top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Operasi Mengebom Kapal Jepang

    SEIRING meningkatnya penetrasi pasukan Jepang di Asia Tenggara, pada Januari 1942 Belanda memindahkan kesatuan pembom Group 7 ke Pangkalan Udara Manggar (Samarinda II). Grup 7 bertugas melindungi konvoi kapal Belanda dari kapal selam Jepang dan menyerang konvoi kapal Jepang dan pangkalan laut Jepang di Borneo bagian barat. Pada 13 Januari 1942, tiga grup masing-masing tiga pesawat pembom B-10 Glenn Martin menggelar misi penyerangan terhadap armada Jepang di Tarakan. Seorang Indonesia terlibat dalam misi itu: Letnan Suryadi Suryadarma. Sebelum di Group 7, dia menjadi instruktur di Sekolah Penerbang dan Pengintai Kalijati, Jawa Barat. Meski bukan sebagai pilot, impiannya sejak lama, pria kelahiran Banyuwangi itu bertugas sebagai Waarnemer yang berfungsi sekaligus sebagai navigator, observer, perwira pengeboman, dan air liason . Suryadarma, kemudian menjadi KSAP dan KSAU Indonesia pertama, ikut dalam pesawat ketiga bernomor registrasi M-588 yang dipiloti Letnan Penerbang JH Lukkien. Dalam grup itu, dua pesawat lain dipiloti Serma Troost dan Serma WCG Tinkelenberg. Sekira pukul delapan waktu setempat, M-588 mengudara hampir bersamaan dengan dua pesawat lain di grupnya. Cuaca pagi itu amat cerah. B-10 Glenn Martin riskan dimangsa musuh lantaran pesawat tua itu hanya mengandalkan cuaca untuk perlindungan diri. Standing operationprocedure memperbolehkan pilot membatalkan misi apabila cuaca cerah. Tapi Lukkien memutuskan tetap menyelesaikan tugas ketimbang pulang. Mendekati sasaran, para awak M-588 melihat sekira 50 kapal perang Jepang. Mereka mulai menyerang ketika M-588 berada di ketinggian 5000 kaki. M-588 bergerak zigzag untuk menghindari tembakan. Di tengah keadaan genting itu, Suryadarma terus konsentrasi dengan bomb sight -nya untuk mencari mangsa kapal Jepang. Begitu mantap, dia langsung memberi aba-aba yang diikuti terjunnya bom-bom dari ketiga lambung pesawat. Dua kapal perang Jepang tenggelam, salah satunya kapal penjelajah ( battle cruiser ship ). Namun, M-588 menghadapi bahaya baru yang lebih keras. “Lukkien melihat ada enam pesawat Zero yang menyerang mereka dari atas,” ujar Suryadarma dalam Bapak Angkatan udara: Suryadi Suryadarma karya Adityawarman Suryadarma. M-588 langsung melakukan diving untuk menghindari tembakan itu sekaligus terbang rendah. Tembakan itu tak semua meleset. Satu peluru menembus paha Lukkien. “Letnan JH Lukkien mengalami luka parah,” tulis buku terbitan Drukkerij G.C.T. van Dorp, Nederlands-Indië Contra Japan, Vol. 4. Suryadarma segera memberi pertolongan pertama untuk menghentikan pendarahan. Posisi Lukkien diambilalih kopilot Sersan Penerbang Vermey. Sementara itu, pesawat yang dipiloti Tinkelenberg kondisinya lebih parah. Pesawat berantakan oleh serangan pesawat Jepang. Tembakan juga mengenai Tinkelenberg yang tak merasakan sakit. Pesawat itu semakin parah saat serangan kedua mengenai engine throttles sekaligus tangan sang pilot. Akhirnya, pesawat terbakar oleh serangan ketiga. Tinkelenberg memerintahkan para awak untuk terjun. Dia terakhir terjun. Pesawat yang dipiloti Troost juga tertembak jatuh. M-588 satu-satunya pesawat yang masih terbang. Pesawat itu terbang dengan satu mesin karena mesin sebelah kiri tertembak dan mengalami kebocoran bahan bakar. Dalam keadaan pincang, M-588 tetap memberi perlawanan. Bahkan, penembak berhasil menembak jatuh satu Zero. Alih-alih terus memburu M-588, Zero-Zero Jepang balik ke pangkalan. “Karena mengira pesawat buruan mereka sebentar lagi pasti jatuh,” kata Suryadarma. M-588 berhasil mencapai Bandara Manggar. Sebelum pesawat mengurangi ketinggian, Lukkien mengambilalih kemudi karena kopilot belum pernah mendaratkan pesawat. Dengan kondisi lemah, Lukkien berhasil mendaratkan pesawat yang rusak berat itu dengan mulus. “Semua ground crew lari ke kokpit untuk mengeluarkan Lukkien secepat mungkin dan segera dibawa ke rumahsakit,” kata Suryadarma. Keberhasilan misi itu tak hanya membuat bangga para pelakunya, tapi juga warga Belanda. Melalui siaran radio, pemerintah menganugerahi Het Bronzen Kruis kepada awak M-588. Medali itu merupakan tanda jasa khusus militer untuk mereka yang menunjukkan keberanian luar biasa. “Namun, sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada Jepang, Suryadarma masih belum menerima medali tanda jasa tersebut. Baru kelak di kemudian hari pada 1968, setelah Suryadarma pensiun, medali Het Bronzen Kruis diserahkan oleh Kementerian Pertahanan Belanda kepada putra Suryadarma, yaitu Erlangga,” tulis Adityawarman.

  • Menukil Memori Sirkuit Sentul

    Sampai tahun depan, Indonesia masih akan jadi penonton MotoGP. Rencana untuk bisa menghelat salah satu seri perhelatan balap motor paling bergengsi itu tahun 2017 gagal. Operator MotoGP, Dorna Sports, pada Juli 2016 menilai, Sirkuit Sentul di Bogor masih belum layak menggelar MotoGP. “Sirkuitnya bagus, tapi aspal, area  run off , untuk MotoGP terlalu berisiko,” kata Marc Marquez, pembalap top tim Repsol Honda, dalam jumpa pers usai menjajal Sirkuit Sentul, 25 Oktober 2016. Rencana lain Indonesia menghelat MotoGP pada 2018 pun gagal. Thailand justru “menyalip” dengan mengantongi deal menggelar MotoGP di 2018. Nasib Sentul, yang pernah jadi sirkuit internasional satu-satunya yang bisa dibanggakan Indonesia, kian suram. Untuk jadi tuan rumah MotoGP Indonesia 2019, ia mesti bersaing dengan Sirkuit Jakabaring di Palembang, yang pembangunannya hampir rampung, dan Sirkuit Mandalika di Lombok. Padahal, sirkuit ini pernah mendapat kehormatan menggelar dua kali MotoGP Indonesia, pada 1996 dan 1997. Bukan pekerjaan mudah untuk bisa membawa Michael Doohan dkk balapan di Tanah Air saat itu. Sirkuit Sentul, dengan trek sepanjang 3,9 kilometer (kini 4,2 kilometer), awalnya dibangun atas visi putra bungsu Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto selaku Ketua Umum PB Ikatan Motor Indonesia (IMI) bersama Tinton Soeprapto dan Tunky Ariwibowo serta dukungan pemerintah. Meski peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan pada 1986, proyeknya baru berjalan pada 1990. Kesulitan sponsor menjadi penyebabnya. “(Alokasi dana,  red .) dari kita sendiri (IMI), dari BP Ancol, juga dari Gaikindo. Tenaga desain lay out -nya dari FIA dan FISA yang disesuaikan dengan lahan yang ada,” ungkap Tommy Soeharto di tabloid Otomotif edisi 27 tahun 1991. Menurut rencana awal, Sentul akan punya trek sepanjang sekira 4,2 kilometer. Tommy menjelaskan, Sentul dibangun untuk balap mobil Formula 1 sehingga menggunakan desainer-desainer dari FISA dan FIA (otoritas balap Formula One-F1). Dalam perjalanan, desain trek “disunat” 40 persen, menyisakan 3,9 kilometer. Fasilitas penunjang balapan yang dipunyai Sentul juga belum memuaskan pihak FIA. F1 Grand Prix Indonesia pun batal. Sirkuit yang rampung pada 1992 dan diresmikan Presiden Soeharto pada 22 Agustus 1993 itu justru kemudian mampu menjadi tuan rumah MotoGP Indonesia pada 7 April 1996. Tentu setelah Sentul mendapatkan beberapa pembenahan, yang dilakukan pada Januari sebelumnya. Menurut Kompas 7 April 1996, butuh dana 2 juta dolar Amerika untuk menggelar seri ke-15 MotoGP 1996 itu. Hajatan berjalan lancar. Sekira 100 ribu penggila balapan dunia menyesaki tribun-tribun penonton. Balapan yang terdiri dari tiga kelas itu dimenangi “Mick” Doohan (kelas 500cc), Tetsuya Harada (kelas 250cc) dan Haruchika Aoki (kelas 125cc). Presiden Soeharto turun langsung meyerahkan trofi untuk kelas teratas. Hal itu jadi panggung politik tersendiri buat pemerintahan Soeharto. Saat itu, pemerintahannya mendapat kecaman dan kritik masyarakat Australia terkait kasus-kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Kebetulan, Doohan yang memenangi MotoGP Indonesia 1996 itu merupakan racer asal Negeri Kanguru. “Kesediaan Presiden Soeharto menyerahkan penghargaan kepada Doohan merupakan bukti sikap bersahabat Indonesia terhadap Australia,” tulis Kompas , 8 April 1996. Dukungan pemerintah terhadap perhelatan MotoGP Indonesia juga tak lepas dari niat promosi Indonesia ke dunia internasional. “Ini merupakan promosi besar-besaran tentang Indonesia ketimbang kegiatan muhibah-muhibah ke luar negeri,” tutur Menpora Hayono Isman, dikutip Kompas . Tahun berikutnya, Indonesia masih mendapat kepercayaan menggelar MotoGP Indonesia. Tadayuki Okada, Max Biaggi, dan legenda hidup yang masih aktif balapan, Valentino Rossi,

  • Belanda Sembunyikan Sejarah Perbudakan di Indonesia

    BELANDA semakin merenungi perbudakan. Beberapa tahun terakhir perbudakan yang dilakukannya di masa lampau ini juga sudah masuk dalam buku pelajaran sejarah, baik pendidikan dasar maupun menengah. Dan kalau pada peringatan tahunan berakhirnya perbudakan pada setiap tanggal 1 Juli juga kita perhatikan berita, sambil melihat para politisi yang berdatangan menghadiri peringatan itu, maka timbul kesan seolah-olah Belanda sudah punya kesadaran historis tinggi terhadap masa lampau perbudakannya.

  • Penguat Rasa Itu

    KULINER Indonesia kaya akan rasa karena melimpahnya bumbu dan rempah-rempah. Tapi, demi memperkuat rasa, monosodium glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan sebutan vetsin pun dipakai. MSG bermula dari penemuan Karl Heinrich Ritthausen, ahli kimia Jerman, ketika mengisolasi asam glutamat pada 1866. Kemudian, ahli kimia lain mengubah asam itu menjadi garam natrium, monosodium glutamate . Dalam penelitian itu tak seorang pun tertarik pada soal rasa.

  • Regulasi Membatasi Prostitusi

    GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan tidak memperpanjang izin usaha Hotel dan Griya Pijat Alexis. Banyak pihak menengarai usaha spa dan pijat itu hanya kedok dari praktik prostitusi. Penanggulangan prostitusi telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda. Pada 15 Juli 1852, Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist mengeluarkan surat keputusan mengenai peraturan penanggulangan prostitusi. Surat keputusan ini memuat tiga hal penting. “Pertama, anggaran tahunan dari direktur jenderal keuangan sebesar f20.000 untuk menanggulangi penyakit sifilis; kedua, memerinci aturan prostitusi untuk menangkal aspek berbahayanya; dan ketiga, peraturan ini hanya berlaku di beberapa daerah tertentu,” seperti dikutip dalam Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia. Mulanya, aturan itu hanya berlaku di Batavia, Semarang dan Surabaya. Dua tahun kemudian, peraturan itu diterapkan di Cianjur dan empat kota lain. Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial memperluas jangkauan penerapan peraturan penanggulangan penyebaran prostitusi. Sejak 1857, peraturan tersebut diberlakukan di Banten, Banyumas, Madiun, Bagelen, Probolinggo, Besuki, Cirebon, Jepara, Pasuruan, Buitenzorg, Karawang, Yogyakarta, Magelang, Bandung dan Kudus. Disusul Tegal, Madura, Sumedang, Tulungagung pada 1861. Lalu Purwodadi dan Pekalongan pada 1863; Banyuwangi pada 1866; serta Gresik dan Cirebon pada 1869. Meski sudah banyak kota menerapkan pembatasan pelacuran, jumlah rumah bordil dan pelacur tak berkurang. Pemerintah pun memperbarui aturan dan semakin memperketatnya. Pada 21 Januari 1874, gubernur jenderal Hindia Belanda mengeluarkan besluit No. 14 tanggal 21 Januari 1874 yang memuat 23 pasal untuk menanggulangi masalah prostitusi. Pengendalian pelacur dilakukan dengan cara pemberian kartu. “Masing-masing pelacur yang didaftar akan diperiksa kesehatannya oleh tim kesehatan untuk mengetahui apakah dia terinfeksi atau tidak. Dan jika mereka sehat, akan diberi kartu yang berisi nomor urut pendaftaran, nama dan tempat tinggal dan tanggal penyerahan nama serta kualitas,” seperti dikutip dalam Pasal 8 dan 9, termuat dalam Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial . Diterangkan pula, jika seorang wanita sudah terdaftar sebagai “wanita-publik”, maka dia sulit lepas dari statusnya tersebut, kecuali tiga hal yaitu: mati, permintaan menikah, dan permintaan keluar sebagai “wanita-publik” dengan rujukan polisi. Kartu tersebut menjelaskan nomor pendataan, nama dan alamat yang bersangkutan, serta tanggal pemeriksaan dan nama orang yang memeriksa beserta jabatannya. Berdasarkan peraturan baru tersebut, seorang pelacur pun harus tinggal tidak lebih dari 6 pals atau sekira 1,51 hingga 1,81 kilometer dari rumah sakit tempat dokter sipil berpraktik. “Di tataran implementasi, peraturan tersebut hanya mengatur para pelacur. Dalam beberapa pasal memang disebut pengawasan terhadap para pengelola rumah pelacuran. Hanya saja, sebetulnya, para pelacurlah yang menjadi subjek di dalamnya. Bisa dikatakan peraturan tersebut lebih ditujukan untuk menjinakkan para pelacur,” tulis Gani Ahmad Jaelani dalam disertasinya yang dibukukan berjudul Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942 . Mengapa pemerintah sangat keras mengatur pelacuran di Hindia Belanda? Sebab, ini terkait dengan penyakit kelamin yang menjangkiti masyarakat, terutama kalangan tentara. “Sebagai ujung tombak kolonialisme, serdadu harus dalam kondisi bugar. Namun, di sisi lain, mereka butuh memenuhi kebutuhan seksualnya. Inilah titik lemah serdadu. Nah, salah satu penyalurannya ya dengan mengunjungi rumah bordil yang tersebar di sekitar tangsi,” ujar Agus Setyawan, sejarawan Universitas Indonesia, kepada Historia . Pemerintah kolonial meningkatkan anggaran untuk menanggulangi penyakit sifilis. Semula f20.000 pada 1857, naik 130% menjadi f46.000 pada 1866.*

  • Klenik di Balik Final Italia vs Brasil

    ROBERTO Baggio dikenal sebagai salah satu pesepakbola terbaik Italia dan dunia. Namun, dalam perjalanan kariernya, dia takkan pernah melupakan momen pahit saat gagal mengeksekusi si kulit bundar pada babak adu penalti di final Piala Dunia 1994 kontra Brasil. Tembakannya dari titik putih melayang ke langit Pasadena, Amerika Serikat, sekaligus membuat Gli Azzurri (julukan timnas Italia) gigit jari. Skor akhir tos-tosan 3-2. Brasil menjadi juara Piala Dunia untuk keempat kalinya. Padahal, menilik track record -nya, Baggio tergolong spesialis penendang penalti. “Rekor penaltinya 108 gol dari 122 tendangan (penalti). Rata-rata kesuksesannya 88 persen –masih menjadi rekor pesepakbola Italia,” tulis Ben Lyttleton dalam Twelve Yards: The Art and Psychology of the Perfect Penalty Kick . Dalam otobiografinya, Baggio mengakui teramat jarang gagal mencetak gol dari titik 12 pas. Kalau pernah gagal, tak pernah sekalipun tendangannya melenceng dari gawang, melainkan diselamatkan kiper lawan. Baggio juga sudah mengenal karakter Claudio Taffarel, goleiro (kiper) timnas Brasil. Taffarel kerap sukses mementahkan tendangan penalti jika arah bolanya mendatar. Makanya dia memutuskan ingin menargetkan bola agak ke tengah namun sedikit melambung setinggi setengah meter saja. “Saya tahu Taffarel tak pernah bisa menghalau bola dengan kakinya. Sayangnya dan saya tidak tahu kenapa, bolanya melambung tiga meter dan melewati mistar gawang,” kenang Baggio dalam Una Porta nel Cielo , sebagaimana dikutip Lyttleton. Kenangan getir yang membekaskan trauma bertahun-tahun. Sulit baginya melewati malam tanpa bermimpi tentang kegagalannya. “Baggio menghabiskan kariernya dengan menceritakan bahwa keindahan sepakbola tak pernah eksis dalam penalti. Namun kegagalan di Pasadena itu menceritakan banyak hal dalam sepakbola,” tulis Lyttleton. Kegagalan Baggio seolah memperkuat rumor klenik yang menaungi final di Stadion Rose Bowl, Pasadena tersebut. Pasalnya, seorang paranormal, Clara Romano, mengklaim sudah beberapa kali membantu Baggio dengan sihir putihnya. Klaim ini pertama kali diungkap kantor berita Italia, Adnkronos dalam artikel “Non Fu Colpa di Baggio” (Bukan Kesalahan Baggio), 15 Juli 1995. Romano mengaku turut “menjampi-jampi” sihir putih ketika Baggio mencetak gol penyeimbang 1-1 di menit ke-88 kala menghadapi Nigeria di babak perdelapan final. Penalti Baggio juga menyegel kemenangan 2-1 atas Nigeria di babak tambahan waktu (menit 102). Begitupun ketika menang 2-1 atas Spanyol dan semifinal kontra Bulgaria dengan skor serupa. Baggio masing-masing mencetak sebutir gol di dua babak itu. Sayangnya, sihir putih Romano tak berdaya di partai final kontra Tim Samba. Romano menyatakan “kekuatannya” tak berkutik melawan ritual sihir hitam para pendukung Brasil. “Ketika saya melihat ritual pendukung Brasil, saya ketakutan. Saya merasa tak mampu melawan sihir hitam. Jika saya melawan, kekuatan jahat akan menimpa saya dan keluarga saya,” kata Romano.

  • Indonesia, Tempat Utama Evolusi Manusia

    INDONESIA akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mendirikan pusat studi evolusi manusia. Lembaga bernama Center for Human Evolution, Adaptation and Dispersals in Southeast Asia ini akan mengkaji bagaimana manusia prasejarah sampai ke Asia Tenggara dan persebarannya. Pusat studi ini akan berkoordinasi dengan para peneliti internasional terutama di Asia Tenggara. Mereka berasal dari berbagai ilmu penunjang antara lain paleoantropologi, arkeologi, biologi, paleontologi, palenologi, juga pertanggalan. “Kita akan melakukan hubungan penelitian yang ada di Afrika Timur, Afrika Selatan, Eropa, Georgia, dan juga dengan Asia Timur. Lingkupnya adalah penelitian evolusi manusia purba, tentang fauna, budaya, dan evolusi lingkungan,” kata Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harry Widianto kepada Historia . Sejauh ini, proposal pendirian pusat studi telah diajukan ke UNESCO. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB ini, mengirimkan ahlinya ke Indonesia untuk melihat kesiapannya. Rekomendasi dari ahli itu akan dibahas di sidang umum UNESCO pada November 2017 di Paris. “Di situ tinggal diterima atau ditolak. Kira-kira sudah berjalan 90 persen,” ujar Harry. Kesiapan yang dibutuhkan adalah fasilitas, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia yang mumpuni. Sejauh ini, telah banyak ditemukan situs manusia purba terutama di Jawa. Sarana dan prasarana penelitian di Situs Sangiran dinilai telah memadai. Saat ini, ada sekira 30 peneliti bergelar doktor dan master yang dididik di luar negeri. “Jadi sumber daya manusia nggak ada masalah. Indonesia nanti yang mengkoordinir dan mengaktifkan para peneliti di Asia Tenggara dan link ke Eropa, Afrika dan Cina,” jelasnya. Tempat Utama Fosil Homo erectus (manusia purba berdiri tegak) pertama kali ditemukan di Situs Trinil, Ngawi, Jawa Timur, pada 1891. Sejak itu, fosil-fosil manusia prasejarah ditemukan di situs-situs lain. Pada 1931 sebelas tengkorak Homo erectus ditemukan di Situs Ngandong di Blora. Setelah itu, fosil manusia purba ditemukan di Situs Sangiran, Sragen, pada 1934. Sangiran menjadi situs utama hingga kini karena menampilkan sendimentasi endapan mulai ketebalan 80-100 m. Situs ini pun mencirikan evolusi lingkungan mulai dari laut dalam, laut dangkal, rawa, hingga endapan daratan kontinental. Dari sisi temuannya, Situs Sangiran mewakili 50 persen populasi Homo erectus di dunia. Sebanyak 120 fosil individu ditemukan di sana yang berasal dari 1,5 juta tahun hingga 250 ribu tahun yang lalu. Sangiran juga mewakili evolusi fauna selama 1,8 juta tahun, evolusi kultural selama 1,2 juta tahun, dan evolusi lingkungan selama 2,4 juta tahun. Setelah Sangiran, pada 1936 ditemukan situs prasejarah di wilayah Mojokerto; Situs Pati Ayam ditemukan pada 1979; dan Situs Smedo di Tegal ditemukan pada 2004. “Itu semua situs-situs utama. Terutama Pulau Jawa merupakan salah satu tempat utama di dunia tentang evolusi manusia,” ujar Harry. Ahli paleontologi itu menjelaskan fosil Homo erectus juga ditemukan di Afrika Timur, Eropa, dan Tiongkok, termasuk di Situs Dmanisi, Georgia. Situs Dmanisi adalah situs utama di daerah Asia Depan terkait eksistensi Homo erectus yang bermigrasi keluar Afrika pada 1,8 juta tahun lalu. Situs ini ditemukan pada 1991. Menurut Harry kesamaan pertanggalan dengan Homo erectus yang bermigrasi keluar dari Afrika, membuktikan Asia Depan pun mempunyai spesimen Homo erectus yang kepurbakalaannya sama dengan spesimen dari Afrika. Dalam hal ini, Situs Dmanisi telah memberikan banyak spesimen Homo erectus yang paling tua. Karenanya Georgia juga dianggap sebagai pusat evolusi utama di dunia. Meski begitu, koleksi spesimen Homo erectus di Indonesia terbanyak di dunia. “Kita juga punya historis pertama kali di dunia. Sekarang dunia sangat hormat dengan proses evolusi yang terjadi di Indonesia,” lanjut Harry. Indonesia, khususnya Jawa, sebagai daerah tropis memang sangat memungkinkan untuk ditinggali manusia prasejarah. Sejak keluar Afrika, mereka terus berpindah ke Asia Tenggara hingga langsung tiba di Jawa. “Yang lain dilewati,” kata Harry. Di manapun tempat ditemukannya, Homo erectus punya ciri yang sama. Secara garis besar, ia mirip dengan Homo sapiens . Antara Homo erectus di satu tempat dengan yang lain dibedakan dari bagaimana mereka beradaptasi. “Tapi struktur tengkorak sama,” kata Harry. Homo erectus Indonesia memiliki penebalan pada terbit matanya. Di Jawa, dahinya landai dan miring. Antara penebalan torus di atas mata ( supra orbitalis ) dengan dahi tidak ada cekungan. Sementara Homo erectus di Cina, ada penonjolan pada supra orbitalis , diikuti sebuah cekungan baru bergabung dengan dahi landai juga. “Di Cina, bagian supra orbitalis sangat menonjol, di kita tidak,” jelas Harry. Bedanya dengan Homo sapiens , Homo Erectus punya tengkorak lonjong ke depan sampai belakang. Dahinya landai dengan atap tengkorak pendek. Ada penonjolan lancip pada bagian tengkorak dan lebar di daerah telinga. “ Homo sapiens sekarang kan tengkorak bundar. Dari genetika berbeda dengan yang ada di Amerika. Kita juga berbeda dengan yang di Afrika. Ada adaptasi lokal,” kata Harry.

  • Supratman sebagai Buronan

    MELIHAT beberapa rekannya semangat menyerukan perjuangan kemerdekaan di sebuah gudang pabrik di Makassar, Wage Rudolf Supratman (Rendra Bagus) tergerak untuk membantu mereka secara finansial. Bantuannya terhadap pergerakan ini diselidiki polisi setempat. Tak ingin keluarganya, Van Eldick (Wouter Aweers) dan Roekiyem (Putri Ayudya), terancam, dia memutuskan pindah ke Jawa. Di Jawa, Supratman bekerja sebagai wartawan dan penulis. Dia berteman dengan beberapa tokoh pergerakan. Dia juga bertemu dengan Fritz (Teuku Rifnu Wikana), polisi Belanda yang mengejarnya dan selalu mencari kesalahannya. Gambaran inilah yang ditampilkan John de Rantau dalam film Wage yang dirilis serentak pada 9 November 2017. John tak ingin menyebut film ini sebagai biopic melainkan noir . Meski film menceritakan perjalanan hidup Supratman sebagai pencipta lagu Indonesia Raya , inti cerita ada pada pengejaran seorang polisi Belanda bernama Fritz dengan buronannya, Wage. “Saya membuat film tentang penjahat yang dikejar-kejar polisi,” ujar John. Untuk membuat film berdasarkan kisah hidup tokoh sejarah, John mempersiapkan riset film ini secara on-off selama beberapa tahun belakangan dan terlaksana pada tahun kelima risetnya. “Saya melakukan riset pustaka, tidak mewawancarai narasumber. Yang dengan narasumber para pemain,” kata John. Jauh sebelumnya, pada 1980-an Perusahaan Film Negara (PFN) berencana membuat film tentang Supratman. Umar Nur Zain ditunjuk sebagai penulis naskah dan rencananya diterbitkan oleh PT Sinar Harapan. “Sayangnya, rencana ini tidak terealisasi karena PFN mengeluarkan film yang dianggap lebih penting untuk dibuat, yakni Pengkhianatan G 30 S PKI,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Asvi mengapresiasi usaha John karena tak hanya membuat film tentang tokoh sejarah, tetapi juga pelurusan sejarah. Misalnya, tempat kelahiran Supratman di Desa Somongari, Purworejo, Jawa Tengah, bukan Jatinegara. “Tempat kelahiran Supratman sebenarnya di Purworejo. Bapaknya memang tugas di Jatinegara, biasanya tempat kelahiran ditulis seusai tempat tugas bapaknya,” kata Asvi. John menampilkan Supratman tak hanya sebagai tokoh pencipta lagu tapi juga seorang wartawan Sin Po dan penulis novel. John mengaku berusaha menghindari kontroversi seputar kehidupan Supratman. Misalnya, soal istri. Ada sumber yang menyebutkan Supratman menikah dengan Salamah, namun pihak keluarga membantahnya. John hanya menampilkan Supratman sempat menjalin hubungan dengan seorang gadis. Film yang didanai Pondok Pesantren Majma’ul Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Siddiqiyah ini, tak luput dari kritik. Salim Said, guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan sekaligus mantan ketua Dewan Kesenian Jakarta, mengkritik adegan ketika perumusan Sumpah Pemuda. Para peserta kongres menolak usulan Sumpah Pemuda ketiga yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Padahal, di masa tersebut bahasa Indonesia sudah cukup luas digunakan, terbukti dari adanya terbitan berbahasa Indonesia. “Sulit menerima bahwa orang Jawa tidak mau menerima Sumpah Pemuda soal bahasa karena rata-rata elite politik Jawa sudah mengerti bahasa Melayu,” kata Salim. John juga melewatkan detil-detil dalam film. Misalnya, para perempuan bumiputra yang mengenakan baju terusan. Padahal, di tahun itu masih banyak dan lumrah perempuan bumiputra mengenakan kebaya. Justru memakai pakian ala barat yang tidak lumrah. Bangunan-bangunan bergaya Eropa yang rusak padahal seting film tahun 1920-an. Casting para pemain juga jadi catatan. John barang kali punya asalan, tapi sangat sulit rasanya melihat Teuku Rifnu Wikana, terlepas dari aktingnya yang patut diacungi jempol, memerankan seorang Indo-Belanda. Dialog-dialog dalam film juga terasa tidak natural. Meski demikian, film ini patut diapresiasi lantaran menampilkan tokoh sejarah tanpa terjebak heriosme dan tak menampilkan Belanda sebagai pihak yang melulu jahat.

  • Trofi Piala Dunia Tinggal Kenangan

    TROFI Piala Dunia akan kembali diperebutkan oleh timnas dari 32 negara pada 2018 di Rusia. Trofi itu karya Silvio Gazzaniga pada 1971. FIFA memilih desain trofi karya seniman Italia itu setelah mengalahkan 53 rancangan di fase seleksi. Desainnya berupa dua manusia memikul bola dunia di pundaknya. “Garis-garisnya menanjak naik dari dasar (trofi) menyerupai bentuk spiral, membentang untuk menahan dunia. Dari bentuk yang dinamis itu, muncul dua figur atlet yang sedang menghayati momen kemenangan,” kata Gazzaniga sebagaimana dikutip Donn Risolo dalam Soccer Stories: Anecdotes, Oddities, Lore and Amazing Feats. Trofi Piala Dunia memiliki tinggi 36,5 cm, bobot 6 kg, dilapisi emas 18 karat, ditopang dua lapis perunggu dengan tulisan: FIFA World Cup. Trofi itu dibuat dan dirampungkan Stabilimento Artistico Bertoni, perusahaan medali dan trofi asal Kota Milan, Italia, sebelum Piala Dunia 1974. Trofi ini untuk pertama kali direbut oleh tuan rumah Jerman Barat. Sebelumnya, sejak Piala Dunia pertama pada 1930 di Uruguay, yang diperebutkan adalah Trofi Jules Rimet. Posturnya lebih kecil hanya setinggi 35 cm dan berbobot 3,8 kg. Desainnya dibuat Abel Lafleur, pematung Prancis, dua tahun menjelang Piala Dunia 1930. Lafleur mendesain trofi berbentuk decagonal dengan pahatan seorang dewi bersayap di kedua sisi yang ditopang batu pualam. Trofi dengan pelat emas berlapis perak itu terinspirasi oleh patung Nike, Dewi Kemenangan Yunani Kuno yang terpajang di Museum Louvre. Awalnya, trofi ini dinamai Victory, namun publik lebih mengenalnya sebagai Coupe du Monde. Trofi ini pertama kali dimenangkan Uruguay sebagai tuan rumah Piala Dunia 1930. Sebelum pecah Perang Dunia II, trofi ini dimiliki Italia sebagai pemenang Piala Dunia 1938. Jika tak disembunyikan, ada kekhawatiran trofi ini akan diambil Nazi-Jerman sebagai sekutu Italia. Di sisi lain, ada dua versi kisah penyelamatan trofi ini. “Sebuah mitos berseliweran bahwa Ottorino Barassi, pemimpin olahraga Italia, menyimpannya di kotak sepatu dan disembunyikan di bawah tempat tidur. Rumor lainnya mengatakan, Jules Rimet, Presiden FIFA yang menyembunyikan trofi itu di kolong kasurnya. Sebenarnya trofi itu disimpan di brankas sebuah bank di Roma,” tulis John Snyder dalam Soccer’s Most Wanted . Pasca Perang Dunia, pada 1946 trofi itu diubah namanya menjadi Jules Rimet Trophy. Trofi ini baru kembali diperebutkan pada Piala Dunia 1950 di Brasil. Perang memang sudah usai, namun Trofi Jules Rimet tetap terancam. Empat bulan sebelum Piala Dunia 1966 di Inggris, trofi ini dicuri ketika dipajang pada Pameran Stampex di Westminster Central Hall, 20 Maret 1966. Publik sepakbola dunia geger. Wakil Ketua Dewan Asosiasi Sepabola Inggris (FA) Jack Steward rela menjadi pihak yang disalahkan. Sehari setelah kejadian, orang tak dikenal menelepon Ketua FA Joe Mears, meminta tebusan 15 ribu poundsterling. Polisi berhasil menciduk pencuri bernama Edward Betchley itu. Sayangnya, polisi tak menemukan trofinya. Akhirnya, Trofi Jules Rimet ditemukan tanpa sengaja. Pada 27 Maret 1966, ketika jalan-jalan di Beulah Hill, sebuah distrik di tenggara Kota London, David Corbett dan anjingnya, Pickles, menemukan trofi itu terbungkus koran lalu membawanya ke Kantor Polisi Gypsy Hill. Anjing dan tuannya diberi penghargaan, sementara trofinya diserahkan kepada FA sebelum pembukaan Piala Dunia 1966. FIFA memberikan hak kepemilikan permanen Trofi Jules Rimet kepada Brasil setelah memenangi Piala Dunia untuk ketiga kalinya pada 1970. Federasi Sepakbola Brasil (CBF) memajang trofi itu dalam lemari kaca di markasnya di Rio de Janeiro. Sialnya, pada 19 Desember 1983, markas CBF dibobol maling. Dalam Futebol: The Brazilian Way of Life, Alex Bellos menguraikan empat perampok membobol sisi belakang lemari kaca tempat Trofi Jules Rimet dengan linggis. Tak hanya itu, setelah mengelabui para penjaga, mereka juga menggondol Trofi Equaitativa dan Jurrito. Polisi berhasil mengidentifikasi dan menangkap para pencuri yaitu Sergio Pereira “Peralta” Ayres, seorang bankir dan agen pemain; Francisco Rivera, mantan opsir polisi; Jose Luiz Vieira, seorang dekorator, serta Antonio Setta. Peralta mengakui trofi itu sudah dilelehkan untuk dijadikan emas batangan oleh Juan Carlos Hernandez, pedagang emas asal Argentina. CBF meminta Eastman Kodak untuk membuat replika trofi itu. Presiden Brasil Joao Figueiredo menerima trofi replika itu pada 1984.

  • Pesta Petasan Memakan Korban

    LEDAKAN gudang petasan di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Kamis (26/10/2017), memakan korban tewas 48 orang dan 46 luka bakar, sisanya berhasil diselamatkan warga dengan membobol tembok gudang. Jumlah karyawan PT Panca Buana Cahaya Sukses itu sebanyak 103 orang. Penyebab ledakan adalah percikan api dari las. Polisi menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Insiden ledakan petasan yang memakan banyak korban juga pernah terjadi pada 1 Januari 1971 di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Perayaan tahun baru itu mestinya suka cita malah jadi duka cita. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menghelat pesta petasan. Berton-ton petasan berbagai jenis disediakan sebagai penanda pergantian tahun. Sejak 31 Desember 1970 siang, disiapkan lima tiang gantungan petasan setinggi lima meter. Koran Kompas, 4 Januari 1971, melaporkan Bang Ali menyiapkan sampai empat peti petasan impor dari Tiongkok dan Singapura. Tepat pukul 00.00, petasan-petasan itu disulut. Serentetan dentuman dan warna warni kembang api menghiasi langit ibukota. Nahasnya, pesta petasan itu memakan korban. “Dari catatan yang dikumpulkan petugas sampai jam 02.00 (1 Januari 1971) itu tercatat 11 korban petasan, lainnya terdapat dua orang yang mendapat luka-luka agak parah. Seorang anak 11 tahun mendapat luka parah pada tangan dan perutnya dan yang lainnya luka-luka pada mata dan kupingnya,” tulis Kompas. Adapun Tempo, 13 November 1971 melaporkan terdapat 50-60 orang menjadi korban, baik meninggal atau luka-luka termasuk seorang warga asing asal Amerika Serikat. Petaka petasan itu jadi perhatian Presiden Soeharto. Sejumlah aturan dikeluarkan jelang Hari Raya Idulfitri. Perayaan Lebaran sebagaimana perayaan-perayaan lainnya, sering digemuruhkan dengan pesta petasan. Pada Sidang Kabinet Paripurna 12 Oktober 1971, Presiden Soeharto menegaskan instruksi dan larangan soal petasan. Pabrik-pabrik petasan dalam negeri hanya diperbolehkan memproduksi petasan jenis “cabe”. Sementara impor petasan disetop. “Presiden menginstruksikan pada instansi-instansi yang berwenang, seperti polisi dan sebagainya agar mengawasi dan menertibkan pembuatan serta penjualan mercon. Diputuskan mulai sekarang impor petasan dari luar negeri dilarang,” tulis Kompas, 13 Oktober 1971. Instruksi Soeharto itu dijalankan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dengan mengirim telegram kepada seluruh gubernur terkait pembatasan produksi petasan yang tak boleh lebih panjang dari 8 cm, diameter tak boleh lebih dari 1 cm, dan bobotnya tak boleh lebih berat dari 10 gram. Kemendagri juga menyetop izin impor petasan. Sedangkan Kapolri Komjen Pol. Moh. Hasan mengirim instruksi ke setiap Polda agar menertibkan produksi petasan. Lewat radio dan koran-koran, kaum ulama memberi pencerahan agar tak buang-buang uang demi petasan. Sayangnya, petasan masih jadi primadona masyarakat di setiap hari raya. Permintaan pasar yang tinggi membuat petasan impor masuk secara ilegal. Pabrik-pabrik petasan juga tak semuanya patuh. Mereka diam-diam menjual petasan berukuran besar lantaran pengawasan yang longgar.

  • Tionghoa dalam Sumpah Pemuda

    HARI ini, 90 tahun lalu, para pemuda berkumpul untuk mengadakan Kongres Pemuda II di sebuah rumah di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Pemiliknya seorang Tionghoa, Sie Kong Liong, yang menyewakan rumah itu kepada para pemuda yang kelak menjadi tokoh penting, seperti Amir Sjarifuddin (perdana menteri), Muhammad Yamin (menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan), dan Mr. Assat (pejabat presiden Republik Indonesia). Mengingat jasanya memfasilitasi Kongres Pemuda II, Sie Kong Liong pernah diusulkan mendapatkan penghargaan. “Ada informasi tambahan dari Remy Silado (sastrawan, red .), salah satu peserta Sumpah Pemuda Jo Masdani dari Minahasa mengusulkan pada Sukarno pada 1959 supaya memberikan penghargaan pada Sie Kong Liong,” kata Didi Kwartanada, sejarawan yang menekuni sejarah Tionghoa, ketika ditemui di kantornya, Yayasan Nabil, Jakarta. Selain Sie Kong Liong, empat pemuda peranakan Tionghoa juga menghadiri Kongres Pemuda II. Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) kelahiran Palembang. Pelajar Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) berusia belasan itu mengajak sahabatnya Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Mereka aktif sebagai anggota kepanduan. Sebagai anggota kepanduan, kata Didi, selain mengajarkan keterampilan di luar ruangan, mereka juga biasanya mengajarkan semangat nasionalisme dan patriotisme. “Sayangnya, mereka hanya tercatat nama saja. Bagaimana riwayatnya sekarang, keluarganya di mana belum ada yang menemukan,” ujar Didi. Namun, menurut Didi, berdasarkan wawancara Kwee dengan Kompas 25 Oktober 1978, tak ada yang memandang aneh keterlibatan Kwee dan teman-temannya. Dia yang kemudian berganti nama menjadi Daud Budiman merasa tidak melihat ada yang kurang senang dengan adanya pemuda etnis Tionghoa. “Keterlibatannya dalam nasionalisme Indonesia ini dipengaruhi oleh pidato H.O.S Tjokroaminoto dan Sukarno,” kata Didi. Di luar Kongres Pemuda II, suratkabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po, yang pertama kali memuat lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Lagu dan notasi Indonesia Raya muncul di mingguan itu pada edisi No. 293 tanggal 10 November 1928. Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po, menyebutkan hubungan pemimpin pergerakan Indonesia dengan pers Tionghoa, terutama Sin Po, memang sangat baik. “Bukan cuma kebetulan bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dikarang dan dibikin lagu oleh tuan Wage Rudolf Soepratman dimuat pertama kali bersama notnya dalam weekblad Sin Po.” Selain mencetak, Supratman juga meminta Sin Po untuk menjual dalam bentuk partitur lepas. Padahal, pemuatan maupun percetakan lagu Indonesia Raya melanggar aturan pemerintah kolonial Belanda. Kendati begitu, ada juga pengusaha Tionghoa yang berani mencetak Indonesia Raya dengan terang-terangan. Pengusaha rokok kretek Moro Seneng di Tulungagung, Jawa Timur, memuat utuh syair lagu dalam buku peringatan lima tahun perusahaan kreteknya. Supratman juga menyebarluaskan lagunya dalam bentuk piringan hitam yang menjadi primadona di kalangan terpelajar. Dia menawarkan kepada perusahaan asal Eropa dan Tio Tek Hong, pengusaha di Pasar Baru yang memiliki perusahaan rekaman, namun ditolak. Dia kemudian meminta bantuan temannya, Yo Kim Tjan, yang berhasil mencetaknya dalam piringan hitam. Titik Tolak Sumpah Pemuda bisa dikatakan titik tolak dari sikap Indonesia yang etnonasionalis menjadi melebur menjadi satu. Sebelumnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda memisahkan masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan. Selain masyarakat Eropa, lainnya dimasukkan dalam golongan timur asing dan inlander (pribumi). Hal itu pun berdampak pada pergerakan politik masing-masing kelompok etnis. “Jadi, memang awal abad 20 masyarakat Indonesia terbagi berdasarkan garis warna dalam masyarakat kolonial,” jelas Didi. Hal itu bisa dilihat pada 1908 ketika Budi Utomo berdiri hanya untuk orang Jawa. Kemudian ada banyak organisasi pemuda daerah, seperti Jong Sumatranen Bond dan Jong Celebes, yang hanya mewakili etnis tertentu. Menurut Didi masyarakat golongan timur asing pun tersingkir dalam orientasi politiknya. Misalnya dalam organisasi Tiong Hoa Hwee Koan yang lahir pada 1900 sebelum Budi Utomo. “Jadi yang muncul pada awal abad 20 itu organisasi etnosentris, etnonasionalisme, bukan nasionalisme dalam arti modern, persamaan nasib, persamaan cita-cita dan sebagainya. Jadi masih sangat tersegregasi,” lanjut Didi. Ironisnya, Didi melanjutkan, partai yang dipimpin Sukarno, Partai Nasional Indonesia (PNI), hanya menerima etnis Tionghoa sebagai anggota luar biasa. Hal itu pun dimasukkan dalam AD/ART partai. “Partai ini hanya menerima golongan pribumi kala itu,” tambahnya. Menurut Didi, justru yang menjadi pelopor kesetaraan dalam organisasi politik adalah Indische Partij. Sayangnya, partai ini tak bertahan lama. Berdiri Desember 1912, partai ini sudah bubar pada 1913. “Indische Partij itu sebenarnya embrio dari sikap Indonesia untuk keluar dari sikap etnonasionalisme. Hindia untuk orang Hindia. Siapa orang HIndia itu? Bumiputra, Tionghoa, Indo, Arab bisa jadi anggotanya,” jelas Didi. Pada 1920, Partai Komunis Indonesia berdiri dan terbuka dalam menerima keanggotaan. Begitu pula dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada 1937 yang mengakomodasi seluruh etnis di Indonesia. Menurut Didi, pemberontakan PKI pada 1926 membuat pemerintah kolonial makin bersikap keras. Hal ini memunculkan perasaan senasib sebagai sesama masyarakat terjajah. Hingga akhirnya melebur dalam Kongres Pemuda II. “Sumpah Pemuda,” kata Didi, “bisa dikatakan sebagai penggorengan yang pertama. Tonggak pergerakan nasional yang ada sebelumnya belum secara inklusif merangkul seluruh etnis yang ada. Sumpah Pemuda representasi kebhinekaan Indonesia saat itu.”*

  • Perempuan dalam Kongres Pemuda

    NONA POERNOMOWULAN naik ke atas mimbar sebagai pembicara pertama dalam Kongres Pemuda II. Sebagai guru yang aktif dalam pendidikan dan pembinaan pemuda, dia membacakan prasarannya bahwa usaha mencerdaskan bangsa haruslah disertai usaha menciptakan suasana tertib dan disiplin dalam pendidikan. Setelah Poernomowulan, Sarmidi Mangunsarkoro, tokoh pendidikan, juga membacakan prasarannya tentang pendidikan. Dari kesaksian Wage Rudolf Supratman, Poernomowulan dan Sarmidi hadir sebagai pembicara utama dalam kongres tersebut. Ketika acara memasuki pandangan umum, cukup banyak hadirin yang menyambut dengan semangat juga menanggapi prasaran dari para pembicara. Tak hanya Nona Poernomowulan, perempuan yang hadir dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda itu antara lain Siti Sundari, Emma Poeradiredja, Suwarni Pringgodigdo, Johanna Masdani Tumbuan, Dien Pantouw, dan Nona Tumbel. Dari 10 perempuan yang hadir, tujuh di antaranya bisa ditelusuri. Total hadirin 750 orang dan hanya 75 orang yang namanya tercatat. “Para pemudi yang hadir lebih banyak dibanding ketika kongres pemuda Indonesia pertama 1926,” tulis Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman . Para perempuan yang hadir dalam Kongres Pemuda II aktif dalam pergerakan. Poernomowulan aktif dalam Jong Java. Siti Sundari, adik dr. Sutomo, aktif dalam gerakan dan menerbitkan WanitaSworo . Majalah berbahasa dan aksara Jawa ini terbit di Pacitan pada 1912. Sementara Emma Poeradiredja aktif dalam Jong Java, Jong Islaminten Bond, dan mendirikan Istri Pasundan. Suwarni Pringgodigdo dikenal sebagai pendiri gerakan Istri Sedar. Pasca Indonesia merdeka, dia menjadi anggota DPR. Ketika Kongres Pemuda, Johanna Masdani Tumbuan berusia 18 tahun, kemudian aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Dia menerima beberapa penghargaan dari era Sukarno hingga Habibie: medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia (1953), Bintang Satya Gerilya (1958), Bintang Satya Lencana Penegak (1967), Bintang Mahaputera Utama (1998), dan beberapa penghargaan lain. Sementara Dien Pantouw merupakan istri dari Sunario Sastrowardoyo. Keduanya pertama kali bertemu saat Kongres Pemuda II dan beberapa waktu setelahnya saling berkirim surat sampai akhirnya menikah. Sedangkan Nona Tumbel adalah anggota Jong Celebes. Kongres Pemuda memiliki peranan yang signifikan terhadap Kongres Perempuan. Sebab, selain Sumpah Pemuda, tujuan utama Kongres Pemuda adalah mempersatukan pemuda dalam satu wadah organisasi. Sementara topik mengenai perempuan tidak banyak dibahas. “Jadi, dari Kongres Pemuda menginspirasi para perempuan untuk membuat kongres perempuan karena Kongres Pemuda pada waktu itu fokusnya untuk membahas pergerakan pemuda tidak banyak membahas topik perempuan,” kata Sejarawan Amurwani Dwi Lestariningsih kepada Historia . Suyatin Kartowijono, salah satu penggagas Kongres Perempuan, tidak hadir dalam Kongres Pemuda kerena berada di Yogyakarta. Meski demikian, dia mengikuti jalannya sidang dari pemberitaan media massa dan kabar dari rekan-rekannya di Jakarta. “Suyatin Kartowijono, tokoh yang begitu gencar memperjuangkan ide-ide perempuan pada saat itu terinspirasi dengan adanya Sumpah Pemuda. Dia mengajak rekan-rekannya untuk menyelenggarakan Kongres Perempuan. Dari awal dia memang punya greget untuk memajukan wanita,” kata Amurwani. Dua bulan setelah Kongres Pemuda, Kongres Perempuan diselenggarakan di Yogyakarta. Kongres membahas masalah dan hak perempuan serta pergerakan kemerdekaan. Hasil kongres menyepakati bahwa perempuan harus ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan dan ikut memajukan organisasi-organisasi pemuda.

bottom of page