Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menggali Akar Anarkisme di Indonesia
NARASI tentang anarkisme sebenarnya sudah eksis bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja ketika membicarakannya pada hari-hari ini, seolah-olah ia menjadi sebentuk barang baru dari dunia Barat. Anarkisme adalah ideologi yang tak memiliki tanah air. Ia hanya tampak sebagai paham impor dari Eropa hanya karena dari sana bermula ideologi ini diartikulasikan, elemen-elemen dasarnya diformulasikan, diperbincangkan hingga paham ini terus mengada di antara paham-paham besar lainnya yang juga dilantangkan dari sana.
- Upaya Menggali Inspirasi Lewat Film Kadet 1947
PERJUANGAN kemerdekaan negeri ini tak melulu berisi kisah-kisah heroisme dari peperangan di darat. Ada pula para pemuda di masa itu bertaruh nyawa di udara. Epos pemboman yang dilakukan para kadet Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU) 73 tahun lampau itulah yang bakal diangkat ke layar lebar dengan tajuk Kadet 1947. Adalah Temata Studios yang menggarap petite histoire (sejarah kecil) yang tak pernah atau jarang tertera di buku pelajaran sejarah zaman kiwari itu. Film yang juga didukung TNI AU itu bakal dikemas dengan drama berlabel “ inspired by true story ” oleh duet sineas muda Rahabi Mandra dan Aldo Swastia. “Cerita ini memang berdasarkan zaman Agresi Militer Belanda (pertama). Serangan dilakukan para kadet yang notabene masih amatir. Tapi semangat ini yang ingin kita bagikan. Ini semacam untold story karena kisah mereka ini bukan cerita yang besar seperti cerita-cerita Jenderal Sudirman, tetapi kisah mereka dapat membangkitkan semangat bagi gerakan-gerakan (perjuangan) yang lain,” kata produser Celerina Judisari dalam konferensi pers virtual via platform video conference Zoom, Rabu (15/4/2020). Para kadet disebut amatir karena saat melakukan pemboman udara pertama Indonesia itu masih berstatus taruna AURI. Jangankan melakukan misi tempur, jam terbang mereka pun masih nol alias belum pernah terbang. Kendati faedah misi mereka kecil jika ditilik arti strategisnya, seperti dikatakan KSAU Komodor Suryadarma, pengaruhnya begitu berarti. Enam dari tujuh kadet AURI dalam misi pemboman dari kiri ke kanan: Suharnoko Harbani, Sutardjo Sigit, Mulyono, Kaput, Dulrachman, dan Sutardjo (Foto: Repro "Sejarah Pendidikan Perwira Penerbang: Periode: 1945-1950") Misi pemboman mereka pada 29 Juli 1947 dengan sasaran sarang-sarang militer Belanda di Salatiga, Semarang, dan Ambarawa itu adalah misi balas dendam terhadap Agresi Militer I (27 Juli 1947) Belanda dua hari sebelumnya. Misi itu diusulkan kadet-kadet AURI di Pangkalan Maguwo (kini Lanud Adisucipto) seperti Kadet Sutardjo Sigit, Kadet Kaput, Kadet Sutardjo, Kadet Suharnoko Harbani, Kadet Mulyono, Kadet Doelrachman, dan Kadet Bambang Saptoadji. “Rupanya anak-anak (kadet) itu merasa gemas. Apalagi kemudian banyak sekali yang hancur akibat serangan udara (Belanda) itu. Lantas dianggapnya kekuatan Indonesia sudah tidak ada lagi. Semangat anak-anak amatiran itu yang ingin kita angkat,” tambahnya. Darah muda mereka bergolak ketika melihat efek Agresi Militer Belanda I yang turut menghancurkan beberapa pesawat AURI bekas Jepang di Pangkalan Maguwo. Dengan pesawat-pesawat yang tersisa seperti pesawat latih Cureng (Yokosuka K5Y), pesawat tempur Hayabusa (Nakajima Ki-43), dan pembom tukik Guntai (Mitsubishi Ki-51), mereka lalu melakukan perhitungan dengan sepengetahuan KSAU Komodor Suryadi Suryadarma (KSAU) dan Deputi Operasi KSAU Komodor Muda Halim Perdanakusuma. Meski sempat mengalami sedikit problem teknis di udara, misi itu sukses bikin Belanda panik. Belanda tak menyangka Operatie Product (Agresi Militer) yang dilancarkannya dibalas Indonesia lewat pemboman udara dua hari kemudian. Kejengkelan Belanda itulah yang mendorongnya balas dendam. Di hari yang sama, Belanda menembak jatuh pesawat angkut Dakota C-47 Indonesia dan menewaskan beberapa tokoh penting AURI seperti Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh, Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, dan Opsir Muda Udara Adisumarmo Wiryokusumo. Di kemudian hari, tragedi Dakota itu oleh Indonesia diperingati sebagai Hari Bhakti TNI AU. Inspirasi Spirit Kadet-Kadet Pemberani Semangat menggebu tim produksi sayangnya mesti menunda proses penggarapan film akibat pandemi SARS-Cov-2 (virus corona ). Dari rancana 40 hari proses syuting yang dilakoni sejak awal Maret 2020, baru berjalan tiga hari. Padahal, rencana awal film ini akan tayang pada Agustus 2020 sebagai “kado” HUT ke-75 RI. Jadwal pun bergeser. Rencananya, produksi akan digulirkan lagi pada Juni 2020, sementara jadwal tayang yang belum ditentukan. Namun bukan berarti tim produksi berkecil hati karena bencana global ini. “Film ini tentang bagaimana anak-anak muda berjuang di masa itu. Kalau ditarik konteksnya zaman sekarang, saat ini sekarang kita lagi dijajah oleh COVID-19. Kita terbelenggu enggak bisa ke mana-mana. Tapi bagaimana caranya kita tetap ‘bersatu’ walau tidak dengan bersatu. Tentang bagaimana survival kita sebagai bangsa, tentang semangat harus terus maju mempertahankan hidup kita,” ujar Aldo Swastia. Pesawat pembom tukik Guntai alias Mitsubishi Ki-51 yang digunakan Kadet Mulyono dalam misi pemboman (Foto: Repro "Sejarah Pendidikan Perwira Penerbang Periode 1945-1950") Oleh karena kisah itu dilakoni kadet-kadet muda dan untuk menggaet minat milenial sebagai sasaran audiens Kadet 1947 , tim produksi pun memilih para aktornya yang juga seusia dengan tokoh yang mereka perankan. Selain Kevin Julio yang memerankan Kadet Mulyono, ada Baskara Mahendra sebagai Kadet Sutardjo Sigit, Ajil Ditto sebagai Kadet Suharnoko Harbani, Samo Rafael sebagai Kadet Bambang Saptoadji, Wafda Saifan sebagai Kadet Sutardjo, Chicco Kurniawan sebagai Kadet Dulrachman, dan Fajar Nugra sebagai Kadet Kaput. Mereka bakal beradu akting dengan beberapa aktor berpengalaman seperti Ibnu Jamil yang memerankan Halim Perdanakusuma, Mike Lucock sebagai Suryadi Suryadarma, Indra Pacique sebagai Jenderal Sudirman, dan Ario Bayu sebagai Presiden Sukarno. Para aktor kawakan ini diharapkan bisa mendongkrak animo publik mengingat genre film drama sejarah minim peminat dan epos para kadet sendiri masih belum banyak diketahui publik. “Bicara genre film sekarang top of the list -nya ya drama, komedi, dan horor. Tapi bagaimana kami bisa menyiasatinya untuk bisa membawa kisah sejarah ini bisa dinikmati generasi muda dengan dijiwai juga. Sehingga sejarah yang kita kemas di sini bisa jadi inspirasi generasi sekarang,” ujar produser Tesadesrada Ryza. Pesawat latih Cureng alias Yokosuka K5Y yang diterbangkan Kadet Sutardjo Sigit & Suharnoko Harbani selepas misi pemboman (Foto: Repro "Sejarah Pendidikan Perwira Penerbang Periode 1945-1950") Meski disebutkan sang produser bahwa jika bicara statistik film-film bertema sejarah berada di bawah, mereka optimis kemasan epos yang didramatisir ini bakal punya daya tarik bagi generasi milenial. Bukan hanya karena dimainkan aktor-aktor yang juga milenial, namun pesan, inspirasi, dan semangat para kadet itu juga masih relevan untuk digali dan diamalkan generasi kekinian. Diharapkan juga, lanjut Ryza, film Kadet 1947 bisa menghidupkan semangat kadet-kadet itu untuk membuka mata generasi muda agar bangga akan sejarah yang sudah diukir. Betapa spirit pantang menyerah, semangat kolaboratif dan gotong-royong bisa jadi inspirasi orang-orang muda di masa sekarang. “Kalau kita enggak kenal sejarah dan apa yang sudah dilakukan pejuang-pejuang Indonesia di masa lampau, kita enggak akan pernah bisa mengucap terimakasih. Kita enggak tahu seberat apa perjuangan mereka. Makanya dalam Kadet 1947 ini wajib kita hidangkan suguhan bervitamin buat rasa nasionalisme yang menurut gue, semakin lama semakin menipis,” tandas Ibnu Jamil yang memerankan tokoh Halim Perdanakusuma.
- Ketika Asisten Pribadi Presiden Soeharto Berkuasa
Presiden Joko Widodo membuat kejutan ketika mengangkat beberapa staf khususnya dari kalangan milenial. Namun belum sempat menorehkan prestasi mentereng, salah satu dari mereka telah membuat blunder fatal. Andi Taufan Garuda Putra, staf khusus presiden bidang Usaha Mikro Kecil Menegah (UMKM) ketahuan menyurati camat se-Indonesia agar menggunakan jasa relawan PT Amartha Mikro Fintek dalam program penanggulangan Covid-19. Amartha merupakan perusahaan dimana Taufan duduk sebagai kepala eksekutifnya.
- Anarkisme dalam Perang Sipil Spanyol 1936
KETIKA Perang Sipil Spanyol bergejolak (1936-1939), berbagai gerakan kiri di Spanyol bersatu melawan pemberontakan militer yang dipimpin oleh Fransisco Franco. Kaum anarkis, yang telah lama aktif dalam gerakan buruh Spanyol memiliki peranan penting dalam pertempuran itu. Perang ini diawali ketika para jenderal Spanyol memulai pemberontakan militer pada Juli 1936. Sejak itu pula, para pekerja dan petani Spanyol telah merespon mereka dengan revolusi sosial. Sebagian besar revolusi sosial inipun bersifat anarkis. Murray Bookchin dalam To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist Revolution of 1936 , menyebut selama beberapa bulan pertama pemberontakan militer, pekerja sosialis di Madrid juga sering bertindak secara radikal seperti yang dilakukan para pekerja anarko-sindikalis di Barcelona. “Mereka mendirikan milisi mereka sendiri, membentuk patroli jalanan, dan mengambil alih sejumlah pabrik strategis, menempatkan mereka di bawah kendali komite pekerja. Demikian pula, para petani sosialis di Castile dan Estramadura membentuk kolektif, banyak di antaranya sama libertariannya dengan yang diciptakan oleh petani anarkis di Aragon dan Levante,” tulis Bookchin. Bahkan menurut Bookchin, yang membuat Revolusi Spanyol unik adalah kontrol buruh dan kolektifnya yang telah diadvokasi selama hampir tiga generasi oleh gerakan libertarian besar-besaran. Revolusi ini juga menandai puncak dari 60 tahun lebih agitasi dan aktivitas anarkis di Spanyol sejak awal 1870-an, ketika Giuseppi Fanelli seorang anarkis Italia memperkenalkan ide-ide Bakunin kepada kelompok-kelompok pekerja dan intelektual di Madrid dan Barcelona. David Porter dalam Vision on Fire: Emma Goldman on the Spanish Revolution bahkanmenyebut bahwa gerakan anarkis terorganisir di Spanyol menjadi lebih besar dan lebih kuat pada 1930-an dibanding ‘kapanpun dan di manapun di dunia’. Pada September 1936, Largo Caballero, pemimpin Partai Sosialis Spanyol membentuk pemerintahan ‘kiri’. Ia memobilisasi para pemimpin sosialis, anarko-sindikalis, dan komunis untuk melawan tentara. Pemerintahan ini kemudian diisi menteri-menteri yang mewakili serikat pekerja sosialis UGT (Unión General de Trabajadores) dan serikat pekerja anarko-sindikalis CNT-FAI (Confederación Nacional del Trabajo dan Federacien Anarquista Ibe'rica). Menurut Peter Marshall dalam Demanding the Impossible, A History of Anarchism empat pemimpin CNT kemudian menjadi menteri dalam pemerintahan sosialis Largo Caballero. Dua nama, Juan L ó pez dan Juan Peir ó masing-masing menjadi Menteri Perdagangan dan Menteri Industri. Sedangkan militan FAI Garcia Oliver menerima jabatan Menteri Kehakiman. Oliver kemudian memperkenalkan beberapa reformasi liberal, tetapi dikurangi menjadi membela kamp kerja bagi tahanan politik. Federica Montseny berpidato pada pertemuan bersejarah CNT di Barcelona pada 1977, pertama kalinya setelah 36 tahun kediktatoran di Spanyol. (Wikimedia Commons). Sementara itu, intelektual anarkis Federica Montseny menjadi Menteri Kesehatan. Montseny adalah orang yang selalu percaya bahwa 'negara tidak dapat mencapai apa pun, bahwa kata ‘pemerintah’ dan ‘otoritas’ berarti meniadakan kemungkinan kebebasan bagi individu dan masyarakat. Keputusan ini menuai kontroversi karena dianggap telah mematahkan tradisi terhormat pantang dari semua bentuk politik parlementer. CNT juga selalu tegas dalam penolakan terhadap negara dan intrik politik serta independen dari partai politik dan berkomitmen untuk revolusi melalui aksi langsung. Surat kabar CNT Solidaridad Obrera menyatakan, ketika para pemimpinnya bergabung dengan Caballero, pemerintah 'sebagai instrumen pengatur organisme negara, telah berhenti menjadi kekuatan penindas terhadap kelas pekerja , sama seperti negara tidak lagi mewakili organisme yang membagi masyarakat ke dalam kelas’. Sementara itu, Emma Goldman feminis anarkis yang juga anggota CNT-FAI menyebut pilihan masuk ke dalam pemerintahan adalah konsesi paling tidak ofensif. Emma tidak mengubah sikapnya terhadap ‘pemerintah sebagai kejahatan’. Ia masih menganggap negara adalah monster yang dingin dan melahap semua orang dalam jangkauan. “Saya mungkin harus lebih waspada terhadap masa depan CNT-FAI. Tetapi dengan Franco di gerbang Madrid, saya hampir tidak dapat menyalahkan CNT-FAI karena memilih partisipasi yang lebih tidak jahat dalam pemerintahan daripada kediktatoran, kejahatan paling mematikan.,” sebutnya seperti termuat dalam Vision on Fire: Emma Goldman on the Spanish Revolution. Pemerintahan ‘kiri’ itu ternyata hanya bertahan beberapa bulan. Perombakan-perombakan selanjutnya yang dilakukan pemerintah melangkah ke arah ‘kanan’. Partido Obrero de Unificación Marxista (POUM, Partai Buruh Marxis Bersatu) menjadi yang pertama diusir. CNT dan UGT menyusul tak lama setelah itu. Meski demikian revolusi masih berjalan. George Orwell dalam Homage to Catalonia mengisahkan pada Desember 1936 – Januari 1937 kaum anarkis masih mengendalikan Katalonia dan Barcelona menjadi kota yang mengejutkan ketika orang mengira periode revolusioner telah berakhir. “Itu adalah pertama kalinya saya berada di sebuah kota di mana kelas pekerja berada di pelana,” tulis Orwell. Setiap bangunan, lanjut Orwell, telah direbut oleh para pekerja dan dibalut dengan bendera merah atau bendera merah hitam kaum anarkis. Setiap tembok digambar palu arit dan inisial partai-partai revolusioner. Dan setiap toko dan kafe telah menjadi milik bersama. Sayangnya, serangkaian kekalahan dalam pertempuran terjadi hingga awal 1939. Sementara itu kaum anarkis terus direpresi. Kemudian pada April 1939, pasukan fasis sepenuhnya mengambil alih Spanyol.
- Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi
MENTARI belum lama mengintip dari ufuk timur pada 15 Mei 1940 ketika pesawat telefon di kamar kerja Winston Churchill tak berhenti berderinghingga sang perdana menteri Inggris itu akhirnya angkat gagang telefon. Dari seberang, terdengarsuara penelepon bergetar hebat dan ketakutan. Panik. Lawan bicara Churchill itu tak lain adalah PM Prancis Paul Reynaud. Suasana hatinya masih begitu kacau ketika menginformasikan Churchillbahwa mereka, Sekutu, yang pada Perang Dunia I menundukkan Jerman, kini telah keok . Blitzkrieg alias perang kilat yang dilancarkan Jerman Nazi sejak 10 Mei 1940 telah meluluhlantakkan kekuatan gabungan Prancis, Inggris, dan Belgia. Manuver dengan kecepatan tinggi itu bikin Maginot Lini –garis pertahanan perbatasan Belgia hingga selatan Prancis dengan Jerman sepanjang 500 kilometer– ambruk meski di atas kertas Sekutu punya lebih banyak serdadu dan panser/tank ketimbang Jerman. Untuk menenangkan hati koleganya, Churchill terbang ke Paris menemui Reynaudsekaligus Menhan Prancis Edouard Daladierdan Panglima militer Prancis Jenderal Maurice Gustave Gamelin pada 16 Mei. Saat dijabarkan peta pertahanan, Churchill terperangah lantaran Prancis tak punya satu unit pun pasukan cadangan untuk menambal kebocoran-kebocoran garis pertahanan Sekutu, baik di front Belgiamaupun Prancis. Meski jumlah serdadu dan kendaraan tempur (ranpur) lapis baja Sekutu lebih besar, kekuatannya disebar sepanjang Maginot Lini. Sementara, Jermanmemfokuskan pasukan lapis bajanya sebagai ujung tombak hanya ke beberapa titik pertahanan terlemah Sekutu. Salah satunya, di Hutan Ardennes. B arisan korps panser Jenderal Heinz Guderian menerobos hutan Ardennes yang sebelumnya dianggap Sekutu takkan bisa dilewati pasukan musuh, lal u berpenetrasi ke kota Sedan. P ertahanan Sekutu pun kocar-kacir. Setelah tertembus, banyak kubu pertahanan Sekutu yang terkepung dan hancur. Guderian pula yang mengejar ratusan ribu pasukan Inggris (British Expeditionary Force) hingga ke Dunkirk di pesisir Prancis. Namun jago tank Jerman itu hanya bisa geleng-geleng kepala ketika Kanselir Jerman-Nazi Adolf Hitler menyerukan penghentian serbuan. Begitulah inti konsep Blitzkrieg (serangan kilat) yang gemilang. Konsep itu sudah digulirkan kala Jerman menginvasi Polandia, 1 September 1939. Namun Blitzkrieg pada 10 Mei yang berbuah penaklukkan Eropa Barat (Belanda menyerah 14 Mei, Belgia 28 Mei, dan Prancis 25 Juni) yang begitu cepat membuat pasukan baja Jerman kian naik pamor. Siapa Otak di Balik Blitzkrieg? Sebagai konsep operasi militer, Blitzkrieg bersifat lugas dan tak berbelit-belit. Inti Blitzkrieg adalah serangan terkonsentrasi menggunakan ranpur sebagai penggebrak, infantri gerak cepat untuk mencegah musuh mengorganisir ulang pertahanan, dan dukungan kekuatan udara. “Strategi Blitzkrieg adalah strategi terbaik sampai detik ini untuk mengalahkan pertahanan musuh. Hanya saja butuh peralatan perang dan teknologi yang mumpuni untuk membuatnya bekerja maksimal. Juga air support (dukungan udara). No air support, no Blitzkrieg ,” tutur pemerhati militer Jerman-Nazi Alif Rafik Khan kepada Historia . Pesawat-pesawat Junkers Ju 87 "Stuka" atau pembom tukik milik Luftwaffe (AU Jerman) yang aktif menyokong Blitzkrieg (Foto: Bundesarchiv) Dalam beberapa sumber, konsep dan manuver serupa tapi tak sama dengan Blitzkrieg sudah dilahirkan para juru taktik sejumlah negara Eropa yang “berkelahi” di Perang Dunia I. Di kubu Jerman, misalnya, terdapat teori perang Vernichtungsschlacht, yakni manuver pasukan dalam jumlah besar dan terkonsentrasiuntuk mengepung posisi musuh untuk memberi pukulan menentukan dalam suatu babak peperangan. Strategi itu, diungkapkan Bryan Perrett dalam A History of Blitzkrieg , merupakan buah pikiran jenderal Prussia yang sohor dari abad ke-19, Carl von Clausewitz. Pada Perang Dunia I, teori perang itu lantas dimodifikasi seiring dengan perkembangan teknologi persenjataan masing-masing negara. “Manuver itu berkembang secara terpisah, secara independen masing-masing mengembangkan konsepnya. Kalau Jerman asal-usulnya dari Bewegungskrieg (taktik manuver) yang dirancang (Marsekal Alfred) Von Schlieffen,” lanjut Alif yang juga penulis buku 1000 + Fakta Nazi Jerman itu. Di Prancis, manuver menggunakan tank-tank yang terkonsentrasi juga sudah digunakan sejak 1918 oleh Kolonel Charles de Gaulle yang kelak jadi panglima tentara Prancis. Menurutnya, setelah Perang Dunia I dibutuhkan operasi-operasi yang lebih mobil dan tak hanya terpaku pada parit-parit perlindungan (perang pasif). Gagasan itu kemudian diabaikan para seniornya. Konsep serupa juga pernah digagas Jenderal Alexei Brusilov di Rusiapada 1916. Esensi dari konsep itu yakni, unsur pendadakan dan infiltrasi dengan tank sangat vital untuk memukul mundur posisi musuh. Namun, gagasan Brusilovtak dijadikan prioritas lantaran kekuatan ranpur mekanis lapis baja Rusia masih terbatas. Generaloberst Heinz Wilhelm Guderian (kanan) perwira penting dalam taktik lincah tank-tank Jerman untuk manuver Blitzkrieg (Foto: Bundesarchiv) Sementara, di Inggris gagasan serupa dilontarkan juru taktik John Fuller dan Liddell Hart. Menariknya, para jago tank Jerman seperti Guderian dan Marsekal Erwin Rommel “berguru” pada kedua perwira Inggris yang gagasannya itu tak didengar para pejabat teras militer Inggris. “Memang Guderian bukan murid dari bangku sekolah dengan Hart sebagai gurunya, melainkan buku-buku yang sebelum perang (dunia II) ditulis oleh Hart. Kata Guderian dalam tahun 1950: ‘Liddell Hart adalah guruku yang pertama mengenai taktik perang tank.’Bahkan Marsekal Erwin Rommel pun dapat disebut murid Liddell Hart,” ungkap P. K. Ojong dalam Perang Eropa, Volume 1 . “Bersama dengan Jenderal Fuller , juga seorang Inggris, Liddell Hart adalah men of vision , orang yang bisa melihat jauh ke depan. Setelah Perang Dunia I berakhir, mereka melahirkan strategi dan taktik tank baru, yaitu konse n trasi tenaga tank sebagai pendobrak pertahanan lawan. Dan ini hanya mungkin jika sengaja dibentuk divisi tank, divisi panser tersendiri,” tambahnya. Mirisnya, sambung Ojong, hingga 1940 pun Inggris belum punya divisi tank. Ketika ide Hart-Fuller dipelajari Guderian danRommel pada 1939 kala menginvasi Polandia, Prancis, dan Benelux (Belgia, Belanda, dan Luksemburg), di Inggris ide Fuller dan Hart tak pernah didengar. Sebaliknya, ketika mulai menginvasi Prancis dan Benelux pada 10 Mei 1940, Jerman sudah punya lebih dari 10 divisi tank. Sedikit-banyak itu adalah jasa Guderian yang sejak 1922 sudah mulai meracik taktik dan metode operasi mobil. Ia merangkumnya dalam buku bertajuk Achtung Panzer! terbitan 1937. “Jika tank-tank berhasil, maka kemenangan tinggal menunggu waktu,” tulisnya di salah satu bab buku itu. Namun, sejatinya konsep besar Blitzkrieg Jerman, utamanya dalam invasi Eropa Barat ( Westfeldzug ) yang sohor, merupakan buah pikiran Marsekal Erich von Manstein, atasan Guderian. “Von Manstein yang merancang strategi penyerbuan ke Prancis dengan memodifikasi Schlieffen-Plan (Rencana Schlieffen). Dalam Westfeldzug , Guderian sendiri sekadar jadi komandan korps (XIX Armeekorps ), sementara Rommel baru mencoba jadi komandan divisi (7 Panzerdivision ),” kataAlif lagi. Rancangan Blitzkrieg dalam invasi ke Prancis yang diracik Generalfeldmarschall Fritz Erich Georg Eduard von Manstein (Foto: Narodowe Archiwum Cyfrowe) Schlieffen-Plan sendiri adalah cetak-biru yang dilahirkan Marsekal Alfred von Schlieffen yang intinya, mobilisasi kekuatan militer pada satu titik serangan menggunakan semua perangkat yang dimiliki, termasuk unit logistik sebagai salah satu kuncinya. Manstein memodifikasinya menjadi Fall Gelb ( Operation Case Yellow ), tentunya dengan pembaruan kekuatan alutsista yang dimiliki Jerman saat itu. Singkatnya, rancangan Manstein berupa strategi pengalihan oleh Grup AD B ke Belanda dan jika Sekutu sudah teralihkan, giliran Grup AD A berpenetrasi ke hutan Ardennes dengan lebih dulu menyeberangi Sungai Meuse. Serangan Blitzkrieg ala Manstein tentuberupa kombinasi antara kekuatan darat dan udara. Di darat, Grup AD A Jerman yang dikomando Jenderal Gerd von Rundstedt menerjunkan 45 divisi infantri untuk mendukung tujuh divisi panser. Sementara di udara, Luftwaffe (AU Jerman) menyokong dengan lebih dari tiga ribu pesawat, termasuk pembom medium dan pembom tukik yang efektif menghancurkan musuh di darat. Kendati serangan kilat ke Eropa Barat itu sukses besar, tak pernah ada penyebutan resmi menggunakan kata “ Blitzkrieg ” dalam arsip-arsip operasi Jerman. Hitler sendiri mengaku benci istilah itu. “Saya tak pernah mau menggunakan kata Blitzkrieg , karena itu adalah istilah yang bodoh,” katanya ketusdalam pidatomedio November 1941, dikutip Karl-Heinz Frieser dalam The Blitzkrieg Legend: The 1940 Campaign in the West. Istilah Blitzkrieg justru dipopulerkan media-media Barat . Salah satunya , The New York Times edisi Agustus 1940 lewat headline bertajuk “Nazis Intensify Air Raids on Britain As 500 Planes Pound at Strongholds: Blitzkrieg On, London Press Warns”.
- Seblang Menolak Bala
HAMPIR dua bulan, pandemi Covid-19 atau Corona melanda Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah berupaya mengatasi penyebarannya. Awal Maret 2020, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas melakukan penanganan dini. Ini penting dilakukan mengingat Banyuwangi adalah destinasi wisata yang ramai. Masyarakat Osing, suku asli Banyuwangi, memiliki ritual khusus untuk menghadapi wabah penyakit ( pageblug ), yakni melalui tarian adat Seblang. Ritual ini ditarikan seorang penari dalam keadaan trance , tak sadarkan diri, sebagai penghubung warga desa dengan leluhur. Dahulu kala, Seblang digelar setiap tahun untuk tolak bala dan bersih desa setelah panen. Tujuannya agar desa memperoleh ketentraman, keselamatan, kesuburan tanah sehingga hasil panen melimpah. Namun, seperti dilaporkan antropolog Belanda John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi (1927), Seblang bisa dipanggil kapan saja oleh keluarga sebagai pemenuhan nadar (janji) agar beroleh kesembuhan penyakit. Sebab, masyarakat percaya penyakit disebabkan gangguan atau kemarahan dari roh leluhur atau dhanyang (penjaga desa). Pertunjukan Seblang sebagai pelepas nadar kini jarang dilakukan. Kendati demikian, bukan berarti ritual Seblang lantas punah. Masyarakat Bakungan dan Olihsari, dua desa Osing yang berada di wilayah Kecamatan Glagah, masih menjalankan ritual Seblang setiap tahun untuk keperluan bersih desa dan tolak bala. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi memberikan dukungan agar khasanah tradisi ini lestari. Salah satu caranya dengan menjadikan Seblang sebagai salah satu agenda Banyuwangi Festival setiap tahun. Menurut Anas, ini merupakan bagian dari menghidupkan dan mengenalkan potensi desa lebih luas. Agenda festival yang sifatnya tradisi ritual tidak harus ditarik ke kota, namun justru harus dilestarikan di desa tersebut. “Seblang menjadi salah satu contoh kegiatan Banyuwangi Festival yang muncul dari masyarakat. Pemerintah tidak melakukan intervensi apapun terhadap penyelenggaraan budaya ini, karena ini adalah adat tradisi. Kita cukup mendukung infrastruktur sekitar dan melakukan promosi hingga akhirnya tradisi ini mendapatkan perhatian khalayak yang lebih luas,” ujar Bupati Anas , empat tahun lalu. Tradisi Tua Seblang merupakan tradisi suku Osing yang cukup tua sehingga sulit diacak asal-usulnya. Ada yang menyebut Seblang merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu. Menurut Sal M. Murgiyanto dan A.M. Munardi dalam Seblang dan Gandrung , tari Seblang mirip dengan tari sang hyang di Bali, yang di masa lalu ditemui juga di Banyuwangi dengan sebutan tari sanyang. Nyanyian, tatabusana, hingga gerakan dan pose dasar dalam seblang mirip seperti dalam pertunjukan sanyang. Awalnya Seblang dibawakan seorang lelaki dan dalam keadaan trance . “Tari Seblang itu mesti kesurupan, tapi pembawaan-gerakannya dan iramanya menyenangkan serta mantap,” tulis Gunawan Suroto dalam “Dolan Menyang Blambangan”, dimuat majalah Kunthi , Juni 1973. Di masa lalu ritual Seblang digelar pada tanggal 1 Sura, hari pertama dalam perhitungan tahun baru penanggalan Jawa. Sekarang disesuaikan dengan kalender Islam. Perayaan di Olehsari berlangsung seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri, sementara di Bakungan seminggu setelah Hari Raya Idul Adha. Menurut Robert Wessing dalam artikel “A Dance of Life”, termuat di BKI No. 4 tahun 1999, meski ada penyesuaian dengan adanya pengaruh Islam, tujuan utama pertunjukan Seblang tak berubah. Yakni, “untuk memperkuat hubungan antara desa dan dunia roh,” tulis Wessing. Agama juga tak meminggirkan kepercayaan pada leluhur. Bahkan, menurut Wessing, Seblang menggabungkan semuanya; leluhur, dhanyang, Dewi Sri, dan bahkan Tuhan bergabung menjadi satu sumber vitalitas manusia. “Tarian itu kemudian menghidupkan kembali bukan hanya hubungan dengan dunia roh tapi seluruh kehidupan spiritual desa-desa ini.” Pengaruh Islam tampaknya juga mengubah orang yang menarikan Seblang. Penari perempuan mulai menggantikan penari lelaki. Kendati demikian, cerita tutur lokal menyebut perubahan itu terjadi pada 1895 dan dikaitkan dengan sosok bernama Semi, salah seorang putri Mak Midah. Suatu ketika Semi yang masih berusia 10 tahun sakit parah. Mungkin karena hidup pas-pasan, Mak Midah tak berani bernadar dengan mengundang Seblang dari Bakungan. Tapi dia sering melihat dan boleh jadi sering terlibat dalam pertunjukan Seblang. Maka, ketika hampir putus asa, dia pun benadar: “Kalau engkau sembuh, kujadikan engkau penari Seblang.” Semi mendapatkan kembali kesehatannya. Mak Midah pun memenuhi kaul dan mengajar Semi menjadi penari Seblang. Menentukan siapa penari Seblang pertama memang agak repot. Para penari dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya keturunan penari Seblang sebelumnya. Wessing menyebut ketidakjelasan data itu untuk Bakungan. Ada beberapa nama disebut, kendati Wessing berpendapat Mbah Kantok dan Mbah Suwitri adalah keturunan dari penari pertama. Sementara di Olehsari, Mak Milah dianggap penari pertama dan dilanjutkan keturunannya yang perempuan. Ada beberapa pengecualian di mana lima dari penari Olehsari muncul dari garis laki-laki. “Singkatnya, para penari di kedua desa cenderung keturunan dari garis perempuan yang idealnya kembali ke pendiri desa. Penari adalah ujung vitalitas dan kekuatan spiritual pendiri yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran desa,” tulis Wessing. Masyarakat antusias melihat ritual tari Seblang di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, yang dimulai pada Jumat, 7 Juni 2019. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Menghidupkan Tradisi Tari Seblang masih bertahan dan dipertunjukkan di Bakungan dan Olihsari. Selain waktu pelaksanaannya, ada perbedaan usia penari, alat musik, dan busana di dua desa tersebut. Di Bakungan, tari Seblang dibawakan perempuan berusia 50 tahun ke atas yang telah menopause dan digelar seminggu setelah Hari Raya Idul Adha selama semalam suntuk. Di Olehsari dibawakan perempuan yang belum akil baliq dan dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut setelah hari Raya Idul Fitri. Alat musik yang mengiringi tarian Seblang di Desa Bakungan terdiri dari satu kendang, satu kempul atau gong dan dua sarong. Sedangkan di desa Olehsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal. Di Bakungan, seseorang dapat memilih di antara sekitar 50 lagu, yang tidak tunduk pada urutan tertentu seperti dalam tradisi Olehsari. Dari segi busana, omprok atau mahkota penari di Bakungan biasanya dihiasi bunga warna warni, sementara di Olehsari berhias untaian dari daun pisang muda. Tata urutan ritual Seblang di Bakungan dan Olehsari hampir sama. Sebelum pertunjukan dimulai, dilakukan ziarah ke leluhur desa. Keesokan harinya, setelah matahari terbenam, ritual dilanjutkan dengan selametan. Lalu, aliran listrik di desa Bakungan dipadamkan dan diadakan pawai obor keliling desa yang dinamakan ider bumi . Di setiap pojok desa, mereka berhenti sambil melafalkan doa-doa keselamatan dari ayat ayat suci Alquran. Ritual ini dimaksudkan agar tidak ada roh jahat yang akan mengganggu desa. Usai persiapan semua, penari pun bersiap. Wajah dan bagian tubuhnya diolesi atal , sejenis tepung dari batu halus yang berwarna kuning dan dicampur air. Dia memakai omprok . Penari membawa nyiru atau tampah berbentuk bundar dari anyaman bambu dengan tangannya. Jika si penari sudah kesurupan, nyiru akan jatuh dengan sendirinya. Proses pemanggilan roh diiringi lagu Sêblang Lukinto . Dalam keadaan trance , penari akan menari dengan iringan gending dengan gerakan yang sederhana dan monoton. Dia berputar berlawanan arah jarum jam, bergerak melingkar seturut bentuk panggung. Lalu dia melemparkan sampur atau selendang kepada seorang penonton dan turut menari. Puncak tarian Seblang berakhir saat pengiring lagu memainkan gending brang brang. Gending itu dimainkan dengan tempo yang cepat. Sang penari juga berputar dengan cepat, lalu penari jatuh tergeletak dengan posisi menelungkup. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Seblang dari Bakungan maupun Olehsari masuk dalam gelaran Banyuwangi Festival 2020. “Ini adalah salah satu bentuk komitmen Pemkab menjaga keberlangsungan tradisi dan adat warga lokal Banyuwangi. Kami tidak ingin, adat dan tradisi yang telah hidup sejak puluhan tahun silam menghilang seiring perkembangan zaman. Untuk itu, kami pentaskan dan kami gelar secara rutin sebagai upaya menghidupkan tradisi ini di generasi mendatang,” kata Bupati Anas . Seblang Olehsari dijadwalkan pada 28-31 Mei, sedangkan Seblang Bakungan pada 9 Agustus. Namun, di tengah pandemi Corona, apakah Seblang akan tetap digelar? Mengingat, menjaga jarak adalah salah satu prasyarat menghindari penyebaran Corona. Berdoa saja badai segera berlalu sehingga sajian tradisi dan ritual tua dari Banyuwangi tetap berjalan.
- Hukuman Sultan Agung bagi Panglima yang Gagal
Panglima pasukan Mataram yang baru, Tumenggung Sura Agul-Agul tiba di Batavia untuk menggantikan Tumenggung Baureksa yang mati bersama dua putranya dalam pertempuran pada 21 Oktober 1628. Tumenggung Sura Agul-Agul didampingi dua bersaudara panglima lapangan, Kiai Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Mereka datang dengan harapan besar Batavia telah ditaklukan sehingga tinggal mengumpulkan harta rampasan. Mereka tercengang melihat keadaan yang sebenarnya. "Apa yang akan saya bawa untuk raja saya, raja Mataram," kata Mandurareja. Karena tidak mungkin merebut Batavia dengan penyerangan mendadak, Mandurareja menggunakan cara yang berhasil mengalahkan Surabaya, yaitu membendung sungai. Ribuan prajurit dikerahkan, namun VOC telah mengantisipasinya sehingga cara itu gagal. Pasukan Mataram kemudian melakukan usaha terakhir untuk merebut benteng Hollandia pada malam 28 November 1628. Namun, serangan 100–300 prajurit itu tepergok serdadu VOC. Beberapa prajurit ditembak mati, sisanya melarikan diri. Oleh karena itu, menurut ahli sejarah Jawa, H.J. de Graaf, pada 1 Desember 1628, Tumenggung Sura Agul-Agul memerintahkan mengikat Mandurareja dan Upa Santa berikut anak buahnya. Melalui pengadilan dan atas perintah raja Mataram, ia menjatuhkan hukuman mati karena Mandurareja dan Upa Santa tidak bertempur mati-matian dan Batavia tidak ditaklukan. Beberapa dipenggal kepalanya, kebanyakan ditusuk dengan tombak dan keris. "Mungkin panglima-panglima inilah yang dipenggal kepalanya, sedangkan yang rendahan ditusuk mati dengan tombak dan keris," tulis De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram. Ketika pasukan Mataram meninggalkan Batavia pada 3 Desember 1628, ratusan mayat dibiarkan berserakan di tanah. "VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala," tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 . Eksekusi Mandurareja dan Upa Santa menimbulkan keresahan di istana Mataram. Pasalnya, kedua panglima itu adalah keturunan dari patih Adipati Mandaraka yang termasyhur, pembantu utama Panembahan Senapati, pendiri Mataram dan kakek Sultan Agung. Bahkan, keturunannya menjadi juru kunci pemakaman penguasa dan keluarga Mataram di Imogiri. Sultan Agung menolak bertanggung jawab atas eksekusi itu. Ia berkata kapada Tumenggung Sura Agul-Agul bahwa yang dimaksud bukan membunuh Mandurareja dan Upa Santa melainkan pengikutnya. Tumenggung Sura Agul-Agul pun harus menebus kekeliruan yang fatal itu. Ia bersama banyak bangsawan dihukum mati atas kegagalannya merebut Batavia. Lolos dari Hukuman Mati Serangan kedua Mataram ke Batavia pada 1629 kembali gagal. Baik setelah serangan pertama maupun kedua, Sultan Agung memerintahkan untuk menghukum semua orang yang pulang dengan kegagalan. Untuk itu, semua jalan dan pintu gerbang tol dijaga agar tidak seorang pun dapat kembali pada keluarganya. Tumenggung Singaranu, panglima pasukan Mataram pada serangan kedua, telah mengetahui gelagat itu. Ia menahan sisa pasukannya yang menurut perkiraan masih sekitar 10.000–14.000 orang. Sebagian besar dari prajurit-prajurit ini adalah rakyat Mataram sendiri yang dikumpulkan dari berbagai daerah. "Dengan pengikut-pengikutnya," tulis De Graaf, "ia menarik diri di antara tembok-tembok yang luas dan mengambil sikap mengancam karena melihat kekerasan yang terjadi sebelumnya terhadap panglima-panglima yang dianggap gagal." Namun, untuk mendapatkan pengampunan Sultan Agung, Singaranu mengirimkan istri, selir, dan anak-anaknya. Ia juga mengirimkan senjatanya sebagai tanda akan tunduk terhadap keputusan raja. "Raja memperlihatkan kemurahan hatinya, lebih-lebih karena putri Singaranu adalah yang paling cantik dan manis dari istri-istri raja, dan istri ini dapat mengetuk hati raja," tulis De Graaf. Sultan Agung pun menyuruh istri, selir, dan anak-anak Singaranu untuk pulang kembali. Ia mengampuni Singaranu dengan syarat selama tiga tahun tidak diperbolehkan berhadapan muka dengan raja. Kemungkinan Singaranu tidak menempati posisinya lagi, karena sejak tahun 1630 Tumenggung Danupaya disebut sebagai orang yang mewakili kedudukan raja. Teman sejawat Singaranu, Raden Aria Wira Nata Pada juga lolos dari segala hukuman. Namun, tidak ada keterangan mengenai nasib Kiai Adipati Singenep. Apakah sikap lunak Sultan Agung terhadap para panglimanya itu karena sikap berani Singaranu? "Menurut saya," kata De Graaf, "masuk akal bahwa Sultan Agung setelah dua kali gagal mulai insaf bahwa hukuman-hukuman [kejam] semacam itu tidak ada gunanya, bahkan membahayakan."
- "Tak Perlu Menunggu Ludah itu Kering, Kau Kutembak!"
Akhir Mei 1948, pemerintah Republik Indonesia (RI) via Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta menugaskan Letnan Kolonel A.E.Kawilarang untuk berangkat ke Sumatera. Bersama Mayor Ibrahim Adjie, Letnan Satu Abu Amar dan Letnan Dua Hutabarat, Alex mendapat misi untuk menuntaskan pertikaian antar tentara Indonesia di Sumatera. Komandan Brigade II Surjakantjana Divisi Siliwangi itu merasa penasaran, apa yang menyebabkan dia harus pergi ke wilayah yang sama sekali belum dikenalnya itu. Guna mememenuhi kepenasaran itu, Alex bahkan pernah bertanya langsung kepada Wakil Presiden sekaligus Menteri Pertahanan ad interim Mohammad Hatta. “Di Tapanuli dan Sumataera Timur harus ada komandan yang bukan berasal dari Jawa atau Sumatera. Di sana harus dilakukan pembersihan. Banyak serobotan, lucut melucuti, kurang disiplin dan lagi banyak korupsi,” jawab Bung Hatta. Sebagai catatan, di wilayah Tapanuli memang saat itu sedang terjadi “perebutan wilayah” antara tentara Indonesia sendiri. Mereka yang terlibat berasal dari kesatuan tentara yang dipimpin oleh Mayor Bedjo dan para pejuang yang ada di bawah Mayor L. Malao. “Alhasil saya merasa terpilih sebagai “tukang bersih-bersih”. Jadilah!” ujar Alex seperti dituliskan dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH). Singkat cerita, berangkatlah Alex dan rombongan ke Sumatera pada Agustus 1948. Selama belum ada penugasan rinci, untuk sementara mereka ditempatkan di Bukittinggi, Sumatera Barat. November 1948, Alex ditunjuk menjadi Komandan Sub Teritorial VII. Sebagai pimpinan wilayah, dia harus mulai membereskan kekacauan-kekacauan yang ada di Tapanuli, Sumatera Timur Selatan. Langkah pertama yang dia lakukan adalah membubarkan brigade-brigade yang ada lalu menggantinya dengan sektor-sektor. Setidaknya ada 4 sektor yang dia bentuk untuk menghadapi kemungkinan agresi militer Belanda yang kedua kalinya. Pembentukan sektor-sektor otomatis diikuti dengan perpindahan wilayah kekuasaan masing-masing kekuatan bersenjata yang ada saat itu. Sebagai contoh Pasukan Sektor I harus meninggalkan Sibolga digantikan oleh Pasukan Sektor IV dan Sektor S. Aturannya Pasukan Sektor IV dan Sektor S dipersilakan masuk Sibolga usai Pasukan Sektor I pergi. Namun karena ada kesalahpahaman beberapa unit Pasukan Sektor S sudah mulai mendekati Sibolga, sementara saat itu Pasukan Sektor I masih ada di kota tersebut. Untuk mencegah keributan karena pertemuan dua pasukan yang tadinya bermusuhan itu, maka Letnan Kolonel Alex mengutus Letnan Dua David Munthe untuk mengingatkan komandan Pasukan Sektor S untuk tidak masuk dulu ke Sibolga. Alih-alih disanggupi, komandan Sektor S malah mengancam Letnan Dua David dengan todongan pistol. “Besok paginya, saya panggil perwira yang menodong Munthe itu…” kenang Alex. Belum selesai melakukan teguran, Sang Perwira malah menyemprot Alex duluan. Sambil menggebrak meja, dia menolak mentah-mentah perintah atasannya itu untuk jangan dulu memasuki Sibolga. Bak mitraliur, Si Perwira terus nyerocos. Alex yang tadinya akan melakukan teguran juga terkait penodongan Munthe, memilih untuk menahan diri, menunggu dulu sampai teriakan-teriakan sang perwira selesai. Setelah dia diam, sambil menggebrak meja hingga gelas-gelas di atas meja berjatuhan, Alex langsung balas memaki-maki Komandan Sektor S tersebut. “Sekarang dalam kondisi aman, kau mau aksi-aksian masuk Sibolga! Tahu kau, kalau kau dan pasukanmu masuk Sibolga sekarang lalu bentrok dengan Pasukan Sektor I, siapa yang menjadi korban? Rakyat dan tentara lagi! Mana tanggungjawabmu?! Mana disiplinmu?! Kau malah mau bermain-main koboy-koboyan dengan pistol. Memuakan! Pengecut memang biasa begitu! Tunggu sampai Aksi II, baru kau boleh mencabut pistolmu kepada lawan!” Sejumlah kalimat lagi masih dilontarkan Alex. Dia betul-betul memarahi Komandan Sektor S. Namun di luar dugaan, tetiba Si Komandan bangkit dan berdiri. Bersikap tegap sambil memberi hormat kepada Alex. “Saya taat perintah!” katanya dalam nada tegas. Sikap membangkang juga pernah dilakukan oleh salah satu pasukan yang akan dipindahkan dari Sibolga. Waktu itu giliran Mayor Ibrahim Adjie yang harus menghadapi komandannya yang dikenal garang dan tak jarang main tembak begitu saja. Mayor Adjie lantas memanggil sang komandan. Alih-alih menuruti perintah, dia malah menyuruh Adjie untuk datang langsung ke markasnya. Kendati merasa kesal, perwira yang berasal dari Divisi Siliwangi itu berusaha menahan diri. Dia mengalah dan lantas mendatangi markas pasukan yang membandel itu. “Ayah saya bilang, mereka biasanya hanya menguji nyali para komandan saja,” tutur Kiki Adjie, salah seorang putra dari Ibrahim Adjie. Perundingan pun terjadi. Si Komandan bersikeras tidak akan pindah. Dia malah mengusir Adjie dan menyebut tidak mengakui kepemimpinannya. Adjie pun bersikeras dalam sikap tegas. Tetiba di tengah percekcokan itu, sang komandan mengeluarkan pistol, menyimpannya di meja lalu meludahinya. “Kau aku kasih kesempatan untuk pergi dari sini sampai ludah di pistolku itu kering. Jika tidak, kau kutembak!” teriaknya menantang. Di luar dugaan Si Komandan, Adjie malah menyambar pistol berludah itu lalu menodongkannya ke kepala Si Komandan. “Tak perlu menunggu ludah itu kering, sekarang juga kau aku tembak jika tidak ikut perintahku!” ujar Adjie. Dalam sikap ketakutan, Si Komandan akhirnya menyanggupi permintaan Mayor Adjie. Sejak kejadian itulah para komandan di Tapanuli tak pernah lagi membantah perintah-perintah yang datang dari Alex dan Adjie.
- Stirling Moss, Raja Balap tanpa Mahkota
CUACA di Sirkuit Monza amat indah suatu hari medio Mei 2015. Sir Stirling Moss yang mengenakan atribut pembalap lengkap era 1950-an, hampir tak bisa berhenti tersenyum di sepanjang trek. Kakinya masih fasih menginjak pedal gas maupun kopling. Tangannya masih solid memegang setir dan persneling. Namun tentu semuanya berbeda. Usianya sudah sepuh. Suasana sirkuit pun tak sesemarak kala ia balapan di trek yang sama pada GP Italia 1955. Meski begitu, Moss tetap bisa merasakan suasana itu kembali hidup. Tak lain lantaran mobil balap yang ia kemudikan sama persis dengan yang digunakannya enam dekade sebelumnya. Legenda balap Inggris itu mengendarai mobil berbodi streamliner Mercedes-Benz 300SLR. Untuk menjajal beberapa lap di Monza, ia ditemani jawara F1 yang senegara dengannya, Lewis Hamilton, di kokpit mobil Mercedes W196 Monoposto atau varian awal mobil Moss di paruh pertama F1 musim 1955, sebelum berganti dengan varian streamliner. Hamilton sesekali menyamakan kecepatan untuk mengambil posisi berdampingan sembari ngobrol kecil. Mungkin sekaligus menjaga agar Moss tak berlebihan menggeber mobilnya, mengingat usianya sudah 85 tahun. Kenangan pada 2015 itu tak terlupakan buat Hamilton, salah satu figur F1 yang terpukul ketika mendengar Moss wafat pada Minggu (12/4/2020). Legenda balap yang sepanjang kariernya jadi raja di lintasan tanpa mahkota itu mengembuskan nafas terakhir di usia 90 tahun karena kesehatannya terus menurun. “Hari ini kita menyampaikan selamat tinggal kepada Sir Stirling Moss, seorang legenda balapan. Tentu saya akan sangat merindukan perbincangan kami. Saya benar-benar bersyukur sempat memiliki momen istimewa bersamanya. Semoga ia beristirahat dengan tenang,” tutur Hamilton berduka via akun Twitter -nya, @LewisHamilton, 12 April 2020. Mengubah Bully jadi Motivasi Laman resmi F1 dalam muatan obituari Moss menjuluki sebagai “Mr. Motor Racing”. Ia legendaris sejati meski dalam rentang tujuh tahun (1955-1961) kariernya di ajang balap paling beken sedunia itu tak pernah sekalipun mencicipi gelar juara. Moss dicap sebagai pembalap paling sportif dengan catatan turun di 66 balapan, 16 kali merebut pole position, dan 16 kali berdiri di puncak podium. Ia rival terberat sejumlah legenda lain macam Juan Manuel Fangio, Alberto Ascari, Jack Brabham, hingga sesama pembalap Inggris Mike Hawthorn dengan empat kali jadi runner-up (1955-1958) dan tiga kali menempati urutan tiga klasemen akhir (1959-1961). Pria bernama lengkap Stirling Craufurd Moss itu lahir di West Kensington, London, Inggris pada 17 September 1929. Sejak kecil ia sudah akrab dengan deru mesin mobil balap. Pasalnya sang ayah, Alfred Moses, berprofesi sebagai dokter gigi sekaligus pembalap medioker. Di era 1920-an, ayahnya sering terjun di ajang-ajang amatir lokal. Sempat pula ia sekali ‘ gas pol ’ di ajang Indianapolis 500 pada 1924 dan finis di urutan ke-16. Ibunya, Aileen Craufurd, semasa muda juga jadi juru balap ajang-ajang amatir balap mobil sejenis Singer Nine. Kelak adiknya yang lantas dipersunting pembalap reli Swedia Erik Carlsson, Pat Moss, juga merambah dunia balap di ajang reli. Mengutip otobiografi yang dituliskan Moss bersama Alan Henry bertajuk All My Races , ia sudah dihadiahi ayahnya mobil Austin 7 pada usia sembilan tahun. Alfred Moss, ayah Stirling Moss juga merupakan pembalap era 1920-an (Foto: mundalis.com ) Walau hidup di keluarga dengan perekonomian yang lebih dari cukup, bocah Moss bukan tak pernah mengalami pergulatan batin. Sejak di usia sekolah dasar, ia acap jadi korbanperundungan. Utamanya perundungan bernada anti-semit karena ia punya darah Yahudi dari garis kakeknya, Abraham Moses Moss. Akibatnya, ia jadi anak yang malas ke sekolah. Beberapakali pula ia harus pindah-pindah sekolah. “Awalnya saya selalu menyembunyikan masalah itu dari orangtua. Butuh waktu lama untuk saya bisa mengubah perundungan itu menjadi motivasi kesuksesan,” kenang Moss. Mille Miglia dan Mahkota Formula Mengidap nefritis atau radang ginjal membuat Moss muda tak diharuskan ikut ke medan Perang Dunia II dan wajib militer dua tahun pasca-perang. Berkahnya, pendidikannya tak terlalu terganggu oleh perang. Ia hanya harus sering ikut lari ke tempat-tempat perlindungan serangan bom tiap kali sirine meraung-raung di masa-masa Battle of Britain , 10 Juli-31 Oktober 1940. Sejak 1948, Moss merintis karier balapnya dengan serius mengikuti beberapa ajang balap “kasta menengah” seperti Cooper 500, RAC Tourist Trophy, Alpine Rally, Goodwood Trophy, dan British Formula Three (F3). Moss menjalani debutnya di F1 pada 27 Mei 1951 bersama tim HWM-Alta di Sirkuit Bremgarten, GP Swiss. Ia hanya mampu finis di urutan ke-14. Bukan karena kalah skill dari Fangio yang di hari itu naik ke puncak podium atau Nino Farina dan Luigi Villoresi di podium kedua dan ketiga, namun karena mobil HWM 51 bermesin Alta F2 yang dikendarai Moss kurang kompetitif. Pada musim 1952, ia pindah ke tim ERA dengan mobil bermesin Bristol BS1 dan kemudian pindah tim Connaught, dan Cooper hingga 1953. Itu dilakoninya karena prinsip, hanya mau mengemudikan mobil bermesin dan ditopang sasis buatan Inggris. “Lebih baik kalah terhormat dengan mobil Inggris daripada menang dengan mobil buatan asing,” cetus Moss, dikutip Paul May dalam Heroes and Saints . Prinsip itu kemungkinan merupakan buah dari pengalaman getirnya kala merasa dikerjai Enzo Ferrari. Pada 1951, ia mulai didekati Enzo Ferrari yang menawarkan untuk mengendarai mobil Ferrari untuk ajang Formula Two (F2) di GP Bari. Tapi ketika sudah melakukan perjalanan jauh dari London ke Puglia, Moss yang ditemani ayahnya, hanya mendapati satu-satunya mobil Ferrari adalah mobil yang dikendarai pembalap Piero Taruffi. Masalahnya tak satupun staf tim Ferrari yang bisa memberi penjelasan memuaskan. Akhirnya Moss dan ayahnya pulang dengan memendam dengki. Maka hingga 1954 ia tak pernah sekalipun mau menyentuh mobil-mobil pabrikan asing. Namun karena catatan awal kariernya (1951-1953) yang sama sekali tak menggembirakan, ditambah nasihat-nasihat para sponsor, Moss akhirnya berkenan masuk ke kokpit mobil asing, yakni Maserati 250F di tim Alfieri Maserati asal Italia. “Moss bisa tampil di musim 1954 dengan mobil (Maserati) 250F, di mana finansialnya disponsori Shell-Mex dan BP. Moss merasakan sendiri betapa bagusnya handling mobil 250F sebagai wahana yang ideal untuk mendemonstrasikan skill -nya,” tulis Stuart Codling dalam Art of the Formula 1 Race Car . Prestasi Moss pun mulai moncer sejak mengendarai Maserati. Di pentas F1 ia memang hanya merasakan sekali naik ke podium ketiga di GP Belgia, 20 Juni 1954. Tetapi di luar F1, tahun itu Moss mendulang beberapa gelar dengan mobil 250F, di antaranya International Gold Cup dan Goodwood Trophy. Semusim berikutnya, ia pindah ke tim Mercedes. Di sinilah nama Moss mulai jadi langganan calon juara F1. Di musim 1955 dengan mobil Mercedes W196, Moss tiga kali naik podium, termasuk kemenangan pertamanya di GP Inggris, 16 Juli 1955 yang dihelat di Sirkuit Aintree, Liverpool. Bahkan di akhir musim, ia sukses menguntit Fangio yang juga rekan setimnya menjadi runner-up , sekaligus mengangkangi dua pembalap Ferrari, Eugenio Castellotti dan Maurice Trintignant, yang hanya mampu bercokol di urutan tiga dan empat klasemen akhir. Stirling Moss bersama co-driver Denis Jenkinson di ajang Mille Miglia 1955 (Foto: formula1.com ) Namun kenangan yang tak pernah dilupakannya di tahun 1955 justru keikutsertaannya di ajang Mille Miglia. Bersama co-driver Denis Jenkinson, Moss memenanginya. Itu menjadi kali pertama Moss memenanginya sejak ikut Mille Miglia pada 1951. Mirip Le Mans 24 Hours, Mille Miglia adalah ajang balap ketahanan mobil dan pembalap. Bedanya, Le Mans dibatasi waktu 24 jam, sementara Mille Miglia waktunya non-stop selama 10 jam dengan jarak tempuh 1.500 kilometer dengan start -nya dimulai dari Brescia dan finis di Roma. “Menang Mille Miglia lebih sulit daripada Le Mans 24 Hours. Tingkat stres di dalam mobil lebih tinggi. Anda juga balapan di jalanan umum dengan intensitas selama 10 jam. Balapan di jalanan umum di mana Anda tak mengenal treknya sangat berbeda dan sangat menuntut teknik. Anda tidak bisa mempelajari karakter trek sepanjang 1.000 mil,” sambung Moss dalam otobiografinya. “Belum lagi penonton yang berdesak-desakan di pinggir treknya membuat Anda tak bisa melihat ujung tepi tikungan. Tapi sepanjang karier kemenangan itulah pencapaian terbaik saya. Anda tak bisa membandingkan misalnya dengan kemenangan saya di GP Monaco 1961. Segalanya bergantung pada kepercayaan diri, baik terhadap mobil maupun kemampuan Anda,” lanjutnya lagi. Pada musim 1958, Moss hanya kalah sebutir poin dari kompatriotnya, Mike Hawthorn, dalam perebutan juara F1. Tak pernah sepanjang kariernya gelar juara begitu dekat dengan genggamannya. Di musim itu, Moss empat kali menang dan mengumpulan 41 poin. Adapun Hawthorn cuma sekali menang tetapi punya perolehan 42 poin. Penyebabnya, Moss lebih sering gagal mendapatkan poin karena gagal finis di lima seri, sementara Hawthorn hanya dua kali. Namun yang paling menjadi perhatian utama adalah sikap sportif Moss terhadap Hawthorn di GP Portugal yang dihelat di Sirkuit Boavista, 24 Agustus 1958. Mengutip majalah Motor Sport edisi Oktober 1958, mobil Hawthorn tergelincir di sebuah tikungan pada lap ke-48. Masalahnya saat itu kondisi tikungannya menanjak, menjadikan Hawthorn sukar menyalakan lagi mesin mobilnya. Satu-satunya cara adalah didorong ke jalanan menurun dan itu artinya Hawthorn harus berbalik arah. Itu kemudian dipermasalahkanpengawas balapan ( steward) . Hawthorn dianggap menjalankan mobilnya berlawanan arah di luar trek dan itu merupakan pelanggaran. Hasilnya, Hawthorn yang finis kedua di belakang Moss, didiskualifikasi. “Tapi pada rapat ofisial balapan di malam hari setelah balapan, Moss memberi kesaksian bahwa Hawthorn mencoba menyalakan lagi mesinnya dengan didorong di sisi dalam bantalan tepi trek, bukan di luar dan oleh karenanya tidak melanggar peraturan. Lalu pada jam 11 malam ofisial balapan memberi keputusan mengembalikan status runner-up Hawthorn,” tulis majalah itu. Stirling Moss (kiri) bersama John Michael 'Mike' Hawthorn, saingan sekaligus teman baik di pentas F1 era 1950-an (Foto: formula1.com ) Andai Moss tak berinisiatif dan bersikap sportif untuk memberi kesaksian pada ofisial balapan GP Portugal, Hawthorn takkan mendapatkan tambahan tujuh poin. Itu berarti di akhir musim sangat mungkin Moss-lah yang keluar sebagai juara dunia, bukan Hawthorn. “Bagi saya, Mike tak semestinya didiskualifikasi. Saya merasa, keputusan steward telah salah mendiskualifikasinya. Dan saya memberi kesaksian bahwa dia masih di dalam trek, tepatnya di escape road (jalur darurat, red. ) yang kemudian diterima ofisial. Nyatanya hal itu membuat saya kehilangan gelar. Walau demikian (sikap sportif) sudah berarti kemenangan buat saya,” tambah Moss. Di pengujung musim, Moss akhirnya gagal juara. Meski pedih, tiada penyesalan dalam hatinya. “Memang sempat ada sedikit rasa kesal karena saya merasa harusnya tahun itu saya juara. Saya merasa punya kemampuan untuk jadi juara tapi nyatanya saya tidak juara. Mike adalah teman baik saya. Tentu saya merasa mampu mengalahkan dia, tetapi harus diterima juga bahwa saya kalah satu poin darinya,” tandas Moss yang pensiun pada 1962 akibat cedera parah usai kecelakaan di ajang Glover Trophy.
- Aksi Massa yang Disita Polisi
ADA kegemparan di kalangan elite Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tahun 1926. Silang pendapat itu bermula ketika sekelompok kader pucuk PKI pimpinan Sardjono menyelenggarakan Kongres Prambanan, 25 Desember 1925, yang menghasilkan keputusan melawan pemerintah kolonial Belanda, selambatnya enam bulan setelah penyelenggaraan kongres. Untuk mematangkan jalannya pemogokan massal yang disertai pelawanan bersenjata sebagaimana keputusan kongres, partai mengutus Musso, Budisutjitro, dan Sugono untuk pergi ke Singapura menemui Tan Malaka. Mereka berniat meminta bala bantuan dari Moskow melalui Tan Malaka. Namun misi itu gagal karena Tan Malaka ada di Manila. Sebetulnya Tan Malaka sudah mengetahui rencana pemberontakan itu sejak awal 1926, namun kurang sreg. Dia menilai situasi revolusioner di Hindia Belanda belum benar-benar memenuhi syarat untuk sebuah revolusi. “Tetapi apakah rakyat proletar Indonesia sudah pula siap?... kalau belum siap, tak ada jalan lain buat pemimpin yang berani bertanggung jawab kepada rakyat dan diri sendiri, ialah terus mempersiapkan rakyat buat massa aksi,” kata Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara . Pemberontakan melawan pemerintah kolonial pun tetap dilakukan kendati waktu pelaksanaannya meleset dari yang ditentukan. Pada 12 November 1926 pemberontakan meletus di Banten, Batavia, dan Jawa Barat. Lantas pada Januari 1927, mengikuti kawan-kawan separtai di Jawa, giliran Silungkang, Sumatra Barat berontak melawan Belanda. Dalam jangka waktu sepekan setelah peristiwa, polisi kolonial menangkap ribuan orang yang diduga terlibat aksi pemberontakan tersebut. Beberapa pemimpin pemberontakan, seperti Egom, Hasan, dan Dirdja dihukum gantung. Ratusan kader lainnya dibuang ke Boven Digul, kamp penahanan yang terletak di wilayah endemik malaria hitam di Papua. Kelak tak hanya kaum komunis yang dibuang ke Digul, melainkan juga para nasionalis yang dituduh membahayakan negara kolonial Hindia Belanda. Tan Malaka besikukuh tak menyetujui pemberontakan itu. Pada awal 1926, menggunakan paspor palsu di bawah nama samaran Hasan Gozali, pria kelahiran Mindanao, Filipina Selatan, Tan Malaka masuk ke Singapura. Selama di Singapura dia menulis sebuah risalah mengenai taktik rakyat untuk melawan pemerintah kolonial. Risalah bertajuk Massa Actie ( Aksi Massa ) ditulis untuk menanggapi keputusan kongres Prambanan yang menyerukan revolusi di Hindia Belanda. Tan Malaka mengakui bahwa risalah tersebut ditulis dalam situasi serba mendadak. “ Massa Aksi yang ditulis tergesa-gesa dan dicetak di Singapura,” katanya dalam Dari Penjara ke Penjara . Ketergesaan itu bisa jadi karena dia, melalui risalahnya, ingin agar pemberontakan ditunda sambil mematangkan situasi revolusioner pada massa rakyat. Risalah tersebut terdiri dari 12 bagian, dibuka dengan pembahasan revolusi pada bab pertama. Kalimat pertama dalam bab ini bernada gugatan kepada mereka yang menganggap revolusi sebagai keputusan sepihak, satu arah dari beberapa gelintir orang. “ Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri,” tulis Tan Malaka. Tan Malaka jelas terpengaruh kuat oleh teori revolusi proletar Karl Marx yang memproyeksikan bahwa revolusi akan terjadi ketika kaum proletar semakin menderita akibat penindasan kaum modal yang semakin rakus menumpuk kekayaan di tangan mereka. “ Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi,” kata Tan Malaka menguraikan. Setelah menjelaskan tahapan revolusi pada bab pertama, Tan beralih membahas bagaimana masyarakat Indonesia terbentuk secara historis untuk membantu memahami pada tingkat mana kesadaran masyarakat Indonesia berada. Apa yang ada di Indonesia, menurut Tan, tidak pernah lepas dari pengaruh luar negeri. Kondisi itu menjadikan masyarakat Indonesia tidak punya cita-cita sendiri karena hanya menerima apa yang datang dari luar, bahkan dalam soal agama.“Agama Hindu, Buddha, dan Islam adalah barang-barang impor, bukan keluaran negeri sendiri,” tulisnya. Sementara itu cerita keagungan dan kemegahan masa lalu Indonesia dipenuhi oleh bualan-bualan pujangga istana yang menutup fakta kehidupan di luar tembok istana. Pencapaian-pencapaian masa kerajaan hanyalah monumen kuno seperti Candi Borobudur, yang menurut Tan Malaka tiada sebanding bila disetarakan dengan dahsyatnya penemuan hukum Pytagoras yang mendorong manusia untuk mencapai penemuan-penemuan baru dalam kehidupannya. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda seperti yang ditunjukkan oleh Pangeran Diponegoro menurut Tan Malaka tak lebih hanya perlawanan sporadis seorang feodal belaka. Perlawanan itu sama sekali tidak mencerminkan perjuangan kelas borjuasi, sebagai mana terjadi di Prancis, untuk menumbangkan kekuasaan feodal sehingga menciptakan masyarakat baru yang lebih egaliter di atas puing-puing kultur feodalisme. Pendeknya, Tan Malaka dalam bab kedua ini ingin menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari belenggu adat feodalisme. Adat yang terbentuk akibat perjalanan sejarah selama ratusan bahkan ribuan tahun namun tidak membawa dampak kemajuan apa-apa bagi manusia Indonesia di masa modern. Belum lagi kepercayaan terhadap takhayul yang masih menyelubungi alam pikirannya, membuat rakyat Indonesia, “… dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing,” kata Tan Malaka menyimpulkan. Pada bagian selanjutnya Tan menjelaskan beberapa bentuk imperialisme yang mendominasi di kebanyakan negara jajahan. Mulai dari “perampokan terang-terangan” oleh Portugis dan Spanyol, monopoli ala Belanda, setengah monopoli ala Inggris di India, sampai dengan imperialisme liberal ala Amerika terhadap jajahannya di Filipina. Melanjutkan pembahasan mengenai imperialisme, Tan Malaka membahas kondisi kapitalisme di Indonesia yang menurutnya masih terlalu muda. Kapitalisme di Indonesia menurutnya hanyalah cangkokan dari apa yang berkembang di negeri asalnya, Eropa. Tidak ada industri berat yang menghasilkan produk-produk mesin atau barang-barang berbahan logam lainnya. Moda produksi masyarakat Indonesia bertumpu pada pertanian yang sebagian besar berada di Jawa. Sementara itu bahan logam yang banyak terdapat di Sumatra dan Kalimantan saat itu belum terjamah dan diolah untuk kebutuhan industri berat. “Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra,” tulis Tan Malaka dalam bab keempat. Buruh kereta uap di depan kantor perusahaan kereta uap Semarang-Joana. ( delpher.nl ). Sehingga apa yang dilakukan Belanda pada dasarnya hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia demi menopang ekonomi negeri induk Belanda. Belanda bukanlah Inggris yang mengalami revolusi industri dan membutuhkan pasar di negeri jajahannya. Belanda tidak pernah beriktikad membangun industri sehingga menarik kehidupan orang dari desa untuk pergi ke kota bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik. Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah kapitalisme yang tidak teratur sesuai tahapan-tahapan perkembangan masyarakat seperti yang terjadi di Eropa. “…imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia,” tegasnya. Dari empat bab permulaan risalahnya, Tan Malaka memberikan penjelasan bahwa tahapan perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya masih jauh dari situasi revolusioner. Pada bab kelima Tan Malaka semakin mengerucutkan penjelasaannya mengenai kondisi rakyat Indonesia ke dalam tiga keadaan: melarat, hidup dalam kegelapan dan ditindas dalam sistem perbudakan. “ Kita di zaman modern ini sedih dan heran melihat orang Jawa yang tinggal di pondok-pondok rombeng atau tak bertempat tinggal sama sekali, kelaparan dan berpakaian kotor compang-camping, hidup dalam iklim yang sangat membahayakan sebagai di Indonesia, kurang terawat kesehatannya, disebabkan wabah malaria, cacing tambang, kolera , dan sampar; ‘hanya’ ratusan ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela,” urai Tan Malaka melukiskan keadaan rakyat yang hidup melarat. Sebagian besar rakyat hidup dalam kegelapan karena tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak. Pemerintah Belanda memang terbilang telat dalam mendirikan perguruan tinggi di negeri jajahannya. Pemberlakukan politik etis pada awal abad ke-20 hanya berhasil mendirikan tiga universitas, yakni Technische Hoogeschool di Bandung berdiri 1920 (kini ITB), Rechthoogescshool atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia berdiri 1924 (kini UI), dan Geneeskundigeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran berdiri di Batavia 1927 (kini Fakultas Kedokteran UI). Padahal menurut Tan Malaka jumlah penduduk Indonesia tiga kali lipat Filipina yang masa itu berpenduduk 12 juta jiwa sudah memiliki empat universitas. Rendahnya minat pemerintah kolonial Belanda memajukan pendidikan di negeri jajahan juga terlihat dari jumlah anak-anak yang masuk sekolah. Berdasarkan data Tan Malaka pada tahun 1919 adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang seharusnya bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan kongres N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant ). Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5 persen sampai 6 persen, mungkin juga 2 persen sampai 3 persen. Di dalam sistem kolonialisme Belanda perbudakan pun dilegalkan dalam cara-cara yang diperhalus. Kuli kontrak di berbagai perkebunan milik tuan-tuan Belanda jumlahnya mencapai 300 ribu orang. Mereka mendapatkan upah sangat rendah yang jauh dari kata layak untuk hidup sebagaimana tergambar dalam buku karya pengacara Belanda J. Van Den Brand, De Millioenen uit Deli . Kondisi itu membuat Tan Malaka menyimpulkan bab kelimanya dalam sederet kalimat bernada vonis, “ Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.” Bab-bab selanjutnya di risalah ini Tan Malaka menerangkan situasi sosial dan politik di Hindia Belanda. Dari segi sosial menurut Tan Malaka pertentangan yang terjadi di dalam masyarakat jajahan bukanlah pertentangan kelas buruh dengan majikan sesama Indonesia sebagai konsekuensi kapitalisasi kehidupan masyarakat. Namun lebih dalam lagi, “Pertentangan Belanda kapitalis dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital modern dari bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa, bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah,” kata Tan Malaka. Penjelasan mengenai situasi sosial dilanjutkan oleh Tan Malaka dengan memberikan gambaran kondisi politik di tanah jajahan pada bab keenam. Dia mengajukan gagasan bentuk perwakilan rakyat yang ideal, bukan parlemen borjuis yang menurut dia kepanjangan tangan dari pemilik modal, melainkan sebuah soviet. Parlemen borjuis akan menghasilkan undang-undang yang membawa kepentingan kelasnya sendiri sehingga masih bersifat menindas rakyat. Soviet dibentuk oleh diktatur buruh dengan bantuan petani yang telah menguasai borjuasi. Keanggotaan soviet bisa diangkat dan diberhentikan sewaktu-waktu, tidak seperti parlemen yang duduk untuk sampai lima tahun dengan mekanisme penggantian yang tidak mudah. Gagasan ini sejatinya kritik Tan Malaka terhadap parlemen di Hindia Belanda yang tidak mencerminkan perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Pada 1916 pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Dewan Rakyat ( Volksraad ) yang anggotanya dipilih oleh Gubernur Jenderal. Pada awal pembentukannya Volksraad memiliki 38 anggota, 15 orang di antaranya wakil golongan bumiputra. Seluruh anggota Volksraad saat itu, menurut Tan Malaka, berwatak kelas borjuasi. Kritik keras juga dilayangkan oleh PKI cabang Semarang yang melalui ketuanya, Semaoen, mengejek Volksraad sebagai “komidi omong”. Pada bab ketujuh Tan Malaka meramalkan revolusi akan terjadi di Indonesia apabila sejumlah prasyarat, baik secara objektif maupun subjektifnya sudah terpenuhi. Sejak permulaan dalam risalahnya ini Tan Malaka sudah mafhum bahwa syarat-syarat terjadinya revolusi di Indonesia belumlah memadai. Tahapan sejarah dan kapitalisme yang berkembang tidak secara teratur akan membuat revolusi Indonesia berbeda dengan revolusi di negeri lainnya. “Revolusi kita juga tidak akan menyamai revolusi borjuasi seperti di Prancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih terlampau lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh imperialisme Belanda. Juga ia tidak akan menyamai Revolusi Prancis tahun 1870 karena kita agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, tambahan lagi nisbah sosial sangat berlebihan,” tulis Tan Malaka. Revolusi di Indonesia juga tidak akan sama dengan jalan revolusi yang ditempuh kaum Bolshevik di Rusia pada 1917 karena, “… Revolusi Rusia yang feodalismenya boleh dikatakan lemah dan borjuasinya muda yang oleh perang bertahun-tahun menjadi sangat mundur, sedangkan kaum buruhnya muda, gembira , dan dididik menurut aturan Lenin. ” Pada bab kedelapan Tan Malaka menyelipkan lagi tegurannya kepada rekan separtainya agar tidak gegabah melancarkan pemberontakan atas nama revolusi dalam situasi massa yang belum sepenuhnya memiliki kesadaran baru yang revolusioner. Revolusi membutuhkan perkakas, yakni massa yang sadar dan partai revolusioner yang akan memimpin jalannya revolusi. Tan Malaka kembali menekankan kondisi alam pikiran massa yang sepenuhnya belum lepas dari takhayul dan terbelenggu feodalisme. “Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalistis yang cepat dan tidak sesuai dengan kemauan alam menyebabkan bangsa Indonesia berubah cepat cara berpikirnya. Tetapi, perubahan cara berpikir ini biasanya tertinggal dari perubahan ekonomi. Umumnya bangsa kita secara lahiriah tampak modern sesuai dengan zaman kapitalis tetapi cara berpikirnya masih kuno, masih tinggal di zaman dahulu, seperti masih menganut Mahabarata, Islam, dan berbagai macam takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat, dan lain-lain. Mereka masih terus seperti anak-anak dan berpikiran fantastis,” kata Tan Malaka. Kekhawatiran tentang revolusi prematur yang akan terlihat sebagai putch belaka juga terlontar dalam bab ini. Partai revolusioner, menurut Tan Malaka, adalah partai yang berhasil melakukan revolusi apabila ia telah berhasil pula mengerahkan jutaan kaum buruh untuk mogok dan berdemonstrasi menuntut hak ekonomi dan politik mereka, “tanpa melempar sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah”. Uraian itu semacam tantangan kepada kawan-kawan partainya untuk bekerja lebih keras menyadarkan rakyat atas situasi penindasan yang membelit mereka. Bukan menyulut pemberontakan-pemberontakan kecil yang pada akhirnya akan memicu tindakan reaksioner pemerintah kolonial untuk menumpas gerakan. Tan Malaka mencontohkan insiden Afdeling B yang terjadi di Cimareme, Garut, tahun 1919. Pertemuan Sarekat Islam di Kaliwungu yang dihadiri departemen Sarekat Islam dari Peterongan, Mlaten, dan anggota VSTP. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons). Sebagaimana tersurat dalam buku Peristiwa Cimareme Tahun 1919: Perlawanan H. Hasan Terhadap Peraturan Pembelian Padi karya Chusnul Hajati, insiden itu bermula dari protes petani atas tingginya pajak padi yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Tokoh Sarekat Islam setempat, Haji Hassan, memimpin perlawanan bersama seluruh anggota keluarga dan kerabatnya. Dia dan beberapa anggota keluarganya tewas dalam sebuah pengepungan polisi kolonial. Belakangan hari, pemerintah kolonial menemukan bukti-bukti adanya keterlibatan sel kiri (disebut afdeeling B) di tubuh Sarekat Islam Garut yang menyulut pelawanan itu. Sejumlah pemimpin ditangkap, termasuk H.O.S. Tjokroaminoto. Kegagalan perlawanan seperti yang dikemukakan oleh Tan Malaka dalam risalah ini semata untuk mendukung argumentasinya bahwa pemberontakan dengan kekerasan yang sporadis hanya akan menghasilkan kehancuran. Tugas partai revolusioner menurut Tan Malaka, mengacu kepada Lenin, haru s “ menjalankan tujuan dan pelopor ( avantgarde ) pergerakan di segala tingkatan revolusi. Pandangannya lebih jauh dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali dan, karena itu, ia menjadi ‘kepala dan jantung’ massa yang revolusioner. ” Mengapa Tan Malaka berharap PKI agar berhasil sebagai partai yang membimbing massa menuju revolusi? Karena keuletan perjuangan tidak terdapat pada organisasi lainnya sebagaimana ditunjukkannya dalam organisasi Boedi Oetomo, Indische Partij, dan Sarekat Islam. Kegagalan perjuangan melawan imperialisme Belanda telah ditunjukkan ketiga organisasi itu membawa Tan Malaka pada kesimpulan hanya PKI, dengan syarat berdisiplin sebagai partai pelopor, yang bisa menumbangkan kolonialisme Belanda. Boedi Oetomo menurutnya tak lebih organisasi yang bermimpi mendirikan “Jawa Raya” dengan “mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum....yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.” Sementara itu, Indische Partij tak ubahnya berlaku seperti partai borjuasi yang enggan berkeringat turun ke jalan. “Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan anggota N.I.P (Nationaal Indische Partij- Red. ),” tulis Tan Malaka. Sarekat Islam tidak juga menjadi tumpuan harapan karena mempersatukan rakyat melalui ikatan sentimen agama. “ Dengan melibat-libatkan agama, dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang sangat picik. Dan pada permulaannya ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar Tionghoa,” kata Tan Malaka pada bab kesepuluh membahas lemahnya Sarekat Islam sebagai organisasi rakyat. Kekuatan Sarekat Islam semakin berkurang ketika disiplin partai diberlakukan oleh Haji Agus Salim pasca peristiwa Haji Hasan di Cimareme, 1919. Anasir kiri di tubuh Sarekat Islam dipersilakan keluar dari keanggotaan. Sementara itu organisasi bernapaskan Islam seperti Muhammadiyah juga tak bisa diandalkan karena watak kompromistis dan oportunistisnya. “Golongan Muhammadiyah dengan segala kejujurannya menerima subsidi dari tangan pemerintah ‘kafir’ untuk sekolah Islam,” tulis Tan Malaka. Sementara itu golongan intelektual seperti yang terdapat di dalam organisasi De Indonesische Studieclub pimpinan Dr. Soetomo tidak kurangnya menunjukkan watak borjuasi yang kelak akan mengalami kebuntuan saat menghadapi dilema sebagaimana pernah dialami tiga partai borjuasi lainnya. Seperti pada pilihan untuk bekerja sama dengan pemerintah Belanda atau menjadi partai massa buruh yang memperjuangkan kemerdekaan seluas-luasnya? Tan Malaka juga mengkritik watak borjuis pada kalangan intelektual di organisasi ini karena pada akhirnya memisahkan mereka dari kehidupan massa buruh. Perhatian Tan Malaka pada nasib-nasib bangsa terjajah di wilayah Asia tercermin pada bab kesebelas yang mengutarakan niatnya agar rakyat jajahan di negeri Filipina dan semenanjung Malaya bergabung di bawah Federasi Republik Indonesia. Revolusi untuk menumbangkan kekuasaan imperialisme tidak terbatas pada wilayah Hindia Belanda saja. Tan Malaka menggalang solidaritas agar seluruh rakyat di Filipina yang dijajah Amerika dan rakyat semenanjung Malaya yang dikoloni Inggris bersatu mengakhiri riwayat penjajahnya. Pada bagian terakhir risalahnya, Tan Malaka menyerukan agar partai menghimpun kekuatan massa rakyat melakukan revolusi pembebasan nasional. Dengan terlebih dahulu memastikan terciptanya situasi objektif dan subjektif sebagai prasyarat revolusi. Tan menulis, “ Karena itu, wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar. ” Risalah yang ditulis secara tergesa-gesa ini akhirnya tuntas pada tahun 1926, namun terlambat disampaikan secara luas kepada seluruh kader PKI. Pemberontakan pun tetap berjalan dan menemui kegagalan. Apa yang dicemaskan Tan Malaka dalam risalah Massa Aksi ini memang terjadi. Perbedaan dalam cara menempuh revolusi ini membuat Tan Malaka akhirnya keluar dari PKI. Tapi PKI di kemudian hari punya pendapat berbeda dalam menilai pemberontakan 1926. Dalam buku Pemberontakan November 1926 yang disusun oleh Lembaga Sejarah PKI terbitan Jajasan Pembaruan, 1961, menyebutkan kendati pemberontakan gagal, “ia memberikan suatu cap yang tegas dan arah yang pasti bagi gerakan nasional selanjutnya.” Pemberontakan 1926 yang dikutuk oleh Tan Malaka sebagai hasil lamunan para pemimpin PKI itu justru harus diakui “telah memberikan arah politik bagi gerakan kemerdekaan nasional, yaitu bahwa Indonesia harus merdeka.” Setelah sempat beredar dalam bentuk cetak stensil, risalah ini kemudian dicetak dan diterbitkan beberapa kali oleh berbagai penerbit, antara lain penerbit Teplok Press (2000), Komunitas Bambu (2000), Cedi-Aliansi Press (2000) dan Narasi (2013). Artinya memang buku ini pernah beredar luas dan tidak pernah dinyatakan sebagai barang cetakan terlarang sampai hari ini. Jadi, apakah buku ini berbahaya sehingga harus jadi barang sitaan? Satu yang pasti risalah ini pernah menjadi bahan bacaan para pendiri Republik Indonesia dalam menentang kolonialisme Belanda. Apakah kolonialisme Belanda masih ada di sini? Tidak, Belanda sudah jauh…
- Rokok Kretek Rumahan Eksis di Tengah Krisis
GELOMBANG pasang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terkait dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 mulai berlangsung. Sebuah video viral menangkap suasana murung puluhan karyawan yang di-PHK di sebuah ritel besar di Depok, Jawa Barat. Di tempat lainnya, ratusan ribu orang di beragam sektor usaha dan bisnis juga telah kehilangan pekerjaannya.






















