun tenaganya lebih kuat,” ujar Ismail wakil dari Jawa Timur, seperti dikutip harian Kedaulatan Rakjat , 6 Januari 1946. Laporan senada disampaikan wakil dari Jawa Tengah. “Inggris katanya datang melucuti Jepang, menolong kaum interniran. Namun itu bohong belaka. Inggris datang ke Magelang tanpa diketahui gubernur Jawa Tengah, tetapi tentara dan meriamnya bertambah terus. Kelemahan kita ialah pemerintah selalu berdaya upaya untuk menghentikan semangat rakyat berjuang mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, rasa berjuang rakyat juga belum tebal. Masing-masing ingin menjadi jenderal, masing-masing saling mencurigai,” ujar Sayuti Melok dari Jawa Tengah. Sementara di Jakarta, ujar Chaerul Saleh, sudah menjadi kota “sana” dan “sini”. “Jalanan utama Jakarta, dari Senen hingga Jatinegara dikuasai oleh Batallion Depoot Speciale Troepen,” tulis Erwiza Erman dan Ratna Saptari dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. “Saya ingat dulu di daerah Senen itu batas antara wilayah Belanda dan Republik, kalau daerah Republik yang dipakai ya uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Di dekat-dekat situ, para pejuang ngumpul atau tinggal bersama. Namanya anak-anak, pengen melihat seperti apa sih pejuang itu. Ternyata ya macam-macam orangnya,” ujar Cornelia Sutantri, 85 tahun, kepada Historia . Saat itu, Cornelia tinggal di daerah Tanah Nyonya, daerah Gunung Sahari. Pada hari kedua, 5 Januari 1946, giliran Tan Malaka dan Jenderal Soedirman yang berbicara. Tan menyoroti soal kemerdekaan penuh atau 100% yang harus diraih oleh Indonesia. “Kita tidak suka berunding dengan siapa saja sebelum kemerdekaan tercapai 100% dan sebelum musuh meninggalkan pantai dan lautan kita dengan beres. Jangan kira kalau rakyat tidak mengerti diplomasi. Kita tidak suka berunding selama musuh masih dalam negeri kita. Selama masih ada 1 kapal musuh, kita harus terus berontak,” ujar Tan Malaka, seperti dikutip harian Merdeka , 11 Januari 1946. Seluruh peserta pertemuan di Purwokerto sepakat membentuk volksfront dengan minimum program: berunding atas pengakuan kemerdekaan 100% sesudah tentara asing meninggalkan laut Indonesia; pemerintah rakyat; tentara rakyat; melucuti tentara Jepang; mengurus tawanan bangsa Eropa; menyita dan menyelenggarakan pertanian; menyita dan menyelenggarakan industri. Melihat dua hari yang gempita, Jenderal Soedirman pun menyatakan dukungannya atas kemerdekaan 100%. “Saudara-saudara yang siap sedia membela kemerdekaan 100%! Saya sangat gembira akan dibentuknya volksfront . Tentara timbul tenggelam dengan negara. Pemimpin negara boleh berganti, kabinet pun boleh berganti tiga bulan sekali. Namun, tentara tetap berjuang terus bersama rakyat sampai kemerdekaan tercapai 100%. Lebih baik di-atoom sama sekali daripada tak merdeka 100%,” ujar Soedirman, seperti dikutip dari harian Kedaulatan Rakjat , 6 Januari 1946. Di kemudian hari, volksfront ini dikenal sebagai Persatuan Perjuangan.

  • Kala Kolera Menyerang Batavia

    Wabah difteri melanda tanah air pada penghujung 2017. Penyakit epidemi yang ditandai gejala peradangan saluran pernafasan dan demam ini lebih rentan menyerang anak-anak. Sebanyak 28 provinsi terjangkit wabah difteri, tak terkecuali Jakarta. Karena masifnya penularan dan besarnya jumlah korban meninggal, Kementerian Kesehatan menetapkannnya dalam status Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah bahkan sampai mengeluarkan himbauan agar anak-anak divaksin difteri. Kejadian serupa juga pernah terjadi di Jakarta kala masih bernama Batavia. Pembunuhnya bernama bakteri kolera ( cholera asiatica ). Orang awam lebih mengenalnya dengan sebutan “muntaber” (muntah berak). Menurut buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia yang diterbitkan Departemen Kesehatan, penyakit kolera mulai dikenal pada 1821. Penyakit yang menyerang usus besar ini ditandai dengan gejala muntah-muntah dan buang air besar yang hebat. Penderita kolera dapat mengalami kematian dalam beberapa jam apabila tak mendapat penanganan secara serius. Roorda van Eysinga, pegawai kolonial urusan pribumi (Indlansche Zaken), menyaksikan hiruk pikuk ketika wabah kolera menjangkit masyarakat Batavia. “Ada hari-hari ketika di Batavia terdapat 160 orang mati (akibat kolera). Mereka mengalami kejang-kejang hebat, dan meninggal dunia beberapa saat kemudian,” catat Eysinga dalam Verschillende Reizen en Lotgevallen . Kolera menyebabkan kepanikan luar biasa di kalangan orang Eropa. Pasalnya, wabah kolera menyebar lebih cepat dibandingkan penyakit epidemi lainnya semisal malaria, tipus, atau disentri. Pada 1864, kolera merenggut nyawa sebanyak 240 orang Eropa. Sementara tingkat kematian di kalangan penduduk bumiputra mencapai dua kali lipat dari jumlah itu. Persebaran bakteri kolera biasanya menular lewat air minum, makanan, dan kontak langsung. Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun menyebutkan ragam kebiasaan unik warga Batavia untuk menangkal kolera. Bagi masyarakat etnis Tionghoa, wabah kolera dapat dicegah dengan menggelar pertunjukan barongsai yang mengitari permukiman pecinan . Mereka meyakini setan penyebar kolera takut pada barongsai. Sedangkan warga bumiputra yang beragama Islam akan menghindari penyakit ini dengan meminum air khusus yang didoakan oleh para kyai. “Kolera merupakan penyakit yang sangat baru dan menyebarluas dengan cepat sehingga komunitas Indonesia dan Tionghoa menanggapinya dengan cara yang tak lazim,” tulis Susan Blackburn. Dalam Ensiklopedia Jakarta: Volume 2, tahun 1910 dan 1911 tercatat sebagai tahun kolera. Selama jangka waktu itu, rata-rata tiap 1000 orang bumiputra yang tinggal di hulu kota meninggal sedangkan di kota hilir (Batavia Lama) jumlahnya 148 orang. Hingga mendekati akhir, total warga Batavia yang meninggal diperkirakan sebanyak 6000 orang. “Begitu banyaknya orang meninggal sehingga banyak mayat yang tidak sempat dikubur. Mayat-mayat itu diletakkan didekat jalan raya bersama peti matinya. Wabah itu bahkan menyebar hingga ke kota Bogor,” tulis Wiwin Juwita Ramelan, dkk dalam laporan penelitian di Universitas Indonesia berjudul 'Penyakit Menular di Batavia'. Dari Batavia, kolera bahkan terbawa hingga ke ujung utara Sumatra. Menjelang abad 20, tentara Belanda mengadakan ekspedisi militer untuk menaklukkan Aceh. Sebagaimana diungkap Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh , kolera masih terus berjangkit di kalangan serdadu Belanda dan menyebar pula kepada orang-orang Aceh. Pemerintah kolonial menyatakan wabah kolera rentan menjangkit saat terjadi musim kemarau. Jumlah penderita kolera mulai menyusut memasuki musim penghujan. Namun kolera akan muncul lagi bila musim kemarau tiba ketika air sungai mendangkal. Dampak sosial yang ditimbulkan wabah kolera cukup memprihatinkan kehidupan masyarakat kolonial di Batavia. Sangat sulit untuk merawat pasien dari kelas sosial rendah yang biasanya tinggal di ruangan kecil berdinding bata. Ruangan-ruangan itu harus ditutup rapat untuk mencegah aliran udara. Mereka dirawat dengan metode pengobatan sederhana seperti mandi dengan air hangat atau kadangkala dengan arak. “Kondisi menyedihkan mereka membuat perawatan itu menjadi pekerjaan yang tak tertahankan dan dapat dikatakan sangat menyengsarakan,” ujar Eysinga . Pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap sektor kesehatan beriringan dengan bergulirnya era politik etis. Sosialiasi penyuluhan kesehatan dan inovasi pengobatan ditingkatkan. Pada 1911, vaksin kolera diperkenalkan kepada masyarakat. Namun wabah kolera benar-benar tak dapat ditanggulangi sepenuhnya. Meski waksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit kolera tetap mewabah setiap tahun. Di Batavia, kolera memang sulit diatasi mengingat buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan yang rendah.

  • Pengungkapan Kebenaran Dulu, Baru Rekonsiliasi

    GUBERNUR Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo kembali mengemukakan pendapatnya mengenai tragedi 1965 di Indonesia. Menurutnya tragedi itu meninggalkan bekas luka dendam yang belum bisa disembuhkan dan masih sulit untuk berdamai dengan masa lalu. “Nah, jika ini tidak bisa dipecahkan, dendam akan terus berlanjut. Kecurigaan yang mendalam akan berlanjut. Segala sesuatu yang berasal dan terwujud dalam bentuk balas dendam, serta kecenderungan curiga dan percaya bahwa kita satu-satunya yang benar –dan ini salah– tentu akan menciptakan rintangan pada kemampuan bangsa untuk maju secara maksimal,” ujar Agus kepada Johannes Herlijanto, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pelita Harapan, seperti termuat dalam artikelnya The 1965 Tragedy, China, and the Ethnic Chinese: Interview with Lieutenant General (Retired) Agus Widjojo (Part II) . Oleh karena itu, Agus berpendapat bahwa perlu permintaan maaf dari segala arah oleh semua pihak yang terlibat dalam kekerasan, termasuk negara Indonesia dan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Permintaan maaf itu tidak berarti bahwa pemerintah meminta maaf kepada PKI. Karena itu, permintaan maaf yang saya usulkan adalah dari segala arah. PKI juga harus meminta maaf, karena pada tahun 1948, mereka juga membunuh banyak pamong praja di Jawa Timur. Pada tahun 1965, jelas, setidaknya tujuh tentara dibunuh oleh mereka. Jadi PKI juga harus meminta maaf,” ujar putra Sutojo Siswomiharjo, salah satu jenderal yang dibunuh pada dinihari 1 Oktober 1965 itu. Namun demikian, menurut Agus, beberapa perwira di TNI salah menafsirkan gagasan rekonsiliasi dan permintaan maaf tersebut menjadi pengakuan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Mereka takut tindakan itu akan memberi ruang bagi kebangkitan PKI. “Mereka belum bisa melakukannya. TNI tidak pernah diajarkan untuk berpikir kritis. Mereka masih sangat preskriptif, doktriner, dan terkadang doktrin-doktrin ini dapat disalahgunakan. Nah, misalnya, isu PKI memang diperparah dengan dibesar-besarkan yang menghasilkan mobilisasi-mobilisasi untuk bersatu. Nah, siapa lawan PKI? kelompok garis keras yang menggunakan sentimen keagamaan untuk membangkitkan militansi,” ujar Agus. Rekonsiliasi yang diungkapkan Agus Widjojo ditanggapi aktivis IPT 1965, Harry Wibowo. Menurutnya, pernyataan Agus ini tidak tepat. “Agus ini membalikkan mana awal dan mana ujung. Sebelum ada rekonsiliasi, maka diperlukan pengungkapan kebenaran. Itu yang benar,” ujar Harwib, panggilan Harry Wibowo, kepada Historia . Meski UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006, pengungkapan kebenaran atas tragedi 1965 masih bisa dilakukan. “Tinggal bagaimana kemauan presiden, kan di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sudah ada. Tinggal bikin semacam keputusan presiden saja. Sebab kalau tidak, maka ya muncul pernyataan-pernyataan yang seperti ini. Dibumbui politik pula. Dan menurut saya bukan komisi, sebab terkesan memerlukan undang-undang lagi dan akan lama lagi. Namun, bentuklah semacam komite atau panitia yang diberi wewenang khusus, dengan durasi kerja minimal untuk pengungkapan kebenaran adalah tiga tahun,” kata Harwib.

  • Serba Pertama di Piala Dunia (Bagian II – Habis)

    SELALU ada sejarah baru dalam setiap gelaran Piala Dunia. Di Piala Dunia 2018 Rusia yang akan berlangsung Juni mendatang, belum lagi perhelatannya berjalan, dua sejarah sudah muncul. Pertama , untuk pertama kalinya semua (209) anggota FIFA terdaftar dalam kualifikasinya, walau akhirnya Indonesia dan Zimbabwe didiskualifikasi sebelum melakoni satu pertandingan pun. Kedua , Piala Dunia 2018 juga jadi momen pertama penggunaan video replay. Sejak kali pertama digelar di Uruguay pada 1930, Piala Dunia selalu melahirkan catatan unik. Sebelumnya, di bagian pertama kami sudah mengupas apa saja yang menjadi sejarah pertama dalam sejarah Piala Dunia sejak 1930 sampai 1958. Kali ini, kami menghadirkan sejarah baru dalam Piala Dunia mulai gelaran 1962 sampai yang terakhir di Brasil tahun 2014: Piala Dunia 1962 Piala Dunia 1962 yang berlangsung di Chile, 30 Mei-17 Juni, menjadi Piala Dunia pertama diterapkannya regulasi selisih gol. Aturan itu dibuat FIFA untuk menentukan satu dari sekian tim dengan poin sama yang berhak lolos ke babak selanjutnya. Tim dengan catatan gol-kemasukan terbaik akan berhak melaju ke babak selanjutnya. Di Piala Dunia 1962 juga untuk pertamakalinya diterapkan aturan pemain yang sudah pernah membela sebuah tim sejak babak kualifikasi dilarang tampil dengan tim lain. Dalam gelaran-gelaran Piala Dunia sebelumnya, bintang-bintang seperti Ferenc Puskas (Hungari, Spanyol), Jose Santamaria (Uruguay, Spanyol), dan Jose Altafini (Brasil, Italia) pernah memperkuat dua tim berbeda. Robert Prosinecki mendapat pengecualian di Piala Dunia 1998 di mana dia diziinkan membela Kroasia lantaran negeri yang dia bela pada Piala Dunia 1990 (Yugoslavia) sudah bubar. Piala Dunia 1962 menjadi Piala Dunia pertama yang memiliki lagu resmi. Lagu “El Rock del Mundial” ciptaan Jorge Rojas Astorga yang dinyanyikan band Los Rambles menjadi lagu resmi gelaran itu. Dalam Piala Dunia ini juga lahir catatan gol tendangan sudut pertama. Gol itu dicetak pemain Kolombia Marcos Coll di menit ke-68 saat menghadapi Uni Soviet, 3 Juni. Piala Dunia 1966 Jika poster Piala Dunia sudah eksis sejak gelaran pertama 1930, maskot Piala Dunia untuk pertama kalinya baru muncul di gelaran 1966 di Inggris (11-30 Juli 1966) dengan Willie, singa kecil nan lucu, yang menjadi maskot. Tradisi ini bergulir terus sampai sekarang. Dalam Piala Dunia ini FIFA dan panitia untuk pertama kali mewajibkan tiap pemain semua tim peserta untuk menjalani tes doping. Bagi benua Asia, Piala Dunia 1966 jadi kebanggaan tersendiri lantaran Korea Utara menjadi wakil pertama benua itu yang berhasil lolos dari babak grup. Piala Dunia 1970 Di Piala Dunia yang digelar di Meksiko, 31 Mei-21 Juni 1970, ini untuk pertama kalinya kartu kuning dan merah digunakan. Adalah Evgeny Lovchev, pemain Uni Soviet yang menerima kartu kuning pertama, dalam laga pembuka kontra tuan rumah Meksiko, 31 Mei. “Itu menjadi kartu kuning satu-satunya yang saya terima sepanjang karier saya,” kenang Lovchev, di situs FIFA, 13 Mei 2016. Piala Dunia ini juga merupakan Piala Dunia pertama yang menerapkan aturan pergantian pemain secara reguler. Di gelaran-gelaran sebelumnya, pemain hanya boleh digantikan oleh cadangan jika cedera. Rumania menjadi negara pertama yang melakukan pergantian pemain, saat menghadapi Brasil, 10 Juni, dengan memasukkan kiper cadangan Steve Adamanche untuk menggantikan kiper utama Necula Raducanu. Bagi dunia industri, Piala Dunia 1970 menjadi momen penting sebab untuk pertama kalinya FIFA merilis bola resmi. Untuk itu, FIFA menunjuk Adidas, merek produsen alat olahraga asal Jerman, yang kemudian memproduksi bola bernama Telstar. Bola 32 panel dengan perpaduan warna hitam-putih itu sengaja dibuat Adidas supaya mudah terlihat di layar TV hitam putih –seiring perkembangan zaman dan teknologi, bola Piala Dunia motif dan warnanya terus berkembang dalam tiap gelaran. Piala Dunia 1974 Piala Dunia yang dihelat di Jerman Barat, 13 Juni-7 Juli 1970, ini menjadi Piala Dunia pertama yang dimiliki semua benua, bukan hanya milik Amerika dan Eropa seperti sebelum-sebelumnya. Setelah Mesir mewakili Afrika pertama kali pada 1934 dan Hindia Belanda mewakili Asia, giliran Australia jadi negara kawasan Oseania –walau pada 2006 memilih meleburkan diri ke AFC (Asia)– pertama di Piala Dunia. Di Piala Dunia ini, hukuman kartu merah untuk pertamakalinya dikeluarkan. Adalah ariete (penyerang) Chile Carlos Caszely yang mendapat hukuman tersebut dari wasit Dogan Babacan asal Turki, dalam laga Jerman Barat vs Chile, 14 Juni. Piala Dunia 1978 Kendati sarat kontroversi terkait kediktatoran Jorge Videla, Piala Dunia 1978 berjalan lancar dan sukses di Argentina dari 1-25 Juni 1978. Tak hanya menjadikan Argentina untuk pertamakalinya menjadi juara, Piala Dunia ini juga jadi yang pertama menerapkan babak adu penalti. Sebelum, dua tim yang gagal menentukan pemenang di babak perpanjangan waktu harus memainkan laga ulang –meski tak pernah ada yang mengalaminya. Bek Belanda Ernie Brandts menjadi pemain pertama Piala Dunia yang bikin gol ke dua gawang berbeda dalam satu laga. Di laga Belanda vs Italia, 21 Juni, Brandts melakukan gol bunuh diri di menit ke-19 namun menebusnya dengan menjebol gawang lawan 30 menit berselang. Piala Dunia 1982 Kendati aturan adu tendangan penalti diperkenalkan di Piala Dunia Argentina 1978, babak dramatis ini baru terjadi kali pertama di Piala Dunia Spanyol 1982. Adu penalti pertama itu terjadi di laga Jerman Barat vs Pranccis, 8 Juli. Pemain tengah Prancis Alain Giresse menjadi eksekutor pertama adu penalti yang dimenangkan Jerman Barat 5-4 itu. Untuk regulasi, Piala Dunia 1982 menjadi Piala Dunia pertama yang diikuti 24 partisipan. Format ini memungkinkan wakil Asia dan Afrika ikut secara reguler karena Asia dan Oseania mendapat satu tempat sementara Afrika mendapat dua. Piala Dunia 1986 Pada 1974, sejatinya Kolombia yang terpilih untuk menghelat Piala Dunia 1986. Namun karena problem keuangan, FIFA menjatuhkan alternatif tuan rumah dadakan kepada Meksiko, yang sukses menggelarnya pada 31 Mei-29 Juni. Dalam Piala Dunia ini, untuk pertama kalinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut mempropagandakan sepakbola untuk perdamaian dengan memamerkan sejumlah papan display berlogo PBB dan FIFA bertuliskan: “Football for Peace–Peace Year” plus slogan Piala Dunia 1986: “El Mundo Unido por Un Balon” (Menyatukan Dunia dengan Bola). Atraksi penonton “The Wave” mengglobal di Piala Dunia 1986 ini kendati sebelumnya atraksi dengan nama lain “Mexican Wave” ini sudah eksis di final sepakbola Olimpiade 1984. Catatan lain, pelatih Paraguay Cayetano Re Ramirez menjadi pelatih pertama yang diusir wasit di Piala Dunia. “Cayetano Re diusir wasit pada 11 Juni (1986) dalam laga melawan Belgia karena berdiri terlalu dekat dengan lapangan,” tulis Doug Lennox di buku Now You Know Soccer. Piala Dunia 1990 Piala Dunia ke-14 yang digelar di Italia, 8 Juni-8 Juli 1990, menjadi momen pertama diperkenalkannya bendera Fair Play. Mengutip European Yearbook 1996 , bendera Fair Play ikut dibawa masuk dan dibentangkan di antara dua bendera negara yang bertanding sebelum laga dimulai. Tujuannya, mendorong semangat fair play dalam pertandingan. Piala Dunia ini menjadi Partai Dunia pertama yang juaranya merupakan kebalikan dari juara Piala Dunia sebelumnya. Bagi juara bertahan Argentina, Piala Dunia ini menjadi momen sial karena selain kalah di final juga mesti kehilangan pemain akibat kartu merah dalam pertandingan puncak itu. Celakanya, Pedro Monzon, bek Argentina yang mendapat kartu merah itu, menjadi pemain pertama yang dikartumerahkan wasit di laga final. Argentina juga tercatat jadi tim pertama yang gagal bikin gol di final Piala Dunia. Piala Dunia 1994 Selain menjadi Piala Dunia pertama yang salah satu venue -nya merupakan stadion indoor (Pontiac Silverdome, Detroit), Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat (17 Juni-17 Juli 1994) merupakan Piala Dunia pertama yang menerapkan aturan no back pass alias kiper tak boleh memegang atau menangkap bola operan kawan setim. Dalam Piala Dunia ini juga untuk pertamakalinya diterapkan aturan tambahan waktu di tiap babak dalam sebuah pertandingan. Para pemain yang kesakitan di dalam sebuah laga juga tak lagi diizinkan mendapat perawatan di dalam lapangan. Untuk membuat pertandingan terus berjalan, FIFA mengatur perawatan pemain cedera dilakukan di luar lapangan. Guna mendukung aturan tersebut, untuk pertamakalinya panitia Piala Dunia menggunakan golf car di dalam lapangan, untuk mengangkut pemain cedera ke luar arena. Piala Dunia 1994 juga merupakan Piala Dunia pertama yang kostum pemainnya dilengkapi nama, bukan sekadar nomor seperti sebelumnya. Rekor gol juga pecah di Piala Dunia ini, saat striker Rusia Oleg Salenko menjadi pemain pertama yang mencetak lima gol dalam satu laga kala menekuk Kamerun 6-1. “Saya saat itu tak berpikir tentang rekor. Mereka mengatakan sesuatu di pengeras suara dalam bahasa Inggris, namun saya tak mendengar detail-nya,” kenang Salenko di situs resmi FIFA, 27 Maret 2017. Catatan lain, Gianluca Pagliuca menjadi kiper pertama yang mendapat kartu merah, saat Italia meladeni Norwegia, 23 Juni. Piala Dunia ini juga melahirkan sejarah: juara menang lewat adu penalti. Piala Dunia 1998 Prancis menjadi tuan rumah Piala Dunia terakhir di abad ke-20 (10 Juni-12 Juli 1998). Pdi Piala Dunia ini, untuk pertama kalinya negara peserta berjumlah 32. “Jumlah partisipan itu menjadi alasan bagi masyarakat dan komunitas baru untuk menyaksikan Piala Dunia untuk kali pertama,” tulis Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacles in the World. Beberapa aturan anyar juga diperkenalkan. Seperti regulasi kartu merah otomatis untuk tekel dari belakang, tiga pergantian pemain per pertandingan, penggunaan papan elektronik untuk pergantian pemain dan golden goal . Defenseur (bek) Laurent Blanc menjadi pemain pertama yang mencetak golden goal di menit ke-113 (perpanjangan waktu) ke gawang Paraguay, 28 Juni 1998. Piala Dunia 2002 Menginjak abad ke-21, untuk pertama kalinya Piala Dunia digelar di benua Asia. Pertama kalinya juga eksis dua tuan rumah bersama: Jepang dan Korea Selatan (31 Mei-30 Juni 2002). Fakta lainnya adalah, untuk pertama kalinya juga hadir tim-tim dari Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika dan Asia di babak perempatfinal. FIFA juga untuk pertama kali mewajibkan setiap tim berisi 20 pemain dan tiga kiper. Piala Dunia 2006 Brasil datang ke Piala Dunia 2006 di Jerman (9 Juni-9 Juli 2006) sebagai juara bertahan. Namun untuk pertama kalinya diputuskan bahwa juara bertahan tak memainkan laga pembuka. Partai perdana justru digulirkan antara tuan rumah Jerman vs Kosta Rika yang berakhir 4-2 untuk tuan rumah. Piala Dunia 2010 Setelah Asia, giliran Afrika untuk pertama kali kebagian jatah jatu tuan rumah. Afrika Selatan yang beruntung menggelar turnamen akbar empat tahunan itu pada 11 Juni-11 Juli 2010. Australia untuk pertama kalinya tampil sebagai satu dari empat wakil Asia, setelah sebelumnya pindah dari OFC (Oseania) ke AFC (Asia). FIFA juga untuk kali pertama merilis All-Star Team (tim berisi pemain-pemain terbaik Piala Dunia) hasil dari voting online publik. Sebelumnya All-Star Team acap dipilih sendiri oleh FIFA. Piala Dunia 2014 Brasil sebagai tuan rumah Piala Dunia 2014 (12 Juni-13 Juli) mendapat “kehormatan” terkait diperkenalkannya goal-line technology atau teknologi garis gawang untuk kali pertama dalam Piala Dunia. Gol pertama yang muncul dari keputusan teknologi garis gawang itu, adalah gol bunuh diri pemain Honduras, Noel Valladares saat melawan Prancis. Pertama kalinya juga FIFA mengizinkan cooling break atau istirahat untuk pendinginan, masing-masing sekali dalam dua babak. Dua tim pertama yang meminta break itu adalah Belanda dan Meksiko yang berduel di babak perdelapan final. Terakhir, perkenalan vanishing foam untuk pertama kalinya digunakan wasit dalam setiap tendangan bebas.

  • Berjudi di Atas Renville

    Pertengahan Juli 1947, mendadak Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda menggelar Operasi Produk. Faktor pendadakan itu secara militer berhasil menjadikan Belanda menguasai sebagian Sumatera dan kota-kota penting di Jawa Barat serta Jawa Timur. Meskipun demikian, secara politik, Belanda tidak mampu meyakinkan dunia. Bahkan, dengan aksi itu mereka justru dikecam dunia internasional karena dianggap sudah menghancurkan kesepakatan damai di Linggarjati pada 25 Maret 1947. Sementara itu, tujuan utama lain dari operasi militer itu yakni menghancurkan kekuatan TNI sama sekali tak terpenuhi. Alih-alih mencapai hasil maksimal, kekuatan TNI secara kilat mulai berhasil melakukan rekoordinasi kekuatan. Di beberapa tempat, serangan-serangan balik yang dilakukan TNI malah semakin intens. Seorang Komandan Batalyon militer Belanda bernama Letnan Kolonel J. Flink dari Divisi C mengakui situasi itu. Sebulan lebih setelah Operasi Produk, memang pasukannya bisa mempertahankan kondisi keamanan. Namun mulai 31 Agustus 1947 keadaan berubah. “Batalyon saya mulai mendapat serangan-serangan gencar dan sistematis. Akibatnya, kami tidak hanya mengalami kekalahan demi kekalahan tapi juga meningkatnya kerugian personil di atas tingkat yang normal,” katanya seperti dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948 . Di tengah situasi tersebut, Dewan Keamanan PBB lantas mendesak masalah pertikaian kedua negara itu kembali dibawa ke meja perundingan. Bertempat di atas anjungan USS Renville (sebuah kapal angkut pasukan milik Amerika Serikat) yang tengah berlabuh di Teluk Jakarta, maka perundingan kedua pihak dengan pengawasan Komisi Jasa-jasa Baik ( beranggotakan Amerika Serikat, Belgia dan Australia) pun dilangsungkan sejak 8 Desember 1947. Dikisahkan oleh Ide Anak Agung Gde Agung dalam Renville , terjadi perdebatan panas dalam perundingan tersebut. Persoalan yang menjadi ganjalan utama adalah soal Garis Van Mook. Pada sidang tanggal 9 Desember 1947, sebagai upaya pengaturan gencatan senjata, Komisi Jasa-Jasa Baik mengusulkan supaya pihak militer Belanda mengosongkan daerah-daerah yang diduduki dan sebaliknya TNI juga harus mengosongkan “daerah kantong” yang diduduki mereka (saat itu ruang lingkupnya bahkan sudah meluas melebihi garis demarkasi sebelum Belanda melakukan Aksi Militer Pertamanya). Belanda menolak usulan Komisi Jasa-jasa Baik tersebut. Mereka malah mengajukan usul lain: garis demarkasi berdasarkan Garis Van Mook yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 5 September 1947. Tawaran itu langsung ditolak mentah-mentah oleh delegasi Republik. Perundingan pun menemui titik buntu. Hingga pada 9 Januari 1948, Belanda mengajukan ultimatum: dalam waktu tiga hari pihak Republik harus bisa menentukan sikap: menerima atau menolak usul Garis Van Mook. Jika jawaban kedua yang dipilih, maka Belanda menyatakan akan meneruskan aksi militernya sampai ke Yogyakarta. Tentu saja, gertakan Belanda itu membuat marah para pemimpin Republik. Awalnya, mereka memutuskan untuk menyambut ancaman Belanda itu dengan kekuatan militer pula “Namun, laporan dari beberapa komandan TNI kepada Sukarno perihal sangat kurangnya amunisi jika Belanda nekad melancarkan serangan besar-besaran menjadikan para pemimpin Republik berubah pendirian…” tulis George Mc. T. Kahin dalam Nationallism and Revolution in Indonesia . Selain faktor di atas, para pemimpin Republik pun merasa “terpikat” dengan analisa Dr. Frank Graham, wakil Amerika Serikat di Komisi Jasa-jasa Baik. Dr. Graham menjelaskan bahwa jika RI menerima syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, ada kemungkinan pemerintah Amerika Serikat akan menentang lebih jauh upaya-upaya Belanda untuk mencapai solusi dengan cara militer dan mengarahkan perundingan kepada pemunggutan suara yang dijanjikan akan diadakan di bawah pengawasan PBB. Sesepuh Divisi Siliwangi Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi memiliki pendapat menarik terkait sikap nrimo yang dijalankan oleh pemerintah Republik. Ia mengatakan bahwa dengan menerima saran Graham dan mengakui Garis Van Mook maka sejatinya para pemimpin Republik tengah “bermain judi” secara politik. “Tapi saya dengar, Bung Karno dan para pemimpin Republik lainnya punya “hitungan”: Belanda tidak akan mematuhi perjanjian yang sudah disepakati. Dan itu memang terjadi toh?” kata Eddie. Pada 17 dan 19 Januari 1948, Perjanjian Renville ditandatangani oleh kedua pihak. Maka, otomatis berlaku pula secara praksis semua poin-poin yang telah disepakati. Termasuk penarikan kekuatan-kekuatan militer Indonesia dari “wilayah Belanda” ke wilayah Republik. Begitu juga sebaliknya.

bottom of page