top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Stadion Terbesar Dunia Stadion Buruh

    PERANG Korea (1950-1953) jadi penanda pemisahan dua Korea. Gengsi berbau politis acap mewarnai persaingan Korea Selatan dan Korea Utara. Mulai dari budaya, senjata hingga olahraga. Khusus olahraga, Korea Utara (Korut) boleh bangga punya arena olahraga monumental yang diakui sebagai yang terbesar se-kolong langit. Meski rezim terus berganti dan karakter pemerintahannya tetap represif, prestis bidang olahraga tak pernah dilupakan sejak rezim Kim Il-sung hingga cucunya Kim Jong-un. Selain prestasi, yang bisa dibanggakan Korut dalam olahraga tak lain adalah stadion. Negeri itu punya Stadion Rungrado 1 Mei atau Stadion May Day. Ia terletak di ujung selatan Pulau Rungra yang berada di tengah-tengah Sungai Taedong, tak jauh dari ibukota Pyongyang. Mengutip sejarawan Amerika Serikat cum eks-Direktur Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih bidang Asia kelahiran Korea Selatan Victor Cha dalam The Impossible State: North Korea, Past and Future , Stadion Rungrado dibangun sebagai venue utama untuk perhelatan Festival Pelajar dan Pemuda Dunia ke-13. Hajatan itu jadi jawaban atas persaingannya dengan Korsel, mengingat “saudara” mereka di selatan memenangkan pemilihan tuan rumah Olimpiade Seoul 1988. Kim Il-sung di perhelatan pembukaan World  Festival of Youth and Students  ke-13 (Foto: daum.net ) Event itu ingin dibuat pemerintahan Kim Il-sung menjadi festival dengan edisi terbesar dan termegah. Korut jor-joran melimpahkan dana pembangunan mega-proyek demi ajang itu mengingat di tahun 1980-an ekonominya tengah booming berkat industri fiber dan nilonnya. Selain mendatangkan mobil-mobil Mercedes-Benz mewah, pemerintah juga membangun Hotel Ryugyong di dekatnya setinggi 105 lantai dengan beragam fasilitas hotel mewah kelas dunia. Persiapannya sudah dimulai sejak 1986, termasuk pembangunan stadionnya. Itu diperkirakan “membakar” duit hingga miliaran dolar. “Ajang itu jadi jawaban atas Olimpiade Seoul dan mereka berinvestasi dalam bangunan infrastruktur yang masif. Menghabiskan dana antara USD4-9 miliar. Mereka membangun 260 fasilitas megah, termasuk stadion tenis meja berkapasitas empat ribu kursi, stadion bulutangkis (3 ribu kursi), dan yang utama Stadion Rungrado May Day yang terbesar di dunia dengan 150 ribu kursi,” ungkap Cha. Sayangnya belum ada sumber yang menyingkap siapa atau pihak mana arsitek cum desainer Rungrado May Day. Hanya disebutkan bahwa Kim Il-sung menginginkan bangunan itu selain megah juga anggun dan ikonik. Maka jadilah stadion yang jika dilihat dari ketinggian bentuknya mirip kembang magnolia merekah. “Stadion setinggi delapan lantai itu didesain seperti sekuntum bunga yang mengapung di atas sungai. Stadionnya memiliki 16 kanopi lengkung berbentuk busur sebagai atapnya yang menyatu satu sama lain untuk menggambarkan kelopak bunga,” sebut Michael Hurley dalam The World’s Most Amazing Stadiums . Tampak dalam Stadion Rungrado 1 Mei/Stadion May Day dengan atap lengkung berbentuk kelopak bunga magnolia (Foto) Bagian dalam stadion yang berdiri di atas kompleks lahan seluas 20,7 hektar itupun, lanjut Hurley, dilengkapi beragam fasilitas top. Selain rumput lapangan sepakbola dan trek lari berstandar internasional, ia dilengkapi ruang sauna,kolam renang indoor. Sebagaimana keinginan sang pemimpin, stadion itu rampung dan diresmikan Kim Il-sung pada 1 Mei 1989 bertepatan dengan May Day atau Hari Buruh Internasional. Saat diresmikan, Rungrado semata stadion terbesar di Asia lantaran status stadion berkapasitas terbesar dunia masih dipegang Estádio do Maracaña di Rio de Janeiro, Brasil, tempat final Piala Dunia 1950 mencatatkan jumlah penonton mencapai 199 ribu. Tetapi setelah Maracaña direnovasi tiga kali sejak 2000, sekarang hanya berkapasitas 78.838. Maka status stadion terbesar dunia jadi milik Rungrado dengan 150 ribu kursi. Ajang Festival Pelajar dan Pemuda ke-13 yang dibuka pada 1 Juli 1989 di Stadion Rungrado pun bergulir sukses. Momen itu membuat Kim Il-sung bisa pamer terutama kepada para partisipan asal negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat yang mengizinkan perwakilannya menginjakkan kaki pertamakali ke sana sejak Perang Korea (1950-1953). Bagian dalam stadion yang tentunya memajang dua foto pemimpin besarnya: Kim Il-sung & Kim Jong-il (Foto: stadiumdb.com/frankjasperneite.de ) Usai hajatan itu, stadion tersebut menjadi markas timnas sepakbola putra dan putri Korut dan klub terbesarnya, 4.25 (April 25 Sports Club). Stadion ini lalu beberapakali dijadikan venue hajatan kolosal lain, di antaranya “Collision in Korea” pada April 1995. Ajang gulat pay-per-view yang menggandeng New Japan Pro-Wrestling dan World Championship Wrestling pada 28-29 April 1995 itu dihelat dalam rangka Pyongyang International Sports and Culture Festival for Peace. Ajang tersebut sukses besar mengingat stadion itu disesaki penonton melebihi kapasitasnya, 165 ribu orang. Hajatan lainnya adalah Festival Arirang yang rutin digelar tahunan sejak 2002. Festival seni, budaya, dan senam massal warisan Kim Jong-il, putra sekaligus suksesor Kim Il-sung, itu pada 2007 mencetak rekor dunia Guinness dengan 100.090 partisipan menyesaki Stadion Rungrado. “Festival Arirang biasanya digelar sebagai puncak Hari Kemerdekaan atau perayaan berdirinya Republik Demokratik Rakyat Korea pada 9 September. Nama Festival Arirang diambil dari cerita rakyat (Arirang) yang merepresentasikan pemisahan Korea, di mana kisahnya menceritakan sepasang muda-mudi yang dipisahkan oleh tuan tanah jahat,” tulis Paul Fischer dalam A Kim Jong-il Production: The Incredible True Story of North Korea and the Most Audacious Kidnapping in History Paperback . Arena indoor di dalam stadion dari sumbangan FIFA sebagai penambahan fasilitas kala renovasi (Foto: koryogroup.com ) Setelah Kim Il-sung sukses membangun Stadion Rungrado untuk festival pelajar dan pemuda sedunia di akhir 1980-an dan Kim Jong-il memprakarsai Festival Arirang di awal 2000-an, lantas di tangan Kim Jong-un Stadion Rungrado di- upgrade dengan fasilitas yang lebih modern mulai 2013. Jong-un juga memprakarsai proyek pembangunan beberapa venue olahraga baru di kompleks olahraga yang mengelilingi Stadion Rungrado. Selain venue sepatu roda, ada venue berkuda, ski air, dan arena selancar air dan selancar angin. “Sudah menjadi keinginan partai (Partai Pekerja Korea, penguasa pemerintah) untuk merenovasi Stadion May Day dengan sukses menjadi ikon fasilitas olahraga yang lebih modern dan menjadi stadion yang pantas bagi sebuah bangsa yang beradab,” cetus Kim Jong-un saat mengunjungi Stadion Rungrado pada 2013 sebagaimana dikutip The Guardian , 7 Oktober 2015. Sementara, di dalam stadionnya penambahan-penambahan fasilitas modern dilakukan dengan menyulap ruang ganti pemain menjadi lebih modern dan penambahan ruang-ruang fisioterapis, media centre , serta arena indoor sebagai wadah akademi sepakbola baru Korut. Khusus arena indoor, pembiayaannya juga disokong FIFA sebesar USD800 ribu. Meski begitu, kursi penonton yang juga direnovasi berdampak pada pengurangan kapasitas, menjadi 114 ribu. Tetapi hal itu belum menggeser statusnya sebagai stadion berkapasitas terbesar dunia. Presiden Korsel Moon Jae-in saat berpidato di hadapan 150 ribu rakyat Korut di Stadion May Day (Foto: president.go.kr ) Ada satu fakta kelam yang jarang diketahui publik internasional, yakni stadion itu pernah jadi tempat eksekusi puluhan perwira militer Korut pada 1992. Eksekusi dilakukan sebagai jawaban atas pengarahkan moncong-moncong tank ke arah Kim Il-sung dan Kim Jong-il pada perayaan HUT ke-60 Tentara Rakyat Korea oleh komplotan sekira 40 perwira lulusan Akademi Militer MV Frunze, Moskva, Rusia yang dipimpin Jenderal-kolonel An Chang Ho. Toh di stadion ini pula salah satu momen progres perdamaian antara Korsel dan Korut terjadi. Di hadapan 150 ribu warga Korut yang memadati Stadion Rungrado pada 20 September 2018, Presiden Korsel Moon Jae-in berpidato di podium kehormatan. “Ketua Kim Jong-un dan saya sebelumnya bertemu pada 27 April di Panmunjom dan kami saling berangkulan… Kepada warga Pyongyang, sesama bangsa Korea, kita telah hidup bersama selama lima ribu tahun namun terpisah hanya dalam 70 tahun. Di sini, di stadion ini hari ini, saya mengajukan langkah maju menuju gambaran besar perdamaian dengan harapan kita bisa bersatu lagi,” tandas Presiden Moon dalam pidatonya, dikutip situs resmi kepresidenan Korsel .

  • Kisah Dewa dari Korea Utara

    SENO Gumira Ajidarma mengisahkan suatu kejadian tak mengenakan saat dirinya berkunjung ke Korea Utara pada 2002. Sebagai tamu resmi pemerintah negera komunis itu, Seno yang seorang kritikus film sekaligus fotografer, suatu hari berkesempatan mengambil gambar patung Kim Il-sung, Bapak Pendiri Korea Utara. Saat tengah asyik memotret bagian-bagian patung itu secara rinci dari jarak dekat, tetiba seorang petugas mendekatinya. Dengan ketus dia melarang Seno untuk mengambil gambar patung tersebut secara tidak utuh. “Kalau memotret pemimpin kami, tolong jangan dipotong-potong!” katanya seperti dituturkan oleh Seno dalam bukunya Jejak Mata Pyongyang. Bagi orang Korea Utara, Kim Il-sung bukan hanya sekadar Bapak Pendiri Bangsa. Bisa jadi khalayak di sana sudah menabalkannya sebagai dewa. Semua yang diucapkannya adalah perintah yang harus diamalkan. Termasuk memaksa rakyat Korea Utara untuk  memeluk “agama baru” ciptannya bernama Juche . Bagi rakyat Korea Utara, menampik “agama” baru itu sama dengan mememanggil bahaya untuk datang dalam kehidupan mereka. “Para pemeluk Juche  tak perlu memikirkan 'kehidupan sesudah mati'. Mereka justru sedang berada di 'surga dunia yang disinari matahari gilang gemilang Pemimpin Besar Kebapakan, Kim Il-sung',” ungkap Lim Un dalam Secrets of the North Korea Dynasty: True Biography of Kim Il-sung. Lim Un adalah nama samaran seorang bekas pengikut fanatik Kim Il-sung. Karena suatu sebab, dia dituduh menjadi pengkhianat dan diburu oleh polisi rahasia Korea Utara hingga kemudian menyingkir ke Uni Soviet. Lim kemudian menulis biografi sang mantan pujaan-nya itu dan terbit kali pertama dalam bahasa Jepang di Tokyo pada 1980-an. Lim berkisah sejak berdirinya  Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK) pada 9 September 1948 (hingga hari ini),  catatan mengenai kiprah kakek dari Kim Jong-un (pemimpin Korea Utara sekarang) itu 100 persen tanpa cela. Para remaja Korea Utara tiap waktu bahkan kerap memuji Kim dalam sebuah nyanyian sebagai “pahlawan legendaris yang menaklukan sejuta tentara Jepang” Padahal faktanya, itu semua hanyalah bualan semata. Dalam majalah Reader’s Digest  edisi Maret 1982, pakar tentang Korea Utara Anthony Paul menyebut bahwa di era perjuangan melawan penjajahan Jepang, sebagian besar waktu Kim Il-sung dihabiskan di kampus pendidikan politik yang terletak di Uni Soviet. "Dia sebenarnya tak pernah memimpin lebih dari 300 orang partisan,” ungkap Anthony Paul. Kultus individu itu bukanlah sesuatu yang berjalan kebetulan saja. Kim Il-sung memang sengaja membangunnya guna menjamin keberlanjutan kekuasaannya. Maka tak heran jika segala sesuatu mengenai Kim Il-sung haruslah sempurna. Termasuk penyebutan khas media massa Korea Utara terhadapnya: Jenderal Maha Tahu yang kuat bagai baja, yang merebut 100 kemenangan dari 100 pertempuran. Untuk hal-hal kecil saja, misalnya soal ukuran badan, Kim Il-sung harus diperlihatkan dalam media sebagai sosok pemimpin yang gagah dan tegap. Dalam beberapa kasus, foto resmi yang memperlihatkan Kim Il-sung bersama tamu asing berpostur jangkung haruslah direvisi dahulu sebelum dipublikasikan. Kendati aslinya Kim adalah sosok gemuk dan agak pendek namun dalam penampilan di media adalah haram hukumnya sang pemimpin besar berpenampilan cebol. Di tingkat internasional, pamor Kim Il-sung diangkat di berbagai surat kabar Barat dengan mengeluarkan dana sampai jutaan dolar. Itu meliputi bayaran untuk memuat iklan pidato-pidato Kim Il-sung di berbagai surat kabar luar negeri. Setelah dimuat, maka secara cepat koran-koran pemerintah memberitakannya: pelbagai penerbitan utama dunia menyediakan kolomnya untuk gagasan-gagasan Pemimpin Besar. Tidak puas dengan program-program propaganda yang sudah dilakukan, Kim Il-sung pun mendirikan Museum Revolusi Korea. Persis di muka gedung museum itu didirikanlah patung dirinya sendiri setinggi 79 kaki. Di dalam museum itu kurang lebih terdapat 90 ruangan yang melukiskan betapa bersatunya rakyat di sekitar Pemimpin Besar. Pengkultusan di luar akal sehat memunculkan “teror tersendiri” untuk rakyat Korea Utara. Alih-alih untuk melakukan kritik, memperlakukan gambarnya secara tak layak saja bisa berakhir di ujung senjata atau paling ringan masuk penjara. Kerani kantor pos misalnya. Dia harus sangat berhati-hati jika mencap perangko bergambar Kim Il-sung. Aturan di Korea Utara hanya sudut-sudut perangko tersebut yang boleh terkena tinta. Jika tinta itu mengenai bagian gambar wajahnya, itu alamat kiamat bagi hidup sang kerani. Begitu jug cara memperlakukan koran bekas yang ada foto Pemimpin Besar, tak boleh sembarangan. Ada aturannya jika seseorang akan menggunakan koran bekas tersebut untuk membungkus sesuatu atau penambal dinding. Gambar Kim harus lebih dulu digunting lalu disimpan secara baik-baik di tempat yang layak. Pendewaan terhadap Kim Il-sung tidak berakhir ketika dia meninggal pada 8 Juli 1994. Layaknya para diktator di negara-negara komunis, jasad Pemimpin Besar kemudian dibalsem dan disemayamkan di sebuah peti kaca. Tubuhnya dibaringkan di Mausoleum Istana Kumsusan, Pyongyang yang diresmikan pada saat memperingati setahun kematiannya.*

  • Islamisasi Minangkabau

    PROSES Islamisasi di Minangkabau –mencakup wilayah Sumatera Barat, sebagian Riau, Bengkulu, Jambi, sebagian Sumatera Utara, dan sebagian Aceh– terjadi pada kurun masa yang sangat panjang. Banyak bukti yang menjelaskan keberadaan ajaran tersebut. Namun mengenai kapan dan dari mana pertama kali ajaran tersebut masuk, banyak ahli yang kesulitan untuk merekonstruksinya. Keterbatasan informasi menjadi kendala utama. Menurut sejarawan Taufik Abdullah sumber-sumber tentang Islam di Minangkabau belum terekam secara baik. Di dalam tulisannya “Adat and Islam: An Examination of Conlict in Minangkabau” dimuat Readings on Islam in Southeast Asia  karya Yasmin Hussein, Taufik Abdullah menyebut jika pengetahuan pertama tentang Islam di wilayah itu datang dari Ulakan, Padang, Sumatera Barat. Tokoh utamanya adalah Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin dianggap sebagai ulama pertama yang menyebarkan Islam di antara masyarakat Minangkabau. Dia merupakan murid dari ulama terkenal Aceh, Syekh Abduurauf Singkel. Tetapi, kata Taufik Abdullah, banyak bukti yang mengindikasikan bahwa Syekh Burhanuddin bukan yang pertama memperkenalkan Islam di sana. “Meski begitu, ia tampaknya menjadi ulama penting pertama yang mendirikan pusat keagamaan di Minangkabau. Dia menjadi satu-satunya ulama yang memiliki wewenang dalam urusan agama,” kata Taufik Abdullah. Syekh Burhanuddin diketahui membangun sebuah surau di Ulakan. Surau itu menjadi tempat pertama ulama-ulama Minangkabau belajar soal agama Islam secara lebih dalam. Murid-murid Syekh Burhanuddin berasal dari berbagai daerah di Minangkabau. Setiap orang, baik muda ataupun tua, yang ingin memperdalam tentang Islam boleh belajar di sana. Menurut Mhd. Nur, dkk dalam Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah dalam Melawan Penjajah Belanda di Minangkabau pada Abad ke-19 ,   mereka yang telah belajar di Ulakan akan kembali ke daerahnya masing-masing dan membangun surau sendiri. Proses inilah yang mempercepat proses islamisasi. Bahkan pengaruh dari Ulakan itu sampai juga ke seluruh Nusantara, seperti yang dilakukan Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Patimang di Makassar, Sulawesi Selatan. “Para murid Syekh menyebarkan Islam di Minangkabau dengan jalan menanamkan budi dan memperlihatkan akhlak yang baik kepada masyarakat. Masyarakat Minangkabau cepat merespon Islam dan ikut menyebarkan Islam ke daerah-daerah lainnya di Nusantara,” tulis Mhd. Nur, dkk. Pada akhir abad ke-17, ulama-ulama besar bermunculan di Tanah Minang. Beberapa di antaranya: Tuanku Pamansiangan di Luhak Agam, Tuanku Koto Tuo, dan Tuanku Nan Tuo. Mereka adalah bekas murid-murid Syekh Burhanuddin. Di bawah pimpinan ulama-ulama ini, beberapa daerah menjadi pusat pengajaran fiqih Islam, serta Al-Qur’an dan Hadits. Permasalahan hukum, kepercayaan, dan seluruh aspek kehidupan sosial juga tidak lupa diajarkan. Perbedaan Pendapat Awal abad ke-19, setelah berjalan selama dua abad, proses Islamisasi di Minangkabau memasuki fase baru. Para ulama, dikenal sebagai “kaum Paderi”, mencoba melakukan pembaharuan Islam. Misi utamanya: pelaksanaan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Dengan kata lain, pemurnian terhadap Islam di Minangkabau. Tokoh utama dalam gerakan reformasi ini adalah para ulama yang baru saja kembali dari Makkah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Setelah melihat dan belajar Islam di Tanah Suci umat Islam itu, mereka merasa ada kekeliruan dalam praktek agama di Minangkabau. Utamanya pelaksanaan adat yang berlebihan. Meski mayoritas masyarakat Minangkabau telah memeluk Islam, tetapi tiga haji itu masih menemukan praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Seperti banyak guru agama masih berkhidmat kepada kuburan yang dianggap keramat, sabung ayam, berjudi, minum tuak, meninggalkan ibadah, dan pelanggaran agama lainnya. Kaum Putih (nama lain kaum Paderi) menentang seluruh sistem adat yang telah sejak lama menjadi bagian dari tradisi Minangkabau pra Islam. Mereka berusaha menghapusnya, dan menggantikan kebiasaan-kebiasaan di masyarakat tersebut dengan tradisi islami. Hal itu tentu mendapat pertentangan dari golongan adat yang ingin mempertahankan tradisi turun-temurun itu. “Kaum Paderi bukan saja mencela sistem adat, tetapi juga sekaligus menentang pelaksanaan tradisi adat yang bertentangan dengan Islam yang telah menjadi tradisi bagi kaum Adat di Minangkabau,” tulis Mhd. Nur, dkk. Pada 1803, suasana di Minangkabau semakin memanas. Berbagai perundingan dengan Kerajaan Pagaruyung, sebagai penggerak kaum adat, gagal mencapai kesepakatan. Puncaknya, kaum Paderi dan kaum adat terlibat pertikaian besar yang berujung kepada perang saudara. Di bawah komando Harimau Nan Salapan, kaum Paderi berhasil mendesak pasukan kaum adat pimpinan Sultan Arifin Muningsyah. Pagaruyung lalu meminta bantuan Belanda, yang kebetulan sedang mencari celah menguasai wilayah Sumatera. Kesempatan itu juga digunakan Belanda untuk melemahkan pengaruh kaum ulama Paderi. Merek sadar, setelah melihat kasus Aceh, bahwa kaum ulama militan bisa menjadi penghalang upaya kolonialisasi. Namun di tengah pertikaian besar itu, kaum adat mulai menyadari siasat Belanda yang hanya memanfaatkan mereka untuk kepentingan kolonial. Akhirnya kaum adat dan kaum Paderi setuju melakukan genjatan senjata demi mengusir Belanda dari Tanah Minang. “Dampak paling awal dari Islam tercermin di dalam formulasi baru sistem adat sebagai pola perilaku ideal. Hingga akhirnya elemen-elemen luar dapat diserap secara menyeluruh ke dalam tatanan yang ada sebagai bagian dari sistem yang koheren,” kata Taufik Abdullah.*

  • Baret Merah Bikin Inggris Berdarah-darah

    SETELAH pertempuran salah paham antara Yon 1/RPKAD melawan Yon 454/Diponegoro di luar PAU Halim Perdanakusuma pada pagi 2 Oktober 1965 mereda, Sersan mayor (Serma) Soediono mendapat perintah dari Kapten Oerip, atasannya di Kompi Ben Hur. Soediono diperintahkan sang komandan masuk ke Halim untuk menemui Komandan RPKAD (kini Kopassus) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo guna melaporkan perkembangan situasi dan minta arahan lebih lanjut. Ditemani Kopral Miptah, Serma Soediono lalu berjalan kaki masuk ke Halim. Sempat salah masuk ke markas Kolaga, Soediono dan Miptah berhasil menemui Sarwo Edhie di Makoops AURI. Sarwo Edhie berada di Makoops AURI ditemani sejumlah petinggi AURI seperti Laksda Udara Sri Mulyono Herlambang. Di sana, Sarwo Edhie mendapatkan penjelasan bahwa AURI tidak punya rencana membombardir titik-titik vital AD sebagaimana diyakini Pangkostrad Mayjen Soeharto dan pimpinan AD. Maka begitu berhasil menemui sang kolonel, Soediono langsung menjalankan tugasnya. Dia diterima dengan baik oleh Sarwo Edhie. “Kolonel Sarwo Edhie mengenalnya dengan baik, karena dialah yang memberikan kenaikan pangkat luar biasa, menjadi Sersan Mayor di perbatasan Kalimantan Barat, berkat keberhasilannya menghancurkan perkubuan Inggris di Mapu, Sarawak,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 . Soediono merupakan anggota Kompi B “Ben Hur”, kompi yang dipilih untuk menjalankan tugas menghancurkan pos terdepan Inggris di Desa Plaman Mapu, Sarawak, sekira satu kilometer dari perbatasan Kalimantan Barat, pada 27 April 1965. “Plaman Mapu adalah serangan utama terhadap pangkalan Inggris dan dilakukan oleh pasukan berpengalaman sebagai bagian dari strategi eksperimental Indonesia bahwa pasukan kecil dapat mengalahkan pasukan gerilya yang lebih besar,” tulis Nicholas van der Bijl dalam Confrontation the with Indonesia, 1962-1966 . Serangan itu merupakan penjabaran lapangan dari keinginan politik Presiden Sukarno dalam Konfrontasi dengan Malaysia. Perang tanpa deklarasi itu tak kunjung menampakkan hasil gemilang bagi Indonesia setelah lebih dua tahun dijalankan. Sebaliknya, Konfrontasi semakin mempersulit posisi politik Sukarno di dalam negeri karena perekonomian terkesampingkan dan adanya penentangan dari angkatan darat. “Konfrontasi membantu menyulut masalah ekonomi Indonesia, menjadi semakin vital bagi masa depan politik Presiden Sukarno untuk membuat pasukannya harus mengamankan kemenangan militer yang menentukan. Inilah latar belakang Pertempuran Plaman Mapu,” ujar sejarawan Charles Allen dalam  The Savage Wars of Peace: Soldiers’ Voices, 1945-1989 .    Adanya keinginan untuk membuat satu serangan fenomenal itu bertemu dengan keinginan Sarwo Edhie yang ingin menguji konsepsinya. Saat mengikuti kursus Staff Queenschliff di Australia, sekutu Inggris dalam Konfrontasi, Sarwo Edhie pernah mendiskusikan konsep itu dengan rekannya asal Inggris, lawan Indonesia dalam Konfrontasi, Mayor Jeremy Moore. Edhie yakin pengerahan sedikit pasukan khususnya jauh lebih efektif untuk melumpuhkan lawan ketimbang menggunakan pasukan besar gerilyawan. Konsepnya terinspirasi dari pasukan Belanda ketika melakukan agresi di Perang Kemerdekaan. Meski jumlahnya kecil, mereka dapat mengalahkan pasukan gerilya yang jumlahnya jauh lebih besar. “Wibowo yakin bahwa para komandannya dapat melakukan hal yang sama. Wibowo memilih kompi FDL di Plaman Mapu untuk menguji teorinya,” sambung van der Bijl. Pos Plaman Mapu, yang terletak di atas sebuah bukit, dipilih sebagai sasaran karena sering digunakan untuk mendrop pasukan elit Inggris SAS sebelum melakukan patroli di hutan-hutan perbatasan atau penyusupan ke wilayah Indonesia. Selain itu, pos tersebut juga dipilih jadi sasaran karena pada awal 1965 dijaga Kompi B Batalyon Ke-2 Resimen Parasut (2 Para) AD Inggris yang personilnya minim jam terbang. Lima belas dari personil Kompi B masih berusia 18-19 tahun dan baru saja menyelesaikan pendidikan singkat jungle warfare  di hutan Semenanjung Malaya pada Februari. Untuk mewujudkan rencana itu, RPKAD mengirim satu batalyon dari Grup 2 pada Februari. Setelah mendarat di Pontianak, mereka berjalan kaki menuju pos di Balai Karangan. Dari sana, mereka terus melakukan pengintaian ke pos terdepan Inggris dan mengonsep serangan. Mereka mendapati ada hari-hari di mana pos Inggris hanya dijaga oleh satu pleton karena dua pleton lain berkeliling patroli. Setelah sebulan mengadakan pengintaian dan persiapan, pada 25 April Komandan Batalyon Mayor Sri Tamigen memutuskan tiga kompi, termasuk Kompi Ben Hur, sebagai pelaksana misi, sementara satu kompi lain bersiaga di wilayah Indonesia. Selepas magrib tanggal 26 April yang diiringi hujan, sekira 200 personil RPKAD itu berjalan menuju Mapu dengan bersenjatakan masing-masing senapan otomatis AK-47. Kompi itu juga membawa bren, mortir, peluncur roket serta Bangalore torpedo untuk menyingkirkan rintangan kawat atau ranjau. Saat itu, pos Mapu dijaga oleh 36 personil. Pos itu terbagi ke dalam empat seksi, masing-masing seksi dilengkapi senapan mesin, dengan pusat komando di tengah. Selain dilengkapi bungker dan parit perlindungan, pos itu dipagari kawat berduri, ditanami ranjau, dan dilindungi dua mortir 3 inci. “Pos ini bila dihujani peluru dari luar perimeter tidak akan menghasilkan apa-apa karena lubang-lubang di pos-Ubang sangat kuat perlindungannya. Satu-satunya cara untuk merebut pos ini adalah mendorong ke perimeter dan bertarung dari jarak dekat,” kata Mayor Sri Tamigen dalam laporannya, dimuat di  paradata.org.uk . Namun, suara hujan membuat suara langkah-langkah manusia atau suara lain tak terdengar dari pos itu ketika peluru-peluru pasukan RPKAD menghujani pos pukul 5 pagi. “Dalam kegelapan total dan hujan lebat, pasukan parasut Indonesia menyerang Plaman Mapu dengan kekuatan penuh senjata superior mereka, menembakkan artileri, mortir, senapan mesin, dan roket langsung ke salah satu segmen (pos, red .) Inggris, segera memangsa posisi dan salah satu mortir,” tulis buku terbitan RW Press   Paratroopers, Ready for Anything: From WWII to Afghanistan . “Dalam rentetan tembakan pertama, salah satu dari dua posisi mortir kami dihancurkan, bersama dengan setengah dari orang-orang yang memegang mortir. Mereka telah membunuh dua tentara dan melukai beberapa lainnya yang membuat jumlah kami turun menjadi delapan belas yang berdiri dan mampu bertempur,” kata Serma John Williams, dikutip Allen. Mayor Jon Fleming, komandan Kompi B, baru tahu jika posnya diserang setelah seorang petugas sinyal memberitahunya. “Sambil meletakkan kainnya di atas sarung yang ia kenakan, ia (Fleming) keluar ke malam yang basah diterangi ledakan, tracer , dan suar. Kedua tangki air tertembak, seperti juga area di sekitar menara penjaga. Meski personil para-nya berdiri dengan cepat, sebuah mortir membunuh Prajurit Smith dan melukai dua lainnya ketika mereka bergegas ke mortir di dekat gudang,” sambung Allen. Seluruh personil di pos Inggris kaget oleh serangan kilat RPKAD itu dan secepat mungkin meraih senjata untuk mengadakan perlawanan. Serma Williams langsung berlari menuju sektor tempat pertempuran berlangsung. “Ia bertemu Prajurit Kelly, seorang penembak mesin dari bunker yang telah diserang, linglung karena kepalanya tertembak dua kali dan terus mengacungkan pistol Browning 9mm-nya ke hampir semua yang bergerak. Williams dengan tenang melucuti dirinya dan menginstruksikan seorang prajurit untuk membawa Kelly ke Pos Komando tempat para korban sedang berkumpul,” sambung Allen. Mayor Fleming langsung melaporkan serangan itu ke atasannya, Letkol Ted Eberhardie. Karena setiap kali Fleming akan kembali ke lokasi pertempuran dia dipanggil kembali ke radio, dia lalu menyerahkan kepada Serma Williams. “Dia (Williams) berkeliaran, meraih sebanyak mungkin prajurit yang bisa dikerahkannya, dan berusaha membawa mereka ke posisi yang menguntungkan, tetapi, ketika dia melakukannya, pasukan Indonesia meledakkan mortir, menyebar prajurit dan hanya menyisakan lima kaki. Williams melesat ke salah satu posisi senapan mesin, dijaga Kopral Malcolm Baughan dan beberapa lainnya sementara mereka memaksa musuh kembali ke parit,” sambung Paratroopers, Ready for Anything. Pertempuran yang melibatkan pertarungan jarak dekat itu akhirnya berubah begitu fajar menyingsing dan pasukan Inggris mulai mendapatkan jarak pandang yang baik. Ketika pasukan Gurkha tiba untuk membantu pasukan pos jaga Inggris sekira dua jam dari awal pertempuran, pasukan Indonesia telah mundur. Pertempuran Plaman Mapu pun berakhir.*

  • Supeni, Kim Il-sung, dan Ganefo

    PRESIDEN Sukarno mengangkat Supeni, politisi perempuan PNI, sebagai duta besar keliling. Ia ditugaskan meyakinkan pemimpin negara-negara Asia-Afrika untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok pertama di Beograd, Yugoslavia, pada 1–6 September 1961. Di luar tugas resmi itu, saat diundang ke Korea Utara, Supeni sempat menyinggung soal pesta olahraga yang sedang dipersiapkan oleh Sukarno untuk menandingi Olimpiade, yaitu Games of The New Emerging Forces (Ganefo). "Meskipun Bu Peni tidak punya urusan kegiatan apa-apa dengan Ganefo, tapi dalam pembicaraan dengan Kim Il-sung, sepintas lalu disinggung juga masalah ini," tulis Paul Tista dalam Supeni, Wanita Utusan Negara . Supeni sekadar bertanya kepada Kim Il-sung, apakah Korea Utara akan mengirimkan atlet-atletnya ke Ganefo. Ternyata, Kim Il-sung belum tahu tentang Ganefo dan minta dijelaskan. Setelah mendengar penjelasan dari Supeni, Kim Il-sung bertanya apakah negaranya perlu mengirim kontingen ke Ganefo? "Perlu sekali," kata Supeni "Kalau tidak kirim, bagaimana?" tanya Kim Il-sung. "Rugi, karena dengan demikian maka Korea Utara akan terisolasi," jawab Supeni. "Apakah Soviet Uni dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) akan kirim juga?" tanya Kim Il-sung. "Ya, mereka akan kirim kontingen yang besar," kata Supeni. "Kalau begitu, sebaiknya saya kirim juga," kata Kim Il-sung. Korea Utara pun mengirimkan kontingennya ke Ganefo. Menurut Paul Tista, percakapan dengan Kim Il-sung itu tidak pernah dilaporkan kepada Sukarno maupun Menteri Luar Negeri, dr. Subandrio atau Menteri Olahraga, Maladi. "Jadi, di Indonesia pun tidak ada orang yang mengerti bahwa Bu Peni pernah memengaruhi Kim Il-sung supaya mengirimkan atlet-atletnya ke Ganefo," tulisnya. Ganefo diselenggarakan pada 10–22 November 1963 di Jakarta. Sekitar 2.700 atlet dari 51 negara bertanding dalam 20 cabang olahraga. Hasilnya, Tiongkok keluar sebagai juara, diikuti Uni Soviet, Indonesia, Republik Persatuan Arab, dan Korea Utara. Pada April 1965, Kim Il-sung mengunjungi Indonesia sebagai balasan atas kunjungan Sukarno ke Korea Utara pada 1–4 November 1964. Supeni termasuk yang turut menyambut Kim Il-sung di Istana Merdeka. "Ketika Kim Il-sung melihatnya, tiba-tiba saja tamu negara ini keluar dari jalur protokol dan menyalami Bu Peni. Presiden Sukarno tersentak melihat tamunya keluar dari jalur, tapi setelah melihat Kim Il-sung menyalami Supeni, dia tersenyum," tulis Paul Tista. Frank Galbraight, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, tak suka dengan keakraban Supeni dan Kim Il-sung. Ia mendekati Supeni dan berkata dengan nada mengancam, " Oh, you, you bring about this, you'll see later, I know now " (Oh, Anda, Anda membawa ini, Anda akan lihat nanti, saya tahu sekarang). Supeni menjawab, " What do you mean, is that the way you meddle in other country’s business ?" (Apa maksud tuan? Apa ini caranya tuan mencampuri persoalan negara orang lain?). Sukarno tidak mengira kalau Kim Il-sung sudah mengenal Supeni. "Kim Il-sung sendiri kemudian menceritakan kepada Bung Karno, kalau tidak ketemu Supeni, mungkin Korea Utara tidak mengirimkan atlet-atletnya ke Ganefo," tulis Paul Tista.*

  • Lapo, Restorannya Orang Batak

    PUKUL tiga sore. Meski jam makan siang telah lewat, Lapo Siagian/br. Tobing yang berlokasi di Jalan Darat No. 17 Medan masih ramai pengunjung. Sebagian menyantap makanan, sebagian lainnya menanti pesanan. Di etalase, menu makanan seperti saksang babi, daging panggang babi, dan ikan mas arsik, daun ubi tumbuk, dan kue ombus-ombus tersaji rapi di tiap baskom. Meski terlihat sederhana, mereka sungguh menggugah selera.

  • Martir Anarkis pada Peristiwa Mei 1886

    1 MEI 1886. Puluhan ribu buruh di Chicago turun ke jalan. Mereka menuntut delapan jam kerja dalam sehari. Aksi itu disambut oleh senjata api polisi sehingga menggerakan aksi lebih besar lagi yang kemudian menjadi cikal bakal May Day atau Hari Buruh Internasional. Kala itu, Chicago menjadi pusat gerakan anarkis terutama di kalangan imigran Jerman dan Ceko. Pada Kongres Internasional Kedua 1883 di Pittsburgh, mereka mengirim lebih banyak delegasi daripada kota-kota lain. Jumlahnya bahkan mencapai setengah dari total keanggotaan Amerika Serikat. Tiga makalah anarkis juga diterbitkan di Chicago dan dibaca banyak kelas pekerja. “Agitasi mencapai puncaknya di Chicago pada tahun 1886. Pada 3 Mei polisi menembaki kerumunan di luar pabrik McCormick Reaper Works yang telah mengunci orang-orangnya, membunuh beberapa orang,” tulis Peter Marshall dalam Demanding The Impossible, A History of Anarchism. Kejadian itu menyulut lagi protes besar yang digelar di lapangan Haymarket. Protes hari itu hampir berakhir damai. Hujan turun dan kerumunan tersebar. 200 polisi berbaris di alun-alun. Namun, ketika mereka mulai membubarkan massa, sebuah bom dilemparkan dari sebuah gang. Kekacauan terjadi. Polisi kemudian mulai menembak ke arah kerumunan. Dalam baku tembak itu tujuh polisi tewas dan kemungkinan tiga kali lebih banyak yang tewas dari pihak demonstran, serta enam puluh lainnya terluka. Jumlahnya tidak pernah dipublikasikan. Peristiwa itu membuat delapan orang anarkis dituduh bertanggung jawab. Mereka adalah Albert Parson, August Spies, Michael Schwab, Samuel Fielden, George Engel, Adolph Fischer, Oscar Neebe dan, Louis Lingg. Albert Parsons adalah editor suart kabar Alarm  dan August Spies editor Chicagoer Arbeiter-Zeitung . Pengadilan memvonis tujuh orang dihukum mati sementara satu orang mendapat lima belas tahun penjara. Namun kemudian, vonis dua orang dari mereka yang dihukum mati diubah menjadi penjara seumur hidup. “Dari lima orang yang dihukum mati, satu melakukan bunuh diri pada malam sebelum eksekusi,” sebut Marshall. Empat orang yang akhirnya dieksekusi adalah Parsons, Spies, Engel, dan Fischer. Mereka digantung pada November 1887. Sementara itu, para penyintas dibebaskan beberapa tahun kemudian ketika Gubernur Illinois John Peter Altgeld memerintahkan penyelidikan atas kasus tersebut dan tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam pemboman itu. George Woodcok dalam Anarchism: A History of Libertarian Ideas and Movements  menyebut pengakuan ketidakadilan yang dialami para anarkis itu membuat mereka menjadi martir klasik gerakan buruh. Namun, ada satu hal yang masih kabur. “Tidak seorang pun, seperti yang saya katakan, pernah tahu siapa yang melempar bom Haymarket. Itu mungkin agen provokator,” sebut Woodcock. Insiden Chicago menjadi awal dari prasangka orang Amerika terhadap anarkisme dalam bentuk apa pun. Pada tahun-tahun berikutnya, kaum anarkis di Amerika Serikat terlibat dalam sedikit kekerasan. Namun sayangnya, dua dari sedikit insiden yang melibatkan mereka begitu terkenal, yakni percobaan pembunuhan terhadap pemodal Henry Clay Frick oleh Alexander Berkman pada 1892 dan pembunuhan Presiden McKinley oleh Leon Czolgosz pada 1901. Meski demikian, Kongres Sosialis Internasional II di Paris pada Juli 1889 menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Sementara itu, Amerika Serikat memilih hari Senin pertama di bulan September sebagai Hari Buruh.*

  • Wabah Penyakit Kala Puasa Ramadan

    WABAH penyakit beberapa kali menyerang umat muslim saat Ramadan. Tak jarang pada bulan puasa itu wabah mencapai pucaknya. Para ulama pun mencatat wabah itu dalam karya-karyanya. Karya-karya itu lahir saat Maut Hitam (Black Death) menyergap. Wabah ini dengan dahsyat menyebar melintasi padang rumput Asia Tengah ke pantai-pantai Laut Hitam, tak terkecuali kota-kota besar dan kecil Islam. "Persebaran wabah ini sangat terkait dengan aktivitas keagamaan," kata Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah dalam seminar daring lewat aplikasi  zoom  tentang "Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia" yang diselenggarakan Museum Nasional pada 21 April 2020. Puncak Wabah Saat Ramadan Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam "Plague in Early Islamic History" termuat di  Journal of the American Oriental Society  mencatat wabah yang dinamakan Salam bin Qutaibah terjadi pada Rajab sampai Syawal (Februari–Juni) tahun 749 di Basrah. Nama wabah itu diambil dari nama seorang gubernur Baṣrah di bawah Dinasti Umayah dan Abbasiyah. "Wabah ini menjadi semakin parah saat Ramadan dan melandai pada Syawal," catat Dols. Wabah berulang kali menyerang pada masa kekuasaan Umayah yang berlangsung dari 661 sampai 750. Bahkan, seorang pejabat pemerintah menjadi korban. Ziyad Ibn Abi Sufyan atau Ziyad bin Abihi meninggal dunia di Kufah (Irak) pada Ramadan (Agustus) tahun 673. Ia menjabat gubernur Basra pada 665–670 dan menjadi gubernur Irak pertama pada 670 hingga kematiannya. "Untuk alasan ini, saat wabah datang selama musim panas, kekhalifahan Umayah meninggalkan kota, mereka pindah ke tempat-tempat terpencil dan tinggal dekat dengan orang-orang Badui," tulis Dols. Pada abad pertengahan, pengalaman merasakan wabah saat Ramadan dikisahkan oleh Al-Maqrīzī, sejarawan terkemuka Mesir. Dalam kitab  as-Sulūk,  ia mencatat bahwa wabah Maut Hitam melanda Mesir mulai dari Syakban, Ramadan, sampai Syawal 749 (November 1348–Januari 1349). Ketika itu wabah dalam kondisi terburuk. "Wabah pneumonik, mungkin mirip dengan sekarang Covid-19, gejala di radang paru, sesak, panas, ini terjadi biasanya dimulai pada musim dingin di wilayah Eropa abad ke-14," kata Oman. Ibnu Abi Hajalah menulis Daf’an-niqmah  ketika wabah melanda Kairo pada 1362. Saat itu Maut Hitam merebak di Eropa dan Timur Tengah. Menurutnya, puncak wabah terjadi pada Syakban, Ramadan, dan Syawal. "Kalau kita lihat korban 900 ribu dalam dua bulan dari Syakban hingga Ramadan. Ini baru dari Kairo saja belum wilayah lainnya," katanya. Manuskrip ketiga menjelaskan wabah pada 1373–1374, sejak Rajab hingga Muharam. "Berapa bulan itu coba? Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, Muharam," kata Oman. "Bayangkan haji terganggu, Ramadan terganggu. Jadi bukan sekarang saja kita harus beribadah di rumah." Muhammad al-Manjibi al-Hambali atau Muhammad bin Muhammad al-Manbiji, ulama Suriah Utara abad ke-14, menyusun kitab saat wabah merebak pada Rajab 775 H (1373) yang meningkat menjelang akhir Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, kemudian menurun pada Muharam tahun berikutnya. Kitab itu diterjemahkan Avner Giladi, profesor sejarah Timur Tengah di University of Haifa dalam "'The Child Was Small... Not So the Grief for Him': Sources, Structure, and Content of Al-Sakhawi’s Consolation Treatise for Bereaved Parents" yang terbit di jurnal  Poetics Today.   Wabah itu mengakibatkan banyak rumah dikosongkan dan ribuan orang tewas, mayoritas anak-anak. "Karena begitu banyak orang beriman yang meninggal, saya menyebut wabah ini 'wabah orang-orang saleh' ( ta'un al-akhyar )," kata Al-Manjibi. "Jadi bagaimana mungkin mengatakan wabah ini adalah hukuman bagi orang berdosa, bagi kelompok yang maksiat sementara orang-orang saleh juga jadi korban, saya kira penafsiran begini meski ada, tapi tidak produktif dalam kontribusi penanganan, dalam memberikan ketenangan kepada sesama," kata Oman. Tak hanya di Timur Tengah, wabah beberapa kali merebak di Hindia Belanda, seperti flu Spanyol dan kolera. Dalam Histories of Health in Southeast Asia  suntingan sejarawan Cambridge University, Tim Harper, disebutkan kolera terjadi selama Ramadan tahun 1933 yang mengakibatkan lebih dari 500 pasien meninggal dunia di rumah sakit ibu kota. Kegiatan Keagamaan Meningkat Di saat wabah merebak, kegiatan keagamaan meningkat kendati masjid ditutup. "Ini spesifik ketika pandemi terjadi berbulan-bulan," ujar Oman dalam siaran Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) lewat akun media sosialnya beberapa waktu lalu. Hal itu juga tampak dalam catatan Ibnu Battuta yang dituliskan kembali oleh Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam  Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14 . Maut Hitam merupakan salah satu wabah yang pernah terjadi di negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah. Orang-orang menghentikan kebiasaan sehari-hari. Mereka lebih memilih salat dan berdoa. Kebanyakan muslim menerima wabah itu sebagai rencana Tuhan yang tak diketahui ciptaan-Nya. Masjid-masjid ditutup khususnya saat para petugas dan anggota pengurusnya menjadi korban. Kegiatan memandikan, membersihkan, dan mengubur jenazah tiada hentinya. Iring-iringan penguburan bergerak melalui jalan-jalan dalam parade yang tak berkesudahan. Persediaan peti mati dan pakaian penguburan cepat habis. "Para penggali kubur yang berhasil bertahan hidup meminta upah amat tinggi untuk pekerjaan mereka," tulis Dunn. Selain berpuasa Ramadan, diadakan pula doa bersama dengan bacaan tertentu. Pada Jumat, 6 Ramadan 1348 saat wabah berada di puncak, masyarakat diminta datang untuk berdoa bersama. Mereka membaca kitab Bukhari. "Di Kairo ada keyakinan membaca kitab-kitab Bukhari memberikan hikmah,  healing , pengobatan dari agama karena membantu memberikan ketenangan," kata Oman. Selain sebagai hadis sahih, kata Oman, kitab Bukhari banyak menjelaskan tentang wabah, di antaranya yang mengatakan: "Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya". "Ini bentul-betul jadi prinsip yang mewarnai para penafsir abad berikutnya," kata Oman. Namun, sebagaimana ditulis Ibnu Hajar al-Asqalani yang dikutip Dols, kegiatan berdoa bersama menyebabkan orang-orang berkumpul. Mereka berbondong-bondong datang. "Muslim dan non-muslim, anak-anak, mereka menangis meminta, tapi berkerumun. Justru wabah semakin menyebar, kematian semakin bertambah," tulis Dols.*

  • Temu Legenda Banyuwangi

    IKON kesenian gandrung Banyuwangi, Jawa Timur, unjuk kebolehan. Meski usianya menua, gerakan tangan, pinggul, kaki, dan kepalanya masih lincah dan luwes. Mengikuti irama gamelan yang rancak. Sesekali, dengan cekatan, tangannya melempar sampur. Begitulah Temu menari kala mengisi acara Sarasehan Budaya “Masa Depan Kesenian Gandrung di Banyuwangi” yang merupakan bagian dari Festival Lembah Ijen, medio Februari lalu. Temu dikenal sebagai maestro gandrung Banyuwangi. Sebagai penari gandrung senior, Temu memiliki kemampuan dalam bernyanyi, menari, dan wangsalan . “Penari gandrung sekarang, ada yang bisa menyanyi tapi tak bisa menari, atau ada yang bisa menari tapi tak bisa menyanyi –sehingga yang menyanyi adalah orang lain,” ujar Temu dalam wawancara yang dimuat buku Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan  suntingan Philip Yampolsky. Sang Primadona Nama kecil Temu adalah Misti. Dia lahir 20 April 1953 di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, sekira tujuh kilometer dari Kota Banyuwangi. Misti adalah anak kedua dari pasangan Mustari dan Supiah. “Darah seni Temu mengalir dari sang ayah yang merupakan pemain ludruk dan biasa membawakan lagu jula-juli yang disebut kidungan ludruk . Darah seni juga dimiliki sang kakek, yakni Samin. Beliau ahli dalam seni tradisi mocoan lontar ,” tulis Dwi Ratna Nurhajarini dalam artikelnya “Temu: Maestro Gandrung dari Kemiren Banyuwangi”, dimuat Patrawidya , Desember 2015. Misti kecil sering sakit. Karena khawatir, ibunya bernazar kalau sudah besar Misti menjadi gandrung. Mirip dengan kisah Semi yang dikenal sebagai penari gandrung pertama. Namun jalan Temu menjadi penari gandrung lebih berliku. Karena orangtuanya bercerai, Misti kecil tinggal bersama keluarga bude dan pakdenya. Karena sejak kecil sakit-sakitan, Misti dibawa dan diobati ke seorang dukun. Misti juga dibawa ke juragan gandrung bernama Mbah Ti'ah. Oleh Mbah Ti’ah, dia diharapkan menjadi gandung. “Kesembuhan Misti dari sakit menurut istilah dari juragan Ti'ah adalah nemu nyawa  (mendapatkan kehidupan lagi setelah sakit parah). Dari istilah nemu  kemudian berubah menjadi Temu,” tulis Dwi. Temu mulai intens belajar gandrung. Menginjak usia 15 tahun, dia manggung untuk pertama kali di Dusun Gadok, tak jauh dari tempat tinggalnya. Pementasan ini merupakan fase wisuda sebagai penari gandrung atau biasa disebut meras . Nama Gandrung Temu kemudian melekat padanya, kendati o rang Using sering menyebutnya dengan nama Gandrung Temuk atau Mak Muk. Dengan suara dan gerak khas yang tak dimiliki gandrung lain, Temu perlahan dikenal orang. Dia kerap ditanggap. Jadwal pentasnya padat; bisa sampai 20 kali dalam sebulan. Temu jadi primadona. Penari gandrung Banyuwangi, Jawa Timur. (@banyuwangi_kab) Album Rekaman Selain teknik menari yang bagus, Temu piawai melantunkan gending atau lagu gandrung. Dengan cengkok khas Osing, suara melengking tinggi dan jelas, keindahan suara Temu disebut-sebut sebagai eksotisme dari timur. “Memang sulit untuk mempelajari lagu-lagu gandrung, saya tak tahu kenapa,” ujar Temu dalam buku Yampolsky. Karena keindahan suaranya, Temu dilirik perusahaan rekaman. Sejumlah album lagu gandrung direkam dan dijual dalam bentuk kaset atau CD. Penjualannya lumayan laris di pasaran. Farida Indiriastuti dalam “Dari Kemiren ke Hollywood” di Kompas , 3 November 2007, mengambil sampel album kompilasi Temu Disco Etnik Banyuwangi yang direkam Sandi Record. Album ini mampu menembus angka penjualan fantastis: 50.000 VCD dan 10.000 kaset dengan distribusi meliputi Jawa, Madura, dan Bali. “Lagu bahasa Osing itu disenangi. Lagunya sendiri gak dimengerti. Tapi orang senang. Enak didengar,” ujar Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi, dalam tayangan berjudul “Bahasa Using (Osing) Banyuwangi” produksi Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta yang beredar di YouTube .  Suara emas Temu bahkan melanglang hingga ke mancanegara. Pada 1980-an, Smithsonian Institution dari Amerika Serikat melakukan proyek pendokumentasian dan penerbitan musik rakyat bekerjasama dengan Masyarakat Musikologi Indonesia –kini, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Mereka membuat 20 volume atau album yang dilabeli Music of Indonesia . Volume pertama adalah Gandrung Banyuwangi dengan judul Songs Before Dawn yang rilis tahun 1991. Gandrung Banyuwangi dibawakan oleh Temu dan direkam di sebuah kebun pada malam hari di Desa Kemiren. Rekaman dalam bentuk CD itu berisi 11 lagu gandrung. Di Indonesia, album ini rilis enam tahun kemudian dengan judul Nyanyian Menjelang Fajar . Seperti judul albumnya, 11 lagu itu biasa dibawakan kala seblang subuh atau bagian terakhir dari pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari gandrung menari sendiri sambil melantunkan lagu-lagu gending untuk mengakhiri pertunjukan. Tujuannya mengingatkan penonton atau para tamu untuk kembali ke rumah, bertemu dengan keluarga, dan memenuhi kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Dewasa ini seblang subuh jarang dipentaskan. Songs Before Dawn rupanya diperjualbelukan secara luas dan laku. Pada medio Juli 1992 saja, catat Farida, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan sebanyak 284.999 keping CD dalam tempo 24 jam. Belum lagi kalau dihitung angka penjualan di negara-negara lain dalam format CD, kaset, dan unduhan via internet. Popularitas Temu tak berbanding lurus dengan penghasilan yang didapatkannya. Temu tetap hidup sederhana. Dengan kesederhanaan pula dia menjalani hidup sebagai seniman. Berkat Temu, gandrung Banyuwangi kian dikenal di dunia. Berkat dedikasi Temu pula, gandrung Banyuwangi tetap lestari dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Temu menjadi salah satu inspirasi bagi Banyuwangi untuk menggelar Festival Gandrung Sewu. “Kami bangga memiliki Bu Temu yang tak pernah lelah dan bosan menguri-uri kesenian Gandrung. Festival Gandrung Sewu juga terinspirasi dari semangat Bu Temu,” ujar Anas dalam laman Pemkab Banyuwangi . Kini, di rumahnya yang sederhana, Temu masih berupaya melestarikan gandrung. Temu memiliki grup gandrung sekaligus sanggar di rumahnya yang diberi nama Sopo Ngiro. Salah satu yang nyantrik atau belajar kepadanya adalah Mudaiyah, yang kini dikenal sebagai penari gandrung muda Desa Kemiren. “Saya akan terus menari sampai saya tak laku lagi. Saya ingin terus menari sampai saya punya murid yang menekuni tradisi ini, sampai murid itu bisa menari semua tarian dan bisa menyanyi semua lagu. Baru saya bisa pensiun!,” ujar Temu dalam buku Philip Yampolsky.

  • Menanti Vaksin Pembasmi Penyakit

    SEBAGAI salah satu lembaga yang meneliti vaksin corona, Universitas Oxford pada 23 April 2020 sudah mulai mengujicoba hasil risetnya pada manusia. Sebanyak 1110 sukarelawan menjadi bagian dari percobaan tersebut. Setengahnya menerima vaksin ujicoba, setengah lainnya mendapat vaksin meningitis. Vaksin yang diujicoba merupakan ChAdOx1 nCoV-19, yang dibuat dari virus (ChAdOx1) atau virus flu biasa (adenovirus) yang sudah dilemahkan. Adenovirus biasanya menginfeksi simpanse. Secara genetis, virus ini telah berubah sehingga muskil berkembang pada manusia. Materi genetik dari protein SARS-Cov-2 (disebut Spike Glycoprotein ) ditambahkan pada konstruksi ChAdOx1. Protein ini biasa ditemukan pada permukaan SARS-Cov-2 dan punya peran penting dalam proses infeksi ke manusia. Vaksinasi ChAdOx1 nCoV-19 diharapkan membuat tubuh mengenali dan mengembangkan respon imun terhadap protein Spike Glycoprotein. Dengan begitu, dapat menangkal virus SARS-CoV-2 memasuki sel manusia sehingga mencegah infeksi. Vaksin virus ChAdOx1 telah diberikan pada lebih dari 320 orang. Sejauh ini, penggunaan vaksin tersebut diklaim aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping sementara yang ditimbulkannya semisal demam ringan, sakit kepala, atau lebam di lengan. Ujicoba vaksin yang dilakuakn Universitas Oxford ini merupakan satu dari 76 kadidat vaksin yang diteliti di berbagai lembaga riset dunia. Para ahli berpendapat, pandemi Covid-19 bisa diatasi apabila obat yang terbukti efektif menyembuhkan penyakit bisa diproduksi massal atau penemuan vaksin untuk mencegah infeksi virus. Dikutip dari BBCnews,  para ahli memprediksi bahwa vaksin corona baru bisa diproduksi massal pada 2021. Upaya pemberantasan penyakit dengan vaksinasi juga pernah dilakukan kala cacar mewabah. Vaksin cacar ditemukan pada 1778 di Inggris oleh Edward Jenner. Pada 1780-an metode variolasi diperkenalkan Inggris di Bengkulu, Sumatera selatan. Sementara, di Jawa metode ini diperkenalkan oleh Belanda. Variolasi atau inokulasi merupakan metode pertamakali yang digunakan untuk mengebalkan imun tubuh dari penyakit dengan mengambil sebagian infeksi ke tubuh orang lain. Peter Boomgaard dalam “Smallpox, vaccination, and the Pax Neerlandica” menyebut, pada mulanya sejumlah kecil orang yang diinokulasi kebanyakan orang Eropa dan budaknya. Inokulasi ini jauh lebih berbahaya daripada vaksinasi. Ketika beberapa orang meninggal setelah diinokulasi, antusiasme untuk menjalani metode ini turun drastis. Sementara, vaksin yang sudah diproduksi massal dibawa Inggris ke Bombay dan Sri Lanka pada 1802. Dua tahun kemudian vaksin yang sama dibawa ke Jawa oleh Belanda. Antara 1805 dan 1815, vaksinasi meluas di Jawa dan makin banyak orang yang menerima vaksin. Ketika Inggris berkuasa pada 1815, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menjalankan program vaksinasi dengan sistematisasi detil dan menyeluruh. Petugas medis, khususnya mantri, dikirim ke pelosok sehingga distribusi vaksin bisa sampai ke desa-desa. Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market mencatat, ketika vaksinasi pertamakali diperkenalkan di Priangan, orang-orang mencurigai program ini. Beredar desas-desus bahwa vaksinasi merupakan usaha pemerintah kolonial menandai setiap anak lelaki untuk dimasukkan sebagai tentara kelak ketika dewasa. Orang-orang yang takut lantas kabur ke hutan untuk sembunyi. Pada 1818, pemerintah kolonial menggratiskan vaksinasi cacar di semua daerah. Dua tahun berikutnya, dikeluarkan Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst (peraturan mengenai Dinas Kesehatan Publik) dan Reglement op de Uitoefening der Keoepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (peraturan pelaksanaan vaksinasi cacar). Dari situlah pengorganisasian program vaksin dimulai. Seperti ditulis Baha’udin dalam “Dari Mantri hingga Dokter Jawa”, program itu cukup sukses dijalankan. Sebanyak 50.420 orang di Jawa dan Madura menerima pencacaran pada 1818. Jumlah itu naik pada tahun berikutnya menjadi 55.322 pencacaran. Pada 1820 sebanyak 83.237 orang menerima vaksin cacar. Namun pada 1860, pencacaran mesti dilakukan dua kali karena beberapa orang menerima pencacaran ulang. Sebanyak 479.768 orang menerima pencacaran dan sebanyak 211.051 menerima pencacaran ulang. Hal serupa terjadi pada 1871, di mana 524.553 orang menerima pencacaran dan 209.479 divaksin ulang. Pada 1875, angkanya naik menjadi 570.652 orang menerima vaksin pertama dan 360.201 divaksin untuk kedua kalinya. Keberhasilan program vaksinasi cacar ini kemudian dijadikan model kebijakan dalam menangani penyakit-penyakit rakyat ( volkziekte ), salah satunya pes. Kala wabah pes melanda Jawa, penanganan penyakit berada di bawah Dinas Kesehatan Publik ( Burgerlijke Geneeskundige Dienst, BGD). Lembaga ini, seperti ditulis dosen IAIN Surakarta Martina dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, membentuk program Pestbestrijding (pemberantasan pes). Mereka mendatangkan dokter dari Eropa, mengatur implementasi karantina, mengelola rumah sakit umum dan klinik, skema kebersihan intensif, penelitian obat dan vaksin, pelatihan dokter dan mantri pes, produksi vaksin, dan pengumpulan data statistik. Awalnya, BDG mengimpor dua jenis vaksin pes dari Jerman dan Inggris. “Dalam penanganan pes, segala vaksin dicoba di negeri jajahan sampai ditemukan yang paling efektif,” kata Martina pada Historia. Pemberian kedua vaksin ini dilakukan pada 65.720 orang dalam jangka waktu tujuh bulan. Sebanyak 54.017 orang dengan vaksin Jerman dan 11.703 dengan vaksin Inggris. Namun, kedua vaksin tersebut dinilai kurang efektif di samping biaya impor dan harganya yang mahal. Pada 1930-an, dokter Otten dari Institute Pasteur, Bandung mengembangkan vaksin dari bakteri pes hidup. Vaksin ini ternyata lebih efektif dibanding vaksin impor dari Jerman dan Inggris. Martina menyebut, kala penanganan cacar, dokter Otten juga mengembangkan vaksin kering cacar yang lebih efektif digunakan di wilayah tropis. Pemvaksinan massal kemudian dilakukan dengan bantuan mantri, seperti ketika vaksinasi cacar. Pada 1939, pemerintah kolonial mengklaim sebanyak 2,5 juta orang telah menerima vaksin temuan dokter Otten dan lebih dari 10 juta orang telah divaksin ulang. Vaksinasi ini berhasil mengurangi 25 persen tingkat kefatalan penyakit pes. Pada akhir masa pemerintahan kolonial, laporan tentang angka korban penyakit pes terus menurun karena meningkatnya daya imun penduduk terhadap penyakit pes.*

  • Medan Laga Korea Utara dalam Sepakbola

    KIM Jong-un, pemimpin Korea Utara (Korut), merupakan seorang penikmat olahraga. Cucu pendiri Korut Kim Il-sung yang tengah diisukan wafat itu penggila basket NBA. Semasa kuliah di Swiss, ia juga sering berperjalanan ke Italia menengok laga-laga Serie A. Sejak beberapa tahun lalu berseliweran kabar ia menggemari beberapa klub asal Negeri Pizza seperti Juventus dan Inter Milan. Ketika timnas Korut lolos Piala Dunia 2010, jelas ia jadi pria paling bahagia sekaligus jadi sosok paling kecewa lantaran buruknya prestasi Jong Tae-se dkk. di Afrika Selatan. Kim Jong-un saat hendak menikmati laga salah satu klub terbesar Korut, 4.25 (tim April) (Foto: Rodong Sinmun) Bagaimana mula sepakbola di negeri yang tertutup dan misterius itu, minim sumber. Yang bisa dipastikan, sepakbola sebagai olahraga yang “merakyat” sudah jadi perhatian sejak rezim Kim Il-sung. Sebagai olahraga yang menarik massa, sepakbola selalu jadi alat politik penguatan ideologi komunisme kepada rakyatnya. Pemerintah dan rakyat Korut gila bola. Bila Amerika Selatan dan Eropa boleh bangga pada stadion-stadion legendaris nan mewah yang mereka punya, Korut berhak tepuk dada lantaran punya stadion Stadion 1 Mei Rungrado. Didirikan 1 Mei 1989, arena berbentuk cangkang kerang itu merupakan stadion bola terbesar sekolong langit dengan kapasitas 114 ribu orang. Sepakbola Korea Utara yang Misterius Seperti halnya kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya, masuk dan berkembangnya sepakbola di Korut juga misterius. Mengutip dari North Korea Handbook yang disusun kantor berita Korsel Yonhap , permainan si kulit bundar mulai berkembang pesat tak lama setelah gencatan senjata Perang Korea pada 1953. Namun, klub sepakbola pertama di Korut sudah eksis bahkan sebelum Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK, nama resmi Korut) lahir. Adalah Amnokgang Sports Club yang berdiri pada 19 Desember 1947, setahun sebelum DPRK memproklamirkan diri. Sayangnya, tak tercatat kiprah perdananya di masa transisi setelah memerdekakan diri dari Jepang itu. Seperti di negara-negara Eropa Timur, klub-klub yang bermunculan kemudian terafiliasi dengan sejumlah perangkat pemerintahan. Amnokgang dipegang Kementerian Keamanan Rakyat. Klub lain, 4.25 Sports Club, lahir pada Juli 1949 dengan nama Central Sports Training School Sports Club. Tim yang bernaung di bawah Kementerian Angkatan Bersenjata Rakyat ini mengubah namanya menjadi seperti sekarang sejak Juni 1971, mengambil tanggal lahir Tentara Rakyat Korea, 25 April 1932. Sementara, klub kesayangan Kim Il-sung adalah Pyongyang City Sports. Klub ini didirikan pada 30 April 1956. “Pyongyang City Sports Team didirikan langsung oleh Presiden Kim Il-sung untuk memulai proyeknya pada 30 April 1956, dalam rangka restorasi pasca-perang. Klubnya langsung dikelola oleh Partai Pekerja Korea,” sebagaimana dikutip Tongil News , 9 Mei 2006. Stadion Kim Il-sung yang berdiri sejak 1926 dan sempat direnovasi pada 1969 (Foto: bjornfree.com ) Klub ini pula yang sejak 1969 bersarang di stadion tertua dan legendaris di ibukota, Stadion Kim Il-sung. Stadion yang mulanya bernama Stadion Girimri ini berdiri pada 1926. Ia adalah markas Pyongyang Football Club, tim sepakbola yang beraktivitas sejak Korea masih berupa kerajaan dan bubar saat Perang Korea meletus. Stadion tersebut rusak parah akibat Perang Korea. Ia baru direnovasi tahun 1969 dan namanya diubah menjadi Stadion Moranbong. Karena sering dijadikan tempat pidato Kim Il-sung, pada April 1982 nama stadion pun diubah menjadi Stadion Kim Il-sung. Hal misterius lain adalah, Asosiasi Sepakbola Korea Utara (PRKFA) sudah lahir sejak 1945 meski baru diakui dan diterima sebagai anggota FIFA pada 1958. Dua tahun berselang, PRKFA mulai menggulirkan liga sebagai kompetisi rutinnya di samping beberapa turnamen domestik lain seperti Hwaebul Cup, DPR Korea Championship, dan Mangyongdae Prize. “Sebenarnya setelah Perang Dunia II dan Korea merdeka dari Jepang, KFA (sebagai induk sepakbola Korea yang masih bersatu, red. ) lolos menjadi anggota FIFA sejak 1947. Setelah Perang Korea berakhir, Korea Selatanlah yang mewarisi status keanggotaan FIFA. Baru setelah (PRKFA) melamar, FIFA memberi status keanggotaan pada Korea Utara pada 1958 dan mereka menjadi sorotan dunia untuk pertamakali pada Piala Dunia 1966,” ungkap John Nauright dan Charles Parrish dalam Soccer Around the World. Kejutan Chollima di Tanah Britania Bila Korsel –bersama Jepang– boleh berbangga jadi negara Asia pertama yang jadi tuan rumah Piala Dunia, Korut punya gengsi sejarah sebagai tim Asia pertama yang lolos ke perempatfinalPiala Dunia, yakni pada 1966 di Inggris. Menukil Aaron D. Horton dalam “The Hermit Kingdong versus the World: North Korea in the World Cup” yang dimuat dalam Football and the Boundaries of History , perjalanan Chollima (julukan timnas Korut) bermula di babak kualifikasi yang meleburkan wakil Asia, Afrika dan Oseania, yakni Korut, Australia, Korsel, dan Afrika Selatan (Afsel). Afsel lalu didiskualifikasi FIFA lantaran tekanan dunia internasional terhadap politik apartheid -nya. Tiga wakil tersisa juga terganjal hal politis. Korsel dan Korut masih berstatus gencatan senjata sejak 1953. Australia belum mengakui Korut sebagai negara berdaulat sehingga tak bisa mengeluarkan visa untuk laga tandang Korut ke Tanah Kanguru. Timnas Korea Utara di Piala Dunia 1966 (Foto: fifa.com ) Korut sedikit beruntung karena kolega Kim Il-sung sesama diktator komunis, Norodom Sihanouk, bersedia menyediakan tempat di Phnom Penh, Kamboja. Korsel memilih mundur karena tak menyediakan anggaran lebih buat mengalihkan perjalanan ke Kamboja. Akibatnya, tinggal Korut dan Australia yang “berperang” di lapangan hijau. Hebatnya, Korut sukses dua kali memecundangi Australia di Stadion National Olympic Phnom Penh, 6-1 (21 November 1965) dan 3-1 (24 November 1965). Kehadiran Korut di putaran final (Piala Dunia di Inggris) juga dipermasalahkan tuan rumah karena Britania Raya belum mengakui Korut. “Sejak Perang Korea berakhir pada 1953, Inggris secara resmi menolak mengakui pemerintahan komunis DPRK sebagai negara berdaulat. Belum lagi tensi Perang Dingin juga memberi tekanan tersendiri bagi hubungan Inggris dan Amerika Serikat. Lantas bagaimana caranya FA sebagai tuan rumah mengizinkan musuh de facto Inggris bermain di negaranya di ajang olahraga ternama di planet bumi,” tutur sejarawan James Southern, dikutip Horton. Namun perkara penting yang menjadi soal bagi tuan rumah adalah sebutan nama tim. “Tiga masalah utama muncul terkait partisipasi DPRK. Yang pertama terkait nomenklatur: bagaimana pers dan publik menyebut negara yang secara resmi tidak (dianggap) eksis? Soal ini solusinya adalah menanggalkan akronim (DPRK) dan bermain di bawah nama Korea Utara. Lalu yang kedua soal apakah Yang Mulia Ratu (Inggris) boleh berfoto dengan mereka? Panitia pelaksana memutuskan tidak, agar tak menarik perhatian dunia internasional lebih jauh lagi,” lanjut Southern. Timnas Korea Utara saat meladeni Uni Soviet di babak grup Piala Dunia 1966 (Foto: fifa.com ) Yang ketiga, simbol dan bendera DPRK. Korut bersikeras bendera mereka tetap harus berkibar saat mereka berlaga. Panitia dengan berat hati mengizinkan, meski mendapat protes dari Kedutaan Korsel di London. Terlepas dari kusutnya perkara-perkara itu, timnas Korut bikin kejutan. Tergabung di Grup 4 babak penyisihan, awalnya Korut digilas Uni Soviet tiga gol tanpa balas. Namun mereka bangkit dan kemudian bermain imbang 1-1 kontra Chile. Di laga terakhir, kontra Italia, penonton di Stadion Ayresome Park tertegun kala Italia ditekuk 0-1 lewat gol Pak Doo-ik. Sayangnya kemudian di perempatfinal, 23 Juli 1966, Korut harus mengakui keunggulan Portugal di Goodison Park. Unggul lebih dulu lewat tiga gol, Korut akhirnya dibalikkan Portugal 3-5 lewat empat gol Eusébio dan sebutir lagi dari José Augusto. Korut pun pulang dengan kepala tegak. Tim besutan Myung Rye-hyun itu bisa melampaui harapan Kim Il-sung sebelum mereka berangkat ke Inggris. “Sebelum kami berangkat, Pemimpin Besar mengundang kami untuk bertemu. Ia memeluk kami dengan erat dan berkata: ‘Eropa dan Amerika Selatan mendominasi sepakbola internasional. Sebagai wakil Asia, sebagai bangsa berkulit warna, saya meminta kalian setidaknya menang satu atau dua pertandingan,” kata bek Korut Ring Jung-sun mengenang, dikutip BBC , 19 Juni 2002. Jong Tae-se (kanan bawah) terkulai lemah setelah Korut dipermak 0-7 oleh Portugal di Piala Dunia 2010 (Foto: fifa.com ) Setelah itu, Korut baru menyapa lagi penikmat Piala Dunia pada 2010 di Afrika Selatan. Tergabung di Grup G, Jong Tae-se dkk. babak belur ditekuk Brasil 1-2, digilas Portugal 0-7, dan digebuk Pantai Gading 0-3. Rumor Kim Jong-un geram dan menghukum pelatih dan segenap pemain Korut jadi pekerja paksa pun muncul tak lama kemudian. Kabar itu tak bisa dikonfirmasi oleh FIFA karena tim investigasi mereka tak diberi izin terjun ke Korut. Korut masih menutup diri dan keadaannya yang misterius terus lestari.

  • Agus Salim Bicara Islam di Negeri Paman Sam

    PADA 1953, Haji Agus Salim menerima undangan dari Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat. Dia diminta menjadi guru besar tamu selama semester perkuliahan musim semi (Januari-Juni). Di salah satu universitas bergensi negeri Paman Sam itu, Agus Salim banyak berbicara soal Islam, agama yang masih sangat asing di kalangan orang-orang AS kala itu. Menurut Kambiz Ghanea Bassiri dalam A History of Islam in America: From the New World to the New World Order, keberadaan Islam sebenarnya sudah cukup lama di AS. Namun baru benar-benar mendapat perhatian dari pemerintah setelah Perang Duni II berakhir. Pada periode 1950-an AS tengah berusaha mendekati negara-negara Islam, baik secara politik maupun ekonomi. Pengetahuan dari Agus Salim inilah yang diharapkan dapat memberi gambaran tentang Islam secara jelas. Berbagai hal diangkat oleh The Grand Old Man di dalam mengisi perkuliahannya. Mulai dari hal yang mendasar, seperti rukun iman dan rukun Islam; hingga soal perkembangan dunia Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai muculnya negara-negara Islam. “Dia menyatakan keyakinannya bahwa Islam berisi pesan ke seluruh alam semesta, tetapi bukan berarti bahwa Islam bermaksud menghapuskan agama lain. Faktanya, Islam memadukan mereka. Tidak hanya itu, bagi Salim agama dimaksudkan untuk berbuat baik,” tulis Purwanto Setiadi dalam Agus Salim: Truth and Nationalism. Kewajiban Seorang Muslim “ Bismillahirrahmanir Rahim. Saya mulai kuliah ini dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Kalimat inilah yang dilafalkan Agus Salim ketika membuka kuliahnya. Sebagaimana terangkum dalam Pesan-Pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell Uniersity , Agus Salim memilih tema “Rukun Iman dan Islam” pada kesempatan pertamanya menjadi dosen tamu di Negeri Paman Sam ini. Sebagai permulaan, dia menerangkan tentang adanya lima kewajiban beribadah seorang muslim: Rukun Islam. Itu mencakup lima ibadah “fardu” yang harus dilakukan orang Islam selama hidupnya. Menurut Agus Salim, fardu di sini bukan wajib; makna yang lebih tepat adalah bagian atau jatah. Sehingga fardu dapat diartikan sebagai karunia dari Tuhan kepada manusia. “Penunaian kewajiban itu bukanlah diperlukan bagi Tuhan, melainkan diperlukan bagi manusia. Jika kita ingin hidup beribadah, hidup secara saleh, maka kita mutlak perlu untuk mematuhi suatu ketertiban, suatu disiplin tertentu,” tutur Agus Salim. Ibadah fardu ada lima jenis. Pertama  adalah pemurnian atau menyucikan diri. Selain melafalkan kalimat syahadat –sebagai syarat sah menjadi Muslim– memurnikan tubuh lima kali sehari, melalui wudhu , menjadi kewajiban seorang Muslim. Pemurnian ini dilakukan guna menghilangkan semua benda asing yang melekat pada tubuh, seperti lumpur, kotoran, bau, dan sebagainya. Kedua , mengerjakan ibadah shalat. Jumlah wajibnya lima kali dalam sehari. Agus Salim lalu menceritakan bagimana pembagian waktu shalat dari mulai fajar hingga malam tiba, sesuai dengan teladan Nabi Muhammad Saw. Mengenai ibadah yang kedua ini, Agus Salim menerangkan jika setiap tempat mempunyai waktu yang berbeda karena mengikuti pergerakan bumi. Kepada para mahasiswa di Cornell, Agus Salim mengemukakan pandangan modern soal shalat yang disesuaikan dengan kegiatan sehari-hari. Menurutnya, setiap orang harus menyisihkan sejenak waktunya untuk beribadah. Meski kegiatan dari pagi hingga malam begitu padat, selalu ada waktu di sela-sela jadwal itu yang bisa digunakan untuk shalat. “Setiap kali, kita kesampingkan segala pikiran, suka duka, kecemasan, dan harapan dari kehidupan keseharian, untuk menghadapkan wajah kita dan memusatkan jiwa raga kita kepada Tuhan,” kata Agus Salim. Ketiga , menjalankan puasa selama bulan Ramdhan , yakni bulan kesembilan menurut tahun takwim Islam. Akhir dari kewajiban ibadah yang ketiga ini adalah Hari Raya pada 1 Syawwal, bulan kesepuluh dalam tahun takwim Islam. Lalu kapan puasa ini dijalankan jika melihat tahun masehi? Dikatakan oleh Agus Salim, di negara empat musim ibadah puasa bisa jatuh pada musim yang berbeda tiap tahunnya. Sementara di zone khatulistiwa, termasuk Indonesia, perbedaan ini tidak terlalu terlihat. Keempat,  kewajiban mengeluarkan zakat, sejenis pajak kekayaan. Besarannya 2,5% atas kekayaan pada suatu batas tertentu. Ada banyak jenis zakat. Tiap-tiap jenis memiliki besaran pengeluaran yang berbeda. “Bayaran ini tidak dipandang sebagai sedekah, pemberian amal, tapi dipandang sebagai pajak penyucian. Maka itu disebut zakat, artinya pemurnian, penyucian”. Kelima , menunaikan ibadah Haji bagi yang mampu memikul biayanya dan cukup sehat secara jasmani, dengan syarat bahwa situasi untuk menjalankan perjalanan itu sedang aman. “Masing-masing kewajiban itu disebut rukun atau sendi agama Islam. Boleh pula kita menyebutnya sokoguru atau batu-alas agama Islam,” kata Agus Salim. Pondasi Keimanan Setelah menjabarkan tentang Rukun Islam sebagai kewajiban ibadah seorang Muslim, Agus Salim mulai berbicara tentang pondasi seorang muslim: Rukun Iman. Jumlahnya ada enam, yakni iman kepada Allah sebagai Tuhan tunggal, tiada yang lain; iman kepada Malaikat-Nya sebagai pesuruh Allah; iman kepada kitab-kitab, yang di dalamnya mengandung firman Allah dan disampaikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya; iman kepada Rasul sebagai duta Allah di dunia; Iman kepada Hari Akhir; dan iman kepada Qada dan Qadar , yang secara harfiah berarti ukuran baik dan buruk ditentukan oleh Allah. Menurut Agus Salim, empat rukun permulaan masuk akal dan jelas. Pengetahuan tentang kehendak Tuhan dari para Nabi, serta tentang kitab berisi firman Allah dan kisah hidup Nabi, bahkan perjalanan hidup Nabi dan Rasul-Nya dari orang-orang yang pernah hidup sezaman merupakan suatu mata rantai yang jelas. Sementara rukun kelima, iman kepada hari akhir (kiamat) sebagai hari diputuskannya amal manusia oleh Allah, menjadi sesuatu yang belum tampak. Banyak orang (ahli agama) mengartikan pesan Nabi Muhammad SAW seakan-akan hari kiamat itu sudah dekat sekali di depan mata. Mereka akhirnya menyangka bahwa kiamat akan melanda manusia pada masa hidup mereka. “Namun itu bukan cara pandang yang tepat menurut saya. Pesan yang dibawa oleh Nabi ditujukan kepada setiap orang, kepada kita masing-masing. Dan, masing-masing dari kita hanya dapat bersiap-siap berusaha dan berikhtiar menjelang kiamat itu, hanya semasa hidup kita yang tidak seberapa lama ini. Setelah tiba ajal, habislah segala ikhtiar, habislah usaha dan kegiatan kita, kita tinggal menantikan kiamat saja,” tutur Agus Salim. “Oleh karena itu, Nabi Muhammad telah memberi peringatan, dan sungguh benar peringatannya bahwa bagi kita masing-masing saat perhitungan itu sudah dekat sekali”. Mengenai rukun keenam, iman kepada Qada  dan Qadar , Agus Salim menjelaskan jika Tuhan sebenarnya tidak pernah menciptakan suatu keburukan. Manusialah yang pada akhirnya menentukan ukuran kebaikan dan keburukan itu. Manusia bisa saja membawa kebaikan kepada keburukan, ataupun sebaliknya. Semua itu hanyalah tentang cara memanfaatkan ciptaan Tuhan dengan sebaik-baiknya. "Anda tahu bahwa udara adalah suatu syarat kehidupan manusia. Udara itu terdiri atas suatu campuran senyawa. Jika anda mengatakan dari campuran itu hanya oksigenlah yang berkhasiat bagi kesehatan, maka anda pun tidak seluruhnya benar. Sebab, jika udara yang kita hirup hanya terdiri atas oksigen murni, maka segera tamatlah riwayat kita. Tiada sebagian kecil pun dari udara itu yang tidak berfaedah," kata Agus Salim.*

bottom of page