top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pengabdi Setan Tanpa Klenik

    BUNYI lonceng memenuhi seisi rumah. Itulah cara Mawarni Suwono (Ayu Laksmi) memanggil anak-anaknya. Meski mendengar dengan jelas, anak ketiga, Bondi (Nasar Anus) enggan beranjak. Ia takut pada ibunya sendiri. Akhirnya, anak pertama, Rini (Tara Basro) yang bergegas menemui ibunya di kamar. Ibu mereka sakit parah, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur. Dari awal film, sosok ibu sudah digambarkan begitu suram. Tergeletak di kamar dengan gaun tidur usang berwarna putih, rambut kusut panjang terurai, dan wajah pucat. Setelah Mawarni meninggal, sosoknya menjadi teror bagi keluarga, ia menghantui seisi rumah. Suara lonceng dan lagu “Malam Kelam” yang ia nyanyikan menjadi penanda kehadiran tokoh ibu dalam film Pengabdi Setan arahan Joko Anwar. Film horor tidak akan berhasil tanpa suara latar yang mendukung. Joko memilih ikon yang pas untuk menandai kehadiran sosok ibu. Bukan tanpa sebab sosok Mawarni bisa menjadi hantu. Semasa hidup Mawarni pernah mengikuti sekte kesuburan agar bisa memiliki anak. Nasib Mawarni dalam film ini seakan menjadi gambaran tekanan sosial terhadap perempuan untuk bisa memiliki anak setelah menikah. Tekanan ini juga yang mendorong Mawarni ikut sekte kesuburan. Sayangnya, Joko hanya membahas keikutsertaan Mawarni dalam sekte kesuburan melalui penjelasan para pemain dan tidak memperdalam isu kesuburan lebih lanjut. Sekte kesuburan yang diikuti Mawarni memohon pada setan agar pengikutnya bisa memperoleh keturunan. Singkat kata, setan inilah yang menyerupai Mawarni dan meneror seluruh rumah. Ada beberapa perbedaan antara PengabdiSetan arahan Joko Anwar dengan Sisworo Gautama Putra. Kondisi keluarga misalnya, di film Sisworo keluarga digambarkan kaya dengan ayah, ibu, dan dua orang anak, Rita dan Tomy. Mereka selalu sibuk sendiri-sendiri. Tokoh lain dalam film Sisworo adalah Karto, pembantu rumah tangga dan Herman, pacar Rita. Di film Sisworo, Pak Kartolah yang sakit asma dan berkali-kali suara napasnya menjadi latar. Gangguan justru datang dari luar, yakni lewat dukun bernama Darmina. Di film Joko, keluarga terdiri atas ayah, ibu, nenek yang sakit asma, dan empat orang anak: Rini, Toni, Bondi, dan Ian. Mereka kehabisan uang. Bahkan Rini sudah berhenti kuliah karena prioritas keuangan keluarga untuk pengobatan si ibu. Di film ini, sosok Herman bisa disejajarkan dengan Hendra, anak laki-laki Pak Ustaz yang mati kecelakaan. Sosok pengabdi setan yang digambarkan judul film juga berbeda. Film Sisworo menjadikan Darmina (Ruth Pelupessy) sebagai sosok dukun pengabdi setan. Sedangkan dalam film Joko pengabdi setan yang dimaksud adalah Mawarni yang ikut sekte kesuburan. Seperti film-film horor garapan Sisworo yang lain, PengabdiSetan menampilkan klenik dan mistik khas Indonesia. Ketika keluarga Rita memanggil dukun misalnya. Ia membakar kemenyan dengan seperangkat sesaji, memegang keris, sambil berdoa. “Jagad Dewa Batara penguasa tujuh nafsu angkara hindarkan rumah ini dari cengkraman Batara Kala.” Sebaliknya, film Joko tidak memuat unsur klenik sama sekali. Sekte kesuburan yang dijelaskan tokoh Budiman Syailendra dalam film juga tidak memasukkan unsur klenik. Budiman sendiri bukan seorang dukun tapi penulis majalah misteri. Pengabdi Setan yang pertama, berkali-kali membuat penonton menahan napas dan tidak membiarkan mereka merasa lega barang sebentar. Hantu-hantu ditampilkan secara utuh dan mengejar para tokoh sementara ruangan terkunci. Penonton diajak merasakan keputusasaan para tokoh yang terancam. Ending -nya pun seperti film-film horor tahun 1980-1990an, ilmu hitam akan kalah oleh agama. Hal semacam ini, tidak ada dalam film Joko. Secara umum, Joko tidak benar-benar membuat ulang film PengabdiSetan karya Sisworo. Joko membuat versinya sendiri. Ada beberapa kekurangan film karya Joko, yakni artikulasi Bront Palarae yang memerankan tokoh ayah. Tidak jelas apa yang diucapkan Bront ketika berteriak pada sekumpulan orang berpayung di depan rumahnya. Dialog yang diucapkan tokoh Bondi juga terasa tidak natural bila diucapkan anak usia Sekolah Dasar, “Dari kamar ini terlihat areal pemakaman.” Beberapa adegan juga tidak dijelaskan hingga tuntas. Misalnya, penyebab kematian nenek. Penonton hanya tahu dari asumsi warga bahwa nenek mati terpeleset di kamar mandi tapi tidak benar-benar tahu bagaimana si nenek meninggal. Adegan sebelumnya menampilkan nenek terburu-buru melaju dengan kursi rodanya. Pembicaraan ayah ke ibu sebelum meninggal juga tidak terjawab di film ini dan siapa yang menarik tangan Rini dari jendela ketika ia menginap di rumah Pak Ustaz? Meski begitu, Pengabdi Setan arahan Joko Anwar berhasil membuat standar baru film horor Indonesia. Joko menampilkan hantu yang tak melulu menyeramkan, dengan gambaran hantu ibu yang masih terlihat cantik tapi tetap membuat penonton ngeri. Busana yang dikenakan pemain juga sesuai dengan latar waktu 1980-an. Beberapa adegan di filmnya berhasil menggoda penonton dengan ketegangan dan diakhiri dengan komedi. Ketika Rini dan Hendra berada di rumah Budiman misalnya. Penonton sudah deg-degan ketika pintu diketuk yang ternyata tukang pijat. Film Joko barang kali tidak akan cukup menakutkan bagi para pencinta film horor karena tidak banyak adegan mengagetkan di sana. Joko mengejutkan dengan cara yang lain, yakni alur ceritanya.

  • Penobatan Raja pada Masa Hindu-Buddha

    Sama halnya dengan masa kini, penobatan seorang penguasa pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi suatu hal yang penting bahkan bukan sekadar seremonial. Pada dasarnya, sulit menemukan data tekstual, baik prasasti maupun karya sastra yang secara khusus memberitakan penobatan seorang raja atau pejabat. “Beda dengan proses penetapan sima, banyak sekali mendapatkan infonya,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang kepada Historia . Padahal, tradisi notulensi sudah ada sejak masa Hindu-Buddha. Salah satunya dikenal dengan sebutan citralekha, yaitu orang yang bertugas mencatat perintah raja. Dalam relief Candi Panataran pun diabadikan gambar murid yang mencatat ajaran dari seorang guru. “Pencatatan mungkin dalam bentuk lontar. Ini kenapa tidak sampai ke kita, bahannya tidak awet,” kata Dwi. Namun, perihal penobatan penguasa pada masa Hindu-Buddha tetap dapat diperoleh gambarannya. Dalam sebuah penobatan raja, simbol-simbol kebesaran hadir. Yang paling utama adalah mahkota sebagai simbol alih kekuasaan. “Ada simbol lain yang diserahkan antarpenguasa. Prasasti-prasasti Majapahit akhir menyebut terompah, tombak, dan payung,” ujar Dwi. Terompah, Dwi menjelaskan, adalah alas kaki atau wujud telapak kaki seorang raja. Dalam beberapa cerita klasik, seperti Ramayana , digambarkan ketika Rama menitipkan kekuasaan pada adiknya hanya meninggalkan alas kakinya. Itulah mengapa dalam prasasti Tarumanegara terdapat cap kaki raja. Tapak ini simbol kekuasaan. Lancana juga termasuk benda yang diserahterimakan ketika penobatan penguasa. Dalam prasasti terdapat tanda khusus dari penguasa tertentu. Misalnya Surya Majapahit, Crnggalancana milik Kertajaya, atau Garudamukha milik Airlangga. “Di era kesultanan biasanya berbentuk cincin stempel, kalau kerajaan (Hindu-Buddha, red ) namanya lancana, ini sama saja, semacam ada stempel di prasasti. Pada masa Kadiri, masing-masing penguasa punya lancana berbeda,” jelas Dwi. Penguasa baru juga biasanya akan mengirimkan kabar ke wilayah luar kekuasaannya, sebagai bagian dari diplomasi. Misalnya kepada kerajaan adidaya di Tiongkok. “Memberitakan sudah ada perubahan penguasa, dengan kirim utusan misalnya. Apalagi kalau ada perebutan kekuasaan, perlu banget pengakuan dari luar,” jelas Dwi. Penobatan penguasa baru bukan hanya soal seremonial. Pengangkatan raja baru merupakan wujud komitmen dari raja pengganti, termasuk kesinambungan program terdahulu, rencana ke depan, dan legitimasi kekuasaan. Kesinambungan kebijakan biasanya berupa pengembangan dari program yang lalu. Misalnya, doktrin Hamukti Palapa yang dideklarasaikan Gajah Mada, patih Kerajaan Majapahit. Awalnya ini merupakan doktrin politik Ratu Majapahit, Tribhuwana Wijayattungadewi. Oleh Raja Hayam Wuruk, sebagai pengganti ibunya, doktrin politik ini diteruskan. “Jadi, tidak kemudian penguasa baru semuanya baru,” kata Dwi. Contoh lain dilakukan Kertanagara, raja Singhasari. Dia mengembangkan program raja terdahulu, Jaya Wisnuwardhana yang berniat mengintegrasi seluruh Jawa dalam Cakrawala Mandala Jawa. Krtanagara kemudian memperluasnya menjadi Cakrawala Mandala Dwipantara, yang mencakup wilayah lebih luas. “Untuk mencapai itu ada reformasi, ada penataan ulang dalam internal kepemerintahan,” ujar Dwi. Doktrin itu sudah disampaikan ketika penobatan raja dilakukan. Menurut Dwi, ini bisa disamakan dengan penyampaian visi dan misi pejabat pada masa kini. “Penguasa berikutnya menyampaikan programnya ke khalayak. Kalau sekarang kan ini masuknya pada saat pilkada, untuk kompetisi yang menarik yang mana,” jelasnya. Yang lebih penting, untuk menjadi seorang penguasa, raja-raja dulu harus melalui proses magang. Biasanya putra atau putri mahkota akan ditempatkan terlebih dahulu di daerah vassal. Mereka akan menjabat sebagai raja muda atau yang biasa disebut rajakumari, yuwaraja atau kumararaja. “Pada masa lalu, penguasa itu tidak instan. Dia juga butuh restu dari raja terdahulu dan juga dari Dewan Penasihat atau puruhita,” pungkas Dwi.

  • Sebelas Pesepakbola yang Meninggal di Lapangan

    SEPAKBOLA, olahraga keras. Cedera dapat membuat pemain meninggalkan lapangan dan absen dalam waktu cukup lama. Bahkan, tak jarang pemain yang meninggal di rumput hijau karena serangan jantung atau benturan keras. Seperti yang dialami kiper senior Persela Lamongan, Choirul Huda, kala melawan Semen Padang di Liga Indonesia, Minggu (15/10/2017). Choirul Huda bukan satu-satunya pesepakbola Indonesia yang meninggal di lapangan. Berikut ini sebelas pesepakbola yang tutup usia di lapangan: empat pesepakbola Liga Indonesia dan tujuh pesepakbola yang bermain di klub elite Eropa. Eri Irianto Sepakbola nasional berduka untuk kematian Eri Irianto pada 3 April 2000. Gelandang Persebaya Surabaya dan mantan pilar timnas Indonesia itu tutup usia gara-gara penyakit jantung di usia 26 tahun. Pemain yang terkenal dengan tendangan geledeknya itu sebelumnya terlibat kontak fisik cukup hebat dengan pemain lawan, Samson Kinga dari PSIM Yogyakarta. Eri yang dalam keadaan pingsan segera dilarikan ke Rumah Sakit dr. Soetomo, namun dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Jumadi Abdi Jumadi Abdi mengawali karier profesionalnya bersama Persiba Balikpapan pada 2001. Delapan tahun setelah debut, dia kembali ke Kalimantan memperkuat PKT Bontang. Dia tutup usia setelah insiden dengan pemain lawan, pada 7 Maret 2009. Menurut Desi Saraswati dan Jho Juanda dalam 365++ Fakta Sepakbola , pemain gelandang berusia 26 tahun itu kena tendangan pemain Persela Lamongan, Denny Tarkas di bagian perut. Denny didamprat wasit dengan kartu kuning, sementara Jumadi digotong keluar lapangan. ESPN, 15 Maret 2009, melaporkan setelah insiden itu Jumadi tak bisa mencerna makanan selama dua hari. Dokter mendiagnosis terdapat luka dan infeksi organ dalam. Di tengah-tengah operasi, dia koma dan meninggal pada 15 Maret 2009, sebulan sebelum pernikahannya pada 5 April 2009. Sekou Camara Abdoulaye Sekou Camara yang dijuluki “McCarthy” menambah daftar pesepakbola Liga Indonesia yang tinggal nama di lapangan. Bedanya dengan Eri Irianto atau Jumadi Abdi, bomber berpaspor Mali itu tutup usia setelah latihan dengan rekan-rekan setimnya di Pelita Bandung Raya (PBR) pada 27 Juli 2013. Sekou Camara tiba-tiba tumbang. Ofisial PBR segera melarikannya ke rumah sakit terdekat. Nahas, nyawanya tak tertolong dan mengembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan ke rumah sakit karena serangan jantung. Usianya saat itu baru menginjak 27 tahun. Akli Fairuz Kemelut berbuah maut. Gara-gara terjadi scrimmage di mulut gawang lawan, Akli Fairuz, pemain Persiraja Banda Aceh, dihantam kaki kiper PSAP Sigli. Sama halnya dengan Jumadi Abdi, Akli Fairuz lantas meninggal karena luka organ dalam. Tragedi ini sampai-sampai disoroti beberapa media asing. Salah satunya The Mirror yang menurunkan tulisan berjudul “Indonesian Premier League Footballer Dies Days After Suffering Horror Tackle” pada 19 Mei 2014. Media asal Inggris itu mengungkapkan kronologisnya, di mana saat terjadi kemelut di depan gawang PSAP Sigli, Fairuz melompat untuk merebut bola. Di saat bersamaan, kiper PSAP, Agus Rahman juga menerkam dan kakinya menghantam perut Fairuz. Meski sudah dibawa ke rumah sakit untuk dioperasi, Fairuz meninggal karena pendarahan organ dalam. Joe Powell Dalam sejarah Arsenal, yang di abad ke-19 masih bernama Woolwich Arsenal, Joseph “Joe” Powell salah satu kapten termuda berusia 23 tahun. Namun, apesnya pada 1896 tidak hanya karier yang berakhir, hidup mantan tentara Inggris dari South Staffordshire Regiment itu juga tamat ketika baru menginjak usia 26 tahun. Dalam Woolwich Arsenal FC 1893-1915: The Club That Changed Football karya Tony Atwood, Andy Kelly dan Mark Andrews, disebutkan pada 23 November 1896 Joe Powell terjatuh dalam suatu insiden dan mengalami cedera patah tulang lengan dalam laga United League kontra Kettering Town. Cederanya menyebabkan tetanus dan keracunan darah. Lengannya sempat diamputasi, namun kondisinya tetap menurun hingga meninggal dalam perawatan pada 29 November 1896. David “Di” Jones Pesepakbola Liga Inggris lainnya yang juga harus tutup usia setelah bermain adalah David “Di” Jones. Dia bermain sebagai bek sayap Manchester City berusia 35 tahun yang juga pemain timnas Wales. Infeksi tetanus juga menjadi penyebab kematiannya pada 27 Agustus 1902. Gary James dalam Manchester: A Football History menulis bahwa Di Jones terjatuh dan mengenai sebuah kaca dalam pertandingan pramusim pada 17 Agustus 1902. Lukanya menimbulkan infeksi dan tetanus hingga keracunan darah. Sepuluh hari setelah perawatan, Di Jones menghembuskan napas terakhirnya. Thomas Blackstock Kejadian aneh nan tragis dialami Thomas Blackstock, bek Manchester United pada 8 April 1907. Blackstock kolaps dan tersungkur tidak bergerak setelah menyundul bola dalam laga pramusim melawan St. Helens Recs. Tim medis segera menggotongnya ke ruang ganti. Tetapi alangkah terkejutnya para pilar Manchester United ketika masuk ruang ganti setelah laga dan mengetahui Blackstock sudah dibawa ke rumah mayat Mill Street. Mark Metcalf dalam Manchester United: 1907-1911 menguraikan, Blackstock dinyatakan meninggal secara alami. Pernyataan itu membuat keluarganya tak mendapat kompensasi apapun dari manaemen The Red Devils. Bob Benson Saat Perang Dunia I masih berkecamuk, Robert William “Bob” Benson sebenarnya memilih keluar dari dunia sepakbola untuk menjadi buruh di sebuah gudang peluru. Tapi pada 19 Februari 1916, pemain bek sayap itu tampil secara sukarela demi menggantikan sahabatnya, Joe Shaw yang tak bisa bermain untuk Woolwich Arsenal (kini Arsenal FC) melawan Reading dalam laga London Combination. Akibatnya fatal. Pasalnya hampir setahun Benson tak bersentuhan dengan bola dan fisiknya belum kembali terbiasa. Di babak kedua, Benson kolaps di lapangan dan kemudian tutup usia di ruang ganti dalam pelukan pelatih George Hardy. Dalam Arsenal Who’s Who, Jeff Harris dan Tony Hogg menyebut Benson dinyatakan meninggal karena pecah pembuluh darah. Benson dimakamkan dengan seragam The Gunners dan tiga bulan berselang diadakan laga Arsenal vs Rest of London XI untuk menghormati Benson. Pavao Angka keramat 13 memicu tragedi untuk gelandang FC Porto, Fernando Pascoal Neves atau biasa disapa Pavao. Pesepakbola kelahiran Chaves, Portugal itu meninggal karena serangan jantung di usia 26 tahun. Donn Risolo dalam Soccer Stories: Anecdotes, Oddities, Lore and Amazing Feats menyebut bahwa Pavao kena serangan jantung hingga tumbang di lapangan pada menit ke-13 dan pertandingan ke-13 di Liga Portugal musim 1973-1974. Ketika itu, Porto tengah melawan Setubal di Stadion Estadio das Antas pada 16 Desember 1973. Renato Curi Setelah meniti karier bersama Giulianova dan Como, Renato Curi mengalami masa jayanya bersama Perugia yang lantas jadi klub terakhirnya. Pasalnya ketika kariernya sedang di puncak pada usia 24 tahun, gelandang kelahiran Montefiore dell’Aso itu meninggal karena serangan jantung, ketika melakoni laga melawan Juventus pada 30 Oktober 1977. Curi terkena serangan jantung dan tumbang di lapangan ketika pertandingan babak kedua baru berjalan lima menit. “Stadion (milik Perugia) kemudian menggunakan namanya (Renato Curi) demi mengenang jasanya,” tulis Adam Digby dalam Juventus: A History in Black and White . Jose Antonio Gallardo Portero (kiper) Malaga yang mentas di Liga Spanyol itu sudah tutup usia di umur 25 tahun. Gallardo meninggal dalam perawatan setelah bertabrakan dengan ariete (penyerang) Celta Vigo, Baltazar Maria de Morais Junior, 21 Desember 1986. Surat kabar El Pais, 16 Januari 1987, mengabarkan Gallardo sempat pingsan hingga dibawa ke rumah sakit terdekat. Tiga jam kemudian siuman dan pulih dari kondisi kritis. Meskipun demikian dia tetap mengalami luka cukup serius di wajah dan menderita hilang ingatan. Setelah ditransfer ke Rumah Sakit Carlos Haya di Kota Malaga, Gallardo justru mengalami koma dan tidak lama kemudian mengalami pendarahan otak. Nyawanya tak tertolong dan dokter menyatakan kematiannya pada 15 Januari 1987.

  • Pangeran Diponegoro Hulunya Gerakan Kemerdekaan

    ANIES Baswedan resmi menjabat gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Anies punya perhatian khusus kepada beberapa tokoh sejarah di negeri ini. Alih-alih menyebut “idola” dia lebih senang menyebutnya dengan “orang-orang yang dia perhatikan dengan saksama.” Ada beberapa yang dia perhatikan betul segala tindak-tanduknya sejak kecil. Salah satu tokoh sejarah yang mencuri perhatiannya adalah Pangeran Diponegoro. Pangeran yang bernama asli Mustahar dan sejak kecil menyandang nama Raden Mas Antawirya itu terkenal karena mengobarkan Perang Jawa (1825-1830). Perang lima tahun itu telah menyebabkan Belanda kehabisan akal dan nyaris membuat Belanda jatuh bangkrut. Frustasi menghadapi gempuran-gempuran Pangeran Diponegoro, Belanda menyusun siasat licik: mengundang Diponegoro untuk berunding. Tanpa curiga Diponegoro datang memenuhi undangan Belanda ke Magelang. Namun Belanda mengkhianati Diponegoro, menangkapnya saat perundingan sedang berjalan. Penangkapan Diponegoro sekaligus menandai berakhirnya Perang Jawa. Berikut ini kutipan obrolan Historia dengan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu tentang sosok tokoh sejarah yang diakrabinya. Kapan pertama kali bersentuhan dengan kisah Pangeran Diponegoro? Saat saya kecil, ada pengurus masjid di Kulon Progo datang ke rumah di Yogyakarta meminta bantuan untuk membangunkan sumur. Bapak (Rasyid Baswedan, alm.) dan ibu (Aliyah Ganis) menelpon ke Jakarta siapa yang mau menyumbang sumur. Ketika sumur sudah jadi, kami ke sana. Dan, di sebelah barat masjid itu ada makam yang tak pernah bertambah. Ternyata, itu makam laskar Sentot Prawirodirjo. Saya tak tahu siapa Sentot, sampai saya menonton film November 1928 . Lalu, saat SMA saya sering mampir ke Padepokan Diponegoro di Tegalrejo, kebetulan dekat dengan lokasi sekolah saya, SMAN 2 Yogyakarta. Sering mampir, apakah Anda juga pernah napak tilas jejak perjuangan Diponegoro? Ya. Saya juga ke beberapa tempat yang dulu menjadi tempat pertempuran, seperti di Kulon Progo dan Sentolo. Saya pernah pula naik motor ke Magelang, ke lokasi penangkapan Diponegoro. Bahkan ketika ke Makassar pun saya akan berhenti di Rotterdam. Saya perhatikan persis setiap cerita. Kebetulan pernah membaca juga Babad Diponegoro. Seberapa sering Anda memikirkan Diponegoro ini? Sering sekali, sampai-sampai saya pernah ingin menamai putra saya dengan Ahmad Diponegoro. Hampir. Tapi, setelah diskusi panjang dengan istri, nama itu berat sekali. Apa yang membuat Anda begitu memerhatikan Pangeran Diponegoro? Sederhana saja, bagaimana ada orang bisa melancarkan pergolakan melawan Belanda sampai Belanda bangkrut. Ya, sampai bangkrut. Gara-gara Diponegoro-lah muncul sistem tanam paksa. Akibat tanam paksa apa yang terjadi? Politik etis. Akibat politik etis apa? Orang pada sekolah. Akibat sekolah apa? Kemerdekaan. Selanjutnya sih tak perlu dijelaskan, karena sudah terang. Jadi, Diponegoro itu hulunya kemerdekaan bangsa kita. Dia membawa efek sangat luar biasa dalam perjalanan bangsa kita. Yang menarik, dia bisa mengajak banyak orang terlibat, meskipun mereka bukan prajurit Sultan.*

  • Skandal Memalukan Chile demi Piala Dunia

    CHILE boleh berbangga menjadi dua kali pemegang gelar Copa America dalam dua edisi terakhir. Mengangkangi beberapa tim besar Amerika Latin macam Brasil dan Argentina. Sayangnya, Chile justru nelangsa karena gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Padahal La Roja (julukan timnas Chile) salah satu tim Amerika Latin yang punya tradisi baik di pentas Piala Dunia. Mereka mulai debutnya di Piala Dunia pertama pada 1930. Bahkan, ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia 1962, Chile berhasil menjadi juara ketiga. Kekecewaan Alexis Sanchez Cs. saat ini mungkin hampir sama dengan kegagalan mereka tampil di Piala Dunia 1990 di Italia. Chile gagal melaju ke Piala Dunia gara-gara skandal memalukan portero (kiper) andalannya, Roberto Rojas. Pada laga kualifikasi, Chile mesti melakoni partai hidup mati melawan Brasil. Kans mereka tipis terlebih harus bertandang ke markas Selecao (julukan Brasil), Estadio do Maracana di Rio de Janeiro, pada 3 September 1989. Setelah interval pertama menghasilkan skor kacamata (0-0), Brasil memecah kebuntuan lewat gol pembuka Antonio “Careca” de Oliveira Filho saat babak kedua baru berjalan empat menit. Seiring Chile berusaha menyamakan skor, tiba-tiba laga memanas hingga pendukung tuan rumah melemparkan segala macam benda ke lapangan, termasuk ke belakang gawang Rojas. “Kembang api milik seorang pendukung Brasil bernama Rosemary de Mello meluncur ke gawang Chile. Tak seorang pun (sebenarnya) yang melihat kembang api itu mengenai penjaga gawang Chile,” ungkap Owen A. McBall dalam Football Villains . Kiper andalan berjuluk Condor itu tersungkur sambil meringis dan menutupi wajahnya. Rekan-rekan setim Rojas segera menggotong tubuhnya ke luar lapangan tanpa menunggu tim medis pembawa usungan. Pada sorotan kamera televisi, nampak wajah Rojas berlumuran darah. Kapten timnas Chile, Fernando Astengo, meluapkan protes dengan mengomando tim dan ofisial untuk mogok bermain. Bujukan wasit Juan Carlos Loustau asal Argentina gagal meyakinkan Chile untuk melanjutkan pertandingan. Laga pun terpaksa dihentikan. FIFA lantas menggulirkan investigasi. Di sisi lain, publik Chile ikut panas. “Bersamaan dengan diajukannya permohonan pihak Chile ke FIFA untuk menggelar pertandingan ulang dengan Brasil di tempat netral, Chile dilanda suasana anti-Brasil. Salah satu headline koran di (ibukota Chile) Santiago berjudul ‘Perang Telah Dimulai’. Sementara beberapa pendukung Chile melempari kantor Kedutaan Besar Brasil di Santiago,” lanjut Owen. Hasil investigasi FIFA mengejutkan banyak pihak. FIFA memutuskan Brasil menang dengan skor 2-0. Sedangkan Rojas didamprat sanksi larangan berkarier dalam sepakbola seumur hidup. Begitu pula dengan Astengo sebagai kapten tim, dokter tim serta entrenador (pelatih) Orlando Aravena. Keputusan ini diambil FIFA setelah memeriksa rekaman video dan mewawancarai para pemain lainnya. “Selama beberapa bulan, Rojas selalu membantah bahwa dia melukai diri sendiri. Namun lama kelamaan dia menyadari dan mengakui rekayasa itu pada Mei 1990,” tulis Fernando Fiore dalam World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Kostya Kennedy dalam artikelnya, “The Fall of the Condor: Chile’s National Disgrace,” The New York Times, 14 November 1993, menyingkap bahwa insiden itu merupakan rekayasa yang sudah disiapkan Rojas dan hanya diketahui Astengo dan Aravena. Sebelum pertandingan, Rojas sudah menyimpan sebilah mata pisau di balik sarung tangan kirinya. Kebetulan saat terjadi insiden pelemparan flare (kembang api) ke lapangan, Rojas sengaja menjatuhkan diri dan langsung didatangi Astengo. “Di mana siletnya?” tanya Astengo kepada Rojas dalam artikel tersebut. “Di (balik) sarung tangan kiri saya,” jawab Rojas. Segera Rojas diam-diam mengambil dan menyiletkannya ke pelipis kiri. Dikiranya dengan begitu tim Samba akan didiskualifikasi FIFA dan Chile otomatis melaju ke Piala Dunia 1990. Sayangnya, itu tak terjadi justru Rojas beserta Astengo dan Aravena disanksi seumur hidup. Chile juga dilarang ikut Piala Dunia berikutnya pada 1994 di Amerika Serikat. Sanksi terhadap Rojas dicabut pada 2001. “Rojas telah diberikan amnesti dan berlaku mulai sekarang,” tutur juru bicara FIFA saat itu, Andreas Herren, dikutip CBC Sports , 30 April 2001.

  • Cenderawasih, Si Burung Surga dalam Bahaya

    ALFRED Russel Wallace, naturalis kebangsaan Inggris takjub saat kali pertama menyaksikan burung cenderawasih ( Paradisaeidae ). Pada 1860, Wallace mengadakan ekspedisi ke pulau Waigiou (Waigeo, red ), Papua untuk meneliti keadaan alam di sana. Dalam amatannya, burung ini memiliki bulu yang indah bila dibandingkan dengan kelompok burung lainnya. Keindahan bulu cenderawasih, terutama warna kekuningan dari sayap yang menjuntai, tidak dapat disamai oleh burung lain, kecuali barangkali oleh burung-burung pekicau. “Tapi tetap tidak ada yang melampaui keindahan cenderawasih. Saya adalah satu-satunya orang Inggris yang telah melihat keindahan burung ini di hutan asalnya,” kata Wallace dalam mahakaryanya Kepulauan Nusantara yang berjudul asli The Malay Archipelago . Paling tidak, menurut Wallace , ada 50 spesies cenderawasih yang telah diketahui. Sebanyak 40 spesies terdapat di Papua. Di wilayah ini pula jenis-jenis cenderawasih yang berbulu indah tersebar. Di era kurun niaga, para pedagang Eropa yang menyinggahi Maluku untuk mencari cengkeh dan pala, kerap menerima hadiah dari penduduk lokal berupa cenderawasih yang telah diawetkan. Wallace mencatat, saudagar-saudagar Melayu menamainya “Manuk Dewata” atau burung dewa. Orang-orang Portugis, karena cenderung melihat cenderawasih yang diawetkan tanpa kaki dan sayap, serta tak mempelajarinya secara langsung, menamakannya passaros de sol atau burung matahari. Karena keindahannya, ada mitos yang kian menambah daya pikat cenderawasih. Konon, cenderawasih jarang menjejak kaki ke bumi. Ia lebih sering terbang di udara atau hinggap di dahan pohon hingga mati berkalang tanah. Inilah yang membuat cenderawasih berjuluk si burung surga ( bird of paradise ). Sementara bagi beberapa sub suku Papua, burung cenderawasih melambangkan sifat suci yang kerap dijadikan sesembahan dalam ritus adat. Tak pelak, hewan ini menjadi sumber daya alam yang begitu berharga di Papua sekaligus mangsa buruan. Wanita Eropa mengenakan bulu burung cenderawasih sebagai bagian dari mode. Foto: Muller, 2008 Sebagai komoditas dagang, perburuan cenderawasih mulai marak di abad 19. Di Sungai Digul, Merauke, Papua bagian selatan, pemerintah kolonial sengaja membuka lahan hutan untuk perburuan cenderawasih. Kebijakan yang digagas asisten residen L.M.P. Plate sebagai ikhtiar meningkatkan kas daerah melalui pemungutan pajak. Sebagaimana dicatat sejarawan Rosmaida Sinaga dalam Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digul , para pemburu cenderawasih diizinkan memasuki wilayah itu. “Para pemburu burung cenderawasih diwajibkan membayar pajak kepada pemerintah,” tulis Rosmaida dalam artikelnya “Tanah Merah, Boven Digul: Kota Pemerintahan dan Kamp Interniran pada Masa Kolonial.” Pemburu cenderawasih kebanyakan berasal dari kaum pendatang. Di Papua kawasan selatan, pemerintah kolonial kerap kali dipusingkan dengan aksi perburuan liar tukang-tukang pasang. Tukang pasang adalah istilah yang dipakai pemerintah kolonial untuk orang etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai pemburu cenderawasih. Sedangkan di tepi pantai utara Papua, pemburuan cenderawasih dilakoni oleh pendatang asal Buton, Sangir, Ternate, dan Tidore. Des Alwi dalam Sejarah Maluku mencatat, bulu burung cendrawasih yang dijajakan di pasar-pasar kota di Maluku adalah hiasan yang teramat mahal. Tubuh burung itu juga dikeringkan sebagai hiasan pajangan. Secara ekonomi, perdagangan cenderawasih dianggap sangat menguntungkan kawasan timur pemerintah Hindia Belanda. Misalnya pada 1912, sebanyak 30.000 ekor cenderawasih senilai sejuta gulden telah diekspor dari Manokwari dengan pajak ekspor sebesar 100.000 gulden. Produk olahan cenderawasih terutama bulunya laku keras di pasar Eropa dan digunakan untuk kebutuhan mode busana. Eksploitasi besar-besaran terhadap cenderawasih ternyata membawa masalah baru. Kerusakan alam adalah efek yang ditimbulkan di samping menyusutnya populasi cenderawasih di ambang kepunahan. Pemburu cenderawasih yang dengan senjata apinya telah membuat hutan-hutan tak aman. Dalam buku Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H. Kooders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia karya Panji Yudhistira, selama periode 1898-1908 terjadi pertarungan ide antara keinginan untuk melindungi satwa burung di satu sisi, dengan keinginan mempertahankan perdagangannya di sisi lain. Pada 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan keputusan yang melarang perburuan burung cenderawasih. Pun demikian dengan burung lainnya seperti kasuari, mambruk, dan merpati mahkota. Meski demikian, perburuan dan perdagangan liar tetap mengancam cenderawasih. Ia kadung kesohor sebagai burung surga. Menurut World Wildlife Fund (WWF) Papua, antara 1900-1930-an penjualan cenderawasih mencapai 10.000-30.000 ekor per tahun. Dari 1820 Hingga 1938, total penjualan burung cenderawasih ke seluruh Eropa ditaksir kurang dari 3 juta ekor. Pada 1990, pemerintah Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1990 menetapkan cenderawasih sebagai satwa yang dilindungi. Sementara itu, data terbaru Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) yang dikeluarkan tahun 2014, memasukan cenderawasih ke dalam daftar merah dengan kategori rentan yang berarti: menghadapi resiko punah di alam liar di waktu mendatang.

  • Mencari Museum yang Mendidik

    IRAMA lagu dangdut mengalun di sisi barat Museum Kereta Api Ambarawa, Kabupaten Semarang. Rupanya, pengelola museum membuat panggung kecil untuk memberi hiburan kepada para pengunjung selama dua hari ini, 14-15 Oktober 2017, dalam rangka menyemarakkan Hari Museum setiap 12 Oktober. Sebagian besar pengunjung tampak berkerumun, menikmati suguhan lagu, sembari menunggu giliran naik kereta api wisata dari stasiun Ambarawa ke stasiun Tuntang. Di sisi yang lain, sesela lokomotif-lokomotif tua, beberapa anak muda usia SMP berseragam kaos kuning, nampak bergerombol. Mereka menikmati paparan sejarah dari seorang ahli perkeretaapian Indonesia, Tjahjono Rahardjo. Lokasi museum Kereta Api Ambarawa merupakan titik pertemuan antara jalur dengan lebar kereta 1.435 mm ke arah Kedungjati dengan jalur lebar kereta 1.067 mm ke arah Yogyakarta via Magelang. Museum ini berdiri pada 6 Oktober 1976 untuk menyimpan lokomotif uap, ketika jalur rel 1.435 mm ditutup. “Dari kunjungan ini ada hal baru yang saya ketahui, seperti masih adanya kereta uap yang sampai sekarang masih beroperasi. Dari Ambarawa ke Jambu. Dan ada pula kereta wisata yang hanya melayani dari Ambarawa ke Tuntang. Dan gerbongnya lucu. Tua gitu,” ujar Hosea Adi Prasetyo, siswa kelas 7 SMP Masehi PSAK Ungaran. Hosea tak sendiri. Ia bersama sekira 30-an siswa dari beberapa SMP di Kabupaten Semarang sedang mengikuti Lomba Detektif Sejarah yang dihelat Paguyuban Citra Bawana Lestari, museum Kereta Api Ambarawa. “Membuat event seperti Lomba Detektif Sejarah ini bagus. Artinya ada animo kuat dari masyarakat untuk mengetahui museum-museum yang ada di sekitarnya. Nah sekarang tugas saya dan teman-teman di museum kereta api khususnya, untuk bisa memberikan yang lebih menarik, tidak membuat bosan,” ujar Tjahjono Rahardjo. Jika Hosea yang baru berkunjung ke museum kereta api baru pertama kalinya, hal berbeda diungkapkan pengunjung museum KA yang sudah beberapa kali kesana. “Ya membosankan. Gak ada hal baru. Ini karena mengajak anak saja kesini yang selalu pengen naik kereta wisata,” ujar Ratih Hapsari, pengunjung dari Semarang. Ujaran Ratih itu seperti diaminkan oleh Tjahjono Rahardjo. Ia melihat banyak musum kurang atraktif, sehingga sepi pengunjung. “Dalam suasana sekarang ini, yang biasa dengan gawai dan internet, agak susah jika mengajak atau meminta mereka datang ke museum. Apa sih museum itu, barang-barang tua, dengan sedikit teks keterangan. Ini tidak menarik. Tidak hidup,” ujar Tjahjono Rahardjo, pengajar di Universitas Katholik Soegijapranata kepada Historia . Menurutnya, pengelola museum sekarang harus dituntut kreatif, jika ingin menjaring pengunjung dari kalangan muda. “Ada satu pengalaman saya saat ke museum kereta api terbesar di dunia, di York, Inggris. Disana terdapat atraksi di salah satu koleksi museum itu. Jadi di depan satu koleksi, ada seorang dengan busana yang ada sejaman dengan koleksi tersebut. Nah dia mendongeng. Tidak kaku, tapi dengan bahasa populer. Bukan hanya anak muda yang tertarik, tapi saya pun yang sudah berumur ini, juga tertarik,” ujar anggota Indonesian Railway Preservation Society sejak 2006 ini. Tjahjono memberi apresiasi besar terhadap animo masyarakat untuk berkunjung ke museum. Namun ia menyayangkan, pihak museum seperti belum siap. “Di sini banyak koleksi yang bagus ya, namun seperti bisu. Jadi ya pengunjung yang datang hanya mendapatkan hiburan atau rekreasi semata, belum pada taraf edukatif,” pungkas Tjahjono.

  • Mengapa Baret Marinir Berwarna Ungu?

    STEVEN masih ingat kejadian pagi itu. Kala rusuh melanda Jakarta pada 14 Mei 1998, ia terjebak di tengah massa yang sedang beringas di kawasan Jalan Hayam Wuruk. Saat lelaki Tionghoa itu dilanda kebingungan, tetiba sekelompok orang mengepungnya lalu melontarinya dengan berbagai pukulan. “Untunglah dalam kondisi kritis itu, dua tentara berbaret ungu menembakan senjatanya ke udara hingga membuat massa kabur. Mereka lalu mengamankan saya,” kenang pedagang berusia 45 tahun tersebut. Dua tentara berbaret ungu itu tak lain adalah anggota Korps Marinir, salah satu kesatuan elite TNI AL. Lahir dari rahim revolusi Indonesia pada 15 November 1945, Korps Marinir dalam perkembangannya selalu terlibat dalam berbagai operasi tempur dan operasi kemanusiaan yang diadakan oleh TNI AL. “Seperti kesatuan elite lain, sejarah kami adalah suatu sejarah tentang pengabdian tanpa batas untuk negara ini…” ujar Krisna Rubowo, pensiunan marinir berpangkat kolonel. Namun tahukah anda, mengapa salah satu kesatuan elite tertua di Indonesia itu memilih ungu sebagai warna baretnya? Menurut buku Korps Komando AL dari Tahun ke Tahun , dipilihnya warna ungu karena dua hal. Pertama, ungu adalah salah satu warna selendang Nyai Roro Kidul, yang dalam mitologi Jawa merupakan penguasa samudera Indonesia. Selendang ungu milik Sang Ratu Pantai Selatan itu dipercaya sangat ampuh dalam memberikan perlindungan dan pengamanan. Kedua, ungu baret Korps Marinir juga diilhami dari warna bunga Bougenville yang telah gugur sebelum layu. “Ini juga melambangkan pengabdian seorang prajurit Korps Marinir dalam mempertahankan dan memelihara keutuhan negara,” tulis karya yang dibuat oleh Bagian Sejarah KKO-AL (nama lama Korps Marinir) itu. Sejarah juga mencatat, warna ungu dipakai kali pertama oleh Korps Marinir (saat masih bernama KKO AL) berupa pita sebagai kode pengaman pada 1958. Ketika itu pasukan Korps Marinir terlibat dalam Operasi 17 Agustus, suatu aksi militer menumpas pembangkangan PRRI (Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia) di Sumatera Barat. Baru pada 1961, Korps Marinir mengabadikan warna ungu bagi baretnya, tepat saat Batalyon I KKO AL terlibat dalam Operasi Alugoro di Aceh.

  • Selalu Dikira Tentara Belanda

    Kalapa Nunggal, Cianjur 1947. Hari menjelang siang, ketika seorang penduduk secara tergopoh-gopoh datang ke pos TNI setempat.Kepada Prajurit Satibi, ia lantas melaporkan bahwa di ujung desa dua serdadu Belanda tengah menuju ke arah mereka. Dilapori demikian, tentu Satibi panik. Ia lantas memberitahukan kawan-kawan satu seksinya untuk bersiap di titik-titik strategis. “Kami tidak menyangka tentara Belanda bisa menemukan posisi kami yang ada di pelosok terpencil,” kenang Satibi (90) kepada Historia . Setengah jam telah berlalu, namun dua tentara Belanda itu tak juga menampakan batang hidung mereka. Namun baru saja pasukan kecil itu akan beranjak, tiba-tiba di persimpangan jalan muncul dua lelaki berpakaian khaki. Mereka lantas kembali ke posisi semula dan siap akan menembak, jika lelaki itu tak segera berteriak:“Heh kalian itu kenapa? Di sini saya Kawilarang, komandan TNI!” ujarnya. Ternyata, orang yang dikira serdadu Belanda itu tak lain adalah Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang, komandan Batalyon Suryakencana Divisi Siliwangi, yang sekilas memang mirip orang Belanda karena memiliki kulit putih dan perawakan tinggi tegap. Kawilarang berperan dalam menggagas pasukan komando yang kemudian menjadi Kopassus. Soal disangka sebagai tentara Belanda ini memang kerap dialami lelaki Minahasa itu. Dalam biografinya yang ditulis oleh Ramadhan K.H.,  Untuk Sang Merah Putih , Kawilarang berkisah bagaimana saat ditugaskan ke Sumatra Utara, penduduk setempat tak jarang langsung ketakutan saat melihat sosoknya. Bahkan dikisahkan, dia pernah ditembaki kawan sendiri saat berpatroli di suatu kawasan hutan. Di Garut pada 1947, Letnan Muda Soedarja pernah melakukan aksi tutup mulut terhadap Kawilarang. Ceritanya, saat berjaga di suatu kawasan desa, ia dipergoki oleh seorang “tentara Belanda” dan ajudannya. “Dia menanyakan kepada saya: di mana Nasution? Saya mau bertemu dengannya?” kenang lelaki kelahiran Sumedang 91 tahun lalu itu. Sebagai perwira intelijen yang mengawal Jenderal Mayor A.H. Nasution (Panglima Divisi I Siliwangi), Soedarja tentu saja waswas dengan pertanyaan itu. Alih-alih terus terang, dia malah memilih diam seribu bahasa. Di tengah situasi menegangkan itu, tiba-tiba muncul seorang kapten yang mengenal wajah Kawilarang. “Letnan kenapa tidak cepat langsung mengantarkan Overste Kawilarang kepada panglima?!” ujar kapten itu dalam nada marah. Namun sebelum Soedarja menjawab, Kawilarang cepat mafhum bahwa dirinya dikira tentara musuh. Dia lantas meredakan amarah sang kapten. “Bukan salah dia Kep, saya tahu dia hanya mau melindungi panglimanya,” ujar Kawilarang. Sebelum meninggalkannya untuk bertemu Nasution, Soedarja masih ingat, Kawilarang menepuk-nepuk bahunya sambil berkata: “Bagus kamu!”

  • Ketika Yani Akan Menangkap Nasution

    KSAD Jenderal TNI Nasution mencalonkan Mayjen TNI Gatot Soebroto sebagai penggantinya, namun ditolak Presiden Sukarno. Nasution kemudian mengusulkan deputi operasinya, Mayjen TNI Ahmad Yani. Nasution menganggap Yani memiliki beberapa kelebihan. “Dia telah memperoleh reputasi yang baik ketika memimpin pasukan dan dengan mudah menupas pemberontakan PRRI tahun 1958, dan sebagai seorang antikomunis yang keras, mendapat kepercayaan Nasution dan korps perwira umumnya,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia . Kepemimpinan Yani dianggap dapat melanjutkan peran AD dalam membendung pengaruh PKI yang semakin besar memasuki dekade 1960-an. Dengan pembawaan diri yang luwes, Yani diyakini dapat mengambil hati Sukarno dan berangsur-angsur mempengaruhinya untuk mengerem laju komunis yang kian cepat. Sukarno sendiri mengenal Yani dengan baik. Selain berprestasi, Yani bekerjasama dengan Sukarno selama di KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Menurut Crouch meskipun Yani menentang keras kebijakan Sukarno terhadap PKI, tetapi gayanya berbeda dengan Nasution. Sebagai seorang Jawa, dia cenderung memperlakukan Sukarno sebagai “bapak” yang bisa saja bertindak salah tetapi tidak boleh ditentang secara terbuka. Sehingga, dia lebih mudah menjadi bagian dari lingkungan Sukarno. Sukarno menerima usul Nasution. Yani resmi menjabat KSAD pada 23 Juni 1962. Sesuai harapan Nasution dan banyak perwira, Yani tetap dapat menjaga independensi politik AD sekaligus mengambil hati presiden. Bahkan, Yani menjadi kesayangan Sukarno. Namun, kedekatan Yani dan Sukarno membuat hubungannya dengan Nasution menjauh. Mereka semakin banyak pertentangan kecuali melawan PKI. Penggantian beberapa panglima kodam mengecewakan Kubu Nasution. Selain itu, Nasution dan para perwira menengah yang hidup sederhana prihatin dengan gaya hidup glamor Yani dan beberapa jenderal di sekelilingnya. Yani lebih cenderung masuk ke dalam Istana ketimbang AD. Menurut Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dalam Kesaksianku Tentang G-30-S , hal itu memang yang diinginkan Sukarno dari pengangkatan Yani. “Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari presiden agar membatasi desakan kubu Nasution terhadap pemerintah,” kata Soebandrio. Namun, konflik Yani dan Nasution baru terjadi ketika Dwikora yang oleh Nasution dinilai sebagai momen penting untuk menunjukkan peran politik dan kesetiaan AD terhadap negara. Meski sudah tak punya wewenang komando, Nasution nekat mengorganisasi kegiatan anti-Malaysia di Kalimantan untuk menarik simpati rakyat kepada AD sekaligus mengungguli PKI dan BPI (Badan Pusat Intelijen) di bawah Soebandrio. Nasution bahkan memerintahkan Panglima Kalimantan Kolonel Hassan Basri mengirim pasukan ke Kalimantan Utara untuk operasi-operasi intelijen. Perbuatan Nasution jelas menyalahi aturan. “Yani sangat marah dengan tindakan Nasution yang melangkahi jalur komando itu, dan dia mulai menyabot kebijaksanaan Indonesia terhadap Malaysia,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI . Namun, sepulang dari Filipina, hubungan Yani dengan Nasution kembali pulih. Konflik Yani dengan Nasution semakin keras ketika lembaga pemberantasan korupsi yang dipimpin Nasution, Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) semakin dalam masuk ke dalam SUAD (Staf Umum AD). Namun, Yani tak frontal melawan karena presiden turun tangan bahkan membubarkan Paran dan menggantinya dengan Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi). Toh, AD tetap solid tapi hanya untuk melawan PKI. Dalam hal lain, AD tidak pernah benar-benar solid. Pada awal 1965, kentara ada dua kubu yang saling bersaing dalam AD: faksi Yani dan Na-To (Nasution-Soeharto). Keduanya berbeda sikap dalam menghadapi Sukarno, yang kala itu dekat dengan PKI. Na-To tak suka Yani dan jajarannya yang terlalu mengikuti tabuhan genderang presiden, sementara Yani tak suka kekakuan Nasution dalam berpolitik. Perbedaan itulah, menurut Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto , yang membawa konflik keduanya ke puncak. Pada akhir 1964, Yani menarik pasukan dari Mabad (Markas Besar AD) yang menjaga rumah Nasution. Mengetahui panglima pertama Siliwangi diperlakukan seperti itu, Pangdam Ibrahim Adjie –yang sama-sama antikorupsi dan pernah bekerjasama dengan Nasution dalam Operasi Budhi– langsung mengirimkan satu pleton pasukannya untuk mengawal rumah Nasution. Yani juga memarahi Letkol Muchlas Rowi, salah seorang komandan batalyon di Kodam Brawijaya karena kedapatan menjalankan perintah Nasution tanpa sepengetahuannya selaku panglima AD. “Padahal, waktu itu Jenderal Rowi sudah dimutasikan dari Mabes Angkatan Darat ke Kantor Menko Hankam/KSAB Nasution,” tulis Salim Said. Pada awal 1965, ketegangan semakin meningkat. Yani mengambil keputusan keras. “Pada suatu hari Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani memerintahkan Mayor Jenderal TNI Suprapto, salah seorang deputinya –kemudian lebih dikenal sebagai salah seorang Pahlawan Revolusi– menangkap Jenderal Nasution,” tulis Salim Said. Perintah itu dimaksudkan Yani untuk menunjukkan loyalitasnya kepada Sukarno. Meski tak menyebar ke khalayak, kabar perintah itu sampai ke kubu Nasution. Brigjen TNI Abdul Kadir Besar, salah seorang perwira di kubu Nasution, mengatakan bahwa kubunya telah menyiapkan senjata untuk menghadapi konflik fisik bila Nasution ditangkap. Pasukan Siliwangi yang dikirm Adjie untuk menjaga rumah Nasution pun siap siaga. Namun, kabar perintah penangkapan Nasution itu sampai ke telinga jenderal-jenderal senior. Basuki Rahmat, R. Soedirman, Sarbini, dan Soeharto, menentang rencana Yani itu. Yani langsung membatalkan perintahnya beberapa hari kemudian. “Bentrok antara pendukung masing-masing kubu yang nyaris terjadi, berhasil terhindarkan,” tulis Said.

  • Bersatu dalam Melodi

    MUSIK dikenal sejak kehadiran manusia modern. Maka, memainkan atau mendengarkan musik, yang memiliki suara berirama atau lagu, menjadi salah satu aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan akan keindahan. Tanpa musik, menurut filsuf Friedrich Nietzsche (1844-1900), hidup akan menjadi kesalahan. Tak semua orang bisa memainkan musik nan indah. Sebagian besar malah hanya ingin menikmatinya untuk mendukung aktivitas atau sekadar mengisi waktu luang. Maka, manusia pun berpikir bagaimana musik bisa didengarkan kapan saja dan di mana saja. Terciptalah alat perekam, penyimpan, penyalur, atau pemutar musik. Kotak Musik Seorang pembuat jam dari Swiss, Antoine Favre Salomon (1734-1820), menciptakan kotak musik pada 1796. Dia membuatnya dari barisan lempengan logam, pengganti lonceng, yang dapat disetel dalam skala nada yang lebih banyak dan ketepatan bunyi yang bagus. sejak 1815, model kotak musik rancangan Salomon mulai diproduksi massal. Di kota Sainte Croix, Switzerland, pengusaha bernama Jeremie Recordon merintis pembuatan massal kotak musik ini. Dia gagal. Pengusaha lain, Samuel Junod, mencoba membuka pabrik serupa. Phonograph Setelah telepon dan telegraf, pada 1877 Thomas Alva Edisson (1847-1931) merancang mesin yang bisa merekam suara pada telepon dan memutarnya kembali. Suara pertama yang terekam dan diputar kembali adalah ucapan Edisson sendiri: “Mary had a little lamb.” Alat ini bernama phonograph. Graphophone Alexander Graham Bell (1847-1922) dan Charles Sumner Tainter (1854-1940) mulanya bekerjasama untuk mengembangkan telepon-radio. Kerjasama berlanjut dengan pembuatan perangkat perekam sekaligus pemutar suara yang disebut graphophone. Setelah dipatenkan dan diproduksi, alat ini digunakan para etnolog di Amerika pada 1890-an untuk merekam suara dan musik bangsa Indian. Piringan Hitam Kualitas suara yang dihasilkan phonograph dan graphophone belum sempurna. Pada 1888, Emile Berliner (1851-1929) merancang alat baru dengan menggunakan media cakram atau piringan, selanjutnya disebut piringan hitam, untuk menyimpan rekaman suara. Untuk mendapatkan suara dari piringan, gramophone ini dilengkapi stylus. Eldridge Reeves Johnson (1867-1945) lalu menyempurnakannya sehingga kecepatan putar piringan menjadi lebih stabil. Pemancar Radio Setelah penemuan gelombang elektromagnetik, Guglielmo Marconi (1874-1937) dari Italia bereksperimen bahwa arus listrik sederhana dapat melintasi udara dari kawat ke kawat. Marconi pun mengembangkan teknologi pemancar dan antena untuk membuat pemancar radio lintas Atlantik, Inggris dan Newfoundland-Kanada. Reginald Aubrey Fessenden (1866-1932) lalu menambahkannya dengan Heterodin, alat untuk mengubah frekuensi radio sehingga frekuensi itu mudah diatur dan dapat diperkuat. Fassenden mengirim suara manusia dan musik dari stasiun radionya di Brant Rock-Masachusets, AS, ke kapal-kapal di lepas pantai Atlantik. Zaman emas radio pun dimulai pada 1920, dengan berdirinya stasiun radio komersial pertama, KDKA, di Pittsburg, AS. Kotak Radio David Sarnoff (1891-1971), yang populer memberitakan tenggelamnya kapal Titanic melalui radio, menyarankan agar radio dibuat secara massal. Menurutnya, radio akan menjadi perlengkapan rumah tangga. Baru tahun 1919, idenya terlaksana dengan berdirinya Radio Corporation of America (RCA), sebuah perusahaan elektronik Amerika. Magnetophone Teknologi perekam suara menjadi praktis dengan adanya Magnetophone model K1 bikinan Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft (AEG) dari Jerman yang dipamerkan pada acara Berlin Radio Show tahun 1935. Magnetophone didasari pada penemuan pita magnetik oleh Fritz Pfleumer (1881-1945). Namun suara yang dihasilkan masih bising. Dalam perkembangannya, magnetophone menghasilkan suara lebih baik dan dipakai secara luas untuk merekam konser, pertunjukan opera, hingga pidato. Selama Perang Dunia II dipakai dalam siaran radio. Dari alat inilah berkembang tape recorder . Walkman Koninklijke Philips N.V atau Phillips, berbasis di Eindhoven-Belanda, meluncurkan compact audio cassette atau kaset sebagai media penyimpan audio baru. Setahun berikutnya diperkenalkan di seantero Eropa dan Amerika. Pada akhir 1970-an, Sony dari Jepang mengembangkan alat pemutar kaset audio portabel dengan nama walkman. Kehadiran walkman mengubah kebiasaan orang mendengarkan musik, yang bisa didengarkan kapan saja dan di mana saja. Pemutar CD April 1982, Lou Ottens, direktur teknik bidang audio dari Phillips, memperkenalkan compact disc atau CD. Phillips dan Sony beradu argumen mengenai ukuran CD. Akhirnya disepakati CD berdiameter 115 milimeter dan memiliki kapasitas penyimpanan audio berdurasi 74 menit, diambil untuk dapat memuat Beethoven 9th Symphony. Sebagai pelengkap, mereka meluncurkan pemutar CD; Sony dengan Goronta dan Phillips dengan Magnavox. Prinsip kerja pemutar CD ini adalah adanya bagian optik sebagai sarana utama membaca kepingan CD. Sony, sekira 1984, juga meluncurkan tipe portabel dari pemutar CD, yang dinamakan D-50 alias discman. iPhone Oktober 2001, perusahaan Apple meluncurkan pemutar musik portabel mini yang disebut iPod. Menurut Steve Jobs, pemutar musik konvensional dengan ukuran besar sudah bukan zamannya. iPod diciptakan untuk mengatasi kebutuhan penyimpanan audio yang besar. Kapasitas iPod pun dibuat dalam ukuran mulai 2 sampai 160 gigabyte. Jenis audio yang diputar dalam iPod adalah mp3, yang dikembangkan Karlheinz Brandenburg, ahli audio dari Fraunhofer Institute-Jerman. Dia berksperimen membuat mp3 pada lagu “Tom’s Diner” yang dinyanyikan Suzanne Vega. Kemunculan mp3 memungkinkan kita mentransfer maupun memutar musik di beragam perangkat, dari telepon selular hingga komputer.

  • Mahasiswa Indonesia dalam Proyek NASA

    KEBOHONGAN Dwi Hartanto terbongkar. Sebelumnya, media menyebutnya “ The next B.J. Habibie” karena prestasinya yang luar biasa dalam teknologi antariksa dan roket. Padahal, dia hanya mahasiswa doktoral di Technische Universiteit Delft, Belanda. Terlepas dari kebohongan itu, sejak 1960-an Indonesia sebenarnya memiliki ilmuwan-ilmuwan hebat bahkan pernah bekerja dalam sebuah proyek NASA (National Aeronautics and Space Administration). Salah satunya Giri Suseno Hadihardjono (1941-2012). Setelah lulus dari jurusan teknik mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), pada Juni 1964 Giri bersama 23 orang dari ITB dan IPB mendapat beasiswa S2 ke Amerika Serikat melalui program USAID (United States Agency for International Development). Giri dan beberapa orang ditempatkan di University of Kentucky di Lexington. Setahun kemudian, dia pindah ke University of Michigan di Ann Arbor. Sambil kuliah, dia bekerja dengan pembimbingnya, Prof. Charles Lipson. “Beliau sedang mengerjakan proyek dari Badan Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA) untuk meneliti sifat-sifat kelelahan ( fatigue properties ) pada material,” kata Giri dalam biografinya, Bermula dari Nol, Banda Aceh sampai Los Palos. Giri bertugas melakukan analisis terhadap kemampuan material dalam menerima beban berulang seperti yang terjadi bila material itu menerima getaran hingga material itu patah. “Belakangan baru saya ketahui bahwa material itu digunakan dalam pesawat ruang angkasa Apollo Space Craft,” kata Giri. Giri membantu Lipson sampai lulus S2 dengan gelar MSME (Master of Science in Engineering-Mechanical Engineering) pada Juli 1966. Almamater memanggilnya pulang. Lipson berusaha menahannya dengan menawarkan dua tempat kerja: laboratorium University of Michigan yang dipimpinannya atau Stress Analytic Laboratory milik Ford Motor Company. Giri menolak meski ditawari gaji sangat besar, US$9.000 per tahun. Lipson tetap mendesak bahkan meminta tunangan Giri menyusul ke Amerika Serikat. Dia akan menanggung biaya perjalanannya. Dia juga menyarankan agar Giri menikah di Amerika Serikat. Namun, Giri tetap menolak. Ketika Lipson bertanya berapa gajinya, Giri menjawab sekitar US$70 per bulan. “Beliau sampai bilang bahwa saya sudah gila. Ditawari gaji yang jauh lebih besar tidak mau, malah mau hidup dengan gaji kecil. Profesor Lipson berkata, ‘ Either you are dumb or crazy’ (entah Anda bodoh atau gila),” kenang Giri. Kawan Giri yang bergelar master asal India dan bekerja di laboratorium University of Michigan mendengar pembicaraan mereka. Sambil bercanda dia mengatakan bahwa Giri keponakan Presiden Soeharto; Giri dipanggil pulang bukan karena panggilan almamater tapi akan membantu pamannya yang baru saja naik takhta menjadi presiden menggantikan Sukarno. “Saya tidak tahu dia mengarang cerita itu dari mana sumbernya, karena saya memang bukan keponakan Pak Harto. Karena itu, kami bertiga pun tertawa-tawa,” kata Giri. Sekembalinya di Indonesia, Giri menjadi dosen di ITB. Dia kemudian berkarier di direktorat perhubungan: direktur LLAJR, sekretaris sampai dirjen perhubungan darat, wakil B.J. Habibie di Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), dan menteri perhubungan merangkap menteri pariwisata, seni dan budaya (1998-1999).

bottom of page