top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Rumah Penculikan Sukarno-Hatta di Rengasdengklok

    Rumah sejarah Rengasdengklok. (disparbud.jabarprov.go.id). CALON presiden Joko Widodo mengunjungi Rumah Sejarah Rengasdengklok di Kampung Kali Jaya (dulu Kalimati) RT 001/09 Desa Rengasdengklok Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, pada tengah malam, 16 Juni 2014. Di tengah para pendukungnya, Jokowi membacakan piagam yang antara lain berisi: "Indonesia harus benar-benar merdeka. Tugas pemimpin adalah memerdekakan rakyat mereka." Rumah itu dianggap sebagai saksi sejarah perjalanan kemerdekaan Indonesia. Sehari sebelum proklamasi kemerdekaan, para pemuda "menculik" Sukarno-Hatta serta Fatmawati dan Guntur yang masih bayi, dan menempatkannya di rumah milik seorang tuan tanah Djiau Kie Siong. Menurut Her Suganda dalam Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 , lokasi rumah Djiau Kie Siong berada di sisi tanggul Sungai Citarum. Saat itu, banjir sering melanda daerah bagian utara Karawang, terutama pada musim hujan. Aliran sungai yang tak terkendali mengakibatkan beberapa bagian wilayahnya tergerus erosi. "Karena khawatir rumahnya tergerus Sungai Citarum, pada tahun 1957 Djiau Kie Siong memindahkan bangunan rumahnya ke lokasi lebih aman. Sementara lokasi rumahnya yang lama, kini sudah berada di tengah aliran sungai Citarum," tulis Her Suganda. Kendati telah pindah, rumah Djiau Kie Siong dianggap sebagai rumah bersejarah tempat Sukarno-Hatta ketika diculik para pemuda. Menurut Mohammad Hatta dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 , pada tamasya sejarah ke Rengasdengklok yang diadakan Partai Komunis Indonesia dan Partai Murba setelah 17 Agustus (?), diperingati dengan khidmat suatu "peristiwa yang tidak pernah terjadi," tulis Hatta. "Digembar-gemborkan bahwa pada 16 Agustus 1945 atas dorongan pemuda diadakan di sana rapat antara Sukarno-Hatta dan pemimpin-pemimpin pemuda, yang menelorkan konsep Proklamasi Kemerdekaan." Menurut Hatta, golongan pemuda dalam Angkatan Pemuda Indonesia di bawah Sukarni dan Chairul Saleh menginginkan agar proklamasi Indonesia dilakukan "secara revolusioner", lepas dari segala yang berbau buatan Jepang. Bukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tetapi Sukarno sendiri sebagai pemimpin rakyat. Karena itulah, mereka menculik Sukarno-Hatta. Namun, Sukarno-Hatta bersikeras bahwa proklamasi kemerdekaan harus melalui PPKI. Lebih lanjut Hatta bercerita, pada tamasya itu diputuskan bahwa meja yang dipergunakan untuk "konferensi yang tidak ada itu" akan disimpan sebagai kenang-kenangan dalam museum sejarah di Yogyakarta atau Jakarta. Menurut Hatta, menyebut meja beserta satu set piring mangkok itu digunakan Bung Karno untuk makan hanyalah fantasi. "Waktu kami diculik oleh pemuda ke Rengasdengklok, rumah tuan tanah orang Tionghoa itu dikosongkan untuk kami dan yang empunya disuruh pindah ke tempat lain. Di mana dia tahu bahwa satu stel piring pinggan yang ditunjukannya itulah yang dipergunakan oleh Bung Karno?" Kendati demikian, seperangkat meja dan kursi dari rumah Djiau Kie Siong kini tersimpan di Museum Mandala Wangsit Siliwangi, Bandung.*

  • Operasi Birdcage

    Operasi penyebaran pamflet oleh Sekutu. SEKUTU (Inggris) telah merencanakan langkah-langkah untuk menyelamatkan para tawanan dan interniran. Sebelum mengirimkan timnya, yakni Recovery of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) yang dibentuk pada Februari 1945, Sekutu terlebih dahulu melancarkan operasi pendahuluan. Operasi Birdcage ini ditujukan kepada tawanan perang, interniran, dan tentara Jepang. Menurut Christopher Chant dalam The Encyclopedia of Codenames of World War II , Operasi Birdcage merupakan operasi Sekutu menyebarkan pamflet-pamflet ke kamp-kamp di Asia Tenggara (Agustus 1945) untuk memberitahu para tahanan bahwa perang telah berakhir. Pamflet itu juga memerintahkan mereka untuk tetap mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan tentara Jepang sampai pasukan Sekutu mendarat untuk membebaskan mereka dari kamp-kamp. Jim Coyle dalam “End of World War II leaflets,” thestar.com (10 November 2011), menyebut untuk menjaga keselamatan tawanan perang –dan untuk mengangkat semangat mereka– pesawat Liberator membawa kargo berisi pamflet-pamflet dimaksudkan untuk menyebarkan berita kepada tawanan perang bahwa perang telah berakhir dan berjanji akan mengirim pasokan dan menyelamatan mereka sesegera mungkin. Pamflet itu juga memerintahkan tentara Jepang menyerah kepada Sekutu dan memastikan tawanan perang diperlakukan dengan baik. Pada 28 Agustus 1945, Bill Watson, ketika itu berusia 20 tahun, sebagai penembak udara (air gunner) dalam pesawat Liberator, lepas landas dari Kepulauan Cocos, menuju Singapura, untuk melaksanakan Operasi Birdcage. Pamflet dijatuhkan di atas kamp-kamp saat pesawat di ketinggian 500 meter. “Pesawat kami adalah pesawat Sekutu pertama di Singapura setelah perang. Kami menjatuhkan pamflet-pamflet tanpa masalah dan kembali,” kata Watson, dikutip Jim Coyle. Menurut sejarawan Aiko Kurasawa, sebelumnya Sekutu telah menyebarkan pamflet propaganda. Salah satu pamflet yang dijatuhkan di Filipina pada Februari 1945 berbunyi: “Hanya beberapa minggu yang lalu, Perdana Menteri Jepang, Koiso, ketika berbicara tentang invasi Amerika ke Luzon, berkata: ‘Ini adalah pertempuran yang menentukan peperangan.’ Sekarang pertempuran itu telah dimenangkan oleh Sekutu, dan Manila, ibukota Filipina, telah dibebaskan.” Jika melihat catatan yang disimpan di Kantor Catatan Publik Inggris (British Public of Record Office), Aiko menduga jumlah lembaran propaganda yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disebarkan pesawat terbang Sekutu sudah pasti banyak. “Saya tidak mengetahui apakah pamflet ini benar-benar sampai kepada rakyat Indonesia, karena diberitahukan pula bahwa orang Jepang berusaha keras untuk mengumpulkannya agar tidak dibaca orang-orang Indonesia. Namun, sangat tidak mungkin bahwa tidak ada orang yang mendapat kesempatan untuk membacanya. Kasus ini bahkan akan lebih benar lagi di daerah-daerah yang seringkali mengalami serangan udara,” tulis Aiko, “Persiapan Kemerdekaan Pada Hari-Hari Terakhir Pendudukan Jepang,” termuat dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia . Aiko tak menyebutkan apakah penyebaran pamflet propaganda tersebut bagian dari Operasi Birdcage. Sementara itu, menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali! , pesan pamflet yang ditujukan kepada penghuni kamp adalah petunjuk-petunjuk agar mereka tetap tinggal di dalam kamp masing-masing sampai tentara Sekutu datang serta pemberitahuan kiriman bantuan makanan dan obat-obatan. Pamflet untuk tentara Jepang, yang ditulis dalam bahasa Jepang, memberitahukan tentang penyerahan Jepang berikut instruksi-instruksi yang harus dipatuhi. Pesawat-pesawat yang menyebarkan pamflet menjatuhkan logistik ke kamp-kamp yang ditemukan, mengingat keadaan tawanan dan interniran sangat memprihatinkan. Bertepatan dengan penekenan secara resmi penyerahan Jepang pada 2 September 1945, untuk kali pertama kamp-kamp di Jakarta dan sekitarnya menerima paket-paket makanan, obat-obatan, dan pakaian yang diturunkan dengan parasut. Pesawat-pesawat Angkatan Darat dan Angkatan Laut Belanda dilibatkan dalam dropping logistik itu. Tentara Jepang yang menjaga kamp berusaha agar bantuan untuk para penghuni kamp dapat diterima dengan lancar. Mereka juga memperlakukan para tawanan dan interniran dengan lebih baik. “ Dropping bantuan RAPWI sangat menolong para penghuni kamp untuk merehabilitasi dirinya, terutama mereka yang dalam keadaan sakit,” tulis Saleh.*

  • Di Balik Cerdik Licik Si Kancil

    Salah satu cerita dongeng Si Kancil dan buaya. DALAM dongeng binatang di Indonesia, kancil adalah tokoh terpopuler. Cerita Kancil sudah lama ada dalam masyarakat Jawa, bahkan sebelum ada tradisi tulisan. Cerita Kancil sering dijadikan sarana pengajaran bagi anak-anak. “Tokoh binatang cerdik licik ini di dalam ilmu folklor (cerita rakyat) dan antropologi disebut dengan istilah the trickster atau tokoh penipu,” tulis James Danandjaja dalam Folklor Indonesia. Menurut Sir Richard Windsted dalam A History of Classical Malay Literature, pada abad II SM pada suatu stupa di Barhut Allahabad India terukir adegan-adegan dongeng binatang, berasal dari cerita agama Budha, yang dikenal sebagai Jataka . Dongeng binatang ini kemudian menyebar ke luar India; ke arah barat menuju Afrika serta ke timur menuju Indonesia dan Malaysia bagian barat. Dongeng Si Kancil, tulis R.B. Dixon dalam The Mythology of All Races: Oceanic , terdapat di daerah-daerah di Indonesia yang mendapat pengaruh kuat Hinduisme dan erat hubungannya dengan kerajaan Jawa Hindu dari abad ke-7 sampai abad ke-13. Hipotesis Dixon, menurut James Danandjaja , diperkuat dengan fakta bahwa dongeng Si Kancil juga terdapat di negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang punya hubungan erat dengan kebudayaan Hindu. Sayangnya, dia tak menjelaskan kenapa dongeng Kancil dapat hidup sampai berabad-abad, atau apa fungsinya sebagai ungkapan kebudayaan dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda. Kendati telah lama menjadi folklor yang dituturkan secara lisan, kisah Si Kancil baru dibukukan pada abad ke-19. “Semua versi cerita kancil berbahasa Jawa, ceritanya dapat dilihat sebagai suatu siklus yang menceritakan seluruh riwayat hidup sang Kancil sejak lahir sampai meninggalnya,” tulis T.E. Behrend dan Titik Pudjiastuti dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3-A. Versi cerita Kancil tertua adalah Serat Kancil Amongsastra karangan Kyai Rangga Amongsastra, penulis Kadipaten selama pemerintahan Pakubuwono V di Surakarta, yang dikarang pada 1822. Atas usaha Dr W. Palmer van den Broek, serat tersebut dicetak pada 1878. Buku induk lain dongeng Si Kancil diterbitkan G.C.T. van Dorp di Semarang pada 1871. Cerita Kancil ini lebih dikenal dengan Serat Kancil van Dorp karena tak diketahui penulisnya. Buku lainnya adalah Serat Kancil Salokadarma karya R.A. Sasraningrat, putra Pakualam Yogyakarta, yang berangka tahun 1891. Cerita Kancil dalam buku ini kehilangan cirinya seperti Kancil pada umumnya. Hal ini, menurut Abing Ganefara dalam skripsinya tentang SeratKancil Saloka Darma di jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia tahun 1990, karena terdapat konsep-konsep ajaran mistik yang menonjol, sehingga peran binatang dalam cerita ini tak berbeda dari manusia sehari-hari. Misalnya, ada peran bercakap-cakap, mengajar, memberi nasihat, atau adu argumentasi sambil sesekali diselipi ajaran-ajaran mistik. Naskah yang dekat dengan Serat Kancil Salokadarma , menurut Behrend dan Titik, adalah Serat Kancil Amongraja di mana memuat ajaran moral, Islam, kebatinan, dan lain-lain disampaikan melalui wejangan . Tiada keterangan penulisan mengeni serat ini. Tapi melihat gejala bahasa dan terutama sasmitaning tembang yang diletakkan di awal pupuh baru, diperkirakan teks ini berasal dari lingkaran kesusastraan Pakualaman, Yogyakarta. Perbedaan isi Serat Kancil Amongraja dengan serat-serat lain terletak pada tokoh Kancil yang digambarkan sebagai seorang pemuda dengan ilmu pengetahuan luas. Dari penggambaran tersebut tidak tertangkap kesan bahwa Kancil adalah tokoh binatang. Kancil merupakan putra Raden Pathangkus dari Ampeldenta dan seorang dewi dari negara Wiradi. Pada usia 16 tahun, Kancil telah menguasai ilmu kebatinan, falak, Alquran, sastra, bahasa Arab dan Jawa, hingga undang-undang dan hukum Jawa-Belanda. Menurut James Danandjaja, dari semua peneliti tentang dongeng Kancil, yang menarik adalah karya Philip Frick McKean, The Mouse-deer (Kantjil) in Malayo-Indonesia Folklore: Alternative Analyses and the Significance of a Trickster Figure in South-East Asia . McKean menyimpulkan bahwa ideal folk (cerita rakyat) Jawa adalah selalu mendambakan keadaan keselarasan. Dari isi dongeng-dongeng Si Kancil dapat diambil kesimpulan bahwa Kancil mewakili tipe ideal orang Jawa atau Melayu-Indonesia sebagai lambang kecerdikan yang tenang dalam menghadapi kesukaran, selalu dapat dengan cepat memecahkan masalah rumit tanpa ribut-ribut, dan tanpa banyak emosi. Benarkah demikian?

  • Band Asal Bapak Senang Pengawal Sukarno

    Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa, sedang bernyanyi bersama band ABS di Istana Bogor dalam acara ramah tamah Presiden Sukarno dengan undangan. (Repro Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967). SEHABIS makan siang bersama Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones di Cipanas, Sukarno memanggil Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP), dan bertanya: “Anak-anak ada atau tidak?” Anggota DKP segera menyanyi sambil memukul-mukul apa saja yang penting bersuara dan berirama. Sukarno dan Hartini, Howard Jones dan istrinya, serta anggota staf kedutaan menari lenso. Tanpa alat-alat musik, tari lenso berlangsung meriah. Setelah acara selesai, alat-alat dapur yang dipukuli semuanya penyok. “Wah, bagaimana ini nanti, Pak. Sebab alat-alat dapur ini saya pinjam dari tetangga sebelah,” kata pelayan dapur. “Beres, nanti diganti,” kata Mangil dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 . Mulai saat itu, setiap ada pengawalan, Mangil selalu membawa kendang agar tak lagi merusak alat dapur. Mangil menyadari Sukarno senang menari lenso. Maka, dia membentuk sebuah band untuk melayani Bung Karno dalam acara santai, setelah acara resmi. Band ini dipimpin Iskandar Winata, pernah menjabat mayor polisi di bagian urusan kepegawaian Markas Besar Kepolisian. Awalnya, peralatan band buatan dalam negeri. Semua lagu kesukaan Sukarno dipelajari dengan baik. Pada kesempatan mendampingi Sukarno ke luar negeri, secara bertahap, Mangil membeli alat-alat band. Hanya drum yang diberi pengusaha Hasjim Ning. “Mereka tahu aku memerlukan hiburan, jadi ada satu korps khusus yang bisa menyanyi, menari, dan merangkap pemain musik pada setiap pertemuan,” kata Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Menurut Mangil, Sukarno senang dengan band ini karena tak pernah cocok dengan beberapa band yang pernah datang ke Istana. Band ini khusus menghibur Sukarno, kecuali kalau ada anggota pengawal yang memerlukannya untuk acara perkawinan dan lain-lain. Iskandar Winata memberikan nama band ini: ABS, Asal Bapak Senang. Dalam Sewindu Dekat Bung Karno , Bambang Widjanarko, ajudan presiden, menyebut betapa bosan mereka dan sebagian yang hadir karena dua sampai tiga jam nonstop membawakan satu irama: cha-cha . Beberapa kali mereka coba mengubah irama, yang masih cocok untuk mengiringi Sukarno. Namun Sukarno selalu membentak tak setuju dan memerintahkan kembali ke irama semula. Begitulah, mereka tak pernah lagi berusaha mengubah irama atau suasana berlenso Sukarno. “Sejak itu lahirlah istilah Asal Bapak Senang atau ABS,” kata Bambang. Suatu ketika, usai pertemuan Sukarno dengan ratusan mahasiswa, acara resmi beralih ke acara ramah-tamah. Sukarno memberi isyarat agar band mulai beraksi. “Ayo ABS bersiap, kita segera mulai,” kata Bambang. “Mbang, apa itu ABS?” tanya Sukarno. “O, itu hanya nama band-nya Pak Mangil, Pak.” Sukarno tak lagi menanyakan singkatan ABS. Mungkin juga sampai wafatnya Sukarno tak mengetahuinya. Sebaliknya, Sukarno memberi nama band itu Brul Apen . Arti harfiahnya, monyet-monyet yang terus mengerang dan cecowetan tiada henti. Dalam sebuah lawatan Sukarno ke Roma, ABS ikut serta. Wakil Komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan masih ingat, di sebuah restoran ABS memukul meja dan apa saja untuk menyajikan musik yang disukai Sukarno. ABS pula yang “menguasai” acara sewaktu orang kaya terpandang menjamu Sukarno. Setelah ramah tamah, minum bersama, dan jamuan makan malam, semua hadirin diajak ke ballroom, di mana sekelompok musisi telah menanti. Sebagai pembuka terdengar lagu berirama waltz . Pasangan-pasangan mulai berdansa. Sukarno tetap duduk dan berbincang dengan tuan rumah. Bambang yang berada di belakang Sukarno tersenyum dalam hati. “Kali ini Bung Karno kena batunya, terpaksa hanya dapat melihat orang berdansa,” pikir Bambang. Setelah lagu pertama selesai, Sukarno segera memerintahkan para pengawalnya mengambil-alih alat musik dan memainkan cha-cha . “Maka di ballroom pinggir kota Roma itu segera terdengar permainan dan nyanyian kelompok ABS mengiringi Soekarno dan tamu lain berlenso,” kata Bambang. “Sampai seluruh acara selesai, musisi Italia tadi hanya memainkan irama waltz pertama, dan kami seniman seadanya – Die Brul Apen van BK – mengisi acara santai sampai bubar.” Mangil menegaskan, ABS betul-betul tidak berbau politik atau mempunyai tujuan lain. “Mulai tahun 1966,” kata Mangil, “kata-kata ABS yang tertulis di surat-surat kabar sudah lain artinya, sudah berbau politik.”*

  • Meneliti Laut Hindia Belanda

    Kapal Snellius dan pengambilan sampel karang oleh para peneliti. (Hendrik M. van Aken, "Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times", jurnal Oceanography Volume 18). SEJAK masa Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), penelitian laut sudah dilakukan, kendati terbatas pada eksplorasi rute komersial. Di masa setelahnya penelitian kelautan terus berkembang, terutama mengenai hidrografi (pemetaan laut) dan bilogi kelautan. Salah satunya melalui Ekspedisi Snellius. Pada 1925, Kapten J.L.H Luymes, hidrografer Angkatan Laut Belanda, mengusulkan kepada Perkumpulan Geografi Kerajaan Belanda (KNAG), sebuah lembaga swasta, agar melakukan ekspedisi penelitian laut dalam di bagian timur Nusantara. Tujuan utamanya untuk penelitian geologi, biologi, dan meteorologi. “Ekspedisi ini juga untuk menegaskan bahwa Hindia Belanda bukan hanya negara tropis yang paling baik pemerintahannya, namun yang terdepan secara ilmiah,” ujar Luymes, dikutip Hendrik M. van Aken, “Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times,” dalam jurnal Oceanography Volume 18. Untuk menjalankan misi tersebut, sebuah kapal penelitian rancangan L. Troost dibangun di Belanda dengan bantuan Kementerian Pertahanan Belanda. Pembangunannya dimulai 23 Februari 1928 dan diluncurkan pada 14 Agustus. Kapal berbobot 1055 ton dan panjang 62 meter ini dilengkapi laboratorium, pengukur kedalaman laut, ruang gelap, dan lain-lain. Kapal ini dinamai Snellius, merujuk ilmuwan Belanda, Willebrord Snellius (1580-1626). Ekspedisinya pun dinamakan Ekspedisi Snellius. P.M. van Riel, ketua departemen oseanografi dan meteorologi maritim dari Institut Meteorologi Kerajaan Belanda (KNMI), ditunjuk sebagai ketua ekspedisi. Dia ditemani beberapa peneliti seperti H. Boschma, Ph. H. Kuenen, A. Boelman, H. C. Hamaker, dan H.J. Hardon. Kapal Snellius, dinakhodai Mayor Laut F. Pinke dengan awak dari Angkatan Laut, meninggalkan pelabuhan Den Helder pada Maret 1929 dan tiba di Surabaya pada akhir Mei. Di Surabaya, 67 pelaut Indonesia menggantikan kru-kru Eropa untuk membantu pengumpulan sampel geologi dan biologi. Pada 27 Juli 1929, Snellius berlayar menuju pos-pos observasi di bagian timur Nusantara. Hampir di semua pos, tim ekspedisi melakukan pengukuran kedalaman laut dengan menggunakan teknik echo sounding ; mesin yang mengeluarkan gelombang suara lalu menangkap kembali gelombang suara tersebut setelah dipantulkan dasar laut. Selama ekspedisi mereka melakukan sekira 33.000 kali sounding , jauh lebih besar dibandingkan Ekspedisi Sibolga 30 tahun sebelumnya yang hanya 238 kali sounding . Dari hasil pengukuran di kawasan Laut Banda, mereka menetapkan Palung Banda sebagai bagian laut yang terdalam di Hindia lebih dari 7.400 meter. Laporan penelitian Scientific Results of the Snellius Expedition in The Eastern Part of the Netherlands East-Indies 1929-1930 Volume I juga mendata Laut Celebes (lebih dari 6.200 meter), Laut Sulu (5.500 meter), dan Laut Flores (lebih dari 5.100 meter). Meski fokus mendapatkan data-data hidrologi dan geologi, tim ekspedisi juga melakukan pengambilan sampel biologis dari tiap pos observasi, seperti sampel karang dan plankton. Ekspedisi Snellius, tulis Willem Vervoort dalam The Copepoda of The Snellius Expedition I, membawa pulang sekitar 800 sampel plankton dari 350 lokasi. Ekspedisi Snellius berakhir 15 November 1930. Selama 17 bulan perjalanan, tim ekspedisi mengunjungi 375 pos observasi. Hasil ekspedisi dipublikasikan dalam laporan 23 jilid. Pada 1984-1985, Ekspedisi Snellius II dilaksanakan, hasil kolaborasi pemerintah Indonesia dengan Belanda. Tujuannya meneliti keanekaragam hayati laut di Indonesia timur.

  • Ngeri-ngeri Sedap Terasi

    Henry Ogg Forbes bersama petugas ekspedisi di Port Moresby, Papua Nugini, 1885. (State Library Victoria/Wikimedia Commons ) HENRY Ogg Forbes, naturalis Skotlandia, menjelajahi Nusantara antara 1878-1883. Suatu hari, pada Minggu pagi, dia terlambat bangun di pondokannya di daerah Genteng, Lebak (sekarang, Bojong Genteng, Cijaku, Lebak, Banten). Dia terusik oleh bau busuk yang menyengat. Mulanya dia mengira daging unggasnya mulai membusuk. Namun, setelah diperiksa, daging itu baik-baik saja. Dia lalu memeriksa sekeliling pondokan, mungkin ada bangkai hewan. Akhirnya, dia menemukan sumber bau busuk itu di dapur: sebuah benda padat terbungkus rapat daun pisang. “Ya ampun, apakah ini?” tanya Forbes kepada pelayannya, sambil menyentuh benda itu hati-hati. “Oh! Tuan, itu trassi!” “Trassi? Demi Tuhan, apa itu trassi?” “Enak untuk dimakan, Tuan, terutama direbus.” “Apakah saya sudah memakannya selama ini?” “Tentu saja, Tuan. Itu enak sekali.” “Kamu orang bodoh! Apakah kamu ingin meracuni saya dan membunuh dirimu sendiri?” “Biar saya terkena gondok, Tuan, tetapi makanan itu memang enak sekali!” Forbes memuat percakapan tersebut dalam A Naturalist’s Wandering in the Eastern Archipelago from 1878 to 1883 , masuk dalam antologi Jawa Tempo Doeloe suntingan James R. Rush. Pelancong Skotlandia lainnya, John Crawfurd, juga mencatat mengenai pengolahan dan penggunaan ikan yang menurutnya aneh tapi umum dilakukan. “Pengolahan ini, dalam bahasa Melayu blachang dan dalam bahasa Jawa disebut trasi , adalah setumpuk ikan kecil, terutama udang, yang telah difermentasi, dan kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Olahan berbau busuk ini, yang dapat membuat mual bagi orang asing, adalah saus umum di pulau Hindia, lebih umum daripada kecap dari Jepang. Penggunaannya meluas ke setiap negara tropis dari China sampai Bengal (India) ” tulisnya dalam History of the Indian Archipelago, Vol. I (1820). Namun Crawfurd menunjuk William Dampier, penjelajah dan penulis asal Inggris, sebagai orang yang menjelaskan pengolahan terasi dengan “akurasi yang sempurna”. Dalam A New Voyage Round the World (1688), Dampier menguraikan balachaun adalah komposisi yang berbau kuat namun hidangan yang disukai penduduk asli negeri ini.  Cara membuatnya: campuran udang dan ikan kecil ditambah garam dan air ditumbuk dalam bejana, dan cairan yang keluar jangan dibuang karena masih bisa digunakan. Ikan hasil tumbukan itu disebut balachaun. Sedangkan cairannya disebut nuke-mum, berwarna coklat pucat dan berasa sangat gurih, serta digunakan sebagai saus yang baik untuk unggas, tidak hanya oleh penduduk asli, tetapi juga oleh banyak orang Eropa, yang menganggapnya sama dengan kecap. “Orang-orang miskin makan balachaun dengan nasi,” tulis Dampier. Di Cirebon, nuke-mum kemungkinan besar adalah blendrang, perasan air rebon (udang) atau cai rebon. Makanan dari bahan ini disebut petis blendrang. Dari kata cai rebon inilah menjadi Cirebon. Berdasarkan Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari , Cirebon dulunya sebuah dukuh bernama Muara Amparan Jati yang berada di Dukuh Pasambangan, lebih kurang 5 km di sebelah utara Kota Cirebon. Selain membabat belukar untuk dijadikan kebun dan ladang, penduduknya juga mendirikan industri rumahan membuat terasi dan blendrang dengan alat lumpang dan alu batu besar. Lama-kelamaan kegiatan ini terdengar oleh penduduk sekitarnya dari Pasambangan, Rajagaluh dan Palimanan. “Mereka berduyun-duyun datang membeli terasi dan cai rebon/petis blendrang. Sejak itulah dukuh itu disebut orang Dukuh Cirebon, pada tahun 1447,” tulis P.S. Sulendraningrat dalam Sejarah Cirebon. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, catatan mengenai terasi tersua dalam Prasasti Karang Bogem tahun 1387 yang dikeluarkan penguasa yang tak disebutkan namanya, tetapi kemungkinan penguasa Lasem. Prasasti ini berhubungan dengan pendirian sebuah “lungguh” di suatu tempat yang disebut Karang Bogem di tepi laut. Dikatakan bahwa tanah itu mencakup satu jung sawah dan setengah jung tanah yang sudah dibuka, tetapi juga tambak-tambak yang ikannya dipakai untuk membuat terasi. “Dalam teks prasasti tertulis acan , bentuk yang sekarang ditemukan kembali dalam kata blacan yang juga berarti terasi,” tulis Lombard . Lombard juga mengutip buku F. de Haanberjudul Priangan, De Preanger-regentschappen onder het Nederlansch Bestuur tot 1811 , jilid I. F. De Haan menyebut adanya sebuah tanah milik raja kecil ( kroondomein ) di Pamotan di pantai selatanyang tugasnya membuat terasi untuk keraton (Mataram, red ). Bagi Lombard, ini “mengingatkan tanah milik yang disebut pada abad ke-14 dalam Prasasti Karang Bogem.” Tak semua orang suka terasi, termasuk Forbes. Meski dibujuk, dia tetap membuang terasi ke hutan. Dia mengancam akan menghukum pembantunya jika menemukan lagi terasi di pondokannya. Setelah itu, dia mengetahui bahwa terasi menjadi bumbu penyedap di setiap masakan, lokal maupun Eropa, yang dimakannya sejak datang ke Hindia. “Sulit bagi saya menerima kenyataan bahwa secara tidak sengaja saya sudah menyantap benda tersebut setiap hari tanpa merasa jijik sedikit pun,” kata Forbes.*

  • Death Match

    FC Start sesaat sebelum kick off melawan Flakelf, klub elite Angkatan Udara Nazi Jerman di Stadion Zenith, Kiev, Ukraina, 9 Agustus 1942. TAK terima atas kekalahan Flakelf, klub elite Angkatan Udara Nazi-Jerman, pemerintah pendudukan mengatur pertandingan ulang. Laga dihelat tiga hari kemudian di Stadion Zenit. Para pemain FC Start mendapat intimidasi. Panitia menunjuk perwira SS sebagai wasit dan memperingatkan para pemain Start akan konsekuensi yang bakal diterima bila mereka menang. Sejak peluit dibunyikan, Flakelf bermain kesetanan, kasar. Start sempat melayangkan protes, tapi diacuhkan. Dengan mengandalkan tembakan jarak jauh, Start kembali menang. Pemerintah pendudukan melarang pemberitaan pertandingan itu dan melakukan penangkapan. Gestapo, polisi rahasia Nazi-Jerman, mendatangi toko roti Degtyarevskaya, tempat kebanyakan pemain Start bekerja dan juga tempat latihan. Mereka menangkap, menginterogasi, dan menyiksa banyak pemain Start. “Beberapa pemain sepakbola Ukraina ditahan karena punya kaitan dengan lembaga People’s Commissariat for Interior Affairs (NKVD) dan kemudian ditembak sebagai sandera,” tulis Volodymyr Ginda dalam “Beyond the Death Match: Sport under German Occupation between Repression and Integration, 1941-1944”, dimuat di Euphoria and Exhaustion: Modern Sport in Soviet Culture and Society suntingan Sandra Budy dkk. NKVD adalah badan intelijen dalam negeri Uni Soviet. Mereka yang menghadapi regu tembak adalah Ivan Kuzmenko (penyerang), Nikola Trusevich (kiper), dan Alexei Klimenko (bek) yang dianggap menghina Nazi dengan membuang bola padahal sudah berada di depan gawang. Pemain-pemain lain yang tak dieksekusi dikirim ke kamp Siratz. Pemerintahan Stalin menggunakan pertandingan itu sebagai alat propagandanya untuk memompa semangat rakyat melawan dan mengalahkan pendudukan Hitler. Media-media Soviet memberitakan aksi heroik para pesepakbola Ukraina dengan menyebut pertandingan itu “Death Match.” Harian Izvestiia , menurut Volodymyr Ginda, kali pertama mengangkatnya pada 6 Desember 1942. Seusai Perang Dunia II, “Death Match” terlupakan sepanjang rezim Stalin. Para pemain yang selamat pun bungkam lantaran takut dilabeli kolaborator Jerman. Baru pada 1962 “Death Match” muncul setelah badan propaganda Soviet mengangkat kisah itu ke layar lebar dengan judul Trity Taime –film ini menginspirasi Hollywood melahirkan Escape to Victory pada 1981. Selain film, sebuah monumen di Kiev didirikan untuk mengenang heroisme para pemain Start. Pada 2005, pemerintah Jerman memprotes bahwa tak pernah ada eksekusi terhadap para pemain. Tapi, otak mayoritas orang bekas Soviet telah lama diendapi pemberitaan propaganda Stalin dan penerusnya.*

  • Kisah Tiga Kapal Pesiar: Olympic, Titanic, dan Britannic

    Kapal pesiar Olympic (kiri) dan Titanic (kanan), 6 Maret 1912. (Wikipedia Commons). WHITE Star Line, perusahaan pelayaran Inggris yang beroperasi sejak 1845, berambisi menjadi yang terbesar di Eropa. Untuk itu, ia memesan kapal pesiar yang cepat lagi mewah kepada perusahaan pembuat kapal Harland and Wolff di Belfast, Irlandia Utara. Ia ingin mengalahkan rivalnya, Cunard Line, yang membangun kapal pesiar berkecepatan tinggi seperti RMS Mauretania dan RMS Lusitania . “Jika Cunard membangun yang besar, White Star akan membangun yang lebih besar; jika Cunard menawarkan kemewahan, White Star akan menawarkan kemewahan dalam skala yang belum pernah dilihat sebelumnya di Atlantik Utara,” tulis Daniel Allen Butler dalam The Age of Cunard: A Transatlantic History 1839-2003 . J. Bruce Ismay, presiden White Star, dan William J. Pirrie, direktur galangan kapal Harland and Wolff, memutuskan membangun tiga kapal: RMS Olympic pada 1908, RMS Titanic pada 1909, dan HMHS Britannic pada 1911. Ketiganya dirancang Thomas Andrews dan Alexander Carlisle. Mengangkut 2.435 penumpang dari Southampton ke New York, Olympic berlayar perdana pada 14 Juni 1911. Dengan bobot 45.324 ton dan panjang 268,8 meter, Olympic menjadi kapal pesiar terbesar dan termewah di dunia. Namun, ia bertabrakan dengan kapal perang Inggris, HMS Hawke, pada 20 September 1911. Saat itu kapal dinakhodai Kapten Edward Smith, yang nantinya akan menjadi kapten kapal Titanic. Tak ada korban jiwa meski kapal rusak cukup berat. Namun reparasi Olympic membuat peluncuran Titanic tertunda beberapa bulan. Titanic diperkenalkan pada 10 April 1912. Layaknya istana terapung, Titanic yang berbobot 46.328 ton dan panjang 269,1 meter adalah kapal pesiar termewah dan terbesar di dunia. Namun, pelayaran perdananya dari Southampton menuju New York dengan membawa 2.224 penumpang berakhir tragis. Ia menabrak gunung es pada 14 April 1912. Sekira 1.517 penumpang tewas, di antaranya nakhoda Edward Smith dan Thomas Andrews, perancang Titanic. J. Bruce Ismay selamat, namun reputasinya sebagai presiden White Star memudar. Media di Eropa dan Amerika mengabarkan bencana Titanic sebagai musibah kapal laut terburuk saat itu. “Kisah bencana Titanic membuat takjub orang-orang bahkan masih menarik perhatian dibandingkan bencana lainnya di abad ke-20. Banyak buku ditulis. Juga ada beberapa film yang dibuat tentang bencana ini,” tulis Kathleen Fahey dalam Titanic . Bencana Titanic membuka mata White Star. Olympic direparasi dan keamanannya diperkuat dengan penambahan sekoci penyelamat. Olympic kembali berlayar pada Maret 1913. Britannic diluncurkan pada 26 Februari 1914 dengan panjang 275 meter dan bobot 48.158 ton. Namun, Perang Dunia I keburu pecah sebelum Britannic menjalani pelayaran komersialnya. Britannic lalu diubah jadi kapal rumahsakit untuk memenuhi kebutuhan perang. Britannic tak berumur panjang. Pada 21 November 1916, saat berlayar di laut Aegea untuk menjemput prajurit yang terluka, ia menabrak ranjau laut dan tenggelam; 30 dari 1.100 awak kapalnya tewas. Salah satu yang selamat adalah Violet Jessop, seorang perawat. Antara nasib buruk dan keberuntungan, Jessop menjadi pelayan di Olympic, Titanic, dan Britannic. Dia selamat dari ketiga bencana tersebut. Selepas Perang Dunia I, praktis hanya Olympic yang mampu bertahan. Olympic kembali memulai perjalanan komersialnya pada 1920, sampai akhirnya Depresi Besar tahun 1930 memukul perusahaan White Star. White Star akhirnya merger dengan Cunard yang juga rugi besar setelah kapalnya, Lusitania, tenggelam saat Perang Dunia I. Merger disetujui pada 10 Mei 1934. Kapal pesiar Olympic, yang telah beroperasi selama 25 tahun, dipensiunkan. Dibandingkan Titanic dan Britannic, karier Olympic lebih mentereng: 257 kali berlayar melintasi Atlantik membawa 430.000 penumpang. Olympic lalu dijual pada 1935, sebelum akhirnya dibongkar dan dihancurkan pada 1936 dan 1937.*

  • Pendidikan Agama di Kadewaguruan

    Sebuah gambaran "mandala" Amoghapasa dari Kerajaan Singasari. DI masa lampau, tempat pendidikan berada jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Letaknya di lereng gunung dan di tengah hutan, terpisah dari pusat pemerintahan. “Selain sebagai tempat pendidikan agama, ia juga digunakan sebagai tempat bersemedi,” kata Agus Aris Munanadar, arkeolog Universitas Indonesia, kepada Historia . Area itu disebut kadewaguruan , dipimpin seorang Dewaguru. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewaguru dibantu murid-murid senior ( ubwan dan manguyu ). Kadewaguruan merupakan kompleks pertapa yang dirancang khusus. Tempat tinggal Dewaguru berada di tengah, sedangkan para murid mengelilinginya, disusun berjenjang berdasarkan tingkat pengetahuan mereka. Karena tataletak seperti ini, kompleks perumahan pertapa itu disebut mandala (konfigurasi lingkaran). Dalam Java in the Fourteenth Century, A Study on Cultural History. The Nagarakrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit. Vol. 5 , TH Pigeaud, ahli sastra Jawa, menyebut kadewaguruan telah dibicarakan dalam kitab Rajapatigundala di masa Singasari. Raja yang disebut adalah raja Bhatati, yang diperkirakan sebutan bagi Krtanagara. Di Majapahit, jumlah kadewaguruan meningkat sejak pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389). Dalam Nagarakrtagama , Hayam Wuruk tercatat pernah mendatangi sebuah mandala yang terletak di dalam hutan bernama wanasrama Sagara . Di kadewaguruan, para murid dapat belajar secara perorangan atau berkelompok. Mereka belajar bertahap dari tata upacara, filsafat, hingga ajaran inti tentang kehampaan yang terdapat dalam kitab Tutur , buku keagamaan yang bersifat Siwa. “Melihat isi ajarannya, kemungkinan kitab Tutur ini adalah bahan bagi mereka yang sudah mempunyai dasar pengetahuan agama dan bukan untuk pemula,” tulis Haryati Subadio, guru besar FIB UI bidang Sanskerta dan Jawa Kuna, dalam Jnanasiddhanta . Fungsi lain kadewaguruan dapat ditelisik berdasarkan penemuan sejumlah naskah di wilayah Merapi-Merbabu, yang dikenal sebagai naskah Merpai-Merbabu. Wilayah tersebut, menurut Agus Aris Munanadar, tak hanya menjadi pusat keagamaan tapi juga skriptorium, tempat bagi para Brahmin menuliskan ajaran-ajarannya pada daun lontar. “ Kadewaguruan sebagai tempat pendidikan agama pada masa Jawa Kuna masih digunakan setelah masuknya Islam di tanah Jawa,” kata Agus. “Tempat itu kemudian dikenal sebagai pondok pesantren, wadah pendidikan yang khas Nusantara dan masih terselenggara hingga kini.”*

  • Ho Im, Iklan Dukacita Tionghoa

    Ho Im sebutan untuk iklan dukacita kalangan Tionghoa. CALON presiden Joko Widodo tak ambil pusing dengan kampanye hitam yang menyebut dirinya keturunan Tionghoa dan bernama Oey Hong Liong. Namun Jokowi angkat bicara ketika kempanye hitam itu sudah keterlaluan berupa berita dukacita “RIP Ir. Herbertus Joko Widodo (Oey Hong Liong)” yang beredar di jejaring sosial. Jokowi menyebut kampanye hitam itu “brutal”.  Menurut Iwan Awaluddin Yusuf, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dalam Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas , iklan dukacita erat kaitannya dengan upaya penyebarluasan kabar meninggalnya seorang etnis Tionghoa kepada keluarga dan sanak famili sesama Tionghoa. Mereka menyebut iklan dukacita sebagai Ho Im. “Iklan berita keluarga tentang kematian dan perkawinan bagi pembaca Tionghoa peranakan lebih penting daripada editorial yang hebat,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik . Selain pesan kematian, iklan dukacita menyampaikan pesan lain. Bagi keluarga dari orang Tionghoa yang semasa hidupnya menjalin bisnis dan perdagangan, pemasangan iklan dukacita diharapkan memberi tahu relasi bisnis almarhum. Ditinjau dari aspek ekonomi media, iklan dukacita relatif stabil dalam menyumbang pemasukan. Media di masa lampau maupun sekarang mengandalkan iklan berita keluarga, baik iklan dukacita maupun sukacita. Benny mencontohkan, Sin Po memperoleh banyak pelanggan karena memuat iklan berita keluarga. Begitu pula dengan Pewarta Soerabaia yang dikenal sebagai harian yang memuat iklan berita keluarga terlengkap. Saking pentingnya iklan dukacita, menurut Iwan, sering terjadi percekcokkan hanya karena nama seseorang famili lupa dicantumkan atau salah tulis. Karenanya, biasanya ada “ahli” yang membantu pihak yang berduka. Begitu ada anggota keluarga yang meninggal dunia, seorang anggota keluarga, biasanya anak mendiang, segera mengajak bermusyawarah untuk menentukan waktu penguburan. “Setelah disepakati dan memperoleh hari dan tanggal baik, mereka segera menghubungi biro iklan atau yayasan pelayanan kematian untuk mempersiapkan iklan dukacita,” tulis Iwan. Ketika rezim Orde Baru berkuasa, semua yang berbau Tionghoa dilarang. Soeharto menutup semua suratkabar Tionghoa, kecuali Harian Indonesia yang dikelola pemerintah dan dikuasai militer. Dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia , Leo Suryadinata menjelaskan Harian Indonesia adalah harian dwibahasa Tionghoa dan Indonesia, “yang menjadi populer di antara etnis Tionghoa untuk memasang pemberitahuan mengenai kematian, perkawinan, iklan, dan sebagainya.” Harian Indonesia juga menjadi satu-satunya suratkabar berbahasa Tionghoa sampai tahun 1998. Menurut Aimee Dawis dalam Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas , harian ini jarang memuat gambar tokoh Tionghoa dalam kolom-kolomnya. “Satu-satunya gambar orang Tionghoa yang selalu dimuat surat kabar ini adalah foto dalam iklan dukacita,” tulis Aimee Dawis. Iklan dukacita atau Ho Im bagi sebagian masyarakat Tionghoa dianggap tradisi. “Walaupun demikian,” tulis Iwan, “tidak semua etnik Tionghoa mengekspresikan kematian lewat iklan dukacita.”*

  • Pejabat Pajak Menyeleweng

    Petani Jawa, 1910. (KITLV). KOMISI Pemberantasan Korupsi menetapkan Hadi Purnomo, mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai tersangka kasus pajak BCA pada 21 April 2014. Saat menjabat Direktur Jenderal Pajak pada 2002-2004, Hadi menerima keberatan pembayaran pajak yang diajukan BCA sehingga merugikan keuangan negara sekira Rp375 milyar. Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pajak pernah tercatat beberapa kali dalam sejarah Indonesia. Pada masa Mataram Kuno, orang menyebut pejabat pajak sebagai mangilala drawya haji . “Kelompok petugas ini pertama kali disebut dalam sumber prasasti pada awal abad ke-9 (Garung/Pengging, 741 Saka/819 Masehi),” tulis Supratikno Raharjo dalam Peradaban Jawa . Mangilala drawya haji mengumpulkan pajak dari penduduk terkena pajak (wargga kilalan) semisal petani, pedagang, dan orang asing. Tiap wargga kilalan punya bentuk pajak berbeda. Pajak petani berupa sebagian hasil sawah, sedangkan pajak pedagang dan orang asing bisa berupa kain, uang emas, atau perak. Besaran pajaknya juga berbeda. Petani paling sering jadi sasaran ulah menyeleweng mangilala drawya haji . Sebab, “Milik golongan ini adalah tanah yang tidak bisa dilarikan dan hasilnya sukar disembunyikan,” tulis Onghokham, “Tahun Pajak 1980-an dalam Perspektif Sejarah,” termuat dalam Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong . Nayaka , petugas pemungut pajak di desa, beberapa kali lalai menghitung luas sawah petani dan jumlah pajak yang harus dibayar. Kesalahan hitung bisa merugikan petani. Bisa-bisa petani wajib membayar pajak lebih tinggi. Sedangkan Nayaka dan mangilala drawya haji berpotensi menggelapkan selisih pajak itu untuk kepentingan pribadi. Tapi ulah mereka tak selalu berjalan mulus. Prasasti Luitan (823 S/901 M) menerangkan sejumlah perwakilan petani keberatan atas perhitungan nayaka . “Mereka itu mohon agar sawah mereka diukur kembali,” tulis Boechari, “Ulah Para Pemungut Pajak di Jawa Kuno,” termuat dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti . Nayaka menghitung sawah petani seluas 1 tampah (6.750-7.860 meter persegi). Padahal sawah petani hanya seluas 2/3 tampah . Penguasa Mataram menerima keberatan itu sehingga petani tak harus membayar pajak lebih tinggi. Kasus hampir serupa termaktub dalam Prasasti Palepangan (828 S/906 M). Perwakilan petani berselisih paham dengan nayaka . Pangkalnya nayaka menghitung sawah petani seluas 2 lamwit (setara dengan 40 tampah ) dan pajak mereka sebesar 6 dharana perak. Karuan petani kalang-kabut. Mereka tak punya perak sebanyak itu. Lagipula mereka yakin sawah mereka tak seluas perhitungan nayaka . Petani mohon kepada penguasa untuk meninjau ulang keputusan nayaka . Penguasa pun menyuruh nayaka mengukur ulang luas sawah petani. Hasilnya sawah petani hanya seluas 1 lamwit dan 7,5 tampah . Jumlah pajak petani pun turun. Mereka cuma membayar sebesar 5 kati (1 kati=32 dharana ) dan 5 dharana perak. Boechari berkesimpulan dua kasus itu menunjukkan adanya penyelewengan dalam penetapan pajak. Sayangnya, tak ada catatan sanksi atau hukuman untuk para pejabat pajak yang menyeleweng.*

  • Riuh Rendah Hari Buruh

    Peringatan Hari Buruh 1 Mei 2013 di Jakarta. (Micha Rainer Pali/Historia). PERINGATAN Hari Buruh 1 Mei 1948 berlangsung meriah. Sebanyak 200-300 ribu buruh, petani, dan pemuda membanjiri alun-alun Yogyakarta. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Panglima Besar Jenderal Soedirman menghadiri rapat raksasa tersebut. Peringatan Hari Buruh kala itu terasa istimewa. Pasalnya, pada 20 April 1948, pemerintah telah menetapkan UU No 12/1948 tentang Kerja. UU ini dianggap pencapaian tertinggi bagi gerakan buruh. UU ini juga dinilai progresif karena memberikan perlindungan dan jaminan yang besar bagi buruh, melebihi apa yang mungkin didapat buruh di Eropa. UU ini antara lain berisi larangan mempekerjakan anak; larangan buruh perempuan bekerja di pertambangan dan tempat lain yang membahayakan keamanan, kesehatan, dan moralitas; serta bekerja di malam hari (kecuali yang bekerja di sektor publik seperti bidan atau perawat); pemberian waktu bagi ibu menyusui anaknya; serta cuti melahirkan dan cuti haid. Ketentuan mengenai cuti haid terbilang luas biasa karena menurut Susan Blackburn dalam Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern , “hanya beberapa negara pernah mengundang-undangkannya.” UU Kerja juga menetapkan “pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.” 1 Mei dianggap sebagai momentum bagi gerakan buruh internasional. Ini bermula dari tuntutan bekerja “delapan jam sehari” yang disuarakan kaum buruh di Amerika Serikat (AS) sejak 1884. Lalu, pada 1 Mei 1886, puluhan ribu buruh di Chicago turun ke jalan. Polisi menghadapinya dengan tembakan; empat orang tewas dan banyak yang luka-luka. Tindakan represif itu menimbulkan aksi buruh lebih besar lagi. Simpati juga datang dari penjuru dunia. Puncaknya, Kongres Sosialis Internasional II di Paris pada Juli 1889 menetapkan 1 Mei sebagai hari libur para buruh. Ironisnya, AS justru memilih hari Senen pertama di bulan September sebagai hari buruh nasional. Peringatan Hari Buruh sudah diperingati di Hindia Belanda pada 1918. Sementara di alam kemerdekaan, kaum buruh Indonesia merayakan hari buruh kali pertama pada 1 Mei 1946. Penguasa Orde Baru meniadakan Hari Buruh secara perlahan namun sistematis. Mula-mula, Awaloedin Djamin, menteri tenaga kerja pertama era Orde Baru, memutuskan 1 Mei 1966 tetap diperingati sebagai hari buruh. “Keputusan ini diambil agar tidak disalahmengetikan bahwa Orde Baru adalah antiburuh, padahal yang benar kita adalah antikomunis Indonesia,” kata Awaloedin dalam Awaloedin Djamin, Pengalaman Seorang Perwira Polri . Kemudian, “tahun berikutnya langsung saya hapuskan.” Pemerintah kemudian menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional, merujuk pada hari lahir Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada 20 Februari 1973. Peringatan Hari Buruh dilarang. Serikat buruh dibonsai. Pemogokan dihadapi dengan represi. Pegiatnya ditangkap, bahkan dibunuh seperti dialami Marsinah, buruh PT Catur Putera Surya di Sidoarjo, pada Mei 1993. Untuk kali pertama di masa Orde Baru, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) memperingati Hari Buruh pada 1 Mei 1995 dengan menggelar aksi di Jakarta dan Semarang. Lima orang ditangkap di Jakarta dan 16 orang di Semarang. “Waktu itu aparat memang sangat represif,” kenang Lukman Hakim, ketua departemen pengembangan organisasi PPBI Pusat yang ditangkap dalam aksi di Semarang, kepada Historia . Setelah Soeharto lengser hingga hari ini, Hari Buruh dirayakan saban tahun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional saat Hari Buruh 2013 dan mulai berlaku 1 Mei 2014.*

bottom of page